BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Harga Diri 2.1.1 Definisi Harga Diri - Harga Diri Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Tanjung Gusta Medan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Harga Diri

2.1.1 Definisi Harga Diri

  Beberapa ahli mengemukakan pendapat mengenai definisi harga diri diantaranya adalah Rosenberg 1965, dalam Taylor, Shelley E, et al.,2009 yang menyatakan bahwa harga diri adalah hasil evaluasi tentang diri kita sendiri. Artinya, kita tidak hanya menilai seperti apa diri kita tetapi juga menilai kualitas-kualitas diri kita. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Coopersmith, yaitu harga diri adalah evaluasi yang dibuat individu dan kebiasaan memandang dirinya, terutama sikap menerima, menolak,dan indikasi kepercayaan individu terhadap kemampuan, keberartian, kesuksesan, dan keberhargaan. Dalam istilah singkatnya, harga diri merupakan “personal judgement”.

  Selain Rosenberg dan Coopersmith, ahli lain yang mendefinisikan harha diri adalah Stuart dan Laraia pada tahun 1998 yang berpendapat bahwa harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh dengan menganalisa seberapa baik perilaku seseorang sesuai dengan ideal diri. Harga diri yang tinggi adalah perasaan yang berakar dalam penerimaan diri sendiri tanpa syarat, walaupun melakukan kesalahan, kekalahan, dan kegagalan, tetap merasa sebagai seorang yang penting dan berharga. Pengertian serupa juga dikemukakan oleh Crocker

  8

  & Wolfe pada tahun 2001, bahwa harga diri adalah keseluruhan pandangan diri yang menyangkut perasaan berharganya sebagai seorang manusia. Potter &Perry 2005 menambahkan harga diri adalah rasa dihormati, diterima, kompeten, dan bernilai. Orang dengan harga diri rendah sering merasa tidak dicintai dan sering mengalami depresi dan ansietas. Harga diri berfluktuasi sesuai dengan kndisi sekitarnya, meskipun inti dasar dari perasaan negatif dan positif dipertahankan.

  Baumeister, Tice, & Hutton mendefinisikan harga diri sebagai penilaian keseluruhan terhadap diri sendiri baik afektif maupun kognitif secara spesifik. Tingginya harga diri dilihat ketika seseorang merasa senang dan merasa memiliki kualitas-kualitas positif sedangkan dikatakan harga diri yang rendah ketika seseorang memiliki rasa ambivalen dan kurang yakin bahwa mereka memiliki kualitas positif.

  Pada dasarnya, keseluruhan pendapat para ahli harga diri memiliki makna yang senada. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa harga diri adalah penilaian individu terhadap kualitas dirinya sendiri yang berfluktuasi dengan kondisi sekitarnya. Penilaian ini bisa positif maupun negatif tergantung sejauh mana memandang kualitasnya. Jika individu memandang dirinya positif, ini diartikan dengan harga diri yang tinggi sedangkan negatif disebut dengan harga diri yang rendah.

2.1.2 Karakteristik Harga Diri

  Harga diri dapat dinilai dengan melihat bagaimana individu menilai dan mengevaluasi dirinya. Penilaian ini selanjutnya akan mempengaruhi perilaku individu dalam bertingkah laku. Penilaian ini terbagi atas 2 jenis yaitu harga diri yang tinggi dan rendah. Penilaian ini dibedakan berdasarkan karakteristiknya. Rossenberg dan Owens (dalam Larasati 2012) menjabarkan karakteristik masing-masing lebih rinci sebagai berikut:

  Tabel 1. Karakteristik Individu dengan Harga Diri Tinggi dan Rendah

  Harga diri tinggi Harga diri rendah Merasa puas dengan dirinya. Merasa tidak puas dengan dirinya.

  Bangga menjadi diri sendiri. Ingin menjadi orang lain atau berada diposisi orang lain.

  Lebih sering mengalami rasa senang dan bahagia.

  Lebih sering mengalami emosi yang negatif ( stress, sedih, marah).

  Menanggapi pujian dan kritik sebagai masukan.

  Sulit menerima pujian, tetapi terganggu oleh kritik.

  Dapat menerima kegagalan dan bangkit dari kekecewaan akibat gagal.

  Sulit menerima kegagalan dan kecewa berlebihan saat gagal.

