Sekilas Hukum Acara yang Baru tentang Hu
A. Latar Belakang Masalah
Pemerintah Republik Indonesia menerbitkan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat, selanjutnya akan disebut UU 5/1999 dengan pertimbangan sebagai
berikut: (1). bahwa pembangunan ekonomi harus berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945; (2). Pemerintah ingin agar setiap warga negara memiliki
kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam proses produksi dan
pemasaran barang dan atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan
efisien; (3). Setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam
situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya
pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu.
UU 5/1999 memberikan jaminan kepastian hukum untuk lebih mendorong
percepatan pembangunan ekonomi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan
umum, serta sebagai implementasi dari semangat dan jiwa Undang-Undang
Dasar 1945. UU 5/1999 adalah dasar hukum pembentukan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha yang selanjutnya disebut KPPU. Berdasarkan Pasal 30 ayt
(2), Komisi adalah suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan
kekuasaan Pemerintah serta pihak lain.
UU 5/1999 bagian Penjelasan Umum memaparkan bahwa para pengusaha
yang dekat dengan elit kekuasaan mendapatkan kemudahan-kemudahan yang
berlebihan sehingga berdampak kepada kesenjangan sosial. Muncul
konglomerasi dan sekelompok kecil pengusaha kuat yang tidak didukung oleh
semangat kewirausahaan sejati adalah salah satu faktor yang mengakibatkan
ketahanan ekonomi menjadi sangat rapuh dan tidak mampu bersaing.
Agar dunia usaha dapat tumbuh serta berkembang secara sehat dan benar,
sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang sehat, serta terhindarnya
pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu, antara
1
lain dalam bentuk praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang
merugikan masyarakat, yang bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial.
Berdasarkan Pasal 35 UU 5/1999, beberapa tugas KPPU ialah (a).
melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; (b). mengambil
tindakan sesuai dengan wewenang Komisi; (c). memberikan saran dan
pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
KPPU memiliki hukum acara dalam melakukan penyelidikan untuk
memberikan sanksi yang tepat bagi pihak yang diduga melanggar. Menurut
penelusuran penulis, terdapat beberapa peraturan yang menjadi dasar
penanganan perkara pelanggaran terhadap hukum persaingan usaha, yakni:
(1). Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; (2). Keppres Nomor 75 Tahun 1999
tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU, Keputusan,
Pedoman, maupun Petunjuk Teknis mengenai KPPU; (3). Keputusan KPPU
Nomor 5 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyampaian Laporan dan
Penanganan Adanya Pelanggaran Terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999; (4). HIR/RBg atau Hukum Acara Perdata, yakni untuk ketentuan hukum
acara perdata jika pelaku usaha menyatakan keberatan atas putusan komisi
sesuai dengan pasal 44 ayat (2) UU 5/1999 atau jika terdapat gugatan perdata
yang didasarkan pada adanya perbuatan melanggar hukum; (5). Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yakni untuk ketentuan
hukum acara pidana jika perkara tersebut dilimpahkan ke pihak penyidik
dengan Pasal 44 ayat (4) UU 5/1999. (6). Peraturan Komisi Pengawas
Persaingan Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di
KPPU; (7). Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun
2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara.
Namun, dalam hukum acara persaingan usaha terdapat hal-hal baru dan
diatur khusus oleh UU 5/1999, dan dewasa ini, UU 5/1999 akan diubah oleh
2
DPR dan Pemerintah dalam Rancangan Undang-Undang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Oleh karena itu, penulis akan
menganalisis dan mengkritisi hukum acara yang berlaku dan diatur dalam UU
5/1999 dan RUU tersebut.
B. Rumusan Masalah
Atas latar belakang tersebut, penulis mengambil rumusan masalah sebagai
berikut:
(1) Prinsip apa yang digunakan oleh KPPU dalam menetapkan pihak yang
melanggar UU 5/1999?
(2) Bagaimana prosedur dan tata cara penanganan perkara hukum acara oleh
KPPU?
(3) Apa perbedaan hukum acara persaingan usaha di UU 5/1999 dan RUU
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat?
3
C. Landasan Teori
1.
Asas dan Tujuan UU 5/1999
Berdasarkan Pasal 2 disebutkan bahwa “pelaku usaha di Indonesia dalam
menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan
memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan
kepentingan umum.
2.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
KPPU dalam sistem hukum Indonesia ditempatkan sebagai lembaga
peradilan tingkat awal, sehingga memungkinkan dilakukan upaya hukum bagi
para pelaku usaha. Keberatan terhadap putusan KPPU merupakan upaya
hukum bagi para pelaku usaha1.
Untuk mengawasi pelaksanaan UU 5/1999, dibentuklah KPPU yang
merupakan lembaga independen yang ‘terlepas’ dari pengaruh dan kekuasaan
pemerintah serta pihak lain2. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 30 UU
5/1999 yang isinya:
a) Untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang ini dibentuk Komisi
Pengawasa Persaingan Usaha yang selanjutnya disebut Komisi;
b) Komisi adalah suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan
kekuasaan pemerintah serta pihak lain;
c) Komisi bertanggung jawab kepada Presiden
Tugas KPPU diatur dalam ketentuan Pasal 35 dan Pasal 36 UU 5/1999,
beberapa diantaranya adalah:
1
Johnny Ibrahim, 2006, Hukum Persaingan Usaha, Filosofi, Teori, dan Implikasi Penerapannya
di Indonesia, Malang, Banyimedia Publishing, hlm.89.
2
Asril Sitompul, 1999, Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Tinjauan Terhadap
UU Nomor 5 Th.1999), Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.85
4
a) Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16;
b) Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku
usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehata sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai
dengan Pasal 24;
c) Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang komisi sebagaimana diatur
dalam Pasal 36.
