11.1. Latar Belakang - Kebijakan 013 Prof Sahris book Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Masy Pesisir

MODUL 11 : KEBIJAKAN PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN MASYARAKAT PESISIR

11.1. Latar Belakang

Wilayah pesisir merupakan kawasan sumberdaya potensial di Indonesia. Kawasan ini adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Sumberdaya ini sangat besar yang didukung oleh adanya garis pantai Indonesia mencapai sepajang sekitar 81.000 km (Dahuri et al. 2001). Garis pantai yang panjang ini menyimpan potensi kekayaan sumberdaya alam yang besar. Potensi itu merupakan sumberdaya hayati dan non hayati. Potensi hayati misalnya: perikanan, hutan mangrove, dan terumbu karang, sedangkan potensi non-hayati misalnya: mineral dan bahan tambang serta pariwisata. Di daerah ini juga berdiam para nelayan yang sebagian besar masih miskin dan atau prasejahtera.

Pengelolaan berbasis masyarakat atau biasa disebut Community-Based Management (CBM) menurut Nikijuluw (2002), merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya pesisir yang meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya. Pengetahuan masyarakat tersebut juga memiliki akar budaya yang kuat dan biasanya tergabung dalam kepercayaannya (religion). Mubyarto, dkk. (1983), memberikan definisi strategi yang berpusat pada manusia sebagai : “Suatu strategi untuk mencapai tujuan pembangunan, dimana pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan di suatu daerah berada di tangan organisasi-organisasi dalam masyarakat di daerah tersebut”. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam sistem pengelolaan ini, masyarakat diberikan kesempatan dan tanggung jawab dalam melakukan pengelolaan terhadap sumberdaya yang dimilikinya, dimana masyarakat sendiri yang mendefinisikan kebutuhan, tujuan dan aspirasinya serta masyarakat itu pula yang membuat keputusan demi kesejahteraannya.

Dengan demikian pengelolaan wilayah pesisir berbasis masyarakat adalah pendekatan pengelolaan yang melibatkan kerja sama antara masyarakat setempat dalam bentuk pengelolaan secara bersama dimana masyarakat berpartisipasi aktif baik dalam perencanaan sampai pada pelaksanaan dan pengawasannya. Pemikiran ini didukung oleh tujuan jangka panjang pembangunan wilayah pesisir di Indonesia antara lain adalah:

1. Peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui perluasan lapangan kerja dan kesempatan berusaha.

2. Pengembangan program dan kegiatan yang mengarah kepada peningkatan pemanfaatan secara optimal dan lestari sumberdaya di wilayah pesisir dan lautan.

3. Peningkatan kemampuan peran serta masyarakat pesisir dalam pelestarian lingkungan.

4. Peningkatan pendidikan, latihan, riset dan pengembangan di wilayah pesisir dan lautan.

Dari beberapa tujuan tersebut diatas maka pemanfaatan secara optimal dan berkelanjutan adalah salah satu dasar yang menjadi pertimbangan utama di dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Pemanfaatan secara berkelanjutan hanya akan dicapai jika sumberdaya dikelola secara bertanggung jawab (FAO, 1995). Sumberdaya yang dimaksud adalah sumberdaya manusia, alam, buatan dan sosial. Sementara itu, pengembangan dan pengelolaan daerah pesisir di Indonesia bukan hanya tanggung jawab dari pemerintah pusat tetapi kewenangan tersebut telah dilimpahkan kepada pemerintah daerah dengan dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999 yang memberikan kewenangan pada daerah dalam mengelola pesisir dan lautnya sejauh 12 mil untuk propinsi dan 1/3 nya untuk kabupaten (UU No. 22 tahun 1999).

Pengembangan wilayah pesisir dan kelautan, sebagai salah satu sektor strategis dalam pembangunan ekonomi saat ini, merupakan sektor yang masih perlu dioptimalkan mengingat potensi kelautan yang ada belum dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan. Kondisi kemiskinan di kalangan sebagian besar masyarakat pesisir (nelayan) Pengembangan wilayah pesisir dan kelautan, sebagai salah satu sektor strategis dalam pembangunan ekonomi saat ini, merupakan sektor yang masih perlu dioptimalkan mengingat potensi kelautan yang ada belum dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan. Kondisi kemiskinan di kalangan sebagian besar masyarakat pesisir (nelayan)

diposisikan sebagai kelompok marginal yang dipersepsikan sedikit sekali memiliki potensi untuk dikembangkan. Hal ini berakibat pada lambatnya proses intervensi teknologi, penguatan kapasitas masyarakat dan inovasi di kalangan nelayan. Sebagai contoh kasus pembangunan pariwisata di Jimbaran dan Kedonganan Bali yang menggusur perkampungan nelayan tanpa adanya good will untuk mensinergikan kedua komunitas yang ada yakni nelayan dan pariwisata.

Dengan dikeluarkannya UU No. 22 dan 25 tahun 1999 yang berkaitan dengan otonomi daerah, menunjukkan adanya komitmen pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan masyarakat melalui penciptaan lapangan kerja sekaligus meningkatkan perekonomian daerah. Salah satu faktor penting dan esensial dari UU tersebut adalah semakin didorongnya peranan masyarakat di daerah untuk secara bersama-sama merencanakan dan melaksanakan pembangunan secara berkesinambungan. Pengentasan kemiskinan diwujudkan dalam berbagai program pemberdayaan masyarakat, yakni kegiatan yang diarahkan untuk masyarakat agar dapat menolong dirinya sendiri dalam memperbaiki kondisi materiil dan non materiil dari kehidupannya sendiri.

Keperluan atas adanya program pemberdayaan masyarakat nelayan/ pesisir ini mengingat sampai saat ini sebagian besar masyarakat pesisir di Indonesia masih berpenghasilan rendah. Program pemberdayaan ini sekaligus juga ditujukan untuk pengentasan kemiskinan melalui program pembangunan berkelanjutan. Bertolak dari kesemuanya itu, maka diperlukan adanya suatu Keperluan atas adanya program pemberdayaan masyarakat nelayan/ pesisir ini mengingat sampai saat ini sebagian besar masyarakat pesisir di Indonesia masih berpenghasilan rendah. Program pemberdayaan ini sekaligus juga ditujukan untuk pengentasan kemiskinan melalui program pembangunan berkelanjutan. Bertolak dari kesemuanya itu, maka diperlukan adanya suatu

Dari beberapa hasil penelitian, kondisi wilayah pesisir Indonesia tergolong padat penduduknya dengan tingkat kesejahteraan, baik secara ekonomi, sosial dan budaya tergolong masih rendah. Namun jika dilihat dari segi potensi sumberdaya pesisirnya, khusunya di desa Worgalih, Kecamatan Yosowilangun, Kabupaten Lumajang, sebenarnya menyimpan potensi yang cukup tinggi, khususnya pasir besi, sebagai pendukung industri b aja dan semen. Hanya saja “keikutsertaan” pemerintah maupun korporasi dalam bentuk penyediaan fasititas serta sarana dan prasarana dirasakan relatif masih kurang. Disamping itu beberapa hasil penelitian juga memperlihatkan kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai teknologi modern dan ramah lingkungan serta upaya kreatif untuk peningkatan pendapatan khususnya dalam musim paceklik, dimana hasil melaut sangat terbatas.

