Pengembangan Desa Wisata Melalui Pendeka

Pengembangan Desa Wisata
Melalui Pendekatan
Perencanaan Wilayah
Partisipatif
Eri Addharu
A156170141
Magister Perencanaan Wilayah,
Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian,
Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor

Abstrak
Pergeseran
paradigma
dalam
pembangunan menuju pembangunan yang
berpusat pada manusia (People Centered
Development)
telah
mewarnai
pembangunan di Indonesia. Paradigma

baru mengharapkan masyarakat dapat
berperan sebagai subjek sekaligus objek
pembangunan. Peran semua stakeholder
menjadi penting untuk tercapainya
perencanaan wilayah yang partisipatif.
Pada konteks pengembangan kawasan
desa wisata, dalam proses perencanaan,
implementasi, pengawasan dan evaluasi,
pemerintah harus sejak awal melibatkan
semua pihak terkait, termasuk masyarakat
lokal dan juga swasta. Unsur-unsur yang
terkait dalam hal perencanaan partisipatif
yaitu paradigma pembangunan dalam hal
people
centered
development,
pembangunan
yang
berkelanjutan,
pemberdayaan masyarakat, pengembangan

wilayah,
dan
kelembagaan
yang
berkelanjutan.
Perencanaan
wilayah
partisipatif
merupakan salah satu
pendekatan
terbaik
karena
dapat
merangkul semua pihak atau stakeholder
yang terlibat dengan berdialog dan
menyampaikan keinginan masing-masing.

Kata Kunci : Desa Wisata, Masyarakat
Lokal,
People

Centered
Development,
Perencanaan Wilayah Partisipatif, Stakeholder

Abstract

The paradigm of expression in people
centered development has colored
development in Indonesia. The new
paradigm of pregnant society can be used
as a subject as well as object of
development. The role of all stakeholders
is essential for achieving participatory
regional planning. At this time,
development, planning and oversight, the
government must be involved initially,
including local and private communities.
Elements of relevant elements in
participatory planning are the development
paradigm in terms of people centered on

development, sustainable development,
community
empowerment,
regional
development, and sustainable institutions.
Participatory planning territory is one of
the best because it can embrace the parties
involved with dialogue and demand each
other

Keywords : Local Communities, People
Centered Development, Participatory Area
Planning, Stakeholder, Village Tourism

PENDAHULUAN
Tantangan terbesar bagi para
pemimpin dunia saat ini adalah
mempertemukan antara kebutuhan dan
pertumbuhan penduduk dengan batas
sumberdaya alam. Terdapat tiga

tantangan yang di sebutkan yaitu
produksi makanan, urbanisasi dan
polusi, dan batas-batas yang diberikan
untuk manusia. Tanpa aturan-aturan
yang baik maka peradaban manusia dan
lingkungan di masa depan akan
memberikan dampak yang lebih buruk
bagi bumi. Menurut Mochtar Lubis
dalam Mahbub Ul Haq (1996),
beberapa persyaratan agar manusia
dikatakan sejahtera adalah jika
terpenuhinya pangan dan perumahan,
pendidikan, kesehatan, lingkungan, dan
sebagainya. Sedangkan pokok dari
pembangunan berkelanjutan adalah
suatu proses perubahan yang di
dalamnya eksploitasi sumberdaya, arah
investasi, orientasi pengembangan
teknologi, dan perubahan kelembagaan
semuanya dalam keadaan yang selaras


serta meningkatkan potensi masa kini
dan masa depan untuk memenuhi
tujuan dan tantangan pembangunan
(WCED, 1988).
Pergeseran paradigma dari
paradigma industri yang berpusat pada
produksi
(Product
Centered
Development) menjadi pembangunan
yang berpusat pada rakyat (People
Centered
Development)
lebih
menempatkan kebutuhan-kebutuhan
rakyat di bawah kebutuhan-kebutuhan
sistem produksi, serta secara konsisten
menempatkan
kebutuhan

sistem
produksi dibawah kebutuhan rakyat.
Sehingga model pembangunan yang
berpusat pada rakyat merupakan suatu
alternatif baru untuk meningkatkan
hasil produksi pembangunan guna
memenuhi kebutuhan penduduk yang
sangat banyak dan terus bertambah,
akan tetapi peningkatan itu harus
dicapai dengan cara-cara yang sesuai
dengan asas-asas dasar partisipasi dan
keadilan dan hasil-hasil itu harus dapat
dilestarikan untuk kelangsungan hidup
manusia di dunia ini. Tujuan dari
pembangunan berdimensi kerakyatan
adalah perkembangan manusia dalam
arti aktualisasi nilai-nilai atau potensipotensi kemanusiaan, seperti harga diri
(self-esteem), kemandirian (self-relience),
martabat
(dignity),

pemberdayaan
(empowerment), dan sebagainya. Dalam
paradigma ini, manusia ditempatkan
sebagai fokus utama pembangunan
yang
berkelanjutan
(sustainable
development).
Indonesia merupakan suatu
negara kepulauan yang memiliki 17.508
pulau. Hal ini membuat Indonesia
memiliki berbagai ragam wilayah,
budaya, adat istiadat, dan bahasa.
Banyak daerah yang terdapat di dalam
Negara Indonesia memiliki kekayaan
alam, budaya, arsitektur tradisionalnya
yang etnik dan menarik sehingga bisa
dijadikan sebagai suatu potensi wisata.
Pariwisata adalah suatu kegiatan yang


secara tidak langsung menyentuh dan
melibatkan kehidupan masyarakat
sehingga membawa berbagai dampak
terhadap masyarakat setempat, baik
dampak positif maupun negatif. Akan
tetapi semua itu bisa dipersiapkan
dengan baik agar bisa meminimalkan
dampak negatif tersebut.
Sejalan
dengan
dinamika
pembangunan, gerak perkembangan
pariwisata merambah ke dalam
berbagai terminologi seperti, sustainable
tourism development, village tourism,
ecotourism, merupakan pendekatan
pengembangan kepariwisataan yang
berupaya untuk menjamin agar wisata
dapat dilaksanakan di daerah tujuan
wisata bukan perkotaan. Salah satu

