BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Penyakit Skabies - Pengaruh Karakteristik dan Perilaku terhadap Kejadian Penyakit Skabies di Panti Asuhan Taman Harapan dan Bustanul Fikri Kota Langsa Tahun 2013

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Penyakit Skabies

  Determinan penyakit skabies tidak terlepas dari faktor host (manusia), agent (tungau), dan environment (lingkungan). Penelitian ini menelaah determinan terhadap kejadian skabies dari aspek karakteristik masyarakat, perilaku (pengetahuan, sikap, kebersihan diri) dan penyediaan air bersih.

  Hendrik L. Blum (1974) menyatakan bahwa ada empat faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan, baik kesehatan individu maupun kesehatan masyarakat. Keempat faktor tersebut yaitu keturunan, lingkungan, perilaku dan pelayanan kesehatan. Disamping berpengaruh kepada kesehatan, juga saling berpengaruh antara satu sama lainnya. Status kesehatan akan tercapai secara optimal bilamana keempat faktor tersebut secara bersama-sama mempunyai kondisi yang optimal pula. (Notoatmodjo, 2007).

2.1.1. Karakteristik

  Karakteristik masyarakat merupakan ciri-ciri yang terdapat pada inividu dalam sosial baik yang merupakan ciri biologis maupun ciri demografi lainnya serta ciri sosialnya. Ada beberapa variabel yang relevan dari karakteristik masyarakat dengan kejadian skabies yaitu umur, jenis kelamin dan pendidikan.

  11

  2.1.1.1 Umur

  Perbedaan umur maka ada kecenderungan terjadi perbedaan terhadap insidens suatu penyakit. Penyakit skabies secara umum banyak menyerang usia anak-anak dan remaja. Penelitian di Behl pada tahun 1985 menyatakan bahwa prevalensi skabies pada anak-anak di desa-desa Indian adalah 100%. Di Santiago, Chili, insiden tertinggi terdapat pada kelompok umur 10 -19 tahun (45%) sedangkan di Sao Paulo, Brazil insiden tertinggi terdapat pada anak di bawah 9 tahun. Di India, Gulati (dikut ip dari 4) melaporkan prevalensi tertinggi pada anak usia 5 - 14 tahun. Hal tersebut berbeda dengan laporan Srivastava yang menyatakan prevalensi tertinggi terdapat pada anak di bawah 5 tahun. Di negara maju, prevalensi skabies sama pada semua golongan umur (Maibach, 1997).

  2.1.1.2 Jenis Kelamin

  Jenis kelamin mempengaruhi tingkat terjadinya penyakit karena berhubungan dengan tingkat mobilisasi atau lingkungan pekerjaan dari orang tersebut. Penyakit skabies banyak dijumpai pada anak dan orang dewasa muda, tetapi dapat mengenai semua umur. Insiden sama pada pria dan wanita. Beberapa faktor yang dapat membantu penyebarannya adalah higiene yang jelek, seksual promiskuitas, diagnosis yang salah, demografi, ekologi, derajat sensitasi individual dan kemiskinan.

  (Harahap, 2013)

  2.1.1.3 Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu indikator human development indeks.

  Demikian juga dengan terjadinya suatu penyakit, beberapa literatur menjelaskan bahwa ada pengaruh pendidikan masyarakat dengan terjadinya suatu penyakit. Demikian juga dengan penyakit skabies, bahwa ada pengaruh pendidikan masyarakat dengan kejadian skabies. Hal ini didukung oleh beberapa penelitian seperti penelitian (Orkin, 1997)., bahwa tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap terjadinya skabies pada anak-anaknya.

  Berdasarkan Riskesdas (2010) menyatakan bahwa pendidikan mempengaruhi pola berpikir pragmatis dan rasional terhadap adat kebiasaan, dengan pendidikan lebih tinggi orang dapat lebih mudah menerima ide atau masalah baru. Tingkat pendidikan mempunyai pengaruh terhadap tindakan ibu dalam pencarian pengobatan dan pemulihan penyakit.

2.1.2. Pengetahuan

  Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan itu terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behaviour) (Notoatmodjo, 2007).

  Pada dasarnya pengetahuan akan terus bertambah dan bervariatif sesuai dengan proses pengalaman manusia yang dialami. Menurut Brunner, proses pengetahuan tersebut melibatkan tiga aspek, yaitu proses mendapatkan informasi, proses transformasi, dan proses evaluasi. Informasi baru yang didapat merupakan pengganti pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya atau merupakan penyempurnaan informasi sebelumnya. Proses transformasi adalah proses memanipulasi pengetahuan agar sesuai dengan tugas-tugas baru. Proses evaluasi dilakukan dengan memeriksa kembali apakah cara mengolah informasi telah memadai. Pengetahuan merupakan hasil mengingat suatu hal, termasuk mengingat kembali kejadian yang pernah dialami baik secara sengaja maupun tidak disengaja dan ini terjadi setelah orang melakukan kontak atau pengamatan terhadap suatu objek tertentu. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Mubarak, 2012).

  Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Terdapat tujuh faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang (Mubarak, 2012).

  1. Pendidikan Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang kepada orang lain agar dapat memahami sesuatu hal. Tidak dapat dipungkiri bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada akhirnya pengetahuan yang dimilikinya akan semakin banyak.

