Referat TB Paru Anak

BAB I
Pendahuluan
Penyakit tuberkulosis pada anak merupakan penyakit yang bersifat sistemik, yang
dapat bermanifestasi pada berbagai organ, terutama paru. Sifat sistemik ini disebabkan oleh
penyebaran hematogen dan limfogen setelah terjadi infeksi Mycobacterium tuberculosis.
Data insidens dan prevalens tuberculosis anak tidak mudah. Dengan penelitian indeks
tuberculin dapat diperkirakan angka kejadian prevalens tuberculosis anak. Kriteria masalah
tuberculosis di suatu negara adalah kasus BTA positif per satu juta penduduk. Jadi sampai
saat ini belum ada satu negara pun yang bebas tuberkulosis. Anak biasanya tertular TB, atau
juga disebut mendapat infeksi primer TB, akan membentuk imunitas sehingga uji tuberkulin
akan menjadi positif. Tidak semua anak yang terinfeksi TB primer ini akan sakit. TB
merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan pemberian imunisasi BCG pada anak dan
pengobatan sumber infeksi, yaitu penderita TB dewasa. Disamping itu dengan adanya
penyakit karena HIV maka perhatian pada penyakit TB harus lebih ditingkatkan.
Oleh karena itu dengan mengenal, mengerti, dan mengetahui cara mencegah dan
mengobati tuberculosis ini dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas akibat infeksi
TB. Apalagi kini dengan adanya peningkatan jumlah penderita HIV yang meningkatkan juga
angka morbiditas dan mortalitas.

1


BAB II
Isi dan Pembahasan
Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang bersifat sistemik dan disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis yang mayoritas (>95%) menyerang paru. Penularan tuberkulosis
anak sebagian besar melalui udara sehingga fokus primer berada di paru dengan kelenjar
getah bening membengkak serta jaringan paru mudah terinfeksi kuman tuberkulosis. Selain
itu dapat melalui mulut saat minum susu yang mengandung kuman Mycobacterium bovis dan
melalui luka atau lecet di kulit. Beberapa istilah dalam definisi kasus TB anak:
 Terduga pasien TB anak: setiap anak dengan gejala atau tanda mengarah ke TB Anak
 Pasien TB anak berdasarkan hasil konfirmasi bakteriologis adalah pasien TB anak
yang hasil pemeriksaan sediaan biologinya positif dengan pemeriksaan mikroskopis
langsung atau biakan atau diagnostik cepat yang direkomendasi oleh Kemenkes RI.
Pasien TB paru BTA positif masuk dalam kelompok ini.
 Pasien TB anak berdasarkan diagnosis klinis: pasien TB anak yang TB yang tidak
memenuhi kriteria bakteriologis dan mendapat pengobatan TB berdasarkan kelainan
radiologi dan histopatologi sesuai gambaran TB. Termasuk dalam kelompok pasien
ini adalah Pasien TB Paru BTA negatif, Pasien TB dengan BTA tidak diperiksa dan
Pasien TB Ekstra Paru.


Penentuan klasifikasi dan tipe kasus TB pada anak dibedakan menurut :
A. Lokasi / organ yang terinfeksi
1) Tuberkulosis Paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang
jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada
hilus.
2) Tuberkulosis Ekstra Paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain
paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe,
tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
Anak dengan gejala hanya pembesaran kelenjar tidak selalu menderita TB Ekstra
Paru.
2

B. Riwayat pengobatan sebelumnya
1. Baru : kasus TB anak yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (28 dosis) dengan hasil
pemeriksaan bakteriologis sesuai definisi di atas, lokasi penyakit bisa paru atau
ekstra paru.
2. Pengobatan ulang : kasus TB Anak yang pernah mendapat pengobatan dengan
OAT lebih dari 1 bulan ( 28 dosis) dengan hasil pemeriksaan bakteriologis sesuai
definisi di atas, lokasi penyakit bisa paru atau ekstra paru. Berdasarkan hasil

pengobatan sebelumnya, anak dapat diklasifikasikan sebagai kambuh, gagal atau
pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up).
C. Berat dan ringannya penyakit
1. TB ringan: tidak berisiko menimbulkan kecacatan berat atau kematian, misalnya
TB primer tanpa komplikasi, TB kulit, TB kelenjar, dan lain sebagainya.
2. TB berat: TB pada anak yang berisiko menimbulkan kecacatan berat atau
kematian, misalnya TB meningitis, TB milier, TB tulang dan sendi, TB abdomen,
termasuk TB hepar, TB usus, TB paru BTA positif, TB resisten obat, TB HIV.
D. Status HIV
Pemeriksaan HIV direkomendasikan pada semua anak suspek TB pada daerah
endemis HIV atau risiko tinggi terinfeksi HIV. Berdasarkan pemeriksaan HIV, TB
pada anak diklasifikasikan sebaga HIV positif, HIV negative, HIV tidak diketahui,
dan HIV expose/ curiga HIV. Anak dengan orang tua penderita HIV diklasifikasikan
sebagai HIV expose, sampai terbukti HIV negatif. Apabila hasil pemeriksaan HIV
menunjukkan hasil negatif pada anak usia < 18 bulan, maka status HIV perlu
diperiksa ulang setelah usia > 18 bulan.
Epidemiologi
Epidemiologi Tuberkulosis adalah rangkaian gambaran informasi yang menjelaskan
beberapa hal terkait orang, tempat, waktu dan lingkungan. Secara sistematis dan informatif
menguraikan sejarah penyakit tuberkulosis, prevalens tuberkulosis, kondisi infeksi

