2.1 Kecemasan Menjelang Pensiun 2.1.1 Pengertian Kecemasan - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penyesuaian Diri dan Dukungan Sosial Keluarga sebagai Prediktor Kecemasan Menjelang Pensiun Pegawai Negeri Sipil Pemerintah Kota Amb

BAB II KAJIAN PUSTAKA Kajian pustaka merupakan dasar dalam suatu penelitian ilmiah, karena

  kajian pustaka merupakan pijakan dalam membangun konstruk teoritis sebagai acuan dasar dalam membangun kerangka berpikir, dan menyusun hipotesis penelitian. Dalam bab ini akan diuraikan tentang kecemasan menghadapi pensiun dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor- faktor tersebut antara lain penyesuaian diri dan dukungan sosial keluarga.

   Kecemasan Menjelang Pensiun

2.1.1 Pengertian Kecemasan

  Pensiun merupakan hal yang tidak dapat dihindari oleh PNS, baik yang menduduki jabatan ataupun tidak menduduki jabatan. Pada saat pensiun berarti berakhirnya karier pada bidang pekerjaannya. Individu yang akan menghadapi pensiun dituntut untuk berperilaku dengan cara- cara baru sehingga banyak hal yang harus dipelajari kembali. Menjadi tidak mudah karena situasi baru sering terasa asing bagi individu (Santrock, 2002).

  Kecemasan adalah respon emosional terhadap penilaian yang menggambarkan keadaan khawatir, gelisah, takut tidak tentram disertai berbagai keluhan fisik. Keadaan tersebut dapat terjadi dalam berbagai situasi kehidupan maupun gangguan sakit. Selain itu kecemasan dapat menimbulkan reaksi tubuh yang akan terjadi secara berulang, seperti rasa kosong di perut, sesak nafas, jantung berdebar, keringat banyak, sakit kepala , rasa keinginan buang air kecil dan buang air besar, perasaan ini disertai perasaan ingin bergerak untuk lari menghindar hal yang dicemaskan (Sunden & Surette, 1998).

  Anxiety (Kecemasan, kegelisahan), perasaan campuran berisikan

  ketakutan dan keprihatinan mengenai masa-masa mendatang tanpa sebab khusus untuk ketakutan tersebut. Rasa takut atau kekuatiran kronis pada tingkat yang ringan. Kekuatiran atau ketakutan yang kuat dan meluap-luap dan merupakan suatu dorongan sekunder mencakup suatu reaksi penghindaran yang dipelajari. Pada peristiwa adanya perangsang bersyarat (respon terkondisionir), biasanya pada peristiwa kejutan atau shock. (Chaplin, 2011). menghadapi pensiun merupakan keprihatinan atau kekuatiran pada sesuatu yang tidak pasti dan tidak dapat diprediksi sebagai akibat datangnya masa pensiun. Respon kecemasan tersebut digambarkan sebagai suatu perasaan terancam disertai oleh keadaan emosi yang terganggu dan pada akhirnya akan mempengaruhi penyesuaian dirinya. Respon kecemasan pada individu yang akan pensiun berbeda-beda antara satu orang dengan orang lainnya, tetapi bisa dikatakan tidak jauh berbeda dengan reaksi kecemasan pada umumnya.

  Pensiun adalah proses pemisahan individu dari pekerjaannya, dimana dalam menjalankan perannya seseorang digaji. Dengan kata lain, masa pensiun mempengaruhi aktifitas seseorang, dari situasi kerja ke situasi diluar pekerjaan (Corsini, 1987). Pensiun tidak hanya sekedar berhenti bekerja karena usia. Sebagai sebuah istilah, pensiun kurang lebih bermakna purnabakti, tugas selesai, atau berhenti (Sutarto, 2000). Parnes dan Nessel (dalam Corsini, 1987) mengatakan bahwa pensiun adalah suatu kondisi dimana seorang individu berhenti bekerja dari suatu pekerjaan yang biasa dilakukan.

  Lebih lanjut berdasarkan pandangan psikologi perkembangan, pensiun dapat dijelaskan sebagai suatu masa transisi ke pola hidup baru, ataupun merupakan akhir pola hidup (Schawrz dalam Hurlock, 1996). Transisi ini meliputi perubahan peran dalam lingkungan sosial, perubahan minat, nilai dan perubahan dalam segenap aspek kehidupan seseorang. Kecemasan menghadapi pensiun dapat dilihat sebagai perasaan tidak enak, ketakutan atau khawatir yang mungkin berhubungan dengan gejala fisik seperti detak jantung yang cepat, perasaan ingin pingsan dan gemetar; itu kadang bagian dari masalah yang lebih besar (Oluseyi dan Olufemi, 2015).

  Berdasarkan keseluruhan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kecemasan menghadapi masa pensiun adalah suatu keadaan atau perasaan yang tidak menyenangkan dan bersifat subjektif yang dialami oleh individu yang akan memasuki masa transisi dari situasi aktif bekerja ke masa tidak lagi aktif bekerja. Sumbernya yang bersifat tidak jelas mengakibatkan individu merasa takut, tidak nyaman pikiran dan perasaan, bingung untuk menghadapi masa yang akan datang. Dalam penelitian ini penulis menggunakan definisi kecemasan menjelang pensiun menurut Oluseyi dan Olufemi (2015) kecemasan sebagai perasaan tidak enak, ketakutan atau kekhawatiran yang mungkin berhubungan dengan gejala fisik seperti detak jantung yang cepat, perasaan ingin pingsan dan gemetar; itu juga bisa menjadi reaksi normal terhadap stres atau khawatir, atau kadang-kadang bagian dari masalah yang lebih besar.

2.1.2 Teori Kecemasan

  Munculnya gangguan kecemasan yang dialami oleh kebanyakan orang telah membuat beberapa ahli memunculkan beberapa teori yang akan menjelaskan tentang kecemasan.

