Dinamika Pers Indonesia di Era Reformasi

DINAMIKA PERS INDONESIA
DI ERA REFORMASI
Oleh Satrio Arismunandar*

Pendahuluan
Langkah dadakan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dengan menghapus
keberadaan Departemen Penerangan dalam jajaran Kabinet Persatuan Nasional yang
dipimpinnya, pada Oktober 1999, seolah-olah menjadi klimaks mengejutkan dalam
proses keterbukaan dan demokratisasi kehidupan pers di Indonesia.
Sudah diakui secara meluas bahwa pers Indonesia adalah bagian tak terpisahkan
dari gerakan reformasi itu, yang mencapai momen bersejarah dengan berhentinya
Soeharto sesudah berkuasa selama 32 tahun, pada 21 Mei 1998. Meskipun pers bukanlah
pelopor gerakan reformasi itu, sulit dibayangkan, gerakan reformasi yang dipelopori
mahasiswa itu akan bergulir tanpa pemberitaan dan dukungan gencar pers Indonesia, baik
dari media cetak maupun elektronik.
Pembubaran Deppen yang memiliki lebih dari 50.000 karyawan adalah langkah
berani, dan bisa menjadi masalah politik baru bagi pemerintahan Gus Dur jika tidak
ditangani secara seksama.1 DPR merasa perlu menggunakan hak interpelasi, dengan
memanggil dan meminta jawaban langsung dari Presiden, untuk menjelaskan latar
belakang pembubaran Deppen dan Departemen Sosial. Menurut Gus Dur, pemerintah
kini tidak akan mengatur-atur dan menjalankan apa yang sudah bisa dijalankan sendiri

oleh masyarakat. Fungsi penerangan memang sudah bukan lagi monopoli pemerintah.
Bagi kalangan media cetak Indonesia, dengan lenyapnya Departemen Penerangan,
kini tidak ada lagi lembaga ―momok‖ bagi kebebasan pers, yang biasa mengintimidasi
dengan ancaman pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).2 Itu adalah
praktek yang umum di bawah rezim Orde Baru Soeharto, yang tertutup terhadap kritik
dan tidak toleran terhadap perbedaan pandangan.
1

Ditambah dengan pembubaran Departemen Sosial yang memiliki sekitar 23.000 karyawan, maka
sedikitnya ada 73.000 karyawan yang resah karena pembubaran departemennya secara mendadak.
Akibatnya, aksi protes dan unjuk rasa merebak di beberapa daerah. Hanya karena cara pembubaran yang
terkesan terburu-buru, dengan demikian Pemerintah Gus Dur menciptakan masalah tambahan yang tidak
perlu.
2
Jumlah SIUPP di era Soeharto, khususnya selama Harmoko menjabat Menteri Penerangan, dibatasi.
Sangat sulit bagi suatu penerbitan pers untuk memperoleh SIUPP, yang tidak jarang prosesnya butuh waktu
bertahun-tahun. Sudah bukan rahasia lagi bagi kalangan pers bahwa untuk memperoleh SIUPP mereka
harus membayar sangat mahal, ada yang sampai Rp 500 juta, ditambah memberi jatah saham kosong di
media bersangkutan kepada pejabat tinggi Departemen Penerangan, yakni Harmoko dan keluarganya.
Namun sebetulnya praktek pembatasan jumlah SIUPP tidak bisa semua disalahkan ke Departemen

Penerangan, karena untuk memperoleh SIUPP harus melalui rekomendasi PWI dan SPS (Serikat Penerbit
Suratkabar), yang didominasi oleh para pemilik media yang sudah mapan. Mereka bertindak menjadi
semacam ―kartel‖ atau ―oligopoli‖, yang menghalangi munculnya pemain-pemain baru dalam bisnis media
karena akan menjadi pesaing mereka.