tuberkulosis dan cara/ risiko penularan serta upaya pencegahannya. Tuberkulosis adalah
penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis).
Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
TB Anak adalah penyakit TB yang terjadi pada anak usia 0-14 tahun. Cara Penularannya
adalah sebagai berikut :
3

 Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA positif, baik dewasa maupun anak.
 Anak yang terkena TB tidak selalu menularkan pada orang di sekitarnya, kecuali
anak tersebut BTA positif atau menderita adult type TB.
 Faktor risiko penularan TB pada anak tergantung dari tingkat penularan, lama
pajanan, daya tahan pada anak. Pasien TB dengan BTA positif memberikan
kemungkinan risiko penularan lebih besar daripada pasien TB dengan BTA
negatif.
 Pasien TB dengan BTA negatif masih memiliki kemungkinan menularkan
penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB
BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan
hasil kultur negatif dan foto Toraks positif adalah 17%.
Tuberkulosis anak merupakan faktor penting di negara-negara berkembang karena jumlah
anak berusia kurang dari 15 tahun adalah 40-50% dari jumlah seluruh populasi.


Etiologi
Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis, dan
Mycobacterium africanum, merupakan family Mycobactericeae. Basil tuberkel adalah batang
lengkung, gram positif lemah, pleiomorfik, tidak bergerak, tidak membentuk spora, panjang
sekitar 2,4 µm. Mereka dapat tampak sendiri-sendiri atau dalam kelompok pada specimen
klinis yang diwarnai atau media biakan. Mereka merupakan aerob wajib (obligat) yang
tumbuh pada media sintetis yang mengandung gliseol sebagai sumber karbon dan garam
ammonium sebagai sumber nitrogen. Mikobakteria ini tumbuh paling baik pada suhu 37 –
410C, menghasilkan niasin dan tidak ada pigmentasi. Dinding sel kaya lipid menimbulkan
resistensi terhadap daya bakterisid antibodi dan komplemen. Tanda semua mikobakteria
adalah ketahanan asamnya kapasitas membentuk kompleks mikolat stabil dengan pewarnaan
arilmetan seperti Kristal violet, karbolfukhsin, auramin, dan rodamin. Bila diwarnai, mereka
melawan perubahan warna dengan etanol dan hidrokhlorida atau asam lain.
Mycobacterium tumbuh lambat, waktu pembentukannya adalah 12 – 24 jam. Isolasi dari
specimen klinis pada media sintetik padat biasanya memerlukan waktu 3 – 6 minggu, dan uji
kerentanan obat memerlukan 4 minggu tambahan. Namun pertumbuhan dapat dideteksi
dalam

pada medium cairan selektif dengan menggunakan nutrient radiolabel (sistem


radiometric BACTEC), dan kerentanan obat dapat ditentukan dalam 3 – 5 hari tambahan. M.
4

tuberculosis mempunyai morfologi koloni khas, menghasilkan niasin tetapi bukan pigmen,
mampu mereduksi nitrat, dan menghasilkan katalase. Beberapa strain resisten isoniazid
kehilangan kemampuan untuk membiat katalase. Adanya M. tuberculosis dalam spesiem
klinik dapat dideteksi dalam beberapa jam dengan menggunakan reaksi rantai polymerase
(RRP) yang menggunakan probe DNA yang merupakan pelengkap terhadap DNA atau RNA
mikobakteria. Data dari anak terbatas, tetapi sensitivitas beberapa tehnik RRP serupa dengan
sensitivitas untuk biakan.

Patogenesis Tuberkulosis
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi Tuberkulosis karena
ukuran mikroorganisme yang sangat kecl dalam bentuk percik renik (droplet nuclei) yang
terhirup dapat mencapai alveolus. Masuknya mikroorganisme penyebab Tuberkulosis ini
akan mengaktifkan reaksi imunologis non-spesifik, yaitu makrofag yang akan memfagosit
mikroorganisme. Namun, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan
seluruh mikroorganisme tersebut sehingga mikroorganisme tersebut akan melakukan
replikasi di dalam makrofag. Mikroorganisme yang terus berkembang biak di dalam

