Fermentasi tempe diana di Indonesia

FERMENTASI
“TEMPE”

Disusun oleh :
Nur Diana Septi

(1233010021)

JURUSAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UPN ‘VETERAN’ JAWA TIMUR
SURABAYA
2013/2014

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang


Arti kata fermentasi selama ini berubah-ubah. Kata fermentasi berasal dari Bahasa
Latin “fervere” yang berarti merebus (to boil). Arti kata dari Bahasa Latin tersebut dapat
dikaitkan dengan kondisi cairan bergelembung atau mendidih. Keadaan ini disebabkan
adanya aktivitas ragi pada ekstraksi buah-buahan atau biji-bijian. Gelembung-gelembung
karbondioksida dihasilkan dari katabolisme anaerobik terhadap kandungan gula.
Fermentasi mempunyai arti yang berbeda bagi ahli biokimia dan mikrobiologi
industri. Arti fermentasi pada bidang biokimia dihubungkan dengan pembangkitan energi
oleh katabolisme senyawa organik. Pada bidang mikrobiologi industri, fermentasi
mempunyai arti yang lebih luas, yang menggambarkan setiap proses untuk menghasilkan
produk dari pembiakan mikroorganisme.
Perubahan arti kata fermentasi sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
para ahli. Arti kata fermentasi berubah pada saat Gay Lussac berhasil melakukan penelitian
yang menunjukkan penguraian gula menjadi alkohol dan karbondioksida. Selanjutnya
Pasteur melakukan penelitian mengenai penyebab perubahan sifat bahan yang difermentasi,
sehingga dihubungkan dengan mikroorganisme dan akhirnya dengan enzim.
Untuk beberapa lama fermentasi terutama dihubungkan dengan karbohidrat, bahkan
sampai sekarang pun masih sering digunakan. Padahal pengertian fermentasi tersebut lebih
luas lagi, menyangkut juga perombakan protein dan lemak oleh aktivitas mikroorganisme.
Meskipun fermentasi sering dihubungkan dengan pembentukan gas yang disebabkan
oleh mikroorganisme yang hidup, pada saat ini pembentukan gas maupun terdapatnya sel

mikroorganisme hidup tidak merupakan kriteria yang esensial. Dalam beberapa proses
fermentasi misalnya fermentasi asam laktat, tidak ada gas yang dibebaskan. Fermentasi
dapat juga berlangsung (meskipun jarang terjadi) dengan menggunakan ekstrak enzim yang
berfungsi sebagai katalisator reaksi.
Dari uraian diatas dapat disarikan bahwa fermentasi mempunyai pengertian suatu
proses terjadinya perubahan kimia pada suatu substrat organik melalui aktivitas enzim yang
dihasilkan oleh mikroorganisme.
1.2

Tujuan

Makalah ini bertujuan untuk memberikan penjelasan mengenai tempe, cara
pembuatan tempe serta faktor-faktor yang harus diperhatikan dan mikroba yang berperan
dalam fermentasi tempe. Makalah ini memberikan bantuan kepada mahasiswa dalam
mempelajari fermentasi tempe.

BAB II
PEMBAHASAN

Di Indonesia tempe kedelai merupakan jenis makanan hasil proses fermentasi yang

sangat digemari, karena memiliki cita rasa yang khas dan relatif murah harganya. Di samping
itu tempe sudah dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai makanan bergizi tinggi. Proses
fermentasi tempe juga telah diterapkan dalam pengolahan berbagai jenis kacang-kacangan
menjadi produk makanan yang sangat digemari, termasuk oncom yang dibuat dari bungkil
kacang tanah.
Pada dasarnya proses pembuatan tempe merupakan proses penanaman mikroba jenis
jamur Rhizopus sp pada media kedelai, sehingga terjadi proses fermentasi kedelai oleh ragi
tersebut. Hasil fermentasi menyebabkan tekstur kedelai menjadi lebih lunak, terurainya
protein yang terkandung dalam kedelai menjadi lebih sederhana, sehingga mempunyai daya
cerna lebih baik dibandingkan produk pangan dari kedelai yang tidak melalui proses
fermentasi.
Tempe terbuat dari kedelai dengan bantuan jamur Rhizopus sp. Jamur ini akan
mengubah protein kompleks kacang kedelai yang sukar dicerna menjadi protein sederhana
yang mudah dicerna karena adanya perubahan-perubahan kimia pada protein, lemak, dan
karbohidrat. Selama proses fermentasi kedelai menjadi tempe, akan dihasilkan antibiotika
yang akan mencegah penyakit perut seperti diare.
Pembuatan tempe dapat dilakukan dengan berbagai cara dan diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Cara Sederhana
Cara sederhana adalah cara pembuatan tempe yang biasa dilakukan oleh para