1

Begitu hebatnya tekanan itu, sehingga para Pemimpin Redaksi dari tujuh media
massa –Kompas, The Indonesia Times, Pelita, Sinar Harapan, Merdeka, Sinar Pagi , dan
Pos Sore—pada 26 Januari 1978 secara bersama-sama pernah mengirim ―surat minta
maaf‖ kepada Presiden Soeharto, sesudah medianya dilarang terbit oleh Kopkamtib.
Dalam surat yang isinya meminta agar dibolehkan terbit lagi itu, juga tertera persetujuan
dari Ketua Pelaksana Pengurus Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, Harmoko, dan
Ketua Umum Serikat Penerbit Suratkabar Pusat, Djamal Ali. Permintaan maaf semacam
itu juga dilakukan Majalah Tempo pada 1 Mei 1982.3
Praktis pers Indonesia sudah membelenggu kebebasannya sendiri dan menyatakan
tunduk pada rezim Soeharto. Namun lama sebelumnya pers Indonesia memang sudah
dijangkiti proses meniadakan makna kebebasan pers itu sendiri. Sebelum era Presiden
Soekarno, pers Indonesia oleh partai-partai politik dijadikan alat perjuangan politik, dan
tinggal sedikit sekali suratkabar yang berhasil memelihara kebebasannya. Dalam

keadaan demikian, rezim Soekarno akhirnya menjadikan pers Indonesia sebagai ―alat
revolusi‖-nya Soekarno.4 Hasilnya adalah kerusakan mendalam terhadap nilai-nilai
jurnalistik dan kebebasan pers di Indonesia.
Pada tahun-tahun awal Orde Baru, suasana politik baru semula diharapkan akan
mengangkat kembali martabat dan kebebasan pers Indonesia. Namun rezim Soeharto
ternyata setali tiga uang dengan rezim Soekarno dalam sikapnya terhadap pers. Contoh
hidup perlakuan ini mungkin bisa dilihat pada figur Mochtar Lubis, mantan Pemimpin
Umum dan Pemimpin Redaksi Harian Indonesia Raya (1949-1958 dan 1968-1974), yang
pernah masuk penjara di rezim Soekarno dan rezim Soeharto karena kegigihannya
memperjuangkan kebebasan pers.
Pada periode berikutnya di bawah pemerintahan Presiden Bacharudin Jusuf
Habibie, pers Indonesia lebih mengenyam kebebasan, bahkan ada yang mengatakan pers
Indonesia bersama pers Filipina menjadi pers yang paling bebas di Asia Tenggara. 5
Kebebasan ini sebagian besar disebabkan lemahnya legitimasi dan kredibilitas
pemerintah Habibie sesudah berhentinya Soeharto. Kini dengan naiknya Gus Dur yang
terpilih secara demokratis ke kursi presiden, pers Indonesia telah memasuki era baru,
dengan tantangan-tantangannya tersendiri.
Pengalaman di Era Represi
Harus disadari bahwa pers Indonesia tidaklah hidup dalam ruang vakum. Ia
berada dan tumbuh di tengah masyarakat yang bergerak, berkembang, dan berubah. Dan

tidak bisa disangkal bahwa gerakan reformasi yang melanda negeri kita akhir-akhir ini,

3

Lihat Surat Keputusan Menteri Penerangan RI No.104/Kep/Menpen/1982 tentang Pencairan Kembali
Surat Izin Terbit (SIT) Majalah Berita Mingguan Tempo di Jakarta.
4
Pengantar dari Mochtar Lubis dalam buku Kebebasan Pers dan Arus Informasi di Indonesia, karya
Atmakusumah (Penerbit Lembaga Studi Pembangunan, Jakarta, 1981).
5
Di bawah Habibie, dengan Menteri Penerangan dijabat Letjen TNI Muhammad Yunus, diterapkan
kebijaksanaan pers yang lebih liberal. Menteri Yunus sangat memberi kemudahan dalam memperoleh
SIUPP. Siapapun bisa memperoleh SIUPP hanya dalam waktu sekitar seminggu, dan praktis tanpa
membayar uang apapun. Akibatnya, dalam masa pemerintahan Habibie yang singkat, Mei 1998 – Oktober
1999, sudah dikeluarkan lebih dari 1.600 SIUPP baru. Padahal selama 32 tahun era Soeharto, hanya sekitar
300 SIUPP yang dikeluarkan.

