Memahami Akar Keislaman di Indonesia

Memahami Akar Keislaman di Indonesia
Pendahuluan
Kebangkitan Islam dalam konteks sejarah modern umat Islam Indonesia
mulai muncul bersamaan dengan kebangkitan semangat nasionalisme bangsa
Indonesia yang berlansung pada abad ke-20. Karena itu kebangkitan Islam tidak
hanya tumpang tindih, tetapi juga bisa dianggap sebagai bagian dari kebangkitan
nasional bangsa Indonesia.
Terbentuknya Muhammadiah pada tahun 1912, NU 1926 dan ormas-ormas
keislaman lainnya juga sekaligus menandai munculnya perbedaan metode atau
dasar istinbat hukum Islam sacara prosedural di Indonesia. Sekalipun ormasormas keislaman itu berada dalam satu mazhab, tetapi bisa jadi mereka akan
berbeda dalam suatu penekanan tertentu, misalnya kelompok A lebih condong
menggunakan qiyas, sedangkan B lebih condong menggunakan mashlahah
mursalah.
Antara NU dan al-Khairat memiliki kriteria penekanan tersendiri dalam
penetapan hukumnya meskipun keduanya sama-sama bermazhab syafiiah, antara
Muhammadiah dan Persis juga berbeda dalam penekanan penetapan hukumnya,
meskipun keduanya sama-sama mengaku sebagai golongan yang menjunjung
tajdid. Hal ini dapat dipahami karena ormas-ormas Islam ini adalah gerakan massa
yang beraliansi kemasyarakatan, sehingga mau tak mau mereka harus
mengikatkan diri dengan beberapa ciri khusus untuk membedakan diri dengan
ormas lainnya.

Yang menjadi permasalahan dikemudian hari adalah adanya pengikutpengikut dari ormas ini yang mengklaim bahwa kelompoknya yang paling benar
serta membidahkan kelompok-kelompok lainnya. Sikap toleransi berkeyakinan,
berpendapat dan menjunjjung tinggi nilai kemanusiaan nampaknya telah mulai
luntur dari pengikut-pengikut lembaga keislamanan ini. Tidak adanya toleransi
antar anggota lembaga keislaman ini menimbulkan keresahan Pres. Suharto dan
beberapa tokoh masyarakat dari seantero nusantara dan sebagai hasilnya
terbentuklah MUI yang menjadi penengah semua lembaga keislaman tersebut.
1

Dalam tulisan yang singkat ini, kami akan menjelaskan beberapa metode
perumusan hukum Islam beberapa lembaga keislaman di Indonesia dari perspektif
sejarah. Diharapkan dengan pembahasan ini kita bisa mengetahui perkembangan
dan proses istinbat hukum lembaga-lembaga tersebut.
Kelompok-Kelompok ke-Islaman di Indonesia
a. Kedatangan Islam di Indonesia
Dari empat disiplin ilmu ke-Islaman tradisional yang mapan-ilmu fiqh
(hukum Islam), ilmu qalam, ilmu taswuf dan ilmu filsafat- fiqh adalah yang paling
kuat mendominasi pemahaman orang-orang muslim akan agama-agama mereka,
sehingga paling banyak membentuk bagian terpenting cara berpikir mereka.
Kenyataan ini dapat dikembalikan kepada berbagai proses sejarah pertumbuhan

masyarakat muslim masa lalu, juga kepada sebagian dari inti semangat ajaran
agama Islam sendiri.
Hukum Islam seperti halnya ilmu-ilmu keislaman lainnya, dapat dikatakan
telah tumbuh semenjak masa nabi sendiri, terutama periode sesudah hijrah ke
madinah. Selanjutnya hukum Islam ini terus berkembang pada setiap khilafah
Islam yang dipelapori oleh ulama-ulama besar semisal Hasan Albasri, Mujahid,
Abu Hanifah, Imam Malik, as-Syafii, Imam Ahmad bin Hambal dan abu Daud alDhahiri serta ulama-ulama besar lainnya.
Setelah periode ulama-ulama besar itu, terutama setelah masa imam
mazhab, fiqh Islam dalam banyak buku sejarah dikatakan telah mengalami
stagnansi. Hal ini disebabkan oleh adanya pemahaman dikalangan umat Islam,
terutama kaum sunni, bahwa pintu ijtihad- proses penetapan hukum dari sumber
asli Islam- Alquran dan Hadist- telah ditutup. Anggapan bahwa apa-apa yang telah
dirumuskan dan ditetapkan oleh ulama-ulama besar itu terutama para imam
mazhab telah sangat lengkap untuk dijadikan sebagai rujukan pengambilan hukum
bagi umat Islam dimanapun dan kapanpun.
Sehingga dikemudian hari sampai pada pertengahan abad ke-19 M setiap
permasalahan ibadat dan sosial yang membutuhkan kejelasan hukum selalu akan
dikembalikan pada imam mazhab, kalaupun tidak ditemukan maka proses

