Overview Ekonomi Pertanian Indonesia Aba

OVERVIEW
EKONOMI PERTANIAN INDONESIA ABAD XIX1
Oleh: Agus Budi Purwanto2

Pertanyaan kunci dalam tulisan ini yaitu Pertama, Bagaimana ekonomi Indonesia sebelum
abad ke-19?; Kedua, bagaimana intervensi ekonomi pertanian kolonial di Indonesia abad ke19?; Ketiga, bagaimana dampak yang dirasakan oleh pihak Indonesia dan Belanda atas
intervensi ekonomi pertanian kolonial abad ke-19 tersebut?

Ekonomi Jawa akhir Abad XVIII
1. Penduduk Jawa pada akhir abad XVIII atau menjelang abad XIX sebanyka 4,6 juta jiwa.
Sebagaimana telah diketahui, bahwa demografi dalam kajian sejarah Indonesia terutama
era karajaan dan kolonialisme adalah sangat penting. Mengapa demikian, karena jumlah
penduduk erat kaitannya dengan jumlah ketersediaan tenaga kerja. Sehingga pada era
kerajaan, kekuasaan raja tidak ditumpukan kepada seberapa luas wilayah kekuasanannya
namun seberapa luas dan seberapa banyak penduduk (dalam istilah Jawa disebut
CACAH) yang dikuasai. Hal yang sama terjadi pada akhir abad XVIII, di mana hampir 70%
penduduk secara langsung maupun tidak langsung dikuasai oleh pemerintah kolonial
Belanda. Sedangkan sisanya masih dikuasai oleh kerajaan dan dalam hal ini secara praktik
dikuasai oleh kepala desa.
2. Sosio-ekonomi petani Jawa menjelang abad XIX memiliki ciri-ciri sebagi berikut:
(i)Homogen: pada penduduk biasa yang merupakan mayoritas, pola pertanian dan

konsumsi

cenderung

homogen,

namun

berbanding

terbalik,

komoditas

yang

dikembangkan beragam sehingga terbuka peluang untuk saling bertukar komoditas
dalam bentuk barter; (ii)Tukar kerja atau gotongroyong masih kental dihidupi oleh para
petani. Oleh Scott (1976, terjemahan 1981) inilah salah satu bentuk dari moral ekonomi
petani. Dalam perspektif lain, oleh Popkin (1986), kondisi seperti ini merupakan cerminan

rasionalitas dari petani itu sendiri dalam menghadapi ketidakmampuan dalam
pengerjaan pekerjaan besar.

3

(iii)Diferensiasi rendah (ratanya keterbatasan) tidak

1

Materi disampaikan pada kelas Sejarah Ekonomi Pertanian Abad XIX, Jurusan Sejarah Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta, pada Senin 9 Maret 2015.
2
Asisten Pengajar Drs. Silverio RL Aji Sampurno, M.Hum untuk mata kuliah Sejarah Ekonomi Pertanian
Abad XIX pada semester Genap tahun ajaran 2014/2015
3
Untuk mendiskusikan lebih jauh tentang perdebatan ini akan dilaksanakan pada kelas-kelas
selanjutnya dengan pengkhususan pada pokok bahasan “perdebatan teoritis”.

1


ditemukan diferensiasi sosial pada mayoritas masyarakat pedesaan di Jawa dengan
terkecuali pada pejabat desa serta para tokoh agama dan adat. Dalam bahasa sederhana,
keterbatasan-keterbatasan ekonomi dan akses politik dialami sama rata oleh mayoritas
penduduk. (iv)Surplus pertanian untuk investasi sosial, dalam arti hasil pertanian tidak
dikonsumsi semua melainkan diinvestasikan kepada kepentingan-kepentingan sosial
dalam bentuk saling berbagi antar penduduk serta investasi keagamaan dan adat dalam
arti menghidupi ritus keagamaan maupun adat. Menjadi menarik ketika hal ini
diperbandingkan dengan pola sosio ekonomi pasca era liberalisasi tahap II (1870) di Jawa
dimana surplus pertanian dipergunakan untuk kepentingan konsumsi modern. (v)Dengan
teknologi sederhana (PRA KAPITALIS), dalam melakukan aktivitas pertanian penduduk
menggunakan teknologi sederhana, demikianpun terjadi dalam sendi kehidupan yang
lain.
3. Berada pada naungan feodalisme kerajaan dan birokrat lokal. Sebagaimana diungkapkan
oleh Burger (1962) ikatan ekonomi yang berjalan di Jawa pada menjelang abad XIX
maupun pada abad sesudahnya adalah ada dua yaitu ikatan desa dan ikatan feodal.
Sehingga keduanya saling berjenjang mengurus tiga hal sekaligus, yaitu aset, pajak, dan
tenaga kerja.