Pada musim paceklik, berdasarkan fenomena yang berkembang, seba- gian istri nelayan/ masyarakat pesisir dengan terpaksa menjual segala barang rumahtangga yang dianggap berharga atau menggadaikannya ke lembaga- lembaga pegadaian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pada saat demikian, mereka berharap keberpihakan atau perhatian pemerintah maupun korporasi untuk ikut serta meringankan beban kehidupan yang menekan ini. Sementara itu, para penguasa di daerah sering menyalahkan nelayan/ masyarakat pesisir tersebut karena dianggap boros membelanjakan uang ketika musim ikan dan tidak ekonomis sehingga kualitas kesejahteraan hidup mereka sulit meningkat. Mereka juga mengatakan bahwa tanggung jawab mengatasi kehidupan yang sulit tersebut sepenuhnya menjadi urusan nelayan. Penyikapan demikian tidak akan pernah bisa megurangi persoalan kesulitan hidup nelayan yang masih diterpa kemiskinan tersebut (Kusnadi, 2003).

13.1.1 Masalah Kemiskinan

Dari uraian diatas, masalah kemiskinan masih merupakan masalah utama dalam pembangunan wilayah pesisir dan nelayan kecil. Masalah tersebut bersifat multi dimensi. Kemiskinan ditandai oleh keterbelakangan dan pengangguran yang selanjutnya meningkat menjadi pemicu ketimpangan pendapatan antar golongan penduduk. Penduduk miskin adalah yang paling rendah kemampuannya. Pada saat ini mereka terpusat di kantong kerniskinan, seperti di desa pesisir dan kepulauan atau daerah pasang surut.

Dari sejumlah studi menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin dan termiskin di pedesaan masih cukup besar. World Bank (2002) melaporkan bahwa, akibat kerentanan ekonomi rumahtangga penduduk miskin terhadap setiap perubahan lingkungan sosial-ekonomi-politik, jumlah penduduk miskin secara dinamis dapat berubah dari 27,0% penduduk dapat menjadi 50,0 %. Sekalipun program pengentasan kemiskinan telah menunjukkan perbaikan kondisi kesejahteraan masyarakat miskin, namun kemiskinan masih menjadi bagian dari komunitas, struktur dan kultur pedesaan pesisir. Dengan adanya kemajuan program pembangunan, diperkirakan masih separuh dari jumlah itu benar-benar berada dalam kategori sangat miskin (the absolute poor). Kondisi mereka sungguh memprihatinkan, antara lain ditandai oleh tingkat pendidikan yang rendah, bahkan sebagian besar buta huruf dan rentan terhadap penyakit. Jumlah penghasilan dari kelompok ini hanya cukup untuk makan. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila perkembangan pengetahuan mereka berjalan sangat lambat. Kelambanan itu terasa ketika dalam kehidupan mereka diintroduksi teknologi baru yang berbeda dari yang sudah ada. Mereka cenderung memberi respon dengan tingkat penerimaan sangat lambat.

PT. ANTAM RESOURCINDO telah berkomitmen mengembangkan dan melaksanakan suatu strategi untuk mengurangi kemiskinan melalui dukungan program Corporate Social Responsibility (CSR) Dengan adanya kesepakatan politik untuk pelaksanaan otonomi daerah, maka kita semakin memerlukan

Pemerintah

maupun

korporasi,

khususnya khususnya

Daerah dalam menghadapi tantangan pengurangan kemiskinan saat ini masih berdasarkan kerangka kebijakan yang berorientasi pada pendekatan top-down. Pada waktu yang akan datang diperlukan kebijakan yang dibangun atas dasar kesepakatan bersama antara Pemerintah Daerah dan Korporasi yang berbasis kearifan masyarakat lokal di wilayah otonomi daerah secara luas (Muhammad, dkk, 2009).

Berdasarkan hal diatas, maka kegiatan pemberdayaan masyarakat miskin perlu diarahkan untuk merubah strategi penanggulangan penduduk miskin agar semakin menjadi lebih baik berdasarkan kebutuhan dan harapan penduduk miskin itu sendiri pada tingkat lokal. Perencanaan dan implementasi pemberdayaan sudah seharusnya berisi usaha untuk penguatan usaha ekonomi produktif mereka berdasarkan “pandangan dan kebutuhan mereka”, sehingga penduduk miskin mempunyai akses pada sumber-sumber sosial-ekonomi dan politik secara mandiri. Untuk meningkatkan kemampuan penduduk miskin, sekurang-kurangnya harus ada perbaikan aksesabilitas sosial-ekonomi dan budaya terhadap empat hal, yaitu : (1) akses terhadap sumberdaya alam, (2) akses terhadap teknologi yang lebih efisien, (3) akses terhadap pasar dan (4) akses terhadap sumber pembiayaan (Sumodiningrat, 1998).

Akses masyarakat pesisir pada sumber-sumber ekonomi sampai kini, khususnya penduduk miskin di desa pantai masih memprihatinkan (Word Bank, 2002). Dengan demikian, usaha memberdayakan masyarakat desa pantai (pesisir) serta upaya untuk mengatasi kemiskinan dan kesenjangan di pedesaan pantai masih harus menjadi agenda penting dalam kegiatan pembangunan. Dengan perkataan lain, pembangunan masyarakat pesisir miskin di pedesaan pantai masih sangat relevan untuk ditempatkan sebagai prioritas pembangunan, mencakup implementasi program peningkatan pemberdayaan masyarakat (community development) dan tidak hanya Akses masyarakat pesisir pada sumber-sumber ekonomi sampai kini, khususnya penduduk miskin di desa pantai masih memprihatinkan (Word Bank, 2002). Dengan demikian, usaha memberdayakan masyarakat desa pantai (pesisir) serta upaya untuk mengatasi kemiskinan dan kesenjangan di pedesaan pantai masih harus menjadi agenda penting dalam kegiatan pembangunan. Dengan perkataan lain, pembangunan masyarakat pesisir miskin di pedesaan pantai masih sangat relevan untuk ditempatkan sebagai prioritas pembangunan, mencakup implementasi program peningkatan pemberdayaan masyarakat (community development) dan tidak hanya

Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat pesisir miskin di desa pantai adalah merupakan rangkaian upaya dengan jangkauan kegiatan yang menyentuh pemenuhan berbagai macam akses dan kebutuhan pokok pangan, pendidikan, perumahan dan kesehatan, termasuk pemenuhan kebutuhan untuk berpartisipasi dalam pengurangan kemiskinan mereka, sehingga segenap anggota masyarakat miskin di pedesaan pantai dapat mandiri, percaya diri, tidak bergantung dan dapat lepas dari belenggu struktur sosial budaya dan ekonomi yang membuat mereka miskin (Wahyono, at al., 2001).

