Jurnal Parafrase 2015 Wanita Wanita Perk

WANITA-WANITA PERKASA PENCIPTA DUNIA
DALAM TEKS SERAT MURSADA

Joko Susilo
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Surel aljokosusilo@gmail.com

Abstrak
Serat Mursada mengandung teks tentang kisah Raden Mursada putra mahkota
kerajaan Ngerum yang mampu melindungi, memberi contoh perilaku dan menata kehidupan
masyarakatnya. Dalam perjalan pencarian jati dirinya Raden Mursada melintasi dan berbaur
dengan berbagai lingkungan sosial masyarakat dengan karakter yang bermacam-macam. Dari
berbagai karakter masyarakat tersebut yang akhirnya membentuk karakter dan kharisma
Raden Mursada yang kelak akan menjadi pemimpin negeri Ngerum. Pembentukan
kepribadian Raden Mursada tersebut banyak didapatkan dari peran para tokoh wanita. Dalam
esai di bawah ini akan diungkapkan atau dibahas tentang peran setiap tokoh wanita
berdasarkan kekuatannya masing-masing dalam menjalani hidup di masyarakat yang pada
akhirnya mempengaruhi dan membentuk perilaku dan sikap Raden Mursada. Dengan
menelaah teks Serat Mursada menggunakan teori feminis sampai paradigma sosiologi akan
diungkap bentuk perwujudan dunia dalam lingkungan masyarakat kerajaan Ngerum.
Kata-kata kunci: Wanita, Masyarakat Ngerum, Feminis

1. Pengantar
Serat Mursada merukapan sebuah karya sastra Jawa baru berbentuk tembang macapat.
Serat Mursada mengisahkan tentang perjalanan keilmuan Raden Mursada sejak masih bayi
sampai ia dewasa. Dalam perjalanan Raden Mursada yang melewati hutan, lautan, pesisiran,
desa, kota, dan juga terlibat dalam suatu peperangan, ia menemukan berbagai macam
pengetahuan, kesaktian, senjata yang membentuk karakter dan kharismanya. Karakter dan
kharisma tersebut sangat berguna ketika kelak ketika ia memimpin kerajaan Ngerum.
Raden Mursada adalah putra mahkota kerajaan Ngerum yang dipimpin oleh raja Sri
Narapati prabu Ngerum. Wilayah Ngerum melipiti daratan yang masih mempunyai hutan
yang luas dan lautan yang juga sangat luas, masyarakatnya bermatapencaharian sebagai
petani, nelayan, pedagang, pencari kayu di hutan dan sebagainya. Kerakter Raden Mursada
dibentuk mulai dari lingkungan kerajaan, lingkungan masyarakat petani, lingkungan

masyarakat nelayan dan seluruh perihal peristiwa sosial yang ditemuainya dalam
perjalannannya tersebut.
Di dalam kisah perjalanan Raden Mursada terdapat beberapa tokoh wanita
mempunyai kekuatan dan akhirnya mengantarkan dan menunjukkan jalan bagi Raden
Mursada mencapai tujuan keilmuan yang sempurna. Tokoh-tokoh tersebut adalah Dewi
Sukarsi, Gandruh Sari, Dewi Suwarsi, Nyai Nambi, Dewi Sumila dan Dewi Sundari.
Para wanita di atas adalah tokoh-tokoh yang menentukan perjalanan Raden Mursada.

