DAMPAK SOSIAL BUDAYA PARIWISATA docx

DAMPAK SOSIAL BUDAYA PARIWISATA

OLEH :
KELOMPOK 4
ARVINNI DWI OKTAVIA
DANNI ANGGRIANI
DESY INDAHSWARI
IBNU ABDUH REZA
UUN LESTARI
ANNA DARA
SUARDI
FARID AZIZ
FAHMIL ALAMSYAH

PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN
JURUSAN PERIKANAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014


BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Pariwisata adalah fenomena kemasyarakatan, yang menyangkut manusia, masyarakat, kelompok
organisasi, kebudayaan, dan sebagainya, yang merupakan objek kajian sosiologi. Namun demikian kajian
sosiologi belum begitu lama dilakukan terhadap pariwisata, meskipun pariwisata sudah mempunyai
sejarah yang sangat panjang. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa pariwisata pada awalnya lebih
dipandang sebagai kegiatan ekonomi, dan tujuan utama pengembangan pariwisata adalah untuk
mendapatkan keuntungan ekonomi, baik bagi masyarakat maupun daerah (negara).
Sebagaimana halnya dengan pembangunan secara umum, ada beberapa hal yang menyebabkan aspekaspek sosial-budaya atau aspek sosiologis kurang mendapat perhatian. Dengan mengikuti teori
modernisasi klasik, pembangunan di dunia ketiga umunya memberikan penekanan pada aspek ekonomi.
Paradigma dan program-program yang memfokuskan perhatian pada aspek ekonomi seringkali
bertentangan dengan program-program dengan penekanan aspek sosial. Dalam konflik kepentingan ini,
aspek sosial lebih sering dikalahkan. Masih dalam kaitan dengan focus ekonomi, salah satu tujuan setiap
program pembangunan adalah untuk mengejar produktivitas, dan dalam usaha ini manusia (tenaga
kerja) dipandang sebagai 'faktor produksi' yang mekanis, maka berbagai aspek sosial-budaya kurang
mendapatkan perhatian.
Faktor lain yang memarginalisasi aspek sosial-budaya adalah karena performance indicator (kinerja atau
keberhasilan) umumnya diukur secara statistika atau kuantitatif. Sementara itu sebagian besar dari isu

sosial-budaya bersifat kualitatif, sehingga tidak termasuk dalam indikator keberhasilan 'pembangunan'.
Dengan demikian, pelaksanaan pembangunan tidak memberikan perhatian serius terhadap aspek sosialbudaya ini. Apalagi aspek sosial budaya memang sangat sulit diukur. Kesulitan mengukur ini ditambah
lagi dengan kesulitan menentukan 'hasil' dari program-program dalam bidang sosial-budaya sangat sulit
diisolisasi, sehingga sulit juga untuk menentukan secara pasti adanya hubungan sebab-akibat (cause and
effect), apalagi dalam waktu yang singkat.
Belakangan aspek sosial-budaya mulai diperhatikan, karena berbagai alasan. Di kalangan ahli
pembangunan, mulai muncul wacana bahwa pembangunan tersebut sesungguhnya adalah untuk
manusia, sebagai suatu proses belajar (social-learning process), dan dalam hal ini manusia merupakan
pusat dan penggerak, sekaligus untuk siapa pembangunan tersebut dilakukan, sesuai dengan konsep
people-centred development (David Korten, 1987). Jadi manusia bukan sekedar 'faktor produksi'.
Berkembangnya kembali kajian ekologi manusia (human ecology) yang sangat menghargai pengetahuan
masyarakat lokal (ethnoscience) juga sangat mendorong perencana dan pelaksana pembangunan untuk
melihat aspek-aspek sosial-budaya secara lebih serius.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pariwisata Dalam Dimensi Sosial Budaya
Definisi pariwisata dari dimensi sosial budaya menitikberatkan perhatian pada:
1) upaya memenuhi kebutuhan wisatawan dengan berbagai karakteristiknya, seperti definisi yang

dikemukakan oleh Mathieson and Wall, 1982 (Gunn, 2002: 9) berikut ini:
“Tourism is the temporary movement of people to destinations outside their normal places of work and
residence, the activities undertaken during their stay in those destinations, and the facilities created to
cater to their needs”.
Definisi lainnya juga dikemukakan oleh Chadwick, 1994 (ibid) sebagai berikut:
“…identified three main concepts: the movement of people; a sector of the economy or industry; and a
broad system of interacting relationship of people, their needs, and services that respond to these
needs”.
2) interaksi antara elemen lingkungan fisik, ekonomi, dan sosial budaya, seperti yang dikemukakan oleh
Leiper, 1981 (Gartner, 1996: 6) yang mendefinisikan pariwisata sebagai
“an open system of five elements interacting with broader environments; the human element; tourists;
three geographical elements: generating region, transit route, and destination region; and an economic
element, the tourist industry. The five are arranged in functional and spatial connection, interacting with
physical, technological, social, cultural, economic, and political factors. The dynamic element comprises
persons undertaking travel which is to some extent, leisure-based and which involves a temporary stay
away from home of at least one night”.