  2. Pekerjaan Lingkungan pekerjaan akan membuat seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan, baik secara langsung maupun tidak langsung.

  3. Umur Dengan bertambahnya umur seseorang akan mengalami perubahan aspek fisik dan psikologis (mental). Secara garis besar, pertumbuhan fisik terdiri atas empat kategori perubahan yaitu perubahan ukuran, perubahan proporsi, hilangnya ciri-ciri lama dan timbulnya ciri-ciri baru. Pada aspek psikologis atau mental, taraf berpikir seseorang menjadi semakin matang dan dewasa.

  4. Minat Minat sebagai suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi terhadap sesuatu. Minat menjadikan seseorang untuk mencoba dan menekuni suatu hal, sehingga seseorang memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam.

  5. Pengalaman Pengalaman adalah suatu kejadian yang pernah dialami seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Orang cenderung berusaha melupakan pengalaman yang kurang baik. Sebaliknya jika pengalaman tersebut menyenangkan, maka secara psikologis mampu menimbulkan kesan yang sangat mendalam dan membekas dalam emosi kejiwaan seseorang. Pengalaman baik ini akhirnya dapat membentuk sikap positif dalam kehidupannya.

  6. Kebudayaan lingkungan sekitar Lingkungan sangat berpengaruh dalam pembentukan sikap pribadi atau sikap seseorang. Kebudayaan lingkungan tempat kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita. Apabila dalam suatu wilayah mempunyai sikap menjaga kebersihan lingkungan, maka sangat mungkin masyarakat sekitarnya mempunyai sikap selalu menjaga kebersihan lingkungan.

7. Informasi

  Kemudahan untuk memperoleh informasi dapat mempercepat seseorang memperoleh pengetahuan yang baru.

   Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai tingkat yang berbeda-beda

  termasuk dalam hal ini kemampuan anak-anak panti dalam menjaga penyakit skabies baik dalam pencegahan maupun dalam pengobatan. Pengetahuan tentang usaha-usaha kesehatan perseorangan untuk memelihara kesehatan diri sendiri, memperbaiki dan mempertinggi nilai kesehatan, serta mencegah timbulnya penyakit (Damayanti, 2005). Usaha-usaha tersebut meliputi :

  a. Kebersihan badan yaitu mandi memakai sabun sekurang-kurangnya dua kali sehari, tangan selalu dalam keadaan bersih, kuku bersih dan pendek, rambut dalam keadaan bersih dan rapi.

  b. Kebersihan pakaian yaitu pakaian dicuci, diseterika, dan disimpan di lemari.

  c. Kebersihan tempat tinggal yaitu kebersihan rumah dan lingkungan sekitarnya.

  Pengetahuan tentang kesehatan adalah mencakup apa yang diketahui oleh seseorang terhadap cara-cara memelihara kesehatan. Pengetahuan tentang cara-cara tersebut meliputi :

  1) Penularan terhadap penyakit menular termasuk dalam hal ini penyakit skabies yang diketahui (tanda-tanda, gejala, penyebab, cara penularan, dan cara pencegahan).

  2) Pengetahuan tentang faktor-faktor yang terkait mempengaruhi kesehatan antara lain gizi makanan, sarana air bersih, pembuangan air limbah, pembuangan sampah, polusi udara, serta kebersihan diri. 3) Pengetahuan tentang fasilitas pelayanan kesehatan yang professional maupun tradisional.

  Dalam penelitiannya Muzakir (2007) menyatakan bahwa, kurangnya pengetahuan tentang skabies, sehingga menyebabkan cepatnya penularan skabies dalam kategori tinggi yang terjadi di dalam lingkungan masyarakat, keluarga maupun individu. Pengetahuan yang diperoleh dalam waktu singkat sulit merubah prilaku seseorang baik dalam mencegah peningkatan kasus skabies ataupun mencegah penularannya. Banyak faktor yang menjadi alasan diantaranya masyarakat kesulitan memperoleh informasi lanjutan yang lebih banyak tentang sesuatu masalah kesehatan setelah informasi utama diperolehnya.

  Penelitian Ma’arufi (2005) menemukan bahwa ada pengaruh pengetahuan santri terhadap kejadian skabies, dimana santri yang menderita skabies, diketahui 70,9% mempunyai pengetahuan kategori rendah dibandingkan santri dengan pengetahuan kategori tinggi (29,1%).

2.1.3. Sikap

  Sikap adalah perasaan, pikiran, dan kecenderungan seseorang yang kurang lebih bersifat permanen mengenai aspe-aspek tertentu dalam lingkungannya. Sikap merupakan kecondongan evaluatif terhadap suatu stimulus atau objek yang berdampak pada bagaimana seseorang berhadapan dengan objek tersebut. Ini berarti sikap menunjukkan kesetujuan atau ketidaksetujuan, suka atau tidak suka seseorang terhadap sesuatu. (Mubarak, 2012)

  Berdasarkan pendapat Mubarak (2012 yang mengutip pendapat para ahli (Alport, 1954), menjelaskan bahwa sikap mempunyai tiga komponen utama yaitu kepercayaan atau keyakinan (ide/konsep), kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek, dan kecenderungan untuk bertindak (trend to

  

behave) . Ketiga komponen tersebut secara bersama-sama membentuk sikap yang

  utuh (total attitude). Sedangkan sikap dikaitkan dengan pendidikan adalah sikap atau tanggapan peserta didik terhadap materi pendidikan yang diberikan.