2

yang gemanya juga melanda negeri-negeri tetangga termasuk negara jiran Malaysia, telah

ikut menimbulkan perubahan-perubahan pula pada dunia pers kita.
Singkatnya, ada semacam hubungan dialektis. Selain menerima pengaruh dari
gelombang reformasi akhir-akhir ini, pers Indonesia lewat pemberitaan-pemberitaannya
juga telah ikut mempengaruhi gerak reformasi. Dengan pernyataan ini, saya tidak
bermaksud melebih-lebihkan peranan pers, karena memang pers tidak bisa berperan
sendirian dalam mendorong perubahan-perubahan dalam masyarakat. Menurut
pengamatan saya, dalam kasus gerakan reformasi 1998 yang kemudian menjatuhkan
Soeharto, bukan pers yang menjadi ujung tombak perubahan, namun gerakan mahasiswa
yang didukung masyarakat.
Ithiel de Sola Pool, ketika menuliskan peranan komunikasi dalam pembangunan,
menyatakan: ―Media massa melengkapi masyarakat dengan keterangan-keterangan dasar.
Tetapi masyarakat tidak akan bertindak sesuai dengan keterangan-keterangan baru itu
apabila mereka tidak dianjur-anjurkan oleh orang-orang yang ada di sekitar mereka yang
mereka kenal dan hargai.‖6
Dalam kasus gerakan reformasi 1998, pers menangkap arus desakan yang amat
kuat ke arah perubahan di dalam masyarakat Indonesia, dan baru kemudian sesudahnya
pers ikut terjun serta memberi kontribusi dalam arus besar tersebut. Dalam hal ini,
tekanan krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan menghantam kepentingan ekonomi
kalangan industri pers ikut andil dalam memojokkan institusi-institusi pers untuk
bersikap tegas dan memilih mendukung arus reformasi demi kepentingannya sendiri.

Dalam hal ini, pers berperan sebagai katalisator yang mempertahankan dan mempercepat
momentum gerakan reformasi.7
Dalam membahas posisi dan peranan pers Indonesia, saya di sini tidak
menempatkan diri sebagai pengamat yang ―obyektif‖ dan berjarak. Namun saya lebih
menempatkan diri sebagai praktisi pers –atau lebih spesifik lagi, wartawan sebuah
majalah berita mingguan-- yang merasakan langsung dinamika internal di dalam
penerbitan pers dan dalam hubungan antara lembaga pers dengan kekuasaan, menjelang
dan sesudah jatuhnya Soeharto.
Sebagai contoh, majalah tempat saya bekerja, Majalah D&R, dituduh menghina
Kepala Negara hanya gara-gara memasang wajah Soeharto sebagai ―King‖ dalam kartu
remi, di cover Majalah D&R edisi 7 Maret 1998. Akibatnya, Pemimpin Redaksi dan
Redaktur Pelaksana Majalah D&R diperiksa polisi.8 Intimidasi macam ini masih terjadi
Ithiel de Sola Pool, ―Komunikasi dan Pembangunan‖, dalam Myron Weiner (ed.), Modernisasi Dinamika
Pertumbuhan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1983. Sebagai contoh, media massa bisa saja
memberikan informasi terbaru tentang teknik pertanian atau pupuk jenis baru pada para petani. Namun para
petani baru mau menerapkan hal itu hanya setelah mereka melihat bahwa tetangganya yang menggunakan
cara-cara baru itu juga meningkat hasil panennya.
7
Menjadi spekulasi yang menarik, apakah gerakan mahasiswa 1998 akan membesar jika pers –khususnya
media elektronik-- tidak memberitakannya secara besar-besaran. Tiap hari waktu itu penuh dengan laporan

