Beberapa istilah dalam Filsafat ketuhana

Beberapa istilah dalam Filsafat ketuhanan
1. Agnostisisme: dari kata Yunani agnostos “yang tak dikenal”, berarti teori mengenai “ kemustahilan
untuk mengetahui”. Istilah ini mengungkapkan faham falsaf yang menganggap bahwa segala sesuatu
yang berada di atas rasa tidak mungkin diketahui. DKL, agnostisisme adalah pengingkaran terhadap
segala bentuk umum metafsika sebagai ssumber pengetahuan yang nyata; secara khusus agnostisisme
merupakan pengingkaran dari kemungkinan untuk mengetahui Allah. Paham ini menerima kemungkinan
adanya suatu yang transenden dalam hidup manusa, namun menolak gagasan bahwa manusia dpat
mengetahui secara pasti eksistensi dan khususnya hakekat kenyataan yang transenden itu.
Pengetahuan dibatasi pada barang-barang material dunia, sedang pengetahuan mengenai yang
transenden diserahkan kepada perasaan atau ‘kepercayaan’.
2. Analogi: mempunyai arti penting lebih-lebih dalam masalah tentang Allah. Sejauh analogi
mengggarisbawahi kemiripan antara pengada tercipta dengan Allah, analogi menolak suatu pemisahan
penuh antara Allah dan dunia; dalam aspek itu analogi memungkinkan suatu pengetahuan tertentu
tentang Allah, maka berlawanan dengan agnostisisme. Namun sejauh analogi menggarisbawahi
perbedaan antara keduanya, analogi menyingkirkan penyamaan panteistis antara Allaha dan dunia;
dalam aspek ini analogi merintangi manusia untuk mendapatkan suatu pengetahuan yang memadai
tentang Allah.
3. Antropomorfsme: ialah kecenderungan untuk menafsirkan semua wujud dunia luar dalam istilah-istilah
yang sesuai dengan kodrat manusia. Dalam bidang keagamaan kecenderungan itu terwujud dalam
penyebutan Allah dengan memakai sifat-sifat badani dan etis yang khas manusiawi.
4. Aseitas:dari kata latin a se “ dari dirinya sendiri” ialah kekhasan sesuatu yang memiliki alasan dan tujuan

eksistensinya dalam dirinya sendiri. Istilah ini diciptakan pada abad pertengahan untuk menunjuk pada
salah satu sifat dasar Allah, yaitu bahwa ia tidak mempunyai penyebab lain selain diriNya sendiri.
Kemudian dipakai oleh Schopenhauer dan menerapkannya pada hakekat, sebagi kenyataan yang benar,
yang satu-satunya yang bereksistensi atas dasar dirinya sendiri.
5. Deisme: muncul di Inggris pada pertengahan abad ke – 6. Istilah itu mengakui seorang Allah pencipta
yang mempribadi, namun mengingkari bahwa Allah mempunyai suatu pengaruh terhadap dunia. Deisme
menyangkal kuasa pelestarian dan kerjasama Allah terhadap makhluk-mahluk, menyangkal mukjizat
dan pewahyuan adikodrati, menyangkal agama wahyu (yang ada adalah agama asli atau kodrati).
6. Deontology: dari kata yunani “dein” yang seharusnya, dalam arti moral: bertolak dari kenyataan adanya
kewajiban moral. Beberapa tindakan manusia tampak sebagai tindakan yang dipengaruhi suatu nilai
mutlak yang harus dilakukan atau dihindari tanpa syarat. Deontology berpendapat bahwa hanyalah
suatu Nilai mutlak yaitu Allah sendiri sebagai Nilai, dan dalam Nilai itu semua nilai moral yang kita alami
mengambil bagian.
7. Docta Ignorantia: munculnya kesadaran berdasarkan penalaran, artinya terbukti oleh akal budi, akan
alasan-alasan mengapa kita tidak dapat mengenal segala sesuatu yang berhubungan dengan yang tak
terbatas, khususnya Allah dalam diriNya sendiri. Ketidak mungkinan ini disebabkan oleh jarak tak
terbatas yang ada di antara yang terbatas dan yang tak terbatas.
8. Emanatisme: sebuah faham falsaf dan keagamaan yang menyatakan bahwa dunia muncul sebagai hasil
emanasi dari yang Esa. Plotinus mengajarkan bahwa Yang Esa, yang tak terperikan dan tak terfahamkan,
1