pendekatan pengembangan wisata
alternatif adalah desa wisata untuk
pembangunan
pedesaan
yang
berwawasan lingkungan. Ramuan
pengembangan desa wisata kedepan
adalah mewujudkan dalam gaya hidup
dan kualitas hidup masyarakatnya.
Keaslian juga dipengaruhi keadaan
ekonomi, fisik dan sosial daerah
pedesaan tersebut, misalnya ruang,
warisan budaya, kegiatan pertanian,
bentangan alam, jasa, pariwisata sejarah
dan budaya, serta pengalaman yang
unik dan eksotis khas daerah. Dengan
demikian, pemodelan desa wisata harus
terus dan secara kreatif di kembangkan
identitas atau ciri khas daerah.
Pengembangan

aktivitas
agrowisata secara langsung dan tidak
langsung akan meningkatkan persepsi
positif petani serta masyarakat akan arti
pentingnya pelestarian sumber daya
lahan pertanian. Selain itu menurut
Subowo (2002) dalam Budiarti (2013),
pengembangan
agrowisata
dapat
melestarikan
sumber
daya,
melestarikan kearifan dan teknologi
lokal, dan meningkatkan pendapatan
petani atau masyarakat di sekitar
agrowisata. Pengembangan agowisata
akan menciptakan lapangan pekerjaan

dan meningkatkan pendapatan serta
meningkatkan kesejahteraan petani.
Beberapa
dampak
positif
pengembangan agrowisata antara lain
meningkatkan nilai jual komoditi
pertanian yang dihasilkan dan
berkembangnya
sumber-sumber
pendapatan lainnya yang dapat
dinikmati oleh masyarakat setempat
seperti penyewaan homestay dan sarana
rekreasi lainnya yaitu kantin, penjualan
cindera mata, dan lain-lain. Selain itu,
agrowisata merupakan salah satu
wahana yang efektif dalam rangka
promosi produk-produkpertanian dan
budaya Nusantara. Hal tersebut karena
selain dapat menikmati hasil pertanian
secara langsung dari sumbernya, para
pengunjung akan terkesan dengan
sensasi wisata alam yang unik dan segar
Pengembangan
pariwisata
pedesaan didorong oleh tiga faktor.
Pertama, wilayah pedesaan memiliki
potensi alam dan budaya yang relatif
lebih otentik daripada wilayah
perkotaan, masyarakat pedesaan masih
menjalankan tradisi dan ritual-ritual
budaya dan topografi yang cukup
serasi. Kedua, wilayah pedesaan
memiliki lingkungan fisik yang relatif
masih asli atau belum banyak tercemar
oleh ragam jenis polusi dibandingankan
dengan kawasan perkotaan. Ketiga,
dalam tingkat tertentu daerah pedesaan
menghadapi perkembangan ekonomi
yang
relatif
lambat,
sehingga
pemanfaatan potensi ekonomi, sosial
dan budaya masyarakat lokal secara
optimal merupakan alasan rasional
dalam
pengembangan
pariwisata
pedesaan (Damanik, 2013). Menurut
Kartasasmita (1997) pemberdayaan
masyarakat adalah upaya untuk
meningkatkan harkat dan martabat
lapisan masyarakat yang dalam kondisi
sekarang tidak mampu melepaskan diri
dari perangkap kemiskinan dan
keterbelakangan.
Pemberdayaan
masyarakat sendiri memerlukan suatu

proses, pengertian pemberdayaan
sebagai suatu ”proses” menunjuk pada
serangkaian tindakan atau langkahlangkah yang dilakukan secara
kronologis
sistematis
yang
mencerminkan
tahapan
untuk
mengubah pihak yang kurang atau
belum berdaya menuju keberdayaan
(Sulistiyani, 2004:77).
Kehidupan desa bukan saja
memberikan pengalaman yang berbeda
dengan kota, tetapi drpandang sebaga
upaya menciptakan keseimbangan
kehdupan. Pembangunan ekonomi
desa berperan dalam pengembangan
nilai kemanusiaan dan lingkungan.
Desa dapat memberikan tempat yang
memberikan kepuasan atau relreshing,
sena pembelajaran banyak hal
khususrya dan budaya. Permintaan
terhadap layanan desa wisata, atau
berbagai objek dan kehidupan desa
sangartah tinggi. Pengembargan desa
wisata di lndonesia. berada dalam
kerangka peraturan pemerintah (PP) 50
tahun 2010 lentang Rencana induk
Pembangunan
Kepariwisataan
Nasional
Tahun
2010-2025.
Kementerian pariwisata dan sebagai
leading sector telah menetapkan 50
Destinasi Pariwisata Nasional (DPN)
di mana 15 DPN dipromosikan melalui
program Desa nation Management
Organizaton (DMO) dalam periode
2010 hingga 2014, yakni Sabang. Toba,
Kota Tua, Pangandaran, Borobudur
Bromo-Tengger
Semeru,
Batur,
Rinlant, Flores, Tanjung puting,
Derawan, Toraja. Bunaken, Wakatobi,
dan Raja Ampat.
Tujuan
pembangunan
kepariwisataan melalui pemberdayaan
masyarakat dapat terwujud apabila
pembangunan tersebut bukan hanya
pembangunan yang bersifat ekonomik
semata, tetapi pembangunan yang
bersifat sosial dan budaya. Diharapkan
kepariwisataan yang berkembang
melalui desa wisata tidak saja akan

