A. Karakteristik Tanah Gunung Sinabung - Aktivitas Mikroorganisme pada Tanah Hutan Bekas Letusan Gunung Sinabung di Kabupaten Karo

TINJAUAN PUSTAKA

A. Karakteristik Tanah Gunung Sinabung

  Tanah Gunung Sinabung yang berada di dataran tinggi karo Provinsi Sumatera Utara merupakan tanah andisol yang berasal dari volkano sibayak dan sinabung. Volkano sinabung sebelah utara mengahasilkan tanah Typic Fulfudand dan Melaudand di Desa Kuta Rakyat Kecamatan Neman Teran. Andisol merupakan tanah yang secara keseluruhan atau sebagian berasal dari ejekta volkanik. Bahan induk beragam mulai dari debu volkan, sinder, pumice/ batu apung, dan aliran lava, sebagian mengandung batu besar dan bahan letusan volkanik lainnya, yang terdiri atas bahan-bahan piroklastis yang terbentuk di daerah volkan. Iklim ditemukannya andisol beragam, mulai dari iklim humid dingin hingga humid panas dan humid tropis. Andisol juga ditemukan didaerah dengan resim kelembaban xeric dari iklim mediteran dan resim kelembaban ustik iklim sub humid dan semi arid. Andisol ditemukan pada semua topografi pada kisaran elevasi 0 hingga lebih dari 3000 m di atas permukaan laut, namun cenderung terdapat pada pegunungan dan berbukit pada lereng volkanik. Kadar C organik andisol berkisar antara 0 hingga 200 g/kg dan memiliki pH 5,2 (Mukhlis, 2011).

  Tanah Andosol di Indonesia memiliki kisaran pH yang cukup lebar yaitu antara 3,4 sampai 6,7 dengan rata-rata 5,4. Namun kisaran pH antara 4,5 sampai 5,5 merupakan kisaran pH yang paling banyak sedangkan yang kedua terbanyak adalah pada kisaran pH antara 5,5 sampai 6,5. Tanah Andosol ini berasal dari daerah yang mempunyai curah hujan tinggi dengan bahan induk yang bersifat andesitik, atau andesitik- basaltik. Sedangkan tanah yang sangat masam

  3

  (pH < 4,5) menandakan bahwa terdapat tanah Andosol di Indonesia yang didominasi oleh kompleks logam-humus dengan kejenuhan basa rendah dan kandungan aluminium yang tinggi. Tanah Andosol yang bersifat masam berasal dari daerah bercurah hujan tinggi dan mempunyai bahan induk bersifat liparitik, yaitu dari dataran tinggi Toba di Sumatera Utara.. Kapasitas tukar kation (KTK)

  • 1

  dari tanah Andosol di Indonesia bervariasi dari 6,5-52,0 cmol(+) kg atau bervariasi dari sangat rendah sampai sangat tinggi dengan nilai rata-rata 23,8

  • 1

  cmol(+) kg . Kandungan C-organik tanah Andosol yang dijumpai di Indonesia bervariasi dari 1,24% sampai 22,46% (Sukarman dan Dariah, 2014).

  Nilai KTK pada Andosol termasuk rendah dengan nilai kejenuhan basanya sangat rendah. Hal ini diduga karena tanah Andosol telah mengalami pelapukan lanjut serta berada pada daerah curah hujan yang tinggi sehingga lapisan yang kaya bahan organik cepat tererosi (Sanchez, 1992).

B. Karakteristik dan Dampak Debu Vulkanik Gunung Sinabung

  Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Barasa, et al (2013) debu vulkanik Gunung Sinabung dengan kedalaman 0,5-15 mm, memiliki kandungan logam tembaga sangat rendah dan kandungan logam timbal berada pada kisaran ambang batas. Umumnya kandungan logam boron lebih tinggi pada kedalaman tanah 0-15 cm daripada kedalaman tanah 0-5 cm. Lahan yang terkena dampak debu vulkanik karena kadar Cu, Pb, dan B masih berada dalam ambang batas yang tidak membahayakan.