Hendaknya kita sadari, bahwa kemiskinan yang mereka hadapi bersifat multi demensi dan multi level faktor sosial, ekonomi, kebijakan dan budaya. Mereka memiliki potensi pentagon aset, yaitu aset sosial, SDM, finansial, sumberdaya alam dan aset fisik, walaupun aset tersebut masih terbatas (DFID, 2000). Mereka menjadi miskin karena pemilikan aset yang rendah, sehingga tingkat pendapatannya rendah yang diakibatkan oleh rendahnya akses mereka terhagap potensi ekonomi lokal. Tingkat pendapatan rendah karena keterampilannya (aset SDM) yang rendah dan skala usaha mereka kecil. Mengingat keterampilan yang rendah, maka akses terhadap pekerjaan yang ada di sekitarnya juga rendah. Sekalipun mereka memiliki usaha secara mandiri, tapi dengan skala usaha kecil. Dengan peralatan sederhana (aset fisik) yang mereka miliki mereka bekerja bersama anak atau keluarga mereka. Sumber penghasilan rumahtangga mereka bukan saja dari kerja keras suaminya, tapi juga kerja keras isteri dan anak-anak mereka. Begitu selanjutnya, nelayan miskin berada dalam lingkaran syetan kemiskinan.

Skala usaha masyarakat pesisir miskin adalah kecil, karena akses modal rendah. Mereka harus dilepaskan dari belenggu lingkaran kemiskinan ini. Menghadapi kenyataan kehidupan yang demikian maka ada dua fenomena yang dilakukan rumahtangga nelayan miskin, yaitu : (a) menyesuaikan diri dengan Skala usaha masyarakat pesisir miskin adalah kecil, karena akses modal rendah. Mereka harus dilepaskan dari belenggu lingkaran kemiskinan ini. Menghadapi kenyataan kehidupan yang demikian maka ada dua fenomena yang dilakukan rumahtangga nelayan miskin, yaitu : (a) menyesuaikan diri dengan

Adapun penyesuaian diri masyarakat pesisir miskin terhadap perubahan kondisi sosial ekonomi sekitarnya dalam bentuk “perlawanan” , yaitu dengan

melakukan kegiatan melaut menggunakan bahan kimia atau peledak yang akibatnya sangat buruk dan merusak. Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia (potasium) dan peledak jelas merupakan jalan pintas dari reaksi ketidakberdayaan nelayan miskin untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari hidupnya (Wahyono, at al., 2001).

Dengan demikian program pengurangan kemiskinan bersifat multi dimensi, multi tingkat dari berbagai aspek. Hasil penelitian selama tiga tahun 2006 – 2008 disimpulkan pendekatan pemberdayaan memerlukan tujuh aspek aksesabilitas (heptagon access) untuk mengurangi penduduk miskin di pedesaan pantai, yaitu : akses dalam (a) peningkatan mutu SDM melalui pendidik, (b) perbaikan pelayanan fisik lingkungan, (c) penguatan jaringan sosial-budaya, (d) keberpihakan politik kebijakan PEMDA, (e) perluasan pasar, (f) perbaikan kondisi sumberdaya alam yang ada di lingkungannya dan (g) akses pelayanan permodalan. Oleh karenanya program untuk mengurangi jumlah dan pemberdayaan penduduk miskin di pesisir harus didekati secara multi-dimensi dan multi tingkat (Mukherjee, Hardjono and Carriere, World Bank, 2002).

13.1.2 Implimentasi

Pelaksanaan Pemberdayaan

Perencanaan

dan

Rendahnya akses masyarakat pesisir miskin terhadap sumber-sumber potensi pembangunan lebih diperparah, karena selama ini para perencana pembangunan sering bias dalam memandang masyarakat nelayan/ pesisir Nelayan / masyarakat pesisir cenderung diperlakukan sama dengan petani. Dalam arti luas, perikanan memang dapat dipandang sebagai bagian dari kegiatan pertanian. Namun jika kita lihat dari sifat sumberdayanya maupun sistem mata pencaharian dan pemilikan lahan, ada perbedaan sangat mendasar antara nelayan dan petani. Dalam hal pemanfaatan lahan, para petani mengenal batas- batas pemilikan lahan secara jelas, sedangkan pada usaha perikanan, para nelayan menghadapi kenyataan dimana laut adalah milik umum (common property), sehingga siapa saja yang menguasai dan memiliki modal dan teknologi yang paling efisien adalah mereka yang mampu meningkatkan hasil tangkapan. Para nelayan melakukan eksploitasi sumberdaya secara bebas-masuk (open access) tanpa ada batas-batas wilayah yang jelas seperti halnya dalam pemanfaatan sumberdaya lahan pertanian. Oleh karena itu, dalam kegiatan perikanan, pemanfaatan sumberdaya lebih ditentukan oleh pemilikan modal dan penguasaan teknologi.

Kesalahan yang juga sering terjadi dalam pemberdayaan masyarakat, para perencana pembardayaan sering kurang memperhitungkan kondisi lokal sasaran program. Program pemberdayaan masyarakat yang tidak memperhatikan keunikan pola hubungan kerja dan sosial budaya yang terjadi pada masyarakat kelompok sasaran akan selalu menemui kegagalan. Oleh karena itu asumsi dasar yang melandasi kebijakan pemberdayaan masyarakat nelayan / pesisir selama ini perlu ditinjau kembali. Satu hal yang perlu dilakukan adalah perlunya identifikasi respon nelayan terhadap perubahan lingkungan dan kelembagaan permodalan di tingkat lokal. Dengan demikian, sasaran penelitian ini adalah merupakan pendalaman hasil penelitian tahun 2006 – 2008 dan penelitian Strategis Nasional tahun 2009 yang menyimpulkan Model Kemitraan

Sosial sebagai pendekatan pemberdayaan yang direkomendasikan. Dengan demikian Rencana pemberdayaan masyarakat (RPM) ini akan difokuskan untuk memahami dan merumuskan pola dan arah pemberdayaan rumahtangga masyarakat pesisir/ nelayan miskin serta peran kelembagaan lokal dalam mendampingi rumahtangga nelayan melalui pendekatan Kemitraan Sosial dalam penguatan usaha, ketahanan pangan rumahtangga, permodalan dan pemasaran berwawasan gender di tingkat lokal agar pendekatan peningkatan kesejahteraan ekonomi rumahtangga nelayan dapat dilakukan lebih cocok dengan kebutuhan hidup dan budaya masyarakat nelayan tersebut.