makrofag itu akhirnya akan menyebabkan makrofag mengalami lisis dan membentuk koloni
di tempat tersebut. Lokasi pertama di jaringan paru tempat mikroorganisme tersebut
berkoloni disebut fokus primer Ghon. Selanjutnya mikroorganisme penyebab Tuberkulosis
ini akan menyebar melalui saluran limfe menuju ke kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar
limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Hal ini menyebabkan terjadinya
inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika
fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah
kelenjar limfe parahilus. Sedangkan, jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan
terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Terbentuklah kompleks primer yang terdiri dari fokus
primer, kelenjar lmfe regional yang membesar (limfadenitis), dan saluran limfe yang
meradang (limfangitis).
Masa inkubasi Tuberkulosis adalah waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman
Tuberkulosis hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap, yaitu berlangsung dalam
waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi,
mikroorganisme tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104 dimana jumlah tersebut cukup
untuk mengaktifkan respon imun seluler dan belum terbentuk proses hipersensitivitas
5

sehingga jika dilakukan uji tuberculin hasilnya akan negatif. Jika sudah terbentuk kompleks
primer maka juga terbentuk hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, sehingga uji

tuberculin akan menghasilkan respon positif. Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer
di jaringan paru biasanya akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau
kalsifikasi setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga
akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna
fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahuntahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB. Kompleks primer dapat
juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer
di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi
nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus
sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau
paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal infeksi, akan membesar karena reaksi
inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus
akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme
ventil (ball-valve mechanism). Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang
mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding
bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat
menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis
dan atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara

limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke
dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah
yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik. Penyebaran hematogen yang
paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult
hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi
sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai
berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik,
paling sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga
bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman
di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang), demikian pula dengan proses
6

patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat
mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata
akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB
masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan
timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata.
Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2−6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya
penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi

berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem
imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun
(balita) terutama di bawah dua tahun.
Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread. Bentuk
penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding vaskuler pecah dan menyebar ke
seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah.
Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute
generalized hematogenic spread.

7

Gambar 1. Algoritma Tuberkulosis pada Anak`1
Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik/jasmani,
pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya Pasien TB anak
dapat ditemukan dengan cara melakukan pemeriksaan pada :
1. Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular.
Kontak erat adalah anak yang tinggal serumah atau sering bertemu dengan pasien TB
menular. Pasien TB menular adalah terutama pasien TB yang hasil pemeriksaan
sputumnya BTA positif dan umumnya terjadi pada pasien TB dewasa. Pemeriksaan

kontak erat ini akan diuraikan secara lebih rinci dalam pembahasan pada bab
profilaksis TB pada anak.
2. Anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan TB anak.

8

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi sistemik dan organ yang paling sering
terkena adalah paru. Gejala klinis penyakit ini dapat berupa gejala sistemik/umum
atau sesuai organ terkait. Perlu ditekankan bahwa gejala klinis TB pada anak tidak
khas, karena gejala serupa juga dapat disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB.
Gejala sistemik/umum TB anak sifatnya tidak khas, yaitu sebagai berikut:
 Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan
adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang
baik.
 Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan
demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya
tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak
apabila tidak disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.
 Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau
intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat
disingkirkan.
 Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh (failure
to thrive).
 Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
 Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan baku
diare.
Selain itu terdapat juga gejala klinis yang terkait dengan organ jika terjadi infeksi
tuberculosis ekstrapulmoner, seperti di bawah ini :
 Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli):
o Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter ≥1 cm, konsistensi kenyal,
tidak nyeri, dan kadang saling melekat atau konfluens.
 Tuberkulosis otak dan selaput otak:
o Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai gejala
akibat keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.
o Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.
 Tuberkulosis sistem skeletal:
o Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus).
9

o Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda
peradangan di daerah panggul.
o Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab
yang jelas.
o Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).
 Skrofuloderma = ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi
ulkus (skin bridge).
 Tuberkulosis mata:
o Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).
o Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).
 Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal dicurigai
bila ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas
dan disertai kecurigaan adanya infeksi TB.
Pemeriksaan Penunjang
Uji Tuberkulin
Cara melakukan uji tuberculin (Mantoux Test) ini sangat sederhana, yaitu dengan
menyuntikkan 0.1 ml tuberculin PPD secara intrakutan di bagian volar lengan dengan arah
suntikan memanjang lengan (longitudinal). Reaksi diukur 48-72 jam setelah penyuntikan.
Indurasi transversal diukur dan dilaporkan dalam millimeter berapapun ukurannya, termasuk
cantumkan 0 milimeter jika tidak ada indurasi sama sekali. Indurasi 10 milimeter ke atas
dinyatakan positif. Indurasi < 5 milimeter dinyatakan negative, sedangan indurasi 5-9
milimeter meragukan dan perlu diulang dengan jarak waktu minimal 2 minggu. Uji
tuberculin positif menunjukkan adanya infeksi TB dan kemungkinan TB aktif pada anak.
Reaksi uji tuberculin positif biasanya bertahan lama hingga bertahun-tahun walau pasiennya
sudah sembuh, sehingga uji tuberculin tidak digunakan untuk memantau pengobatan TB.
Foto Toraks Antero-Posterior (AP) dan Lateral Kanan
Gambaran radiologis yang sugestif TB diantaranya adalah pembesaran kelanjar hilus atau
paratrakeal, konsolidasi segmen/lobus paru, milir, kavitas, efusi pleura, atelektasis, atau
kalsifikasi.
Pemeriksaan Mikrobiologi