Raden Mursada yang masih kecil mendapatkan tauladan sikap ketulusan dari ibunya yaitu
Dewi Sukarsi. Selanjutnya di tengah perjalannya Raden Mursada belajar tentang bercocok
tanam, berdagang dan belajar menangkap ikan dari Nyai Nambi. Ketika Raden Mursada
dewasa, ia mendapatkan kesaktian ilmu yang sempurna adalah dari Gandruh Sari. Para
wanita di atas mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi, menentukan bahkan mendominasi
suatu keputusan. Kekuatan wanita untuk berpengaruh dalam menentukan suatu sikap tersebut
bukan semata-mata hanya pada saat keputusan tersebut diambil melainkan suatu proses yang
panjang dari roses adaptasi, pemaknaan kembali, hingga strategi diplomasi.
Tokoh-tokoh wanita dalam teks Serat Mursada mempunyai kekhshan masing-masing,
sebagai pembangun karakternya sebagai manusia wanita. Sebagai contoh, dikisahkan
Gandruh Sari, ia adalah wanita yang mempunyai keberanian tinggi keberanian dalam bentuk
fisik seperti berperang, juga mempunyai keberanian dalam hal asmara. Contoh kedua Dewi
Sundari adalah wanita yang cerdas, ia berhasil mempengaruhi pikiran para pembesar di
kerajaan Ngerum demi memenuhi eksistensinya sebagai manusia. Beberapa tokoh wanita
yang lain juga mempunyai karakter dan kekuatan yang menarik untuk diulas dan ulasan lebih
lengkapnya pada pembahasan di bawah nanti.
Kekuatan wanita yang disajikan di dalam teks Serat Mursada diharapkan mampu
menunjukkan ketangguhan para wanita untuk menyangkal persepsi bahwa wanita adalah
kanca wingking (teman di belakang saja), menyangkal bahwa kata ‘wanita’ adalah wani +
ditata (berani ditata: hanya mengikuti aturan yang diciptaka para pria), bahwa wanita

bukanlah sekedar disumur, dikasur,didapur, wanita bukan sekedar masak, macak, manak
(memasak, berdandan, beranak). Para wanita tersebut mampu menciptakan irama kehidupan
sosial yang ada di lingkungannya. Mereka menciptakan pola irama kehidupan tokoh utama
Raden Mursada yang merupakan penggerak peristiwa dalam dunia teks Serat Mursada.

2. Tokoh, Feminis dan Lingkungan Sosial

Pada ulasan di bawah ini, telaah akan dilakukan dengan memanfaatkan teori
Feminisme Liberal dan Feminisme Eksistensialis. Pada tahapan langkah kerjanya pertama
dengan cara menafsirkan penokohan (tokoh-tokoh wanita) pada teks Serat Mursada.
Selanjutnya dengan memanfaatkan teori Feminis Liberal dan Feminisme Eksistensialis
diupayakan akan dapat disajikan wujud keberadaan sampai kekuatan para tokoh wanita
didalam kehidupan sosial pada dunia teks Serat Mursada. Tentang simbol-simbol kebudayaan
Jawa atau macapatnya dibantu dengan beberapa referensi tentang budaya Jawa. Akhirnya
semuanya diwadahkan pada paradigma Sosiologi Sastra.
Swingewood dalam Faruk (2011: 1) mendefinisikan sosiologi sebagai studi yang
ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga
dan proses-proses sosial, sedangkan Ritzer dalam (Faruk, 2011: 2) menganggap sosiologi
sebagai suatu ilmu pengetahuan yang multi paradigma. Kharisma Raden Mursada dalam
perannya pada masyarakat negeri Ngerum telah membentuk perilaku sosial masyarakat dalam

menjalankan kehidupannya sehari-hari. Dalam hal ini kharisma Raden Mursada tidaklah
muncul secara tiba-tiba, namun melalui proses yang panjang dan dalam setiap proses yang
dilaluinya tersebut akan diungkapkan peran para tokoh wanita membentuk karakter dan
kharisma Raden Mursada.
Karya sastra diciptakan oleh pengarang dengan dasaran pengalaman sosial yang
terjadi di kehidupannya beserta cara pandangnya bahkan ideologinya. Endapan-endapan
filsafat masa lalu yang diterima oleh pengarang mungkin dengan sikap kritisnya
mempengaruhi karya sastra yang diciptakan pengarang. Selanjutnya masyarakat menerima
karya tersebut, pada awalnya sebagai kebutuhan seninya yang akhirnya bisa sebagai solusi
suatu permasalahan dan selanjutnya bisa membentuk suatu cara pandang baru terhadap dunia
yang selama ini dangkal dan monoton. Swingewood mengatakan bahwa hadirnya karya sastra
bukan sekedar mempersoalkan pandangan dunia yang baru, namun juga dapat menghadirkan
konvensi-konvensi sastra baru bahkan bisa sebagai penolakan terhadap konvensi-konvensi
yang telah ada sebelumnya. Teks Serat Mursada dapat ditempatkan sebagai sebuah karya
yang dapat sebagai referensi pandangan dunia dalam masarakat, baik masa diciptakannya
selanjutnya nilai-nilai universalnya juga berguna bagi masyarakat masa kini.

