Pengolahan Air Limbah dengan Proses Lump

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/287686764

Pengolahan Air Limbah dengan Proses Lumpur
Aktif
Article · December 2015

CITATIONS

READS

0

2,911

1 author:
Rahayu Ningtyas

Bandung Institute of Technology
1 PUBLICATION 0 CITATIONS
SEE PROFILE


All content following this page was uploaded by Rahayu Ningtyas on 22 December 2015.
The user has requested enhancement of the downloaded file. All in-text references underlined in blue are added to the original document
and are linked to publications on ResearchGate, letting you access and read them immediately.

Pengolahan Air Limbah dengan Proses Lumpur Aktif
Rahayu Ningtyas*
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung
Jalan Ganesa No. 10, Bandung, Indonesia
*Corresponding Author: rahayuningtyas@students.itb.ac.id

Abstrak
Pengolahan air limbah secara biologis dilakukan untuk mengurangi tingkat BOD suatu limbah sehingga aman
dibuang ke lingkungan. Proses yang paling umum digunakan diantaranya adalah proses lumpur aktif. Proses ini
terdiri dari beberapa tahapan, yaitu sedimentasi primer, reaksi pada tangki aerasi, sedimentasi sekunder,
resirkulasi, serta penghilangan lumpur sisa. Limbah yang masuk ke dalam sistem disedimentasi untuk
mengendapkan partikel pengotor. Selanjutnya reaksi biokimia dengan komponen organik lumpur terjadi di
reaktor aerasi. Biomassa terbentuk karena adanya substrat dalam lumpur. Pengendapan biomassa terjadi dalam
tangki pengendapan sekunder. Bagian solid dalam tangki tersebut kemudian disirkulasi ke dalam tangki aerasi
untuk mempertahankan konsentrasi biomassa dalam reaktor sehingga berpengaruh tehadap efisiensi sistem.
Lumpur sisa dari pengolahan ini kemudian diarahkan menuju tempat pengolahan lumpur. Selain itu pada proses

ini terjadi nitrifikasi dan denitrifikasi oleh mikroba. Permasalahan yang sering terjadi pada proses lumpur aktif
diantaranya adanya fenomena bulking dan foaming yang disebabkan oleh bakteri berfilamen pada bak aerasi.
Seiring dengan perkembangan teknologi, proses sedimentasi sekunder dapat digantikan dengan membran
ultrafiltrasi. Saat ini proses lumpur aktif dapat digantikan dengan bioreaktor membran. Beberapa manfaat dari
bioreaktor membran diantaranya adalah efluen yang dihasilkan lebih baik, ruangan yang dibutuhkan lebih
sedikit, serta lumpur sisa yang dihasilkan lebih sedikit sehingga lebih hemat dan proses cleaning yang dilakukan
lebih sedikit intensitasnya.
Kata kunci : proses lumpur aktif, activated sludge process, bioreaktor membran

1. Pendahuluan
Proses pengolahan air limbah secara biologis
dengan sistem biakan tersuspensi telah
digunakan secara luas di seluruh dunia untuk
pengolahan air limbah domestik. Proses ini
secara prinsip merupakan proses aerobik
dimana senyawa organik dioksidasi menjadi
CO2, H2O, NH4 dan sel biomassa baru. Sumber
oksigen dapat diperoleh dengan cara aerasi.
Sistem pengolahan air limbah dengan biakan
tersuspensi yang paling umum digunakan

adalah proses pengolahan dengan Sistem
Lumpur Aktif (Activated Sludge Process) [1].
Beberapa karakteristik dari proses ini adalah
kualitas air output yang tinggi. Namun proses
ini cukup sulit diaplikasikan dibandingkan
dengan metode penanganan limbah lain karena
teknologi yang rumit serta konsumsi energi
listrik yang lebih tinggi untuk proses aerasi [2].
Saat ini, proses lumpur aktif sering digunakan
pada penanganan limbah hasil dari reaktor
anaerob. Sistem ini diduga dapat mengurangi