Definisi lain yang lebih sederhana dikemukakan oleh Hunziker, 1951 (French, Craig-Smith, Collier, 1995:
3), yang mendefinisikan pariwisata sebagai berikut
“.. the sum of the phenomena and relationship arising from the travel and stay of non-residents, in so far

as the do not lead to permanent residence and are not connected with any earning activity”.
3) kerangka sejarah dan budaya, seperti yang dikemukakan oleh MacCannell, 1992 (Herbert, 1995: 1)
berikut ini :
“Tourism is not just an aggregate of merely commercial activities; it is also an ideological framing of
history, nature and tradition; a framing that has the power to reshape culture and nature to its own
needs”.
Definisi pariwisata dimensi sosial budaya yang memandang pariwisata secara lebih luas, di Indonesia
dikenal dengan istilah kepariwisataan (UU No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan), yaitu keseluruhan
kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul
sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat
setempat, sesame wisatawan, pemerintah, pemerintah daerah, dan pengusaha.
B. DAMPAK SOSIAL BUDAYA PARIWISATA
Secara teoritikal-idealistis, antara dampak sosial dan dampak kebudayaan dapat dibedakan. Namun
demikian, Mathieson and Wall (1982:37) menyebutkan bahwa there is no clear distinction between
social and cultural phenomena, sehingga sebagian besar ahli menggabungkan dampak sosial dan
dampak budaya di dalam pariwisata ke dalam judul 'dampak sosial budaya' (The sosiocultural impact of
tourism in a broad context).
Studi tentang dampak sosial budaya pariwisata selama ini lebih cenderung mengasumsikan bahwa akan
terjadi perubahan sosial-budaya akibat kedatangan wisatawan, dengan tiga asumsi yang umum, yaitu:
(Martin, 1998:171):

1. perubahan dibawa sebagai akibat adanya intrusi dari luar, umumnya dari sistem sosial-budaya yang
superordinat terhadap budaya penerima yang lebih lemah;
2. perubahan tersebut umumnya destruktif bagi budaya indigenous;
3. perubahan tersebut akan membawa pada homogenisasi budaya, dimana identitas etnik lokal akan
tenggelam dalam bayangan sistem industri dengan teknologi barat, birokrasi nasional dan multinasional,
a consumer-oriented economy, dan jet-age lifestyles.
Asumsi di atas menyiratkan bahwa di dalam melihat dampak sosial-budaya pariwisata terhadap
masyarakat setempat, pariwisata semata-mata dipandang sebagai faktor luar yang menghantam
masyarakat. Asumsi ini mempunyai banyak kelemahan. Sebagaimana dikemukakan oleh Wood (1984),
selama ini banyak peneliti yang menganggap bahwa pengaruh pariwisata dapat dianalogikan dengan
'bola-bilyard', di mana objek yang bergerak (pariwisata) secara langsung menghantam objek yang diam

(kebudayaan daerah), atau melalui objek perantara (broker kebudayaan). Dalam hal ini tersirat juga
asumsi bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang diam, tidur, atau pasif, dan seolah-olah kebudayaan
tersebut adalah sesuatu yang homogen. Pendekatan seperti ini mengingkari dinamika masyarakat
dimana pariwisata mulai masuk, dan tidak mampu melihat berbagai respons aktif dari masyarakat
terhadap pariwisata.
Wood selanjutnya menganjurkan, di dalam melihat pengaruh pariwisata terhadap masyarakat
(kebudayaan) setempat, harus disadarai bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang secara internal
terdeferensiasi, aktif, dan selalu berubah. Oleh karena itu pendekatan yang kiranya lebih realistis adalah