Adapun wewenang KPPU diatur dalam Pasal 36, beberapa diantaranya
adalah sebagai berikut:
a) Menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang
dugaan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
b) Melalukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau
tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan atau persaigngan usaha tidak sehat;
c) Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang
dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini.
3.
Sanksi Administratif dan Pidana Tambahan
Komisi
Pengawas
Persaingan
Usaha
memiliki
wewenang
untuk
menjatuhkan sanksi ataupun tindakan administratif. Adapun berdasarkan Pasal
47 ayat (2) UU 5/1999, sanksi tersebut adalah:
a) Penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksu dalam Pasal 4
sampai dengan Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16;
b) Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; berdasarkan Penjelasan Pasal 47
5
ayat (2) huruf b, penghentian integrasi vertikal antara lain dilaksanakan
dengan pembatalan perjanjian, pengalihan sebagaian perusahaan kepada
pelaku usaha lain, atau perubahan bentuk rangakain produksinya
c) Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti
menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha
tidak sehat dan/atau merugikan masyarakat; Berdasarkan Penjelasan 47
huruf (c) yang diperintahkan untuk dihentikan adalah kegiatan atau
tindakan tertentu dan bukan kegiatan usaha pelaku usaha secara
keseluruhan.
d) Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi
dominan;
e) Penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan
pengambilalihan saham sebagaimana dimaksu dalam Pasal 28;
f) Penetapan pembayaran ganti rugi; Berdsarkan Penjelasan Pasal 47 ayat (2)
huruf f disebutkan bahwa ganti rugi diberikan kepada pelaku usaha dan
kepada pihak lain yang dirugikan.
g) Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp. 1.000.000.000 (satu miliar
rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh miliar
rupiah).
Pidana tambahan yang diatur oleh UU 5/1999 terdapat dalam Pasal 49
yakni sebagai berikut:
a) Pencabutan izin usaha;
b) Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran
terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau
komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, dan selama-lamanya 5 (lima)
tahun;
6
c) Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya
kerugian pada pihak lain.
D. Analisis
Kewenangan KPPU sebagai lembaga peradilan yang bersifat quasi atau
semu menjadi penentu bahwa KPPU bukan merupakan tulang punggung
dalam melaksanakan UU 5/1999. Kewenangan yang dimiliki KPPU begitu
besar namun UU 5/1999 menempatkan KPPU hanya sebagai lembaga yang
pertama kali memeriksa kasus-kasus pelanggaran UU 5/1999.
Secara teori terdapat 2 (dua) prinsip indikasi pelanggaran terhadap UU
5/1999 yakni Per se Illegal (Per Se Illegal Approach), dan Rule of Reason
(Rule of Reason Approach).
1.
Prinsip pendekatan Per Se Illegal
Prinsip ini adalah suatu pendekatan yang digunakan oleh lembaga KPPU,
prinsip ini menyatakan setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu sebagai
ilegal, tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan dari
perjanjian atau kegiatan usaha tertentu. Kegiatan yang dianggap per se illegal
biasanya meliputi penerapan harga secara kolusif atas produk tertentu, serta
pengaturan harga penjualan kembali. Singkatnya bahwa, per se illegal melihat
perilaku atau tindakan yang dilakukan adalah bertentangan dengan hukum.3
Dalam UU 5/1999, prinsip pendekatan per se biasanya dipergunakan
dalam pasal yang menyatakan dengan kalimat ‘dilarang’ tanpa kalimat
tambahan “.....yang dapat mengakibatkan....”, atau dapat mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat,
sebagaimana yang disyaratkan dalam prinsip pendekatan rule of reason.
Adapun pasal-pasal yang mengandung prinsip pendekatan per se adalah pasal
yang mengatur tentang Penetapan Harga (Pasal 5 ayat 1), Perjanjian Tertutup
(Pasal 15), Persekongkolan (Pasal 24), serta Posisi Dominan (Pasal 25 ayat 1).
3
Mustafa Kamal Rokan, 2010, Hukum Persaingan Usaha (Teori dan Praktiknya di Indonesia),
PT. Rajagrafindo, Jakarta, hlm.72.
7
2.
Prinsip Pendekatan Rule of Reason
Prinsip pendekatan rule of reason dalam persaingan usaha adalah
kebalikan dari dan lebih luas cakupannya jika dibandingkan dengan prinsip
per se illegal. Dalam prinsip pendekatan ini, penangangan terhadap perbuatan
yang dituduhkan melanggar UU 5/1999 harus atas dasar pertimbangan situasi
dan kondisi kasus. Perbuatan yang dituduhkan tersebut harus diteliti terlebih
dahulu, apakah perbuatan itu telah membatasi persaingan usaha secara tidak
patut. Oleh karena itu, disyaratkan bahwa penggugat dapat menunjukkan
akibat yang ditimbulkan dari perjanjian, kegiatan, dan posisi dominan yang
telah menghambat persaingan dan atau menyebabkan kerugian4.
Dalam UU 5/1999, umumnya mayotritas menggunakan prinsip pendekatan
rule of reason. Penggunaan rule of reason tergambar dalam konteks kalimat
yang membuka alternatif interpretasi bahwa tindakan tersebut harus
dibuktikan dahulu akibatnya secara keseluruhan dengan memenuhi unsurunsur yang ditentukan dalam UU 5/1999, apakah telah mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli ataupun praktik persaingan tidak sehat5.
Adapun pasal-pasal yang mengandung prinsip pendekatan rule of reason
adalah oligopoli, perjanjian pembagian wilayah (market allocation),
oligopsoni, kartel, trust, integrasi vertikal, monopoli, monopsoni, penguasaan
pasar, kegiatan menjual rugi (predatory pricing), persekongkolan tender,
jabatan rangkap, serta penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan.
3.
Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2010
tentang Tata Cara Penanganan Perkara
Penangangan perkara berdasarkan Peraturan KPPU 1/2010 dibedakan
menjadi 3 (tiga) jenis, yakni:
4
5
Ibid, hlm.66.
Mustafa Kamal Rokan, op.cit, hlm.67
8
a. Penanganan perkara berdasarkan laporan pelapor yang terdiri dari : (1).
Laporan; (2). Klarifikasi; (3). Penyelidikan; (4). Pemberkasan; (5). Sidang
majelis komisi; (6). Putusan Komisi.
b. Penanganan perkara berdasarkan laporan pelapor dengan permohonan
ganti rugi terdiri dari tahapan: (1). Laporan; (2). Klarifikasi; (3). Sidang
Majelis Komisi; (4). Putusan Majelis Komisi.
c. Penangangan perkara berdasarkan inisiatif komisi yang terdiri dari
tahapan, (1). Kajian; (2). Penelitian; (3). Pengawasan Pelaku Usaha; (4).
Penyelidikan; (5). Pemberkasan; (6). Sidang Majelis Komisi; (7). Putusan
Komisi.
Berikut adalah penjelasan mengenai tahapan penanganan perkara tersebut:
a. Pelaporan
Berdasarkan Pasal 11 Peraturan KPPU 1/2010, setiap orang yang
mengetahui telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran
terhadap Undang-undang dapat melaporkan kepada komisi dalam bentuk
tertulis;
b. Klarifikasi
Berdasarkan Pasal 12 Peraturan KPPU 1/2010, unit kerja yang menangani
laporan akan melakukan klarifikasi terhadap laporan tersebut, apakah
laporan tersebut merupakan kompetensi absolut, apakah laporan tersebut
jelas diduga dapat melanggar UU 5/1999.
c. Kajian KPPU
Berdasarkan Pasal 15 ,Komisi dapat melakukan penanganan perkara
berdasar data, tanpa adanya laporan, dan mengkaji sektor industri yang
memenuhi kriteria sebagai berikut: (1). Industri yang menguasai hajat
hidup orang banyak; (2). Industri strategis bagi negara; (3). Industri
dengan tingkat konsentrasi tinggi; (4). Industri unggulan daerah/nasional.
9
d. Penelitian
Berdasarkan Pasal 21 bahwa unit kerja yang menangani monitoring pelaku
usaha melakukan penelitian misalnya dengan melakukan survey pasar,
melakukan pengumpulan data dari pelaku usaha.
e. Penyelidikan
Bahwa berdasarkan Pasal 31, investigator KPPU melakukan penyelidikan
untuk memperoleh bukti yang cukup, kejelasan, dan kelengkapan dugaan
pelanggaran UU 5/1999. Penyelidik dapat memanggil dan meminta
keterangan pelapor, terlapor; dapat memanggil dan meminta keterangan
saksi; dapat melakukan pemeriksaan setempat. Berdasar Pasal 38, unit
kerja yang membidangi investigasi wajib menyampaikan perkembangan
hasil penyelidikan kepada Komisi paling lama 60 (enam puluh) hari sejak
dimulainya penyelidikan, dan Komisi dapat memperpanjang waktu.
Namun, berdasarkan analisis penulis, penentuan perpanjangan waktu tidak
disebutkan
sehingga
memberikan
ketidakpastian
hukum
terhadap
penyelesaian penyelidikan
f. Pemberkasan
Berdasar Pasal 1 angka (7), pemberkasan adalah serangkaian kegiatan
yang dilakukan oleh unit kerja yang menangani pemberkasan dan
penanganan perkara untuk meneliti kembali laporan hasil penyelidikan
guna menyusun rancangan laporan dugaan pelanggaran untuk dilakukan
gelar laporan.
g. Sidang Majelis Komisi
Berdasar Pasal 1 angka (21), sidang majelis komisi adalah serangkaian
kegiatan yang dilakukan oleh majelis komisi dalam sidang yang terbuka
untuk umum terdiri atas pemeriksaaan pendahuluan dan pemeriksaan
lanjutan untuk menilai ada atau tidak adanya bukti pelanggaran guna
menyimpulkan dan memutuskan telah terjadi atau tidak terjadinya
10
pelanggaran serta penjatuhan sanksi berupa tindakan administratif
sebagaimana diatur dalam Undang-undang. Berdasarkan Pasal 58 ayat (1),
Komisi
melakukan
musyawarah
majelis
komisi
untuk
menilai,
menganalisa, menyimpulkan, dan memutuskan perkara berdasarkan alat
bukti yang cukup tentang telah terjadi atau tidak terjadinya pelanggaran
terhadap Undang-undang yang terungkap dalam sidang majelis komisi.
4.
Hukum Acara dalam RUU Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat
Terdapat hal baru dalam RUU Antimonopoli yakni pengaturan tentang
Liniency. Pasal 74 ayat (1) RUU Antimonopoli mengatur bahwa KPPU dapat
memberikan pengampunan dan/atau pengurangan hukuman bagi pelaku usaha
yang mengakui dan/atau melaporkan perbuatannya yang diduga melanggar
ketentuan Pasal 4 tentang oligopoli, Pasal 5 tentang penetapan harga, Pasal 6
tentang larangan membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang
berbeda daripada pembeli lain, Pasal 7 tentang larangan membuat perjanjian
dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga
pasar, Pasal 8 tentang larangan tentang membuat perjanjian dengan pelaku
usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan/atau jasa
tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau/jasa yang
diterimanya, Pasal 9 tentang pembagian wilayah, Pasal 10 tentang
pemboikotan, Pasal 11 tentang kartel, Pasal 12 tentang Trust untuk
mengontrol produksi dan/atau pemasaran atas barng dan/atau jasa, Pasal 13
tentang oligopsoni, Pasal 14 tentang perjanjian tertutup, dan Pasal 21 tentang
jual rugi dan kecurangan biaya dengan maksud untuk menyingkirknan atau
mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan.