konsumsi energi serta menghasilkan sedikit
sisa lumpur. Tujuan dari penanganan dengan
proses lumpur aktif diantaranya adalah
penghilangan
BOD,
nitrifikasi,
serta
denitrifikasi [3]. Pada penghilangan BOD,

umpan limbah dimetabolisme oleh mikroba
pada lumpur aktif sebagai substrat sehingga
terkonversi menjadi biomassa, air, karbon
dioksida, dan gas lainnya. Pada proses
nitrifikasi, terjadi oksidasi ammonia menjadi
nitrit dan nitrat oleh bakteri. Sedangkan proses
denitrifikasi, nitrit dan nitrat terkonversi
menjadi gas, khususnya adalah gas nitrogen.
Biomassa terpisah pada tangki sedimentasi
sekunder sehingga mengalami flokulasi dan
pengendapan. Hal ini menyebabkan bakteri,
protozoa, dan mikroorganisme lain membentuk
floc
makroskopis
sehingga
dapat
tersedimentasi [2]. Pelekatan mikroorganisme
ini dibantu oleh matriks polisakarida yang
dihasilkan oleh mikroba tersebut. Activated
sludge floc dapat dilihat pada Gambar 1.


Rahayu Ningtyas, Pengolahan Limbah dengan Proses Lumpur Aktif (Activated Sludge
Process), 2015, 1-11

2

melakukan pertumbuhan sehingga di dalam
bak aerasi terjadi perkembangan biomassa
dalam jumlah yang besar. Mikroorganisme ini
yang akan menguraikan senyawa polutan
dalam air limbah [1].

Gambar 1. Activated Sludge Floc [2]
2. Proses Pengolahan
Terdapat empat proses utama yang terjadi pada
sistem lumpur aktif, diantaranya adalah tangki
aerasi, tangki pengendapan, resirkulasi lumpur,
serta penghilangan lumpur sisa. Reaksi
biokimia dengan komponen organik lumpur
berada di biological reactor (aeration tank).

Biomassa terbentuk karena adanya substrat
dalam lumpur. Pengendapan biomassa terjadi
dalam tangki pengendapan sekunder. Bagian
solid dalam tangki tersebut kemudian
disirkulasi ke dalam tangki aerasi untuk
mempertahankan konsentrasi biomassa dalam
reaktor sehingga berpengaruh tehadap efisiensi
sistem. Lumpur sisa dari pengolahan ini
kemudian
diarahkan
menuju
tempat
pengolahan lumpur. Sehingga dapat diketahui
bahwa terdapat tiga jenis lumpur yang terlibat
dalam proses ini, yaitu lumpur sisa, lumpur
biomassa yang berada pada bak aerasi, serta
lumpur sekunder yang berada pada tangki
pengendapan [2]. Ilustrasi sederhana proses
lumpur aktif dapat dilihat pada Gambar 2.
Sebelum memasuki proses tersebut air limbah

dapat diendapkan terlebih dahulu dalam bak
pengendap awal. Bak pengendap awal
berfungsi
untuk
menurunkan
padatan
tersuspensi sekitar 30-40 % serta BOD sekitar
25%. Air limpasan dari bak pengendap awal
dialirkan menuju bak aerasi secara gravitasi. Di
dalam bak aerasi ini air limbah dihembuskan
dengan udara sehingga mikroorganisme
menguraikan zat organik yang ada dalam air
limbah. Energi yang diperoleh mikroorganisme
tersebut digunakan oleh mikroba untuk

