Delict dalam Hukum Pidana. pdf

DELICT
Makalah ini disusun untuk memenuhi
Tugas kelompok
Mata Kuliah: Hukum Pidana
Dosen Pengampu: Nenden Herawaty S, SH, MH
Rizaldy Pedju, SH, MH

Disusun Oleh :
Kelompok 1
Nama : La Ade 15.1.1.022
Muammar P. Igirisa 15.1.1.024
Yunitha Malondo 15.1.1.027

PROGRAM STUDI AHWALUS SYAKSIYYAH (B)
FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
MANADO
2017

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum merupakan suatu kaidah atau atura-aturan terakait tingkahlaku
manusia dalam kehidupan masyarakat. Manusia dalam kehidupannya selalu
terikat dengan hukum, baik dari lahir sampai meninggal. Setiap tingkahlaku
itu telah ada aturan yang menentukan batas-batas mengenai mana yang boleh
dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan. Berlakunya hukum ini
tentunya diharapkan ada kesadaran hukum dari masyarakat agar mampu
menciptakan keadaan yang aman, tentram dan damai sehingga kesetaraan
terkait hak hidup manusia mampu terpelihara karena dilindungi oleh hukum
Peraturan yang berlaku dalam suatu masyarakat tentunya berbeda-beda
di setiap negara baik dari segi system hukumnya maupun aturan yang telah
dibuat dan telah diberlakukan secara sah. Indonesia sendiri telah mengalami
kisah sejarah yang panjang terkhususnya terkait hukum telah menganut
system hukum Eropa Kontinental dan telah mengkodifikasi hukum dari
Belanda terkhususnya bidang hukum pidana.
Dalam pengkajian hukum pidana tentunya telah dikenal istilah delict,
yang dimana delict merupakan perbuatan pidana atau delict ialah perbuatan
yang dilarang oleh aturan hukum dan barangsiapa yang melanggar larangan

tersebut dikenakan sanksi pidana. Oleh sebab itu dalam pemberlakuan hukum
pidana di Indonesia telah ditentukan hal-hal apa saja yang dapat dikategorikan
kedalam tindak pidana dari tingkah laku masyarakat yang telah diatur dalam
KUHPidana dan undang-undang terkait lainya. Sebagai mahasiswa yang
bergelut dibidang hukum sangat penting mempelajari hukum pidana terkait
delict.

1

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian delict ?
2. Apa saja unsur-unsur delict ?
3. Apa saja jenis-jenis delict ?
4. Bagaimana hukum kausalitas ?

2

BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian delict
Perbuatan pidana atau delict ialah perbuatan yang dilarang oleh aturan
hukum dan barangsiapa yang melanggar larangan tersebut dikenakan sanksi
pidana.1 Hukum pidana Belanda memakai istilah strafbaar feit, kadang-kadang
juga delict yang berasal dari bahasa latin delictum. 2 Selain itu perbuatan
pidana dapat dikatakan sebagai perbuatan yang oleh suatu aturan hukum
dilarang dan diacam pidana, perlu diingat bahwa larangan ditujukan pada
orang yang menimbulkan perbuatan pidana itu.3
Menurut Van Hammel, delict adalah suatu serangan atau suatu ancaman
terhadap hak-hak orang lain. Sedangkan menurut Prof. Simons, delict adalah
suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja
ataupun tidak senganja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan
atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu
tindakan atau perbuatan yang dapat dihukum.4
Berdasarkan Prof. Simons maka delict memuat beberapa unsur yaitu:
1. Suatu perbuatan manusia
2. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undangundang
3. Perbuatan


itu

dilakukan

oleh

seseorang

yang

dapat

dipertanggungjawabkan

1

Seoharto, Hukum Pidana Materiil, (Jakarta: Sinar Grafika, 1993), h.22
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h.86
3
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h.59

4
Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum, (Jakarta: Sinar Grafika,
1991), h.4
2

3

Berdasarkan pasal 1 ayat (1) KUHP maka seseorang dapat dihukum bila
memenuhi hal-hal sebagai berikut:
1. Ada suatu norma pidana tertentu
2. Norma pidana tersebut berdasarkan undang-undang
3. Norma pidana itu harus telah berlaku sebelum perbuatan itu terjadi.
Dengan kata lain tidak seorangpun dapat dihukum kecuali telah
ditentukan suatu hukuman berdasarkan undang-undang terhadap perbuatan itu.
Menurut Moeljatno, kata “perbuatan” dalam “perbuatan pidana” mempunyai
arti yang abstrak yaitu merupakan suatu pengertian yang menunjuk pada dua
kejadian yang kongkrit yakni adanya kejadian tertentu dan adanya orang yang
berbuat sehingga menimbulkan kejadian.5

B. Unsur-Unsur Delict

Berdasarkan analisa, delict terdiri dari dua unsur pokok, yaitu:
1. Unsur pokok subyektif
Asas pokok hukum pidana “Tak ada hukuman kalau tak ada
kesalahan” kesalahan yang dimaksud disini adalah sengaja dan kealpaan.
2. Unsur pokok obyektif
Perbuatan manusia yang berupa act dan omission. Act adalah
perbuatan aktif atau perbuatan positif. Sedangkan omission yaitu
perbuatan tidak aktif atau perbuatan negatif. Dengan kata lain adalah
mendiamkan atau membiarkan.