Pasal 74 ayat (2) RUU Antimonopoli tersebut mengatur bahwa
“pengampunan dan/atau pengurangan hukuman sebagaimana dimaksud dalam
pada ayat (1) diatur dalam Peraturan KPPU. Menurut analisis penulis,
pengaturan tentang liniency ini sangat baik, dan adil, serta memberikan
11
kepastian hukum, namun yang menjadi pertanyaan lebih lanjut, apakah pelaku
usaha tersebut mau ataupun beritikad baik untuk mengaku kepada KPPU?
Terdapat perbedaan upaya hukum/keberatan terhadap putusan KPPU
antara RUU Antimonopoli dan UU 5/1999. Pada Pasal 44 ayat (2) UU 5/1999
diatur bahwa pelaku usaha dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan
Negeri selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah menerima
pemberitahuan putusan tersebut. Berdasarkan Pasal 44 ayat (2) diatur bahwa
Pengadilan Negeri harus memberikan putusan dalam waktu 30 (tiga puluh)
hari sejak dimulainya pemeriksaan keberatan tersebut. Berdasarkan Pasal 44
ayat (3) diatur bahwa pihak yang keberatan terhadap Putusan Pengadilan
Negeri, dalam waktu 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi kepada
Mahkamah Agung, dan ayat (4) mengatur bahwa Mahkamah Agung harus
memberikan putusan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan
kasasi diterima.
RUU Antimonopoli mengatur berbeda tentang upaya hukum atau
keberatan atas Putusan KPPU. Pasal 90 ayat (1) RUU mengatur bahwa para
pihak dapat mengajukan keberatan terhadap putusan KPPU paling lama 30
(tiga puluh) hari terhitung sejak pembacaaan putusan KPPU, ayat (2)
mengatur bahwa keberatan tersebut dapat diajukan ke Pengadilan Niaga. Pasal
91 ayat (1) mengatur bahwa pengadilan niaga wajib memeriksa keberatan
dalam wktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya kebertan tersebut. Pasal
91 ayat (2) mengatur bahwa Pengadilan Niaga wajib memberikan putusan
dalam waktu 45 (empat puluh lima) hari kerja terhitung sejak dimulainya
pemeriksaan keberatan tersebut. Pasal 91 ayat (5) mengatur bahwa pihak yang
keberatan terhadap Puutsan Pengadilan Niaga, dalam waktu 14 (empat) belas
hari kerja dapa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, dan ayat (6)
mengatur bahwa Mahkamah Agung wajib memberikan putusan paling lama
60 (enam puluh) hari kerja.
Menurut analisis penulis, upaya hukum yang diajukan ke Pengadilan
Niaga, lebih memberikan kepastian hukum, dan rasa keadilan bagi para pihak,
12
karena kompetensi Hakim di Pengadilan Niaga tentu berbeda dengan hakim
pada pengadilan negeri pada umumnya. Walaupun, keberadaan Pengadilan
Niaga terdapat di Pengadilan Niaga. Penambahan waktu dalam memberikan
putusan baik di Pengadilan Niaga, dan Mahkamah Agung adalah baik karena
waktu yang diberikan pada UU 5/1999 adalah singkat, dan Hakim mungkin
kurang maksimal dalam memberikan keputusan karena keterbatasan waktu.
E. Kesimpulan
Atas pembahasan diatas, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai
berikut:
1.
Prinsip Yang Digunakan Oleh KPPU Dalam Menetapkan Pihak Yang
Melanggar UU 5/1999
Prinsip yang digunakan adalah prinsip pendekatan per se illegal dan
prinsip pendekatan rule of reason. Prinsip pendekatan per se illegal
dilaksanakan dengan menyatakan setiap perjanjian atau kegiatan usaha
tertentu sebagai ilegal, tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang
ditimbulkan, sedangkan prinsip rule of reason dilaksanakan dengan harus
diteliti terlebih dahulu, apakah perbuatan itu telah membatasi persaingan
usaha secara tidak patut
2.
Prosedur Dan Tata Cara Penanganan Perkara, Serta Kebaharuan
Hukum Acara Oleh KPPU
Prosedur dan tata cara penanganan perkara oleh KPPU diatur lebih lanjut
dalam Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara
Penanganan Perkara, dimana KPPU dapat menangani perkara atas dasar
aduan/laporan dari masyarakat, ataupun KPPU inisiatif ‘jemput bola’.
3.
Perbedaan Hukum Acara Persaingan Usaha Di UU 5/1999 Dan RUU
Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
13
Menurut penelusuran penulis pada RUU Antimonopoli, tidak terdapat
perbedaan signifikan pada RUU dan UU 5/1999. Hal baru yang diatur
dalam RUU adalah tentang liniency, dan jika ada keberatan terhadap
putusan
KPPU
harus
diajukan
kepada
Pengadilan
Niaga,
serta
perpanjangan waktu pemeriksaan keberatan diperpanjang oleh RUU.
Daftar Pusataka
Buku
Ibrahim, Johnny, 2006, Hukum Persaingan Usaha, Filosofi, Teori, dan Implikasi
Penerapannya di Indonesia, Malang, Banyimedia Publishing.
Kamal Rokan, Mustafa 2010, Hukum Persaingan Usaha (Teori dan Praktiknya di
Indonesia), PT. Rajagrafindo, Jakarta.
Sitompul,Asril 1999, Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat \
(Tinjauan Terhadap UU Nomor 5 Th.1999), Citra Aditya Bakti, Bandung.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999, Nomor, 33. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3817.
Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata
Cara Penanganan Perkara, Berita Negara Republik Indonesia.