  Erupsi Gunung Sinabung mengeluarkan material berupa debu vulkanik. Sifat kimia debu vulkanik yang dikeluarkan saat erupsi diteliti oleh Sitepu (2011) dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Analisis Debu Vulkanik Letusan Gunung Sinabung

  No Parameter Nilai

  1 pH

  4.3

  2 S-Total

  3.36

  3 P-Total 0.040

  4 Pb (ppm)

  1.07

  5 Cu (ppm)

  0.28

  6 Cd (ppm)

  0.09

  7 Na (me/100gr) 0,23

  • 8 Ca (me/100gr)

  9 Mg (me/100gr)

  4.77

  10 S-SO 4 (ppm)

  62

  11 K 2 O (%) 0,141

  12 B (ppm)

  1

  13 Fe 2 O 3 (%) 0,151

  14 K (me/100gr) (%) 0,26

  15 SiO 2 (%) 74,47

  16 MgO (%) 0,31 Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Sitepu (2011) debu vulkanik

  Gunung Sinabung dapat meningkatkan kadar unsur hara makro di dalam tanah karena tingginya kadar sulfur yang ada pada debu vulkanik. Debu vulkanik meningkatkan kadar Ca dan Mg, namun memiliki Kalium tanah yang lebih rendah, hal ini disebabkan karena rendahnya kadar kalium tanah yang ada di dalam debu vulkanik. Debu vulkanik juga meningkatkan kadar P-tersedia tanah, hal ini disebabkan tingginya kadar posfor tanah yang ada pada debu vulkanik, namun debu vulkanik tidak mengandung unsur N-total tanah. Semakin tinggi kadar debu vulkanik yang ada akan meningkatkan kadar unsur hara makro tanah.

  Menurut Sudirja dan Supriatna (2000).Belerang selama ini banyak digunakan untuk menurunkan pH tanah. Belerang di dalam tanah secara perlahan akan diubah menjadi asam sulfit, dan secara bertahap akan menurunkan pH tanah.

  Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Andreita (2011), bahwa pemberian debu vulkanik berpengaruh nyata meningkatkan kemasaman tanah, meningkatkan Al-dd dan H-dd, meningkatkan kejenuhan H, meningkatkan basabasa tukar, meningkatkan kejenuhan basa dan meningkatkan S-tersedia tanah. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Andhika (2011), aplikasi debu vulkanik Gunung Sinabung pada tanah dapat meningkatkan nilai Bulk Density dan Partikel tanah, namun menurunkan porositas tanah.

  Density

C. Mikroorganisme

  Organisme (mikroorganisme) tanah penting dalam kesuburan tanah karena berperan dalam siklus energi, berperan dalam siklus hara, berperan dalam pembentukan agregat tanah, menentukan kesehatan tanah (suppressive / conducive terhadap munculnya penyakit terutama penyakit tular tanah-soil borne pathogen).

  Kesuburan tanah tidak hanya bergantung pada komposisi kimiawinya, melainkan juga pada cirri alami mikroorganisme yang menghuninya. Mikroorganisme yang menghuni tanah dapat dikelompokkan menjadi bakteri, actinomysetes, fungi, alga, dan protozoa (Rao, 1994).

  Akar mempengaruhi aktivitas mikroorganisme. Pengaruh yang paling kuat adalah dalam rhizosfer, yaitu tanah sekitar permukaan akar dimana kumpulan makanan dari tanaman merangsang fungi dan bakteri untuk meningkatkan kepadatan populasinya 10 hingga 100 kali dibanding bagian-bagian tanah yang lain. Dengan kata lain pada rhizosfer ini jumlah organismenya jauh lebih banyak daripada bagian-bagian lainnya di tanah. Akar juga tempat hidup bakteri, fungi dan hewan-hewan kecil yang hidup korteks. Beberapa diantaranya berbahaya, lainnya adalah parasitik dan adapula yang bersifat simbiotik dengan tanaman membantu memperoleh nutrisi. Dengan demikian organisme yang terdapat di sekitar daerah perakaran mempunyai peranan untuk menyediakan hara bagi tanaman, dengan cara akar-akar tanaman tersebut telah memberikan zat- zat/senyawa tertentu yang dibutuhkan oleh mikroorganisme tanah. Diatas semuanya itu perakaran dan lingkungan rhizosfer membantu sangat banyak pada total mikroorganisme tanah dengan aktivitas biokimianya (Yulipriyanto, 2010).