  Memandang hidup secara positif dan dapat mengambil sisi positif dari kejadian yang dialami.

  Memandang hidup dan berbagai kejadian dalam hidup sebagai hal yang negatif. Menghargai tanggapan orang lain sebagai umpan balik untuk memperbaiki diri.

  Menganggap tanggapan orang lain sebagai kritikan yang mengancam.

  Menerima peristiwa negatif yang terjadi pada diri dan berusaha memperbaikinya Membesar-besarkan peristiwa negatif yang pernah dialaminya.

  Mudah untuk berinteraksi, berhubungan dekat dan percaya pada orang lain Sulit untuk berinteraksi, berhubungan dekat dan percaya pada orang lain

  Berani mengambil resiko Menghindar dari resiko Bersikap positif pada orang lain atau institusi yang terkait dengan dirinya

  Bersikap negatif (sinis) pada orang lain atau institusi yang terkait dengan dirinya

  Optimis Pesimis Berpikir konstruktif (dapat mendorong diri sendiri)

  Berpikir tidak dapat membangun (merasa tidak dapat membantu diri sendiri)

2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Diri

  Setiap individu dapat memiliki harga diri yang berbeda-beda terutama pada masa remaja sampai dewasa. Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi harga diri pada seseorang, diantaranya: a.

  Faktor pengalaman Pengalaman merupakan suatu bentuk emosi, perasaan, tindakan, dan kejadian yang pernah dialami,dirasakan seseorang sehingga meninggalkan kesan dalam hidup seseorang (Yusuf 2000). Pengalaman yang menyenangkan akan berpengaruh terhadap harga diri tinggi dan rendah.

  b.

  Faktor gender atau jenis kelamin Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya tentang perbedaan harga diri berdasarkan jenis kelamin menunjukkan hasil bahwa remaja pria memiliki harga diri yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja wanita. Menurut Baumastier dan Pipher (dalam Haryono 2013) menyebutkan wanita cenderung memiliki harga diri negatif dibandingkan dengan pria. Hal ini disebabkan karena pengaruh stereotipe masyarakat yang memandang pria harus kelihatan tangguh dan mengekpresikan emosi.Crain (dalam Haryono 2013) menambahkan bahwa laki-laki akan memiliki harga diri lebih tinggi bila memiliki fisik yang diinginkan, sedangkan wanita lebih kearah tingkah laku ataupun bersosialisasi akan meningkatkan nilai harga diri.

  c.

  Faktor fisik Fakktor fisik yang dapat mempengaruhi harga diri diantaranya adalah penampilan wajah, bentuk tubuh, warna kulit, dan lain-lain. Beberapa orang cenderung memiliki harga diri yang tinggi apabila wajah dan bentuk tubuh yang dimiliki terlihat menarik.

  d.

  Faktor lingkungan Faktor lingkungan mencakup lingkungan keluarga dan teman sebaya.

  Misalnya jika orang tua mampu menerima kemampuan anaknya sebagaimana yang ada, maka anak akan dapat menerima dirinya sendiri. Semakin dewasa seseorang, maka semakin banyak pula orang- orang di lingkungan sosialnya yang mempengaruhi pembentukan harga dirinya.

  e. Faktor status ekonomi Status ekonomi merupakan suatu yang mendasari perbuatan seseorang untuk memenuhi dorongan sosial yang memerlukan dukungan finansial yang berpengaruh pada kebutuhan hidup sehari-hari (Coopersmith, 1998). Status ekonomi yang memadai akan berpengaruh terhadap harga diri tinggi sedangkan yang tidak memadai akan berpengaruh terhadap harga diri rendah.

  f.

  Faktor tingkat intelegensi Semakin tingi tingkat intelegensi seseorang, maka semakin tinggi pula harga dirinya. Tingkat intelegensi berbanding lurus dengan harga diri seseorang.

  g.

  Faktor ras atau kebangsaan Seseorang dari kaum minoritas akan memiliki harga diri yang rendah saat berada ditengah ras mayoritas. Misalnya adalah seorang siswa berkulit hitam akan memiliki harga diri yang lebih rendah saat bersekolah di sekolah mayoritas siswanya berkulit putih.

  h.

  Faktor urutan keluarga Anak tunggal cenderung memiliki harga diri lebih tinggi daripada anak-anak yang memiliki saudara kandung. Selain itu, anak laki-laki sulung yang memiliki adik kandung permpuan cenderung memiliki harga diri yang lebih tinggi.