tentang heroisme aksi mahasiswa di berbagai kampus, di Jawa dan luar Jawa. Padahal faktanya waktu itu,
tentara masih solid di belakang Soeharto. Sampai saat ini, masih menjadi perdebatan di kalangan para pakar
politik, faktor apa sebenarnya yang paling berperan ketika Soeharto memutuskan untuk berhenti sebagai
Presiden pada 21 Mei 1998.
8
Pemimpin Redaksi Majalah D&R Margiono dan Redaktur Pelaksana (de facto) Bambang Bujono sudah
diperiksa Kejaksaan dan polisi, namun berkas perkaranya tak sampai diserahkan ke Pengadilan, karena
Soeharto keburu berhenti jadi Presiden RI. Jika Soeharto masih berkuasa, hampir bisa dipastikan perkara
ini akan terus berlanjut dan D&R akan kena sanksi. Saya menggunakan istilah ―de facto‖ untuk Bambang

6

3

hanya sekitar dua bulan sebelum Soeharto berhenti dan menyerahkan jabatan Presiden
pada Wakil Presiden BJ Habibie pada 21 Mei 1998.
Untuk menggambarkan secara lebih konkret tentang kuatnya suasana represi era
Soeharto, saya mencoba memaparkannya lewat pengalaman saya sendiri. Setelah bekerja
di Harian Kompas sejak Juni 1989, saya dipaksa mundur dari posisi wartawan desk luar
negeri Harian Kompas pada Maret 1995, karena keterlibatan saya dalam aksi-aksi protes

menentang pembreidelan tiga media –Tempo, DeTik dan Editor — pada 21 Juni 1994.
Alasan lain tekanan terhadap saya adalah karena keanggotaan saya di AJI (Aliansi
Jurnalis Independen -- the Alliance of Independent Journalists) dan SBSI (Serikat Buruh
Sejahtera Indonesia – Indonesian Welfare Trade Union), dua organisasi yang dianggap
antipemerintah Soeharto.9
Setelah keluar dari Kompas, saya menganggur selama dua tahun dan hanya aktif
sebagai Sekretaris Jenderal AJI (1995-1997). Saya tak punya pilihan, karena nama saya
masuk dalam ―daftar hitam‖ Departemen Penerangan, yang waktu itu dipimpin H.
Harmoko, dan kemudian dipimpin Letjen TNI R. Hartono. Tidak ada satu pun media
massa nasional yang waktu itu berani mempekerjakan saya terang-terangan, meskipun -dalam keadaan normal-- pengalaman saya selama dua tahun sebagai wartawan Pelita
(1986-1988) dan hampir tujuh tahun sebagai wartawan Kompas sebenarnya sudah lebih
dari cukup sebagai kualifikasi untuk bekerja di media lain.
Saya bukanlah satu-satunya anggota AJI yang menerima perlakuan semacam ini.
Para pimpinan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), satu-satunya organisasi wartawan
yang diakui regim Soeharto waktu itu, dalam sejumlah pernyataannya memang melarang
media massa mempekerjakan wartawan yang bukan anggota PWI.10 Larangan itu tidak
pernah dinyatakan dalam surat keputusan resmi PWI, tetapi efektif berlaku.
Maka ketika saya diam-diam mulai bekerja lagi di Majalah D&R, pertengahan
1997, nama saya tidak pernah tercatat secara resmi sebagai karyawan Majalah D&R.
Maksudnya, kalau pihak Departemen Penerangan atau PWI sampai mengetahui aktivitas