pengrajin tempe di Indonesia. Kedelai setelah dilakukan sortasi (untuk memilih kedelai yang
baik dan bersih) dicuci sampai bersih, kemudian direbus yang waktu perebusannya berbedabeda tergantung dari banyaknya kedelai dan biasanya berkisar antara 60-90 menit.
Kedelai yang telah direbus tadi kemudian direndam semalam. Setelah perendaman,
kulit kedelai dikupas dan dicuci sampai bersih. Untuk tahap selanjutnya kedelai dapat direbus
atau dikukus lagi selama 45-60 menit, tetapi pada umumnya perebusan yang kedua ini jarang
dilakukan oleh para pengrajin tempe. Kedelai setelah didinginkan dan ditiriskan diberi laru
tempe, dicampur rata kemudian dibungkus dan dilakukan pemeraman selama 36-48 jam.
2. Cara Baru
Pada prinsipnya cara pembuatan tempe dengan cara baru sama dengan cara yang lama
atau tradisional dan perbedaannya adalah terletak pada tahap pengupasan kulit kedelai.
Dimana pada cara lama (tradisional) kedelai direbus dan direndam bersama kulitnya atau
masih utuh sedangkan pada cara yang baru sebelumnya kedelai telah dikupas kulitnya (kupas
kering) dengan menggunakan alat pengupasan kedelai. Tahap-tahap selanjutnya sama dengan
cara tradisional.

Tempe yang dibuat dengan cara baru warnanya (warna kedelai) lebih pucat bila
dibandingkan dengan cara lama. Hal ini disebabkan karena pada cara baru kedelai direbus
dan direndam dalam keadaan sudah terkupas kulitnya sehingga ada zat-zat yang larut.
Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pembuatan tempe adalah sebagai
berikut:

1.

Oksigen
Oksigen dibutuhkan untuk pertumbuhan kapang. Aliran udara yang terlalu cepat
menyebabkan proses metabolisme akan berjalan cepat sehingga dihasilkan panas yang
dapat merusak pertumbuhan kapang. Oleh karena itu apabila digunakan kantong
plastik sebagai bahan pembungkusnya maka sebaiknya pada kantong tersebut diberi
lubang dengan jarak antara lubang yang satu dengan lubang lainnya sekitar 2 cm.

2.

Uap air.
Uap air yang berlebihan akan menghambat pertumbuhan kapang. Hal ini disebabkan
karena setiap jenis kapang mempunyai Aw optimum untuk pertumbuhannya.

3.

Suhu.
Kapang tempe dapat digolongkan ke dalam mikroba yang bersifat mesofilik, yaitu
dapat tumbuh baik pada suhu ruang (25-27°C). Oleh karena itu, maka pada waktu

pemeraman, suhu ruangan tempat pemeraman perlu diperhatikan.

4.

Keaktifan Laru.
Laru yang disimpan pada suatu periode tertentu akan berkurang keaktifannya. Karena
itu pada pembuatan tempe sebaiknya digunakan laru yang belum terlalu lama
disimpan agar dalam pembuatan tempe tidak mengalami kegagalan.

Untuk membuat tempe dibutuhkan inokulum atau laru tempe atau ragi tempe. Laru
tempe dapat dijumpai dalam berbagai bentuk misalnya bentuk tepung atau yang menempel
pada daun waru dan dikenal dengan nama Usar. Laru dalam bentuk tepung dibuat dengan
cara menumbuhkan spora kapang pada bahan, dikeringkan dan kemudian ditumbuk. Bahan
yang akan digunakan untuk sporulasi dapat bermacam-macam seperti tepung terigu, beras,
jagung, atau umbi-umbian.
Berdasarkan atas tingkat kemurniannya, inokulum atau laru tempe dapat dibedakan
atas: inokulum murni tunggal, inokulum campuran, dan inokulum murni campuran. Adapun
perbedaannya adalah pada jenis dan banyaknya mikroba yang terdapat dan berperan dalam
laru tersebut.
Mikroba yang sering dijumpai pada laru tempe adalah kapang jenis Rhizopus

oligosporus, atau kapang dari jenis R. oryzae. Sedangkan pada laru murni campuran selain
kapang Rhizopus oligosporus, dapat dijumpai pula kultur murni Klebsiella.
Selain bakteri Klebsiella, ada beberapa jenis bakteri yang berperan pula dalam proses
fermentasi tempe diantaranya adalah: Bacillus sp., Lactobacillus sp., Pediococcus sp.,
Streptococcus sp., dan beberapa genus bakteri yang memproduksi vitamin B12. Adanya
bakteri Bacillus sp pada tempe merupakan kontaminan, sehingga hal ini tidak diinginkan.
Pada tempe yang berbeda asalnya sering dijumpai adanya kapang yang berbeda pula
(Dwidjoseputro dan Wolf, 1970). Jenis kapang yang terdapat pada tempe Malang adalah R.
oryzae., R. oligosporus., R. arrhizus dan Mucor rouxii. Kapang tempe dari daerah Surakarta