Untuk melaksanakan pemberdayaan ekonomi masyarakat sebenarnya memerlukan kepedulian dan komitmen korporasi/ perusahaan terhadap pemberdayaan masyarakat sekitar sehingga akan terwujud keseimbangan yang harmonis saling menguntungkan kedua belah pihak. Oleh karenanya perusahaan PT. ANTAM RESOURCINDO menyatakan kesanggupannya tertuang dalam Dokumen Rencana Pemberdayaan Masyarakat atau melaksanakan program corporate social responsibility (CSR)

Berdasarkan UUD 1945 wadah yang tepat untuk melaksanakan pemberdayaan ekonomi masyarakat adalah dengan membangun sistem ekonomi kerakyatan melalui wadah Koperasi. Dengan berkehidupan ekonomi koperasi berarti pemberdayaan ekonomi masyarakat dapat diwujudkan secara tepat guna dan berdaya guna sehingga meningkatkan kesejahteraan anggota. Untuk dapat mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumberdaya alam yang ada, Indonesia sangat membutuhkan investor yang memiliki teknologi tinggi, modal yang kuat, untuk kepentingannya membuat infra struktur sendiri. Oleh karena itu diperlukan program pemberdayaan dalam rangka penyaluran kepedulian korporasi terhadap lingkungan masyarakat sekitarnya. Melalui program pemberdayaan tersebut diharapkan tumbuh hubungan harmonis antara korporasi dan masyarakat, disamping sebagai wujud kepedulian korporasi terhadap pembangunan ekonomi masyarakat miskin di sekitarnya.

13.2 Tahap-Tahap Pemberdayaan

13.2.1. Konsep Pemberdayaan

Konsep "empowerment" (pemberdayaan), yang dibidani oleh Friedmann (1992), muncul karena adanya dua premis mayor, yakni kegagalan dan harapan. Kegagalan yang dimaksud, adalah gagalnya model-model pembangunan ekonomi dalam menanggulangi masalah kemiskinan dan lingkungan yang berkelanjutan. Sedangkan harapan, muncul karena adanya alternatif-alternatif pembangunan yang memasukkan nilai-nilai demokrasi, persamaan gender, persamaan antar generasi, dan pertumbuhan ekonomi yang memadai. Kegagalan dan harapan, menurut Friedmann (1992) bukanlah merupakan alat ukur dari hasil kerja ilmu-ilmu sosial, melainkan lebih merupakan cermin dari nilai-nilai normatif dan moral. Kegagalan dan harapan, akan terasa sangat nyata pada tingkat individu dan masyarakat. Dengan demikian, "pemberdayaan masyarakat", pada hakekatnya adalah nilai kolektif dari pemberdayaan individual.

Konsep "empowerment", sebagai suatu konsep alternatif pembangunan, pada intinya memberikan tekanan pada otonomi pengambilan keputusan dari suatu kelompok masyarakat, yang berlandaskan pada sumberdaya pribadi, langsung, partisipatif, demokratis, dan pembelajaran sosial melalui pengalaman langsung (Friedmann, 1992). Sebagai titik fokusnya adalah lokalitas, sebab "civil society" menurut Friedmann (1992) akan merasa siap diberdayakan lewat issue-- issue lokal. Namun Friedmann mengingatkan, bahwa adalah sangat tidak realistis apabila kekuatan-kekuatan ekonomi dan struktur di luar "civil society" diabaikan. Oleh karena itu, menurut Friedmann pemberdayaan masyarakat tidak hanya sebatas sosial-ekonomi saja namun juga secar a “politis”, sehingga pada akhirnya masyarakat akan memiliki posisi tawar baik secara regional maupun nasional.

Konsep "empowerment", menurut Friedmann (1992) merupakan hasil kerja dari proses interaktif baik ditingkat ideologis maupun praksis. Ditingkat Konsep "empowerment", menurut Friedmann (1992) merupakan hasil kerja dari proses interaktif baik ditingkat ideologis maupun praksis. Ditingkat

(1) Apa pinsip yang digunakan oleh pemerintah dalam pemberdayaan kelembagaan masyarakat ?. (2) Apakah pendekatan pemberdayaan masyarakat dilakukan terhadap individu agar mampu bersaing atau pendekatan rumahtangga agar dapat mengakses potensi sosial di lingkungannya ?.

(3) Apakah ada insentif yang dapat diperoleh masyarakat untuk mengorganisasikan lingkungannya untuk melakukan prakarsa perbaikan diri dan rumahtangganya oleh mereka sendiri ?

(4) Apa saja yang mendorong peran masyarakat, pemerintah dan LSM dalam proses pemberdayaan masyarakat untuk berkembang secara mandiri ?

(5) Bagaimana penguatan masyarakat berbasis kondisi masyarakat lokal dapat dilakukan ? (6) Bagaimana upaya untuk mendukung penghidupan rumahtangga yang tidak berdaya dapat diorganisasikan? (7) Bagaimana model perencanaan yang cocok dengan kondisi rumahtangga dan masyarakat agar mampu memberdayakan dirinya sendiri ?

(8) Apa kendala dalam struktur dan kebijakan yang harus diatasi untuk menjadikan pengembangan masyarakat berlangsung sebagai jalan yang dapat dipilih secara berkelanjutan ?.

13.2.2 Tahapan Pemberdayaan

Pemberdayaan masyarakat pesisir/ nelayan kecil (miskin) pada dasarnya identik dengan tahap-tahap pemberdayaan secara umum yang terdiri dari 3 (tiga) tahapan, yaitu pemberdayaan individu/ rumahtangga, pemberdayaan ikatan antar individu/ kelompok, dan pemberdayaan politik. Upaya pemberdayaan dimulai dengan pemberdayaan individu (rumahtangga) keluarga yang dilanjutkan dengan pemberdayaan ikatan antar individu/ kelompok dan politik. Pentahapan pemberdayaan ini dilakukan secara tumpang tindih, artinya dimulainya tahap pemberdayaan tidak perlu menunggu selesainya proses pemberdayaan tahap yang mendahuluinya. Secara rinci tahap-tahap pemberdayaan diuraikan sebagai berikut.

(a) Pemberdayaan Individu (Houshold Model)

Pemberdayaan individu yang dimaksud disini adalah pemberdayaan keluarga (rumahtangga) dan setiap anggota keluarga. Asumsi yang dibangun adalah, apabila setiap anggota keluarga dibangkitkan keberdayaannya maka unit-unit keluarga berdaya ini akan membangun suatu jaringan keberdayaan yang lebih luas lagi. Jaringan yang lebih luas ini kemudian akan membentuk apa yang dinamakan sebagai keberdayaan sosial. Keluarga (rumahtangga), di dalam konsep pemberdayaan ini didudukkan sebagai produser sekaligus konsumer.