dengan menganggap bahwa pariwisata adalah 'pengaruh luar yang kemudian terintegrasi dengan
masyarakat', dimana masyarakat mengalami proses menjadikan pariwisata sebagai bagian dari
kebudayaannya, atau apa yang disebut sebagai proses 'turistifikasi' (touristification). Di samping itu perlu
juga diingat bahwa konsekuensi yang dibawa oleh pariwisata bukan saja terbatas pada hubungan
langsung host-guest. Pengaruh di luar interaksi langsung ini justru lebih penting, karena mampu
menyebabkan restrukturisasi pada berbagai bentuk hubungan di dalam masyarakat (Wood, 1984).
Secara teoritis, Cohen (1984) mengelompokkan dampak sosial budaya pariwisata ke dalam sepuluh
kelompok besar, yaitu:
1) dampak terhadap keterkaitan dan keterlibatan antara masyarakat setempat dengan masyarakat yang
lebih luas, termasuk tingkat otonomi atau ketergantungannya;
2) dampak terhadap hubungan interpersonal antara anggota masyarakat;
3) dampak terhadap dasar-dasar organisasi/kelembagaan sosial;
4) dampak terhadap migrasi dari dan ke daerah pariwisata;
5) dampak terhadap ritme kehidupan sosial masyarakat;
6) dampak terhadap pola pembagian kerja;
7) dampak terhadap stratifikasi dan mobilitas sosial;
8) dampak terhadap distribusi pengaruh dan kekuasaan;
9) dampak terhadap meningkatnya penyimpangan-penyimpangan sosial; dan
10) dampak terhadap bidang kesenian dan adat istiadat.
Sifat dan bentuk dari dampak sosial-budaya dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pitana (1999)

menyebutkan bahwa faktor-faktor yang ikut menentukan dampak sosial budaya tersebut adalah sebagai
berikut:
1) Jumlah wisatawan, baik absolute maupun relatif terhadap jumlah penduduk lokal;

2) Objek dominan yang menjadi sajian wisata (the tourist gaze) dan kebutuhan wisatawan terkait dengan
sajian tersebut;
3) Sifat-sifat atraksi wisata yang disajikan, apakah alam, situs arkeologi, budaya kemasyarakatan, dan
seterusnya;
4) Struktur dan fungsi dari organisasi kepariwisataan di DTW;
5) Perbedaan tingkat ekonomi dan perbedaan kebudayaan antara wisatawan dengan masyarakat lokal;
6) Perbedaan kebudayaan atau wisatawan dengan masyarakat lokal;
7) Tingkat otonomi (baik politik, geografis, dan sumberdaya) dari DTW;
8) Laju/kecepatan pertumbuhan pariwisata;
9) Tingkat perkembangan pariwisata (apakah awal, atau sudah jenuh);
10) Tingkat pembangunan ekonomi DTW;
11) Struktur sosial masyarakat lokal;
12) Tipe resort yang dikembangkan (open ataukah enclave resorts)
13) Peranan pariwisata dalam ekonomi DTW.
Lebih jauh Douglass mengetengahkan bahwa ada hubungan paralel antara tinggi dan makna dampak
sosial-budaya pariwisata dengan variabel-variabel di bawah:

1) Besarnya perbedaan sosial, ekonomi, dan budaya antara wisatawan dengan masyarakat lokal.
2) Perbandingan antara jumlah wisatawan dengan masyarakat lokal.
3) Distribusi dan kenampakan dari pembangunan pariwisata.
4) Laju dan intensitas perkembangan pariwisata.
5) Tingkat kepemilikan investasi asing dan tenaga kerja asing di DTW.
Kesenian, Adat Istiadat, dan Agama
Dampak pariwisata terhadap bidang kesenian, adat istiadat, dan dampak keagamaan mungkin paling
menarik untuk dibahas, karena aspek budaya ini merupakan modal dasar pengembangan pariwisata di
sebagian besar DTW. Pengaruh terhadap aspek-aspek ini bisa terjadi secara langsung karena adanya
proses komoditifikasi terhadap berbagai aspek kebudayaan, atau terjadi secara tidak langsung melalui
proses jangka panjang. Sekularisasi berbagai tradisi di Thailand dikhawatirkan akan membawa dampak
yang sangat structural dalam jangka panjang karena masyarakat akan kehilangan collective memory, dan
interpretasi terhadap berbagai tradisi akan mengalami dekonstruksi.