  Coopersmith (1967, dalam Emil 2003) mengemukakan bahwa ada 4 faktor terpenting (critical factors) yang mempengaruhi harga diri, yaitu: a. Banyaknya dukungan, kepedulian, perhatian yang diterima oleh individu dari orang-orang terdekat dan terpenting dalam hidupnya b.

  Sejarah keberhasilan individu dan keterkaitan dengan komunitas di masyarakat c. Pengalaman hidup dan cara individu menginterpretasikan atau menasirkannya kedalam kehidupan saat ini d.

  Sikap individu dalam merespon evaluasi.

2.1.4 Komponen Harga Diri

  Felker (Ramadhan 2012) menyatakan bahwa terdapat tiga komponen harga diri, yaitu: a.

  Perasaan diterima (Feeling of Belonging) Perasaan individu bahwa dirinya merupakan bagian dari suatu kelompok dan dirinya diterima seperti dihargai oleh anggota kelompoknya. Kelompok ini dapat berupa keluarga kelompok teman sebaya, atau kelompok apapun. Individu akan memiliki penilaian yang positif tentang dirinya apabila individu tersebut merasa diterima dan menjadi bagian dalam kelompoknya. Namun individu akan memilliki penilaian negatif tentang dirinya bila perasaan tidak diterima, misalnya perasaan seseorang pada saat menjadi anggota kelompok tertentu.

  b.

  Perasaan mampu (Feeling of Competence) Perasaan dan keyakinan individu akan kemampuan yang ada pada dirinya sendiri dalam mencapai suatu hasil yang diharapkan, misalnya perasaan seseorang pada saat mengalami keberhasilan atau kegagalan.

  c. Perasaan Berharga (Feeling of Worth) Perasaan ketika individu merasa dirinya berharga atau tidak, dimana perasaan ini banyak dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu. Perasaan yang dimiliki individu yang sering kali ditampilkan dan berasal dari pernyataan-pernyataan yang sifatnya pribadi seperti pintar, sopan, tampan atau cantik, baik dan lain sebagainya.

2.1.5 Aspek Harga Diri

  Brown (Christia 2007), mengemukakan beberapa aspek harga diri, diantaranya: a.

  Global self esteem Variabel keseluruhan dalam diri individu secara keleluruhan dan relatif menetap dalam berbagai waktu dan situasi.

  b.

  Self evaluation Cara seseorang dalam mengevaluasi variabel dan atribusi yang terdapat pada diri mereka. Misalnya ada seseorang yang kurang yakin akan kemampuannya di sekolah, maka bisa dikatakan bahwa ia memiliki harga diri rendah dibidang akademis, sedangkan seseorang yang berpikir bahwa ia terkenal dan cukup disukai oleh orang lain, maka bisa dikatakan memiliki harga diri tinggi.

  c.

  Emotion Keadaan emosi sesaat terutama sesuatu yang muncul sebagai konsekuensi positif dan negatif. Hal ini terlihat ketika seseorang menyatakan bahwa pengalaman yang terjadi pada dirinya meningkatkan atau menurunkan harga diri mereka. Misalnya seseorang memiliki harga diri yang tinggi karena mendapat promosi jabatan, atau seseorang memiliki harga diri yang rendah setelah mengalami perceraian.

2.1.6 Dimensi Harga Diri

  Coopersmith dalam Meliala 2009 mengemukakan bahwa harga diri memiliki beberapa dimensi. Pertama adalah significance, yang merupakan penerimaan, perhatian, dan kasih sayang yang diterima dari orang lain. Penerimaan ditandai oleh kehangatan, respon positif, ketertarikan, serta rasa suka terhadap individu apa adanya. Perwujudan dari rasa penghargaan serta ketertarikan tersebut secara umum dikategorikan dengan istilah penerimaan (acceptance) dan popularitas (popularity), dan kebalikannya adalah penolakan serta isolasi. Dampak utama dari perlakuan serta perwujudan kasih sayang tersebut adalah tumbuhnya perasaan dihargai yang merupakan refleksi dari penghargaan yang diterima dari orang lain. Semakin banyak orang menunjukkan sikap serupa terhadap mereka, dan semakin sering hal itu terjadi, maka akan semakin besar pula kemungkinan tumbuhnya pemahaman yang positif akan diri mereka.