Pemberdayaan individu dan keluarga, pada hakekatnya adalah upaya menciptakan suatu lingkungan yang mampu membangkitkan keyakinan diri, memberikan peluang dan motivasi agar setiap individu dalam rumahtangga mampu meningkatkan kemampuan dirinya meraih atau mengakses sumber- sumber daya sosial dan ekonomi bagi pengembangan dan kemajuan kehidupannya. Adapun beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk membangun keberdayaan individu adalah sebagai berikut

1. Pemberdayaan waktu, yang diartikan sebagai usaha mengurangi pemborosan waktu yang dihabiskan oleh individu untuk memenuhi 1. Pemberdayaan waktu, yang diartikan sebagai usaha mengurangi pemborosan waktu yang dihabiskan oleh individu untuk memenuhi

2. Pemberdayaan psikologis, yang berarti pembangunan keyakinan diri bahwa para individu berkemampuan untuk menularkan atau menarik individu-individu lain yang belum beruntung untuk bergabung ke dalam kegiatan usahanya;

3. Pemberdayaan usaha ekonomi, melalui suatu proses yang mengarah pada terbentuknya jaringan usaha antar anggota keluarga, antar tetangga, antar kelompok masyarakat, kemudian mengkait memasuki ekonomi pasar (baik formal maupun informal). Pemberdayaan ini juga mengarah pada terbangunnya keberlanjutan usaha ekonomi antar generasi (inter- generational continuity).

(b) Pemberdayaan Ikatan Antar Individu/Kelompok (Spiral Model) :

Penguatan Permodalan dan Pemasaran

Pada hakekatnya individu dengan individu lainnya diikat oleh suatu ikatan yang disebut keluarga. Demikian pula antar keluarga (rumahtangga) satu dengan keluarga (rumahtangga) yang lain diikat oleh suatu ikatan kebertetanggaan. Begitu seterusnya sampai pada tingkatan yang lebih tinggi. Pada tingkatan yang pertama, hubungan yang terjadi dapat disebabkan oleh adanya saling percaya satu terhadap lainnya, keyakinan keagamaan, kesamaan keturunan, kesamaan nasib, dan atau kedekatan bertetangga. Pada tingkatan yang lebih tinggi, hubungan ini dapat terwujud di dalam suatu gerakan masyarakat, organisasi politik, dan sebagainya.

Tantangan utama di dalam pemberdayaan ikatan ini adalah bagaimana memberdayakan sumberdaya : (1) waktu, (2) ketrampilan dan (3) modal yang Tantangan utama di dalam pemberdayaan ikatan ini adalah bagaimana memberdayakan sumberdaya : (1) waktu, (2) ketrampilan dan (3) modal yang

Sangat disadari, bahwa di dalam perjalanannya dalam praktek pemberdayaan, lintasan spiral institusional ini akan banyak menghadapi paradoks dan dialektika antara : (1) syarat-syarat ekonomi rasional melawan nilai-nilai sosio-kultural (moral), (2) ekonomi formal melawan ekonomi informal, (3) akumulasi kapital melawan ekonomi subsistensi, (4) ruang kehidupan biologi- sosial melawan ruang kegiatan ekonomi. Adapun beberapa langkah untuk membangun keberdayaan institusi adalah sebagai berikut :

1. Memperkuat ikatan antar individu, antar keluarga yang bertetangga dekat, dan antar kelompok keluarga, melalui penciptaan ketergantungan yang rasional antara kegiatan usaha ekonomi dan nilai-nilai sosio-kultural yang hidup di dalam masyarakat.

2. Penguatan ikatan melalui penciptaan ketergantungan yang rasional antara kegiatan usaha ekonomi dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat dimaksudkan agar kegiatan usaha ekonomi yang dikembangkan dapat berlanjut antar keturunan atau antar generasi (inter-generational continuity);

3. Pengembangan (pengguliran) aset dan kegiatan usaha ekonomi memanfaatkan dan mempertimbangkan ikatan-ikatan sosio kultural yang telah ada. Pada tahap-tahap awal program, pengguliran institusional (kelembagaan) diberikan kepada individu atau kelompok yang memiliki 3. Pengembangan (pengguliran) aset dan kegiatan usaha ekonomi memanfaatkan dan mempertimbangkan ikatan-ikatan sosio kultural yang telah ada. Pada tahap-tahap awal program, pengguliran institusional (kelembagaan) diberikan kepada individu atau kelompok yang memiliki

4. Pada pengembangan selanjutnya, keterkaitan antara kegiatan usaha ekonomi individu, keluarga dan atau kelompok ini dengan domain sosial- ekonomi pada tingkatan meso dan makro perlu dikembangkan, dalam rangka membawa lintasan spiral tersebut ke atas. Dalam tingkatan ini, selain diperlukan adanya aktor (organizer) pemimpin yang mampu membawa lintasan spiral ini ke atas, juga diperlukan adanya pemberdayaan politik yang menyertainya.

(c) Pemberdayaan Kelembagaan (Institution Model)

Pada hakekatnya pemberdayaan politik di sini dimaksudkan sebagai lawan dari pengabaian politik (political exclusion). Pada praktek ekonomi yang terjadi saat ini telah ditemukan adanya pengabaian politik dan ekonomi (economic and political exclusion) oleh "urban-metropolitan economy" dan "multinational economy" terhadap si-miskin, termasuk nelayan miskin di wilayah pesisir. Pengabaian ekonomi dan politik nampak pada tidak dimasukkannya para pemduduk miskin di pesisir ke dalam proses dan struktur akumulasi kapital dari "multinational" maupun "national/regional corporation". Dengan demikian, konsep pemberdayaan politik yang ditawarkan disini merupakan konsep penataan terhadap fenomena-fenomena yang dilukiskan diatas. Beberapa konsep dasar untuk membangun keberdayaan politik dari para nelayan miskin di pesisir ini adalah sebagai berikut:

1. Bahwa pemberdayaan politik yang dituju di sini adalah terbentuknya kepedulian dan partisipasi serta "kesalingterkaitan" antara kekuatan negara (state power), kekuatan ekonomi (economic power) dan kekuatan sosial (social power);

2. Dalam peta "kesalingterkaitan" antara kekuatan-kekuatan tersebut dapat ditunjukkan letak inti (core) dari masing-masing kekuatan tersebut. Pada 2. Dalam peta "kesalingterkaitan" antara kekuatan-kekuatan tersebut dapat ditunjukkan letak inti (core) dari masing-masing kekuatan tersebut. Pada

3. Jadi, pada tingkat praksis, pemberdayaan politik di sini akan mengarah pada terbangunnya "kesalingterkaitan" (linkage) antara keluarga-keluarga miskin di pesisir dengan lembaga-lembaga pemerintah dan kegiatan jaringan ekonomi baik regional maupun nasional.