  Sikap mempunyai beberapa tingkatan yaitu : (Notoatmodjo, 2007) 1. Menerima (Receiving)

  Menerima dapat diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).

  2. Merespon (Responding) Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas- tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pekerjaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, lepas pekerjaan itu benar atau salah, berarti orang menerima ide tersebut.

  3. Menghargai (Valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya, seseorang mau mengajak temannya untuk pemeriksaan kesehatan secara berkala.

4. Bertanggung jawab (Responsible)

  Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi. Misalnya, Seorang ibu mau menjadi akseptor KB, meskipun mendapat tantangan dari mertua atau orang tuanya sendiri.

  Pengukuran sikap dilakukan dengan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat dinyatakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek. Misalnya, bagaimana pendapat anda tentang pelayanan dokter di Rumah Sakit? Secara langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat responden. Misalnya, apabila rumah ibu luas, apakah boleh dipakai untuk kegiatan posyandu? (Sangat setuju, Setuju, Tidak Setuju, Sangat tidak setuju) (Notoatmodjo, 2007)

2.1.4. Kebersihan Diri (Personal Hygiene)

  PHBS adalah bentuk perwujudan paradigma sehat dalam budaya hidup perorangan, keluarga dan masyarakat yang berorientasi sehat, dengan tujuan untuk meningkatkan, memelihara dan melindungi kesehatannya baik fisik, mental spiritual maupun sosial. Salah satu indikator PHBS dalam tatanan rumah tangga adalah kebersihan perorangan atau personal hygiene (Darsono, 2003)

  Personal hygiene adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan

  kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis Personal hygiene bertujuan agar manusia dapat memelihara kesehatan diri sendiri, mempertinggi dan memperbaiki nilai kesehatan, serta mencegah timbulnya penyakit. Personal hygiene disini antara lain mencakup kebersihan kulit, kebersihan rambut, perawatan gigi dan mulut, kebersihan tangan, perawatan kuku kaki dan tangan, pemakaian alas kaki, kebersihan pakaian, makanan dan tempat tinggal (Tarwoto, 2003).

  Kebersihan diri adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis. Banyak manfaat yang dapat dipetik dengan merawat kebersihan diri, memperbaiki kebersihan diri, mencegah penyakit, meningkatkan kepercayaan diri dan menciptakan keindahan. Kebersihan individu yang buruk atau bermasalah akan mengakibatkan berbagai dampak baik fisik maupun psiskososial. Dampak fisik yang sering dialami seseorang tidak terjaga dengan baik adalah gangguan integritas kulit (Wartonah, 2003).

  Kebersihan diri bisa juga dilihat dari tingkah laku sehari-hari dalam usaha penyesuaian diri terhadap lingkungan yang mengandung unsur afektif/perasaan.

  Kebersihan diri juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan kebudayaan, dan dikembangkan manusia sejak ia lahir. Tingkah laku seseorang tidak terlepas dari kebiasaan yang ada dalam lingkungan masyarakat tempat seseorang atau kelompok masyarakat berinteraksi. Hal ini dapat disimpulkan kebiasaan para anak-anak panti yang ada dalam sebuah panti asuhan tentu tidak akan terlepas dari kebiasaan-kebiasan dalam lingkungan panti asuhan tersebut (Damayanti, 2005).

  Penyakit-penyakit menular di lingkungan yang sering terjadi akibat dari kurangnya kebersihan diantaranya tuberculosis paru, infeksi saluran pernapasan atas, diare, cacingan, dan penyakit kulit (dermatitis, scabies) masih merupakan masalah kesehatan yang juga dapat ditemukan di lingkungan-lingkungan yang kurang hygienenya seperti di Tempat Pembuangan Akhir (Santosa, 2002).

2.1.5. Penyediaan Air Bersih

  Air adalah sangat penting bagi kehidupan manusia. Manusia akan lebih cepat meninggal karena kekurangan air daripada kekurangan makanan. Dalam tubuh manusia itu sendiri sebagian besar terdiri dari air. Tubuh orang dewasa, sekitar 55- 60% berat badan terdiri dari air, untuk anak-anak sekitar 65% dan untuk bayi sekitar 80%. (Notoatmodjo, 2007)

  Menurut Green (1996) sarana dan fasilitas merupakan faktor enabling yang dapat bersifat positif maupun negatif. Oleh karena itu perilaku kepatuhan seseorang sangat dipengaruhi oleh sarana dan fasilitas yang tersedia, bagaimana cara penggunaanya, posisi atau letak dari sarana tersebut dan bagaimana cara pemeliharaan sarana tersebut.

  Air merupakan kebutuhan utama bagi proses kehidupan di bumi, sehingga tidak ada kehidupan seandainya di bumi tidak ada air. Namun demikian, air dapat menjadi malapetaka bilamana tidak tersedia dalam kondisi yang benar, baik kualitas maupun kuantitasnya. Air yang relative bersih sangat didambakan oleh manusia, baik untuk keperluan hidup sehari-hari, untuk keperluan industri, untuk kebersihan sanitasi kota, maupun untuk keperluan pertanian dan lain sebagainya. Dewasa ini, air menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian yang serius. Untuk mendapat air yang baik sesuai dengan standar tertentu, saat ini menjadi barang yang mahal, karena air sudah banyak tercemar oleh bermacam-macam limbah dari berbagai hasil kegiatan manusia. Sehingga secara kualitas, sumberdaya air telah mengalami penurunan. Demikian pula secara kuantitas, yang sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan yang terus meningkat (Warlina, 2004).