  Kecemasan sendiri mempunyai rentang yang luas dan normal sampai level yang moderat, misalnya pertandingan sepak bola, ujian, dan wawancara untuk masuk kerja mempunyai tingkat kecemasan yang berbeda. Kecemasan normal sebenarnya adalah sesuatu yang sehat karena merupakan tanda bahaya tentang keadaan jiwa dan tubuh manusia supaya dapat mempertahankan diri. Kecemasan juga dapat bersifat konstruktif, maka ia akan belajar dengan giat supaya kecemasannya berkurang. Perbedaan intensitas kecemasan tergantung pada keseriusan ancaman dan efektivitas dari operasi-operasi keamanan yang dimiliki seseorang. Apabila seseorang tidak siap menghadapi ancaman, maka perasaan tertekan dan tidak berdaya akan muncul.

  Teori psikoanalisis berasumsi bahwa sumber kecemasan bersifat internal dan tidak disadari. Orang menekan impuls tertentu yang dianggap tidak dapat diterima atau ”berbahaya” impuls yang akan mengancam harga diri atau hubungan dengan orang lain apabila impuls tersebut diekspresikan. Dalam situasi dimana impuls ini mungkin diungkapkan, individu mengalami kecemasan yang amat sangat, karena sumber kecemasan itu tidak disadari, orang tidak tahu mengapa dia merasa cemas (Atkinson, 1991). Tanggapan tubuh terhadap rasa takut berupa pengerasan diri untuk bertindak, baik tindakan itu dikehendaki atau tidak dikehendaki.

  Pergerakan tersebut, merupakan hasil kerja dari sistem saraf otonom menyebabkan tubuh bereaksi secara mendalam.

  Menurut pendekatan psikoanalisis, kecemasan merupakan turunan (derivate) pertama dari konflik. Akan timbul bila motif-motif yang saling bertentangan tidak dimengerti dan tidak disadari oleh penderita.

  Kecemasan ini pada taraf faal terdiri dari proses-proses faal yang tidak terorganisasi, dimana ada dominasi susunan saraf otonom, misal jantung berdebar-debar, nafas sesak dan sebagainya. Respon kecemasan tersebut digambarkan sebagai suatu perasaan terancam yang disertai oleh keadaan emosi yang terganggu dan pada akhirnya akan mempengaruhi penyesuaian diri. Respon kecemasan pada individu yang akan pensiun berbeda-beda, tetapi bisa dikatakan tidak jauh berbeda dengan reaksi pada umumnya. atau perasaan tidak menyenangkan yang timbul pada individu karena khawatir, bingung, tidak pasti akan masa depannya, dan belum siap menerima kenyataan akan memasuki masa pensiun dengan segala akibatnya baik secara psikologis maupun secara fisiologis (Zung, 1971). Maramis (1995) menyatakan bahwa kecemasan adalah suatu ketegangan, rasa tidak aman, kekhawatiran, yang timbul karena dirasakan akan mengalami kejadian yang tidak menyenangkan. Kecemasan menghadapi pensiun sebagai perasaan tidak enak, ketakutan atau khawatir yang mungkin berhubungan dengan gejala fisik seperti detak jantung yang cepat, perasaan ingin pingsan dan gemetar; itu juga bisa menjadi reaksi normal terhadap stres atau khawatir, atau kadang-kadang bagian dari masalah yang lebih besar (Oluseyi dan Olufemi, 2015).

  Freud membagi kecemasan menjadi tiga, yaitu: Kecemasan

  

objektif atau Kenyataan adalah suatu pengalaman perasaan sebagai akibat

  pengamatan suatu bahaya dalam dunia luar. Bahaya adalah sikap keadaan dalam lingkungan seseorang yang mengancam untuk mencelakakannya.

  Pengalaman bahaya dan timbulnya kecemasan mungkin dari sifat pembawaan, dalam arti kata bahwa seseorang mewarisi kecenderungan untuk menjadi takut kalau ia berada di dekat dengan benda- benda tertentu atau keadaan tertentu dari lingkungannya. contohnya : seorang anak yang takut akan kegelapan atau seseorang yang cemas akan serangga.

  , kecemasan ini timbul karena pengamatan

  Kecemasan Neurotis (saraf)

  tentang bahaya dari naluriah. Kecemasan ini kemudian dibagi menjadi 3 bagian : Pertama, kecemasan yang timbul karena penyesuaian diri dengan lingkungan. Kecemasan semacam ini menjadi sifat dari seseorang yang gelisah, yang selalu mengira bahwa sesuatu yang hebat akan terjadi. dari phobia adalah intensitif ketakutan melebihi proporsi yang sebenarnya dari objek yang ditakutkannya. Ketiga, reaksi gugup atau setengah gugup, reaksi ini munculnya secara tiba-tiba tanpa adanya provokasi yang tegas.

  

Kecemasan Moral, disebabkan karena pribadi seseorang. Tiap pribadi

  memiliki bermacam-macam emosi antar lain: iri, benci, dendam, dengki, marah, gelisah, dan lain lain. Sifat-sifat seperti itu mengakibatkan manusia akan merasa khawatir, takut, cemas, gelisah dan putus asa.

2.1.3 Aspek-aspek Kecemasan

  David J. Harris (1983) menjelaskan aspek-aspek kecemasan menghadapi pensiun, antara lain :

1. Kemampuan untuk mengatasi peristiwa sebelumnya.

  Kemampuan seseorang untuk menghadapi dan mengatasi peristiwa-peristiwa sebelum bahkan setelah pensiun. Seseorang yang mampu mengatasi peristiwa sebelumnya adalah individu yang telah siap menghadapi pensiun.

  2. Kualitas dukungan keluarga.

  Keberadaan anggota keluarga yang selalu mendukung setiap hal yang dilakukan dan komunikasi menjadi hal sangat penting dalam keluarga.

  3. Penyakit utama.

  Setiap individu akan mengalami kecemasan apabila ada penyakit yang dideritanya sebelum pensiun sebelum pada akhirnya setelah pensiun, penyakit yang dideritanya mengubah gaya hidup mereka.

  4. Waktu dan model pensiun.

  Kebanyakan orang akan menerima pensiun jika hal itu terjadi pada sehingga persiapan yang dilakukan akan mengurangi kecemasan mereka.

  5. Keadaan Keuangan Bagi banyak orang keamanan finansial akan membantu mereka pada hari tua mereka, sehingga sebelum pensiun mereka akan menyisihkan sebagaian penghasilan mereka untuk tabungan dihari tua dan hal ini menjadi sangat penting karena mereka akan menghadapi pensiun tanpa rasa cemas yang berlebihan.