Secara praksis, langkah-langkah pemberdayaan politik adalah sebagai berikut :

1. Mendorong agar kelompok-kelompok individu berkembang menjadi "civil society" yang memiliki kekuatan tawar-menawar (bargaining position);

2. Mendudukkan lembaga-lembaga pemerintah sebagai tulang punggung (backbone) bagi terbangunnya keterkaitan antara kekuatan-kekuatan sosial masyarakat pesisir dengan jaringan ekonomi regional dan nasional dan nasional;

3. Melalui kekuatan lembaga-lembaga pemerintah, korporasi jaringan ekonomi regional dan nasional diminta untuk membuka pasarnya bagi produk-produk yang dihasilkan oleh komunitas pesisir, atau memberikan sebagian dari kegiatan produksinya kepada para keluarga miskin di daerah pesisir melalui mekanisme sub-kontrak dan bentuk kemitraan yang sesuai sosial budaya masyarakat pesisir.

Dalam perspektif spasial, pembangunan masyarakat pesisir dalam kaitannya dengan konsep pemberdayaan lebih diartikan sebagai penguatan territory based identities dan kepemimpinan masyarakat lokal. Pemberdayaan masyarakat pesisir, salah satunya adalah penguatan identitas dan kepemimpinan yang berbasis teritori lokal tersebut. Dan identitas ini tidak begitu saja diseragamkan Dalam perspektif spasial, pembangunan masyarakat pesisir dalam kaitannya dengan konsep pemberdayaan lebih diartikan sebagai penguatan territory based identities dan kepemimpinan masyarakat lokal. Pemberdayaan masyarakat pesisir, salah satunya adalah penguatan identitas dan kepemimpinan yang berbasis teritori lokal tersebut. Dan identitas ini tidak begitu saja diseragamkan

13.3. Pendekatan Penguatan Kelembagaan Ekonomi Masyarakat Pesisir

Secara umum pemberdayaan nelayan miskin/ masyarakat pesisir dapat dilakukan dengan cara meningkatkan aksesibilitas mereka pada sumber-sumber kekayaan sosial, ekonomi dan budaya. Secara sosial, beban kemiskinan yang mereka hadapi akan dapat diatasi dengan cara menyediakan untuk mereka bantuan sosial. Secara ekonomi, beban meraka akan juga dapat diatasi melalui dukungan modal. Secara budaya, beban mereka akan dapat mereka atasi sendiri dengan cara membangkitkan etos kerja dan kemampuan bekerja melalui peningkatan keterampilan kerja mereka. Pendekatan sosial, ekonomi atau budaya semata untuk memberdayakan nelayan atau petani ikan hanya akan berdampak sekejap atau jangka pendek. Pemberdayaan nelayan atau petani ikan mengandung makna penyelesaian masalah pemberdayaan dan penaggulangan kemiskinan multi dimensi sosial, ekonomi dan budaya. Oleh karena itu pendekatan pemecahan masalah adalah bersifat multi dimensi dan komprehensif.

(a) Penguatan Organisasi Ekonomi

"Desa" adalah unit dasar dari kehidupan pedesaan. Disini "desa" mengandung arti sebagai "desa alamiah" atau dukuh tempat orang hidup dalarn ikatan keluarga dalam suatu kelompok perumahan dengan saling ketergantungan yang besar di bidang sosial dan ekonomi, tidak ada keharusan untuk sama dengan unit administratif setempat. Komunitas desa dalam ekonomi yang sedang berkembang untuk sebagian besar memenuhi kebutuhan sendiri dan berorientasi pada kebutuhan pokok, sungguhpun hubungan pasar dengan sektor perkotaan "Desa" adalah unit dasar dari kehidupan pedesaan. Disini "desa" mengandung arti sebagai "desa alamiah" atau dukuh tempat orang hidup dalarn ikatan keluarga dalam suatu kelompok perumahan dengan saling ketergantungan yang besar di bidang sosial dan ekonomi, tidak ada keharusan untuk sama dengan unit administratif setempat. Komunitas desa dalam ekonomi yang sedang berkembang untuk sebagian besar memenuhi kebutuhan sendiri dan berorientasi pada kebutuhan pokok, sungguhpun hubungan pasar dengan sektor perkotaan

Bagi komunitas desa adalah merupakan suatu keharusan untuk menyusun tindakan secara kolektif dan mendorong kerja sama dalarn satu komunitas. Faktor utama lain yang mendorong kerja sama antara para nelayan adalah permintaan akan pekerja yang sifatnya sangat bergantung pada musim dan produksi perikanan. Pada masa-masa puncak musim, jumlah pekerja yang melebihi kapasitas kerja keluarga selalu diperlukan untuk memenuhi jadwal kerja. Disamping itu, merupakan hal yang lazim, bahwa penduduk desa pantai terbagi dalam berbagai sub-klas nelayan. Hanya saja dalam komunitas pedesaan pantai, bahkan bagi mereka yang tidak memiliki alat produksi merasa berhak atas pemakaian alat produksi (kapal) bukan miliknya dengan cara khas penetapan seperti sistem bagi basil.

Seperti lazimnya di dalam perjanjian bagi hasil, di dalam komunitas desa ada kecenderungan yang amat kuat untuk mengaitkan berbagai transaksi ekonomi menjadi hubungan yang sangat pribadi sifatnya. Seorang pemilik perahu tidak hanya menerima bagian perahu atas hasil tangkapannya, dia ada kewajiban menanggung biaya-biaya produksi, bahkan memberikan kredit untuk para pekerja yang selanjutnya disebut pendega memenuhi keperluan konsumsinya. Sering pula, para pemilik kapal, yang selanjutnya disebut juragan, bertindak sebagai pelindung (patron) terhadap si pendega.

Hubungan semacam ini biasanya disebutkan sebagai hubungan antara bapak dan anak buah (patron-client relationship), dalarn hal ini hubungan Hubungan semacam ini biasanya disebutkan sebagai hubungan antara bapak dan anak buah (patron-client relationship), dalarn hal ini hubungan

(b) Pendekatan Ekonomi Dari Sudut Moral

Adat kebiasaan dan prinsip moral dijalankan melalui interaksi sosial dalam komunitas desa. Oleh karena tradisi, kekerabatan, pertalian karena tempat tinggal yang sama dan kebutuhan untuk kerja sama demi keamanan dan daya tahan hidup pada tingkat minimal, maka suatu interaksi sosial yang akrab merupakan ciri masyarakat nelayan.

Para ahli ekonomi moral mempunyai pandangan bahwa hubungan sosial pada komunitas nelayan prakapitalis disesuaikan untuk menjamin kebutuhan pokok yang minimum bagi seluruh anggota komunitas. Biasanya para nelayan dan petani ikan gurem memenuhi nafkahnya pada tingkat yang hampir mendekaii kebutuhan pokok minimum untuk hidupnya. Para nelayan gurem (pendega) selalu dihadapkan pada bahaya pendapatan mereka mungkin menurun di bawah tingkat kebutuhan pokok yang terendah yang disebabkan oleh berbagai hal yang terjadi di luar mereka, seperti cuaca atau terjadinya keadaan yang tidak diinginkan dalam keluarganya, misalnya sakit.