adalah R. oryzaei dan R. stolonifer sedangkan pada tempe Jakarta dapat dijumpai adanya
kapang Mucor javanicus., Trichosporon pullulans., A. niger dan Fusarium sp.
Masing-masing varietas dari kapang Rhizopus berbeda reaksi biokimianya, hal ini
terutama disebabkan adanya perbedaan dari enzim yang dihasilkan. Pektinase hanya disintesa
oleh R. arrhizus dan R. stolonifer. Sedangkan enzim amilase disintesa oleh R. Oligosporus
dan R. oryzae tetapi tidak disintesa oleh R. arrhizus.
Selama proses fermentasi, kedelai akan mengalami perubahan baik fisik maupun
kimianya. Protein kedelai dengan adanya aktivitas proteolitik kapang akan diuraikan menjadi
asan-asam amino, sehingga nitrogen terlarutnya akan mengalami peningkatan. Dengan
adanya peningkatan dari nitrogen terlarut maka pH juga akan mengalami peningkatan. Nilai

pH untuk tempe yang baik berkisar antara 6,3 sampai 6,5. Kedelai yang telah difermentasi
menjadi tempe akan lebih mudah dicerna. Selama proses fermentasi karbohidrat dan protein
akan dipecah oleh kapang menjadi bagian-bagian yang lebih mudah larut, mudah dicerna dan
ternyata bau langu dari kedelai juga akan hilang.
Kadar air kedelai pada saat sebelum fermentasi mempengaruhi pertumbuhan kapang.
Selama proses fermentasi akan terjadi perubahan pada kadar air dimana setelah 24 jam
fermentasi, kadar air kedelai akan mengalami penurunan menjadi sekitar 61% dan setelah 40
jam fermentasi akan meningkat lagi menjadi 64% (Sudarmaji dan Markakis, 1977).
Perubahan-perubahan lain yang terjadi selama fermentasi tempe adalah berkurangnya
kandungan oligosakarida penyebab flatulence. Penurunan tersebut akan terus berlangsung
sampai fermentasi 72 jam.
Selama fermentasi, asam amino bebas juga akan mengalami peningkatan dan
peningkatannya akan mencapai jumlah terbesar pada waktu fermentasi 72 jam (Murata et al.,
1967). Kandungan serat kasar dan vitamin akan meningkat pula selama fermentasi kecuali
vitamin B1 atau yang lebih dikenal dengan thiamin (Shurtleff dan Aoyagi).

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Tempe adalah produk fermentasi dari kacang kedelai yang sangat digemari penduduk
Indonesia, dimana dalam proses fermentasinya membutuhkan bantuan kapang jenis
Rhizopus oligosporus, atau kapang dari jenis R. oryzae yang terdapat di dalam ragi tempe
yang menyebabkan perubahan fisik dan kimia pada tempe. Nilai pH tempe akan mengalami
peningkatan karena protein kedelai dengan adanya aktivitas proteolitik kapang akan diuraikan
menjadi asan-asam amino, sehingga nitrogen terlarutnya akan mengalami peningkatan. Selain
itu, karbohidrat dan komponen lain pada tempe akan dipecah oleh kapang menjadi bagianbagian yang lebih mudah larut dan mudah dicerna. Sehingga tempe adalah produk pangan
yang lebih baik dibandingkan produk kedelai lain.
Pada tempe terdapat dua cara pembuatan yaitu cara sederhana atau tradisional dan
cara baru. Pada prinsipnya cara pembuatan tempe dengan dua metode tersebut sama,
perbedaannya adalah terletak pada tahap pengupasan kulit kedelai. Selain itu, terdapat
beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam proses pembuatan tempe yaitu oksigen, uap
air, suhu dan keaktifan ragi.

DAFTAR PUSTAKA

Debby Sumanti,Ir,MS, “Materi Teknologi Fermentasi dalam Pelatihan Teknologi Hasil
Pertanian.” ( www.teknologi fermentasi.com)
Dwidjoseputro,D,1994,” Dasar-Dasar Mikrobiologi” edisi ke-12, Djambatan, Jakarta.
RNDr.Bohumil Sikyta DrSc “Methods In Industrial Microbiology” Ellis Horwood

Limited,Marked Cross House, Cooper Street, Chichester, Sussex, England
Srikandi fardiaz “ Fisiologi fermentasi” PAU IPB 1988.
Suprihatin. 2010. “Teknologi Fermentasi” cetakan I. Surabaya: UNESA Press.