  Dimensi yang kedua adalah power, yang merupakan kekuatan. Hal ini diartika sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi terjadinya sesuatu dengan mengendalikan sikap dirinya maupunorang lain. Secara umum pengaruhnya dapat dilihat dari pengakuan dan penghargaan yang diterima dari orang lain serta sejauh mana orang lain menghargai hak dan ide-idenya.

  Competence adalah dimensi yang ketiga dari harga diri. Dimensi

  ini merupakan tingkat dimana penampilan adau performansi yang tinggi dalam pelaksanaan tugas-tugas yang bervariasi. Dimensi yang terakhir adalah virtue, yang merupakan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip etis, moral, dan agama. Individu mematuhi pri prinsip-prinsip etis, moral, dan agama yang telah diteriamanya dan diinternalisasi. Kepatuhan-kepatuhan tersebut menimbulkan sikap positif terhadap keberhasilan.

2.1.7 Pembagian Masa Dewasa

  Masa dewasa biasanya dimulai sejak usia 18 tahun hingga kira-kira usia 40 tahun dengan perubahan fisik dan psikologis tertentu bersamaan dengan masalah-masalah penyesuaian diri dan harapan-harapan terhadap perubahan tersebut (Jahja,2011). Elizabeth B. Hurlock membagi masa dewasa menjadi tiga bagian, yaitu:

  a. Masa Dewasa Awal ( Masa Dewasa Dini/ Young Adult) Masa dewasa awal (21-40 tahun) merupakan masa pencarian kemantapan dan masa reproduktif yaitu suatu masa yang penuh dengan masalah dan ketegangan emosional, periode isolasi sosial, komitmen, dan masa ketergantungan, perubahan nilai-nilai, kreativitas dan penyesuaian diri pada pola hidup yang baru.

  b. Masa Dewasa Madya (Middle Adulthood) Masa dewasa Madya berlangsung dari umur 41 hingga 60 tahun.

  Ciri-ciri yang menyangkut pribadi dan sosial antara lain; masa dewasa madya merupakan masa transisi, dimana pria dan wanita meninggalkan ciri-ciri jasmani dan perilaku masa dewasanya untuk memasuki ciri yang baru. c. Masa Dewasa Lanjut (Masa Tua/Older Adult) Usia lanjut adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang.

  Masa ini dimulai dari umur 60 tahun hingga akhir hayat, yang ditandai dengan adanya perubahan fisik dan psikologis yang semakin menurun.

2.2 Narapidana

  Narapidana berasal dari dua kata, yaitu Nara dan Pidana. Nara berarti orang, dan pidana adalah hukuman dan kejahatan (pembunuhan, perampokan, narkoba, korupsi, pencurian, dan lain-lain), sehingga menurut asal katanya, narapidana merupakan orang yang melakukan kejahatan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, narapidana adalah orang hukuman atau orang yang sedang menjalani hukuman karena tindak pidana. Sedangkan dalam UU No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di LAPAS.

  Dalam KUHP Pasal 21 dirincikan bahwa seseorang dipidana sebagai pembuat tindak pidana (narapidana), adalah setiap orang yang: a. Melakukan sendiri tindak pidana b.

  Melakukan tindak pidana dengan perantaraan alat atau menyuruh orang lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan; c.

  Turut serta melakukan; atau d.

  Memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman kekerasan, atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, memancing orang lain supaya melakukan tindak pidana.

  Menurut ilmu kriminologi (dalam Siregar 2013), tindak pidana dibagi kedalam penggolongan pelaku tindak pidana (narapidana) sesuai dengan perbuatan-perbuatan yang dilakukan yaitu narapidana baru atau pelanggar hukum bukan residivis (mono deliquent) dan residivis.

2.2.1 Narapidana Baru

  Narapidana adalah manusia yang tengah mengalami krisis, tengah berada di persimpangan jalan, tengah mengalami disosialisasi dengan masyarakat, tengah merencanakan kehidupan baru setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan/ Rutan. Tepat sekali jika narapidana harus mengenal diri sendiri, agar mampu memutuskan dan melakukan tindakan untuk mengubah diri sendiri, agar mempunyai kemauan untuk melakukan perubahan (Harsono 1995).