2


penetapan hukumnya tidak lepas dari kententuan mazhab, misalnya, harus
merujuk pada metode penetapan hukum imam Syafii dalam kitab al-risalah nya.
Dengan ini muncullah kemudian ulama-ulama yang berhaluan mazhab tertentu,
ulama mazhab syafiiyah, ulama bermazhab Hanafi dan seterusnya.
Dalam konteks Indonesia yang mana dakwah Islam baru datang sekitar
abat ke-12 yaitu disaat peradaban Islam mulai mundur, terjadinya perang salib,
penyerangan mongol dan berbagai pemberontakan internal di seluruh kawasan
Islam. Bisa dipastikan bahwa Islam yang datang ke Indoensia merupakan Islam
pelarian atau Islam sisa-sisa dari masa keemasannya, sehingga pemahaman pintu
ijtihad telah tertutup telah sejak mulanya ditanamkan pada kaum muslim pribumi.
Sebagaimana dikabarkan oleh Ibu Batutah bahwa para muballig yang
membawa Islam ke Indonesia kebanyakan berasal dari India Selatan, Pantai
Balibar dan Persia, kebanyakan dari mereka menganut mazhab Syafii, yang
dikemudian hari menjadi mazhab umum di seantero nusantara. Perumusan dan
penetapan hukum Islam di Indonesia secara umum masih sama dengan kawasan
Islam lainnya yaitu berhaluan mazhab arba’ah atau setiap pemutusan hukum
Islam, baik dalam soal muamalah dan ibadat tidak bisa lepas dari kriteria mazhab
tertentu, terutama mazhab Syafiiyah. Lebih nyatanya dapat dilihat dari kitab-kitab
karangan hamzah Fansuri, Naruddin Arraniri, Abdur Rauf as-Singkili dan juga

berdasarakan kitab-kitab karangan para ulama tentang para walisongo selaku
pembawa Islam di tanah Jawa.
b. Munculnya kelompok keislaman
Pada awal abad 20 M beriringan dengan kebangkitan nasionalisme bangsa
Indonesia, pemikiran hukum Islam juga ikut bekembang. Fenomena ini ditandai
oleh kemunculan berbagai organisasi keagamaan, baik yang bercorak modern
maupun tradisional. Yang pertama diawali oleh kelahiran Jamiatul Khair di
Jakarta tahun 1909 dan di Bogor tahun 1911, Muhammadiah di Yogyakarta pada
tahun 1912, al-Ishlah wal-Irsyad di Jakarta pada tahun 1913, NU di Jawa Timur
pada tahun 1926, PERSIS di Minangkabau , al-Jam’iyatul Washliyah di Medan,
Sumatra Utara pada tahun 1930, Alkhairat di Palu, Sulawesi Tengah, pada tahun

3

1930, Nadhatul Wathan di Lombok 1934 dan Darud Dakwah wal-Irsyad di
Kendari pada tahun 1938 serta beberapa organisasi lainnya.
Organisasi keagamaan Islam yang di pimpin oleh para ulama ini muncul
sebagai gerakan yang dimaksudkan untuk memajukan atau mempertahankan
mazhab keagamaan tertentu. Dari perspektif ini organisasi keagamaan di
Indonesia dapat dibagi kedalam dua jenis. Pertama, organisasi keagamaan yang

