Hukum Zakat dalam Meningkatkan Potensi Z

Hukum Zakat dalam Meningkatkan Potensi Zakat di Indonesia
Oleh: Tita Novitasari

Tidak dapat dipungkiri, zakat memang sangat potensial untuk mewujudkan
Indonesia berdaya, meningkatkan perekonomian Indonesia, dan memberdayakan rakyat
miskin di Indonesia. Jika zakat tidak sebegitu potensial, Belanda di zaman penjajahan
tidak akan mungkin mengeluarkan Larangan Zakat dalam Bijblad Nomor 6200 tanggal
28 Februari 1905.1
Tidak seperti rukun Islam lainnya yang berdimensi vertikal (hubungan ibadah
kepada Allah SWT), zakat merupakan ibadah sosial (horisontal kemanusiaan). Secara
etimologi, zakat berarti suci, berkembang, berkah, tumbuh, bersih dan baik.2 Ketentuan
kewajiban menunaikan zakat tentu memiliki implikasi strategis dalam pembangunan
umat.3 Menurut Mustaq Ahmad, zakat adalah sumber utama kas negara dan sekaligus
merupakan sokoguru dari kehidupan ekonomi yang dicanangkan al-Quran.4
Menurut hasil penelitian Aam Slamet dan Salman al-Farisi,5 subjek pembahasan
100 publikasi jurnal zakat dari tahun 2011 hingga 2015 lebih banyak meneliti tentang
institusi atau kelembagaan zakat, distribusi, manajemen, pengentasan kemiskinan dan
pengumpulan dana zakat. Mayoritas jurnal mengangkat isu terkait kelembagaan atau
institusi zakat yang berlandaskan payung hukum yang kuat sehingga dengan payung
hukum tersebut diduga dapat meningkatkan kesadaran dan kepercayaan masyarakat
untuk membayar zakat.

Adapun perkembangan aspek hukum zakat di Indonesia dipengaruhi oleh
kondisi sosial politik Indonesia sejak zaman Belanda hingga reformasi. 6 Menurut Din
1

Muhammad Daud Ali and Habibah Daud, Lembaga-Lembaga Islam Di Indonesia (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1995), 250–51.
2
Dahlan Abdul Aziz, “Zakat” Ensiklopedia Hukum Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996), 1985.
3
Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern (Jakarta: Gema Insani, 2002), 15.
4
Aam Slamet Rusydiana and Salman al-Farisi, “Studi Literatur Tentang Riset Zakat,” Ahkam
XVI, no. Nomor 2 (July 2016): 281.
5
Rusydiana and al-Farisi, 284.
6
N. Oneng Nurul Bariyah, “Dinamika Aspek Hukum Zakat Dan Wakaf Di Indonesia,” Ahkam
XVI, no. Nomor 2 (July 2016): 210.


Syamsudin, lahirnya Undang-undang Zakat pertama kali, yakni Undang-undang Nomor
38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat tidak terlepas dari politik dan kesadaran
beragama umat Islam yang saat itu sedang tinggi.7 Kemudian Undang-undang
Pengelolaan Zakat tersebut diamandemen atau diganti dengan Undang-undang Nomor
23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Adapun aspek yang diperbaharui oleh
Undang-undang tersebut meliputi lembaga amil zakat, muzaki (perorangan dan badan
hukum), objek zakat, sanksi, dan zakat sebagai pengurang pajak.8
Salah satu yang berpengaruh dari Undang-undang Pengelolaan Zakat ialah
revitalisasi atau penguatan kelembagaan BAZNAS (amil zakat) sebagai wakil
pemerintah dalam perencanaan, pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan
zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya. Hal ini sudah sesuai dengan
konsep fiqh zakat bahwa amil merupakan wakil pemerintah yang ditunjuk untuk
mengumpulkan dan mendistribusikan zakat. UU Pengelolaan Zakat tersebut juga
mengatur bahwa bagian amil diambil dari zakat dan APBN.9 Aturan ini memberikan
legitimasi formal terhadap hak amil serta diharapkan dapat meningkatkan sumber daya
amil zakat.
Kemudian juga, UU Pengelolaan Zakat telah mempertegas terkait badan usaha
yang menjadi muzaki, yakni kewajiban perusahaan dalam menunaikan zakat.
Berdasarkan Muktamar Internasional I tentang zakat di Kuwait, perusahaan wajib
mengeluarkan zakat, karena keberadaan perusahaan sebagai wadah usaha menjadi

badan hukum (recht person).10 Perusahaan, menurut hasil Muktamar tersebut, termasuk
ke dalam syakhsh i‟tibar (badan hukum yang dianggap orang) atau syakhshiyyah
hukmiyyah.

Wahbah al-Zuhaylî dalam karyanya “Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh”
menuliskan, fiqh Islam mengakui apa yang disebut dalam hukum positif sebagai
syakhshiyyah hukmiyyah atau syakhshiyah i‟tibariyyah/ma‟nawiyyah atau mujarradah

(badan hukum) sebagai syakhshiyyah (badan) yang menyerupai syakhshiyyah atau
manusia dari segi kecakapan, hak-hak, kewajiban-kewajiban, dan tanggung jawab yang
7

Bariyah, 199.
Bariyah, 202.
9
Bariyah, 203.
10
Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern , 101.