3. Karakter dan Peran Para Tokoh Wanita

Masa kanak-kanak Raden Mursada hidup di lingkungan istana kerajaan Ngerum. Pada

masa itu kondisi politik kerajaan Ngerum sedang tidak stabil patih, para menteri dan
punggawa kerajaan sedang berusaha menggulingkan kekuasaan Sri Narapati raja kerajaan
Ngerum. Dalang dari gerakan perebutan kekuasaan itu adalah istri ke-2 Sri Narapati yaitu
Dewi Sundari. Dewi Sundari dengan kecerdikannya berhasil mempengaruhi para pejabat
kerajaan, sehingga sang permaisuri (Dewi Sukarsi) dan putranya (Raden Mursada)
disingkirkan dari kerajaan, diantar ke hutan kemudian sang permaisuri dibunuh. Raden
Mursada dan pengasuhnya yaitu Kyai Masghut dan Kyai Masirrut dibiarkan hidup dan
berkelana ke pelosok negeri. Bermula dari pengalaman kehidupan sosial istana, selanjutnya
menauladani sikap ibunya Dewi Sukarsi, selanjutnya Raden Mursada berjumpa dengan
beberapa tokoh wanita yaitu Nayi Nambi yang menauladani tentang kehidupan masyarakat
agraris, maritim sampai kehidupan jual beli di pasar ikan. Tokoh wanita terakhir yang sangat
berpengaruh bagi Raden Mursada adalah Dewi Gandruh Sari, yang mengajarkan tentang ilmu
kanuragan, cinta kasih, persenjataan perang dan sebagainya.
Berikut adalah pembahasan tiap tokoh wanita yang mempunyai peran penting dalam
pengalaman hidup Raden Mursada:
a. Dewi Sundari
Dewi Sundari adalah wanita yang cerdas, ia mampu mengatur siasat untuk membunuh
permaisuri dan menyingkirkan putra mahkota. Ia mengubah persepsi raja, patih dan para
prajurit bahwa Dewi Sukarsi yang awalnya selalu disanjung diubah menjadi tampak jahat dan
harus dijatuhi hukuman mati:

dadi ature gununggung, Ramandika lajêng ruktik, animbali kakang jinêmman
kangaran Arja Jêngkeling, ken mêjahi Ibu andika, dinira Sri Narapati. (Pupuh VI :
Salanget : 6)
(jadi tingkahnya mengemparkan, ayahmu kemudian terhasut, memanggil prajurit
pengawal, yang namanya Arya Jengkeling, disuruh membunuh Ibu anda, oleh dia Sri
Narapati)
Raden Mursada yang masih anak-anak tidak mengetahui bahwa siasat Dewi Sundari
adalah suatu kejahatan. Yang ia tahu adalah ia ditugaskan mengikuti ibunya ke hutan,
selanjutnya ia harus melanjutkan mencari obat berupa tirta amerta suci bagi Dewi Sundari
yang kala itu menyamar sebagai orang yang sakit. Raden Mursada yang mengamati perilaku
Dewi Sundari di istana setiap hari, kelak akan menyadari tentang cara berfikir Dewi Sundari
dan bisa memanfaatkannya dengan cara positif. Cara berfikir yang diambil Raden Mursada
adalah cara membangun hubungan dan membagi tugas bagi para penghuni istana, sehingga
seluruh penghuni istana merasa nyaman dengan tugasnya masing-masing. Ketika dewasa dan

Raden Mursada telah menjadi raja maka ia sangat dicintai oleh rakyat dan para abdi istana,
sehingga segala keputusannya dituruti dan membahagiakan seluruh rakyatnya:
tua num jalu istri, atur maring sang nata, papangan kathah warnane, duwe wong duwe
bêndha, pan samya kedhêp sadaya, wedi asih maring sang prabu, pan anut
saparintahyna (pupuh XV: Asmaradana12)