  Sebuah rumah dikatakan sehat apabila rumah tersebut memiliki fasilitas- fasilitas sebagai beriku: (Notoatmodjo, 2007)

1. Penyediaan air bersih yang cukup 2.

  Pembuangan tinja 3. Pembuangan air limbah 4. Pembuangan sampah 5. Fasilitas dapur 6. Ruang berkumpul keluarga

  Air rumah tangga harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : (Entjang, 2000).

  1. Syarat fisik yaitu: jernih, tak berwarna, tak berasa dan tak berbau. 2. yarat khemis (syarat kimiawi) yaitu tidak mengandung zat-zat yang berbahaya untuk kesehatan seperti zat-zat racun, dan tidak mengandung mineral-mineral serta zat-zat organik lebih tinggi dari jumlah yang telah ditentukan.

  3. Syarat bakteriologis yaitu air tidak boleh mengandung suatu bibit penyakit.

  Penyakit yang sering menular dengan perantaraan air adalah penyakit yang tergolong kedalam golongan “water borne diseases

  . Air rumah tangga

  dikatakan memenuhi syarat bakteriologis bila: tidak mengandung suatu bibit penyakit, tidak mengandung bakteri Escherichia coli dan bakteri saprophyt tidak lebih dari 100/ml air.

  Ada dua cara umum penularan penyakit : (Timmreck, 2004) 1. Penularan langsung atau juga dikenal sebagai penularan dari orang ke orang, adalah perpindahan patogen atau agens secara langsung dan segera dari pejamu/resrvoir ke pejamu yang rentan. Penularan langsung dapat terjadi melalui kontak fisik atau kontak langsung orang ke orang, seperti bersentuhan dengan tangan yang terkontaminasi, sentuhan kulit dengan kulit, berciuman, atau hubungan seksual.

  2. Penularan tidak langsung terjadi ketika patogen atau agens berpindah atau terbawa melalui beberapa item, organisme, benda, atau proses perantara menuju pejamu yang rentan sehingga menimbulkan penyakit. Penularan tidak langsung dilakukan melalui beberapa cara penularan berikut:

  • patogen ke pejamu dan menginfeksinya.

  Penularan airborne terjadi ketika droplet atau partikel debu membawa

  • kolam renang, sungai, atau danau yang digunakan untuk berenang.

  Penularan waterborne terjadi ketika patogen terbawa dalam air minum,

  • misalnya peralatan makan, pakaian, peralatan cuci, sisir, botol air minum, dan sebagainya.

  Penularan vehicleborne berhubungan dengan fomite (barang/benda), Secara tradisional empat penggolongan penyakit yang berkaitan dengan air adalah : (Achmadi, 2001).

  1. Water borne diseases, adalah penyakit yang ditularkan langsung melalui air minum, di mana air yang diminum mengandung kuman pathogen sehingga menyebabkan yang bersangkutan menjadi sakit. Penyakit-penyakit yang tergolong water borne diseases adalah: kolera, typhus, desentri , dll.

  2. Water washed diseases, merupakan penyakit yang berkaitan dengan kekurangan air higiene perorangan. Penyakit yang tergolong di sini adalah: skabies, infeksi kulit, dan selaput lendir, trakhoma, lepra, dll.

  3. Water based diseases, merupakan penyakit yang disebabkan oleh bibit penyakit yang sebagian siklus kehidupannya berhubungan dengan air. Penyakit yang tergolong di sini dan ada di Indonesia adalah Schistosomiasis.

  4. Water Related Vectors, adalah penyakit yang ditularkan oleh vektor penyakit yang sebagian atau seluruhnya perindukannya berada di air. Penyakit yang tergolong di sini adalah malaria, demam berdarah dengue, filariasis dsb. Ketersediaan air bersih sangat mempengaruhi terjadinya skabies. Keterbatasan air bersih membuat orang menjadi malas mandi atau jarang mandi, mandi dalam keadaan kurang bersih atau mandi seadanya, sehingga tubuh menjadi tidak bersih dan mudah dihinggap oleh penyakit kulit, yang salah satunya adalah penyakit scabies (Cakmoki, 2007).

  Peran air sebagai pembawa penyakit menular terutama penyakit scabies, bermacam-macam antara lain: 1) air sebagai media untuk hidup mikroba pathogen, 2) air sebagai sarang insekta penyebar penyakit, 3) jumlah air yang tersedia tak cukup, sehingga manusia bersangkutan tak dapat membersihkan diri dan 4) air sebagai media untuk hidup vector penyakit. Ada beberapa penyakit yang masuk dalam katagori

  

water-borne diseases , atau penyakit-penyakit yang dibawa oleh air, yang masih

  banyak terdapat di daerah-daerah. Penyakit-penyakit ini dapat menyebar bila mikroba penyebabnya dapat masuk ke dalam sumber air yang dipakai masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sedangkan jenis mikroba yang dapat menyebar lewat air antara lain, bakteri, protozoa dan metazoa (Warlina, 2004).