Gambar 2. Ilustrasi sederhana pengolahan
limbah degan metode lumpur aktif [4]
Air kemudian dialirkan ke tangki pengendapan
sekunder. Di dalam tangki ini lumpur aktif
yang mengandung massa mikroorganisme

diendapkan dan dipompa kembali ke bagian
inlet bak aerasi dengan pompa sirkulasi
lumpur. Air limpasan dari tangki pengendapan
sekunder dialirkan menuju bak klorinasi. Disini
air limbah dikontakkan dengan senyawa khlor
untuk membunuh mikroorganisme patogen.
Air dari proses klorinasi tersebut dapat
langsung dibuang ke sungai atau saluran
umum. Dengan proses ini air limbah dengan
konsentrasi BOD 250-300 mg/L dapat
diturunkan kadar BOD-nya menjadi 20-30
mg/L. Surplus lumpur dari keseluruhan proses
ditampung dalam bak pengering lumpur
sedangkan air resapannya ditampung kembali
di bak penampung air limbah [1].
Mikroorganisme yang ditemukan pada bak
aerasi diantaranya adalah bakteri, protozoa,
metazoa, bakteri berfilamen, dan fungi.
Sedangkan mikroorganisme yang paling
berperan pada proses lumpur aktif adalah

bakteri
aerob
[3].
Mikroorganisme
memanfaatkan polutan organik terlarut dan
partikel organik sebagai sumber makanan.
Polutan organik terlarut dapat masuk ke dalam
sel dengan cara absorpsi. Sedangkan partikel
organik tidak dapat masuk ke dalam sel sebagai
sumber makanan. Partikel organik pada limbah
hanya menempel pada dinding sel (adsorpsi).
Selanjutnya sel menghasilkan enzim agar dapat
melarutkan partikel. Dengan cara ini, bakteri
dapat menghilangkan polutan organik baik

Rahayu Ningtyas, Pengolahan Limbah dengan Proses Lumpur Aktif (Activated Sludge
Process), 2015, 1-11

3


yang terlarut maupun berupa partikel yang
terdapat dalam limbah [5].

c) Mixed-Liquor Volatile Suspended Solids
(MLVSS)

Nilai pH pada bak aerasi harus dikontrol agar
sesuai dengan pertumbuhan mikroba. Untuk
mengatur nilai pH maka
dilakukan
penambahan asam atau basa pada mixed liquor .
Selain itu, terdapat penambahan urea dan asam
posfat sebagai sumber N dan P untuk mibroba
[6].

MVLSS merupakan material organik yang
terkandung dalam MLSS, tanpa mikroba hidup,
mikroba mati, serta hancuran sel. MVLSS
diukur dengan memanaskan sampel filter yang
telah kering pada temperatur 600-6500C. Nilai

dari MVLSS biasanya mendekati 65-75% dari
MLSS [1].

3. Variabel Operasional dalam Activated
Sludge Process

d) Food to Microorganism Ratio atau Food to
Mass Ratio (F/M Ratio)

Beberapa
variabel
operasional
diperhatikan pada proses lumpur
diantaranya adalah sebagai berikut.

Parameter ini menunjukkan jumlah zat organik
(BOD) yang hilang dibagi dengan jumlah
mikroorganisme di dalam bak aerasi. Besarnya
nilai F/M ratio umumnya ditunjukkan dalam kg
BOD per kg MLSS per hari. Nilai F/M ratio
dapat
dihitung
dengan
menggunakan
persamaan sebagai berikut.

yang
aktif

a) Beban BOD (BOD Loading Rate atau
Volumetric Loading Rate)
Beban BOD adalah jumlah massa BOD di
dalam air limbah yang masuk (influent) dibagi
dengan volume reaktor [1]. Beban BOD dapat
dihitung dengan persamaan sebagai berikut.