2.1.4 Gejala-gejala Kecemasan

  Daradjat (1985) menyatakan bahwa gejala kecemasan sering ditandai dengan munculnya gejala-gejala baik yang bersifat fisik maupun mental.

  1. Bersifat fisik: ujung jari terasa dingin, pencernaan menjadi tidak teratur, jantung berdetak cepat, keringat bercucuran, tidur tidak nyenyak, nafsu makan hilang, sesak nafas dan lain-lain.

  2. Bersifat psikologis: adanya rasa takut, perasaan akan ditimpa bahaya atau kecelakaan, tidak mampu memusatkan perhatian, tidak berdaya/ rasa rendah diri, tidak tentram, ingin lari dari kenyataan hidup dan sebagainya.

  Kartono (2001) menjelaskan orang yang mengalami kecemasan mempunyai gejala fisik dan psikis antara lain : gemetar, keringat dingin, gangguan perut, dan rasa mual serta muntah-muntah, mulut menjadi kering, sesak nafas, percepatan nadi dan detak jantung. Selain itu juga lemas, apatis, depresif, semuanya “serba salah”; tidak pernah merasa puas rebut, tidak toleran, cepat tersinggung, gelisah, eksplosif meledak-ledak, agresif dan suka menyerang baik dengan kata-kata atau ucapan maupun dengan benda-benda, bahkan tidak jarang menjadi beringas.

  Kaplan dan Sanddock (1997) menguraikan beberapa gejala yang menimbulkan kecemasan, diantaranya :

  1. Gejala Fisik.

  Meliputi gemetar, nyeri punggung dan kepala, ketegangan otot, nafas pendek, mudah lelah, sering kaget, hiperaktivitas autonom (wajah merah dan pucat, tangan terasa dingin, berpeluh, diare, mulut kering, sering kencing), susah menelan.

  2. Gejala Psikologis.

  Berupa rasa takut, sulit konsentrasi, siaga berlebih, insomia, libido menurun, rasa mengganjal ditenggorokan.

  Menurut PPDGJ III (2002) bahwa gejala-gejala secara primer dari

  anxietas mencakup antara lain: 1.

  Rasa khawatir akan nasib buruk, merasa seperti diujung tanduk, sulit konsentrasi.

  2. Ketegangan motorik (gelisah, gemetar, kepala sakit dan tidak dapat santai).

  3. Overaktifitas motorik (kepala terasa ringan, berkeringat, jantung berdebar-debar, sesak nafas, keluhan lambung, pusing kepala, mulut kering dan sebagainya). menjelang pensiun, yaitu : 1.

  Rasa Gugup atau takut menghadapi kenyataan terhadap berbagai perubahan yang akan terjadi.

  2. Ketidakpastian dengan hal-hal yang akan terjadi setelah pensiun.

  Seperti apa yang akan dilakukan setelah pensiun.

  3. Kemudahan yang didapatkan ketika mempersiapkan pensiun.

  Seperti menjadi lebih tenang dan menikmati hari-hari menjelang pensiun.

  4. Motivasi yang berasal dari dalam diri maupun luar individu.

  Seperti dukungan dari orang-orang terdekat (keluarga dan rekan kerja).

  5. Keyakinan terhadap masa depan (masa setelah pensiun).

  6. Semangat untuk menghadapi dan menjalani pensiun lewat berbagai aktivitas yang akan tetap dilakukan sebelum dan setelah pensiun. Dari berbagai gejala yang dijelaskan diatas, dapat disimpulkan bahwa gejala kecemasan adalah gejala fisik dan gejala psikis. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan gejala yang dikemukan oleh Oluseyi dan Olufemi (2015) yaitu : Rasa Gugup, Ketidakpastian, Kemudahan, Motivasi, Keyakinan, dan Semangat.

2.1.5 Faktor-faktor yang Memengaruhi Kecemasan Menjelang Pensiun

  Menurut Priest (1992), yang merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan adalah sebagai berikut : Keadaan pribadi individu.

  Situasi pada diri individu yang dirasakan belum siap untuk dihadapi seperti kehamilan, menuju usia tua, kenaikan pangkat dan masalah kesehatan yang pada akhirnya akan menjadi suatu konflik dalam diri individu sehingga dapat menimbulkan kecemasan.

  2. Tingkat pendidikan.

  Kondisi kecemasan yang dialami individu juga dipengaruhi oleh perbedaan tingkat pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikannya akan semakin baik pemecahan terhadap masalah yang dihadapi.

  3. Pengalaman tidak menyenangkan.

  Suatu pengalaman yang menyulitkan ditimbulkan oleh ketegangan- ketegangan dalam alat-alat intern dari tubuh dapat menyebabkan kecemasan. Ketegangan-ketegangan tersebut akibat dari dorongandorongan dalam dan luar tubuh.

  4. Dukungan sosial.

  Dukungan sosial dari orang-orang sekitar individu yaitu orang tua, kakak, adik, kekasih, teman dekat, saudara dan masyarakat. Dukungan yang baik akan mengurangi kecemasan seseorang. Konsep utama Horney (dalam Hall & Lindzey, 1993) tentang kecemasan dasar yang dirumuskan sebagai perasaan yang timbul karena terisolasi dan tidak berdaya dalam dunia yang secara potensial bermusuhan. Sejumlah faktor yang merugikan dalam lingkungan dapat menyebabkan perasaan tidak aman. Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya kecemasan menghadapi masa pensiun yaitu :

  Faktor eksternal yang meliputi : lingkungan sekitar individu, persaingan antar individu, penyesuaian diri terhadap lingkungan, pengalaman dengan teman.

  2. Faktor internal meliputi : faktor kepribadian, dukungan dari keluarga, dukungan dari teman- teman, faktor religi, emosi yang di tekan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi kecemasan menghadapi pensiun terdiri dari faktor internal atau yang berasal dari dalam individu dan faktor eksternal atau yang berasal dari luar diri individu. Penulis memilih faktor internal yaitu dukungan sosial keluarga, karena penulis ingin melihat bagaimana dukungan sosial keluarga memengaruhi kecemasan menjelang pensiun. Untuk faktor eksternal dikemukan mengenai penyesuaian diri terhadap lingkungan, penulis ingin melihat bagaimana penyesuaian diri memengaruhi kecemasan menjelang pensiun.