memperkuat ketahanan sosial budaya
masyarakat setempat namun lebih luas
lagi akan memperkuat ketahanan sosial
budaya bangsa dan negara. Lembaga
Ketahanan Nasional mendefinisikan
ketahanan sosial budaya sebagai
“Keuletan dan ketangguhan bangsa
dalam mewujudkan nilai-nilai budaya
nasional
dalam
kehidupan
bermasyarakat,
berbangsa
dan
bernegara guna memantapkan jati diri
dan integritas bangsa untuk menjamin
kesinambungan
pembangunan
nasional dan kelangsungan hidup
bangsa dan negara berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945”
(Lemhannas,
1993:39).
Parameter Ketahanan Sosial Budaya
menurut Sukaya (2002: 71-72) terdiri
atas asas-asas yang meliputi asas
kesejahteraan dan keamanan, asas
komprehensif
integral/menyeluruh
terpadu, asas mawas ke dalam dan
mawas keluar serta asas kekeluargaan.
Nuryanti (1992) mendefinisikan
desa wisata merupakan suatu bentuk
integrasi antara atraksi, akomodasi, dan
fasilitas pendukung yang disajikan
dalam suatu struktur kehidupan
masyarakat yang menyatu dengan tata
cara dan tradisi yang berlaku.
Ditegaskan pula bahwa komponen
terpenting dalam desa wisata, adalah (1)
akomodasi, yakni sebagian dari tempat
tinggal penduduk setempat dan atau/
unit-unit yang berkembang sesuai
dengan tempat tinggal penduduk, dan
(2) atraksi, yakni seluruh kehidupan
keseharian penduduk setempat beserta
latar
fisik
lokasi
desa
yang
memungkinkan
berintegrasinya
wisatawan sebagai partisipan aktif,
seperti kursus tari, bahasa, lukis, dan
hal-hal lain yang spesifik Kaitannya
dengan konsep pengembangan desa
wisata, Pearce (1995) mengartikan
pengembangan desa wisata sebagai
suatu proses yang menekankan cara
untuk
mengembangkan
atau

memajukan desa wisata. Secara lebih
spesifik, pengembangan desa wisata
diartikan sebagai usaha-usaha untuk
melengkapi dan meningkatkan fasilitas
wisata untuk memenuhi kebutuhan
wisatawan. Masyarakat lokal berperan
penting dalam pengembangan desa
wisata karena sumber daya dan
keunikan tradisi dan budaya yang
melekat pada komunitas tersebut
merupakan unsur penggerak utama
kegiatan desa wisata. Di lain pihak,
komunitas lokal yang tumbuh dan
hidup berdampingan dengan suatu
objek wisata menjadi bagian dari sistem
ekologi yang saling kait mengait.
Keberhasilan pengembangan desa
wisata tergantung pada tingkat
penerimaan dan dukungan masyarakat
lokal. Masyarakat local berperan
sebagai tuan rumah dan menjadi pelaku
penting dalam pengembangan desa
wisata dalam keseluruhan tahapan
mulai tahap perencanaan, pengawasan,
dan implementasi.
Upaya
pengembangan
agrowisata
pedesaan
yang
memanfaatkan potensi pertanian, dan
melibatkan masyarakat pedesaan, dapat
berfungsi
sebagai
pemberdayaan
masyarakat
selaras
dengan
pemberdayaan masyarakat berbasis
pariwisata (community based tourism).
Pemberdayaan masyarakat dimaksud
adalah
agrowisata
yang
dapat
mengikutsertakan peran dan aspirasi
masyarakat pedesaan selaras dengan
pendayagunaan potensi sumber daya
alam dan sumber daya manusia yang
dimilikinya. Stakeholder atau pemangku
kepentingan dalam pengembangan
pariwisata
termasuk
didalamnya
pengembangan kawasan agrowisata
terdiri dari: (1) pemerintah, sebagai
fasilitator dan regulator; (2) masyarakat,
sebagai tuan rumah, pelaksana/subjek;
dan
(3)
swasta,
sebagai
pelaksana/pengembang/investor
(Wearing 2001 dalam Dewi et al. 2013).

Ketiga stakeholder tersebut harus
mempunyai
komitmen
dalam
perencanaan
partisipatif
yang
mengutamakan
kebersamaan
(Nugroho&Aliyah, 2013). Kondisi
wilayah yang beragam di Indonesia
tentunya menjadi tantangan tersendiri
dalam pengembangan wilayah terutama
yang berbasis pariwisata. Metode yang
digunakan tidak bisa diseragamkan
karena kearifan lokal dari masyarakat
daerah yang unik dan punya ciri khas
tersendiri. Perlu strategi yang tepat
dalam mengembangkan kawasan
pariwisata dan semua pihak harus
terlibat dan dilibatkan. Semua
pendekatan juga harus digunakan baik
dari sisi top down maupun bottom up.
Adapun tujuan dari makalah ini adalah
1.) menganalisa unsur-unsur yang
terkait dengan perencanaan wilayah
partisipatif dan keterlibatan masyarakat
dalam pengembangan suatu wilayah
terutama dalam sektor pariwisata, 2.)
me;ihat pendekatan terbaik dalam hal
pengembangan wilayah.
KERANGKA PEMIKIRAN
Pergeseran paradigma yang
berawal dari production centered
development kemudian bergeser
menjadi people centered development
telah menjadikan manusia dan
lingkungan sebagai aktor utama dalam
perencanaan. Perencanaan partisipatif
pada dasarnya adalah perencanaan
bersama
antara
pemerintah,
masyarakat, private sektor untuk
mewujudkan tujuan dan cita-cita
pembangunan (Nasdian 2014). Tujuan
dari pendekatan partisipatif adalah
adanya perubahan sosial, dimana
masyarakat mampu menentukan yang
terbaik bagi dirinya. Masyarakat
memberikan segenap kemampuannya,
baik fisik, pemikiran dan harta untuk
kebutuhan
memperkuat
dan
mengembangkan kapasitasnya (capacity
building). Perencanaan partisipatif
dalam
kerangka
pengembangan

masyarakat dan pembangunan adalah
mendorong
pembangunan
yang
berangkat dari bawah dengan
mengakomodir keinginan masyarakat,
menciptakan keterlibatan masyarakat
dalam
bentuk
interaksi
dan
komunikasi, meningkatkan kapasitas
kelembagaan
dan
penguatan
manajemen organisasi yang baik,
sehingga
diharapkan
mampu
meningkatkan kesejahteraan sosial,
ekonomi, dan budaya, dalam konteks
pembangunan berkelanjutan dengan
berfokus pada masyarakat (people centered
development) yang nantinya digunakan
dalam
pengembangan
kawasan
agrowisata yang sesuai sehingga dapat
mensejahterakan masyarakat seperti di
gambar 1.