Rancangan Undang-Undang tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat.
14
Pemerintah Republik Indonesia menerbitkan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat, selanjutnya akan disebut UU 5/1999 dengan pertimbangan sebagai
berikut: (1). bahwa pembangunan ekonomi harus berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945; (2). Pemerintah ingin agar setiap warga negara memiliki
kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam proses produksi dan
pemasaran barang dan atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan
efisien; (3). Setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam
situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya
pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu.
UU 5/1999 memberikan jaminan kepastian hukum untuk lebih mendorong
percepatan pembangunan ekonomi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan
umum, serta sebagai implementasi dari semangat dan jiwa Undang-Undang
Dasar 1945. UU 5/1999 adalah dasar hukum pembentukan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha yang selanjutnya disebut KPPU. Berdasarkan Pasal 30 ayt
(2), Komisi adalah suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan
kekuasaan Pemerintah serta pihak lain.
UU 5/1999 bagian Penjelasan Umum memaparkan bahwa para pengusaha
yang dekat dengan elit kekuasaan mendapatkan kemudahan-kemudahan yang
berlebihan sehingga berdampak kepada kesenjangan sosial. Muncul
konglomerasi dan sekelompok kecil pengusaha kuat yang tidak didukung oleh
semangat kewirausahaan sejati adalah salah satu faktor yang mengakibatkan
ketahanan ekonomi menjadi sangat rapuh dan tidak mampu bersaing.
Agar dunia usaha dapat tumbuh serta berkembang secara sehat dan benar,
sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang sehat, serta terhindarnya
pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu, antara
1
lain dalam bentuk praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang
merugikan masyarakat, yang bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial.
Berdasarkan Pasal 35 UU 5/1999, beberapa tugas KPPU ialah (a).
melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; (b). mengambil
tindakan sesuai dengan wewenang Komisi; (c). memberikan saran dan
pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
KPPU memiliki hukum acara dalam melakukan penyelidikan untuk
memberikan sanksi yang tepat bagi pihak yang diduga melanggar. Menurut
penelusuran penulis, terdapat beberapa peraturan yang menjadi dasar
penanganan perkara pelanggaran terhadap hukum persaingan usaha, yakni:
(1). Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; (2). Keppres Nomor 75 Tahun 1999
tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU, Keputusan,
Pedoman, maupun Petunjuk Teknis mengenai KPPU; (3). Keputusan KPPU
Nomor 5 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyampaian Laporan dan
Penanganan Adanya Pelanggaran Terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999; (4). HIR/RBg atau Hukum Acara Perdata, yakni untuk ketentuan hukum
acara perdata jika pelaku usaha menyatakan keberatan atas putusan komisi
sesuai dengan pasal 44 ayat (2) UU 5/1999 atau jika terdapat gugatan perdata
yang didasarkan pada adanya perbuatan melanggar hukum; (5). Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yakni untuk ketentuan
hukum acara pidana jika perkara tersebut dilimpahkan ke pihak penyidik
dengan Pasal 44 ayat (4) UU 5/1999. (6). Peraturan Komisi Pengawas
Persaingan Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di
KPPU; (7). Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun
2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara.
Namun, dalam hukum acara persaingan usaha terdapat hal-hal baru dan
diatur khusus oleh UU 5/1999, dan dewasa ini, UU 5/1999 akan diubah oleh
2
DPR dan Pemerintah dalam Rancangan Undang-Undang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Oleh karena itu, penulis akan
menganalisis dan mengkritisi hukum acara yang berlaku dan diatur dalam UU
5/1999 dan RUU tersebut.
B. Rumusan Masalah
Atas latar belakang tersebut, penulis mengambil rumusan masalah sebagai
berikut:
(1) Prinsip apa yang digunakan oleh KPPU dalam menetapkan pihak yang
melanggar UU 5/1999?
(2) Bagaimana prosedur dan tata cara penanganan perkara hukum acara oleh
KPPU?
(3) Apa perbedaan hukum acara persaingan usaha di UU 5/1999 dan RUU
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat?
3
C. Landasan Teori
1.
Asas dan Tujuan UU 5/1999
Berdasarkan Pasal 2 disebutkan bahwa “pelaku usaha di Indonesia dalam
menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan
memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan
kepentingan umum.
2.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
KPPU dalam sistem hukum Indonesia ditempatkan sebagai lembaga
peradilan tingkat awal, sehingga memungkinkan dilakukan upaya hukum bagi
para pelaku usaha. Keberatan terhadap putusan KPPU merupakan upaya
hukum bagi para pelaku usaha1.
Untuk mengawasi pelaksanaan UU 5/1999, dibentuklah KPPU yang
merupakan lembaga independen yang ‘terlepas’ dari pengaruh dan kekuasaan
pemerintah serta pihak lain2. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 30 UU
5/1999 yang isinya:
a) Untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang ini dibentuk Komisi
Pengawasa Persaingan Usaha yang selanjutnya disebut Komisi;
b) Komisi adalah suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan
kekuasaan pemerintah serta pihak lain;
c) Komisi bertanggung jawab kepada Presiden
Tugas KPPU diatur dalam ketentuan Pasal 35 dan Pasal 36 UU 5/1999,
beberapa diantaranya adalah:
1
Johnny Ibrahim, 2006, Hukum Persaingan Usaha, Filosofi, Teori, dan Implikasi Penerapannya
di Indonesia, Malang, Banyimedia Publishing, hlm.89.
2
Asril Sitompul, 1999, Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Tinjauan Terhadap
UU Nomor 5 Th.1999), Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.85
4
a) Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16;
b) Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku
usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehata sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai
dengan Pasal 24;
c) Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang komisi sebagaimana diatur
dalam Pasal 36.