2.2 Penyesuaian Diri

2.2.1 Pengertian Penyesuaian Diri

  Schneiders (1964) membahas pengertian penyesuaian diri dengan meninjau tiga sudut pandang, yaitu : penyesuaian diri sebagai adaptasi (adaptations) dimana definisi penyesuain diri ini pada umumnya lebih mengarah pada penyesuian diri dalam arti fisik, fisiologis atau biologis. Kedua, penyesuaian diri sebagai bentuk komformitas (comformity) dimana penyesuaian diri dipandang sebagai sebuah proses yang menuntut individu untuk dapat melakukan komformitas terhadap suatu norma, individu dituntut untuk menghindarkan diri dari penyimpangan perilaku sebagai usaha penguasaan (mastery) dimana penyesuaian diri dimaknai sebagai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan realitas berdasarkan cara-cara yang baik, akurat, sehat dan mampu bekerja sama dengan orang lain secara efektif dan efisien, serta mampu memanipulasi faktor-faktor lingkungan sehingga penyesuaian diri dapat berlangsung dengan baik.

  Haber dan Runyon (1984) mengemukakan bahwa penyesuaian diri dapat dipandang sebagai keadaan (state) atau sebagai proses. Penyesuaian diri sebagai keadaan berarti bahwa penyesuaian diri merupakan suatu tujuan yang ingin dicapai oleh individu.

  Calhoun (1990) menyatakan Penyesuaian Diri didefenisikan sebagai interaksi yang kontinyu antar individu dengan diri individu sendiri, dengan orang lain dan dengan dunia diluar diri kita. Ketiga faktor ini secara konstan memiliki pengaruh yang bersifat timbal balik.

  Gerungan (2000) memberikan pendapat bahwa setiap individu pasti ingin dirinya dapat diterima dilingkungannya dengan baik, tetapi ada yang tidak sesuai dengan kenyataan. Seringkali individu mengalami kendala dalam penyesuaian diri, agar dapat diterima oleh lingkungan ada dua cara yang dapat dilakukan, yaitu dengan mengubah dirinya sesuai dengan keadaan (keinginan) diri (aloplastis). Jadi penyesuaian diri ada yang bersifat “pasif” dimana kegiatan kita ditentukan oleh lingkungan adan ada yang bersifat “aktif” dimana individu mempengaruhi lingkungan. Jadi individu dikatakan berhasil menyesuaikan diri pada lingkungannya jika individu mampu mengubah dirinya, mempengaruhi atau mengubah kelakuan individu yang lainnya atau sebaliknya. Sebagai contoh individu yang menyesuaikan diri secara autoplastis dengan lingkungan, misalnya : seorang PNS yang baru masuk ke dalam sebuah posisi pekerjaan yang untuk dapat menyesuaikan diri antara kondisi dirinya dengan kondisi lingkungan kerjanya.

  Lazarus (1991) berpendapat bahwa penyesuaian diri termasuk reaksi seseorang karena adanya tuntutan yang dibebankan pada dirinya. Hal ini mengandung arti bahwa penyesuaian diri merupakan kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk bereaksi, karena adanya dorongan dan tuntutan dalam memenuhi kebutuhan, baik yang berasal dari dalam maupun luar dirinya untuk mencapai keseimbangan sehingga melalui pemenuhan kebutuhan tersebut dapat mencapai ketentraman secara batin maupun dalam hubungan dengan lingkungan sekitar.

  Wells, dkk (2006) menjelaskan penyesuaian diri menjelang pensiun sebagai suatu proses yang terjadi pada seorang individu untuk mencapai keseimbangan antara pensiunan dan interaksinya dengan lingkungan.

  Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa penyesuaian diri adalah usaha perubahan tingkah laku yang bertujuan untuk membangun hubungan yang baik antar individu dan juga lingkungannya. Dalam penelitian ini penulis menggunakan pengertian penyesuaian diri yang dikemukan oleh Wells, dkk (2006). Penyesuaian diri menjelang pensiun adalah suatu proses yang terjadi pada seorang individu untuk mencapai keseimbangan antara pensiunan dan interaksinya dengan lingkungan.

2.2.2 Teori Penyesuaian Diri

  Masa pensiun adalah salah satu masa terpenting dalam transisi hidup orang dewasa. Perubahan dari aktif bekerja secara formal dan nyamanan bagi individu karena hal ini berarti bahwa sebagian dari identitas dirinya telah hilang. Hal tersebut menjadi tantangan bagi pensiunan untuk terus memelihara kelangsungan hidupnya (Turner & Helms 1986; Crego, dkk. 2008). Saat menjalani perubahan tersebut individu harus memiliki keyakinan yang baik untuk mampu mengarahkannya pada perubahan yang positif. Haber dan Runyon (1984) menjelaskan bahwa penyesuaian diri merupakan proses yang terus berlangsung dalam kehidupan individu. Situasi dalam kehidupan selalu berubah. Individu mengubah tujuan dalam hidupnya seiring dengan perubahan yang terjadi di lingkungannya. Berdasarkan konsep penyesuaian diri sebagai proses, penyesuaian diri yang efektif dapat diukur dengan mengetahui bagaimana kemampuan individu menghadapi lingkungan yang senantiasa berubah.

  Penyesuaian saat memasuki tahap lain dalam kehidupan, khususnya pensiun dipengaruhi oleh karakteristik faktor internal yaitu diri sendiri dan eksternal atau lingkungan, misalnya keluarga sebagai lingkungan terdekat (van Solinge dan Henkens 2005). Karakteristik individu yang lekat dengan diri adalah jenis kelamin, usia, lama pendidikan, pendapatan pensiun yang dihitung dalam rupiah per bulan, dan status perkawinan. Karakteristik keluarga pensiun yang diindikasi berpengaruh dalam proses ini yaitu usia pasangan jika masih ada atau masih bersama, lama pendidikan pasangan, jumlah anggota keluarga, pendapatan keluarga, jumlah orang yang tinggal di rumah bersama pensiunan, dan jumlah anggota keluarga yang masih ditanggung oleh pensiunan (Kim dan Moen 2002; van Solinge dan Henkens 2005).

