Sekilas Mengenai Pendidikan Anak Berbaka

Sekilas Mengenai Pendidikan Anak Berbakat
Ignatius Dharta Ranu Wijaya
Aspek Historis
Upaya pemerintah untuk memberikan pelayanan pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki
potensi kecerdasan dan bakat istimewa sebenarnya telah dilakukan sejak tahun 1974 dengan pemberian
beasiswa bagi siswa Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas
(SMA), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang berbakat dan berprestasi tinggi tetapi lemah
kemampuan ekonomi dan keluarganya. Selanjutnya pada tahun 1982, Balitbang Dikbud membentuk
Kelompok Kerja Pengembangan Pendidikan Anak Berbakat (KKPPAB). Tahun 1998 Depdiknas
memberikan Surat Keputusan Penetapan Penyelenggaraan Program Percepatan Belajar. Kelompok Kerja
ini mewakili unsur-unsur struktural serta unsur-unsur keahlian seperti Balitbang Dikbud, Ditje
Dikdasmen, Ditjen Dikti, Perguruan Tinggi, serta unsur keahlian di bidang sains, matematika, teknologi
(elektronika, otomotif, dan pertanian), bahasa dan humaniora, serta psikologi. Kelompok kerja tersebut
antara lain bertugas untuk mengembangkan ”Rencana Induk Pengembangan Pendidikan Anak Berbakat”,
serta merencanakan, mengembangkan, menyelenggarkan, dan menilai kegiatan-kegiatan yang sesuai
dengan rencana induk pengembangan anak berbakat kemudian, pada tahun 1984 Balitbang Dikbud
menyelenggarakan perintisan pelayanan pendidikan anak berbakat dari tingkat SD, SMP, dan SMA di
satu daerah perkotaan (Jakarta) dan satu daerah pedesaan (Kabupaten Cianjur).
Pola Pelayanan pendidikan untuk anak berbakat istimewa dilakukan di kelas khusus di luar program
kelas reguler pada waktu-waktu tertentu atau dikumpulkan dalam satu sekolah di setiap Provinsi yang
juga mengeluarkan biaya yang luar biasa besar yang dialokasikan oleh pemerintah daerah perintisan

pelayanan pendidikan bagi anak berbakat ini pada tahun 1986 dihentikan tetapi daerah masih terus
melanjutkan pada tahun 1994 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengembangkan program
Sekolah Unggul (Schools of Excellence) di seluruh propinsi sebagai langkah awal kembali untuk
menyediakan program pelayanan khusus bagi peserta didik dengan cara mengembangkan aneka bakat
dan kreativitas yang dimilikinya. Namun akhirnya, program ini dianggap tidak cukup memberikan
dampak positif pada siswa berbakat untuk mengembangkan potensi intelektualnya yang tinggi. Keluhan
yang muncul di lapangan secara bersamaan didukung oleh temuan studi terhadap 20 SMA Unggulan di
Indonesia yang menunjukkan 21,75 % siswa SMA Unggulan hanya mempunyai kecerdasan umum yang
berfungsi pada taraf di bawah rata-rata, sedangkan mereka yang tergolong anak memiliki potensi

kecerdasan dan bakat istimewa hanya 9,7 % (Reni H., dkk., 1998 – pedoman penyelenggaraan
program percepatan belajar Depdiknas hal 4).
Landasan Hukum
Perhatian pemerintah untuk memberikan pelayanan pendidikan bagi anak yang memiliki potensi
kecerdasan dan bakat istimewa secara tegas telah dinyatakan sejak Garis-Garis Besar Haluan Negara
(GBHN) Tahun 1983, dan 2004 yang menyebut kan: “… Demikian pula perhatian khusus perlu
diberikan kepada anak -anak yang berbakat istimewa agar mereka dapat mengembangkan
kemampuannya secara maksimal”.
Tekad tersebut berlanjut terus dan dipertahankan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara berikutnya
yaitu GBHN Tahun 1988, yang berbunyi: “Anak didik berbakat istimewa perlu mendapat perhatian