berusaha memajukan ortodoksi salafiah, yang mengajak umat Islam kembali
kepada praktik keagamaan di masa nabi dan sahabatnya ketika aliran-aliran belum
ada. Kedua, organisasi keagamaan yang tetap mempertahankan tradisionalisme
mazhabiah, yang menganjurkan umat Islam untuk mengikui mazhab-mazhab
keagamaan yang menjadi anutan dan amalan mayoritas umat Islam, terutama
empat mazhab yang telah mapan selama berabad-abad.
Disamping mempertahankan dan memperjuangkan sendi agama sesuai
dengan apa yang diyakini, ormas-ormas ini juga aktif dalam masalah-masalah
sosial; pendidikan, pemberantasan kemiskinan, dan sampai pada batas-batas
tertentu juga ikut aktif dalam perjungan untuk membebaskan rakyat Indonesia dari
penjajahan asing dan pada saat yang sama juga dari feodalisme pribumi. Bahkan
ormas-ormas Islam ini sangat berperan penting dalam penyebaran nasionalisme ke
indonesiaan di seluruh seantero nusantara.
Ormas-ormas ke-Islaman ini baik yang dari ortodok salafiah, tradisional
mazhabiah maupun yang berhaluan modern, dalam perumusan dan penetapan
hukum Islam memiliki dasar istinbat hukum yang berbeda–beda. Sekalipun
berada dalam satu mazhab tetapi berbeda dalam penekanan tertentu, misalnya
kelompok A lebih condong menggunakan qiyas, sedangkan B lebih condong
menggunakan mashlahah mursalah. Antara NU dan al-Khairat memiliki kriteria
penekanan tersendiri dalam penetapan hukumnya meskipun keduanya sama-sama

bermazhab syafii, antara Muhammadiah dan Persis juga berbeda dalam penekanan
penetapan hukumnya, meskipun keduanya sama-sama mengaku sebagai golongan
yang menjunjung tajdid.
Karena

itulah

untuk

membendung

terjadinya

perselisihan

yang

berkepanjangan dalam menghukumi suatu perkarta baru, maka dibentuklah

4


Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H,
bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan
atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu'ama yang datang dari berbagai
penjuru tanah air. Dengan adanya majelis ini diharapkan dapat terciptanya
persatuan dan kesatuan serta kebersamaan umat Islam yang beragam di Indonesia.
Pada pembahasan berikutnya kita akan beralih pada pembahasan tentang
metode-metode istinbat hukum yang dipegangi oleh ormas-ormas ke-Islaman,
tetapi cuma akan dibahas metode yang dipegangi oleh dua ormas besar yaitu NU
dan Muhammaddiah dan di akhiri dengan metode istinbat hukum yang dipegangi
oleh MUI selaku wadah penyatuan umat Islam Indonesia.
Metode Perumusan Hukum Islam Ormas ke-Islaman di Indonesia
a.Lajnah Bahtsul Masail NU
Dokumen-dokumen yang menginformasikan kelahiran dan perkembangan
lajnah bahtsul masail baik dari latar belakang, metode, objek, maupun pelaku
sejarahnya masih sangat sedikit. Namun bila ditinjau dari latar belakang berdiri
dan angggran dasar NU, maka sedikit dapat direkontruksikan latar belakang
munculnya bahtsul masail yaitu adanya kebutuhan masyarakat terhadap hukum
islam praktis (‘amaliy) bagi kehidupan sehari-hari yang mendorong para ulama
dan intelektual NU untuk mencari solusinya dengan melakukan bahtsul masail.

Dan bila ditelusuri isi-isinya dari dokement yang ada dapat diketahui bahwa
bahtsul masail pertama dilaksanakan pada tahun 1926, beberapa bulan setelah
berdirinya NU.
Dari data yang ada dapat ditelusuri bahwa sejak tahun 1926 sampai 1999
telah diselenggarakan bahtsul masail tingkat nasional sebanyak 39 kali. Namun
karena ada beberapa dokumen yang belum atau tidak ditemukan, maka
berdasarkan dokument yang dapat dihimpun, hanya ditemukan 33 kali Bahtsul
Masail yang menghasilkan 505 keputusan.
Keputusan-keputusan Lajnah Bahtsul Masail baik yang melalui Muktamar
atau Kongres, Konferensi Besar, Rapat Dewan Partai maupun Musyawarah
Nasional dapat diklarifikasikan dalam dua kelompok. Pertama adalah keputusan