   Aspek-aspek Penyesuaian Diri

  Menurut Schneiders (1964), penyesuaian diri yang baik adalah individu yang dapat memberikan respon yang matang, bermanfaat, efisien dan memuaskan. Penyesuaian diri yang normal dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu :

  1. Mampu mengontrol emosionalitas yang berlebihan.

  Penyesuaian diri yang normal dapat ditandai dengan tidak adanya emosi yang relatif berlebihan atau tidak terdapat gangguan emosi yang merusak. Individu yang mampu menanggapi situasi atau masalah yang dihadapainya dengan cara yang normal akan merasa tenang dan tidak panik sehingga dapat menentukan penyelesaian masalah yang dihadapinya.

  2. Mampu mengatasi mekanisme psikologis.

  Kejujuran dan keterbukaan terhadap adanya masalah atau konflik yang dihadapi individu akan lebih terlihat sebagai reaksi yang normal daripada suatu reaksi yang diikuti dengan mekanisme- mekanisme pertahanan diri seperti rasionalisasi, proyeksi atau kompensasi. Individu mampu menghadapi masalah dengan pertimbangan yang rasional dan mengarah langsung pada masalah.

  3. Mampu mengatasi perasaan frustasi pribadi.

  Adanya perasaan frustasi akan membuat individu sulit atau bahkan tidak mungkin bereaksi secara normal terhadap situasi atau masalah yang dihadapinya. Individu harus mampu menghadapi masalah secara wajar, tidak menjadi cemas dan frustasi.

  4. Kemampuan untuk belajar.

  Mampu untuk mempelajari ilmu pengetahuan yang membantu untuk management emosi, sehingga pengetahuan dapat digunakan

  5. Kemampuan memanfaatkan pengalaman.

  Adanya kemampuan individu untuk belajar dan memanfaatkan pengalaman merupakan hal yang penting bagi penyesuaian diri yang normal. Dalam menghadapi masalah, individu harus mampu membandingkan pengalaman diri sendiri dengan pengalaman orang lain sehingga pengalaman-pengalaman yang diperoleh dapat digunakan dalam mengatasi permasalahan yang dihadapai.

  6. Memiliki sikap yang realistis dan objektif.

  Karakter ini berhubungan erat dengan orientasi seseorang terhadap realitas yang dihadapinya. Indivdu mampu mengatasi masalah dengan segera, apa adanya dan tidak ditunda-tunda. Menurut Haber dan Runyon (1984), aspek-aspek penyesuaian diri yaitu : 1.

  Persepsi akurat terhadap realita.

  Persepsi terkait dengan keinginan dan motivasi pribadi, sehingga terkadang persepsi tersebut tidak murni sama dengan realita dan lebih merupakan keinginan individu. Penyesuaian diri individu dianggap baik apabila mampu untuk mempersepsikan dirinya sesuai dengan realita. Selain itu, ia juga mempunyai tujuan yang realistis, mampu memodifikasi tujuan tersebut apabila situasi dan kondisi lingkungan menuntutnya untuk itu, serta menyadari konsekuensi dari tindakan yang diambil dan mengarahkan tingkah laku sesuai dengan konsekuensi tersebut.

  2. Kemampuan mengatasi stres dan kecemasan.

  Halangan yang dialami individu disetiap proses pemenuhan kebutuhan atau pencapaian tujuan, dapat menimbulkan kegelisahan mengatasi halangan, masalah, dan konflik yang timbul dengan baik.

  3. Citra diri yang positif.

  Individu harus mempunyai citra diri yang positif dengan tetap menyadari sisi negatif dari dirinya, dimana individu menyeimbangkan persepsinya dengan persepsi orang lain.

  4. Kemampuan mengekpresikan perasaan.

  Individu yang sehat secara emosional mampu untuk merasakan dan mengekspresikan seluruh emosinya. Pengekspresian emosi dilakukan secara realistis, terkendali dan konstruktif, serta tetap menjaga keseimbangan antara kontrol ekspresi yang berlebihan dengan kontrol ekspresi yang kurang.

  5. Mempunyai hubungan interpersonal yang baik.

  Individu yang penyesuaian dirinya baik, mampu untuk saling berbagi perasaan dan emosi. Mereka mempunyai kompetensi menjalin hubungan dengan orang lain, mampu untuk mencapai kadar keintiman yang layak dalam hubungan sosial, dan menyadari bahwa suatu hubungan tidaklah selalu mulus. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan aspek-aspek penyesuaian diri yang dikemukakan oleh Haber dan Runyon (1984) karena aspek-aspek tersebut digunakan dalam penelitian yang dilakukan oleh Wells, dkk (2006), yaitu : Persepsi akurat terhadap realita, kemampuan mengatasi stres dan kecemasan, citra diri yang positif, kemampuan mengekpresikan perasaan dan mempunyai hubungan interpersonal yang baik.

2.3 Dukungan Sosial Keluarga Pengertian Dukungan Sosial

  Caplan (1974) menyatakan tentang sistem dukungan : membantu individu memobilisasi sumber daya psikologi serta mengatasi beban psikologi dan beban emosinal individu, berbagai cara-cara, memberi bantuan ekstra seperti uang, bahan-bahan, peralatan, ketrampilan dan petunjuk kognitif untuk meningkatkan cara penanggulangan keadaan kepada individu yang didukung. Dukungan sosial merupakan suatu ketentuan yang dapat diperoleh ketika kita membangun hubungan dengan orang lain, dalam hal ini anggota keluarga (Weiss, 1974).

  Sarafino (1994) menggambarkan dukungan sosial sebagai suatu kenyamanan, perhatian, penghargaan ataupun bantuan yang diterima individu dari orang lain maupun kelompok. Malecki dan Demary (2000) menggambarkan dukungan sosial sebagai “dukungan umum atau perilaku dukungan spesifik individu dari orang-orang tertentu dalam jaringan sosial, yang meningkatkan fungsi mereka atau menahan mereka dari hasil penderitaan”. Sejalan dengan itu, Smet (1994) menjelaskan bahwa dukungan sosial merupakan suatu bentuk perhatian, penghargaan atau pertolongan yang diterima individu lain dari kelompoknya. Informasi tersebut diperoleh dari orang tua (keluarga), guru, teman sebaya, kelompok atau organisasi.