Sementara banyak yang khawatir dengan terjadinya proses kehilangan otentisitas dalam kebudayaan
lokal, bagi Urry (1990), kebudayaan memang selalu beradaptasi, termasuk dalam mengahadapi
pariwisata, dan di dalam proses tersebut tidak berarti makna atau otentisitas otomatis hilang. Akulturasi
merupakan proses yang wajar dalam setiap pertemuan antarbudaya. Namun demikian ia juga mengakui
adanya komoditisasi dari berbagai aspek keagamaan, yang memunculkan konflik, karena pengaruh
pariwisata. Pendapat ini didukung oleh Burns and Holden (1995), yang melihat perubahan fungsi

kebudayaan, karena kebudayaan dipandang sebagai sumberdaya komersial. Mengenai hal ini, Cohen
(1988) melihat ada kesan terjadinya dampak negatif akibat adanya komoditisasi.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pariwisata telah merusak atau 'menghancurkan' kebudayaan
lokal. Pariwisata secara tidak langsung 'memaksa' ekspresi kebudayaan lokal untuk dimodifikasi, agar
sesuai dengan kebutuhan pariwisata. Ekspresi budaya dikomoditifikasi agar dapat 'dijual' kepada
wisatawan. Hal ini antara lain dikatakan oleh Britton (1977):
'Cultural expression are bastardized in order to be more comprehensible and therefore saleable to mass
tourism' (Britton, 1977: 272).
Untuk pariwisata Indonesia khususnya daerah Bali banyak yang mengkhawatirkan akan terjadi
pengikisan kebudayaan akibat kebudayaan asing yang menyerbu masuk yang menyebabkan terjadinya
pendangkalan terhadap kualitas kebudayaan Bali serta hilangnya bentuk-bentuk sosial yang telah
terbukti mampu menopang integritas masyarakat Bali.
Dalton (1990, dalam Picard, 1990: 26) mengatakan:
"Karena gejala komersialisasi, sebagai salah satu dampak pariwisata, telah menyusupi semua aspek
kehidupan orang Bali, maka jelaslah sekarang bahwa jalinan sosial dan keagamaan Bali yang begitu
kompleks, ketat dan rapi, akhirnya tercerai berai di bawah pengaruh pariwisata".
Namun tidak semua pengamat pesimis terhadap keberlanjutan kebudayaan Bali. Bahkan cukup banyak
ahli sosiologi dan antropologi yang melihat sebaliknya. McKean (1978: 94) menyatakan bahwa
perubahan sosial ekonomi sedang terjadi di Bali terjadi secara bergandengan tangan dengan usaha
konservasi kebudayaan tradisional. Pariwisata pada kenyataanya telah memperkuat proses konservasi,

reformasi, dan penciptaan kembali berbagai tradisi. McKean menilai bahwa pariwisata secara selektif
telah memperkuat tradisi lokal, melalui suatu proses yang disebut cultural involution (involusi
kebudayaan). Stephen Langsing (1974) secara tegas mengatakan bahwa lembaga tradisional Bali
mempunyai vitalitas dan kemampuan yang tinggi untuk beradaptasi terhadap kondisi-kondisi baru.
Dikatakannya bahwa dampak pariwisata di Bali adalah bersifat aditif, dan bukan substitutif. Artinya,
dampak tersebut tidak menyebabkan transformasi secara struktural, melainkan terintegrasi dengan
kehidupan tradisional masyarakat.
C. Dampak Sosial Budaya Pengembangan Pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi Kabupaten Lombok
Barat

Perkembangan pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi telah memberikan dampak positif dan negatif
terhadap sosial budaya masyarakat lokal. Dampak-dampak positif yang timbul antara lain; pelestarian
budaya, adat istiadat, cara hidup, kesenian, penyediaan lapangan pekerjaan, dan membangkitkan
kegiatan perekonomian masyarakat lokal. Sedangkan dampak-dampak negatif yang timbul antara lain;
terjadinya praktek prostitusi, kebiasaan mmeminum minuman beralkohol, dan tindak kejahatan.
·

Dampak Positif Sosial Budaya Pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi

Sehubungan dengan pengembagan pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi, secara umum