Intervensi Kolonial Abad XIX
4. Sekitar tahun 1800, ekonomi kolonial di Jawa memiliki dua alat organisasi produksi yang

mendukung penyediaan tenaga kerja. Keduanya yaitu ikatan feodal dan ikatan desa.
Kekuasaan raja atau bupati melalui ikatan feodal menyediakan “kekuasaan” tenaga kerja
untuk proses produksi kolonial. Sedangkan ikatan desa menyediakan barikade tenaga
kerja dari penduduk desa yang dikoordinir oleh kepala desa (Burger 1962: 93-7).
Menurut Breman, desa administratif di Jawa barulah ada sejak abad XIX. Pada saat yang
sama, kepala desa menjadi perpanjangan tangan pemerintah kolonial (Breman 1986).
Ada tiga hal yang diminta supra desa atas desa: aset, pajak dan tenaga kerja. Ketiganya
menjadi

tanggung

jawab

desa

sebagai

institusi

(baca:


kepala

desa)

untuk

menyediakannya. Oleh karena itu, hubungan antara kepala desa dengan kekuasaan di
atasnya tergantung seberapa maksimal penyediaan ketiganya tersebut.
5. Secara umum sejarah ekonomi pertanian Indonesia pada Abad XIX dapat dibagi menjadi
empat fase yaitu (i)Fase Teritorisasi dan konsolidasi aset dan tenaga kerja, dengan
ditandai oleh berkuasannya GJ Daendels tahun 1808; (ii)Fase Liberalisasi tahap I yang
ditandai oleh berkuasanya Rafless tahun 1811; (iii)Fase Pengaturan dengan ditandai
berkuasanya van den Bosch tahun 1830; dan (iv)Fase Liberalisasi tahap II dengan ditandai
oleh Liberalitasi pada sektor agraria yakni muncul agrarisch wet 1870.

2

6. Fase Teritorisasi dan Konsolidasi Aset dan Tenaga Kerja. Daendels ditugaskan ke Jawa
untuk memperbaiki sistem produksi pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Muara dari

semua itu untuk memberikan keuntungan yang baik kepada kerajaan Belanda setelah
bangkrutnya VOC, pada sisi lain juga konon diniatkan untuk memperbaiki kehidupan
masyarakat Jawa. Oleh karena itu, kebijakan yang dikeluarkan oleh Daendels merupakan
fondasi bagi pelaksanaan penjajahan Belanda seterusnya di Nusantara. Melanjutka apa
yang telah dilakukan VOC, yakni tetap mempertahankan pajak hasil bumi (contingenten)
dan sistem penyerahan wajib (verplichte leverantie). Terotirisasi dan konsolidasi aset
dalam hal ini misalnya, pulau Jawa dibagi menjadi 9 prefektuur dan 31 kabupaten. Setiap
prefektuur dikepalai oleh seorang Residen. Setiap Residen membawahi Bupati. Contoh
lain misalnya, Daendels menetapkan semua tanah hutan adalah milik negara. Dalam
konsolidasi tenaga kerja misalnya, para bupati dijadikan pegawai pemerintah Belanda.
Mereka dapat penghasilan dari tanah dan tenaga kerja di wilayahnya. Contoh lain, di
Priangan, Daendels menerapkan kerja wajib untuk warga yang diharuskan menanam
tanaman kopi. Hal yang paling fenomenal adalah Daendels membuat jalan poros Jawa,
dari anyer sampai panarukan, baik sebagai prasarana perekonomian maupun
pertahanan. Mayoritas bekas jalan ini dipergunakan sebagai jalur pantura yang kita kenal
sekarang ini.
7. Liberalisasi untuk pertumbuhan produksi. Kekalahan Belanda atas Inggris membawa
Rafless menduduki kekuasaannya di Jawa. Mengapa disebut sebagai fase liberalisasi
tahap I, karena pada masa Raffles, ia ingin mengakhiri sistem monopoli baik tanah
beserta komoditasnya maupun tenaga kerja dan diganti dengan sistem liberal dimana