khusus agar mereka dapat mengembangkan kemampuan sesuai dengan tingkat pertumbuhan
pribadinya“; GBHN Tahun 1993 menyatakan “Peserta didik yang memiliki tingkat kecerdasan luar
biasa perlu mendapat perhatian khusus agar dapat dipacu perkembangan prestasi dan bakatnya”; dan
selanjutnya GBHN Tahun 1998 mengamanatkan bahwa : “Peserta didik yang memiliki tingkat
kecerdasan luar biasa mendapat perhatian dan pelajaran lebih khusus agar dapat dipacu
perkembangan prestasi dan bakatnya tanpa mengabaikan potensi peserta didik lainnya. ”
Undang–Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam Pasal 8 ayat (2)
menegaskan bahwa:“Warga negara yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa berhak
memperoleh perhatian khusus.” Begitu pula dalam Pasal 24 dinyatakan bahwa “setiap peserta didik pada
suatu satuan pendidikan mempunyai hak-hak sebagai berikut: (1) mendapat perlakuan sesuai dengan
bakat, minat, dan kemampuannya; (2) mengikuti program pendidikan yang bersangkutan atas dasar
pendidikan berkelanjutan, baik untuk mengembangkan kemampuan diri, maupun untuk memperoleh
pengakuan tingkat pendidikan tertentu yang telah dibakukan; (6) menyelesaikan program pendidikan
lebih awal dari waktu yang telah ditentukan”. Kesungguhan untuk mengembangkan pendidikan bagi
anak yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa ditekankan pula oleh Presiden Republik
Indonesia ketika menerima anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN) tanggal 19
Januari 1991, yang menyatakan bahwa: “ Agar lebih memperhatikan pelayanan pendidikan terhadap
anak-anak yang mempunyaikemampuan dan kecerdasan luar biasa. ”
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) kembali
menegaskan bahwa: “Warga Negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak


memperoleh pendidikan khusus ” (pasal 5 ayat 4). Begitu pula dalam pasal 12 ayat 1 dinyatakan bahwa:
“setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: (b) mendapatkan pelayanan pendidikan
sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya; (f) menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan
kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan”
UU Sisdiknas sangat menghargai dan berakar pada martabat peserta didik dengan segala keunikannya.
Fungsi dan tujuan pendidikan sebagaimana dinyatakan pada Pasal 3 jelas-jelas menegaskan tujuan Utuh
Pendidikan Nasional (TUPN). Secara filosofis ada tiga domain TUPN sebagai satu keutuhan, yaitu:
(1) tujuan eksistensial yang terefleksikan dalam perkembangan kemampuan, watak atau karakter,
dan peradaban bangsa yang bermartabat;
(2) tujuan kolektif terwujud dalam kecerdasan kehidupan bangsa
(3) tujuan individual terwujud dalam perkembangan potensi peserta didik.
Kajian Teoretik Keberbakatan
Beberapa kajian mengenai keberbakatan telah disampaikan oleh beberapa ahli, antara lain adalah:
a. Heller (2004)
Mengembangkan

model

multifaktor


yang

merupakan

pengembangan

dari

Triadic

Interdependence model Monks serta Multiple Intellegences dari Howard Gardner. Menurut
Heller konsep keberbakatan dapat ditinjau berdasarkan empat dimensi multifaktor yang saling
terkait satu sama lain:
1. Faktor talenta (talent) yang relatif mandiri,
2. Faktor kinerja (performance)
3. Faktor kepribadian, dan
4. Faktor lingkungan;
Dua faktor terakhir menjadi perantara untuk terjadinya transisi dari talenta menjadi kinerja.
Faktor bakat (talent) sebagai potensi yang ada di dalam individu dapat meramalkan aktualisasi

kinerja (performance) dalam area yang spesifik. Bakat ini mencakup tujuh area yang masing masing berdiri sendiri, yaitu : kemampuan intelektual, kemampuan kreatif, kompetensi sosial,
kecerdasan praktis, kemampuan artistik, musikalitas, dan keterampilan psikomotor. Sementara
itu faktor kinerja (performance) meliputi delapan area kinerja, yaitu matematika, ilmu
pengetahuan alam, teknologi, komputer, seni (musik, lukis), bahasa, olah raga, serta relasi sosial.
b. Renzulli (1981, 2005)