5

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, h.60

4

a. Akibat perbuatan manusia
Menghilangkan, merusak, membahayakankepentingan-kepentingan
yang dipertahankan oleh hukum. Misalnya nyawa, badan, kemerdekaan,
hak milik, kehormatan dan lain sebagainya.

Keadaan-keadaan yaitu keadaan pada saat perbuatan dilakukan dan
keadaan setelah perbuatan melawan hukum.
b. Sifat dapat dihukum dan sifat melewan hukum.
Semua unsur delict tersebut merupakan satu kesatua dalam satu
Delict. Satu unsur saja tidak ada atau tidak didukug bukti, akan
menyebabkab tersangka / terdakwa dapat dihukum. Penyelidik,
penuntut umum harus dengan cermat meneliti tentang adanya unsurunsur delict tersebut. 6

C. Macam macam delict
Penggolongan jenis jenis delick terdapat di dalam KUHP dan di luar
KUHP. Jenis jenis delick dalam KUHP terdiri atas kejahatan (misdrijven) dan
pelanggaran (overtredingen), atau disebut delict hukum (rechtsdelicten) dan
delict undang undang (wetdelicten).
Suatu perbuatan merupakan delict hukum (kejahatan) apabilan perbuatan
itu bertentangan dengan asas asas hukum yang ada dalam kesadaran hukum
dari rakyat, terlepas dari apakah asas asas hukum tersebut dicantumkan atau
tidak dalam undang undang pidana. Rechtdelictum adalah adalah perbuatan
dalam keinsyafan batin manusia yang dirasakan sebagai perbuatan tidak adil
menurut undang undang dan perbuatan tidak adil menurut asas asas hukum
yang tidak dicantumkan secara tegas dalam undang undang, tetapi masyarakat

memandangnya sebagai suatu perbuatan yang dilarang dan bertentangan
6

Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum, h.6-7

5

dengan hukum masyarakat yang bersangkutan, maka di situ merupakan
rechtdelicten sebagai suatu kejahatan.
Westdelicten adalah perbuatan yang menurut keinsyafan batin manusia
tidak dirasakan sebagai perbuatan tidak adil, tetapi baaru dirasakan sebagai
perbuatan terlarang karena undang undang mengancam dengan pidana. Jadi,
delict undang undang merupakan perbuatan yang bertentangan dengan apa
yang secara tegas dicantumkan dalam undang undang pidana, terlepas dari
apakah perbuatan tersebut bertentangan atau tidak dengan kesadaran hukum
rakyat.7
Berikut adalah macam macam delict :
1. Delict kejahatan dan pelanggaran
Perbuatan-perbuatan pidana menurut sistem KUHP dibagi atas
kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Pembagian

tersebut didasarkan atas perbedaan prinsipil. Pembagian kejahatan disusun
dalam Buku II KUHP dan pelanggaran disusun dalam buku III KUHP.
Undang-undang

hanya

memberikan

penggolongan

kejahatan

dan

pelanggaran, akan tetapi tidak memberikan arti yang jelas.
Kejahatan

merupakan

perbuatan


yang

bertentangan

dengan

kepentingan hukum, sedangkan pelanggaran merupakan perbuatan yang
tidak mentaati larangan atau keharusan yang ditentukan oleh penguasa
Negara.8 Ada tiga macam kejahatan yang dikenal dalam KUHP yakni:
a. Kejahatan terhadap Negara. Sebagai contohnya adalah Penyerangan
terhadap Presiden atau Wakil Presiden yang terdapat pada pasal
104 KUHP, Penganiayaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden
pada pasal 131 KUHP, Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil
Presiden pada pasal 134 KUHP.
7
8

Pipin Syarifin, Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung : Pustaka setia, 2000), h.55-56
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, (Yogyakarta: Ghia Indonesia, 1982),


h.96

6

b. Kejahatan terhadap harta benda misalnya pencurian pada pasal 362
s/d 367 KUHP, pemerasan pada pasal 368 s/d 371 KUHP,
penipuan pada pasal 406 s/d 412 KUHP. Menurut undang-undang
pencurian itu dibedakan atas lima macam pencurian yaitu: (a)
pencurian biasa pada apsal 362 KUHP, (b) pencurian dengan
pemberatan pada pasal 363 KUHP, (c) pencurian dengan kekerasan
pada pasal 365 KUHP, (d) pencurian ringan pada pasal 364 KUHP,
(e) pencurian dalam kalangan keluarga pada pasal 367 KUHP.
c. Kejahatan terhadap badan dan nyawa orang semisal penganiayaan
dan pembunuhan.9
Pelanggaran yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya
baru dapat diketahui setelah ada keterangan yang menentukan demikian.
Pelanggaran dibagi tiga macam yakni: Pelanggaran tentang keamanan
umum bagi orang, barang dan kesehatan umum. Misalnya, kenakalan yang
artinya semua perbuatan orang bertentangan dengan ketertiban umum
ditujukan pada orang atau binatang atau baarang yang dapat menimbulkan
bahaya atau kerugian atau kerusuhan yang tidak dapat dikenakan dalam
pasal khusus dalam KUHP.10
Perbedaan kejahatan dan pelanggaran:
a. Pidana penjara hanya diancamkan pada kejahatan saja
b. Jika menghadapi kejahatan maka bentuk kesalahan (kesengajaan
atau kealpaan) yang diperlukan disitu, harus dibuktikan oleh jaksa,
sedangkan jika menghhadapi pelanggaran hal itu tidak usah.
c. Percobaan untuk melakukan pelanggaran tidak dapat dipidana
(Pasal 54).