Menurut Hayami dan Kikuchi (1987), bahwa pandangan para ahli ekonomi moral tentang kecenderungan masyarakat desa pra-kapitalis mengarah menjadi dua aliran, yaitu

1. Aliran pertama : menduga orientasi masyarakat desa pra-kapitalis untuk membangun kontrol sosial terhadap warga yang berkecukupan supaya ikut serta menggunakan kekayaannya dalam upaya memenuhi kebutuhan minimum bagi orang miskin. Kontrol sosial dernikian berlangsung melalui interaksi.

2. Aliran kedua : menduga bahwa komunitas pedesaan (petani atau nelayan) prakapitalis tidak berorientasi untuk melindungi yang miskin. Aliran ini berpendapat bahwa kelembagaan tradisional desa dan hubungan bapak-anak buah tidak mempunyai motivasi maupun daya guna untuk menjamin kebutuhan pokok para anggota komunitas miskin. Mereka berpendapat, bahwa di dalam komunitas petani tradisional, motivasi orang-orang dalam komunitas itu lebih banyak terarah untuk mencapai keuntungan pribadi daripada untuk mencapai kepentingan kelompok, seperti melindungi masyarakat miskin. Oleh karena itu, ketika ekonomi pasar berhasil menembus ekonomi pedesaan pra-kapitalis, maka prinsip-prinsip moral yang dibangun oleh masyarakat pedesaan cenderung "mengalah" atau "dikalahkan". Dengan membaurnya ekonomi pasar ini, prinsip moral untuk menjamin keperluan pokok melaui "jaringan sosial" bagi angota komunitas telah digantikan oleh pertimbangan ekonomi yang keras untuk mencari untung sebanyak-banyaknya. Hubungan tolong-menolong antara Bapak- Anak Buah menjadi lemah. Dengan meletakkan tekanan pada prinsip moral tradisional dan interaksi

(aksesibilitas) sosial dalam komunitas desa, maka pendekatan pemberdayaan ini lebih menekankan "pendekatan ekonomi dari sudut moral dalam arti luas". Pengertian moral sosial dalam arti luas, bahwa untuk mengatasi kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat nelayan di pedesaan pantai tidak cukup hanya atas dasar "redistribusi pendapatan" melalui kebijakan anggaran publik, tapi juga penyiapan prasarana dan aksesibilitas sosial -ekonomi nelayan kecil untuk mendukung kegiatan produktif rumahtangga nelayan.

13.3.1. Pendekatan Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Berbasis Komunitas (PSBK)

Proses pembangunan yang berlangsung di banyak negara berkembang selama ini diwarnai oleh mata rantai pemithosan paradigma pembangunan yang mendasarinya. Pertanyaan who gets, of what, how much mulai menggugat production oriented development yang berorientasi pada paradigma pertumbuhan (Tjokrowinoto, 1996). Kemudian, pada tahun 1970-an pemithosan paradigma kearah pendekatan kesejahteraan yang menjanjikan kesejahteraan rakyat dan keadilan. Menurut Tjokrowinoto (1996) pendekatan tersebut masih mengandung kelemahan mendasar karena dua hal, yaitu : (a) sentralistik, dan (b) birokrasi tidak mampu memberikan pelayanan sesuai kebutuhan rakyat (baca : rakyat miskin).

Pada tahun 1980-an, pendekatan welfare-oriented development atau equity – oriented development digugat. Kemudian lahir paradigma people – centred development yang kemudian melandasi wawasan Community – Based Resource Mangement (CBRM). Tjokrowinoto (1996) menterjemahkan CBRM menjadi Pengelolaan Sumber Daya Lokal (PSDL). Tim Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya (1999) menterjemahkan CBRM dengan istilah Pmanfaatan Sumberdaya Perikanan Berbasis Komunitas (PSBK).

Ciri managemen PSBK tersebut mengacu pada pendapat Konten (Tjokrowinoto, 1996) adalah sebagai berikut :

(1) Pembangunan oleh masyarakat; (2) Managemen oleh komunitas; (3) Merupakan proses belajar sosial; dan (4) Menerapkan managemen strategis .

Alasan penerapan PSDL (PSBK) adalah :

(1) Sumberdaya pembangunan dari Pusat tidak akan mencukupi untuk menjangkau seluruh masyarakat dalam

lapisan bawah (miskin);

(2) Program dari Pusat sukar menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat lokal;

(3) PSDL (PSBK) lebih tanggap terhadap heterogenitas lokal; (4) PSDL memungkinkian partisipasi masyarakat secara optimal; (5) PSDL menempatkan tanggung jawab pembangunan pada masyarakat

(miskin) setempat. Tindakan rasional secara ekonomi dalam pemanfaatan sumberdaya

perikanan “milik bersama (common property)” bisa berdampak irrasional. Kata Hardin (1968) dapat menimbulkan tragedy of the common. Pada tingkat komunitas, masyarakat dengan kearifan lokal memungkinkan untuk membangun tindakan rasional secara sosial melalui kelembagaan kerjasama yang berbasis masyarakat. Dalam pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat terjadi suatu proses pemberian wewenang, hak dan tanggung jawab masyarakat untuk mengelola sumberdaya perikanan oleh, dari dan untuk masyarakat sendiri. Dalam hal ini, kerjasama merupakan solusi untuk menghindarkan diri masyarakat dari tragedi yang tidak diinginkan.

Dengan adanya kerjasama, masyarakat dalam konsep PSBK adalah komunitas atau kelompok orang yang memiliki tujuan yang sama. Dari sudut pandang wilayah, masyarakat disini adalah mereka yang tinggal di suatu kawasan tertentu. Kawasan yang dimaksud dapat mencakup beberapa pemukiman, desa, kecamatan, kota, kabupaten, propinsi atau negara. Misalnya, masyarakat Teluk Jakarta adalah masyarakat yang berasal dari beberapa dusun, desa, pulau, kecamatan, kabupaten/kota atau propinsi bergantung pada cakupan wilayah yang kita maksudkan. Selat Bali didiami oleh warga nelayan mencakup penduduk Propinsi Jawa Timur dan Bali. Kawasan Selat Madura mencakup kawasan nelayan dari penduduk Kabupaten/Kota yang membatasi Selat Madura, seperti Sumenep, Pamekasan, Probolinggo, Situbondo dan Banyuwanngi dengan adat istiadat dan kebiasaan yang berbeda.

Dari sudut pandang status sosial dan pekerjaan, masyarakat yang tinggal di kawasan tertentu, orang yang berkepentingan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan dapat terdiri dari para nelayan, pedagang ikan, pembudidaya ikan/ rumput laut, pengolah ikan, pemilik kapal, tokoh adat ataupun pimpinan formal. Dengan adanya klasifikasi masyarakat yang berbeda, maka PSBK dapat dibedakan atas dasar :

(1) Administrasi pemerintahan/ kawasan : PSBK dusun pada tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi atau kawasan Selat/ Teluk tertentu;

(2) Kegiatan ekonomi masyarakat : PSBK gill-net, petani rumput laut dan lain- lainnya.