The “three-Ring Conception” atau konsepsi tiga cincin dari Renzulli menyatakan bahwa tiga ciri
pokok yang merupakan kriteria (persyaratan) keberbakatan (giftedness) adalah adanya
keterkaitan antara:
Kreatifitas
Kapasitas Komitmen
Intelektual terhadap
tugas

1. Kemampuan umum (kapasitas intelektual) dan/atau kemampuan khusus di atas rata-rata.
2. Kreativitas di atas rata-rata.
3. Pengikatan diri terhadap tugas (task commitment) yang cukup tinggi.
c. Renzulli-Monks yang merupakan pengembangan dari Konsepsi Tiga Cincin Keberbakatan dari
Renzulli.
Model Renzulli-Monks ini disebut model multifactor yang melengkapi Konsepsi Tiga Cincin

Keberbakatan dari Renzulli. Dalam model multi faktornya Monks mengatakan bahwa potensi
kecerdasan istimewa (giftedness) yang dikemukakan oleh Renzulli tidak akan terwujud jika tidak
mendapatkan dukungan yang baik dari sekolah, keluarga, dan lingkungan dimana anak tinggal
(Monks dan Ypenburg, 1995).

Keluarga

LingkunganSekolah

Pendidikan anak cerdas istimewa tidak dapat dilepaskan dari peran orangtua dan lingkungan
dalam menanggapi gejala-gejala kecerdasan istimewa yang dimiliki, toleran terhadap berbagai

karakteristik yang ditampilkannya baik yang positif maupun berbagai gangguan tumbuh
kembangnya yang menjadi penghambat baginya, serta dalam mengupayakan layanan
pendidikanyang terbaik baginya. Lebih lanjut model pendekatan ini menuntut keterlibatan pihak
orangtua dalam pengasuhan di rumah agar berpartisipasi secara penuh dan simultan dengan
layanan pendidikan di sekolah.
Konsep-konsep keberbakatan di atas semakin berkembang dengan adanya model multipleintelligence
dari Howard Gardner (1983). Gardner menjelaskan bahwa intelegensi bukan merupakan suatu konstruk
unit tunggal namun merupakan konstruk sejumlah kemampuan yang masing-masing dapat berdiri

sendiri. Pendapatnya ini seiring dengan jalan yang ditempuh oleh para psikolog untuk memahami
kembali apa yang dimaksud dan bagaimana cara mengukur intelegensi. Semua sepakat bahwa
intelegensi tidak dapat diukur melalui pengukuran kemampuan skolastik semata. Gardner berpendapat
bahwa manusia memiliki 7 dimensi yang semi otonom dan bahkan saat ini telah berkembang lagi
menjadi 9 jenis intelegensi.
“Multidimensional model consists of seven relatively independent ability factor groups
(predictors), and various performance domains (criterion variables), as well as personality
(e.g., motivational) and social environ-mental factor that serve as moderators for the transition
of individual potentials into excellent performances in various domains.”
(menurut Heller et al., 1992, 2001).
Pengembangan model tersebut kemudian dipengaruhi juga oleh pembentukan pengetahuan dan rutinitas
dalam suatu perjalanan yang panjang dan intens dari proses belajar (Ziegler, 1997).
Identifikasi Keberbakatan
Keberbakatan itu bersifat multidimensional, kriterianya tidak hanya intelligensi, melainkan kreativitas,
kepemimpinan, komitmen pada tugas, prestasi akademik, motivasi dan lain-lain. Rnzulli dkk. (1979)
dalam Dedi Supriadi (1992; 10) mengembangkan skala yang disebut Scales for Rating Behavioral
Characteristices of Superor Students (SRBCSS) yang mencakup sepuluh karakteristik; belajar, motivasi,
kreativitas, kepemimpinan, artistik, musik, drama, komunikasi, komunikasi eksprsif, dan perencanaan.
Penjaringan terhadap keberbakatan intelektual dalam kelompok populasi tertentu pada umumnya
bertolak dari perkiraan kurang lebih 15 % sampai 25 % populasi yang secara kasar merupakan

identifikasi permulaan dalam menghadapi seleksi yang lebih cermat.