  Berdasarkan beberapa pendapat dalam uraian definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial keluarga adalah suatu bentuk dukungan atau bantuan yang didapatkan dari individu lain (keluarga, teman) maupun organisasi seperti perhatian dan penghargaan. Untuk penelitian ini penulis menggunakan definisi yang diungkapkan oleh Weiss (1974), dukungan sosial merupakan suatu ketentuan yang dapat diperoleh ketika kita membangun hubungan dengan orang lain, dalam hal ini

2.3.2 Teori Dukungan Sosial Keluarga

  Weiss (1974) mengembangkan sebuah teori tentang penyedian dukungan sosial. Weiss berpendapat bahwa individu memerlukan enam hal untuk mempertahankan kesejahteraan dan menghindarkan diri dari kesepian. Dukungan sosial dianggap memberi manfaat bagi orang yang merasa tidak diperdulikan, sehingga orang-orang tersebut tidak merasa diisolasi secara sosial.

  Dukungan sosial diperoleh dari hasil interaksi individu dengan orang lain dalam lingkungan sosialnya, dan bisa berasal dari siapa saja, keluarga, pasangan (suami/istri), teman, maupun rekan kerja. Kenyamanan psikis maupun emosional yang diterima individu dari dukungan sosial akan melindungi individu dari konsekuensi stres yang menimpanya (Taylor, 2003).

  Sarafino (1994), dukungan sosial merupakan cara untuk menunjukkan kasih sayang, kepedulian, dan penghargaan untuk orang lain. Individu yang menerima dukungan sosial akan merasa dirinya dicintai, dihargai, berharga, dan merupakan bagian dari lingkungan sosialnya.

  Shi dan Wong (2014) menjelaskan dukungan sosial keluarga menjadi salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi proses persiapan pensiun. Ada 3 hal yang dijelaskan oleh Shi dan Wong, antara lain : pertama, anggota keluarga memiliki keterlibatan penting dalam persiapan pensiun. Sebagai contoh, pasangan akan mengkoordinasikan keputusan pensiun dan meminta untuk membantu mempersiapkan segalanya termasuk investasi apa yang akan digunakan. Kedua, keluarga pensiun, sebagai contoh, dampak dari status perkawinan pada proses pensiun. Pensiunan yang memiliki pasangan bekerja kurang mungkin untuk mengambil pensiun dini. Ketiga, kebutuhan anggota keluarga juga dapat mempengaruhi proses pensiun. Penelitian menunjukkan bahwa beberapa orang tua mungkin menunda pensiun sampai anak-anak mereka tidak lagi tergantung pada mereka, sedangkan yang lain mungkin akan pensiun dini untuk merawat anak-anak atau cucu mereka.

2.3.3 Aspek-aspek Dukungan Sosial Keluarga

  Weiss (1974) mengemukakan adanya 6 aspek dukungan sosial antara lain:

1. Ketergantungan yang dapat diandalkan (Reliable Alliance)

  Dalam dukungan sosial, individu mendapat jaminan bahwa ada individu lain yang dapat diandalkan bantuannya ketika individu membutuhkan batuan, bantuan tersebut sifatnya nyata dan langsung. Individu yang menerima bantuan ini akan merasa tenang karena individu menyadari ada individu lain yang dapat diandalkan untuk menolongnya bila individu mengalami masalah dan kesulitan.

  2. Bimbingan (Guidance) Dukungan sosial ini berupa nasehat, saran dan informasi yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan mengatasi permasalahan yang dihadapi. Dukungan ini juga dapat berupa feedback (umpan balik) atas sesuatu yang telah dilakukan individu.

  3. Pengakuan Positif (Reassurance of Worth) Dukungan sosial ini berbentuk pengakuan dan penghargaan membuat individu merasa dirinya diterima dan dihargai.

  4. Kedekatan Emosional (Emotional Attachment) Dukungan sosial ini merupakan pengekspresian dari kasih sayang, cinta, perhatian dan kepercayaan yang diterima individu, yang dapat memberikan rasa aman kepada individu yang menerimanya.

  5. Integrasi Sosial (Social Intergration) Dukungan sosial ini memungkinkan individu untuk memperoleh perasaan memiliki suatu kelompok yang memungkinkannya untuk membagi minat, perhatian serta melakukan suatu kegiatan secara bersama-sama. Dukungan semacam ini memungkinkan individu mendapatkan rasa aman, nyaman serta merasa memiliki dan dimiliki kelompok yang memiliki minat yang sama.

  6. Kesempatan untu mengasuh (Opportunity to Provide Nurturance) Suatu aspek yang penting dalam hubungan interpersonal adalah perasaan dibutuhkan oleh orang lain. Dukungan sosial ini memungkinkan individu untuk memperoleh perasaan bahwa orang lain tergantung padanya untuk memperoleh kesejahteraan.

  Menurut Sarfino (1994) terdapat beberapa aspek yang terlibat didalam pemberian dukungan sosial, antara lain :

  1. Aspek Emosional. Aspek ini melibatkan kelekatan, jaminan dan keinginan untuk percaya pada orang lain, sehingga seseorang menjadi yakin bahwa orang lain tersebut mampu memberikan cinta dan kasih sayang.

  2. Aspek Instrumental. Aspek ini meliputi penyediaan sarana untuk perlengkapan, dan sarana pendukung yang lain termasuk didalammnya memberikan peluang waktu.

  3. Aspek Informatif. Meliputi pemberian informasi untuk mengatasi masalah pribadi. Terdiri dari pemberian nasehat, pengarahan dan keterangan lain yang dibutuhkan.

  4. Aspek penilaian. Aspek ini terdiri atas dukungan peran sosial yang meliputi umpan balik, pertandingan sosial dan afirmasi (persetujuan). House (dalam Glanz dkk,. 2008) menyatakan bahwa aspek dukungan sosial mencakup :

  1. Dukungan Emosi, keberadaan seseorang atau lebih yang bisa mendengarkan dengan simpati ketika seorang individu mengalami masalah dan bisa menyediakan indikasi kepedulian dan penerimaan.

  2. Dukungan penilaian, meliputi ketersediaan informasi yang berguna dalam rangka evaluasi diri. Dengan kata lain, memberikan umpan balik dan penguatan atau penegasan.