Gambar 1 Alur Konsep Peranan
Perencanaan Partisipatif dalam
Kerangka Pengembangan Masyarakat
dan Pengembangan Wilayah
ANALISIS
Perencanaan Wilayah Partisipatif
Pembangunan
merupakan
upaya
yang
sistematis
dan
berkesinambungan untuk menciptakan
keadaan yang dapat menyediakan
berbagai altenatif yang sah bagi
pencapaian aspirasi setiap warga yang
paling humanistik (Rustiadi, 2011).
Selanjutnya Rustiadi juga mengatakan

bahwa pembangunan merupakan
proses memanusiakan manusia. Dapat
dikatakan bahwa pemabangunan
tersebut harus berkesinambungan dan
berorientasi pada pengembangan
kualitas hidup manusia. Lebih lanjut
Todaro (2000) dalam Rustiadi (2011),
berpendapat pembangunan harus
dipandang sebagai suatu proses
multidimensi yang mencakup berbagai
perubahan mendasar atas struktur
sosial, sikap-sikap masyarakat, dan
institusi institusi nasional disamping
tetap mengejar akselarasi pertumbuhan
ekonomi, penanganan ketimpangan
pendapatan,
serta
pengentasan
kemiskinan.
Hubungan
antara
pengembangan masyarakat dengan
pengembangan wilayah dikaitkan
dengan suatu kelembagaan, yang mana
konsep pengembangan masyarakat
atau suatu komunitas mengandung
makna adanya keterkaitan yang tidak
hanya secara ekologis dan ekonomis,
namun juga secara sosiologis, hal ini
dikemukakan oleh Nasdian (2015).
Pengembangan
masyarakat
dan
kelembagaan komunitas merupakan
bagian dari pengembangan wilayah
yang mengedepankan perencanaan
partsipatif atau partisipasi masyarakat
dalam
sebuah
pembagunan.
Sebagaimana yang telah dijabarkan
sebelumnya dapat kita ketahui bahwa
pengembangan wilayah dalam proses
dan tujuannya sangat mengutamakan
pendekatan masyarakat dan sosial
budaya. Pengembangan wilayah dapat
dilakukan
dengan
melakukan
pengembangan masyarakat terlebih
dahulu atau keduanya dilaksanakan
secara beriringan.
Berdasar dari penelitian dan
studi-studi dari UNDP/WTO dan
beberapa konsultan Indonesia, dicapai
dua pendekatan dalam menyusun
rangka kerja/konsep kerja dari
pengembangan sebuah desa menjadi
desa wisata, yaitu melalui pendekatan

pasar
dan
pendekatan
fisik.Pertama,Pendekatan Pasar untuk
Pengembangan Desa Wisata antara lain
sebagai berikut ; (1) Interaksi tidak
langsung adalah Model pengembangan
didekati dengan cara bahwa desa
mendapat manfaat tanpa interaksi
langsung dengan wisatawan. (2)
Interaksi setengah langsung adalah
Bentuk-bentuk one day trip yang
dilakukan oleh wisatawan, kegiatankegiatan
meliputi
makan
dan
berkegiatan bersama penduduk. (3)
Interaksi
LangsungWisatawan
dimungkinkan
untuk
tinggal/bermalam dalam akomodasi
yang dimiliki oleh desa tersebut. Pada
Pendekatan Pasar ini diperlukan
beberapa kriteria yaitu : (a) Atraksi
wisata; Jarak Tempuh; (b) Besaran Desa;
(c)
Sistem
Kepercayaan
dan
kemasyarakatan;(d)
Ketersediaan
infrastruktur. Kedua, Pendekatan Fisik
Pengembangan Desa Wisata dimana
pendekatan ini merupakan solusi yang
umum dalam mengembangkan sebuah
desa melalui sektor pariwisata dengan
menggunakan standar-standar khusus
dalam mengontrol perkembangan dan
menerapkan aktivitas konservasi.
Pembangunan
berkelanjutan
merupakan
pembangunan
yang
memenuhi kebutuhan masa kini tanpa
mengurangi kemampuan generasi
mendatang
untuk
memenuhi
kebutuhan mereka sendiri (WCED
1988). Pembangunan berkelanjutan
sangat tergantung pada kualitas dan
kuantitas fungsi kelembagaan di suatu
negara, dalam hal ini pembangunan
berkelanjutan erat kaitannya dengan
kelembagaan
berkelanjutan.
Pelaksanaan
pembangunan
berkelanjutan ini dilakukan dengan
partisipasi dan pemberdayaan dalam
upaya mengembangkan masyarakat
dan pembangunan daerah. Menurut
Riyadi dan Bratakusumah (2004),
masyarakat seharusnya dilibatkan

secara
langsung
dalam proses
perencanaan
dan
pengawasan
pelaksanaan pembangunan baik dari
segi kuantitas maupun kualitasnya.
Myrdal (1968) dalam Conyers
(1994) mengatakan bahwa perencanaan
yang efektif memiliki harapan yang
kecil jika tanpa didukung oleh
masyarakat,
dan
keterlibatan
masyarakat
tersebut
merupakan
kewajiban
bagi
perencanaan
demokratis. Saat inipun banyak istilah
yang popular terkait pentingnya
partisipasi masyarakat diantaranya
‘bottom-up planning’ (perencanaan dari
bawah), keterlibatan pada ‘grass roots’
(sampai pada masyarakat paling
bawah),
‘democratic
planning’
(perencanaan
demokratis)
dan
‘parcipatory planning; (perencanaan
partisipatif).
Perencanaan Partisipatif dalam
pengembangan desa wisata yang
berbasis agrowisata
Partisipasi
masyarakat
merupakan prasyarat penting dalam
pelaksanaan
pembangunan.
Pembangunan yang tidak melibatkan
masyarakat
akan
cenderung
memarginalkan masyarakat itu sendiri.
Namun pada kenyataannya sering
terjadi
pengabaian
partisipasi
masyarakat, sehingga masyarakat masih
menjadi objek dari pelaksanaan
pembangunan. Pengembangan desa
wisata merupakan sebuah perubahan
terencana
yang
di
dalamnya
membutuhkan partisipasi masyarakat
lokal secara holistik. Dalam makalah ini
di analisis suatu kasus yang berjudul “
Pengembangan Desa Wisata Berbasis
Partisipasi Masyarakat Lokal Di Desa
Wisata Linggarjati Kuningan, Jawa
Barat” yang ditulis oleh Ade Jafar Sidiq
dan Risna Resuawaty.
Desa Linggarjati terletak di
Kecamatan
Cilimus,
Kabupaten