Alat yang dapat dipergunakan dalam melakukan identifikasi anak berbakat diantaranya adalah :
1. Kemampuan intelektual umum; Galton dalam Conny Semiawan (1994; 124) “Pengukuran
kemampuan intelektual umum diperoleh melalui pengukuran kekuatan otot, kecakapan gerak,
sensitivitas terhadap rasa sakit, kecermatan dalam pendengaran dan penglihatan, perbedaan
dalam ingatan dan lain-lain yang semua disebut “tes mental”.
2. Tes inteligensi umum; Salah satu perkembangan yang amat penting dalam pengmbangan
pengukuran intelegensi adalah timbulnya skala Wechsler dalam mengukur inteligensi orang
dewasa dengan menggunakan norma tes bagi perhitungan IQ yang menyimpang.
3. Tes kelompok kontra tes individual; Tes kelompok l ebih banyak digunakan dalam sistem
pendidikan, pelayanan pegawai, industri dan militer. Tes kelompok dirancang untuk sekelompok
tertentu, biasanya tes kelompok menyediakan lembar jawaban dan “kunci-kunci” tes. Bentuk tes
kelompok berbda dari tes individual dalam menyusun item dan kebanyakan menggunakan item
pilihan ganda.
4. Pengukuran hasil belajar; Tes ini mengukur hasil belajar setelah mengikuti proses pendidikan.
Tes hasil belajar ini berbeda dengan tes bakat, tes inteligensi, tes hasil belajar pada umumnya
merupakan evaluasi terminal untuk menentukan kedudukan individu setelah menyelesaikan
suatu latihan atau pendidikan tertentu. Penekanannya terutama pada apa yang dapat dilakukan
individu saat itu setelah mendapatkan pendidikan tertentu.

5. Tes hasil belajar individual; Pada umumnya tes hasil belajar adalah tes kelompok yang
bermaksud membandingkan kemajuan belajar antar individu sebaya, namun di sini hanya hasil
belajar individual saja. Di Indonesia sering menggunakan pengukuran acuan norma (PAN) dan
pengukuran acuan kriteria (PAK).
Penilaian yang baik akan menempatkan peserta didik dengan keberbakatan pada posisi yang
menguntungkan dalam arti tidak menuntut peserta didik melakukan pekerjaan atau kinerja yang tidak
sesuai dengan kemampuannya. Identifikasi ini biasanya berguna bagi peramalan tentang kinerja tertentu
di dalam waktu yang akan datang.
Layanan Pendidikan
Model layanan pendidikan bagi para peserta didik berbakat, unggul, cerdas, berbakat (gifted students)
hingga kini masih menjadi wacana yang sangat menarik, baik bagi pemerintah maupun masyarakat

tentang pola layanan pendidikan anak cerdas berbakat. Bahkan menjadi lebih menarik lagi, karena
banyak terjadi miskonsepsi terhadap keberbakatan. Namun demikian, beberapa pokok layanan yang
dapat disebutkan di sekolah bagi peserta didik berbakat, antaranya adalah:
1. Kurikulum
Kurikulum berdiferensiasi bagi anak berbakat mengacu pada penanjakan kehidupan mental melalui
berbagai program yang akan menumbuhkan kreativitasnya serta mencakup berbagai pengalaman belajar
intelektual pada tingkat tinggi. Dilihat dari kebutuhan perkembangan anak berbakat, maka kurikulum
berdiferensiasi memperhatikan perbedaaan kualitatif individu berbakat dengan individu lainnya. Dalam