(tua muda pria wanita, menghaturkan persembahan kepada Sang Nata, makanan yang
banyak jenisnya, orang yang mempunyai kekayaan benda, semuanya tunduk, takut dan
mengasihi kepada sang prabu, menurut kepada perintahnya)
b. Dewi Sukarsi
Sikap cinta kasih Raden Mursada terhadap rakyat dan seluruh isi negerinya
menauladani sikap ibunya yaitu Dewi Sukarsi. Ketika Raden Mursada menuju hutan
bersama ibunya ia diajarkan tentang sikap seorang manusia dalam berperilaku hidup
bercinta kasih dengan sesama manusia, hidup bersama seluruh penghuni hutan demi
mencapai kesejatian hidup di hadapan Sang Pencipta:
Pan wus lami têka ing wana, burung alas sarwi cengak ningali,mambu gandani
Kusuma Ayu, kidang lawan mênjangan, unta jaran kalawan sinuk puniku, apan sami
kasungsung ganda, melu ngiring maring Sang Puttri. (pupuh II Pangkur : 3)
(Ketika sudah lama di tengah hutan, burung di hutan banyak yang bersiul dan melihat
menghirup aromanya Kusuma Ayu, kijang dan rusa, unta kuda dan burung itu,pada
saat bersamaan terbuai oleh aroma,mengikuti mengiring Sang Putri
Dewi Sukarsi adalah perempuan yang mempunyai kharisma, seluruh alam takjub,
terpesona ketika menghirup harum nafasnya. Dewi Sukarsi sebagai seorang ibu yang
sempurna, membuatnya tampak bercahaya, Dewi Sokarsi karo negtika dya wung alus (Dewi
Sukarsi dengan cahaya terlihat gemerlap halus). Dari tauladan tersebut Raden Mursada
mempunyai kecintaan terhadap seluruh unsur kehidupan. Dalam ulasan dibawah nanti akan

ditunjukkan pula kisah ketika Raden Mursada berjumpa dengan seekor ikan besar dan ganas
yang akhirnya ia kalahkan, namun Raden Mursada tidak membunuhnya, ikan tersebut
akhirnya menjadi sahabat yang baik.

c. Nyai Nambi
Nyai Nambi langkung bungah, gining apati nandur ron langkung ndadi,gagai
tinandur tulus, pare jagung kaccangan,Kaki Nambi kalangkung ta bunganipun, sarta
akwih wung dagang prapta,samya nganyang jagung pare (Pupuh II Pangkur : 35)
(Nyai Nambi sangat bahagia,oleh kesungguhan menanam daun sangat besar, segala
yang ditanam tumbuh, padi jagung kacang-kacangan, Kakek Nambi lebih bahagia lagi
Serta banyak para pedagang datang, semua menawar jagung dan padi)

Wus busên dinira nawa, Raden nulya umanjing, dhuhmatêng pinggir sagara, pan
bengra wêssi koning, pan abrat satus katea pakan wêdhus ta têlu, rinangkêp lawan
pajêalin,udakara agêngngi satirisan (Pupuh III Sinom : 1)
(Sudah bosan beliau pada semuanya, Raden Mursada pergi, ke tepi lautan, Membawa
senjata wêsi kuning, yang beratnya seratus kali makanan kambing tiga, dirangkap
dengan menjalin, terbuka besarnya satu depa)
Ketika Raden Mursada ditinggal mati oleh ibunya, ia diangkat anak oleh Nyai Nambi.
Nambi adalah tokoh yang mengajarkan kepada Raden Mursada tentang ilmu bercocok tanam

dan berdagang. Oleh asuhan Nyai Nambi Raden Mursada berhasil menanam berbagai
tanaman pangan dan semua menhasilkan panen yang bagus. Raden Mursada juga diajari
tentang cara menawarkan hasil pertaniannya kepada para pedagang di pasar.