Adapun wewenang KPPU diatur dalam Pasal 36, beberapa diantaranya
adalah sebagai berikut:
a) Menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang
dugaan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
b) Melalukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau
tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan atau persaigngan usaha tidak sehat;
c) Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang
dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini.
3.
Sanksi Administratif dan Pidana Tambahan
Komisi
Pengawas
Persaingan
Usaha
memiliki
wewenang
untuk
menjatuhkan sanksi ataupun tindakan administratif. Adapun berdasarkan Pasal
47 ayat (2) UU 5/1999, sanksi tersebut adalah:
a) Penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksu dalam Pasal 4
sampai dengan Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16;
b) Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; berdasarkan Penjelasan Pasal 47
5
ayat (2) huruf b, penghentian integrasi vertikal antara lain dilaksanakan
dengan pembatalan perjanjian, pengalihan sebagaian perusahaan kepada
pelaku usaha lain, atau perubahan bentuk rangakain produksinya
c) Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti
menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha
tidak sehat dan/atau merugikan masyarakat; Berdasarkan Penjelasan 47
huruf (c) yang diperintahkan untuk dihentikan adalah kegiatan atau
tindakan tertentu dan bukan kegiatan usaha pelaku usaha secara
keseluruhan.
d) Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi
dominan;
e) Penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan
pengambilalihan saham sebagaimana dimaksu dalam Pasal 28;
f) Penetapan pembayaran ganti rugi; Berdsarkan Penjelasan Pasal 47 ayat (2)
huruf f disebutkan bahwa ganti rugi diberikan kepada pelaku usaha dan
kepada pihak lain yang dirugikan.
g) Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp. 1.000.000.000 (satu miliar
rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh miliar
rupiah).
Pidana tambahan yang diatur oleh UU 5/1999 terdapat dalam Pasal 49
yakni sebagai berikut:
a) Pencabutan izin usaha;
b) Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran
terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau
komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, dan selama-lamanya 5 (lima)
tahun;
6
c) Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya
kerugian pada pihak lain.
D. Analisis
Kewenangan KPPU sebagai lembaga peradilan yang bersifat quasi atau
semu menjadi penentu bahwa KPPU bukan merupakan tulang punggung
dalam melaksanakan UU 5/1999. Kewenangan yang dimiliki KPPU begitu
besar namun UU 5/1999 menempatkan KPPU hanya sebagai lembaga yang
pertama kali memeriksa kasus-kasus pelanggaran UU 5/1999.
Secara teori terdapat 2 (dua) prinsip indikasi pelanggaran terhadap UU
5/1999 yakni Per se Illegal (Per Se Illegal Approach), dan Rule of Reason
(Rule of Reason Approach).
1.
Prinsip pendekatan Per Se Illegal
Prinsip ini adalah suatu pendekatan yang digunakan oleh lembaga KPPU,
prinsip ini menyatakan setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu sebagai
ilegal, tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan dari
perjanjian atau kegiatan usaha tertentu. Kegiatan yang dianggap per se illegal
biasanya meliputi penerapan harga secara kolusif atas produk tertentu, serta
pengaturan harga penjualan kembali. Singkatnya bahwa, per se illegal melihat
perilaku atau tindakan yang dilakukan adalah bertentangan dengan hukum.3
Dalam UU 5/1999, prinsip pendekatan per se biasanya dipergunakan
dalam pasal yang menyatakan dengan kalimat ‘dilarang’ tanpa kalimat
tambahan “.....yang dapat mengakibatkan....”, atau dapat mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat,
sebagaimana yang disyaratkan dalam prinsip pendekatan rule of reason.
Adapun pasal-pasal yang mengandung prinsip pendekatan per se adalah pasal
yang mengatur tentang Penetapan Harga (Pasal 5 ayat 1), Perjanjian Tertutup
(Pasal 15), Persekongkolan (Pasal 24), serta Posisi Dominan (Pasal 25 ayat 1).
3
Mustafa Kamal Rokan, 2010, Hukum Persaingan Usaha (Teori dan Praktiknya di Indonesia),
PT. Rajagrafindo, Jakarta, hlm.72.
7
2.
Prinsip Pendekatan Rule of Reason
Prinsip pendekatan rule of reason dalam persaingan usaha adalah
kebalikan dari dan lebih luas cakupannya jika dibandingkan dengan prinsip
per se illegal. Dalam prinsip pendekatan ini, penangangan terhadap perbuatan
yang dituduhkan melanggar UU 5/1999 harus atas dasar pertimbangan situasi
dan kondisi kasus. Perbuatan yang dituduhkan tersebut harus diteliti terlebih
dahulu, apakah perbuatan itu telah membatasi persaingan usaha secara tidak
patut. Oleh karena itu, disyaratkan bahwa penggugat dapat menunjukkan
akibat yang ditimbulkan dari perjanjian, kegiatan, dan posisi dominan yang
telah menghambat persaingan dan atau menyebabkan kerugian4.
Dalam UU 5/1999, umumnya mayotritas menggunakan prinsip pendekatan
rule of reason. Penggunaan rule of reason tergambar dalam konteks kalimat
yang membuka alternatif interpretasi bahwa tindakan tersebut harus
dibuktikan dahulu akibatnya secara keseluruhan dengan memenuhi unsurunsur yang ditentukan dalam UU 5/1999, apakah telah mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli ataupun praktik persaingan tidak sehat5.
Adapun pasal-pasal yang mengandung prinsip pendekatan rule of reason
adalah oligopoli, perjanjian pembagian wilayah (market allocation),
oligopsoni, kartel, trust, integrasi vertikal, monopoli, monopsoni, penguasaan
pasar, kegiatan menjual rugi (predatory pricing), persekongkolan tender,
jabatan rangkap, serta penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan.
3.
Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2010
tentang Tata Cara Penanganan Perkara
Penangangan perkara berdasarkan Peraturan KPPU 1/2010 dibedakan
menjadi 3 (tiga) jenis, yakni:
4
5
Ibid, hlm.66.
Mustafa Kamal Rokan, op.cit, hlm.67
8
a. Penanganan perkara berdasarkan laporan pelapor yang terdiri dari : (1).
Laporan; (2). Klarifikasi; (3). Penyelidikan; (4). Pemberkasan; (5). Sidang
majelis komisi; (6). Putusan Komisi.
b. Penanganan perkara berdasarkan laporan pelapor dengan permohonan
ganti rugi terdiri dari tahapan: (1). Laporan; (2). Klarifikasi; (3). Sidang
Majelis Komisi; (4). Putusan Majelis Komisi.
c. Penangangan perkara berdasarkan inisiatif komisi yang terdiri dari
tahapan, (1). Kajian; (2). Penelitian; (3). Pengawasan Pelaku Usaha; (4).
Penyelidikan; (5). Pemberkasan; (6). Sidang Majelis Komisi; (7). Putusan
Komisi.
Berikut adalah penjelasan mengenai tahapan penanganan perkara tersebut:
a. Pelaporan
Berdasarkan Pasal 11 Peraturan KPPU 1/2010, setiap orang yang
mengetahui telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran
terhadap Undang-undang dapat melaporkan kepada komisi dalam bentuk
tertulis;
b. Klarifikasi
Berdasarkan Pasal 12 Peraturan KPPU 1/2010, unit kerja yang menangani
laporan akan melakukan klarifikasi terhadap laporan tersebut, apakah
laporan tersebut merupakan kompetensi absolut, apakah laporan tersebut
jelas diduga dapat melanggar UU 5/1999.
c. Kajian KPPU
Berdasarkan Pasal 15 ,Komisi dapat melakukan penanganan perkara
berdasar data, tanpa adanya laporan, dan mengkaji sektor industri yang
memenuhi kriteria sebagai berikut: (1). Industri yang menguasai hajat
hidup orang banyak; (2). Industri strategis bagi negara; (3). Industri
dengan tingkat konsentrasi tinggi; (4). Industri unggulan daerah/nasional.
9
d. Penelitian
Berdasarkan Pasal 21 bahwa unit kerja yang menangani monitoring pelaku
usaha melakukan penelitian misalnya dengan melakukan survey pasar,
melakukan pengumpulan data dari pelaku usaha.
e. Penyelidikan
Bahwa berdasarkan Pasal 31, investigator KPPU melakukan penyelidikan
untuk memperoleh bukti yang cukup, kejelasan, dan kelengkapan dugaan
pelanggaran UU 5/1999. Penyelidik dapat memanggil dan meminta
keterangan pelapor, terlapor; dapat memanggil dan meminta keterangan
saksi; dapat melakukan pemeriksaan setempat. Berdasar Pasal 38, unit
kerja yang membidangi investigasi wajib menyampaikan perkembangan
hasil penyelidikan kepada Komisi paling lama 60 (enam puluh) hari sejak
dimulainya penyelidikan, dan Komisi dapat memperpanjang waktu.
Namun, berdasarkan analisis penulis, penentuan perpanjangan waktu tidak
disebutkan
sehingga
memberikan
ketidakpastian
hukum
terhadap
penyelesaian penyelidikan
f. Pemberkasan
Berdasar Pasal 1 angka (7), pemberkasan adalah serangkaian kegiatan
yang dilakukan oleh unit kerja yang menangani pemberkasan dan
penanganan perkara untuk meneliti kembali laporan hasil penyelidikan
guna menyusun rancangan laporan dugaan pelanggaran untuk dilakukan
gelar laporan.
g. Sidang Majelis Komisi
Berdasar Pasal 1 angka (21), sidang majelis komisi adalah serangkaian
kegiatan yang dilakukan oleh majelis komisi dalam sidang yang terbuka
untuk umum terdiri atas pemeriksaaan pendahuluan dan pemeriksaan
lanjutan untuk menilai ada atau tidak adanya bukti pelanggaran guna
menyimpulkan dan memutuskan telah terjadi atau tidak terjadinya
10
pelanggaran serta penjatuhan sanksi berupa tindakan administratif
sebagaimana diatur dalam Undang-undang. Berdasarkan Pasal 58 ayat (1),
Komisi
melakukan
musyawarah
majelis
komisi
untuk
menilai,
menganalisa, menyimpulkan, dan memutuskan perkara berdasarkan alat
bukti yang cukup tentang telah terjadi atau tidak terjadinya pelanggaran
terhadap Undang-undang yang terungkap dalam sidang majelis komisi.
4.
Hukum Acara dalam RUU Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat
Terdapat hal baru dalam RUU Antimonopoli yakni pengaturan tentang
Liniency. Pasal 74 ayat (1) RUU Antimonopoli mengatur bahwa KPPU dapat
memberikan pengampunan dan/atau pengurangan hukuman bagi pelaku usaha
yang mengakui dan/atau melaporkan perbuatannya yang diduga melanggar
ketentuan Pasal 4 tentang oligopoli, Pasal 5 tentang penetapan harga, Pasal 6
tentang larangan membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang
berbeda daripada pembeli lain, Pasal 7 tentang larangan membuat perjanjian
dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga
pasar, Pasal 8 tentang larangan tentang membuat perjanjian dengan pelaku
usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan/atau jasa
tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau/jasa yang
diterimanya, Pasal 9 tentang pembagian wilayah, Pasal 10 tentang
pemboikotan, Pasal 11 tentang kartel, Pasal 12 tentang Trust untuk
mengontrol produksi dan/atau pemasaran atas barng dan/atau jasa, Pasal 13
tentang oligopsoni, Pasal 14 tentang perjanjian tertutup, dan Pasal 21 tentang
jual rugi dan kecurangan biaya dengan maksud untuk menyingkirknan atau
mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan.