Kuningan, Jawa Barat. Berjarak sekitar
5 km dari pusat kota Kabupaten
Kuningan, dan sekitar 30 km dari kota
Cirebon Jawa Barat. Desa Linggarjati
adalah sebuah desa dataran tinggi yang
terletak di kaki Gunung Ciremai. Desa
ini berada di ketinggian 500-1500 meter
dari permukaan laut dan memiliki curah
hujan rata-rata 2500 mm/tahun. Suhu
udara berkisar antara 260-290C
sehinggga udara di sini tergolong sejuk.
Kondisi alam Desa Linggarjati yang
masih asri, persawahan berteras yang
tertata rapi menjadi daya tarik utama
desa ini. Selain keindahan terasering
sawah, sumber daya alam dan budaya
yang berpotensi untuk dijadikan atraksi
wisata, misalnya, Pemandian air panas,
air terjun, gedung bersejarah perjanjian
linggarjati, dan wisata kuliner khas
Kuningan serta pusat oleh-oleh khas
Kuningan, menambah pesona Desa
Linggarjati sebagai daerah wisata.
Paradigma pembangunan yang
seharusnya saat ini bernilai people centered
development atau berpusat pada rakyat
dengan
dijadikannya
masyarakat
sebagai subjek pembangunan ternyata
belum mampu di implementasikan
dalam pengembangan desa wisata
Linggarjati ini. Dengan adanya
penetapan Linggarjati sebagai warisan
budaya dunia dinilai strategis terutama
sebagai upaya mendorong partisipasi
masyarakat local dalam pelestarian
sumber daya yang berbasis kekuatan
nilai-nilai budaya yang ada, mendorong
pengembangan
wilayah,
dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat
lokal.
Namun
dilihat
dari
pengembangan desa wisata yang tidak
berpihak kepada kehidupan petani.
Petani tetap miskin sementara investor
meraup keuntungan besar dari aktivitas
pariwisata ini. Padahal, jika tidak ada
sawah dan petani pariwisata di
Linggarjati tidak akan berkembang. Hal
ini membuktikan bahwa pembangunan
yang terjadi belum mendukung

masyarakat setempat dan masih
menganut nilai zero sum perspective
degan tidak adanya transfer kekuasaan
maupun teknologi.
Pembangunan
berbasis
masyarakat (community based tourismCBT) merupakan model pembangunan
yang memberikan peluang yang
sebesar-besarnya kepada masyarakat
pedesaan untuk berpartisipasi dalam
pembangunan
pariwisata.
CBT
merupakan
sebuah
kegiatan
pembangunan
pariwisata
yang
dilakukan sepenuhnya oleh masyarakat.
Ide kegiatan dan pengelolaan dilakukan
seluruhnya oleh masyarakat secara
partisipatif, dan manfaatnya dirasakan
langsung oleh masyarakat lokal.
Pengimplementasian model ini diharap
mampu memberikan dampak terhadap
meningkatnya perekonomian dan
kesejahteraan masyarakat setempat
karena masyarakat yang mengelola dan
masyarakat yang menikmati hasil.
Sehingga diharapkan kegiatan yang
dilaksanakan dapat sustainable. Desa
wisata merupakan salah satu bentuk
penerapan pembangunan pariwisata
berbasis masyarakat dan berkelanjutan.
Melalui pengembangan desa wisata
diharapkan terjadi pemerataan yang
sesuai dengan konsep pembangunan
pariwisata yang berkesinambungan.
Inskeep (1991) mengatakan bahwa
Desa Wisata merupakan bentuk
pariwisata yang sekelompok kecil
wisatawan tinggal di dalam atau di
dekat kehidupan tradisional atau di
desa-desa terpencil dan mempelajari
kehidupan desa dan lingkungan
setempat.
Partisipasi Masyarakat Linggarjati
dalam Proses Pengembangan Desa
Wisata
Partisipasi masyarakat dalam
pembangunan merupakan hal yang
penting ketika diletakkan atas dasar
keyakinan bahwa masyarakatlah yang

paling tahu apa yang dibutuhkan.
Partisipasi yang hakiki akan melibatkan
masyarakat dalam keseluruhan tahapan
pengembangan, mulai dari proses
perencanaan, pengambilan keputusan,
dan
pengawasan
program
pengembangan
desa
wisata.
Keikutsertaan masyarakat ini sangat
dipengaruhi
oleh
kemauan,
kesempatan, dan kemampuan dari
masyarakat tersebut Keikutsertaan
masyarakat dalam perencanaan desa
wisata dapat mendorong mereka
berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan
dan pengawasan.
Paradigma Pembangunan
Parameter yang digunakan
untuk menentukan derajat partisipasi
masyarakat dalam tahap perencanaan
adalah keterlibatan dalam identifikasi
masalah, perumusan tujuan, dan
pengambilan
keputusan
terkait
pengembangan desa wisata. Namun
masyarakat di desa Linggarjati belum
ikut terlibat dalam pengambilan
keputusan atau berdiskusi mengenai
pembangunan yang ada di desa wisata
Linggarjati. Padahal hakikatnya daerah
yang akan dijadikan desa wisata adalah
wilayah masyarakat setempat sehingga
harus tercipta koordinasi dan kerjasama
yang baik serta menyesuaikan dengan
keinginan masyarakat. Hal ini terjadi
karena tidak adanya atau kurangnya
usaha
pemerintah
kabupaten
Linggarjati dalam mensosialisasikan
mengenai desa wisata dan ada
kemungkinan bahwa tingkat partisipasi
masyarakat menurut arnstein hanya
mencapai tingkat placation atau
masyarakat sebagai objek dengan hanya
perlu menjalankan program yang telah
dibuat. Paradigma yang berlaku dalam
pembangunan
di
desa
wisata
Linggarjati masih berpusat pada
produksi
(production
Centered
Development)
karena
kurang
melibatkan
masyarakat
dalam
pelaksanaan kegiatannya. Meskipun