d. Gandruh Sari
Pan nranira ayu linuwi, Gandruh Sêkkar sêmbada lan dêdêkira, gumilang-gilang
cahyani, esêmmi pait madu, rima nira panjang ya minangsi, alesi lir tanggal pisan,
lêngênyah aguling gapung, lambini manggis karêngat, Gandruh Sari, bathuki nila
cêndhani, wajanyah anglir kêncana,
Wadhane duren sajurit, pan gumêbyar puddhanyah nera juêmman, kadya gandiwa
astani, libayani kadya putung, nyata lamun ayuni kuwi, dhaddanya muntêl kilar-kilar,
pambayuni dinulu, murukku kadya damar, Gandruh Sêkkar, pan dadi awuring wanga,
wajanya kang duwi karma (pupuh V: Dhandhanggula :2- 3)
Yang cantiknya luar biasa, Gandruh Sekar berwibawa dan tingggi, gemerlapan
cahayanya, senyumnya pahit madu, rambutnya panjang yaminangsi, alisnya tanggal
sepisan, lengannya aguling gapung, bibirnya manggis karêngat, Gandruh Sari,
keningnya nila cendhani, giginya anglir kencana
Badannya duren sajurit, yang bersinar begitu elok ketika sedang berucap, seperti
busur tangannya, jika berjalan tangannya seperti mau lepas, nyata sangat unggul
kecantikannya, dadanya menggumpal menyala-nyala, ketika memandang, sinarnya

seperti damar, Gandruh Sekar, yang jadi sahabat raga, giginya yang mempunyai
kekuatan karma

ki kaula nama Gandruh Sari, putranipun jeng Nabi Suliman, punika kaula wiyussi,
ing Asrak nagaraning sun, pramilani kaula prapti, semmonika tatamba, kasmaran
maring wung Bagus, tak burung mati kidanan, awak kaula, lamun tan dika nambani,
pasthi lara kaula. (Pupuh V Dhandhanggula: 3)
(Ini saya bernama Gandruh Sari, putrinya nabi Sulaiaman, ini saya jelaskan, di Asrak
negara saya, karenanya saya datang, untuk mencari obat, jatuh cinta kepada eangkau
orang tampan,jika gagal mati gila, badanku ini, seandainya engkau tidak
menyembuhkan, pasti saya akan sakit”

Pan nagara asal pêttêng dadi padhdhang, kasuran Gandruh Sari, setan bêlis sirna
sadaya, wong yamani ingkang pêjah, dining titis banyu urip, waluya sadaya, ingkang
mati samya tangi. (Pupuh XIV : Durma : 36)
(negara yang awalnya gelap jadi terang, dikalahkan Gandruh Sari, setan dan iblis sirna
semuanya, orang yang mati, ditetesi air kehidupan, sehat bangkit semuanya, yang mati
bangun semuanya)
Ketika pertama kali Gandruh Sari melihat Raden Mursada yang tertidur, Gandruh Sari
merasa mencintai Raden Mursada. Dengan penuh percaya diri Gandruh Sari membangunkan

Raden Mursada dan mengatakan bahwa ia jatuh cinta kepada pemuda itu. Selanjutnya ketika
Gandruh Sari sudah menjadi istri Raden Mursada, ia membantu suaminya berperang
menghancurkan musuhnya yaitu para prajuritnya Raja Ikram yang dibantu makhluk halus.
Gandruh Sari juga mempunyai kemampuan mengobati para prajurit dan rakyatnya Raden
Mursada yang sedang terluka.

4. Macapat, Wanita dan Kehidupan Sosial
Pertama maskumambang melambangkan kejadian janin atau bayi yang masih di
dalam rahim ibu; kedua mijil berarti kelahiran ke alam dunia; ketiga kinanthi berasal dari kata
“kanthi” artinya orang berjalan awal menjalani hidup di dunia; keempat sinom “sinoman”
yang berarti orang yang masih muda, seorang yang masih muda yang bergairah dalam
memupuk mencari ilmu pengetahuan; kelima asmaradana artinya rasa cinta, cinta seorang
manusia remaja bermula cinta terhadap sesama dilanjutkan cinta kepada lingkungan dan
puncaknya kepada Sang Pencipta; keenam gambuh “jumbuh” yang berarti cocok. Jika sudah
didasari rasa cocok antasa pria dan wanita maka dilanjutkan ke pernikahan; ketujuh
dhandhanggula / artati: kehidupan yang manis, yang menggambarkan orang yang hidupnya
sudah kecukupan, tanpa kekurangan sandang pangan; kedelapan durma: berasal dari kata
“darma” atau bakti. Orang yang hidupnya sudah tercukupi, maka mempunyai kewajiban
menolong sesama; kesembilan pangkur berasal dari kata “nyipatake kang mungkur” yang
berarti menghindari sifat nafsu angkara murka. Tembang Pangkur diciptakan untuk manusia
yang telah mengalami hidup secukupnya didunia, yang terbuka mata. Hidup ini tidak
mengumpulkan dunia saja. Suatu waktu akan ditinggalkan; kesepuluh megatruh dari kata
“megat ruh” yang berarti bercerai antara raha dan ruh; kesebelas pucung / pocung manusia
jika sudah mati kemudian dibungkus kain putih.
Dalam teks Serat Mursada banyak ditulis menggunakan metrum Sinom.