10

Spesimen atau bahan pemeriksaan yang diambil berasal dari bilasan lambung atau sputum,
untuk mencari basil tahan asam (BTA) pada pemeriksaan langsung, dan Mycobacterium
tuberculosis dari biakan. Hasil biakan positif merupakan diagnosis pasti TB. Hasil BTA atau
biakan negative tidak menyingkirkan diagnosis TB.
Pemeriksaan Patologi : dilakukan biopsi kelenjar, kulit, atau jaringan lain yang dicurigai TB.
Pemeriksaan lainnya yang perlu dilakukan bila terjadi TB ekstrapulmoner adalah funduskopi,
pungsi lumbal, foto tulang, dan pungsi pleura. Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan laju
endap darah, pemeriksaan urin rutin, dan feses rutin sebagai pelengkap data namun tidak
berperan penting dalam diagnostic TB.

Penatalaksanaan
1. Isoniazid
INH adalah obat antituberkulosis yang efektif saat ini bersifat bakterisid dan
sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolit aktif yaitu kuman yang
sedang berkembang dan bersifat bakteriostatik terhadap kuman yang diam. Obat
ini efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi kedalam seluruh
jaringan dan cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal (CSS), cairan pleura,
cairan asites, jaringan caseosa dan angka timbulnya reaksi simpang (adverse
reaction) sangat rendah. Dosis harian INH biasa diberikan 5-15 mg/kgBB/hari,
max 300 mg/hari, secara peroral, diberikan 1x pemberian. INH yang tersedia
umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg dan dalam bentuk sirup 100
mg/5 ml.
INH mempunyai 2 efek toksik utama yaitu hepatotoksik dan neuritis perifer, tetapi
keduanya jarang terjadi pada anak, tetapi frekuensinya meningkat dengan
bertambahnya usia. Hepatotoksik mungkin terjadi pada remaja atau anak-anak
dengan tuberkulosis berat. Idealnya perlu pemantauan kadar transaminase pada 2
bulan pertama. Hepatotoksik akan meningkat apabila INH diberikan bersama
dengan Rifampisin dan PZA. Penggunaan INH bersama dengan fenobartbital atau
fenitoin dapat meningkatkan resiko hepatotoksik. INH tidak dilanjutkan
pemberiannya pada keadaan kadar transaminase serum naik lebih dari 3x harga
11

normal atau terjadi manifestasi klinik hepatitis, berupa mual, muntah, nyeri perut
dan kuning. Neuritis perifer timbul akibat inhibisi kompetitif karena metabolisme
piridoksin. Kadar piridoksin berkurang pada anak yang menggunakan INH tetapi
manifestasi klinisnya jarang sehingga tidak diperlukan piridoksin tambahan.
Manifestasi klinis neuritis perifer yang paling sering adalah mati rasa atau
kesemutan pada tangan dan kaki. Piridoksin diberikan 1x sehari 25-50 mg atau 10
mg piridoksin tiap 100 mg INH. Manifestasi alergi atau hipersensitivitas yang
disebabkan INH jarang terjadi. Efek samping yang jarang terjadi antara lain
pelagra, anemia hemolitik pada pasien dengan defisiensi enzim G6PD, dan reaksi
mirip lupus yang disertai ruam dan artritis.
2. Rifampisin
Rifampisin bersifat bakteriosid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki
semua jaringan, dapat membunuh kuman semi-dormand yang tidak dapat dibunuh
oleh INH. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada
saat perut kosong, dan kadar serum puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini
rifampisin diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20mg/kgbb/hari,
maksimal 600mg/hari dengan dosis 1 kali pemberian perhari. jika diberikan
bersama INH, dosis rifampisin tidak melebihi 15mg/kgbb/hari dan dosis INH
tidak melebihi 10mg/kgbb/hari. Seperti halnya INH, rifampisin didistribusikan
secara luas ke jaringan dan cairan tubuh, termasuk CSS. Ekskresi rifampisin
terutama terjadi melalui traktus biliaris. Kadar yang efektif juga dapat ditemukan
diginjal dan urin. Efek samping rifampisin lebih sering terjadi daripada INH. Efek
samping rifampisin adalah gangguan gastrointestinal (mual dan muntah) dan
hepatotoksisitas (ikterus atau hepatitis) yang biasanya ditandai oleh peningkatan
kadar transaminase serum yang asimptomatik. Rifampisin dapat menyebabkan
trombositopenia. Rifampisin umumnya tersedia dalam sediaan kapsul 150mg,
300mg dan 450mg. sehingga kurang sesuai untuk digunakan pada anak-anak
dengan berbagai kisaran berat badan.
3. Pirazinamid
Pirazinamid adalah derivat dari nikotinamid berpenetrasi baik pada jaringan
dan cairan tubuh termasuk SSP, cairan serebrospinal, bakterisid hanya pada
intrasel pada suasana asam, diresorbsi baik pada saluran pencernaan. Pemberian
PZA secara oral dengan dosis 15-30mb/kgbb/hari dengan dosis maksimal 2g/hari.
12

Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500mg. efek samping PZA adalah
hepatotoksisitas, anoreksia, dan iritasi saluran cerna. Reaksi hipersensisitivitas dan
hiperurisemia jarang timbul pada anak.
4. Etambutol
Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada mata.
Dosis etambutol (EMB) 15-20mg/kg/hari. Maksimal 1,25g/hari dengan dosis
tunggal. Ekskresi terutama lewat ginjal dan saluran cerna. EMB tersedia dalam
tablet 250mg dan 500mg. Memiliki aktivitas bakteriostatik dan berdasarkan
pengalaman, dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. EMB
dapat bersifat bakteriosid, jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi
intermiten. EMB tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan
meningitis. EMB ditoleransi dengan baik pada dewasa dan anak-anak pada
pemberian oral dengan dosis 1 atau 2 kali sehari. Kemungkinan toksisitas utama
adalah neuritis optik dan buta warna merah-hijau. Tidak terdapat laporan
toksisitas optik pada anak-anak.
5. Streptomisin
Streptomisin bersifat bakteriosid dan bakteriostatik. Kuman ekstraseluler pada
keadaan basa atau netral, jadi tidak efektif membunuh kuman intraseluler.
Streptomisin dapat diberikan secara IM dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari,
maksimal 1 gram perhari, kadar puncak 40-50 mikrogram permilliliter dalam
waktu 1-2 jam. Streptomicin sangat baik melewati selaput otak yang meradang,
tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang. Streptomisin
berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura, dieksresi melalui ginjal.
Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang mengganggu
keseimbangan dan pendengaran berupa telinga berdengung (tinismus) dan pusing.
Di Indonesia digunakan sistem skoring TB anak untuk menentukan tatalaksana yang akan
diberikan kepada anak tersebut :

13

Gambar 2. Skoring Tuberkulosis pada Anak

Lalu ditentukan apabila skor ≥ 6 maka diberikan terapi OAT selama 2 bulan dan kemudian
dilakukan pemeriksaan ulang untuk melihat terapi OAT tersebut memberikan respon
perbaikan pada anak. Jika terjadi respon perbaikan makan terapi OAT diteruskan, sedangkan
jika respons negative maka dipikirkan adanya faktor lain seperti gizi buruk, pengobatan yang
tidak rutin, ataupun TB multidrug resistance (TB MDR).
Terapi TB terdiri dari 2 fase :
1. Fase intensif : diberikan 3-5 OAT selama 2 bulan awal
2. Fase lanjutan : paduan 2 OAT (INH-Rifampisin) hingga 6-12 bulan.
Pada anak OAT diberikan secara harian baik pada fase intensif maupun fase lanjutan.
 TB paru : INH, Rifampisin, dan Pirazinamid selama 2 bulan fase intensif, lalu
dilanjutkan dengan INH dan RIfampisin hingga genap 6 bulan terapi (2RHZ-4HR)
 TB paru berat (milier, destroyed lung) dan TB ekstraparu : diberikan 4-5 OAT selama
2 bulan fase intensif, lalu dilanjutkan dengan INH dan Rifampisin hingga genap 9-12
bulan terapi.
 TB kelenjar superficial : terapinya sama dengan TB paru.

14

 TB milier dan efusi pleura TB diberikan prednisone 1-2 mg/kgBB/hari selama 2
minggu, lalu dosis diturunkan bertahap selama 2 minggu (total pemberian waktu 1
bulan).

Gambar 3. Penatalaksanaan Tuberkulosis pada Anak sesuai dengan Sistem
Skoring

Pada kelompok risiko tinggi memerlukan medikamentosa profilaksis yang menggunakan
INH 5-10 mg/kgBB/hari yang terbagi menjadi 2, yaitu :
1. Profilaksis primer
Mencegah tertular/infeksi pada kelompok yang mengalami kontak erat dengan pasien
TB dewasa dengan uji BTA (+). Diberikan selama 3 bulan lalu dievaluasi kembali
apakan uji tuberculin menjadi positif.
15

2. Profilaksis sekunder
Mencegah terjadinya sakit TB pada kelompok yang telah terinfeksi TB tapi belum
sakit TB. Diberikan selama 6-12 bulan (waktu risiko tertinggi terjadinya sakit TB
pada pasien yang baru terinfeksi TB).