13.3.2 Pendekatan Lembaga Keuangan Masyarakat Pesisir (LKMP )

Untuk mengembangkan entrepreneurship rumahtangga nelayan miskin memerlukan kemampuan enterpreneural skill disamping pengaturan atas dasar hak, izin atau bebas masuk. Sebagaimana kita ketahui, bahwa sumberdaya laut merupakan pabrik perairan produsen primer. Ikan mengambil makanan dari perairan pesisir. Pada budidaya perairan yang berazaskan IPTEK, petani harus menggunakan kecerdasan otaknya untuk meningkatkan penguasaan terhadap semua faktor lingkungan yang mempengaruhi . pertumbuhan biota ikan/ non-ikan atau tanaman laut.

Nelayan yang melakukan usaha menangkap ikan di laut harus memiliki keterampilan yang lebih luas daripada pekerja pabrik, karena petani atau nelayan disamping sebagai juru tani juga sebagai pengelola bisnis. Sebagai pengelola bisnis, seorang nelayan harus "menguasai" keterampilan bisnis. Untuk mengembangkan bisnis perikanan secara berhasil, maka para nelayan memerlukan kernampuan untuk "menguasai" jalur bisnis perikanan secara utuh, yaitu :

(1) Penyediaan input kegiatan melakukan penangkapan ikan di laut, seperti perahu dan alat tangkap ikan.

(2) Kegiatan menangkap ikan di laut. (3) Pengolahan pasca panen. (4) Pemasaran dan distribusi output ikan atau produk lainnya.

Dalam aktivitas pernberdayaan nelayan skala kecil/ miskin perlu dikaji secara mendalam mutu SDM dan kemungkinan untuk dikembangkan keterampilannya, khususnya dalam kegiatan pemberdayaan sosial dan ekonomi nelayan kecil dalam menguasai bisnis perikanan sebatas kemampuan enterpreunur nelayan. Untuk kelengkapan pemahaman masyarakat lokal (nelayan miskin) terhadap keterampilan bisnis yang diperlukan, maka dilakukan identifikasi keperluan usaha ekonomi untuk mengurangi kemiskinan nelayan kecil.

Pembangunan usaha penangkapan ikan di laut memiliki kesamaan dengan proses pembangunan pertanian dalam arti luas. Pakar pembangunan pertanian AT. Mosher (1973) menyatakan bahwa untuk meningkatkan produktifitas pertanian dan aksesibilitas petani, ketika usaha petani semakin berkembang maka semakin bergantung kepada sumber-sumber dari luar lingkungannya. Khususnya bisnis ikan yang cepat busuk, dimana kebutuhan pasar merupakan bagian tak terpisahkan bagi nelayan, karena sebagian besar ikan yang diproduksi dijual di pasar, dan hanya sebagian kecil saja yang dikonsumsi rumahtangga nelayan atau petani ikan.

Ada lima fasilitas dan jasa (akses) yang harus tersedia bagi para petani, termasuk pembudidaya ikan maupun nelayan, jika nelayan atau petani ikan gurern hendak dimajukan. Masing-masing merupakan syarat pokok. Tanpa salah satu dari padanya, tidak akan ada pembangunan nelayan kecil. Syarat pokok yang dimaksud adalah :

(1) Pasar untuk hasil tangkapan ikan;

(2) Teknologi ramah yang terus berubah agar penangkapan ikan bisa bekerja lebih efisien;

(3) Tersedianya sarana produksi dan peralatan secara lokal; (4) Perangsang produksi dengan harga ikan yang layak; (5) Prasarana dan pengangkutan;

Apabila semuanya lengkap, selanjutnya ekonomi rumahtangga nelayan dan petani ikan akan tumbuh berkembang karena dukungan faktor pelancar. Sebagai faktor pelancar yang dapat mempercepat proses pertumbuhan ekonomi nelayan kecil / gurem, yaitu :

(1) Pendidikan dan pelatihan pembangunan (pendampingan); (2) Kredit produksi atau akses permodalan produktif; (3) Kegiatan kelompok bersama oleh nelayan; (4) Perbaikan/konservasi/ perluasan lahan usaha penangkapan ikan;

(5) Pelibatan komunitas nelayan dalam perencanaan pembangunan khususnya dalam skala lokal. Adapun kajian Model Kemitraan Sosial pemberdayaan nelayan skala

kecil yang akan dilakukan mengacu pada teori pemberdayaan oleh Friedman (1992) dengan pendekatan pusat pertumbuhan perekonomian dengan strategi

penciptaan Struktur Pedesaan Progresif (SPP). Sebagaimana dinyatakan oleh AT. Mosher bahwa SPP mempunyai berbagai unsur, yaitu :

Dokumen yang terkait

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

Analisis Prioritas Program Pengembangan Kawasan "Pulau Penawar Rindu" (Kecamatan Belakang Padang) Sebagai Kecamatan Terdepan di Kota Batam Dengan Menggunakan Metode AHP

10 65 6

Pengaruh Kebijakan Hutang Dan Struktur Kepemilikan Manajerial Terhadap Kebijakan Deviden Pada PT. Indosat

8 108 124

Pengaruh Implementasi Kebijakan Tentang Sistem Komputerisasi Kantor Pertahanan (KKP) Terhadap Kualitas Pelayanan Sertifikasi Tanah Di Kantor Pertanahan Kota Cimahi

24 81 167

BAB IV HASIL PENELITIAN - Pengaruh Dosis Ragi Terhadap Kualitas Fisik Tempe Berbahan Dasar Biji Cempedak (Arthocarpus champeden) Melalui Uji Organoleptik - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 2 20

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Uji Kualitas Mikrobiologi Minuman Olahan Berdasarkan Metode Nilai MPN Coliform di Lingkungan Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) Kelurahan Pahandut Palangka Raya - Digital Library IAIN Palangka Raya

1 2 12

The effect of personal vocabulary notes on vocabulary knowledge at the seventh grade students of SMP Muhammadiyah Palangka Raya - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 0 20

BAB IV HASIL PENELITIAN - Penerapan model pembelajaran inquiry training untuk meningkatkan berpikir kritis dan hasil belajar siswa pada pokok bahasan gerak lurus - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 1 23

CHAPTER I INTRODUCTION - The effectiveness of anagram on students’ vocabulary size at the eight grade of MTs islamiyah Palangka Raya - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 0 10

BAB II KAJIAN TEORITIK A. Penelitian Sebelumnya - Perbedaan penerapan metode iqro’ di TKQ/TPQ Al-Hakam dan TKQ/TPQ Nurul Hikmah Palangka Raya - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 0 26