kebudayaan-kebudayaan masyarakat lokal seperti cara hidup, adat istiadat, agama, dan kesenian yang
diwariskan oleh nenek moyangnya masih terjaga kelestariannya. Artinya, walaupun sudah berbaur dan
dipengaruhi oleh budaya-budaya asing namun kebudayaan masyarakat tersebut masih dapat ditemukan
dengan mudah dan dilakukan secara rutin oleh masyarakat setempat, seperti upacara pernikahan,
perayaan hari besar nasional.
Dengan adanya pengembangan pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi juga ditemukan adanya
revitalisasi pada beberapa jenis budaya dan kesenian masyarakat lokal. Organisasi keagamaan “Remaja
Masjid” merupakan salah satu contoh budaya masyarakat lokal yang masih ditemukan di era
pengembangan pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi. Organisasi generasi muda muslim ini
melakukan berbagai kegiatan yang berhubungan dengan budaya dan agama seperti; pengajian, dakwah,
belajar membaca dan menulis Bahasa Arab, diskusi tentang isi dan makna yang tertera dalam kitab suci
Al-qur’an. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang sudah ditekuni oleh masyarakat lokal
sebagai upaya melindungi diri dari pengaruh budaya dari luar (industri pariwisata) dan telah dilakukan
sejak dahulu kala sampai sekarang. Organisasi kemasyarakatan ini juga menjadi media pemersatu antar
umat muslim di Nusa Tenggara Barat khususnya di Senggigi.
Organisasi kemasyarakatan lain yang melakukan kegiatan sebagaimana tersebut di atas adalah pondok
pesantren. Di pondok pesantren, para santri (orang yang secara khusus menuntut ilmu keagamaan di
pondok pesantren) diberikan pelajaran lebih terfokus pada keagamaan dan etika dalam kehidupan.
Pesertanya juga tinggal di dalam pondok pesantren sehingga tertanam rasa bakti kepada agama secara
lebih mendalam dan diberikan situasi yang nyata tentang bagaimana kehidupan muslim dan muslimah
yang sebenarnya yang diharapkan setelah keluar dari pondok pesantren bisa diterapkan dalam
kehidupan masyarakat.
Model pendidikan yang diberikan di organisasi pemuda Remaja Masjid dan Pondok Pesantren
merupakan cara pembelajaran budaya dan agama yang sangat efektif karena sesuai dengan karakteristik
budaya masyarakat lokal. Sehubungan dengan pengembangan pariwisata di Objek Wisata Pantai
Senggigi, beberapa industri pariwisata seperti hotel dan restoran mendukung kegiatan-kegiatan Remaja
Masjid dan Pondok Pesantren tersebut karena dapat dijadikan sebagai salah satu daya tarik wisata.
Dukungan terhadap kegiatan pelestarian budaya dan agama di kedua organisasi kemasyarakatan
tersebut diwujudkan dalam pemberian sumbangan secara material dalam bentuk uang secara berkala
untuk menunjang kegiatan yang dilaksanakan. Bentuk lain sumbangan dari industri pariwisata terhadap
upaya pelestarian budaya dan agama masyarakat lokal berupa pembangunan fisik bangunan, seperti

Masjid dan Mushola atau gedung dan pengadaan sarana dan alat yang diperlukan untuk memperlancar
jalannya kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan.
Perkembangan pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi juga turut serta dalam melestarikan budayabudaya masyarakat yang lainnya seperti kesenian dan adat istiadat. Kesenian tradisional masyarakat lokal
yang masih terjaga kelestarianya adalah Tari Rudat dan Gendang Beleq.
Tari Rudat merupakan kesenian tradisional dalam bentuk seni tari (gerakan tubuh) diiringi dengan musik
tradisional gambelan yang dimainkan oleh tujuh sampai sebelas orang. Fungsi kesenian ini adalah
sebagai penyambutan terhadap wisatawan dan sering kali dipersembahkan untuk penghargaan terhadap
tamu kenegaraan. Secara singkat, Tari Rudat mengisahkan sepasang muda-mudi yang saling jatuh cinta
yang berlanjut hingga ke pernikahan. Pesan-pesan yang disampaikan berupa nasihat-nasihat hidup yang
membangkitkan rasa saling mencintai dan menyayangi sesama dan lingkungan, sehingga dengan
pertunjukan kesenian ini diharapkan dapat meningkatan persaudaraan dan persahabatan antar manusia
dan lingkungan hidup.
Tokoh kesenian Tari Rudat yang masih menekuni dan mengembangkan secara aktif adalah Haji Rusdi,
seorang tokoh masyarakat lokal dari Desa Senggigi Dusun Kerandangan. Beliau menuturkan bahwa di
tengah gencarnya perkembangan pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi, Tari Rudat sama sekali tidak
surut keberadaannya. Sebaliknya, tari tersebut semakin lestari dan terjaga keberadaanya karena
dijadikan sebagai salah satu daya tarik wisata yang ditampilkan pada acara-acara yang diorganisir oleh
hotel-hotel dan event organizer yang berada di Objek Wisata Pantai Senggigi.
Gendang Beleq merupakan kesenian tradisional yang dimainkan dengan alat musik tradisional Gendang
Beleq yang berfungsi sebagai musik penyambutan. Makna yang terkandung dalam pertunjukan kesenian
ini adalah adanya kebersamaan antara umat yang tinggal di Lombok Barat yaitu antara umat Suku Sasak
Lombok yang beragama Islam dengan umat Hindu dari Bali yang tinggal menentap di Lombok.
Sebelum berkembangnya pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi, kedua kesenian tradisional ini
hanya dipentaskan pada saat-saat tertentu saja khususnya pada upacara adat dan keagamaan sehingga
tidak banyak dikenal oleh masyarakat umum di luar daerah Senggigi. Pertumbuhan pariwisata yang
semakin pesat dari tahun ke tahun turut serta membangkitkan dan merevitalisasi kesenian tradisional
tersebut dan sekarang ini sering kali dipertunjukan di hadapan para wisatawan sebagai atraksi wisata
yang bercirikan kedaerahan yang dipentaskan langsung oleh masyarakat asli.
Seni tari tradisional lain yang sering dipentaskan sebagai atraksi wisata di Objek Wisata Pantai Senggigi
adalah Tari Topeng. Tari ini mengisahkan pengembala beberapa jenis ternak seperti; sapi, kerbau, dan
kambing yang dengan bangga dan berbahagia mengembalakan ternaknya di kebun yang juga
menunjukan tingkat status sosial dan martabat seseorang di Desa Senggigi. Tari ini dimainkan oleh empat
sampai delapan orang dengan menggunakan pakaian khas Adat Sasak, topeng dengan beberapa
karakter, dan pecut.
Keberadaan tari ini sebenarnya sudah hampir punah. Tetapi sejak Desa Senggigi ditetapkan sebagai salah
satu objek wisata di Nusa Tenggara Barat maka diadakan terobosan-terobosan untuk menambah daya