Pasal 74 ayat (2) RUU Antimonopoli tersebut mengatur bahwa
“pengampunan dan/atau pengurangan hukuman sebagaimana dimaksud dalam
pada ayat (1) diatur dalam Peraturan KPPU. Menurut analisis penulis,
pengaturan tentang liniency ini sangat baik, dan adil, serta memberikan
11
kepastian hukum, namun yang menjadi pertanyaan lebih lanjut, apakah pelaku
usaha tersebut mau ataupun beritikad baik untuk mengaku kepada KPPU?
Terdapat perbedaan upaya hukum/keberatan terhadap putusan KPPU
antara RUU Antimonopoli dan UU 5/1999. Pada Pasal 44 ayat (2) UU 5/1999
diatur bahwa pelaku usaha dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan
Negeri selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah menerima
pemberitahuan putusan tersebut. Berdasarkan Pasal 44 ayat (2) diatur bahwa
Pengadilan Negeri harus memberikan putusan dalam waktu 30 (tiga puluh)
hari sejak dimulainya pemeriksaan keberatan tersebut. Berdasarkan Pasal 44
ayat (3) diatur bahwa pihak yang keberatan terhadap Putusan Pengadilan
Negeri, dalam waktu 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi kepada
Mahkamah Agung, dan ayat (4) mengatur bahwa Mahkamah Agung harus
memberikan putusan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan
kasasi diterima.
RUU Antimonopoli mengatur berbeda tentang upaya hukum atau
keberatan atas Putusan KPPU. Pasal 90 ayat (1) RUU mengatur bahwa para
pihak dapat mengajukan keberatan terhadap putusan KPPU paling lama 30
(tiga puluh) hari terhitung sejak pembacaaan putusan KPPU, ayat (2)
mengatur bahwa keberatan tersebut dapat diajukan ke Pengadilan Niaga. Pasal
91 ayat (1) mengatur bahwa pengadilan niaga wajib memeriksa keberatan
dalam wktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya kebertan tersebut. Pasal
91 ayat (2) mengatur bahwa Pengadilan Niaga wajib memberikan putusan
dalam waktu 45 (empat puluh lima) hari kerja terhitung sejak dimulainya
pemeriksaan keberatan tersebut. Pasal 91 ayat (5) mengatur bahwa pihak yang
keberatan terhadap Puutsan Pengadilan Niaga, dalam waktu 14 (empat) belas
hari kerja dapa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, dan ayat (6)
mengatur bahwa Mahkamah Agung wajib memberikan putusan paling lama
60 (enam puluh) hari kerja.
Menurut analisis penulis, upaya hukum yang diajukan ke Pengadilan
Niaga, lebih memberikan kepastian hukum, dan rasa keadilan bagi para pihak,
12
karena kompetensi Hakim di Pengadilan Niaga tentu berbeda dengan hakim
pada pengadilan negeri pada umumnya. Walaupun, keberadaan Pengadilan
Niaga terdapat di Pengadilan Niaga. Penambahan waktu dalam memberikan
putusan baik di Pengadilan Niaga, dan Mahkamah Agung adalah baik karena
waktu yang diberikan pada UU 5/1999 adalah singkat, dan Hakim mungkin
kurang maksimal dalam memberikan keputusan karena keterbatasan waktu.
E. Kesimpulan
Atas pembahasan diatas, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai
berikut:
1.
Prinsip Yang Digunakan Oleh KPPU Dalam Menetapkan Pihak Yang
Melanggar UU 5/1999
Prinsip yang digunakan adalah prinsip pendekatan per se illegal dan
prinsip pendekatan rule of reason. Prinsip pendekatan per se illegal
dilaksanakan dengan menyatakan setiap perjanjian atau kegiatan usaha
tertentu sebagai ilegal, tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang
ditimbulkan, sedangkan prinsip rule of reason dilaksanakan dengan harus
diteliti terlebih dahulu, apakah perbuatan itu telah membatasi persaingan
usaha secara tidak patut
2.
Prosedur Dan Tata Cara Penanganan Perkara, Serta Kebaharuan
Hukum Acara Oleh KPPU
Prosedur dan tata cara penanganan perkara oleh KPPU diatur lebih lanjut
dalam Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara
Penanganan Perkara, dimana KPPU dapat menangani perkara atas dasar
aduan/laporan dari masyarakat, ataupun KPPU inisiatif ‘jemput bola’.
3.
Perbedaan Hukum Acara Persaingan Usaha Di UU 5/1999 Dan RUU
Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
13
Menurut penelusuran penulis pada RUU Antimonopoli, tidak terdapat
perbedaan signifikan pada RUU dan UU 5/1999. Hal baru yang diatur
dalam RUU adalah tentang liniency, dan jika ada keberatan terhadap
putusan
KPPU
harus
diajukan
kepada
Pengadilan
Niaga,
serta
perpanjangan waktu pemeriksaan keberatan diperpanjang oleh RUU.
Daftar Pusataka
Buku
Ibrahim, Johnny, 2006, Hukum Persaingan Usaha, Filosofi, Teori, dan Implikasi
Penerapannya di Indonesia, Malang, Banyimedia Publishing.
Kamal Rokan, Mustafa 2010, Hukum Persaingan Usaha (Teori dan Praktiknya di
Indonesia), PT. Rajagrafindo, Jakarta.
Sitompul,Asril 1999, Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat \
(Tinjauan Terhadap UU Nomor 5 Th.1999), Citra Aditya Bakti, Bandung.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999, Nomor, 33. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3817.
Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata
Cara Penanganan Perkara, Berita Negara Republik Indonesia.
Rancangan Undang-Undang tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat.
14