  Akses penduduk Kota Langsa terhadap air bersih tahun 2012 meliputi: air kemasan 5,5%, air isi ulang 0,1%, leding meteran 20,4%, leding eceran 0,5%,sumur pompa 14%, sumur terlindung 25,6%, mata air terlindung 10,5%, air hujan 0,2%, sumur tidak terlindung1,1% dan lain-lain1,4%. Terjadi peningkatan dibanding dengan tahun sebelumnya. Selama ini pengawasan kualitas air minum belum mendapat perhatian serius meskipun penyakit-penyakit bersumber air masih tinggi.

  (Profil Kesehatan Kota Langsa, 2012) Berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 492 tahun 2010 menyatakan bahwa air minum dan air rumah tangga yang aman bagi kesehatan adalah air yang memenuhi persyaratan fisika, mikrobiologis, kimiawi dan radioaktif yang dimuat dalam parameter wajib dan parameter tambahan. Persyaratan fisik yang harus dipenuhi adalah tidak berbau, warna (15 TCU), total zat padat terlarut (TDS), kekeruhan (5 NTU), tidak berasa dan suhu kurang dari 5 derajat celcius.

2.2. Penyakit Skabies

  2.2.1. Definisi

  Skabies (gudik) adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh

  

Sarcoptes scabiei varian hominis (sejenis kutu, tungau), ditandai dengan keluhan

  gatal, terutama pada malam hari dan ditularkan melalui kontak langsung atau tidak langsung melalui bekas alas tidur atau pakaian (Cakmoki, 2007).

  Skabies merupakan penyakit endemi pada banyak masyarakat. Penyakit ini dapat mengenai semua ras dan golongan diseluruh dunia. Penyakit ini banyak dijumpai pada anak dan orang dewasa muda, tetapi dapat mengenai semua umur. Insiden sama pada pria dan wanita. Beberapa faktor yang dapat membantu penyebarannya adalah higiene yang jelek, seksual promiskuitas, diagnosis yang salah, demografi, ekologi, derajat sensitasi individual dan kemiskinan. (Harahap, 2013)

  2.2.2. Etiologi dan Patogenesis Sarcoptes scabiei adalah tungau kecil berbentuk lonjong, punggungnya

  cembung dan bagian perutnya rata. Tungau tersebut translusen, berwarna putih kotor dan tidak bermata. Besar tungau bervariasi, yang betina berukuran kurang lebih 339- 450 x 250-350 mikron, sedangkan tungau jantan lebih kecil yaitu 200-240 x 150-200 mikron. Tubuh tungau terbagi bagian anterior yang disebut nototoraks dan bagian posterior yang disebut dengan notogaster. Nototoraks dan notogaster masing-masing mempunyai dua pasang kaki. Pada tungau betina dua pasang kaki kedua berakhir dengan rambut dan kaki keempat berakhir dengan ambulacra (semacam alat yang melengketkan diri) (Harahap, 2013).

  Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap tungau Sarcoptes scabiei varietas hominis. Skabies disebut juga dengan the

  

itch, pamaan itch, seven year itch (diistilahkan dengan penyakit yang terjadi tujuh

  tahunan). Di Indonesia skabies lebih dikenal dengan nama gudik, kudis, buduk, kerak, penyakit ampera dan gatal agogo (Djuanda, 2006).

  Patogenesis skabies ditandai dengan kelainan kulit disebabkan tidak hanya oleh tungau sarcoptes scabiei, tetapi juga oleh penderita sendiri akibat garukan. Gatal yang terjadi disebabkan oleh sesitisasi terhadap sekreta dan eksreta tungau yang memerlukan waktu kira-kira sebulan setelah infestasi. Pada saat itu kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel, urtika dan lain-lain. Akibat garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder.

  2.2.3. Gambaran Klinis Skabies

  Gatal merupakan gejala utama sebelum gejala klinis lainnya muncul, rasa gatal biasanya hanya pada lesi tetapi pada skabies kronis gatal dapat dirasakan pada seluruh tubuh. Gejala yang timbul antara lain ada rasa gatal yang hebat pada malam hari, ruam kulit yang terjadi terutama di bagian sela-sela jari tangan, di bawah ketiak, pinggang, alat kelamin, sekeliling siku, aerola mammale (area sekeliling puting susu), dan permukaan depan pergelangan (Sungkar, 2001).

  Ciri-ciri seseorang terkena skabies adalah kulit penderita penuh bintik-bintik kecil sampai besar, berwarna kemerahan yang disebabkan garukan keras. Bintik- bintik itu akan menjadi bernanah jika terinfeksi (Djuanda, 2006). Ginanjar, 2006 menyatakan ada empat tanda kardinal yaitu : a.

  Pruritus nokturna yaitu gatal pada malam hari yang disebabkan karena aktifitas tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas.

  b.

  Penyakit ini menyerang secara kelompok, mereka yang tinggal di asrama, barak-barak tentara, panti asuhan maupun panti asuhan berpeluang lebih besar terkena penyakit ini. Penyakit ini amat mudah menular melalui pemakaian handuk, baju maupun seprai secara bersama-sama. Skabies mudah menyerang daerah yang tingkat kebersihan diri dan lingkungan masyarakatnya rendah.

  c.