masyarakat diundang dalam beberapa
rapat perencanaan, partisipasi yang
dilakukan oleh masyarakat pada tahap
ini tergolong semu. Benefit yang
diperoleh dari bentuk partisipasi yang
dilakukan tidak menunjukkan hasil
yang signifikan, bahkan umpan balik
yang disampaikan oleh masyarakat
lokal atas keputusan yang diambil oleh
penguasa sering diabaikan. Padahal
substansi dalam pengembangan desa
wisata berbasis masyarakat. Namun,
selalu dihadang oleh keputusan
penguasa yang bersifat topdown.
Mekanisme seperti ini menjadikan
masyarakat Linggarjati tidak terbiasa
berpartisipasi.
Sustainable Development
Walaupun warga masyarakat
banyak yang hadir dalam setiap
pertemuan, pada umumnya mereka
mengaku
tidak
terlibat
dalam
pengambilan
keputusan
perihal
pengembangan desa wisata. Hal ini
disebabkan pemerintah telah memiliki
rencana pembangunan yang telah
dicanangkan
sejak
tahun-tahun
sebelumnya, sehingga masyarakat
hanya sebagai objek dari perubahan
yang ada. Dengan adanya hal tersebut
semakin
memperkuat
bahwa
masyarakat hanya dijadikan objek dari
pembangunan dan tidak adanya
partisipasi masyarakat dan cenderung
bersifat top-down tanpa adanya
masukan dari aras mikro (masyarakat).
Padahal seharusnya terjadi keselarasan
pembangunan antara keinginan di level
aras makro (top-down) dan di level aras
mikro
(bottom-up)
sehingga
pemerintah dan masyarakat dapat
bersinergi
dalam
mewujudkan
pembangunan
yang
sustainable.
Masyarakat lokal khususnya masyarakat
Desa Linggarjati perlu diajak untuk
mendesain sendiri model pariwisata
yang akan dikembangkan. Selama ini
pariwisata yang dikembangkan di desa
wisata tersebut tidak pernah di desain

oleh
mereka.
Pariwisata
yang
dikembangkan didesain oleh orang luar
desa. Masyarakat lokal terpinggirkan.
Pengembangan desa wisata berjalan
sesuai dengan kebutuhan masyarakat,
harus ada jaminan masyarakat untuk
terlibat di dalamnya.
Pelibatan Stakeholder
Peran
pemerintah
dalam
pengelolaan sumber daya pariwisata
terlihat dominan. Padahal bila mengacu
pada
pendekatan
tata
kelola
pemerintah
yang
bersih
dan
berkelanjutan
peran
pemerintah
diharapkan menjadi fasilitator dengan
memberikan peran dan manfaat yang
lebih besar kepada masyarakat. Hal ini
menunjukkan bahwa pembangunan
pariwisata
berbasis
partisipasi
masyarakat belum terwujud di wilayah
ini. Masyarakat belum menjadi subjek
utama pembangunan, namun masih
menjadi objek pembangunan. Hal ini
disebabkan
kesempatan
untuk
berpartisipasi masih terbatas. Keran
untuk berpartisipasi masih belum
terbuka lebar. Masyarakat merasa
tergusur oleh perubahan yang terjadi
tanpa memiliki kemampuan untuk
turut terlibat dalam pembangunan.
Partisipasi Masyarakat
Parameter
Partisipasi
masyarakat dalam tahap implementasi
adalah
keterlibatan
di
dalam
pengelolaan usaha-usaha pariwisata.
Walaupun masyarakat ikut terlibat
dengan
pengelolaannya
namun
masyarakat hanya mengelola usaha
berskala kecil sedangkan usaha yang
berskala besar di kelola atau dimiliki
oleh pihak luar. Masyarakat Linggarjati
dengan kompetensi bisnis yang rendah
dan keterbatasan modal menyebabkan
mereka tidak mampu bersaing dengan
para pemilik modal besar yang
umumnya berasal dari luar desa.
Intervensi modal asing yang merambah
sampai
wilayah
pedesaan,
menyebabkan
terjadinya
proses

marginalisasi posisi sosial ekonomi
masyarakat Linggarjati. Kesenjangan
pendapatan dan kesejahteraan antar
lapisan masyarakat semakin besar, pada
akhirnya, masyarakat lokal tetap berada
di posisi marginal dalam usaha yang
justru terjadi di wilayahnya sendiri.
Kondisi ini mengindikasikan bahwa
pengembangan desa wisata belum
bermanfaat ekonomis bagi masyarakat
Linggarjati. Hal ini didukung dengan
masyarakat
yang
belummemiliki
kemampuan untuk terlibat dalam
isdustri pariwisata. Menyikapi hal ini
idealnya
pemerintah
harus
meningkatkan kapasitas masyarakat
lokal agar mampu meraih dampak
positif dari perubahan yang terjadi di
sekitar mereka.
Partisipasi masyarakat yang
terdapat dalam masyarakat desa
Linggarjati terlihat minim dalam segi
pengawasan
pelaksanaan
pengembangan desa wisata karena
control terhadap proses pengambilan
keputusan harus diberikan kepada
mereka yang nantinya menanggung
akibat pelaksanaan pengembangan
termasuk kegagalan atau dampak
negatip
yang
terjadi
akibat
pengembangan desa wisata. Pola
pembangunan yang top-down tidak
melatih masyarakat untuk dapat
mengetahui permasalahan dan potensi
yang mereka miliki, sehingga mereka
gagap dalam menentukan tujuan
hidupnya.
Partisipasi masyarakat dalam
pengembangan desa wisata pada
prinsipnya adalah partisipasi dalam
mengelola sumber daya. Oleh karena
itu, perlu dirumuskan model yang
relevan dalam pelaksanaan program
tersebut. Kemudian dirumuskan halhal yang menjadi keinginan masyarakat
lokal yaitu (1) pengembangan desa
wisata harus berpedomanan pada
kebudayaan local masyarakat; (2)
masyarakat lokal menjadi sentral dan