8


berdiri sendiri secara umum layaknya manusia.11 Sejalan dengan Wahbah, Mustafa
Ahmad Zarqa dalam kitab “Madkhal al-Fiqh al-„am” menyatakan fiqh Islam mengakui
adanya syakhsyiyah hukmiyah atau I‟tibariyah (badan hukum).12 Oleh karenanya, badan
hukum termasuk ke dalam muzaki atau subjek zakat. Perusahaan dengan ini memiliki
kewajiban untuk menunaikan zakat perusahaan berdasarkan fiqh Islam dan hukum
positif di Indonesia.
Hemat penulis, badan hukum memang recht person atau syakhsh i‟tibar,
sehingga dapat dipahami jika badan hukum termasuk ke dalam subjek zakat. Namun
tidak setiap badan usaha berstatus sebagai badan hukum. Karena itu, dasar dari
ketentuan bahwa setiap badan usaha merupakan muzaki dalam UU Pengelolaan Zakat
dapat dipertanyakan. Tetapi penulis tidak akan membahas hal tersebut dalam artikel ini.
Berdasarkan penelitian A. Chairul Hadi, Bank Syariah Mandiri dan Bank
Muamalah menerapkan Corporate Social Responsibility (CSR) berupa zakat ialah
melalui lembaga mitra. BSM dengan Lazis BSM dan BMI dengan Baitul Maal
Muamalat. BSM menjalankan kewajiban zakat perusahaan dengan mengalokasikan
zakat tersebut sebesar 2,5% dari laba sebelum pajak, dan memasukan entitas perusahaan
dalam sistem laporan keuangan.13
Berdasarkan hasil penelitian Dr. H. Abdul Kholid Syafaat, M.A.,14 potensi zakat
maal atau profesi di Kabupaten Banyuwangi yang akan dikelola BAZNAS Banyuwangi


tahun 2013 dari gaji pokok pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah
Daerah Banyuwangi, berdasarkan data sampai tanggal 18 Nopember 2013, setiap bulan
selama tahun 2013 adalah sebesar Rp. 863.311.275. Kemudian jika dilihat dari jumlah
penduduk di Kabupaten Banyuwangi yang beragama Islam pada tahun 2012 sejumlah
1.532.996 orang, maka ada peluang untuk meningkatkan potensi jumlah muzaki dan
dana ZIS yang dikumpulkan oleh Badan Amil Zakat Kabupaten Banyuwangi masih
dapat ditingkatkan untuk tahun-tahun yang akan datang. Dengan besarnya potensi
jumlah dana zakat untuk para mustahiq, maka ada peluang ZIS baik BAZNAS,
A. Chairul Hadi, “Corporate Social Responsibility Dan Zakat Perusahaan Dalam Perspektif
Hukum Ekonomi Islam,” Ahkam XVI, no. Nomor 2 (July 2016): 238.
12
Hadi, 238.
13
Hadi, 239.
14
Abdul Kholiq Syafaat, “Potensi Zakat, Infaq, Shodaqoh Pada Badan Amil Zakat Nasional
(BAZNAS) Di Kabupaten Banyuwangi,” UIN Sunan Ampel Surabaya , n.d.
11


LAZNAS, maupun amil zakat perorangan akan mampu mengentaskan penduduk miskin
di Kabupaten Banyuwangi.
Penelitian Dr. H. Abdul Kholid Syafaat, M.A. tersebut terbatas hanya di
Kabupaten Banyuwangi serta hanya potensi zakat profesi. Potensi salah satu jenis zakat
di satu Kabupaten saja sudah sangat besar juga diproyeksi dapat mengentaskan
kemiskinan di Kabupaten tersebut, apalagi potensi seluruh jenis zakat, termasuk zakat
perusahaan dan jenis zakat kontemporer lainnya di seluruh Indonesia. Bisa saja, potensi
zakat tersebut tidak hanya akan mengentaskan kemiskinan rakyat Indonesia, tetapi juga
dapat menutup utang negara dan membuat negara kita menjadi negara kaya.
Pada akhirnya, zakat memang merupakan sokoguru dalam kehidupan ekonomi
yang dicanangkan al-Quran. Zakat memang mampu membuat Indonesia berdaya dan
berjaya. Namun potensi tersebut hanya akan menjadi potensi belaka jika tidak
diwujudkan oleh sumber daya manusia atau rakyat Indonesia yang mumpuni. Tidak
hanya BAZNAS, LAZNAS, dan amil zakat perorangan saja yang harus diperkuat oleh
Indonesia, tetapi muzakinya pun perlu dibangkitkan, disadarkan agar muzaki dapat
menunaikan kewajibannya secara tertib. Bila perlu, sanksi bagi muzaki yang tidak
menunaikan zakat dapat diatur oleh hukum positif di Indonesia.

Daftar Pustaka
Abdul Aziz, Dahlan. “Zakat” Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van

Hoeve, 1996.
Abdul Kholiq Syafaat. “Potensi Zakat, Infaq, Shodaqoh Pada Badan Amil Zakat
Nasional (BAZNAS) Di Kabupaten Banyuwangi.” UIN Sunan Ampel Surabaya ,
n.d.
Ali, Muhammad Daud, and Habibah Daud. Lembaga-Lembaga Islam Di Indonesia .
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Bariyah, N. Oneng Nurul. “Dinamika Aspek Hukum Zakat Dan Wakaf Di Indonesia.”
Ahkam XVI, no. Nomor 2 (July 2016): 197–212.

Hadi, A. Chairul. “Corporate Social Responsibility Dan Zakat Perusahaan Dalam
Perspektif Hukum Ekonomi Islam.” Ahkam XVI, no. Nomor 2 (July 2016): 229–
40.
Hafidhuddin, Didin. Zakat Dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani, 2002.
Rusydiana, Aam Slamet, and Salman al-Farisi. “Studi Literatur Tentang Riset Zakat.”
Ahkam XVI, no. Nomor 2 (July 2016): 281–90.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.