tarik wisata dan atraksi wisata untuk menambah keanekaragaman daya tarik wisata yang salah satunya
adalah kesenian tradisional Tari Topeng. Sejak dijadikan sebagai salah satu atraksi wisata, Tari Topeng
terus direvitalisasi dan dikembangkan dengan membangun sanggar-sanggar tari yang dilakukan oleh
perorangan dan ada juga yang merupakan hasil kerjasama antara para pengelola industri pariwisata di
sekitar Objek Wisata Pantai Senggigi dengan masyarakat lokal.
Pementasan kesenian-kesenian tradisional tersebut di atas sudah dilakukan sejak bulan Maret 2005,
biasanya diadakan setiap hari Jumat sore (jam 16.00-selesai) yang bertempat di Pasar Seni Senggigi.
Pementasan ini terselenggara atas kerjasama antara Qunci Villas, Sundancer Hotel, dan pemerintahan
desa. Pertunjukan ini disajikan tanpa dipungut biaya sehingga banyak dikunjungi wisatawan baik
wisatawan nusantara maupun manca negara.
Selain bentuk positif tersebut di atas, terjadi juga akulturasi budaya yaitu perpaduan antara budaya asli
masyarakat yang mendapatkan pengaruh dari budaya asing, namun kedua unsur budaya tersebut samasama terlihat dan menonjol. Salah satu bentuk akulturasi budaya yang terjadi adalah gaya hidup
terutama dalam penampilan dan berpakaian. Sebelum dikembangkan pariwisata di Objek Wisata Pantai
Senggigi, jenis pakaian yang dipakai oleh masyarakat lokal sehari-hari berupa sarung dan baju kaos bagi
kalangan laki-laki, sedangkan perempuan umumnya memakai sarung, baju lengan panjang, dan
kerudung atau jilbab.
Sekarang ini beberapa masyarakat lokal telah mengadopsi pola penampilan dan cara berpakaian para
wisatawan. Sebagai contoh, seorang sopir yang merangkap sebagai pemandu wisata freelance telah
mengubah penampilannya sejak tahun 1998 dengan begitu juga dengan cara berpakaiannya. Sebelum
dipengaruhi oleh model berpakaian para wisatawan, cara berpakaiannya seperti layaknya masyarakat
lokal pada umumnya. Motivasinya untuk mengubah cara berpenampilan dan berpakaian adalah agar
lebih percaya diri dalam berkomunikasi dengan wisatawan asing.
Perubahan cara berpenampilan dan berpakaian tersebut hanya dilakukan apabila sedang berhubungan
dengan wisatawan saja. Tetapi pada saat mengikuti kegiatan adat dan keagamaan masih menggunakan
pakaian khas masyarakat lokal seperti; sarung dan batik (khas muslim), begitu juga dengan cara
berpenampilannya. Budaya-budaya yang diserap dari budaya wisatawan memang benar-benar
dilepaskan pada saat mengikuti kegiatan keagamaan dan adat. Jadi, kedua budaya tersebut (budaya
masyarakat lokal dan budaya wisatawan) dapat berjalan secara harmonis sesuai dengan waktu, situasi,
dan kondisi.
Akulturasi budaya juga terjadi pada bangunan-bangunan fasilitas pariwisata seperti hotel, villa dan
restoran. Sebagai contoh, Hotel Lombok Intan Laguna dibangun dengan perpaduan model Eropa dan
arsitektur tradisional. Dari luar bangunan tersebut tampak megah, tetapi di dalamnya didesain dengan
menampilkan bangunan khas Senggigi. Begitu juga dengan makanan yang disuguhkan di hotel ini.
Selain menyuguhkan makanan-makanan Eropa, disajikan juga beberapa menu makanan khas Desa
Senggigi. Contoh makanan tradisional yang biasanya disajikan kepada wisatawan adalah ayam bakar
taliwang dan pelecing kangkung. Ayam bakar taliwang terbuat dari satu ekor ayam kampung Lombok
yang dibakar dengan bumbu tradisional. Pelecing kangkung terbuat dari kangkung lokal khas Lombok