  Adanya torowongan (kunikulus) dibawah kulit yang berbentuk lurus atau berkelok-kelok. Jika terjadi infeksi sekunder oleh bakteri maka akan timbul gambaran pustula (bisul kecil), lokalisasi kulit ini berada pada daerah lipatan kulit yang tipis seperti sela-sela jari tangan, daerah sekitar kemaluan, siku bagian luar, kulit sekitar payudara bokong dan perut bagian bawah.

  d.

  Menemukan tungau pada pemeriksaan kerokan kulit, merupakan hal yang paling diagnostik, dapat ditemukan satu atau lebih stadium tungau ini.

2.2.4. Diagnosis Skabies

  Diagnosis klinis ditetapkan berdasarkan anamnesis yaitu adanya pruritus nokturna dan erupsi kulit berupa papul, vesikel dan pustula di tempat predileksi.

  Selain itu, didapat keterangan bahwa gejala penyakit ini terdapat pada sekelompok orang. Diagnosis pasti ditetapkan dengan menemukan tungau atau telurnya pada pemeriksaan laboratorium. Namun dengan cara permeriksaan tersebut tungau sulit ditemukan karena tungau yang menginfestasikan penderita hanya sedikit (Medicastore, 2007).

  Beberapa cara yang dapat dipakai untuk menemukan tungau, telur atau terowongan adalah : a. Kerokan kulit

  Papul atau terowongan yang baru dibentuk dan utuh ditetesi minyak mineral, kemudian dikerok dengan skalpel steril untuk mengangkat atap papul atau terowongan. Hasil kerokan diletakkan di gelas obyek dan ditutup dengan kaca tutup lalu diperiksa dibawah miskroskop.

  b. Mengambil tungau dengan jarum Jarum ditusukkan pada terowongan di bagian yang gelap dan digerakkan tangensial. Tungau akan memegang ujung jarum dan dapat diangkat ke luar.

  c. Kuretasi terowongan (kuret dermal) Kuretasi dilakukan secara superfisial mengikuti sumbu panjang, terowongan atau puncak papul. Hasil kuret diletakkan pada gelas obyek dan ditetesi minyak mineral lalu diperiksa dengan mikroskop.

  d. Sweb kulit Kulit dibersihkan dengan eter lalu dilekatkan selotip dan diangkat dengan cepat.

  Selotip dilekatkan pada gelas obyek kemudian diperiksa dengan mikroskop.

  e. Burow ink test Papul skabies dilapisi tinta cina dengan menggunakan pena lalu dibiarkan selama 20 - 30 menit kemudian dihapus dengan alkohol. Tes dinyatakan positif bila tinta masuk ke dalam terowongan dan membentuk gambaran khas berupa garis zig zag. f. Uji tetrasiklin Tetrasiklin dioleskan pada daerah yang dicurigai ada terowongan, kemudian dibersihkan dan diperiksa dengan lampu Wood. Tetrasiklin dalam terowongan akan menunjukkan fluoresensi.

  g. Epidermal shave biopsy Papul atau terowongan yang dicurigai diangkat dengan ibu jari dan telunjuk lalu diiris dengan skalpel. Biopsi dilakukan sangat superfisial sehingga perdarahan tidak terjadi dan tidak perlu anestesi. Spesimen diletakkan pada gelas obyek, ditetesi dengan minyak mineral dan diperiksa dengan mikroskop.

  h. Pemeriksaan histopatologik Gambaran histopatologik menunjukkan bahwa terowongan terletak pada stratum korneum, dan hanya ujung terowongan tempat tungau betina berada terletak di irisan dermis. Pemeriksaan histopatologik tidak mempunyai nilai diagnostik kecuali bila pada pemeriksaan tersebut ditemukan tungau atau telurnya. Daerah yang berisi tungau menunjukkan sejumlah eosinofil dan sulit dibedakan dengan reaksi gigitan artropoda lainnya misalnya gigitan nyamuk atau katu busuk.

  Berbagai cara pemeriksaan di atas, kerokan kulit merupakan cara yang paling mudah dilakukan dan memberikan hasil yang paling memuaskan. Mengambil tungau dengan jarum memerlukan keterampilan khusus dan jarang berhasil karena biasanya terowongan sulit diidentifikasi dan letak tungau sulit diketahui. Swab kulit mudah dilakukan tetapi memerlukan waktu lama karena dari 1 lesi harus dilakukan 6 kali pemeriksaan sedangkan pemeriksaan dilakukan pada hampir seluruh lesi. Burrow ink

  

test, dan uji tetrasiklin jarang memberikan hasil positif karena biasanya penderita

  datang pada keadaan lanjut dan sudah terjadi infeksi sekunder sehingga terowongan tertutup oleh krusta dan tidak dapat dimasuki tinta atau salep (Ginanjar, 2006).

  Agar pemeriksaan berhasil baik terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan pada waktu melakukan pemeriksaan laboratorium yaitu : 1) Kerokan kulit jangan dilakukan pada lesi ekskoriasi dan lesi dengan infeksi sekunder. Pada lesi ekskoriasi tungau mungkin sudah terangkat oleh garutan dan pada lesi dengan infeksi sekunder terdapat pus yang bersifat akarisida sehingga tungau tidak ditemukan pada lesi tersebut, selain itu kerok kulit didaerah infeksi sekunder dapat memperberat infeksi. 2) Kerokan harus superfisial karena tungau berada dalam stratum korneum, jadi kerokan tidak boleh berdarah.