  Bakteri merupakan mikroorganisme dalam tanah yang paling dominan. Dalam tanah yang subur terdapat 10-100 juta bakteri di dalam setiap gram tanah tergantung dari kandungan bahan organik suatu tanah. Bakteri terdapat dalam segala jenis tipe tanah tapi populasinya menurun dengan bertambahnya kedalaman tanah (Rao, 1994).

D. Pengaruh Faktor Lingkungan

1. Pengaruh pH Tanah Terhadap Mikroorganisme Tanah

  pH tanah merupakan suatu ukuran intensitas kemasaman, bukan ukuran total asam yang ada di tanah tersebut. Pada tanah-tanah tertentu, seperti liat berat, gambut yang mampu menahan perubahan pH atau kemasaman yang lebih besar dibandingkan dengan tanah yang berpasir (Mukhlis, 2007).

  Selain itu pH tanah juga mempengaruhi jenis dan jumlah mikroorganisme yang ada dalam tanah misalnya bakteri dan aktinomisetes di tanah biasanya lebih banyak daripada cendawan, sehingga mikroba ini memerlukan suatu medium yang mempunyai pH masam (4 sampai 5) untuk menghambat pertumbuhan mikroba lain (Hastuti dan Rohani, 2007). Jika pH masam maka aktivitas mikroorganisme akan menurun. Aktivitas mikroorganisme yang menurun diakibatkan semakin sedikitnya mikroorganisme yang mampu bertahan hidup pada pH tanah yang masam (Syahputra, 2007).

  Lazimnya mikroorganisme tumbuh dengan baik pada pH sekitar 7. Meskipun begitu, mikroorganisme juga dapat tumbuh pada kisaran pH 5-8 dan ada juga yang tumbuh pada pH 2 dan pH 10. Kelompok fungi dapat tumbuh pada kisaran pH yang luas dan dapat tumbuh pada pH masam (Lay, 1994).

  Bakteri hidup pada pH 5,5 dan Fungi hidup pada segala tingkat kemasaman tanah (Hardjowigeno, 2007). Jumlah fungi tidak sebanyak bakteri dan aktinomisetes tetapi ukurannya lebih besar. Kebanyakan spesies fungi lebih toleran terhadap kemasaman dibandingkan bakteri dan aktinomisetes sehingga pada tanah-tanah masam populasi fungi lebih banyak (Hanafiah, et al., 2009).

  Penurunan jumlah jamur atau fungi dapat dipengaruhi oleh pH tanah. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Lubis (2008), didapatkan hasil bahwa dengan meningkatnya pH tanah maka jumlah jamur yang terdapat dalam tanah tersebut akan menurun. Dimana jamur biasanya paling suka dengan pH yang masam, akan tetapi pada penelitian ini dengan kadar pH yang semakin meningkat maka jumlah jamurnya juga akan menurun.

2. Pengaruh Bahan Organik Terhadap Mikroorganisme Tanah

  Sudah menjadi pemahaman umum bahwa mikroorganisme tanah (bakteri, fungi, aktinomisetes) memainkan peranan yang sangat penting pada proses humifikasi, mineralisasi bahan organik tanah, sehingga menjadi unsur-unsur hara yang tersedia untuk pertumbuhan tanaman. Sehingga mikroorganisme digolongkan ke dalam perekayasa kimia (Chemical engineer), karena mereka berperan menguraikan sisa-sisa tumbuhan yang sudah mati menjadi unsur-unsur hara yang siap diserap oleh tanaman (Widyati, 2013). Semakin banyaknya bahan

  organik sebagai suplai makanan atau energi di dalam tanah menyebabkan semakin meningkatnya pertumbuhan populasi mikroorganisme yang kemudian akan meningkatkan aktivitas mikroorganisme di dalam tanah (Hanafiah, et al., 2009).