5

non-fiqh, yaitu keputusan yang tidak berkaitan dengan masalah hukum praktis dan
hal ini tidak akan dibahas lebih lanjut disini. Sedang yang kedua adalah keputusan
yang hukum fiqh, yakni yang berkaitan dengan hukum-hukum praktis
(‘amaliyyah).
Dalam struktur NU, yang bertugas mengadakan Bahtsul Masail adalah
lembaga syuriyah ( salah satu bagian dari struktur organisasi NU disemua

tingkatan, yang memiliki otoritas yang paling tinggi). Sedangkan menajemen atau
kepengurusan Lajnah Bahtsul Masail secara sederhana hanya ditangani oleh ketua
(ra’is), sekretaris (katib), anggota (a’da atau a’wan) dan tim perumus yang terdiri
atas ketua, sekretaris dan beberapa orang anggota. Peserta Bahtsul Masail adalah
para ulama dan cendikiawan NU, baik yang berada di dalam maupun di luar
struktur organisasi, termasuk pengasuh pesantren.
Penetapan hukum yang dilakukan oleh Lajnah Bahtsul Masail adalah
sangat hati-hati dan tidak mau merujuk lansung kepada nash al-Quran maupun asSunnah. Hal ini tidak terlepas dari pandangan bahwa mata rantai perpindahan
ilmu agama tidak boleh terputus dari suatu generasi kegenerasi berikutnya. Yang
dapat dilakukan adalah menelusuri matarantai yang baik dan sah pada setiap
generasi, yang ini dapat dilakukan hanya dengan cara merujuk pada kitab-kitab
mu’tabarah dari kalangan empat mazahab, terutama madzhab syafii. Oleh karena
sikap dan cara pandang demikian dalam memahami dan menafsirkan ajaran Islam,
para pengamat sering menyebut dan mengelompokkan NU dalam golongan Islam
tradisional.
Ini bukan berarti bahwa NU tidak menghendaki ijtihad, tetapi yang
dikehendaki hanyalah ijtihad yang dilakukan oleh orang-orang yang memenuhi
persyaratan sebagi mujtahid. Sedangkan bagi orang-orang yang memiliki ilmu
agama yang mendalam tetapi belum memenuhi persyaratan mujtahid, lebih baik
takqlid mengikuti kepada ulama mujtahid. Bagi NU taqlid tidak berarti mengikuti

pendapat orang lain tampa mengetahui dalilnya, melainkan juga mengikuti jalan
pikiran imam mazhab dalam menggalali hukum. Oleh karena itu, pintu ijtihad
menurut NU hanya terbuka dalam kerangka pemikiran mazhab. Jadi dalam
menyelesaikan suatu masalah, lajnah Bahtsul Masail tidak menggunakan istilah

6

ijtihad yang diyakini hanya layak bagi ulama mujtahidin terdahulu, melainkan
memakai istilah istinbat (penggalian dan penetapan) hukum dengan pendekatan
mazhabi.
Berdasarkan

telaah dokumenter yang dilakukan oleh Ahmad Zahro

terhadap seluruh keputusan yang menyangkut hukum fiqh selama kurun waktu
1926 sampai 1999 dapat disimpulkan bahwa untuk mengaplikasikan pendekatan
mazhabi, Lajnah Bahtsul Masail mempergunakan tiga macam metode istinbat
hukum yang diterapkan secara berjenjang, yaitu: Pertama, metode Qauli adalah
suatu cara istinbat hukum dengan mempelajari masalah yang dihadapi, kemudian
mencari jawabannya pada kitab-kitab fiqh dari mazhab empat, dengan mengacu

dan merujuk lansung pada bunyi teks.
Kedua, Metode Ilhaqi adalah cara istinbat hukum dengan menyamakan
hukum suatu kasus atau masla yang belum dijawab

oleh kitab (belum ada

kerentuan hukumnya) dengan kasus atau masalah serupa yang telah dijawab oleh
kitab. Metode Ilhaqi ini dalam praktek menggukan prosedur dan persyaratan yang
mirip dengan Qias. kalau tak berlebihan metode ilhaqi ini bisa dikatakan metode
qiyasi vesi NU.
Ketiga, metode manhaji adalah suatu cara menyelesaikan masalah
keagamaan yang ditempuh lajnah Bahtsul Masail dengan mengikuti jalan pikiran
dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh imam mazhab. Contoh
penerapan metode Manhaji ini adalah keputusan kongres/ mu’tamar I tahun 1926.
Soal: dapat pahalakah sedoqoh kepada mayat?
Jawab: dapat!.
Keterangan: dapat dilihat dalam kitab bukhari bab jenazah dan kitab almuhadzab bab wasiat. Keputusan diatas dikatagorikan sebagai keputusan yang
didasarkan pada metode manhaji karena lansung merujuk pada hadist yang
merupakan dalail yang dipergunan oleh imam mazhab.
b. Majlis Tarjih Muhammadiah
Sebagai kelompok tajdid yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan,
Muhammadiah membolehkan siapapun yang memampuni dalam permasalahan