  3. Dukungan informasi, meliputi ketersediaan pengetahuan yang berguna dalam menyelesaikan masalah, seperti menyediakan informasi mengenai sumber-sumber dan layanan komunitas atau menyediakan nasehat dan tuntutan mengenai suatu aksi atau hal- hal tertentu untuk menyelesaikan masalah.

  4. Dukungan instrumental, melibatkan bantuan nyata atau praktis yang secara langsung dapat membantu seseorang yang Dalam penelitian ini, penulis menggunakan aspek-aspek dukungan sosial yang dikemukakan oleh Weiss (1974) yaitu, ketergantungan yang dapat diandalkan (reliable alliance), bimbingan (Guidance), pengakuan positif (Reassurance of Worth), kedekatan emosional (Emotional Attachment), integrasi sosial (Social Intergration) dan kesempatan untuk mengasuh (Opportunity to Provide Nurturance).

2.4 Penelitian-penelitian Sebelumnya

  Seiring dengan berjalannya waktu individu diperhadapkan dengan suatu kenyataan bahwa tidak selamanya individu tersebut akan bekerja. Ada saatnya ketika akan mencapai masa tua, seseorang akan berhenti dari pekerjaannya atau pensiun dan beristirahat untuk menikmati hasil yang diperolehnya selama bekerja. Seseorang yang pensiun berarti mengalami perubahan pola hidup dari bekerja menjadi tidak bekerja. Hal ini menyebabkan individu tersebut harus menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. Menghadapi masa ini, banyak orang mengalami kecemasan.

  Kepada 128 karyawan yang mengalami pemutusan kerja, Stanggier dan Rose (2000) menemukan bahwa dukungan sosial dan penyesuaian diri memberikan pengaruh yang kuat terhadap kecemasan, dengan nilai F hitung = 3,002 dan taraf signifikan sebesar 0,000<

  0,05. Churin’iyn (2016) dalam penelitiannya yang dilakukan kepada 35 orang pegawai Universitas Negeri Surabaya yang berusia 55-60 tahun menunjukan nilai F hitung sebesar 4,031 dengan signifikan sebesar 0,027<0,05, menunjukkan bahwa secara bersama-sama penyesuaian diri dan dukungan sosial mempunyai masa pensiun pegawai Universitas Negeri Surabaya. Nilai R Square sebesar 0,201 menunjukkan bahwa variabel penyesuaian diri dan dukungan sosial dapat menjelaskan sebesar 20,1% terhadap variabel kecemasan menghadapi masa pesiun dan sisanya sebesar 79,9% dijelaskan oleh variabel lain diluar model atau faktor lain yang dapat mempengaruhi kecemasan menghadapi masa pesiun pegawai Universitas Negeri Surabaya.

  Penelitian yang dilakukan oleh Pardono dan Purnamasari (2010) kepada 80 PNS pada Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang berusia antara 50-56 tahun diperoleh hasil analisis data yang dilakukan, diperoleh koefisien rxy = -0,643 dengan taraf signifikansi sebesar 0,000 (p<0,01). Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara penyesuaian diri dengan kecemasan menghadapi masa pensiun. Koefisien determinan penyesuaian diri dengan kecemasan menghadapi masa pensiun (R2) sebesar = 0,413. Hal tersebut menunjukkan bahwa sumbangan efektif penyesuaian diri terhadap kecemasan sebesar 41,3%, sedangkan sebanyak 58,7% dipengaruhi oleh faktor lain. Lydiani (2013) dalam penelitiannya terhadap 52 orang PNS Esselon IV Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah dengan menggunakan korelasi product moment menunjukkan hasil analisis data rxy = -0,464 dengan taraf signifikan p = 0,001 (p<0.005) yang artinya ada hubungan yang negatif signifikan antara penyesuaian diri dengan kecemasan menghadapi pensiun.

  Penelitian Summerfeldt, dkk (2006) terhadap 267 responden diperoleh koefisien korelasi 0,021 dengan p< α (0,05) menjelaskan bahwa dukungan sosial memiliki hubungan yang negatif signifikan, dimana rendah. Sumbangan efektif dukungan sosial terhadap kecemasan sebesar 63,27% dan 36,73% dipengaruhi oleh faktor lain. Imama (2011) dalam penelitiannya yang dilakukan kepada 53 reponden laki-laki dan 32 responden perempuan, diperoleh koefisien korelasi -0,386 dengan demikian p<

  α (0,05) menyebutkan bahwa dukungan sosial memiliki hubungan yang signifikan terhadap kecemasan ketika memasuki masa pensiun, yang berarti bahwa semakin besar dukungan sosial yang dimiliki individu maka kecemasan yang dialami ketika memasuki masa pensiun akan menurun.

  Selanjutnya oleh Sekarsari dan Susilawati (2015) adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Responden dalam penelitian ini berjumlah 4 orang yang berstatus sebagai PNS di Provinsi Bali. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dan observasi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa PNS yang akan memasuki masa pensiun membutuhkan dukungan baik dari keluarga, rekan kerja, serta instansi. Dukungan yang berasal dari keluarga merupakan dukungan paling utama yang dibutuhkan PNS menjelang masa pensiun yaitu dalam bentuk dukungan emosional dan dukungan informasi. Selain itu, persiapan-persiapan membutuhkan dukungan sosial pada PNS menjelang masa pensiun meliputi persiapan keuangan, kesehatan atau kebugaran, penyesuaian peran, kegiatan waktu luang, serta asuransi kesehatan.

2.5 Dinamika Kaitan Antar Variabel

  Kecemasan merupakan sikap atau respon yang umum terjadi dari setiap individu apabila diperhadapkan pada situasi tertentu yang perkembangan, perubahan, pengalaman baru atau yang belum pernah dilakukan, serta dalam menemukan identitas diri dan arti hidup.

  House (dalam Glanz, 2008) menjelaskan bahwa penyesuaian diri individu pada masa pensiun dapat dipengaruhi oleh faktor individu tersebut maupun sosial khususnya keluarga yang ikut mempengaruhi keberhasilan individu dalam menghadapi segala perubahan setelah tidak lagi bekerja. Maka individu sangat membutuhkan dukungan sosial yang dapat diartikan sebagai bentuk hubungan sosial yang bersifat menolong dengan melibatkan aspek perhatian, emosi, informasi, bantuan instrumen dan penilaian. Keberhasilan individu dalam menyesuaikan diri terhadap keadaan yang baru setelah pensiun adalah bagian dari dukungan sosial terdekat yaitu keluarga sehingga perubahan-perubahan yang terjadi akan dapat dilewati tanpa rasa cemas.