  Narapidana baru merupakan pelanggar hukum bukan residivis yang mempunyai istilah khusus yaitu, mono deliquent atau first offenders.

  Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.

  2.2.2 Residivis

  Residivis atau pelaku tindak pidana yang berulang berasal dari bahasa Perancis yang terdiri dari 2 kata yaitu Re dan Cado. Re berarti lagi, dan Cado berarti jatuh, sehingga berdasarkan asal katanya dapat didefinisikan bahwa residivis adalah jatuh lagi untuk kedua kalinya.

  Dalam KUHP tahun 2012 dalam pasal 24 paragraf 6 tertera bahwa residivis yang melakukan pengulangan tindak pidana lagi dalam waktu 5 (lima) tahun sejak:

  a. Menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan;

  b. Pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau c.

  Kewajiban menjalani pidana pokok yang dijatuhkan belum daluarsa.

  

2.2.3 Lembaga Pemasyarakatan Menurut UU RI No. 12 Tahun 1995

  Lembaga Pemasyarakatan merupakan tempat pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan (Pasal 6 ayat 1). Lembaga ini merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana (Pasal 1 ayat 1).

  Pembinaan dimaksud dilakukan terhadap narapidana baik dewasa maupun anak didik. Dahulu Lembaga Pemasyarakatan mempunyai nama yang dikenal dengan penjara, namun telah diubah berdasarkan pearuran perundang-undangan. Dikatakan Pemasyarakatan karena merupakan lembaga dengan sistem suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab (Pasal 1 ayat 2). Lembaga Pemasyarakatan atau yang lebih dikenal dengan lapas didirikan disetiap ibukota kabupaten atau kotamadya (Pasal 4 ayat 1).

2.2.4 Dampak Psikologis Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan

  Harsono (1995) mengatakan bahwa narapidana sebenarnya tidak hanya dihukum secara fisik, namun juga secara psikologis. Hukuman psikologis ini bahkan lebih berat dibanding fisik sehingga memerlukan perhatian ekstra. Harsono (1995) menyatakan ada beberapa dampak psikologis yang dialami narapidana di Lapas, yaitu:

  a. Loos of personality Seorang narapidana diselam dipidana akan kehilangan kepribadian diri, identitas diri akibat peraturan dan tata cara hidup di Lapas terutama karena selama menjalani pidana, semua diperlakukan sama tanpa memandang perbedaan kebutuhan antar narapidana.

  b.

  Loos of security Selama proses pemidanaan, narapidana selalu mendapat pengawasan dari petugas. Seseorang yang terus menerus diawasi akan merasa kurang aman, merasa selalu dicurigai, dan merasa selalu tidak dapat berbuat sesuatu atau bertindak, karena takut kalau tindakannya merupakan suatu kesalahan yang dapat berakibat hukum dan dikenakan sanksi.

  c.

  Loos of liberty Pidana hilang kemerdekaan telah merampas berbagai kemerdekaan individual, misalnya kemerdekaan berpendapat, membaca surat kabar dengan leluasa, melakukan hobi, dan masih banyak lagi. Keadaan yang demikian menyebabkan narapidana menjadi tertekan jiwanya.

  d.

  Loos of personal communication Kebebasan untuk berkomunikasi dengan siapa pun juga terbatasi.

  Keterbatasan ini ddisebabkan karena setiap pertemuan dengan relasi dan keluarga pasti mendapat mengawasan dan keterbatasan watu berdasarkan aturan.

  e.

  Loos of good and service Narapidana juga merasakan kehilangan akan pelayanan. Dalam Lapas, narapidana harus mampu mengurus dirinya sendiri. Hilangnya pelayanan menyebabkan narapidana kehilangan rasa affection, kasih sayang yang biasanya didapat di rumah. Hal ini menyebabkan sesorang menjadi garang, cepat marah, atau melakukan hal-hal lain sebagai kompetensi kejiwaannya.

  f.

  Loos of heterosexual Selama menjalani pidana, narapidana ditempatkan disetiap blok sesuai dengan jenis kelaminnya. Penempatan ini menyebabkan narapidana merasa bahwa naluri seks, kasih sayangnya terampas hal ini juga bisa menimbulkan penyimpangn seksual seperti lesbian, homoseks, masturbasi, dan lain-lain.

  g.