  Bahan organik berperan penting dalam menentukan kemampuan tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Peran bahan organik adalah meningkatkan kesuburan tanah, memperbaiki struktur tanah, meningkatkan kemampuan tanah memegang air, meningkatkan pori-pori tanah, dan memperbaiki media perkembangan mikroba tanah. Tanah berkadar bahan organik rendah berarti kemampuan tanah mendukung produktivitas tanaman rendah. Hasil dekomposisi bahan organik berupa hara makro (N, P, dan K), makro sekunder (Ca, Mg, dan S) serta hara mikro yang dapat meningkatkan kesuburan tanaman.

  Hasil dekomposisi juga dapat berupa asam organik yang dapat meningkatkan ketersediaan hara bagi tanaman (Kasno, 2009).

  Bahan organik dapat memperkecil kerapatan dan berat isi tanah. Presentasi

  Bulk Density akan besar apabila bahan organik yang terdapat pada tanah tersebut

  sedikit, dan begitu juga sebaliknya (Hardjowigeno, 2007). Bahan organik tanah mempengaruhi warna tanah, struktur tanah, pH tanah, dan kapasitas tukar kation tanah. Jumlah dan sifat bahan organik sangat menentukan kesuburan dan pembentukan tanah (Mukhlis, 2007).

  Mikroba perombak bahan organik adalah kelompok mikroba yang berperan mempercepat proses perombakan (dekomposisi) bahan organik yang umumnya terdiri atas senyawa selulosa dan lignin yang dikenal dengan nama lignoselulosa. Dalam proses perombakan bahan organik, mikroba yang berperan sebagai perombak dapat berasal dari kelompok bakteri, cendawan dan aktinomisetes yang akan bekerja secara sinergis dalam menghasilkan produk akhir berupa humus yang stabil (N, P, K, Ca, Mg, dan lain-lain). Mikroba dari kelompok cendawan mempunyai kemampuan yang lebih besar dalam merombak bahan organik dibandingkan dengan kelompok bakteri dan aktinomisetes (Rosminik dan Yunarti, 2007).

3. Pengaruh Kapasitas Tukar Kation (KTK) Terhadap Mikroorganisme Tanah

  Kation-kation yang diikat atau diadsobsi oleh koloid tanah dapat digantikan oleh kation-kation lain, proses ini disebut pertukaran kation. Jumlah total kation yang dapat di dalam tanah yang dapat dipertukarkan disebut kapasitas tukar kation (KTK), dapat didefinisikan bahwa KTK adalah kapasitas atau kemampuan tanah menjerap dan melepaskan kation yang dinyatakan sebagai total kation yang dapat dipertukarkan per 100 gram tanah yang dinyatakan dalam miliequivalen disingkat dengan m.e [m.e / 100g atau m.e (%) atau dalam satuan internasionalnya Cmol c /kg]. Tanah-tanah yang mempunyai kadar liat/koloid yang lebih tinggi dan/atau kadar bahan organik tinggi memiliki KTK lebih tinggi dibandingkan dengan tanah yang mempunyai kadar liat rendah (tanah pasiran) dan kadar bahan organik rendah (Winarso, 2005).

  Kapasitas tukar kation (KTK) merupakan sifat kimia yang sangat erat hubungannya dengan kesuburan tanah. Tanah dengan KTK tinggi mampu menyerap dan menyediakan unsur hara lebih baik dari pada tanah dengan KTK rendah. Tanah memiliki nilai KTK yang tinggi bila didominasi oleh kation Ca, Mg, K, Na (kejenuhan basa tinggi) dapat meningkatkan kesuburan tanah. Tetapi bila didominasi oleh kation asam Al, H (kejenuhan basa rendah) dapat mengurangi kesuburan tanah. Selain itu tanah-tanah dengan kandungan liat atau bahan organik tinggi mempunyai nilai KTK yang lebih tinggi dibandingkan tanah- tanah dengan kandungan bahan organik rendah atau tanah pasir (A’in, 2009).

  Kapasitas tukar kation mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme dan aktivitas mikroorganisme di dalam tanah tergantung pada tekstur, bahan organik, dan pH tanah. Semakin tinggi nilai kapasitas tukar kation maka tanah akan semakin subur dan membuat aktivitas mikroorganisme semakin meningkat (Hardjowigeno, 2007). Pertumbuhan bakteri akan optimum apabila tanah memiliki pH netral dan meningkat seiring dengan meningkatnya pH (Simanungkalit et al, 2006).