  3) Papel yang baik untuk dikerok adalah papul yang baru dibentuk yaitu berbentuk lonjong dan tidak berkrusta karena biasanya tungau ditemukan pada papul atau terowongan yang baru dibentuk. 4) Jangan mengerok dari satu lesi tetapi keroklah dari beberapa lesi tungau belum tentu berada dalam lesi tersebut.

  5) Lokasi yang paling sering terinfeksi adalah sela jari tangan, karena itu perhatian utama ditujukan pada daerah tersebut.

  6) Sebelum mengerok, tetes minyak mineral pada scalpel dan pada lesi yang akan dikerok.

  Diagnosis skabies dapat ditegakkan atas dasar : (Harahap, 2013) 1. Adanya terowongan yang sedikit meninggi, berbentuk garis lurus atau berkelok- kelok, panjangnya beberapa milimeter sampai 1 cm, dan pada ujungnya tampak vesikula, papula, atau pustula.

  2. Tempat predileksi yang khas adalah sela jari, pergelangan tangan bagian volar, siku, lipat ketiak bagian depan, areola mammae, sekitar umbilikus, abdomen bagian bawah, genitalia eksterna pria.

  3. Penyembuhan cepat setelah pemberian obat anti skabies topikal yang efektif.

  4. Adanya gatal pada malam hari. Bila lebih dari satu anggota keluarga menderita gatal, harus dicurigai adanya skabies.

2.2.5. Bentuk Penyakit Skabies

  Sarcoptes scabiei termasuk Filum Arthropoda, Kelas Arachnida, Ordo Ackari, superfamili Sarcoptoidea dan Genus Sarcoptes.

  Terdapat beberapa bentuk skabies atipik yang jarang ditemukan dan sulit dikenal, sehingga dapat menimbulkan kesalahan diagnosis. Beberapa bentuk tersebut antara lain (Budiman, 2006) :

  1. Skabies pada orang bersih (scabies of cultivated). Bentuk ini ditandai dengan lesi berupa papul dan terowongan yang sedikit jumlahnya sehingga sangat sukar ditemukan.

  2. Skabies incognito. Bentuk ini timbul pada scabies yang diobati dengan kortikosteroid sehingga gejala dan tanda klinis membaik, tetapi tungau tetap ada dan penularan masih bisa terjadi. Skabies incognito sering juga menunjukkan gejala klinis yang tidak biasa, distribusi atipik, lesi luas dan mirip penyakit lain.

  3. Skabies nodular. Pada bentuk ini lesi berupa nodus coklat kemerahan yang gatal. Nodus biasanya terdapat didaerah tertutup, terutama pada genitalia laki- laki, inguinal dan aksila. Nodus ini timbul sebagai reaksi hipersensetivitas terhadap tungau scabies. Pada nodus yang berumur lebih dari satu bulan tungau jarang ditemukan. Nodus mungkin dapat menetap selama beberapa bulan sampai satu tahun meskipun telah diberi pengobatan anti scabies dan kortikosteroid.

  4. Skabies yang ditularkan melalui hewan. Di Amerika, sumber utama skabies adalah anjing. Kelainan ini berbeda dengan skabies manusia yaitu tidak terdapat terowongan, tidak menyerang sela jari dan genitalia eksterna. Lesi biasanya terdapat pada daerah dimana orang sering kontak/memeluk binatang kesayangannya yaitu paha, perut, dada dan lengan. Masa inkubasi lebih pendek dan transmisi lebih mudah. Kelainan ini bersifat sementara (4 – 8 minggu) dan dapat sembuh sendiri karena S.scabiei var. binatang tidak dapat melanjutkan siklus hidupnya pada manusia.

  5. Skabies Norwegia. Skabies Norwegia atau skabies krustosa ditandai oleh lesi yang luas dengan krusta, skuama generalisata dan hyperkeratosis yang tebal.

  Tempat predileksi biasanya kulit kepala yang berambut, telinga bokong, siku, lutut, telapak tangan dan kaki yang dapat disertai distrofi kuku. Berbeda dengan scabies biasa, rasa gatal pada penderita skabies Norwegia tidak menonjol tetapi bentuk ini sangat menular karena jumlah tungau yang menginfestasi sangat banyak (ribuan). Skabies Norwegia terjadi akibat defisiensi imunologik sehingga sistem imun tubuh gagal membatasi proliferasi tungau dapat berkembangbiak dengan mudah.

  6. Skabies pada bayi dan anak. Lesi skabies pada anak dapat mengenai seluruh tubuh, termasuk seluruh kepala, leher, telapak tangan, telapak kaki, dan sering terjadi infeksi sekunder berupa impetigo, ektima sehingga terowongan jarang ditemukan. Pada bayi, lesi di muka.

  7. Skabies terbaring ditempat tidur (bed ridden). Penderita penyakit kronis dan orang tua yang terpaksa harus tinggal ditempat tidur dapat menderita skabies yang lesinya terbatas.

2.2.6. Siklus Hidup Skabies

  Setelah terjadi kopulasi (perkawinan) di atas kulit, jantan akan mati atau kadang-kadang masih dapat hidup beberapa hari didalam terowongan yang digali oleh tungau betina. Tungau betina yang telah dibuahi menggali terowongan dan dapat tinggal selama hidupnya yaitu kurang lebih 30 hari.