7

agama untuk melakukan ijtihad, tampa harus terikat dengan syarat-syarat mujtahid
klasik. Tidak sulit bagi kita untuk memahami hal ini, karena Muhammadiah
secara tak lansung adalah ormas yang didirikan oleh Ahmad Dahlan, seorang yang
telah menuntut ilmu di Jazirah Arab pada permulaan abad 20. Dimana saat itu
gejolak pembebasan dan pembaharuan pemikiran Islam yang dibawa oleh Abduh
dan Rasyid Ridha sedang berkobar di Timur Tengah.
Untuk merealisasikan kebebasan berijtihad ini maka dibentuklah Majlis
Tarjih Muhammadiah pada kongres Muhammadiyah XVII tahun 1928 di
Yogyakarta, dengan KH. Mas Mansur sebagai ketua pertamanya. Tarjih berasal
dari kata “ rojjaha – yurajjihu- tarjihan “, yang berarti mengambil sesuatu yang
lebih kuat. Tarjih dalam istilah persyarikatan ,sebagaimana terdapat uraian singkat
mengenai “ Matan Keyakinan dan Cita-cita hidup Muhamadiyah “ adalah
membanding-banding pendapat dalam musyawarah dan kemudian mengambil
mana yang mempunyai alasan yang lebih kuat “.
Pada tahap-tahap awal, tugas Majlis Tarjih, sesuai dengan namanya,
hanyalah sekedar memilih-milih antar beberapa pendapat yang ada dalam
Khazanah Pemikiran Islam, yang dipandang lebih kuat. Tetapi, dikemudian hari,
karena perkembangan masyarakat dan jumlah persoalan yang dihadapinya
semakin banyak dan kompleks , dan tentunya jawabannya tidak selalu di temukan
dalam Khazanah Pemikiran Islam Klasik, maka konsep tarjih Muhammadiyah
mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Kemudian mengalami perluasan
menjadi : usaha-usaha mencari ketentuan hukum bagi masalah-maasalah baru
yang sebelumnya tidak atau belum pernah ada diriwayatkan qoul ulama
mengenainya “. Usaha-usaha tersebut dalam kalangan ulama ushul Fiqh lebih
dikenal dengan nama “ Ijtihad “.
Adapun tugas-tugas Majlis Tarjih, sebagaimana yang tertulis dalam
Qa’idah Majlis Tarjih 1961 dan diperbaharuhi lewat keputusan Pimpinan Pusat
Muhammdiyah No. 08/SK-PP/I.A/8.c/2000, Bab II pasal 4 , adalah sebagai
berikut : 1. Mempergiat pengkajian dan penelitian ajaran Islam dalam rangka
pelaksanaan tajdid dan antisipasi perkembangan masyarakat. 2. Menyampaikan
fatwa dan pertimbangan kepada Pimpinan Persyarikatan guna menentukan