Gambar 4. Dosis Obat Anti-Tuberkulosis Anak

Penatalaksanaan bedah diindikasikan bagi TB paru berat dengan destroyed lung, TB tulang
yang telah diberikan terapi OAT selama minimal 2 bulan, kecuali jika terjadi kompresi
medulla spinalis atau ada abses paravertebra maka dapat dilakukan lebih awal. Selain itu
asupan gizi yang adekuat juga dapat membantu keberhasilan terapi TB.
Kombinasi dosis tetap OAT (KDT) / Fixed Dose Combination (FDC)

Gambar 5. Kombinasi Dosis Tetap OAT (KDT)1

Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan minum obat,
paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu paket dibuat untuk satu pasien
untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk anak berisi obat fase intensif, yaitu rifampisin
(R) 75mg, INH (H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75
mg dan H 50 mg dalam satu paket.

16

Pengobatan Tuberkulosis HIV pada Anak
Tujuan pemberian OAT adalah mengobati pasien dengan efek samping minimal,
mencegah transmisi kuman dan mencegah resistensi obat. Saat ini, paduan obat TB pada anak
yang terinfeksi HIV yang telah disepakati WHO (2011) adalah INH, Rifampisin, PZA dan
Etambutol selama fase intensif 2 bulan pertama dilanjutkan dengan minimal 4 bulan
pemberian INH dan Rifampisin selama fase lanjutan. Pada TB milier dan meningitis TB
diberikan INH, Rifampisin, PZA, Etambutol dan Streptomisin selama fase intensif
selanjutnya INH dan Rifampisin selama 10 bulan fase lanjutan.
Tambahan terapi yang direkomendasikan untuk pasien anak HIV dan TB termasuk
cotrimoxazole preventive therapy (CPT), antiretroviral therapy (ART) dan suplementasi
piridoksin dengan dosis 10 mg/hari serta pemberian nutrisi. Pasien TB anak yang terinfeksi
HIV mempunyai kecenderungan relaps yang lebih besar dibanding anak yang tidak terinfeksi.
Untuk mengatasi hal ini maka pengobatan TB anak terinfeksi HIV diberikan lebih lama yaitu
9 bulan sedangkan pada TB milier, meningitis TB dan TB tulang selama 12 bulan. Mortalitas
TB pada anak terinfeksi HIV lebih besar dibanding anak yang tidak terinfeksi karena
tingginya ko-infeksi oleh patogen lain, absorpsi dan penetrasi OAT terhadap organ yang
terkena pada anak terinfeksi HIV jelek, misdiagnosis, kepatuhan kurang, malnutrisi berat dan
imunosupresi berat.

Gambar 6. Pengobatan TB HIV pada Anak 1

Tatalaksana TB pada anak dengan HIV yang sedang atau akan mendapatkan pengobatan
antiretroviral harus dilakukan lebih hati-hati dan memperhatikan interaksi antara obat.
Interaksi antara obat TB dan antiretroviral dapat menyebabkan pengobatan HIV ataupun TB
menjadi tidak efektif, serta bertambahnya risiko toksisitas. Rifampisin misalnya, obat ini
berinteraksi dengan obat penghambat enzim reverse transkriptase nonnukleosida (nonnucleoside reverse transcriptase inhibitor, NNRTI) dan pengambat enzim protease (protease
inhibitors: PI).

17

Tuberkulosis Resisten Obat pada Anak
Kejadian TB resisten obat pada anak secara global masih belum pasti karena kesulitan
mendapatkan konfirmasi bakteriologis pada anak. Kejadian TB kebal obat di Indonesia belum
pasti, tetapi kewaspadaan terhadap kasus ini perlu ditingkatkan mengingat penatalaksanaan
kasus TB pada anak masih belum optimal dan angka kejadian TB kebal obat pada dewasa
yang terus meningkat. Diperkirakan banyak anak yang kontak dengan kasus TB dewasa kebal
obat, sehingga kejadian TB kebal obat pada anak akan mencerminkan pengendalian TB kebal
obat pada dewasa.
Resistensi obat pada pasien TB ada 3 yaitu monoresisten, MDR, dan XDR. Dikatakan
monoresisten bila hasil uji kepekaan mendapatkan resisten terhadap isoniazid atau rifampisin.
Seorang pasien TB anak dikatakan mengalami MDR bila hasil uji kepekaan mendapatkan
hasil basil M. tuberkulosis yang resisten terhadap isoniazid dan rifampisin, sedangkan
extensively drug-resistant (XDR)-TB bila hasil uji kepekaan mendapatkan hasil MDR
ditambah resisten terhadap fluoroquinolon dan salah satu obat injeksi lini kedua (second-line
injectable agents). Prinsip dasar paduan terapi pengobatan untuk anak sama dengan paduan
terapi dewasa pasien TB MDR, yaitu :
 Gunakan sedikitnya 4 obat lini kedua yang kemungkinan strain itu masih
sensitif; satu darinya harus injectable, satu fluorokuinolon (lebih baik kalau
generasi kuinolon yang lebih akhir bila ada), dan PZA harus dilanjutkan
 Gunakan high-end dosing bila memungkinkan
 Semua dosis harus diberikan dengan menggunakan DOT
 Durasi pengobatan harus 18-24 bulan
 Semua obat diminum setiap hari dan dengan pengawasan langsung
 Pemantauan pengobatan TB MDR pada anak sesuai dengan alur pada dewasa
dengan TB MDR
Obat-obatan yang dipakai untuk anak MDR TB juga sama dengan dosis disesuaikan dengan
berat badan pada anak. Bagaimanapun, kebanyakan obat lini kedua tidak child-friendly.