kurikulum berdeferensiasi terjadi penggemukan materi, artinya materi kurikulum diperluas atau
diperdalam tanpa menjadi lebih banyak. Secara kualitatif materi pelajaran berubah daalam penggemukan
beberapa konsep esensial dari urikulum umum sesuai dengan tuntutan bakat, perilaku, keterampilan dan
pengetahuan serta sifat luar biasa anak berbakat. Dengan demikian, kurikulum pendidikan seyogyanya
bisa mengakomodasi dimensi vertikal maupun horisontal pendidikan anak. Secara vertikal, anak-anak
berbakat harus dimungkinkan untuk menyelesaikannya pendidikannya lebih cepat. Secara horisontal,
disediakan program pengayaan (enrichment), dimana siswa berbakat dimungkinkan untuk menerima
materi tambahan, baik dengan tugas-tugas maupun sumber-sumber belajar tambahan, baik dengan tugastugas maupun sumber-sumber belajar tambahan.
2. Model Pembelajaran
Untuk layanan pendidikan terhadap anak berbakat ini ada beberapa model yang dapat digunakan, yaitu;
pengayaan, percepatan, dan segregasi. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Philip E. Veron (1979; 42)
sebagai berikut; “Acceleration, segregation, and enrichment”. Sedangkan David G. Amstrong and Tom .
Savage (19883; 327) mengemukakan dua model, yaitu; “Enrich ment and acceleration”.
Penjelasan dari mode-model di atas adalah sebagai berikut :
1. Pengayaan (enrichment) dalam model enrichment ini anak mendapatkan pembelajaran tambahan
sebagai pengayaan. Pengayaan ini dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu sebagai berikut :
a. Secara vertikal; Cara ini untuk memperdalam salah satu atau sekelompok mata pelajaran
tertentu. Anak diberi kesempatan untuk aktif memperdalam ilmu Pengetahuan yang
disenangi, sehingga menguasai materi pelajaran secara luas dan mendalam.
b. Secara horizontal; Anak diberi kesempatan untuk memperluas pengetahuan dengan tambahan

atau pengayaan yang berhubungan dengan pelajaran yang sedang dipelajari.

2. Percepatan (scceleration) secara konvensional bagi anak yang memiliki kemampuan superior
dipromosikan untuk naik kelas lebih awal dari biasa nya. Dalam percepatan ini ada beberapa cara
yang dapat dilakukan, yaitu sebagai berikut :
a. Masuk sekolah lebih awal/sebelum waktunya (early admission), misalnya sebelum usia 6
tahun, dengan catatan bahwa anak sudah matang untuk masuk Sekolah Dasar.
b. Loncat kelas (grade skipping) atau skipping class, misalnya karena kemampuannya luar biasa
pada salah satu kelas, maka langsung dinaikkan ke kelas yang lebih tinggi satu tingkat (dari
kelas satu langsung ke kelas tiga).
c. Penambahan pelajaran dari tingkatan di atasnya, sehingga dapat menyelesaikan materi
pelajaran lebih awal.
d. Maju berkelanjutan tanpa adanya tingkatan kelas. Dalam hal ini sekolah tidak mengenal
tingkatan, tetapi menggunakan sistem kredit. Ini berarti anak berbakat dapat maju terus
sesuai dengan kemampuannya tanpa menunggu teman-teman yang lainnya.
3. Segregasi Anak-anak berbakat dikelompokkan ke dalam satu kelompok yang disebut “ability
grouping” dan diberi kesempatan untuk memperoleh pengalaman belajar yang sesuai dengan
potensinya. Mengenai sistem penyelenggaraan pendidikan, selain yang telah dikemukakan di
atas, ada beberapa sistem dalam pendidikan bagi anak berbajat, yaitu; (1) Sekolah khusus, (2)
Kelas khuus, dan (Terintegrasi dalam kelas reguler atau normal dengan perlakukan khusus.
Model pertama dan ke dua nampaknya banyak mengundang kritik, karena cenderung eksklusif
dan elit, sehingga bisa menimbulkan kecemburuan sosial. Kedua sistem ini hanya bisa dilakukan
untuk bidang-bidang tertenu saja. Model yang kini populer adalah sistem dimana anak -anak
berbakat diintegrasikan dalam kelas reguler atau normal. Cara ini mempunyai banyak
keuntungan bagi perkembangan psikologis dan sosial anak. Hal yang menyulitkan adalah
bagaimanakah perhatian diberikan secara berbeda melalui apa yang disebut “pengajaran yang
diindividualisasikan”, yaitu settingnya kelas tetapi perhatian diberikan kepada individu anak.
Konsekwensinya perlu kurikulum yang fleksibel, yaitu kurikulum yang berdiferensiasi, yang bisa
mengakomodasi anak-anak biasa dan anak berbakat.
Pada dasarnya penyelenggaraan pendidikan anak berbakat menyangkut bagaimana anak-anak
diperlakukan di sekolah melalui sistem pengelompokkan. Sistem pengelompokkan bermacammacam, tetapi intinya ada dua, yaitu pengelompokkan homogen dan heterogen. Dasar