Sinom

dijabarkan menjadi kata “sinoman” yang berarti orang yang masih muda. Orang muda itu
wajib mencari ilmu untuk persiapan kehidupan berumah tangga. Wawasan tradisional tentang

belajar (mencari ilmu) mempunyai pengertian membangun asosiasi dari pengalaman guna
mendapatkan pola perilaku baru dan juga pemikiran yang baru. Tahap paling penting dalam
evolusi belajar adalah timbulnya kenikmatan dan kepedihan sebagai pengalaman mental.
Sinom juga berarti (pupus) daun muda atau rambut halus di dahi wanita, yang
mengandung arti bahwa dakwah yang menggembirakan akan meresapkan rasa agama, yang
merupakan hiasan bagi hidup manusia dan menjadikan manusia yang penuh harapan
(optimis) dan tampak awet muda, karena bersih lahir batin. Olah rasa dapat dilakukan dengan
baik jika didukung oleh sikap batin yang tepat, yakni sikap batin untuk menguasai nafsunafsu dan pamrih. Manusia sebaiknya tidak mengikatkan diri pada dunia, manusia hendaknya
membebaskan hatinya bagi dunia. Selain itu kontrol diri adalah sangat penting bagi kaum
remaja. Kontrol yang sempurna berarti menjauhkan diri dari segala bentuk pergaulan yang
kasar (Handayani dan Novianto, 2004: 61-63). Karakter dasar perilaku dan keilmuan Raden
Mursada pada awalnya dibentuk oleh Dewi Sukarsi dan dilanjutkan Nyai Nambi. Pada
perjalanan selanjutnya ia mendapatkan pelajaran yang sempurna dari Gandruh Sari.
Sebagai seorang remaja yang masih penuh semangat Raden Mursada dapat
mengendalikan diri, ketika dia memancing dan mendapatkan raja ikan, ia menyadari bahwa
itu adalah ujian. Maka dengan kesabarannya dia tahu bahwa ikan besar itu bukanlah ikan
buruan yang patut dimakan, tetapi ada hikmah terdalam yang akan membantu hidupnya.
Banyak pedagang yang ingin membelinya, dengan tawaran paling tinggi pun ikan tersebut
tidak diberikan. Akhirnya ikan tersebut dilepaskan kembali kelaut. Ternyata ikan tersebut
adalah Raja Mina sang raja ikan, kelak dia akan menolong Raden Mursada ketika mencari
Tirta Pulayat di pulau Salaoka sebagai obat bagi Raja Rum. Dalam teks tersebut akhirnya
juga terdapat pesan bagi umat, untuk selalu hidup selaras dengan alam, yaitu saling
menghormati seseama makhluk hidup dan menjaga kelestarian alamnya sebagai
sumberkehidupan yang telah dianugerahkan oleh Tuhan.
Selanjutnya

metrum

macapat

dhandhanggula

dalam

teks

Serat

Mursada

menyebutkan: pesona dan karakter Gandruh Sari adalah yang membawa Raden Mursada
mencapai keilmuan yang sempurna. Mengikuti karakter rasa gula yang manis, maka dalam
pupuh dhandhanggula di atas, melahirkan diksi dan pemaknaan yang berhubungan dengan
sifat manis. Pemaknaan pait madu adalah rasa manis yang dimiliki oleh madu menjadi kalah
manis oleh senyum Dewi Gandruh Sari, duren sajurit (durian sesisi) pemaknaannya adalah
durian yang merupakan buah yang sangat manis dan nikmat ketika tinggal satu sisi, yang
memakannya akan merasa kekurangan, jadi “badannya duren sajurit” maksudnya kehadiran