Tuberkolusis Milier

18

Tuberkulosis milier termasuk salah satu bentuk TB dengan gejala klinis berat dan
merupakan 3—7% dari seluruh kasus TB, dengan angka kematian yang tinggi (dapat
mencapai 25% pada bayi). TB milier terjadi oleh karena adanya penyebaran secara
hematogen dan diseminata, bisa ke seluruh organ, tetapi gambaran milier hanya dapat dilihat
secara kasat mata pada foto torak. Terjadinya TB milier dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu
1. kuman M. tuberculosis (jumlah dan virulensi),
2. status imunologis pasien (nonspesifik dan spesifik), seperti infeksi HIV, malnutrisi,

infeksi campak, pertusis, diabetes melitus, gagal ginjal, keganasan, dan penggunaan
kortikosteroid jangka lama
3. faktor lingkungan (kurangnya paparan sinar matahari, perumahan yang padat, polusi

udara, merokok, penggunaan alkohol, obat bius, serta sosioekonomi).
4. Gejala dan tanda awal TB milier sama dengan TB lainnya, dapat disertai sesak nafas,

ronki dan mengi. Dalam keadaan lanjut bisa juga terjadi hipoksia, pneumotoraks, dan
atau pneumomediastinum, sampai gangguan fungsi organ, serta syok.
5. Lesi milier dapat terlihat pada foto toraks dalam waktu 2—3 minggu setelah

penyebaran kuman secara hematogen. Gambarannya sangat khas, yaitu berupa
tuberkel halus (millii) yang tersebar merata di seluruh lapangan paru, dengan bentuk
yang khas dan ukuran yang hampir seragam (1—3 mm).
6. Jika dokter dan petugas di fasyankes primer menemukan kasus dengan klinis diduga

TB milier, maka wajib dirujuk ke RS rujukan. Diagnosis ditegakkan melalui riwayat
kontak dengan pasien TB BTA positif, gejala klinis dan radiologis yang khas. Selain
itu perlu dilakukan pemeriksaan pungsi lumbal walaupun belum timbul kejang atau
penurunan kesadaran.
7. Dengan pengobatan yang tepat, perbaikan TB milier biasanya berjalan lambat.

Respon keberhasilan terapi antara lain adalah menghilangnya demam setelah 2—3
minggu pengobatan, peningkatan nafsu makan, perbaikan kualitas hidup sehari-hari,
dan peningkatan berat badan. Gambaran milier pada foto toraks berangsur-angsur
menghilang dalam 5—10 minggu, tetapi mungkin juga belum ada perbaikan sampai
beberapa bulan. Pasien yang sudah dipulangkan dari RS dapat melanjutkan
pengobatan di fasyankes primer.
Pencegahan
Vaksin BCG
19