pengelompokkan bisa berupa jenis kelamin, tingkat kemampuan belajar, atau minat-minat
khusus pada mata pelajaran tertentu.
Fahrle, Duffi dan Schulz (1985) dalam DediSupriadi (1992; 23) mengemukakan bahwa program
pendidikan untuk anak-anak berbakat harus memberikan kepada anak-anak dua macam
pengalaman yang bernilai sosial.
Pertama mereka harus memiliki kesempatan untuk bergaul secara luas dan wajar engan temanteman sebayanya. Kedua program pendidikan untuk anak-anak berbakat harus menyediakan
peluang kepada peserta didik untuk secara intelektual tumbuh bersama rekan-rekan sebayanya.
Sistem manapun yang dipilih, penyelenggara harus tetap berpegang pada prinsip bahwa
pendidikan itu tidak boleh mengorbankan fungsi sosialisasi nilai-nilai budaya (toleransi,
solidaritas, kerja sama) kepada anak. Program pendidikan untuk anak-anak berbakat tidak identik
dengan perlakuan yang eksklusif dan elitis, melainkan semata-mata supaya untuk memberikan
peluang kepada anak didik untuk berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
Dalam layanan pendidikan bagi anak berbakat, khususnya pada jenjang sekolah dasar di
Indonesia saat ini adalah sistem yang terpadu, yakni anak-anak berbakat masuk ke sekolah yang
samaadian mereka diperlakukan dengan sistem pengajaran yang dindividualisasikan, yakni
sistem yang memberikan perhatian secara individual kepada setiap siswa dalam kelas biasa.
Dengan demikian yang diperlukan dalam layan pendidikan bagi anak berbakat khususnya pada
sekolah dasar, bukanlah sekolah, kelas, ataupun kurikulum khusus, melainkan modifikasi
kurikulum dan sarana pendukungnya agar sesuai dengan kebutuhan anak-anak berbakat.
4. Model Penilaian pada bagian bagian identiffikasi telah dikemukakan tentang penilaian peserta
didik berbakat, pada bagian ini akan dikemukakan alat dan aspek penilaian. Proses penilaian
pada anak berbakat sebetulnya tidak berbeda dari penilaian pada umumnya, namun karena pada
cakupan kurikulum berbeda, maka akan berbeda dalam penerapan penilaian. Penerapan penilaian
mencakup ciri-ciri belajar yang berkenaan dengan tingkat berfikir tinggi. Biasanya anak berbakat
sering mampu menilai hasil kinerjanya sendiri secara kritis. Selain itu setiap anak tersebut harus
memperoleh umpan balik tentang hasil kinerjanya secara terbuka (Conny Semiawan; 1994; 273).
Biasanya penilaian yang menunjuk pada suatu asesmen dilakukan oleh guru yang bukan saja
mengenal muridnya, melainkan juga melatih, mendidik dan mengamatinya sehari-hari. Asesmen
ini adalah langkah dalam proses penyerahan dan penempatan tertentu dan merupakan rangkaian
upaya perolehan informasi dan bukan semata-mata hasil proses tersebut. Tujuan pengukuran