8

kebijaksanaan dalam menjalankan kepemimpinan serta membimbing umat,
khususnya anggota dan keluarga Muhammadiyah. 3. Mendampingi dan
membantu Pimpinan Persyarikatan dalam membimbing anggota melaksanakan
ajaran Islam. 4. Membantu Pimpinan Persyarikatan dalam mempersiapkan dan
meningkatkan kualitas ulama. 5. Mengarahkan perbedaan pendapat/faham dalam
bidang keagamaan ke arah yang lebih maslahat.
Metode penetapan hukum atau ijtihad yang dilakukan oleh muhammadiah
pada dasaranya sama dengan yang dilakukan oleh ulama klasik terdahulu yaitu
dengan menggunakan istihsan, istislah, qiyas, dll. Secara garis besar Majlis tarjih
di dalam berijtihad menggunakan tiga macam bentuk ijtihad : Pertama : Ijtihad
Bayani : yaitu ( menjelaskan teks Al Quran dan hadits yang masih mujmal, atau
umum, atau mempunyai makna ganda, atau kelihatan bertentangan, atau
sejenisnya), kemudian dilakukan jalan tarjih. Sebagai contohnya adalah Ijtihad
Umar untuk tidak membagi tanah yang di taklukan seperti tanah Iraq, Iran , Syam,
Mesir kepada pasukan kaum muslimin, akan tetapi dijadikan “Khoroj” dan
hasilnya dimasukkan dalam baitul mal muslimin , dengan berdalil Qs Al Hasyr ;
ayat 7-10.
Kedua : Ijtihad Qiyasi : yaitu penggunaan metode qiyas untuk menetapkan
ketentuan hukum yang tidak di jelaskan oleh teks Al Quran maupun Hadist,
diantaranya : men qiyaskan zakat tebu, kelapa, lada ,cengkeh, dan sejenisnya
dengan zakat gandum, beras dan makanan pokok lainnya, bila hasilnya mencapai
5 wasak ( 7,5 kwintal ) Ketiga : Ijtihad Istishlahi : yaitu menetapkan hukum yang
tidak ada nashnya secara khusus dengan berdasarkan illat , demi untuk
kemaslahatan masyarakat, seperti ; membolehkan wanita keluar rumah dengan
beberapa syarat, membolehkan menjual barang wakaf yang diancam lapuk,
mengharamkan nikah antar agama dll.
c. Majlis Ulama Indonesia
Majelis Ulama Indonesia (MUI) berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H,
bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan
atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu'ama yang datang dari berbagai
penjuru tanah air. Cikal bakal

ide pembentukan MUI ini dilandasi oleh

9

kegelisahan para agamawan melihat fenomena perselisihan dikalangan umat
Islam, terutama dalam urusan penetapan hukum terhadap perkara baru dalam
urusan fiqh.
Perbedaan pendapat golongan dan ormas-ormas ini tak jarang berujung
pada sikap saling mengklaim dan membidahkan satu sama lainnya. Dengan
adanya majlis ulama ini diharapkan perselisihan dan perbedaan pendapat diantara
golongan-golongan itu dapat teratasi atau minimal membentuk sikap saling
menghargai satu sama lain.
Tugas MUI adalah memberikan fatwa terkait permasalah umat Islam baik
sosial maupun ubudiah. Metode intinbat hukum yang dipegangi dalam
memberikan fatwa merupakan metode yang telah disepakati oleh semua pihak dan
golongan yang ada dalam MUI. Sehingga bisa dikatakan MUI secara prosedural
bebas dari hegemoni kolompok tertentu.
Dasar-dasar dan Prosedur penetapan fatwa yang dilakukan oleh Majelis
Ulama Indonesia (MUI) dirumuskan dalam Pedoman Penetapan Fatwa Majelis
Ulama Indonesia Nomor: U-596/MUI/X/1997 yang ditetapkan pada tanggal 2
Oktober 1997. Dasar-dasar penetapan fatwa dituangkan pada bagian kedua pasal 2
yang berbunyi:
1. Setiap Keputusan Fatwa harus mempunyai dasar atas Kitabullah dan Sunnah
Rasul yang mu’tabarah, serta tidak bertentangan dengan kemaslahatan umat.
2. Jika tidak terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul sebagaimana ditentukan
pada pasal 2 ayat 1, Keputusan Fatwa hendaklah tidak bertentangan dengan ijma’,
qiyas yang mu’tabar, dan dalil-dalil hukum yang lain, seperti istihsan, maslahah
mursalah, dan saddu al-dzari’ah.
3. Sebelum pengambilan Keputusan Fatwa, hendaklah ditinjau pendapat-pendapat
para imam madzhab terdahulu, baik yang berhubungan dengan dalil-dalil hukum
maupun yang berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang
berbeda pendapat.
4. Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil Keputusan
Fatwanya, dipertimbangkan.

10

Kesimpulan
Demikianlah yang dapat saya sampaikan terkait akar perpecahan
keislaman di Indonesia. Dengan memahami perkara ini maka jelaslah bagi kita
bahwa perbedaan haluan dalam memahami Islam sebenarnya hal yang lumrah,
sudah terjadi sejak masa ulama salaf dahulu. Sehingga dengan memahami akar
perpecahan ini kita bisa toleran ketika melihat saudara semuslim kita melakukan
ibadat, amalan dan keyakinan yang berbeda dengan kita. Tidak ada yang salah
seratus persen dan tidak pula ada yang benar mutlak. Semoga bermamfaat.

11