9

R. Soesilo, Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delict-Delict Khusus,
(Bogor: Karya Nusantara, 1984), h.110
10
R. Soesilo, Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delict-Delict Khusus,
h.199

7

d. Tenggang kadaluwarsa, baik untuk hak menentukan maupun hak
penjalanan pidana bagi pelanggaran pidana satu tahun, sedangkan
kejahatan dua tahun. 11
2. Delict dolus dan culpa
Delict dolus ialah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana yang dilakukan dengan sengaja.

12

Contohnya terdapat pada pasal

338 KUHP yang berbunyi “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa
orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama
lima belas tahun”.

13

Selain pada pasal 338 KUHP, terdapat pula contoh

Delict dolus lainnya yaitu, pasal 354 KUHPdan pasal 187 KUHP.
Delict culpa ialah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana yang dilakukan dengan kealpaan (kelalaian). 14 Contoh delict culpa
yaitu pasal 359 KUHP yang berbunyi “Barang siapa karena kealpaannya
menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling
lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”. 15
Culpa dibedakan menjadi culpa dengan kesadaran dan culpa tanpa
kesadaran. Culpa kesadaraan terjadi ketika si pelaku telah membayangkan
atau menduga akan timbul suatu akibat, tetapi walaupun ia berusaha untuk
mencegah, agan tepat timbul masalah. Sedangkan culpa tanpa kesadaran
terjadi ketika si pelaku tidan menduga akan timbul suatu akibat, yang
dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang, sedang ia
seharusnya memperhitungkan akan timbulnya akibat.16
Tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang mampu
bertanggung jawab selalu dianggap dilakukan dengan kesengajaan atau
kealpaan. Kesengajaan dan kealpaan adalah bentuk-bentuk kesalahan.
11

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, h.81
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, h.99
13
Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h.122
14
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, h.100
15
Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, h.127
16
Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum, h.31
12

8

Tidak adanya salamh satu dari keduanya tersebut berarti tidak ada
kesalahan.17
3. Delict commissionis dan delict ommisionis
Delict commissionis adalah perbuatan melakukan sesuatu yang
dilarang oleh aturan-aturan pidana, misalnya mencuri (Pasal 362),
menggelapkan (Pasal 372), menipu (Pasal 378). Delict commisionis pada
umumnya terjadi di tempat dan waktu pembuat (dader) mewujudkan segala
unsur perbuatan dan unsure pertanggungjawaban pidana.
Delict Ommisionis yaitu tindak pidana yang berupa perbuatan pasif
yakni, tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan. Contoh delict
ommisionis terdapat dalam BAB V pasal 164 KUHP tentang kejahatan
terhadap ketertiban umum.18
4. Delict formil dan delict materiil
Delict formil ialah rumusan undang-undang yang menitikberatkan
kelakuan yang dilarang dan diancam oleh undang-undang, seperti pasal 362
KUHP tentang pencurian.
Delict Materiil ialah rumusan undang-undang yang menitikberatkan
akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,
seperti pasal 35 KUHP tentang penganiayaan. 23 Kadang-kadang suatu
Delict diragukan sebagai delict formil ataukah materiil, seperti tersebut
dalam pasal 279 KUHP tentang larangan bigami.19
5. Delict biasa dan delict berkualifikasi
Delict biasa yaitu delict yang mempunyai bentuk pokok yang disertai
unsur memberatkan atau juga mempunyai bentuk pokok yang disertai unsur
17

Djoko Prakoso, Pembaharu Hukum Pidana di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty
Yogyakarta, 1987), h.78-79
18
Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.177
19
Tongat, Dasar-dasar Hukum Piadana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan,
(Malang: UMM Press, 2009), h.146

9

yang meringankan. Contohnya pasal 341 lebih ringan daripada pasal 342,
pasal 338 lebih ringan daripada pasal 340 dan 339, pasal 308 lebih ringan
daripada pasal 305 dan 306.20
Delict berkualifikasi adalah bentuk khusus, mempunyai semua unsur
bentuk pokok yang disertai satu atau lebih unsur yang memberatkan. 26
Misalnya

pencurian

dengan

membongkar,

penganiayaan

yang

mengakibatkan kematian, pembunuhan berencana. 27 Dalam pasal 365
terhadap pasal 362, pasal 374 terhadap pasal 372.
6. Delict murni dan delict aduan
Delict murni yaitu Delict yang tanpa permintaan menuntut, Negara
akan segara bertindak untuk melakukan pemeriksaan. Berdasarkan pasal
180 KUHAP setiap orang yang melihat, mengalami, mengetahui,
menyaksikan, menjadi korban PNS dalam melakukan tugasnya berhak
melaporkan.
Delict aduan adalah delict yang proses penuntutannya berdasarkan
pengaduan korban. Delict aduan dibagi menjadi dua yaitu yang pertama
murni dan yang kedua relatif.21
7. Delict selesai dan delict berlanjut
Delict selesai yaitu delict yang terdiri atas kelakuan untuk berbuat
atau tidak berbuat dan delict telah selesai ketika dilakukan, seperti
kejahatan tentang pengahasutan, pembunuhan, pembakaran ataupun pasal
330 KUHP yang berbunyi:
a. Barang siapa dengan sengaja menarik orang yang belum cukup umur dari
kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya atau
dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan
pidana penjara paling lama tujuh tahun.
20
21

Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, h.100
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, h.101

10

b. Bilamana dalam hal ini dilakukan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman
kekerasan, atau bilamana anaknya belum berumur 12 tahun, dijatuhkan
hukuman pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Berdasarkan bunyi ayat (2) pasal ini, maka unsur kekerasan atau
ancaman kekerasan merupakan hal yang memperberat pidana. Jadi, Delict
aslinya yang tercantum di ayat satu tidak perlu ada unsur kekerasan atau
ancaman kekerasan. 22
Delict berlanjut yaitu Delict yang terdiri atas melangsungkan atau
membiarkan suatu keadaan yang terlarang, walaupun keadaan itu pada
mulanya ditimbulkan untuk sekali perbuatan. Contohnya, terdapat dalam
pasal 221 tentang menyembunyikan orang jahat, pasal 333 tentang
meneruskan kemerdekaan orang, pasal 250 tentang mempunyai persediaan
bahan untuk memalsukan mata uang. 23

D. Kausalitas ( sebab akibat )
Secara etimologi, kausalitas atau causalitied berasal dari kata causa yang
berarti sebab24. Kata kausa dalam Kamus Hukum diartikan dengan alasan atau
dasar hukum; suatu sebab yang dapat menimbulkan suatu kejadian.

25

Berdasarkan pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kausalitas
merupakan suatu yang menyatakan tentang hubungan sebab dan akibat. Dalam
ilmu hukum pidana teori kausalitas dimaksudkan untuk menentukan hubungan
objektif antara perbuatan manusia dengan akibat yang tidak dikenhadi undangundang. Penentuan sebab akibat dalam kasus-kasus pidana menjadi persoalan
yang sulit untuk dipecahkan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sendiri
tidak petunjuk tentang hubungan sebab dan akibat yang dapat menimbulkan
22

Andi Hamzah, Delict-Delict Tertentu di dalam KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009),

23

Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, h.101
Buku Ajar Konsep Dasar Hukum Pidana, (Malang:Fakultas Syaria UIN Malang, 2004),

h.27
24

h.17
25

M. Marwan & Jimmy P, Kamus Hukum, (Surabaya:Realiti Publiser, 2009), h 326

11

delict. Meskipun dalam beberapa pasal KUHP dijelaskan bahwa dalam delictdelict tertentu diperlukan adanya suatu akibat tertentu guna menjatuhkan
pidana terhadap pembuatnya.26
Sebelum membahas lebih jauh tentang teori kausalitas, pada bagian ini
diperlukan penjelasan tentang tindak pidana berdasarkan cara merumuskannya.
Tindak pidana dibagi menjadi dua, yaitu tindak pidana formil (formeel
delicten) dan tindak pidana materiil (materieel delicten). Tindak pidana formil
adalah tindak pidana yang dirumuskan dengan melarang melakukan suatu
tikah laku tertentu. Artinya dalam rumusan itu secara tegas disebutkan
perbuatan tertentu yang menjadi pokok larangan. Dalam kaitannya dengan
kasus pidana, apabila perbuatan tersebut selesai dilakukan maka dapat disebut
sebagai tindak pidana, tanpa memandang akibat yang ditimbulkan. Misalnya
tindak pidana pencurian Pasal 362 KUHP. Apabila pencurian telah selesai
dilakukan maka dapat disebut sebagai tindak pidana.27
Sedangkan tindak pidana materiil adalah tindak pidana yang menitik
beratkan pada

larangan timbulnya akibat tertentu atau akibat konstitutif.

Meskipun dalam rumusan tindak pidana disebutkan adanya unsur tingkah laku
tertentu. Untuk menyelesaikan tindak pidana tidak tergantung pada selesainya
perbuatan, akan tetapi tergantung pada akibat terlarang yang ditimbulkan dari
perbuatan tersebut. Misalnya menghilangkan nyawa pada kasus pembunuhan
Pasal 338 KUHP. Perbuatan menghilangkan nyawa seperti menusuk dengan
benda tajam tidak bisa menimbulkan tindak pidana pembunuhan jika
korbannya tidak meninggal dunia. Tindakan ini dimasukkan dalam katagori
percobaan pembunuhan pasal 338 KUHP. Untuk menimbulkan tindak pidana
materiil secara sempurna diperlukan 3 syarat yang tak terpisahkan, yaitu
terwujudnya tingkah laku, terwujudnya akibat, dan adanya hubungan
kausalitas di antara keduanya.
26