Q.S0
BebanBOD 
kg / m3 .hari
V
Dengan:
Q= debit air limbah yang masuk (m3/hari)

F /M 

Q.( S0  S )
MLSS.V

Dengan :
Q= debit air limbah yang masuk (m3/hari)
S0= konsentrasi BOD dalam air limbah yang
masuk (kg/m3)
V= volume reaktor (m3)

S0= konsentrasi BOD dalam air limbah yang
masuk (kg/m3)

S= konsentrasi BOD dalam effluent (kg/m3)

V= volume reaktor (m3)

MLSS = Mixed liquor suspended solid (kg/m3)

b) Mixed-Liquor Suspended Solid (MLSS)

Nilai F/M ratio dapat dikontrol dengan cara
mengatur laju sirkulasi lumpur aktif dari tangki
pengendapan sekunder yang disirkulasikan
menuj bak aerasi. Semakin tinggi laju sirkulasi
lumpur maka semakin tinggi pula nilai F/M
ratio. Standar F/M ratio untuk pengolahan
limbah dengan sistem lumpur aktif yaitu
0,2-0,5 kg BOD / kg MLSS, namun nilai
tersebut dapat lebih tinggi dari 1,5 kg BOD/kg
MLSS. Rasio F/M yang rendah menunjukkan
bahwa mikroorganisme dalam tangki aerasi
semakin produktif dalam memetabolisme
limbah. Semakin rendah rasio F/M maka sistem
pengolahan limbah semakin efisien [1].

Campuran antara air limbah, biomassa, dan
padatan tersuspensi lainnya yang berada di bak
aerasi pada proses pemgolahan air limbah
sering disebut mixed liquor. Sedangkan MLSS
merupakan jumlah total dari padatan
tersuspensiyang berupa material organik,
mineral, serta mikroorganisme. MLSS dapat
diketahui kadarnya dengan gravimetri, yaitu
dengan cara menyaring lumpur dengan cara
filtrasi, dikeringkan pada temperatur 1050C,
dan ditimbang agar diketahui massanya [1].

Rahayu Ningtyas, Pengolahan Limbah dengan Proses Lumpur Aktif (Activated Sludge
Process), 2015, 1-11

4

e) Hydraulic Retention Time (HRT)

SSe= padatan tersuspensi dalam effluent (mg/L)

Waktu tinggal hidraulik (HRT) merupakan
waktu rata-rata yang dibutuhkan oleh influent
pada tangki aerasi untuk menjalani proses
lumpur aktif. Nilai HRT berbanding terbalik
terhadap laju pengenceran.

SSw= padatan tersuspensi dalam influent
(mg/L)

HRT 

1 V

D Q

Dengan:
V= volume reaktor atau bak aerasi (m3)
Q= debit air limbah yang masuk bak aerasi
(m3/jam)
D= laju pengenceran (jam-1)
f) Hydraulic Recycle Ratio / Rasio Sirkulasi
Lumpur (HRT)
Rasio sirkulasi lumpur adalah perbandingan
antara jumlah lumpur yang disirkulasikan ke
dalam bak aerasi dengan jumlah air limbah
yang masuk ke dalam bak aerasi [1].
g) Sludge Age (Umur Lumpur)
Umur lumpur biasa dikenal juga dengan waktu
tinggal rata-rata sel (mean cell residence time).
Parameter ini menunjukkan waktu tinggal
rata-rata mikroorganisme dalam sistem lumpur
aktif. Jika HRT memerlukan waktu dalam jam,
maka waktu tinggal sel mikroba dalam bak
aerasi dapat mencapai hitungan hari. Parameter
ini berbanding terbalik dengan laju
pertumbuhan mikroba. Umur lumpur dapat
dihitung dengan persamaan berikut.

Umurlumpur (hari) 

MLSS.V
SSe .Qe  SSw . X.Qw

Dengan:
MLSS= Mixed Liquor Suspended Solid (mg/L)
V= volume reaktor atau bak aerasi (m3)
Qw= laju influent air limbah (m3/hari)
Qe= laju effluent air limbah (m3/hari)