yang direbus dan dibumbui dengan bumbu-bumbu tradisional, biasanya disuguhkan dengan beberuk
(terong berwarna hijau atau ungu yang mentah dan diiris tipis-tipis).
Contoh lain makanan tradisional yang disajikan kepada wisatawan adalah sate balayag, terbuat dari lima
belas sampai dua puluh tusuk daging ayam atau sapi berbumbu kacang. Sate ini biasanya disuguhkan
dengan sepuluh biji balayag (beras dibungkus dengan daun kelapa muda yang dibentuk memanjang,
kemudian direbus sampai matang menyerupai ketupat). Selain disuguhkan di restoran dan hotel, sate
balayag juga dapat ditemukan di sepanjang Pantai Senggigi dengan harga yang relatif murah sehingga
banyak warga masyarakat yang menikmati makanan tradisional ini khususnya pada akhir pekan (hari
Sabtu dan Minggu) di sore hari pada saat matahari terbenam. Para penjual sate balayag ini merupakan
warga masyarakat lokal yang bermukim di wilayah Desa Senggigi sehingga secara tidak langsung
penjualan makanan tradisional ini kepada wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara ikut
serta membangkitkan perekonomian masyarakat lokal.
·

Dampak Negatif Sosial Budaya Pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi

Perkembangan pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi tidak hanya berdampak secara positif
terhadap kehidupan sosial dan budaya masyarakat lokal, tetapi juga mengakibatkan dampak negatif.
Bentuk-bentuk dampak negatif yang dapat dilihat dengan jelas yang timbul sehubungan dengan
pengembangan pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi adalah pendatang yang bekerja sebagai
penjaja seks komersial (PSK) dan pelaku tindak kriminal.
Usaha yang dilakukan pemerintah (Dinas Ketentraman dan Ketertiban) dan masyarakat (lembaga
swadaya masyarakat Lang-lang Senggigi) untuk menekan jumlah penjaja seks komersial adalah dengan
mengadakan razia secara rutin di tempat-tempat hiburan malam yang ada di Objek Wisata Senggigi. Bagi
penjaja seks komersial yang terjaring dalam razia selanjutnya diberikan pembinaan agar tidak beroperasi
kembali.
Bentuk lain dampak negatif yang muncul sehubungan dengan pengembangan pariwisata di Objek Wisata
Pantai Senggigi adalah adanya peraktik perjudian yang dilakukan dalam skala kecil berupa permainan
kartu domino yang dilakukan oleh para pedagang asong, pedagang kaki lima, dan sopir freelance sambil
menunggu wisatawan yang menggunakan jasanya. Uang yang dipertaruhkan berkisar antara Rp.500
sampai Rp.1.000. Kecilnya uang yang dipertaruhkan sering kali dianggap bukan kegiatan perjudian bagi
para pemainnya. Mereka hanya menganggap sebagai kegiatan hiburan semata sambil menghabiskan
waktu luangnya untuk menunggu para wisatawan. Kegiatan perjudian ini diadakan di bawah pohonpohon yang digunakan sebagai post tunggu di beberapa ruas Jalan Raya Pantai Senggigi.
Pengembangan pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi juga memberikan dampak negatif terhadap
prilaku anak-anak muda khususnya budaya meminum minuman beralkohol. Berkembangnya pariwisata
yang dibarengi dengan meningkatnya jumlah tempat-tempat hiburan malam yang menyuguhkan
minuman beralkohol seperti diskotik, café, dan pub menyebabkan beberapa pemuda terbiasa untuk
meminum minuman beralkohol. Sebelum berkembangnya pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi
(tahun 1989), masyarakat lokal Desa Senggigi tidak terbiasa menikmati minuman-minuman beralkohol
karena merupakan minuman yang diharamkan dan dilarang oleh agama.