A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, (Jakarta:Sinar Grafika, 2007), h.2006
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2: Penafsiran Hukum Pidana, Dasar
Pemidanaan & Peringanan Pidana, Kejahatan Aduan, Perbarengan & Ajaran Kausalitas,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h.213
27

12

Dalam menentukan adanya sebab yang benar-benar menimbulkan suatu
akibat tidaklah mudah. Hal ini disebabkan oleh kompleksitas faktor-faktor
yang berkaitan dengan peristiwa yang dihadapi. Contohnya, seorang laki-laki
mengendarai sepeda motor mendadak menyeberang tanpa memberikan isyarat
lampu dan dari arah belakang melaju kencang sebuah mini bus, sopir mini bus
yang kaget membunyikan klakson dan menginjak rem sekuat tenaga sehingga
tabrakan pun tidak sampai terjadi. Namun, laki-laki tersebut tiba-tiba jatuh dan
segera dilarikan ke rumah sakit. Beberapa jam kemudian, laki-laki ini
meninggal dunia karena serangan jantung. Pihak kepolisian menyatakan
bahwa kecelakaan yang terjadi akibat pengendara sepeda motor yang tidak
mematuhi peraturan dan sopir minibus dibebaskan. Namun ahli waris tidak
terima terhadap pengehentian penyelidikan dan mengajukan upaya pra
peradilan ke Pengadilan Negeri agar menetapkan bahwa pengehntian
penyelidikan tidak sah dan memerintahkan kepada penyidik untuk
melanjutkan perkara itu. Hal ini tentunya tidak mudah bagi pengadilan negeri
dan penyidik dalam menilai kasus ini.
Berdasarkan ilustrasi di atas, disinilah letak urgensi ajaran kausalitas,
yaitu ajaran yang mencari dan menentukan ada atau tidaknya hubungan kausal
antara perbuatan dengan akibat yang timbul. Selain itu, ajaran ini juga dapat
menentukan hubungan antara suatu perbuatan dengan akibat dalam tindak
pidana yang dikualifisir oleh unsur akibatnya, yaitu suatu tindak pidana
bentuk pokok (eenvoudige delicten) yang ditambah dengan unsur khusus.
Unsur ini merupakan akibat dari perbuatan, baik yang bersifat meringankan
atau memberatkan. Misalnya pada tindak pidana penganiayaan sebagai bentuk
pokok, pasal 351 ayat (1) KUHP. Hukumannya akan menjadi lebih berat jika
penganiayaan itu menimbulkan luka berat (pasal 351 ayat (2)) atau kematian
(pasal 351 ayat (3)) yang menjadi unsur khusus.
Usaha menentukan hubungan sebab akibat dalam suatu kasus pidana
terdapat beberapa teori yang dapat digunakan. Meskipun demikian, tetap harus
berpedoman pada falsafah Poset hoc non propter hoc yang menyatakan bahwa

13

suatu peristiwa yang terjadi setelah peristiwa lain belum tentu merupakan
akibat dari peristiwa yang mendahuluinya.
Ada beberapa ajaran kausalitas yang dikelompokkan menjadi tiga teori besar:
1. Teori conditio sine qua non
Teori ini pertama kali dicetuskan pada tahun 1873 oleh Von Buri,
ahli hukum dan mantan presiden Reichsgericht (Mahkamah Agung)
Jerman. Von Buri mengatakan bahwa tiap-tiap syarat atau semua faktor
yang turut serta atau bersama-sama menjadi penyebab suatu akibat dan
tidak dapat dihilangkan dari rangkaian faktor-faktor yang menimbulkan
akibat harus dianggap causa (akibat). Tiap-tiap faktor memiliki nilai yang
sama dan sederajad tidak membedakan faktor syarat dan faktor penyebab.
Jika salah satu syarat tidak ada maka akan menimbulkan akibar yang lain
pula. Teori ini juga disebut dengan equivalent theori karena setiap syarat
nilainya sama dan bedingung theori sebab bagianya tidak ada perbedaan
antara syarat dan penyebab. Ajaran ini berimplikasi pada perluasan
pertanggungjawaban dalam perbuatan pidana.
Seperti halnya teori-teori yang lain, teori Von Buri ini memiliki
kelemahan dan kelebihan tersendiri. Kelemahan ajaran ini adalah tidak
dibedakannya faktor syarat dan faktor penyebab. Dalam ilustrasi kasus di
atas, si pengemudi mini bus harus diminta pertanggung jawaban atas
kematian pengendara sepeda motor. Padahal bunyi klakson dan suara rem
merupakan faktor syarat bukan faktor penyebab. Hal ini dipandang tidak
adil sebab tidak ada unsur kesengajaan atau kealpaan pada dirinya. Artinya
teori ini bertentangan dengan asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen
straft zonden schuld). Sedangkan kelebihan dari teori ini adalah mudah
digunakan dan diterapkan tanpa menimbulkan perdebatan dan pemikiran
mendalam untuk mencari faktor penyebab yang sebenarnya.
Pengaut teori Von Buri adalah Van Hammel yang mengatakan
bahwa teori Conditio Sine Qua Non satu-satunya teori logis yang dapat
14