Umur lumpur dapat bervariasi antara 5-15 hari
untuk sistem lumpur aktif konvensional. Umur
lumpur pada musim dingin dapat lebih lama
dibandingkan dengan saat musim panas.
Parameter penting saat mengendalikan operasi
lumpur aktif adalah beban organik/beban BOD,
persebaran oksigen, serta pengendalian dan
operasi pada tangki pengendapan. Tangki
pengendapan memiliki dua fungsi yaitu untuk
penjernihan (clarfification) dan pemekatan
lumpur (thickening).
Pengendapan lumpur tergantung pada rasio
F/M dan umur lumpur. Pengendapan yang baik
dapat terjadi jika lumpur mikroorganisme
berada dalam fase saat sumber karbon dan
sumber energi terbatas dan jika pertumbuhan
bakteri rendah. Pengendapan lumpur dapat
terjadi saat rasio F/M rendah. Dalam air limbah
domestik, rasio F/M yang optimum yaitu antara
0,2-0,5. Sedangkan rata-rata waktu tinggal sel
yang diperlukan untuk pengendapan yang
efektif adalah 3-4 hari. Pengendapan yang tidak
baik dapat terjadi karena gangguan terhadap
parameter fisik (temperatur, pH), kekurangan
substrat pada lumpur, serta kehadiran zat toksik
yang dapat menyebabkan hancurnya sebagian
flok yang sudah terbentuk.
Kemampuan pengendapan lumpur dapat
diketahui dengan menentukan Sludge Volume
Index (SVI). Caranya adalah dengan
memasukkan mixed liquor dari bak aerasi ke
dalam silinder kerucut volume 1 L dan
dibiarkan selama 30 menit. Selanjutnya volume
lumpur dicatat. SVI menunjukkan besarnya
volume yang dapat ditempati 1 gr lumpur. Jika
nilai MLSS 12

2-3,5

>15

-

16-24

24-48

4-6

5

1,5-3

2-3

1-3

50-150

50-150

20-30

40-100

5-10

50-150

25-50

75-85

75-85

90

85-90

60-70

75-95

85-95

6. Bioreaktor Membran: Inovasi dari Proses
Lumpur Aktif
Secara umum, membran reaktor merupakan
reaktor aliran sumbat yang mengandung tabung
tambahan berupa material berpori atau padat di
dalamnya [10]. Kelebihan dari teknologi ini
diantaranya tidak melibatkan perubahan fasa
atau tambahan bahan kimia, sederhana dalam
konsep dan operasi, bersifat modular sehingga
mudah scale up, efisiensi tinggi akan bahan
baku dan potensi daur ulang produk samping,
serta ukuran alat yang lebih kecil [11].
Perkembangan penggunaan membran pada
proses pengolahan limbah terjadi secara
bertahap
seiring
dengan
semakin

berkembangnya ilmu pengetahuan. Pada proses
lumpur aktif terjadi proses aerasi, sedimentasi,
dan penghilangan lumpur sisa [16]. Membran
pada proses lumpur aktif dapat digunakan
setelah proses sedimentasi. Saat ini telah
berkembang teknologi bioreaktor membran
untuk proses pengolahan limbah [13].
Bioreaktor membran menggabungkan proses
tersebut dan mengatasi beberapa kekurangan
pada proses lumpur aktif. Selain itu, bioreaktor
membran biasa digunakan untuk menangani
limbah dengan kandungan ammonia yang
tinggi [14]. Perbedaan antara bioreaktor
membran dan proses lumpur aktif dapat dilihat
pada Tabel 3 berikut.

Rahayu Ningtyas, Pengolahan Limbah dengan Proses Lumpur Aktif (Activated Sludge
Process), 2015, 1-11

Tabel 3 Perbandingan membran bioreaktor dan
proses lumpur aktif [10]

33,4

Proses
Lumpur
Aktif
100,3

4,65

6,25

0,069

0,963

8,37

11,25

34,65

48,3

72%

100%

30%

100%

Membran
Bioreaktor
Luas Area (m2)
Kebutuhan Listrik
(kW)
Jumlah Lumpur
(m3/hari)
Biaya
Operasi
($/hari)
Biaya Penanganan
Lumpur ($/hari)
Perbandingan
Biaya Operasi
Perbandingan
Area