saya di Majalah D&R, pihak manajemen D&R bisa berkelit dengan mengatakan bahwa
saya tidak pernah tercatat sebagai karyawan mereka.11
Bujono, karena ia praktis menjalankan fungsi Redaktur Pelaksana, namun ia tidak tercatat sebagai anggota
Persatuan Wartawan Indonesia dan karena itu –berdasarkan ketentuan pemerintah—dilarang menjadi
Redaktur Pelaksana ataupun Pemimpin Redaksi.
9
Pemimpin Redaksi Harian Kompas, Jakob Oetama, menyatakan pada saya bahwa sebenarnya tidak ada
masalah antara institusi Kompas dengan saya dalam kaitan profesional. Saya selalu dianggap telah bekerja
baik, bahkan berprestasi. Namun adanya tekanan ―eksternal‖ kekuasaan –lewat Departemen Penerangan
dan PWI—memaksa pimpinan Kompas untuk mendesak saya, bersama seorang wartawan Kompas lain
yang juga anggota AJI dan anggota SBSI, Dhia Prekasha Yoedha, untuk mundur.
10
Sikap PWI yang propemerintah dan tidak melindungi kepentingan wartawan terlihat jelas, ketika terjadi
pembreidelan terhadap Tempo, Detik dan Editor, pada 21 Juni 1994. Waktu itu, pimpinan dalam
pernyataannya tidak menolak keputusan pembreidelan, tapi bahkan mengatakan dapat ―memahami‖
pembreidelan itu.
11
Situasi itu memang sungguh absurd. Sebagai ―pariah politik‖, saya tiap bulan menerima gaji dari Majalah
D&R sekitar Rp 1,5 juta. Namun nama saya tidak pernah dimunculkan di tiap tulisan saya yang dimuat di
Majalah D&R. Bahkan di kartu absensi karyawan dan slip gaji, saya pun harus menggunakan nama

samaran ―Sampurna‖. Karena tidak pernah tercatat secara resmi sebagai karyawan, saya merasa amat
dirugikan oleh pihak manajemen PT. Grafiti Pers yang menerbitkan D&R. Ketika Soeharto mundur dan
keadaan kembali ―normal‖ tahun 1998, manajemen PT. Grafiti Pers menunjukkan sikap kapitalis sejati.
Dengan berlindung di balik dalih formalitas peraturan, PT. Grafiti Pers menolak memperhitungkan setahun
masa kerja saya sejak 1997 dalam menentukan status kepegawaian saya kemudian.

4

Transformasi dan Faktor Eksternal
Yang sering menjadi pertanyaan adalah bagaimana pers Indonesia –khususnya
media cetak-- bisa ―mentransformasi‖ dirinya, dari pers yang sangat hati-hati, sangat
takut menyinggung perasaan penguasa yang otoriter, menjadi pers yang aktif
menggerogoti kekuasaan dan ikut mendorong bergulirnya gerakan reformasi.
Menurut pengamatan saya, faktor eksternal memiliki andil besar dalam
pergeseran itu, dan faktor itu adalah krisis ekonomi yang menghantam seluruh segmen
masyarakat, termasuk kalangan industri pers sendiri. Melonjaknya harga kertas koran
akibat jatuhnya nilai rupiah terhadap US dollar –yang mencapai titik terendah pada nilai
tukar Rp 16.000 per satu US dollar-- membuat banyak media cetak megap-megap.
Sebagian besar kertas koran ini harus diimpor dan dibayar dengan valuta asing.12
Selain itu, meskipun sebagian kertas koran sudah diproduksi di dalam negeri, 70 % bahan