4. Pengaruh Debu Vulkanik Terhadap Mikroorganisme

  Lahar dan awan panas dapat menyebabkan kerusakan ekosistem miroorganisme tanah. Mikroorganisme tanah seperti ectomycorhiza dan endomycorhiza dapat musnah saat lahan tertutup lava pijar yang sangat panas (Idjudin et al, 2011).

  Menurut penelitian yang dilakukan Suriadikarta, et al (2011) Kabupaten Magelang dan Boyolali merupakan daerah yang lebih banyak terkena awan panas sedangkan daerah Sleman lebih karena lahar panas. Dari keduanya terlihat bahwa pH daerah yang terkena awan panas bervariasi antara 4,8-5,9, sedangkan daerah yang terkena lahar panas berkisar antara 6,1-6,8. Pada lahan dengan ketebalan materi vulkan > 5 cm (daerah Turi, Sleman; Dukun, Magelang) tidak ada pengaruh material vulkan terhadap keaneka-ragaman dan populasi fauna tanah maupun mikroba tanah. Pada lahan dengan ketebalan materi vulkanik 5 - 10 cm (daerah Balerante, Klaten; Selo, Boyolali) terlihat ada pengaruh material vulkanik terhadap populasi fauna tanah tetapi tidak terlalu berpengaruh terhadap keragaman fauna, selain itu tidak berpengaruh terhadap keragaman dan populasi mikroba tanah. Pada lahan yang tertutup oleh material vulkanik dengan ketebalan > 10 cm

  (daerah Kopeng, Kepuh Harjo, Cangkringan) hasil analisis biologi memperlihatkan terjadi penurunan keragaman dan populasi mikroba tanah terutama pada tanah lapisan atas, sedangkan keragaman dan populasi mikroba pada tanah lapisan bawah tidak terlalu terpengaruh. Pada lahan dengan ketebalan materi vulkanik ≥ 5 cm (daerah Turi, Sleman; Dukun, Magelang) total bakteri

  7

  9

  3

  dalam abu vulkanik mencapai 7,2 x 10 - 1,4 x 10 dan total fungi 1,3 x 10

  • – 7,4

  7

  x 10 cfu/g. Sedangkan pada lapisan tanah dibawahnya total bakteri adalah

  9

  4

  9 1,2 total fungi adalah 2,3 x 10 cfu/g.

  • –1,3 x 10 – 1,1 x 10

  Menurut penelitian yang dilakukan oleh Maira, et al (2014) sebelum tertutup abu vulkanik dari Gunung Talang, pada tanah tersebut telah terdapat mikrobia alami tanah, akan tetapi dengan penambahan lapisan abu akan menyebabkan terjadinya penurunan populasi bakteri seiring dengan penurunan pH larutan tanah. Sedangkan pada lapisan abu saja tanpa adanya tanah, perkembangan mikrobia justru baik. Hal ini dapat disebabkan karena mikrobia menggunakan mineral dari abu vulkanik sebagai sumber karbonnya.

E. Jumlah dan Aktifitas Mikroorganisme Tanah

  Tanah merupakan suatu ekosistem yang mengandung berbagai jenis mikroba dengan morfologi dan sifat fisiologi yang berbeda-beda. Jumlah tiap kelompok mikroba sangat bervariasi, ada yang hanya terdiri atas beberapa individu, ada pula yang jumlahnya mencapai jutaan per g tanah. Banyaknya mikroba berpengaruh terhadap sifat kimia dan fisik tanah serta pertumbuhan tanaman. Dengan mengetahui jumlah dan aktivitas mikroba di dalam suatu tanah dapat diketahui apakah tanah tersebut termasuk subur atau tidak karena populasi mikroba yang tinggi menunjukkan adanya suplai makanan/energi yang cukup, suhu yang sesuai, ketersediaan air yang cukup, dan kondisi ekologi tanah yang mendukung perkembangan mikroba. Contoh tanah yang digunakan untuk membuat seri pengenceran harus dalam keadaan alami dan tidak boleh dikeringkan. Penyimpanan contoh tanah dalam kondisi lembap pada suhu kamar tidak boleh melebihi satu hari karena mikroba akan berkembang biak pada kondisi demikian (Hastuti dan Ginting, 2007).