Berdasarkan Tabel 3, salah satu kelebihan dari
membran bioreaktor adalah sedikitnya lumpur
yang dihasilkan pada membran bioreaktor. Jika
dibandingkan dengan proses pengolahan
limbah lainnya, lumpur yang dihasilkan oleh
sistem membran bioreaktor termasuk yang
paling sedikit. Hal ini dapat dilihat pada Tabel
4.
Tabel 4. Perbandingan produksi lumpur [15]
Proses
Submerged MBR
Structured media biological
aerated filter (BAF)
Trickling filter
Proses lumpur aktif
Granular media BAF

8

MBR karena dapat membatasi fluks maksimum
yang dapat dicapai, membutuhkan pencucian,
serta mengurangi umur membran [16].
Bioreaktor
membran
(BRM)
dapat
diklasifikasikan menjadi tiga jenis berdasarkan
jenis limbah, yaitu bioreaktor membran untuk
pemisahan biomassa, bioreaktor membran
aerasi, dan bioreaktor membran ekstraktif.
Aplikasi yang paling luas diantaranya adalah
BRM pemisahan biomassa. Kedua BRM
lainnya masih dalam tahap pengembangan dan
belum diaplikasikan secara luas di industri.
Proses lumpur aktif biasa dikombinasikan
dengan BRM pemisahan biomassa.
Kemunculan
BRM
Aerasi
(BRMA)
dilatarbelakangi oleh rendahnya efisiensi
proses aerasi konvensional pada pengolahan
limbah secara biologis. BRMA merupakan
alternatif yang baik untuk mencapai efisiensi
aerasi yang tinggi. Mikroba pada BRMA
berada dalam bentuk terikat /melekat pada
media suport dan tumbuh dalam bentuk
biofilm, tidak dalam bentuk suspensi.
Kelebihan dari sistem BRMA adalah proses
aerasi berlangsung melalui kontak langsung
dengan mikroba tanpa melewati bulk sehingga
lebih efisien. Skema BRMA dapat dilihat pada
Gambar 3.

Produksi Lumpur
(kg/kg BOD)
0-0,3
0,15-0,25
0,3-0,5
0,6
0,63-1,06

Pada proses ini, membran tidak hanya berperan
untuk memisahkan produk namun juga terjadi
reaksi di dalam sistem membran. Peran
membran
dalam
bioreaktor
membran
diantaranya adalah dapat meningkatkan
konversi dengan penghilangan langsung
produk, meningkatkan kontak antara fasa yang
bereaksi, serta dapat digunakan untuk reaksi
multifasa [10].
Mikroorganisme dan lumpur aktif yang
menempel pada membran akan membentuk
lapisan biofilm sehingga menyebabkan
biofouling. Biofouling telah membatasi aplikasi

Gambar 3. Bioreaktor membran aerasi [9]
Bioreaktor Membran Ekstraktif (BRME)
merupakan tipe bioreaktor membran yang
ditekankan pada peningkatan efisiensi
pengolahan limbah toksik dengan cara
mengekstrak senyawa toksik tersebut dan

Rahayu Ningtyas, Pengolahan Limbah dengan Proses Lumpur Aktif (Activated Sludge
Process), 2015, 1-11

kemudian ditransfer menuju biofilm mikroba
ya. Teknologi konvensional untuk fungsi ini
adalah steam stripping dan adsorpsi karbon
namun teknologi ini masih meninggalkan
residu kontaminan pekat yang harus dibuang.
Selain itu, BRME lebih hemat karena biaya
pembuangan limbah dapat dipangkas dan biaya
pengoperasian bioreaktor lebih murah
dibandingkan biaya listrik yang dibutuhkan
untuk proses konvensional. Efisiensi dari
BRME pun lebih tinggi dengan metode
konvensional. Skema alat BRME dapat dilihat
pada Gambar 4.