dipertahankan. Namun, penggunaannya dalam hukum

pidana harus

disertai oleh teori kesalahan. Teori menyatakan tidak semua orang yang
perbuatannya menjadi salah satu faktor di antara sekian banyak faktor
dalam suatu peristiwa yang menimbulkan akibat terlarang harus
bertanggung jawab atas akibat itu, melainkan apabila perbuatan dirinya
terdapat unsur kesalahan baik kesengajaan atau kealpaan. Pendapat Van
Hammel ini dianggap wajar sebab ia adalah pengikut aliran monistis yang
tidak memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban dalam
hukum pidana.
Kritik dan keberatan atas teori ini kemudian bermunculan. Misalnya
ada orang yang mati ditembak orang lain. Menurut teori ini, pejual senjata
api, perusahaan senjata api juga bertanggung jawab atas kematian orang
tersebut. Menurut Van Bammelan teori ini terlalu luas jangkauannya. Prof.
Moelyatno tidak bisa menerima teori ini meskipun secara logis adalah
benar. Teori ini bertentangan dengan pandangan umum dalam pergaulan
masyarakat, yang justru membedakan antara syarat dan penyebab.
Menurutnya, perbuatan seorang penjual senjata api tidak dapat diterima
sebagai penyebab terbunuhnya seseorang yang disamakan dengan
perbuatan pembunuhnya. Beliau membedakan perbuatan pidana dengan
pertanggungjawaban pidana. Ajaran tentang kesalahan digunakan apabila
terdakwa telah terbukti melakukan perbuatan pidana. Padahal hubungan
kausalitas bertujuan menentukan apakah terdakwa melakukan perbuatan
yang dilarang atau tidak.
2. Teori Individualisasi
Teori ini berusaha mencari faktor penyebab dari timbulnya suatu
akibat dengan hanya melihat pada faktor yang ada atau terdapat setelah
perbuatan dilakukan. Dengan kata lain peristiwa dan akibatnya benar-benar
terjadi secara konkret (post factum). Menurut teori ini tidak semua faktor
merupakan penyebab. Dan faktor penyebab itu sendiri adalah faktor yang

15

sangat dominan atau memiliki peran terkuat terhadap timbulnya suatu
akibat. Pendukung teori ini adalah Birkmayer dan Karl Binding.
Birkmayer mengemukakan teori de meest werkzame factor pada
tahun 1885 yang menyatakan bahwa dari serentetan syarat yang tidak dapat
dihilangkan, tidak semua dapat digunakan untuk menimbulkan suatu akibat,
hanya faktor yang dominan atau kuat pengaruhnyalah yang dapat
dijaadikan penyebab timbulnya suatu akibat. Kesulitannya adalah
bagaimana menentukan faktor yang dominan dalam suatu perkara.
Contohnya, faktor serangan jantung yang menjadi faktor dominan yang
menyebabkan seseorang meninggal dunia dalam ilutrasi di atas. Dan
pengemudi mini bus yang membunyikan klakson tidak dapat dimintai
pertanggung jawaban

pidana.

Karl

Binding mengemukakan

teori

ubergewischts theorie yang menyatakan bahwa faktor penyebab adalah
faktor terpenting dan sesuai dengan akibat yang timbul. Dalam suatu
peristiwa pidana, akibat terjadi karena faktor yang menyebabkan timbulnya
akibat lebih dominan (faktor positif) daripada faktor yang meniadakan
akibat (faktor negatif). Satu-satunya faktor sebab adalah faktor syarat
terakhir yang menghilangkan kesimbangan dan memenangkan faktor
positif tadi.
Selain dua tokoh di atas, terdapat tokoh lain yang mengemukakan
teori individualisir seperti, Teori die art des werden yang dikemukakan oleh
Kohler, yang menyatakan bahwa sebab adalah syarat yang menurut sifatnya
menimbulkan akibat. Ajaran ini merupakan variasi dari ajaran Birkmeyer .
Syarat-syarat yang menimbulkan akibat tersebut jika memiliki nilai yang
hampir sama akan sulit untuk menentukan syarat mana yang menimbulkan
akibat. Kemudian teori Letze Bedingung yang dikemukakan oleh Ortman,
menyatakan

bahwa

faktor

yang

terakhir

yang

mematahkan

keseimbanganlah yang merupakan factor, atau menggunakan istilah Sofyan
Sastrawidjaja bahwa sebab adalah syarat penghabisan yang menghilangkan

16

keseimbangan antara syarat positif dengan syarat negative, sehingga
akhirnya syarat positiflah yang menentukan.
Kelemahan dari teori ini adalah penentuan faktor yang paling kuat
pengaruhnya jika semua faktor sama-sama kuat untuk menimbulkan akibat.
atau jika sifat dan corak pengaruh tidak sama dalam rangkaian faktor tidak
sama. Kelemahan teori ini juga dapat dipahami dari ilustrasi berikut: A
berniat membakar gudang orang lain, lalu ditempatknya kaca pembesar di
atas tumpukan jerami sehingga kalau matahari mengenai kaca dapat
menimbulkan percikan api yang memicu kebakaran. Berdasarkan teori ini
maka A luput dari jerat hukum pidana sebab faktor dominan terakhir adalah
sinar matahari yang mengenai kaca pembesar.