Dari dampak negatif tersebut, masyarakat dan tokoh masyarakat yang ada di Objek Wisata Pantai
Senggigi lebih mengaktifkan organisasi keagamaan yang mana para pemuda tersebut selalu
diikutsertakan dalam berbagai kegiatan keagamaan, hasilnya jumlah para pemuda yang telah terbiasa
minum minuman beralkohol tersebut mulai sadar dan mengurangi minum minuman yang mengandung
alkohol, begitu juga dengan terserapnya para penduduk lokal lebih banyak ke usaha pariwisata secara
formal juga dapat mengurangi kegiatan-kegiatan yang berdampak negatif.
Berdasarkan temuan dampak-dampak yang timbul sebagaimana dijelaskan di atas dan melihat fakta
yang ada, maka pengembangan pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi lebih banyak memberikan
dampak positif daripada dampak negatif terhadap sosial budaya masyarakat lokal Desa Senggigi. Oleh
karena itu, keberadaan pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi masih mendapat sambutan yang
positif dari masyarakat lokal, ini tidak terlepas dari upaya pemerintah dan pengusaha yang bergerak
dalam bidang industri pariwisata untuk melibatkan masyarakat lokal dalam setiap perencanaan,
pengembangan, dan pengevaluasian kegiatan pariwisata di Objek Wisata Pantai Senggigi.
Dilihat dari sambutan masyarakat yang positif ini, maka dapat dikatakan bahwa pada saat ini Objek
Wisata Pantai Senggigi berada pada fase involvement / local control yaitu adanya keterlibatan
masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata, keikutsertaan masyarakat lokal dalam menyediakan
berbagai keperluan yang dibutuhkan oleh wisatawan, dan adanya komunikasi yang baik antara
masyarakat lokal dengan wisatawan.
Hubungan yang baik dan harmonis antara masyarakat lokal dengan wisatawan yang diimplementasikan
pada keakraban dan keramah-tamahan turut serta dalam upaya untuk mempromosikan Objek Wisata
Pantai Senggigi oleh wisatawan dari mulut ke mulut (word of mouth) kepada wisatawan lain di
negaranya agar tertarik untuk berkunjung ke Objek Wisata Pantai Senggigi. Sejauh ini belum ditemukan
adanya kebencian dan penolakan terhadap pengembangan Objek Wisata Pantai Senggigi.

BAB III
PENUTUPAN

KESIMPULAN

Dampak sosial budaya dari pariwisata memberikan gambaran tentang pengaruh-pengaruh yang
muncul terhadap komunitas “tuan rumah” dalam hal ini masyarakat lokal sekitar daerah wisata, baik
secara langsung maupun tidak langsung dalam berinteraksi dengan wisatawan (nusantara maupun
asing), dan interaksinya dengan Industri pariwisata. Dampak sosial budaya pariwisata ini juga
memberikan dampak positif dan negatif kepada masyarakatnya.Dampak negatif tersebut muncul ketika
pariwisata mulai mempengaruhi sistem nilai dan perilaku masyarakat lokal, dengan demikian ancaman
terhadap keberadaan identitas asli masyarakat dapat diidentifikasi. Lebih jauh lagi, perubahan tersebut
cenderung terjadi terhadap struktur masyarakat, hubungan antar keluarga, pola hidup kolektif yang
tradisional, upacara-upacara adat dan sebagainya, meskipun industri pariwisata dapat juga memberikan
dampak positif seperti pertukaran budaya antara suku dan negara, membantu perlindungan terhadap
tradisi budaya dan membantu menciptakan lapangan pekerjaan lokal serta pemasukan devisa bagi
negara.

DAFTAR PUSTAKA
http://elissanindia.wordpress.com/2012/10/09/pariwisata/ (Diakses pada tanggal 8/05/2013, pukul
22:00)
http://bookadvertistment.blogspot.com/2010/08/analisis-dampak-sosial-pariwisata-di.html (Diakses
pada tanggal 8/05/2013, pukul 22:00)
http://subadra.wordpress.com/2007/05/23/dampak-sosial-budaya-pengembangan-pariwisata-di-balitourism-watch-objek-wisata-pantai-senggigi-kabupaten-lombok-barat/ (Diakses pada tanggal 8/05/2013,
pukul 22:00)