9

Konfigurasi bioreaktor membran pemisahan
biomassa pada awalnya berupa bioreaktor dan
modul membran yang terpisah atau biasa
dikenal dengan BRM eksternal. Namun
kemudian muncul konfigurasi BRM dengan
membran yang terendam langsung dalam
bioreaktor. Perbedaan konfigurasi dapat dilihat
pada Gambar 5.

(a)

Gambar 4. Bioreaktor membran ekstraktif [9]
BRM pemisahan biomassa banyak digunakan
hingga skala industri. BRM tipe ini digunakan
untuk menggantikan peran bak sedimentasi
sekunder pada proses lumpur aktif sehingga
pemisahan tidak lagi tergantung pada
karakteristik pengendapan lumpur. Manfaat
yang diperoleh dari BRM diantaranya adalah
penghematan ruang kualitas efluen yang lebih
baik, retensi sempurna terhadap mikrba
sehingga konsentrasi biomassa dapat dibuat
setinggi-tingginya sekaligus sebagai proses
desinfeksi terhdap efluen tanpa penambahan
zat kimia. Lumpur sisa yang terbentuk dari
proses BRM juga lebih sedikit, atau bahkan
tidak ada. Sedangkan pada proses lumpur aktif
lumpur sisa yang dihasilkan sangat banyak
sehingga proses pembuangan lumpur dapat
menghabiskan 50% dari total biaya
pengolahan.

(b)
Gambar 5. Bioreaktor membran (a) konfigurasi
eksternal, dan (b) konfigurasi terendam [9]
Bioreaktor membran jenis lainnya adalah
Implanted Ends-Free Membrane Bioreactor .
Bioreaktor jenis ini memiliki membran yang
tertanam dalam satu modul bersama dengan
lumpur aktif serta karbon aktif untuk
menghilangkan pengotor berupa zat organic

Rahayu Ningtyas, Pengolahan Limbah dengan Proses Lumpur Aktif (Activated Sludge
Process), 2015, 1-11

serta warna dan bau [17]. Kelebihan dari
bioreaktor jenis ini adalah kemungkinan
fouling yang lebih rendah dari bioreaktor jenis
membran yang terendam [10]. Cleaning dapat
dilakukan
untuk menghindari
fouling.
Perawatan membran dapat dilakukan secara
rutin dengan tambahan reagen 100-500 mg/L
natrium hipoklorit yang dilakukan secara
mingguan hingga bulanan. Sedangkan untuk
menangani fouling dapat dilakukan cleaning
dengan tambahan reagen 0,3-0,5 w/w natrium
hipoklorit [18].
Industri membran cukum banyak diaplikasikan
di berbagai aspek kehidupan, namun
penggunaannya untuk industri pengolahan air
mencapai 23% dari total aplikasi membran atau
paling tinggi dibandingkan penggunaan
membran untuk industri lain. Survey ini
dilakukan pada tahun 2008 [19]. Terdapat
beberapa perusahaan dunia yang fokus
terhadap industri membran diantaranya Kubota
(Jepang), Mitsubishi-Rayon (Jepang), dan
Zenon (Kanada). Rincian bioreaktor membran
yang dihasilkan oleh ketiga industri di atas
dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.
Tabel 5. Perbandingan bioreaktor membran [20]
Kubota

Mitsubishi
-Rayon

Zenon

1.578

374

331

Flat sheet

Hollow
fiber

Hollow
fiber

Konfigurasi

Vertikal

Horizontal

Vertikal

Ukuran
modul (m2)

0,8

105

31,6

Ukuran pori
(µm)

0,4

0,1/0,4

0,04

Relax

Relax

Backpulse,
relax

Jumlah
instalasi
Membran

Metode
cleaning
Frekuensi
cleaning
(menit/
menit)