Karena persoalan ini

kemudian muncullah teori generalisasi.
3. Teori Generalisasi
Teori ini menyatakan bahwa dalam mencari sebab (causa) dari
rangkaian faktor yang berpengaruh atau berhubungan dengan timbulnya
akibat dilakukan dengan melihat dan menilai pada faktor mana yang secara
wajar dan menurut akal serta pengalaman pada umumnya dapat
menimbulkan suatu akibat. Pencarian faktor penyebab tidak berdasarkan
faktor setelah peristiwa terjadi beserta akibatnya, tetapi pada pengalaman
umum yang menurut akal dan kewajaran manusia. Persoalannya kemudian
bagaimana menentukan sebab yang secara akal dan menurut pandangan
umum menimbulkan akibat? Berdasarkan pertanyaan ini kemudian muncul
teori Adequat yaitu:
a. Teori Adequat Subjektif
Dipelopori oleh J. Von Kries yang menyatakan bahwa yang
menjadi sebab dari rangkaian faktor yang berhubungan dengan
terwujudnya delict, hanya satu sebab saja yang dapat diterima, yakni
yang sebelumnya telah dapat diketahui oleh pembuat. Contoh, si A
mengetahui bahwa si B mengidap penyakit jantung dan dapat
17

menimbulkan kematian jika dipukul oleh sesuatu. Kemudian si A tibatiba memuukul si B dengan yang berakibat pada kematiannya, maka
perbuatan mengejutkan itu dikatakan sebagai sebab.
b. Teori Adequat objectif-nachtraglicher prognose
Teori ini dikemukakan oleh Rumelin, yang menyatakan bahwa
yang menjadi sebab atau akibat, ialah faktor objektif yang ditentukan
dari rangkaian faktor-faktor yang berkaitan dengan terwujudnya Delict,
setelah delict terjadi. Atau dengan kata lain causa dari suatu akibat
terletak pada faktor objektif yang dapat dipikirkan untuk menimbulkan
akibat.
c. Teori Adequate menurut Traeger
Menurut Traeger, akibat delict haruslah in het algemeen
voorzienbaar artinya pada umumnya dapat disadari sebagai sesuatu yang
mungkin sekali dapat terjadi. Van Bemmelen mengomentari teori ini
bahwa yang dimaksud dengan in het algemeen voorzienbaar ialah een
hoge mate van waarschijnlijkheid yang artinya, disadari sebagai sesuatu
yang sangat mungkin dapat terjadi.
Apabila dilihat dari unsur tingkah lakunya, tindak pidana dibedakan
menjadi tindak pidana aktif (tindak pidana comissi) dan tindak pidana pasif
(tindak pidana omisi). Tindak pidana omisi adalah tindak pidana yang
disebabkan oleh perbuatan pasif. Pelaku melanggar suatu kewajiban hukum
(rechtsplicht) untuk berbuat sesuatu. Misalnya barangsiapa oleh hukum
diwajibkan untuk melakukan suatu perbuatan akan tetapi dia tidak melakukan
(pasal 304 KUHP) atau diperintahkan untuk datang tetapi tidak datang (pasal
522 KUHP).
Tindak pidana pasif sendiri masih dibagi lagi menjadi dua bagian.
Pertama, tindak pidana pasif murni yang merupakan tindak pidana formil yang
tidak tergantung pada akibat. Misalnya, pasal 522 menyatakan Barang siapa

18

menurut undang-undang dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa, tidak
datang secara melawan hukum, diancam dengan pidana denda paling banyak
sembilan ratus rupiah. Tidak datangnya saksi yang dimaksud secara sempurna
telah menimbulkan delict, tanpa memperhatikan akibat yang ditimbulkan.
Kedua, tindak pidana pasif yang tidak murni yang terjadi pada tindak
pidana materiil yang mementingkan aspek akibat daripada perbuatan
pidananya. Tindak pidana meteriil tertentu bisa saja terjadi meskipun dengan
tidak berbuat. Misalnya seorang ibu sengaja tidak menyusui anaknya yang
dapat mengakibatkan kematian bagi anaknya tersebut (Pasal 338 KUHP).
Persolan yang muncul adalah apakah mungkin tidak berbuat sesuatu dapat
menimbulkan akibat ? mengenai persoalan ini ada beberapa pandangan:
1. Pandangan ilmu pengetahuan alam
Tidak mungkin adanya hubungan antara akibat dengan tidak
melakukan perbuatan. Pandangan ini tidak sejalan dengan pandangan
hukum yang mengatur tentang nilai. Dalam kehidupan sehari-hari
banyak kejadian pidana yang disebabkan oleh tidak berbuatnya
seseorang, dimana menurut rasa keadilan masyarakat perlu diminta
pertanggungjawaban. Misal, kecelakaan kereta api yang menewaskan
banyak orang.
2. Pandangan teori berbuat lain (theori Van Het Anders Doen)
Perbuatan aktif merupakan perbuatan apa yang dilakuakan pada
saat terwujudnya akibat terlarang. Misalnya pada kasus kematian bayi
karena tidak disusui. Bahwa ibu si bayi dipandang sedang melakukan
perbuatan apa pada saat bayinya meninggal. Seperti dia sedang
selingkuh. Namun teori ini juga tidak memuaskan, karena tidak ada
hubungan antara selingkuh dengan kematian bayi.
3. Pandangan Teori berbuat Sebelumnya (theori Van Het Voorrafgaande
Doen)