baku kertas masih diimpor. Ditambah lagi, seluruh investasi pembangunan pabrik kertas
juga dalam dollar AS. Jadi harga yang harus dibayar penerbit pers kepada pabrik kertas
praktis mengikuti fluktuasi dollar AS, ditambah adanya unsur monopoli dalam
penyediaan kertas koran di dalam negeri oleh perusahaan kroni Soeharto.
Majalah D&R, yang baru dua tahun bangkit lagi, misalnya, hampir terkapar
karena kenaikan harga kertas ini. Harga jualnya yang Rp 6.300 pada Februari 1998
sebenarnya sudah berada di bawah biaya produksinya. Agar bisa bertahan hidup, D&R
yang berada di bawah manajemen Kelompok Jawa Pos itu seharusnya dijual Rp 8.000.
Akibatnya, setiap bulan PT. Analisa Kita, penerbit D&R, menanggung kerugian Rp 432
juta bila dicetak 40.000 eksemplar setiap pekan. Paling tidak, kalau yang dicetak itu laku
semua, perusahaan menanggung rugi Rp 2.700 per eksemplar.13
Naiknya ongkos produksi ini celakanya tidak bisa diimbangi dengan peningkatan
tiras, yang bisa dibilang stagnan dari tahun ke tahun. Pendapatan iklan sendiri turun,
karena kalangan dunia usaha yang biasa memasang iklan di media juga menghadapi
kesulitan finansial. Untuk mengurangi cost, salah satu pos pengeluaran yang mereka
pangkas adalah biaya iklan. Alasan lain memangkas iklan adalah karena pasar bagi
produk-produk mereka juga lesu.14
Untuk bisa survive, sejumlah media cetak melakukan pengurangan jumlah
halaman, pengurangan gaji dan berbagai bentuk bonus, tunjangan dan fasilitas untuk
wartawan dan karyawannya.15 Harian Media Indonesia terpaksa menghentikan 102
12

Sebenarnya pabrik kertas dalam negeri juga sudah memproduksi kertas koran, namun kuantitas dan
kualitasnya amat tidak memadai. Jika diputar di mesin cetak, gulungan kertas buatan lokal itu sering putus
atau robek sehingga mengganggu proses cetak. Kelompok Jawa Pos sudah punya pabrik kertas sendiri, tapi
kapasitasnya cuma 100 ton per bulan, dan habis untuk konsumsi Jawa Pos sendiri.
13
Lihat laporan Kontan No. 19, Tahun II, 9 Februari 1998.
14
Mengutip data Kontan No. 19, Tahun II, 9 Februari 1998, penurunan belanja iklan tersebut mulai terasa
sejak kuartal terakhir 1997. Angkanya sampai 30 % dari target.
15
Majalah Ummat melakukan pemotongan gaji wartawan dan karyawan untuk tetap survive. Namun
akhirnya majalah ini tutup juga tahun 1999, karena kegagalan pemasaran, ketiadaan pemasukan iklan, dan
utang yang terus menumpuk, sementara pihak manajemen tidak berhasil menemukan investor baru.
Sedangkan Majalah Sinar, sempat melakukan ―pembekuan terbit‖ selama beberapa bulan, lalu terbit lagi
dengan gaya penampilan lebih populer. Namun kemudian juga tutup karena kegagalan pemasaran dan
ketiadaan perolehan iklan. Mengutip Pemimpin Redaksi Sinar , Wikrama Iryans Abidin kepada D&R (14
Februari 1998), dari Agustus 1997 sampai Februari 1998, Sinar yang bertiras 60.000 eksemplar terus