1/60

2/12

0,5/15

Metode
recovery

Chlorine
backwash

Chlorine
backwash

Chemical
soak

10

Teknologi membran saat ini mulai banyak
diaplikasikan, khususnya untuk pengolahan
limbah. Kelebihan yang dimiliki oleh teknologi
ini dapat menggantikan teknologi konvensional
yang ada sehingga lebih memberikan
keuntungan. Tidak heran jika perkembangan
aplikasi teknologi membran diperkirakan akan
terus meningkat.
Daftar Pustaka
[1] Sholichin, M., ”Pengelolaan air limbah:
Proses pengolahan air limbah tersuspensi”,
Jurusan Teknik Pengairan, Universitas
Brawijaya, 2012.
[2] Sperling, M.V., “Activated sludge and
aerobic biofilm reactor”, Department of
Sanitary and Environment Engineering,
Federal University of Minas Gerais, Brazil,
2007.
[3] Anderson, P., “Activated sludge design,
startup,
operation,
monitoring,
and
troubleshooting”, Ohio Water Environment
Association, 2010.
[4] Pipeline, Spring 2003, Vol.14, No.2.
[5] Snyder, R.; Wyant, D., “Activated sludge
process control”, State of Michigan
Department of Environmental Quality.
[6] Sustarsic, M., “Wastewater treatment:
Understanding the Activated Sludge Process”,
Tetra Tech NUS, 2009.
[7] Marx, C., “Introduction to activated sludge
study guide”, Wisconsin Department of Natural
Resorces Wastewater Operator Certification,
2010.
[8] Seman, D.L., “Activated
microbiology”, Youngstown WWTP.

sludge

[9] Wenten, I.G., “Bioreaktor membran untuk
pengolahan limbah”, Departemen Teknik
Kimia Institut Teknologi Bandung, 2004.
[10] Wenten, I.G.; Hakim, A.N.; Aryanti,
P.T.P., “Diktat: Bioreaktor membran untuk
pengolahan limbah industri”, Departemen

Rahayu Ningtyas, Pengolahan Limbah dengan Proses Lumpur Aktif (Activated Sludge
Process), 2015, 1-11

Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung,
2014.
[11] Wenten, I.G., “Diktat: Teknologi
membran: Prospek dan tantangannya”,
Departemen Teknik Kimia Institut Teknologi,
2015.
[12] Metcalf; Eddy, “Wastewater engineering:
Treatment, disposal, and reuse, 3rd”, Mc-Graw
Hill, Inc., New York, 1991.
[13] Wenten, I.G.; Hakim, A.N.; Aryanti,
P.T.P., “Diktat: Teknologi membran dalam
pengolahan limbah”, Departemen Teknik
Kimia Institut Teknologi Bandung, 2014.
[14] Dewanti, B.S.D, “Pengolahan limbah cair
industri secara aerobic dan anoxic dengan
Membrane Bioreactor (MBR)”, Laboratorium
Teknologi Biokimia Jurusan Teknik Kimia
Institut Teknologi Sepuluh November
Surabaya, diakses pada Oktober 2015.
[15] Till, S.; Mallia, H., “Membrane bioreactor:
Wastewater treatment applications to achieve
high quality effluent”, 64th Annual Water
Industry Engineers and Operators Conference,
2011.
[16] Wenten, I.G., “Diktat: Teknologi
membran dalam pengolahan air”, Departemen
Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung,
2014.
[17] Wenten, I.G., “Diktat: Teknologi
membran dan aplikasinya di Indonesia”,
Departemen Teknik Kimia Institut Teknologi
Bandung, 2010.
[18] Judd, S., “The status of membrane
bioreactor technology”, Elsevier (2007), doi:
10.1016/j.tibtech.2007.11.005.
[19] Wenten, I.G., “Diktat: Industri membran
dan perkembangannya”, Departemen Teknik
Kimia Institut Teknologi Bandung, 2014.

11

[20] Radjenovic, J.; Matosic, M.; Mijatovic, I.;
Petrovic, M.; Barcelo, D., “Membrane
bioreactor (MBR) as an advanced wastewater
treatment technology”, Hdb Env Chem 5
(2007), 37-101.