  Istilah aktivitas mikroba ini mengacu pada semua reaksi biokimia yang dilakukan mikroba dalam tanah. Beberapa reaksi metabolisme seperti respirasi dan panas yang ditimbulkan merupakan hasil dari aktivitas semua jenis mikroba tanah (termasuk fauna), sedangkan beberapa reaksi seperti yang terkait dengan aktivitas nitrifikasi hanya dilakukan oleh mikroba tertentu yang jumlahnya terbatas. Hasil pengukuran aktivitas metabolisme mikroba di laboratorium dari contoh tanah yang bebas dari flora dan fauna diasumsikan semuanya berasal dari aktivitas mikroba, sedangkan hasil dari pengukuran di lapangan pada tanah alami merupakan gambaran aktivitas dari semua organisme yang mendiami tanah tersebut (Widyati, 2013).

  Aktivitas mikroorganisme yang tinggi berhubungan dengan banyaknya populasi mikroorganisme dan bahan organik sebagai sumber energi mikroorganisme untuk melakukan aktivitas (Hanafiah, et al., 2009). Metode ini didasarkan pada pengukuran CO di dalam tanah pada periode waktu tertentu.

  2 Larutan NaOH atau KOH yang digunakan berfungsi sebagai penangkap CO 2 yang

  kemudian dititrasi dengan HCl. Jumlah HCl yang diperlukan untuk titrasi setara dengan jumlah CO

  2 yang dihasilkan (Widati, 2007). Respirasi didalam tanah dipengaruhi oleh aktivitas mikroorganisme, produksi CO

  2 yang tinggi berarti aktivitas mikoorganisme tanah juga tinggi (Sumariasih, 2003).

  Kesuburan tanah dapat diprediksi dari jumlah populasi mikroba yang hidup di dalamnya. Tingginya jumlah mikroba merupakan pertanda tingginya tingkat kesuburan tanah, karena mikroba berfungsi sebagai perombak senyawa organik menjadi nutrien yang tersedia bagi tanaman dan di dalam tanah terkandung cukup bahan organik dan senyawa lainnya untuk pertumbuhan mikroba. Tanah yang dirajai tumbuhan memiliki kandungan bahan organik dan unsur hara makro lebih tinggi dibandingkan tanah tanpa tumbuhan. Tanah yang ada tumbuhan pohon mengandung bahan organik atau unsur C yang umumnya di atas 2,5% sedangkan C pada tanah tidak ada tumbuhan pohon, tetapi didominasi alang-alang adalah di bawah 0,7%. Hal ini disebabkan antara lain bahan organik yang dihasilkan pohon lebih mudah mengalami perombakan, bahan organik ini dihasilkan dalam jumlah banyak, sehingga cukup tersedia untuk pertumbuhan dan perkembangan mikroba tanah. (Purwaningsih, 2005).

  Teknik pengenceran bertingkat dalam enumerasi mikroba pada media cawan agar (plate count) merupakan teknik enumerasi mikroba tertua yang sampai saat ini masih digunakan. Penemuan agar (polisakarida dari ganggang laut) sebagai media padat sangat bermanfaat dalam mempelajari mikroorganisme

  o

  karena sifat-sifatnya yang unik, yakni mencair pada suhu 100 C dan membeku

  o pada suhu sekitar 40 C serta tahan perombakan oleh kebanyakan mikroorganisme.

  Selain teknik enumerasi dengan cawan agar, penghitungan populasi mikroba dengan teknik MPN (most probable number), khususnya untuk mikroba yang memiliki karakteristik pertumbuhan tertentu diuraikan secara lebih rinci pada bab ini dengan berbagai variasi cara perhitungan sesuai dengan jenis mikroba yang dianalisis (Saraswati dan Sumarno, 2008).

  Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ardi, (2009) jumlah total mikroorganisme tanah dipengaruhi oleh kelerengan dan kedalaman tanah.

  Semakin tinggi kelerengan tanah jumlah total mikroorganisme akan semakin sedikit dan sebaliknya, serta semakin dalam kedalaman tanah maka jumlah total mikroorganisme akan semakin sedikit begitu juga sebaliknya.