sosok Gandruh Sari akan meninggalkan kesan yang mendalam bagi seseorang yang
dijumpainya. Kemuliaan sikap asih Dewi Gandruh Sari adalah suri tauladan bagi umat.
Bakti seorang anak terhadap kasih dari ibunya, meninggalkan keprihatinan yang
mendalam, akan tetapi yang menarik adalah bukan dendam yang menjadi pengentasan
masalah perasaan tersebut, keutuhan doa dan laku prihatin itulah yang akan membuahkan
kebahagiaan yang lebih sempurna. Dalam pupuh salanget disebutkan keprihatinan Raden
Mursada terhadap masa lalunya yaitu ketika ibunya Dewi Sukarsi dibunuh karena fitnah yang
diucapkan oleh Dewi Sundari.Dalam Asta-Brata yang pertama adalah wanita, wanita atau
wanodya kangpuspita wanita nan cantik jelita adalah sumber keindahan yang tiada tara.
Keindahan ini tidak hanya tersirat dalam bentuk luarnya saja tetapi juga ada dalam jiwa
budinya keindahan dan wanita yang sempurna itu adalah simbol cita-cita manusia
(Herusatoto, 2008: 140).
Dalam masyarakat Jawa banyak ditemukan wanita Jawa justru dapat bertindak lebih
taktis dan rasional dalam situasi yang penuh tekanan terutama secara sosial. Hal ini
disebabkan karena posisi laki-laki ada di wilayah publik pantas diperhatikan pengamatan
bahwa biasanya kaum laki-lakilah yang paling merasa terdesak untuk selalu membawa diri
sesuai dengan tuntutan-tuntutan tata krama yang tepat. Dengan demikian, karena dia berada
diposisi publik maka laki-laki Jawa menanggung beban publik untuk selalu membawa diri.
Oleh karena itu, dalam situasi penuh tekanan sosial dia akan cenderung tidak spontan dan
kurang jernih. Adapun kaum wanita jauh lebih mudah mengikuti rasa spontannya mengingat
posisinya di wilayah privat sehingga ia cenderung bebas dan lebih jernih untuk
mengemukakan pendapatnya (Handayani dan Novianto, 2004:15-16). Bait-bait tembang di
atas menyimpan pengertian bahwa kekuatan wanita adalah luhur, bukan sekedar pelengkap
bagi kebutuhan pria. Wanita mempunyai kekuatan dalam menyelesaikan permasalahan para
pria. Dewi Sukarsi adalah sosok yang menjadi pegangan bagi pandangan hidup Raden
Mursada. Dewi Gandruh Sari adalah yang memberi jalan bagi Raden Mursada dan juga
menunjukkan tirta pulayat bagi yang dicari Raden Mursada.

5. Simpulan
Serat Mursada merupakan salah satu karya yang menggambarkan berbagai macam
aspek kehidupan dalam masyarakat, yaitu masyarakat negeri Ngerum. Dengan membangun
dunia sosial karya sastra mengajak pembaca untuk keluar dari situasi dan kondisi historis
mereka sendiri, kedirian mereka. Karya sastra mampu untuk mengemansipasikan pembaca

pada tatanan sosial yang dibangun oleh kekuatan sosial yang dominan, bahwa wanita adalah
wanita adalah peran nomor dua setelah pria. Apa bila karya sastra tercipta dari konvensikonvensi kode-kode kesuastraan dalam masyarakat, maka masyarakat pula yang akan dengan
mudah menerima lalu mendapatkan solusi kemudian memanfaatkannya.

Referensi:
-

Endraswara, Suwardi. 2010. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Cakrawala
Faruk. 2011. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai PostModernisme (Edisi Revisi). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Handayani, Cristina S. dan Ardian Novianto. 2004. Kuasa Wanita Jawa. Yogyakarta:
LKiS
Herusatoto, Budiono. 2008. Simbolisme Jawa. Yogyakarta: Ombak
Rosemarie, Putnam Tong. 1997. Feminist Thought : A Comprehensive Introduction.
USA : Westview Press
Teeuw, A. 1997. Sastera dan Ilmu Sastera. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Wellek, Rene dan Austin Wereen. 1985. Teori Kesastraan, Terjemahan. Jakarta:
Gramedia.