menjadikan subjek dari semua proses
pengembangan desa wisata. Dengan
menempatkan masyarakat sebagai
sentral
diharapkan
partisipasi
masyarakat sebagai pemilik sumber
daya pariwisata akan terdorong dan
mampu menyejahterakan masyarakat
local; (3) pengembangan desa wisata
membutuhkan adanya kemitraan yang
solid antara tiga unsur utama, yaitu
pemerintah, swasta, dan lembaga, yang
masyarakat lokal menjadi pemangku
kepentingan dari kerja sama tersebut;
(4) ketiga pemangku kepentingan
tersebut berada pada posisi yang sejajar
dalam melakukan kerja sama serta
saling menghormati; (5) perlu dibentuk
badan pengelola yang otonom dan
mandiri, yang saling berinteraksi,
memberikan umpan balik pelaksanaan
untuk mengoreksi diri pada setiap
jenjang organisasi; (6) keputusan dan
inisiatif untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat lokal dibuat ditingkat lokal
oleh warga masyarakat yang memiliki
identitas yang diakui peranannya
sebagai partisipan dalam proses
pengambilan keputusan; dan (7) fokus
utama pengembangan desa wisata
adalah memperkuat kemampuan
masyarakat lokal dalam mengarahkan
dan mengatasi aset-aset yang ada pada
masyarakat local untuk memenuhi
kebutuhannya.
Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan yang terjadi di
desa Linggarjati belum sepenuhnya
terlaksana karena belum terlibatnya
langsung
masyarakat
dalam
pengambilan keputusan. Pemerintah
dalam hal pengambilan keputusan
masih secara dominan menguasai
sehingga
masyarakat
kurang
diberdayakan. Masyarakat dipaksa atau
disuruh untuk mengerjakan proyekproyek yang direncanakan pemerintah.
Sehingga masyarakat kurang dapat
memahami konsep desa wisata yang
berbasis agrowisata. Hal ini berdampak

pada kurangnya daya saing yang
dimiliki oleh masyarakat sehingga
penguasaan sumberdaya dikuasai oleh
pihak luar. Dengan tidak ikut sertanya
masyarakat dalam pengelolaan usaha di
kawasan desa wisata menyebabkan
masyarakat desa masih berada di garis
kemiskinan karena tidak bisa bersaing.
Pengembangan Wilayah
Dalam hal pengembangan
wilayah peran dan tanggung jawab para
stakeholder harus jelas sehingga nanti
tidak adanya kegiatan yang saling
tumpangtindih. Berikut rencana peran
masing-masing
stakeholder
yang
bertujuan untuk pembangunan yang
berkelanjutan. Peran dan kewenangan
masing-masing pemangku kepentingan
sebagai
berikut.
Peran
dan
Kewenangan Pemerintah, yaitu (1)
melakukan pembinaan kualitas produk
dan kemasan kerajinan dan kuliner khas
desa sebagai unsur kenangan wisata; (2)
melakukan penataan dan konservasi
lingkungan fisik kawasan yang menjadi
ciri khas desa wisata; (3) melakukan
perbaikan/pengadaan
infrastruktur
persampahan dan sanitasi; (4)
melakukan gerakan masyarakat untuk
mewujudkan sapta pesona; (5)
melakukan pembuatan informasi dan
fasilitas kepariwisataan; (6) melakukan
perbaikan/peningkatan kualitas ruang
publik, pedestrian dan landscape
desa/lingkungan untuk mendukung
sapta pesona; dan (7) dukungan
pemberdayaan terhadap kelompok
sadar wisata (Pokdarwis) dalam
pelestarian lingkungan pariwisata
(kawasan Hutan, dan sawah).
Peran dan Kewenangan Swasta
(Investor, Perguruan Tinggi, LSM,
pelaku pariwisata lainnya), yaitu (1)
melakukan promosi terintegrasi antar
pengelola
objek
wisata
untuk
menggerakkan kunjungan wisatawan
antar objek wisata; (2) pembuatan dan
pemasaran paket-paket wisata yang
kompetitif yang terjangkau masyarakat;

(3) pelatihan kewirausahaan, pelatihan
keterampilan individual terkait usaha di
bidang pariwisata (pelatihan bahasa
Inggris, pelatihan hospitality, pelatihan
mengenal budaya, dan karakteristik
wisatawan dalam dan luar negeri); (4)
pengembangan
kelompok
usaha
bersama
masyarakat;
dan
(5)
menjalankan
bisnis
perhotelan,
restoran, suvenir, dan lain-lain.
Peran masyarakat Lokal, yaitu
(1) menyediakan sebagian besar atraksi
sekaligus menentukan kualitas produk
wisata. Pengelolaan lahan pertanian
secara tradisional, upacara adat,
kerajinan tangan dan kebersihan
merupakan beberapa contoh peran
yang memberikan daya tarik bagi
pariwisata; (2) pelaku budaya, misalnya,
kesenian yang menjadi salah satu daya
tarik wisata; dan (3) penyedia
akomodasi dan jasa pemandu wisata,
penyediaan tenaga kerja, produk
makanan khas, kerajinan lokal,
kesenian lokal, dan sebagainya.
Strategi Pengembangan Wilayah
Berbasis Agrowisata di Desa
Linggarjati
Desa Linggarjati memiliki
potensi wisata yang sangat besar untuk
pengembangan kedepannya. Sehingga
sistem pengelolaan yang tepat perlu
dilaksanakan, model pembangunan
berbasis masyarakat merupakan pilihan
yang
tepat
dalam
mengelola
sumberdaya yang ada. Hal ini
disebabkan oleh masyarakat yang
diberikan peluang yang sebesarbesarnya untuk berpartisipasi dalam
pembangunan desa wisata. Sehingga
kegiatan yang berlangsung dapat sesuai
dengan kemauan masyarakat dan dapat
berlanjut karena hasilnya kembali
kepada masyarakat. ). Conyers (1994)
menyebutkan ada 3 (tiga) alasan utama
mengapa
partisipasi
masyarakat
memiliki peran penting, antara lain:
(1) partisipasi masyarakat merupakan
suatu alat guna memperoleh