F. Keadaan Umum Lokasi Penelitian.

  Penelitian ini dilaksanakan pada areal yang terkena debu vulkanik di Desa Sukanalu Kecamatan Barusjahe Kabupaten Karo. Desa Sukanalu berjarak 3 km dari Puncak Gunung Sinabung. Erupsi pertama kali terjadi di Desa Sukanalu pada

  23 November 2013 yang ditandai dengan jatuhan lapili (batu kecil seukuran 0,5-1 cm) (Saputra, 2013). Untuk areal yang tidak terkena debu dilaksanakan di Desa Kutagugung Kecamatan Nemanteran Kebupaten Karo. Desa Kutagugung berjarak 5 km dari puncak Gunung Sinabung. Tanah di daerah hutan di desa Kutagugung tidak terkena debu vulkanik. (Daulay, 2014).

  Menurut klasifiasi iklim Schmidt-Ferguson, bulan kering adalah bulan yang memiliki tebal curah hujan kurang dari 60mm, bulan lembab adalah bulan- bulan yang memiliki tebal curah hujan antara 60mm

  • – 100mm dan bulan basah adalah bulan-bulan yang memiliki tebal curah hujan lebih dari 100 mm. Data curah hujan Kecamatan Barusjahe Kabupaten Karo (Lampiran 1) dengan perbandingan bulan kering dan bulan basahnya adalah 16,6% yang diklasifikasikan ke dalam iklim basah yang memiliki nilai antara 14,33%-33,3% (Utoyo, 2007).
Curah hujan yang tinggi mengakibatkan banyak hara yang hilang terbawa aliran air ke lapisan bawah dan ke samping sehingga kemasaman tanah meningkat, kemudian timbul masalah keracunan Al. Pada umumnya konsentrasi Al di lapisan bawah lebih tinggi dari pada di lapisan tanah atas, sehingga akar tanaman cenderung menghindari Al yang beracun tersebut dengan membentuk perakaran yang hanya menyebar di lapisan atas. Akibat berikutnya, akar tanaman semusim yang menderita keracunan Al tersebut tidak dapat menyerap unsur hara secara optimal, juga tidak dapat menyerap unsur hara yang berada di lapisan bawah (Hairiah et al, 2000).

Dokumen yang terkait

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pertumbuhan dan Perkembangan Kraniofasial - Prediksi Panjang Mandibula Dewasa Dengan Menggunakan Usia Skeletal Vertebra Servikalis pada Anak Perempuan Usia 9-14 Tahun di Medan

0 0 17

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sefalometri - Analisa Konveksitas Jaringan Lunak Wajah Menurut Subtelny Pada Mahasiswa India Tamil Malaysia FKG USU

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Resin Akrilik - Perubahan Warna pada Lempeng Resin Akrilik Polimerisasi Panas setelah Perendaman dalam Ekstrak Daun Jambu Biji 30%

0 0 18

Perubahan Warna pada Lempeng Resin Akrilik Polimerisasi Panas setelah Perendaman dalam Ekstrak Daun Jambu Biji 30%

0 0 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Gigi Tiruan Sebagian Lepasan - Kondisi Periodontal pada Pasien Gigi Tiruan Sebagian Lepasan (GTSL) Akrilik yang Dibuat di Klinik Prostodonti FKG USU

0 2 13

Prevalensi Trauma Gigi Permanen Anterior pada Anak Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Medan Maimun dan Medan Selayang

0 0 18

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi dan Etiologi Trauma Gigi - Prevalensi Trauma Gigi Permanen Anterior pada Anak Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Medan Maimun dan Medan Selayang

0 0 13

Prevalensi Trauma Gigi Permanen Anterior pada Anak Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Medan Maimun dan Medan Selayang

0 0 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Perbedaan Tensile Bond Strength pada Resin Komposit Nanohybrid Menggunakan Sistem Adhesif Total-Etch dan Self-Etch pada Restorasi Klas I (Penelitian In Vitro)

0 0 17

Perbedaan Tensile Bond Strength pada Resin Komposit Nanohybrid Menggunakan Sistem Adhesif Total-Etch dan Self-Etch pada Restorasi Klas I (Penelitian In Vitro)

1 1 13