  Loos of prestige Narapidana kehilangan harga dirinya. Bentuk- bentuk perlakuan dari petugas terhadap narapidana telah membuat narapidana merasakan terampasnya harga diri. Misalnya, penyediaan tempat mandi yang terbuka untuk mandi bersama-sama, WC yang terbuka, kamar tidur (sel) yang hanya berpintu terali besi.

  h. Loos of belief Hilangnya kepercayaan pada narapidana disebabkan karena hilangnya rasa percaya diri mereka akibat tidak adanya rasa aman dan berbagai perampasan kemerdekaan. i.

  Loos of creativity Pemidanaan di Lapas juga menyebabkan narapidana mengalami kehilangan kreativitas, seperti ide-ide, gagasan, imajinasi, bahkan impian dan juga ideal dirinya.

2.3 Harga Diri Narapidana

  Narapidana adalah manusia yang sedang menjalani pembinaan dan kurungan di Lembaga Pemasyarakatan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan berdasarkan berat dan jenis kejahatan yang telah dilakukan oleh sesorang. Hukuman kurungan ini membuat narapidana menjadi seseorang berada di dalam komunitas tersendiri dan terpisah dari kehidupan normal yang sebelumnya dijalani. Status sebagai narapidana merupakan bagian kehidupan yang rumit dan butuh adaptasi keseluruhan aspek diri sehingga sering menimbulkan dampak buruk pada diri. Dampak yang paling sering terjadi adalah pada psikologis narapidana.

  Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Harsono, bahwa salah satu dampak psikologis pada narapidana adalah loos of prestige dikarenakan lapas adalah tempat yang memiliki aturan yang merampas harga dirinya.

  Hidayat (2009) melalui penelitiannya menyatakan bahwa narapidana merasa dirinya telah ditolak oleh keluarga bahkan masyarakat, sehingga kompensasi yang dilakukan adalah menarik diri dari lingkungannya dan cenderung menolak untuk berintreaksi dengan orang lain. Narapidana juga cenderung menyendiri dan mengurung diri karena hal itulah yang membuat mereka nyaman. Tindakan menarik diri yang dilakukan oleh individu merupakan salah satu karakteristik seeorang yang memiliki harga diri rendah.

  Penelitian yang yang sejalan dengan hasil harga diri , yaitu konsep diri narapidana remaja putri di lapas anak Medan oleh Siregar, K (2008) juga menunjukkan hasil yang sejalan. Narapidana merasa bahwa tidak akan berguna lagi setelah keluar dari lapas. Perasaan tidak berguna merupakan tanda seseorang mengalami harga diri rendah.

Dokumen yang terkait

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pertumbuhan dan Perkembangan Kraniofasial - Prediksi Panjang Mandibula Dewasa Dengan Menggunakan Usia Skeletal Vertebra Servikalis pada Anak Perempuan Usia 9-14 Tahun di Medan

0 0 17

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sefalometri - Analisa Konveksitas Jaringan Lunak Wajah Menurut Subtelny Pada Mahasiswa India Tamil Malaysia FKG USU

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Resin Akrilik - Perubahan Warna pada Lempeng Resin Akrilik Polimerisasi Panas setelah Perendaman dalam Ekstrak Daun Jambu Biji 30%

0 0 18

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Gigi Tiruan Sebagian Lepasan - Kondisi Periodontal pada Pasien Gigi Tiruan Sebagian Lepasan (GTSL) Akrilik yang Dibuat di Klinik Prostodonti FKG USU

0 2 13

Prevalensi Trauma Gigi Permanen Anterior pada Anak Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Medan Maimun dan Medan Selayang

0 0 18

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi dan Etiologi Trauma Gigi - Prevalensi Trauma Gigi Permanen Anterior pada Anak Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Medan Maimun dan Medan Selayang

0 0 13

Prevalensi Trauma Gigi Permanen Anterior pada Anak Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Medan Maimun dan Medan Selayang

0 0 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Perbedaan Tensile Bond Strength pada Resin Komposit Nanohybrid Menggunakan Sistem Adhesif Total-Etch dan Self-Etch pada Restorasi Klas I (Penelitian In Vitro)

0 0 17

A. Karakteristik Tanah Gunung Sinabung - Aktivitas Mikroorganisme pada Tanah Hutan Bekas Letusan Gunung Sinabung di Kabupaten Karo

0 0 14

Harga Diri Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas IIA Tanjung Gusta Medan

0 2 41