19

Yang seharusnya dipandang sebagai sebab dari timbulnya akibat
adalah perbuatan yang mendahului pada saat terwujudnya akibat.
misalnya seorang penjaga pintu kereta api yang tidak menurunkan
palang kereta pada saat kereta akan lewat. Yang menjadi
penyebabnya yaitu jabatan petugas penjaga palang kereta diterima
sebelum kejadian. Pendapat ini juga tidak memuaskan karena tidak
ada hubungan antara penerimaan jabatan dengan kecelakaan.28
4. Pandangan berdasarkan kewajiban hukum
Seseorang dalam waktu dan keadaan tertentu diwajibkan oleh
hukum untuk melakukan perbuatan. Jika kemudian dia tidak berbuat
dan menimbulkan akibat maka sebab dari akibat itu adalah
kepemilikan kewajiban hukum tersebut. Teori ini dipelopori oleh Van
Hammel yang menyatakan bahwa seseorang tidak berbuat, ia tidak
dapat dianggap menyebabkan suatu akibat, apabila aia tidak memiliki
kewajiban hukum untuk berbuat. Sebagai upaya mengetahui bahwa
seseorang memiliki kewajiban hukum atau tidak, berdasarkan
beberapa alasan: (1) pekerjaan atau jabatan (2) ditetapkan oleh hukum
(3) kepatutan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.

28

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Latihan Ujian Hukum Pidana, (Jakarta:Sinar
Grafika, 2007), h.119 - 203

20

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

- Pengertian delik yaitu perbuatan pidana atau perbuatan yang dilarang oleh
aturan hukum dan barangsiapa yang melanggar larangan tersebut
dikenakan sanksi pidana.
- Delict terdiri dari dua unsur pokok, yaitu unsur pokok subyektif dari
kesalahan yang sengaja dan kealpaan, dan unsur pokok obyektif yang
terbagi dalam du hal yaitu : Akibat perbuatan manusia dan Sifat dapat
dihukum dan sifat melewan hukum.
- Macam macam delict yaitu :
1. Delict kejahatan dan pelanggaran
2. Delict dolus ialah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana yang dilakukan dengan sengaja.
3. Delict commissionis adalah perbuatan melakukan sesuatu yang
dilarang oleh aturan-aturan pidana.
4. Delict formil ialah rumusan undang-undang yang menitikberatkan
5. Delict biasa yang mempunyai bentuk pokok yang disertai unsur
memberatkan atau yang disertai unsur yang meringankan.
6. Delict murni tanpa permintaan menuntut
7. Delict selesai
- Kausalitas atau causalitied dalam Kamus Hukum diartikan dengan alasan
atau dasar hukum, suatu sebab yang dapat menimbulkan suatu kejadian.
kausalitas merupakan suatu yang menyatakan tentang hubungan sebab dan
akibat. Dalam ilmu hukum pidana teori kausalitas dimaksudkan untuk
menentukan hubungan objektif antara perbuatan manusia dengan akibat
yang tidak dikenhadi undang-undang.

21

DAFTAR PUSTAKA

2004. Buku Ajar Konsep Dasar Hukum Pidana. Malang: Fakultas Syaria UIN
Malang.
Abidin Farid, A. Zainal. 2007. Hukum Pidana 1. Jakarta: Sinar Grafika.
Abidin Farid, Zainal. 2009. Hukum Pidana 1. Jakarta: Sinar Grafika.
Chazawi,Adami. 2002. Pelajaran Hukum Pidana 2: Penafsiran Hukum Pidana,
Dasar

Pemidanaan

&

Peringanan

Pidana,

Kejahatan

Aduan,

Perbarengan & Ajaran Kausalitas. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Hamzah, Andi. 2008. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.
Hamzah, Andi. 2009. Delict-Delict Tertentu di dalam KUHP. Jakarta: Sinar
Grafika.
Kansil, C.S.T. dan Kansil, Christine S.T. 2007. Latihan Ujian Hukum Pidana.
Jakarta: Sinar Grafika.
Marpaung, Leden. 1991. Unsur-unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum. Jakarta:
Sinar Grafika.
Marwan, M. & P, Jimmy. 2009. Kamus Hukum. Surabaya: Realiti Publiser.
Moeljatno. 2008. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.
Moeljatno. Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Jakarta: Bumi Aksara, 2008
Poernomo, Bambang. 1982. Asas-asas Hukum Pidana. Yogyakarta: Ghia
Indonesia.
Prakoso, Djoko. 1987. Pembaharu Hukum Pidana di Indonesia. Yogyakarta:
Liberty Yogyakarta.
Seoharto. 1993. Hukum Pidana Materiil. Jakarta: Sinar Grafika.
Soesilo, R. 1984. Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan DelictDelict Khusus. Bogor: Karya Nusantara.
Syarifin,Pipin. 2000. Hukum Pidana Di Indonesia. Bandung : Pustaka setia
Tongat. 2009. Dasar-dasar Hukum Piadana Indonesia dalam Perspektif
Pembaharuan. Malang: UMM Press.