kebebasan berusaha dijamin serta negara hanya memungut pajak dari para warga yang
benar-benar mengerjakan tanah. Ide liberalisasi Raffles oleh sebagian kalangan dianggap
terpengaruh oleh Revolusi Perancis 1789 yang menjujung tinggi kebebasan dan
persamaan. Oleh karena itu, untuk mendukung penerapan dari sistem liberal ini serta
untuk meningkatkan produktifitas Jawa, maka Raffles menerapkan sistem sewa tanah.
Sistem sewa tanah ini ditujukan untuk mengundang para investor agar mau datang ke
Jawa untuk berinvestasi dan kemudian sekaligus mendatagkan pajak usaha ke
pemerintahannya.

Hal lain, Raffles menghapuskan pajak hasil bumi dan sistem

penyerahan wajib. Pajak kemudian dipungut perorangan bagi warga yang berusaha.
Dalam sistem pemerintahan, salah satunya adalah mengubah sistem pemerintahan yang
semula dilakukan oleh penguasa pribumi menjadi sistem pemerintahan kolonial yang
bercorak Barat), sehingga para Bupati dilepaskan kedudukannya yang didapat secara
turun temurun.
8. Fase Pengaturan adalah untuk menyebut kebijakan dari pemerintahan baru di bawah van
den Bosch. Setelah ekonomi memburuk akibat krisis di Eropa dan juga adanya perang
Jawa atau perang Diponegoro 1825-1830, Pemerintah Belanda akhirnya mengirimkan
van den Bosch untuk memperbaiki perekonomian di tanah jajahan dalam hal ini

3

nusantara. Akhirnya Bosch mengeluarkan kebijakan sistem tanam paksa (cultuurstelsel).
Terdapat 5 poin kebijakan tanam paksa antara lain: (i)Rakyat harus menanami 1/5 dari
tanah yang dimilikinya dengan tanaman ekspor seperti kopi, tebu, teh dan tembakau;
(ii)Hasil tanaman harus dijual kepada pemerintah dengan harga yang ditetapkan
pemerintah; (iii)Tanah yang ditanami tanaman ekspor tersebut bebas dari pajak tanah,
kaum petani tidak boleh disuruh bekerja lebih keras daripada bekerja untuk penanaman
padinya; (iv)Rakyat yang tidak memiliki tanah dikenakan kerja rodi selama 65 hari;
(v)Setiap tahun di tanah milik pemerintah, kerusakan tanaman menjadi tanggungan
pemerintah, apabila itu bukan karena kesalahan rakyat. Sementara itu, yang saya maksud
Pengaturan adalah meliputi penataan & peruntukan aset agaria, mempertimbangkan
rasio produksi komoditas ekspor. Sedangkan pada komoditas agraria ekspor yang
tertanam, Bosch memonopoli sumberdaya baik komoditas maupun tenaga kerja, dan
juga memonopoli pasar.
9. Liberalisasi tahap II terjadi tahun 1870 ketika kekuasaan rezime tanam paksa berakhir,
dan liberalisasi agraria di mulai. Dengan ditetapkannya undang-undang agraria yakni
agrarisch wet tahun 1870, maka tanah untuk setelahnya tidak akan pernah lagi menjadi
tanah yang tidak bertuan. Artinya, jika tanah tidak dapat dibuktikan kepemilikannya oleh
individu warga maka tanah tersebut otomatis menjadi tanah negara. sistem kepemilikan

tanah yang komunal pada saat yang sama kemudian beralih mau tidak mau menjadi
tanah individu. Akses tanah oleh masyarakat kepada tanah-tanah publik semisal hutan
untuk perladangan, kemudian menjadi dibatasi. Sehingga dengan demikian, ketika tanah
telah jelas terdefinisikan tenurial sistemnya, maka pada tahap selanjutnya pemerintah
Belanda memberikan peluang bagi investor swasta baik itu pertanian, perkebunan,
maupun kehutanan untuk melakukan sewa tanah baik itu di tanah negara maupun tanah
individu masyarakat. Jangka waktu sewa tanah tersebut yaitu 75 tahun. Diharapkan
dengan kebijakan ini, maka investasi akan meningkat, sehingga produktifitas tanah
jajahan juga pada gilirannya akan meningkat. Jika produktifitas meningkat, diharapkan
daya beli masyarakat juga meningkat. Dengan begitu, produk-produk impor dalam
berbagi jenis akan terbeli oleh masyarakat nusantara. Apakah kebijakan ini kemudian
mendatangkan kesejahtaraan seperti logika linier tersebut? Jika memang sejahtera,
kiranya tidak mungkin Douwes Dekker (aka Multatuli) menulis Max Havelaar.