  Faktor internal dalam penelitian ini adalah penyesuian diri. Penyesuaian diri merupakan suatu proses batin dan tingkat sosial yang terjadi pada seorang individu untuk mencapai keseimbangan antara dirinya

  (pensiunan) dan interaksinya dengan lingkungan (Wells, dkk, 2006). Dengan demikian setiap perilaku yang dilakukan individu untuk mencapai keseimbangan dipengaruhi oleh penyesuaian dirinya terhadap suatu kondisi sehingga berdasarkan kajian dan hasil penelitian yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya, penulis berasumsi bahwa penyesuaian diri memiliki hubungan yang negatif dan signifikan dengan kecemasan PNS menghadapi pensiun. Hal ini berarti semakin tinggi penyesuaian diri PNS, semakin rendah tingkat kecemasan mereka menghadapi pensiun. Dengan adanya kemampuan menyesuaikan diri yang baik maka individu tidak akan mengalami kecemasan dalam menghadapi perubahan yang terjadi dalam kehidupan maka individu tersebut dikatakan memiliki penyesuaian diri yang baik (well adjusment). Penyesuaian diri yang baik antara lain ditandai apabila individu dapat menerima keterbatasan yang tidak dapat diubah, tetapi tetap berusaha memodifikasi keterbatasan itu seoptimal mungkin. Namun sebaliknya, apabila individu tidak dapat menyesuaikan dirinya dengan perubahan yang terjadi maka individu dikatakan memiliki penyesuaian diri yang buruk (poor

  

adjusment ). Penyesuaian diri yang buruk antara lain ditandai apabila

  individu menerima kenyataan secara pasif dan tidak melakukan usaha apapun untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya (Haber dan Runyon, 1984).

  Selain penyesuaian diri, faktor eksternal lainnya yaitu bagaimana individu mampu membangun hubungan bukan saja dengan dirinya sendiri tapi juga dengan orang lain dalam lingkungan. Individu membutuhkan suatu dukungan sosial untuk mampu menyesuaikan diri dengan situasi yang baru. Dukungan sosial keluarga menjadi suatu proses penting dimana setiap individu membutuhkan infomasi dari orang lain untuk proses penyesuaian diri. Dukungan sosial keluarga memberikan pengaruh yang cukup kuat kepada PNS yang akan menghadapi pensiun untuk mencegah kondisi cemas yang berlebihan. Melalui dukungan sosial tersebut, individu bisa merasakan adanya kelekatan, perasaan memilki, penghargaan serta adanya ikatan yang dapat dipercaya dapat memberikan bantuan dalam berbagai keadaan (Weiss, 1974). Sekarsari dan Susilawati (2014) dalam hasil penelitiannya menunjukkan bahwa PNS yang akan memasuki masa pensiun membutuhkan dukungan baik dari keluarga, rekan kerja, serta instansi. Dukungan yang berasal dari keluarga merupakan dukungan bentuk dukungan emosional dan dukungan informasi. Selain itu, persiapan-persiapan membutuhkan dukungan sosial pada PNS menjelang masa pensiun meliputi persiapan keuangan, kesehatan atau kebugaran, penyesuaian peran, kegiatan waktu luang, serta asuransi kesehatan.

  Berdasarkan kajian dan hasil penelitian sebelumnya yang telah diuraikan sebelumnya, penulis berasumsi bahwa dukungan sosial keluarga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kecemasan PNS yang akan menghadapi pensiun. Hal ini berarti semakin tinggi dukungan sosial keluarga, semakin rendah tingkat kecemasan PNS menghadapi pensiun. Dukungan sosial keluarga memberikan peluang kepada PNS untuk memperoleh bantuan baik secara psikis maupun materi untuk mencegah kecemasan yang berlebihan dalam menghadapi pensiun.

  2.6 Model Penelitian

  Penyesuaian Diri (X1)

  Kecemasan Menjelang

  Pensiun (Y)

  Dukungan Sosial Keluarga

  (X2)

  

Gambar 2.1

  2.7 Hipotesis Penelitian

  Berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya dan model penelitian yang ada, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah : Terdapat pengaruh penyesuaian diri dan dukungan sosial keluarga secara simultan terhadap kecemasan menjelang pensiun PNS Pemerintah Kota Ambon dengan jabatan struktural esselon II, III dan IV.

Dokumen yang terkait

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Manajemen Perubahan dalam Membangun Komitmen Karyawan: Suatu Studi pada PT. SEMEN (Persero) Kupang

0 2 31

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Sop Pemberian Penghargaan Guru untuk Meminimalisir Frekuensi Pergantian Guru pada Sebuah SMP Swasta di Salatiga

0 0 16

BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Standard Operating Procedure (SOP) Pemberian Penghargaan untuk Menekan Frekuensi Pergantian Guru 2.1.1. Pengertian Standard Operating Procedure - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Sop Pem

0 0 26

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Profil Sekolah - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Sop Pemberian Penghargaan Guru untuk Meminimalisir Frekuensi Pergantian Guru pada Sebuah SMP Swasta di Salatiga

0 0 23

Welcome to Repositori Universitas Muria Kudus - Repositori Universitas Muria Kudus

0 0 22

Welcome to Repositori Universitas Muria Kudus - Repositori Universitas Muria Kudus

0 0 24

Welcome to Repositori Universitas Muria Kudus - Repositori Universitas Muria Kudus

0 0 25

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Sop Pemberian Penghargaan Guru untuk Meminimalisir Frekuensi Pergantian Guru pada Sebuah SMP Swasta di Salatiga

0 0 28

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Tujuan Kebijakan Desentralisasi Manajemen Keuangan Yayasan pada Salah Satu SMA Swasta

0 0 20

1.1 Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penyesuaian Diri dan Dukungan Sosial Keluarga sebagai Prediktor Kecemasan Menjelang Pensiun Pegawai Negeri Sipil Pemerintah Kota Ambon dengan Jabatan Struktural Esselon II,

0 0 12