5

karyawan kontraknya. Harian Republika , meski tidak mem-PHK karyawannya, memilih
merampingkan organisasi dengan jalan memindahkan sebagian karyawannya ke anak
perusahaan. Republika juga mengurangi jumlah halaman, dan halaman mukanya tidak
berwarna lagi.
Perjalanan dinas ke luar kota dan luar negeri juga dibatasi, termasuk pos-pos
koresponden di luar negeri.16 Ini bahkan terjadi di industri pers yang sudah sangat mapan,
seperti Harian Kompas dari Grup Kompas-Gramedia. Harian bertiras besar, seperti
Kompas, Suara Pembaruan, Media Indonesia , Republika , ditambah Sinar Pagi
mengurangi jumlah halaman dan menaikkan harga. Harian Pos Kota dan Terbit
mengganti jenis kertasnya dengan jenis kertas yang lebih murah.
Bicara soal harga kertas, posisi tawar penerbit pers semakin terpuruk. Apalagi
harga dan pangsa kertas cuma ditentukan oleh PT. Aspex Paper. Sekitar 70 persen suplai
kertas koran dalam negeri dipasok oleh perusahaan milik Mohamad ―Bob‖ Hasan, salah
satu kroni dekat Soeharto. Sisanya 30 persen baru diisi para importir dan beberapa pabrik
kertas lain. Maka PT. Aspex Paper dengan leluasa memainkan harga. Anehnya, harga
yang dipatok perusahaan Bob Hasan ini cenderung lebih tinggi daripada harga kertas
impor.
Karena selisih harga itu, penerbit pers lebih suka membeli kertas koran impor
daripada membeli produk PT. Aspex. Namun, mengetahui lalu-lintas kertas koran impor
terus meningkat, pada awal 1997, Aspex mengusulkan pada pemerintah untuk
memberlakukan pajak impor kertas. Permintaan itu dikabulkan. Karena impor kertas
koran dikenai pajak 5 %, laju impor pun tertahan, dan harga kertas koran impor jadi lebih
mahal daripada kertas produksi Aspex.17
Kondisi ini secara langsung atau tak langsung menempatkan pers dalam posisi
berhadapan dengan regim Soeharto. Regim Soeharto, yang sarat dengan segala praktek
KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), akhirnya dipandang sebagai biang segala
persoalan, yang berujung pada berlarutnya krisis ekonomi dan ancaman terhadap
kelangsungan hidup penerbitan pers itu sendiri.
Tidak mengherankan jika di kalangan pers sendiri, mulai mengkristal pandangan
bahwa regim Soeharto pada hakekatnya sudah ―tamat‖, sudah menjadi regim yang busuk
dan kehilangan kreativitas untuk memperbarui diri. Singkatnya, tidak ada harapan. Dalam
bahasa yang lebih populer, Soeharto sudah dipandang merupakan bagian dari problem,
bukan lagi bagian dari solusi terhadap krisis. Ruang untuk menenggang dan kompromi
terhadap regim tampaknya waktu itu sudah makin tertutup.

merugi, hingga kerugian mencapai Rp 1,6 milyar. Setiap eksemplar majalah harus disubsidi Rp 1.000,
sehingga tiap bulan menderita rugi sampai Rp 240 juta. Masalah terbesar adalah biaya cetak, karena
majalah ini menggunakan kertas HVS dan tampil penuh tata warna.
16
Menurut Djafar H. Assegaff, Pemimpin Redaksi Media Indonesia kepada D&R (14 Februari 1998),
pihaknya tak lagi memiliki koresponden luar negeri di London, New York, dan Washington. Pasalnya,
imbalan untuk koresponden itu bisa sampai US$ 3.000. Hal serupa sudah lebih dulu dilakukan pada
koresponden di Australia dan Jepang.
17
Data lebih lengkap, lihat laporan Majalah D&R, 14 Februari 1998. Pada Oktober 1997, misalnya, kertas
koran Aspex berharga US$ 535 per metrik ton; sedangkan kertas impor berharga US$ 570 per metrik ton.
Para penerbit pers tak punya pilihan lain, kecuali membeli dari perusahaan Bob Hasan ini. Namun Presiden
Komisaris PT. Aspex Paper, Bob Hasan, menolak anggapan bahwa beban harga tinggi itu disebabkan oleh
perusahaannya semata-mata.