4

Stategi Intervensi
10. Secara sederhana strategi intervensi kolonial Belanda terhadap kehidupan ekonomi
negeri jajahannya di Jawa dapat di simak dalam bagan di bawah ini:


11. Ada empat elemen yang diintervensi yakni sumberdaya agraria/alam (resources),
pemerintahan (politic), moda sosial (social capital), dan tenaga kerja (koeli). Keempat
elemen tersebut diintervensi masing-masing dengan menggunakan strategi yang
berbeda-beda. (i)Resources: melakukan penetapan, peruntukan, serta pengelolaan
(management)

untuk

sebesar-besarnya

melakukan

ekstraksi

atau

pengambilan

sumberdaya agraria atau sumberdaya alam; (ii)Politic: secara bersamaan, menjalankan
strategi mengakomodir struktur politik yang sudah ada (kekuasaan desa dan supradesa)

sekaligus melakukan intervensi terhadap siapa dan bagaimana kekuasaan itu dijalanka;
(iii)Social Capital: kekerabatan warga desa yang dilogikakan sebagai investasi sosial bagi
mereka, oleh Pemerintah Kolonial dimanfaatkan untuk moda produksi guna mendukung
produktifitas; (iv)Koeli: melakukan pengorganisasian alat produksi berupa tenaga kerja
sekaligus memberikan treatment / penanganan secara paksa pada mulanya dengan kerja
wajib, lalu kemudian secara profesional melalui penggajian dengan uang chash. Dengan
strategi itu kiranya kebijakan ekonomi kolonial dijalankan pada abad XIX di Jawa.

5

Implikasi
12. Berjalannya politik ekonomi kolonial abad XIX di Jawa membawa implikasi bagi Kerajaan
Belanda antara lain: (i)Percepatan peningkatan pendapatan kerajaan; (ii)Brand image
eksportir gula dan kopi; (iii)Pertumbuhan Investasi baru oleh swasta; (iv)Meningkatnya
investasi industri belanda di hindia belanda.
13. Sementara itu, bagi negeri Jajahan membawa implikasi: (i)Individualisasi tanah (pascaagraris wets 1870); (ii)Social capital rakyat Jawa semakin menurun; (iii)Hal itu juga
ditopang kebijakan perburuhan dengan sistem upah uang (pasca liberalisasi 1870) yang
semakin memungkinkan ekonomi uang berjalan; (iv)Manusia dan kekayaan agraria
terkonsentrasi pada ekonomi kolonial.

Kesimpulan
14. Strategi intervensi kolonial terhadap masyarakat hindia belanda tidak ada yang
mengingkari cita-cita luhur peningkatan kualitas hidup negeri jajahan. Namun, sejak
liberalisasi awal, tanam paksa, hingga liberalisasi tahap dua, cita-cita tersebut tak kunjung
datang kendati percepatan industri konsesi berjalan massif (kontrak swasta asing 75
tahun). Di samping pendapatan negara netherland tetap terkirim, usaha-usaha perbaikan
keadaan masyarakat hindia belanda lalu digalakkan pada abad setelah nya (abad XX).
15. Selesai.

Daftar Bacaan
Breman, Jan. 1986. Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja: Jawa di Masa Kolonial. Jakarta:
LP3ES
Burger, D.H. 1962. Sedjarah Ekonomi Sosiologis Indonesia, Jilid I. Jakarta: Negara
Pradnjaparamita.
Niel, Robert van. 2003. Sistem Tanam Paksa di Jawa. Jakarta: LP3ES
Popkin, S.I. 1986. Petani Rasional. Jakarta: Lembaga Penerbit Yayasan Padamu Negeri.
Scott, J.C. 1981. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara.
DIterjemahkan oleh Hasan Bahari, disunting oleh Bur Rasuanto. Jakarta: LP3ES.

6

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111

Pengaruh Kerjasama Pertanahan dan keamanan Amerika Serikat-Indonesia Melalui Indonesia-U.S. Security Dialogue (IUSSD) Terhadap Peningkatan Kapabilitas Tentara Nasional Indonesia (TNI)

2 68 157