Vaksin BCG adalah vaksin hidup yang dilemahkan yang berasal dari Mycobacterium
bovis. Pemberian vaksinasi BCG berdasarkan Program Pengembangan Imunisasi diberikan
pada bayi 0-2 bulan. Pemberian vaksin BCG pada bayi > 2 bulan harus didahului dengan uji
tuberkulin. Petunjuk pemberian vaksinasi BCG mengacu pada Pedoman Program Pemberian
Imunisasi Kemenkes. Secara umum perlindungan vaksin BCG efektif untuk mencegah
terjadinya TB berat seperti TB milier dan TB meningitis yang sering didapatkan pada usia
muda. Saat ini vaksinasi BCG ulang tidak direkomendasikan karena tidak terbukti memberi
perlindungan tambahan. Perhatian khusus pada pemberian vaksinasi BCG yaitu :
1. Bayi terlahir dari ibu pasien TB BTA positif
Bayi yang terlahir dari ibu yang terdiagnosis TB BTA positif pada trimester 3
kehamilan berisiko tertular ibunya melalui placenta, cairan amnion maupun
hematogen. Sedangkan bayi yang terlahir dari ibu pasien TB BTA positif selama
masa neonatal berisiko tertular ibunya melalui percik renik. Pada kedua kondisi
tersebut bayi sebaiknya dilakukan rujukan
2. Bayi terlahir dari ibu pasien infeksi HIV/AIDS
Bayi yang dilahirkan dari ibu yang terbukti infeksi HIV/AIDS tidak dianjurkan
diberikan imunisasi BCG, bayi sebaiknya dilakukan rujukan untuk pembuktian
apakah bayi sudah terinfeksi HIV atau tidak.
Sejumlah kecil anak-anak (1-2%) mengalami komplikasi setelah vaksinasi BCG. Komplikasi
paling sering termasuk abses lokal, infeksi bakteri sekunder, adenitis supuratif dan
pembentukan keloid lokal. Kebanyakan reaksi akan sembuh selama beberapa bulan. Pada
beberapa kasus dengan reaksi lokal persisten dipertimbangkan untuk dilakukan rujukan.
Begitu juga pada kasus dengan imunodefisiensi mungkin memerlukan rujukan.
Skrining dan Manajemen Kontak
Skrining dan manajemen kontak adalah kegiatan investigasi yang dilakukan secara aktif dan
intensif untuk menemukan 2 hal yaitu anak yang mengalami paparan dari pasien TB BTA
positif, dan orang dewasa yang menjadi sumber penularan bagi anak yang didiagnosis TB.
Tujuan utama skrining dan manajemen kontak adalah :
1. Meningkatkan penemuan kasus melalui deteksi dini dan mengobati temuan kasus sakit
TB.
2. Identifikasi kontak pada semua kelompok umur yang asimtomatik TB, yang berisiko
untuk berkembang jadi sakit TB
20

3. Memberikan terapi pencegahan untuk anak yang terinfeksi TB, meliputi anak usia < 5
tahun dan infeksi HIV pada semua umur.
Kasus TB yang memerlukan skrining kontak adalah semua kasus TB dengan BTA
positif dan semua kasus anak yang didiagnosis TB. Skrining kontak ini dilaksanakan secara
sentripetal dan sentrifugal.
Pencegahan dengan Isoniazid
Sekitar 50-60% anak yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan BTA sputum
positif, akan terinfeksi TB juga. Kira-kira 10% dari jumlah tersebut akan mengalami sakit
TB. Infeksi TB pada anak kecil berisiko tinggi menjadi TB berat (misalnya TB meningitis
atau TB milier) sehingga diperlukan pemberian kemoprofilaksis untuk mencegah terjadinya
sakit TB.

Gambar 7. Tatalaksana Pencegahan Tuberkulosis dengan Isoniazid 1

Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/kgBB (7-15 mg/kg) setiap
hari selama 6 bulan. Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan
terhadap adanya gejala TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3, ke 4, ke 5 atau ke
6, maka harus segera dievaluasi terhadap sakit TB dan jika terbukti sakit TB, pengobatan
harus segera ditukar ke regimen terapi TB anak dimulai dari awal. Jika rejimen Isoniazid
profilaksis selesai diberikan (tidak ada gejala TB selama 6 bulan pemberian), maka rejimen
isoniazid profilaksis dapat dihentikan. Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi
BCG, perlu diberikan BCG setelah pengobatan profilaksis dengan INH selesai.

21

BAB III
Penutup
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh basil Mycobacterium
tuberculosa . Dengan manifestasi klinis yang berlainan antara lain; demam, malese, keringat
malam, anoreksia, batuk, dan juga penurunan berat badan. Selain itu ditemukan adanya
kontak dengan penderita TBC Untuk penegakkan diagnosis dapat dilakukan :
 Pemeriksaan Radiologis
 Pemeriksaan laboratorium (darah dan sputum)
 Uji tuberculin
 Pemeriksaan BTA dalam media biakan
Terapi yang diberikan adalah Rifampicin, INH, Pirazinamide setiap hari selama 2 bulan
pada fase awal. Lalu, dilajutkan Rifampicin, INH setiap hari selama 4 bulan pada fase
lanjutan. Pada beberapa keadaan tertentu diperlukan juga terpai pembedahan. Infeksi
tuberculosa dapat dicegah dengan cara vaksinasi BCG, kemoprofilaksis dengan pemberian
INH selama 1 tahun, dan edukasi. Prognosa penyakit ini menjadi lebih baik sejak
ditemukannya obat anti tuberkulosis, kecuali pada tuberkulosis resisten obat dan pada
tuberkulosis dengan penyulit atau komplikasi yang lainnya
Daftar Pustaka
1. Petunjuk teknis manajemen TB anak. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2013.
2. Pudjiaji AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED.
Pedoman pelayanan medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jilid pertama. Jakarta:
IDAI; 2009. 323-8.
3. WHO. Global Tuberculosis Report [serial online]. WHO; 2015 [Jakarta 2016 Juli 16].
Available from: URL:
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/75938/1/9789241564502_eng.pdf
4. Treatment of tuberculosis guidelines. 4th ed. WHO; 2010.
5. Kemenkes RI. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta: Kemenkes;
2011.
22