6

Yang membedakan krisis ekonomi Indonesia sejak Juli 1997 dengan berbagai
kondisi ekonomi nasional sebelum itu adalah skala dan spektrum permasalahannya, serta
implikasinya terhadap berbagai lapisan masyarakat. Kalangan kelas menengah, yang
biasanya tidak pernah terusik –bahkan bisa dibilang ikut menikmati ―kue pembangunan‖- ketika ekonomi Orde Baru masih mengalami tingkat pertumbuhan tinggi, merasa krisis
ekonomi terakhir ini telah memerosotkan tingkat kehidupan mereka.
Dari sisi lain, krisis ekonomi juga telah mengurangi drastis kemampuan regim
untuk mengalokasikan sumberdaya, guna ―menjinakkan‖ berbagai lapisan kelas
menengah yang selama ini mendukungnya. Kalangan industri pers --dengan keunggulan
akses informasinya dan kemampuannya mengarahkan opini publik-- kita masukkan
dalam kelompok kelas menengah yang kecewa dan merasa dirugikan ini.
Bisa dikatakan bahwa regim Soeharto saat itu sudah tidak mampu lagi
mengakomodir kepentingan industri pers. Dengan demikian, mendorong segera
tergulingnya Soeharto lewat dukungan kepada gerakan reformasi, adalah bagian dari
kepentingan kalangan industri pers sendiri. Pada saatnya kemudian, gerakan reformasi
tersebut juga menuntut perubahan-perubahan di dalam tubuh industri pers sendiri, dan
tuntutan ini tak bisa dihambat lagi.
Misalnya, kehendak sah para wartawan dan karyawan untuk mendirikan serikat
buruh atau dewan karyawan di perusahaan pers –yang selama ini dihambat dengan alasan
yang mengada-ada—kini lebih mudah diwujudkan. Kemudian ketentuan pembagian
saham 20 persen untuk wartawan/karyawan – yang secara tegas sudah lama dinyatakan
dalam peraturan Menpen, tapi tak pernah direalisasikan – kini sudah direalisasikan di
sejumlah media baru. Sayangnya, hal ini tampaknya justru belum diberlakukan di
sejumlah media yang sudah mapan, seperti Kompas.18
Bagaimanapun, kehidupan pers nasional masih akan menjalani berbagai
perkembangan dinamis, terutama karena Indonesia sendiri sedang mengalami perubahanperubahan yang dahsyat di semua segi kehidupan. Indonesia sedang menjalani masa
transisi, dari masa keterkungkungan dan represi di bawah Orde Baru ke era yang lebih
terbuka dan demokratis. Bagaimana pers Indonesia menempatkan diri, bahkan ikut
mengarahkan perubahan-perubahan itu, akan menarik untuk dicermati. ***

Jakarta, Maret 2000

18

Ketentuan saham 20 persen ini sudah diberlakukan pada media yang baru terbit kembali, seperti Tempo
dan Detak. Yang terakhir ini malah memberi saham 35 persen untuk karyawan. D&R dengan manajemen
baru di bawah konsorsium The Jakarta Post juga memberikan 20 persen, meskipun semula The Jakarta
Post malah bersedia memberi 25 persen untuk karyawan. Lima persen dari 25 persen itu dijual kembali
oleh PT. Graffiti Pers kepada The Jakarta Post. Pelaksanaan ketentuan saham 20 persen untuk karyawan
ini belum begitu jelas di media-media lain dan umumnya cuma basa-basi. Di atas kertas, Kelompok
Kompas-Gramedia sudah memberikan 20% saham pada yayasan karyawan di 24 media yang dikelolanya.
Namun yayasan karyawan itu ―fiktif‖ karena karyawan tak tahu-menahu tentang keberadaannya, dan para
pengurus yayasan ditunjuk oleh pimpinan Kompas-Gramedia. Umumnya pengurus yayasan karyawan
adalah direksi media bersangkutan, yang tentunya loyal kepada pimpinan Kelompok Kompas-Gramedia.
Tentang masalah ―yayasan fiktif‖ ini baca buletin Suara Serikat edisi 1, 29 Januari 2000, yang diterbitkan
oleh Serikat Karyawan Jakarta Jakarta .

7

Kontak Satrio Arismunandar:
E-mail: satrioarismunandar@yahoo.com; arismunandar.satrio@gmail.com
Blog pribadi: http://satrioarismunandar6.blogspot.com
Mobile: 081286299061
.

8