informasi
mengenai
kondisi,
kebutuhan dan sikap masyarakat
setempat, jika hal tersebut tidak ada
maka proyek-proyek akan gagal;
(2) mayarakat akan lebih mempercayai
proyek
atau
program
pembangunan
saat
merasa
dilibatkan dalam sebuah proses
persiapan dan perencanaannya,
dikarenakan mereka mengetahui
seluk beluk proyek tersebut dan
muncul rasa memiliki pada proyek
tersebut;
(3) adanya
anggapan
bahwa
keterlibatan masyarakat dalam
pembangunan merupakan suatu
hak demokrasi.
Penggunaan strategi partisipasi
masyarakat didasarkan pada asumsi
kondisi dan kepentingannya. Menurut
Burke dalam Rustiadi et al. (2011),
terdapat tiga macam strategi partisipasi,
yaitu diantaranya:
1. Terapi
pendidikan
(education
Therapy)
Strategi ini lebih memusatkan pada
peningkatan
kemampuan
masyarakat
secara
individu.
Kegiatan ini dilakukan dalam
bentuk pelatihan atau pembelajaran
bagi masyarakat.
2. Kemitraan (Cooptation)
Bentuk lain dari partisipasi
masyarakat adalah melibatkan
masyarakat dalam organisasi untuk
mengantisipasi kendala yang ada.
Dalam hal ini masyarakat tidak
dipandang sebagai alat untuk
mencapai
tujuan,
melainkan
sebagai
mitra
yang
akan
membentuk organisasi dalam
mencapai tujuan, strategi ini
digambarkan
sebagai
proses
menarik elemen ke dalam kebijakan
atau
kepemimpinan
suatu
organisasi serta sebagai alat untuk
mengalihkan
atau
mencegah
ancaman yang dapat menganggu
keberadaannya.

3. Kekuatan masyarakat (community
power)
Kebanyakan organisasi masyarakat
menggunakan kekuasaannya untuk
mempengaruhi
keputusan
masyarakat. Ada dua strategi
partisipasi
masyarakat
yang
didasarkan pada teori kekuataan
masyarakat, keduanya dirancang
untuk memanfaatkan kekuataan
masyarakat, yaitu : merekrut
individu yang memiliki pengaruh
dalam menganugerahkan kuasa dan
pengaruh pada pengaruh organisasi
tersebut, dan menganugerahkan
penghargaan pada anggotanya.
SIMPULAN
Perencanaan
wilayah
partisipatif menjadi pendekatan dalam
pengembangan kawasan pariwisata.
Dimana perencanaan partisipatif tidak
hanya dilakukan pada salah satu proses
dalam
pembangunan,
namun
merupakan kegiatan yang menyeluruh
mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan/monitoring,
sampai
evaluasi. Unsur-unsur yang terkait
dalam hal perencanaan partisipatif
yaitu paradigma pembangunan dalam
hal people centered development,
pembangunan yang berkelanjutan,
pemberdayaan
masyarakat,
pengembangan
wilayah,
dan
kelembagaan yang berkelanjutan.
Perencanaan
wilayah
partisipatif merupakan salah satu
pendekatan terbaik karena dapat
merangkul
semua
pihak
atau
stakeholder yang terlibat dengan
berdialog
dan
menyampaikan
keinginan masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Budiarti SD. 2013. Pengembangan
Agrowisata Berbasis Masyarakat
Pada Usahatani Terpadu Guna
Meningkatkan Kesejahteraan Petani
Dan
Keberlanjutan
Sistem

Pertanian. Jurnal Ilmu Pertanian
Indonesia. 18(3):
Damanik, J., 2013, Pariwisata Indonesia
Antara Peluang dan Tantangan,
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Dewi MHU, Fandeli C, Baiquni M. 2013.
Pengembangan Desa Wisata Berbasis
Partisipasi Masyarakat Lokal di Desa
Wisata Jatiluwih Tabanan, Bali.
Kawistara 2: 117-226.
Kartasasmita, G., 1997, Pemberdayaan
Masyarakat: Konsep Pembangunan yang
Berakar pada Masyarakat, Jakarta :
Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional.
Lemhannas, 1993, Wawasan Nusantara
dan Ketahanan Nasional, Pendukung
GBHN 1993, Jakarta.
Ul Haq, Mahbub. 1983. Tirai Kemiskinan.
Tantangan-tantangan untuk Dunia Ketiga.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Nuryanti, Wiendu. 1993. Concept,
Perspective
and
Challenges,
makalahbagiandariLaporanKonferensiInte
rnasionalmengenaiPariwisataBudaya.Ga
djahMada
University
Press;
Yogyakarta.
Rustiadi, E, Saefulhakim, S, Panuju,
DR. 2011. Perencanaan Pengembangan
Wilayah. Edisi Kedua. Bogor (ID):
Laboratorium
Perencanaan
Pengembangan Sumberdaya Lahan
Jurusan Tanah Fakultas Pertanian
IPB.
Sulistiyani, A.T., 2004, Kemitraan dan
ModelModel
Pemberdayaan,
Yogyakarta: Gava Media.
WCED. 1988. Hari Depan Kita Bersama.
Jakarta
LAMPIRAN
Tulisan Studi Kasus
Pengembangan Desa Wisata Berbasis
Partisipasi Masyarakat Lokal Di Desa
Wisata Linggarjati Kuningan
Oleh: Ade Jafar Sidiq & Risna
Resnawaty,