dalam suatu aliran yang tak berawal dan tak berakhir menghasilkan berbagai tingkatan kenyataan,
seperti akal, jiwa dunia, dan akhirnya pengada-pengada kodrati nyang berakar pada materi. Masingmasing emanasi itu adalah akibat dari saat yang mendahuluinya dan asal dari saat yang mengikutinya.
Emanatisme berbeda secara tyegas dengan faham penciptaan, yang berasal dari tradisi Yahudi-kristiani
yang memandang bahwa Alah tetap terpisahkan dan berbeda dgn mahkluk.
9. Fatum (nasib): suatu keniscayaan mutlak yang menetapkan jalan kejadian segala hal sebelum hal-hal itu
terjadi, di dalam segala aspeknya, dan bahkan yang tak terjangkau oleh kehendak dewa-dewa.
10.
Fideisme: dari kata Latin fdes; kepercayaan dan dari situ berarti flsafat yang berdasarkan
kepercayaan, ialah sebuah faham yang mengajarkan bahwa kebenaran-kebenaran metafsik, moral dan
keagamaan tidak terjangkau oleh akal budi manusia dan hanya dapat ditangkap melalui iman.
11. Henoteisme: faham yang mengakui banyak dewa, tetapi dalam doa dan kultus berseru kepada seorang
dewa saja, seakan-akan tidak ada dewa yang lain.
12.Okasionalisme: faham yang mengatakan bahwa satu-satunya sebab sejati segala kejadian dalam dunia
material dan dunia rohani adalah Allah; sebab-sebab langsung dan terbatas tidak lebih dari kesempatankesempatan bagi campur tangan ilahi.
13.Panenteisme: suatu faham yang tanpa mencampur adukkan dunia dengan Allah (seperti dalam
panteisme), tidak mau memisahkan pula dari dhat ilahi. Dalam konsepsi itu ada-nya Allah memang tidak
disempitkan menjadi adanya dunia. Dunia merupakan ungkapan empiris Allah yang berada di dalam
segala hal secara imanen dan sekaligus transenden.
14.

Pankosmisme: semacam panteisme yang menciutkan Allah menjadi semesta fsik, dan memandang
semesta fsik ini sebagai kenyataan satu-satunya.
15.Panteisme: dari kata yunani pan: semua dan theos: Allah, adalah salah satu dari bentuk-bentuk yang
mungkin dari monisme. Panteisme mengakui hanya ada satu kenyataan yaitu Allah, sedang segala hal
yang lain hanyalah merupakan berbagai cara beradanya Allah. Panteisme adlah sebuah faham imanensi
total
16.
Sientisme: sesuai dengan dogma rasionalis, memandang inteligensi manusia sebagai ukuran segala
inteligibilitas; sientisme mambatasi rasionalisme tersebut dalam batas2 ilmu pengetahuan saja, sehingga
roh manusia itu sendiri direduksikan menjadi dimensi ‘ilmiah’ saja.
17.Teleologis: mendasarkan diri pada pertimbangan tentang keselarasan yang merajai alam semesta dan
perlunya inteligensi Tertinggi untuk menerangkan keselarasan tersebut.
18.
Teosof: faham yang mencoba mengembangkan kecenderungan-kecenderungan kodrati tiap orang,
untuk sampai pada satu visi tentang Allah, dan lewat visi itumendapatkan suatu pengetahuan gaib
tentang segala hal.

2