pada dasarnya berbeda-beda, bila hendak membandingkan anak tertentu, maka gunakan
pengukuran acuan norma dengan :
a. Membandingkan anak berbakat dengan seluruh populasi
b. Membandingkan anak berbakat dengan teman sebaya.
c. Membandingkan anak berbakat dengan populasi anak berbakat lagi.
d. Membandingkan anak berbakat dengan dirinya sendiri.
Sedangkan proses dan produk belajar yang mengacu pada ketuntasan belajar menggunakan
instrumen dan prosedur yang merupakan :
a.Pengejawantahan dari kekhususan layanan pendidikan anak berbakat.
b. Hasil umpan balik untuk keperluan tertentu.
c. Pemantulan tingkat kemantapan penguasaan suatu materi sesuai sifat, keterampilan,
kemampuan maupun kecepatan belajar seseorang.
4. Guru Anak Berbakat
Untuk menangani anak berbakat di Sekolah Dasar, tentunya membutuhkan guru-guru yang memiliki
kemampuan yang khusus. Dalam hal ini David G. Armstrong And Tom V. Savage (1983; 334) mengutip
pendapat James O. Schnur (1980) sebagai berikut; “most descriptions of capable teachers of the gifted
and talented”. Deskripsi kemampuan guru yang dimaksud adalah sebagai berikut :
a.Memiliki kematangan dan keamanan.
b. Memiliki kreativitas dan fleksibilitas.
b. Memiliki kemampuan mengindividualisasikan materi pelajaran.
c. Memiliki kedalaman pemahaman terhadap pengajaran.
Penutup
Model layanan siswa unggul–cerdas berbakat (gifted students) hingga kini masih menjadi wacana yang
sangat menarik, baik bagi pemerintah maupun masyarakat tentang pola layanan pendidikan anak cerdas
berbakat. Bahkan menjadi lebih menarik lagi, karena banyak terjadi miskonsepsi terhadap keberbakatan.
Layanan pendidikan khusus bagi anak berbakat diperlukan setidaknya atas empat pertimbangan faktor
berikut ini :
1. Adanya bakat yang berbeda, perkembangan fisik, mental, dan sosial yang lebih cepat, juga minat
intelektual serta perspektif masa depan yang jauh melampaui rata-rata orang.
2. Pemenuhan kebutuhan aktualisasi potensi yang dimiliki seoptimal mungkin.

3. Merupakan aset masyarakat dan bangsa, serta peluang sebagai calon pemimpin
4. Mencegah kemubadziran potensi dan harapan kontribusi mereka nantinya kepada masyarakat,
bangsa, dan negara.
Banyak istilah yang dapat dipakai untuk menyebut anak berbakat, di antaranya: anak unggul, anak
berkemampuan istimewa, anak superior, anak genius, anak cerdas istimewa, dan masih banyak sebutan
lainnya. Secara konseptual pengertian anak berbakat juga semakin berkembang dewasa ini.
Bahan Bacaan
1. Amstrong, David G. and Savage, Tom V. (1983), Secondary Education : An Introduction, New
York, Macmillan Publishing Co., Inc.
2. Bryan, James H. and Bryan Tanis H. (1979), Exceptional Children, California : Alfred
Publishing Co., Inc.
3. Conny Semiawan, (1994), Perspektif Pendidikan Anak Berbakat , Jakarta, Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Proyek Pembinaan Dan
Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan.
4. Dedi Supriadi, (1992), Perspektif Psikologis Dan Sosial Pendidikan Anak-Anak Berbakat, IKIP
Bandung, Makalah Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia II IKIP Medan.
5. Hallahan, Daniel P. and Kauffman, James M. (1982), Exceptional Children Introduction to
Special Education,New York : Prentice-Hall, Inc.
6. Rnzulli, J.S., (1979), What Makes Giftednees : A. Reexamination of the Definition of the Gifted
and Talented,California, Ventura Cauntry Superintendent Schools Office.
7. Tirtonegoro, Sutratinah, (1984), Anak Supernormal dan Program Pendidikannya , Jakarta, PT.
Bina aksara.
8. Undang-undang Republik Indonesia, No. 20/2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional. Utami
Munandar, SC., (2009),
9. Pemanduan Anak Berbakat, Jakarta, CV Rajawali. --------------, (1992), Mengembangkan Bakat
dan Kreativias Anak Sekolah, Petunjuk Bagi Para Guru dan Orang Tua , Jakarta, PT Gramedia
Widiasarana Indonesia.
10. Veron, Philip E., Adamson, G., and Vernon, Dorothy F., (1979), The Psychology and Education
of Gifted Children, London, Methuen & Co. Ltd.