  Tungau betina bertelur sebanyak 2 – 3 butir perhari dapat bertelur sepanjang hidupnya 4 – 5 minggu dan telurnya akan menetes setelah 3 – 5 hari menjadi larva yang mempunyai tiga pasang kaki, larva ini dapat tinggal dalam terowongan, dan dapat juga keluar setelah 2 – 3 hari larva akan menjadi nimfa yang mempunyai dua bentuk jantan dan betina. Waktu yang diperlukan dari telur hingga bentuk dewasa adalah 10 – 14 hari. Tungau jantan mempunyai masa hidup yang lebih pendek daripada tungau betina, dan mempunyai peran yang lebih kecil pada patogenesis penyakit biasanya hanya hidup di permukaan kulit dan akan mati setelah membuahi tungau betina. Tungau ini merupakan parasit obligat pada manusia dan hanya dapat hidup diluar tubuh manusia selama kurang lebih 2 – 3 hari (Ginanjar, 2006).

2.2.7. Epidemiologi Skabies

  Secara epidemiologi terjadinya suatu penyakit disebabkan oleh tidak adanya keseimbangan antara host (manusia), agent (penyebab) dengan environment (lingkungan), apabila salah satu faktor tersebut terjadi permasalahan maka akan menjadi efek terhadap permasalahan kesehatan. Demikian juga penyebab terjadinya penyakit skabies yaitu karena terjadinya ketidakseimbangan antara orang, penyebab dan lingkungan disekitarnya. (Widoyono, 2011).

  Insiden skabies di negara berkembang menunjukkan siklus fluktuasi yang sampai saat ini belum dapat dijelaskan. Interval antara akhir dari suatu epidemi dan permulaan epidemi berikutnya kurang lebih 10-15 tahun. Insidennya di Indonesia masih cukup tinggi, terendah di Sulawesi Utara dan tertinggi di Jawa Barat.

  Amiruddin dkk, dalam penelitian skabies di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya, menemukan insidens penderita skabies selama 1983-1984 adalah 2,7%. Abu A dalam penelitiannya di RSU Dadi Ujung Pandang mendapatkan insidens skabies 0,67% pada tahun 1987-9188. (Harahap, 2013)

  Dariansyah, 2006 dalam penelitiannya yang dilakukan juga di pesantren Oemar Diyan dari 61 santri yang diambil 37 orang menderita skabies dan 24 orang tidak menderita skabies. Hasil penelitian ini didapatkan OR 2,2. Di pesantren yang padat penghuninya prevalensi skabies mencapai 78,7%, tingginya prevalensi pada kelompok tersebut yang kebersihan dirinya kurang baik 72,7% dan pada kelompok yang kebersihan dirinya baik hanya 2,2% - 3,8%.

  Menurut Departemen Kesehatan RI prevalensi skabies di Puskesmas seluruh Indonesia pada tahun 1996 adalah 4.6%-12,9%, dan skabies menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit tersering (Kusnoputranto, 2002).

  Berdasarkan data KSDAI tahun 2001 yang dikumpulkan dari sembilan rumah sakit di kota besar Indonesia, jumlah penderita skabies yang tertinggi ditemukan di Ibu Kota Jakarta sebanyak 335 kasus. Hal ini sesuai dengan Kota Jakarta memiliki jumlah penduduk terbanyak sebagai salah satu faktor pendukung perkembangan skabies. Skabies ditemukan pada semua kelompok usia sekolah menduduki jumlah terbanyak (Boediardja, 2003)

2.2.8. Penularan Skabies

  Penularan penyakit skabies dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung, adapun cara penularanya adalah : a. Kontak langsung (kulit dengan kulit)

  Penularan skabies terutama melalui kontak langsung seperti berjabat tangan, tidur bersama dan hubungan seksual. Pada orang dewasa hubungan seksual merupakan cara tersering, sedangkan pada anak-anak penularan didapat dari orang tua atau temannya.

  b. Kontak tak langsung (melalui benda) Penularan melalui kontak tidak langsung, misalnya melalui perlengkapan tidur, pakaian atau handuk dahulu dikatakan mempunyai peran kecil pada penularan. Namun demikian, penelitian terakhir menunjukkan bahwa hal tersebut memegang peranan penting dalam penularan skabies dan dinyatakan bahwa sumber penularan utama adalah selimut, pakaian dalam dan penderita perempuan. Skabies Norwegia, merupakan sumber utama terjadinya wabah skabies pada rumah sakit, panti jompo, pemondokan/asrama dan rumah sakit jiwa karena banyak mengandung tungau (Djuanda, 2006).

2.2.9. Pencegahan Skabies

  Siregar (1996) yang dikutip Ruteng, 2007, penyakit ini sangat erat kaitannya dengan kebersihan dan lingkungan yang kurang baik oleh sebab itu untuk mencegah penyebaran penyakit ini dapat dilakukan dengan cara : a.

  Mandi secara teratur dengan menggunakan sabun

  b. Mencuci pakaian, sprei, sarung bantal, selimut dan lainnya secara teratur minimal 2 kali dalam seminggu c. Menjemur kasur dan bantal minimal 2 minggu sekali.

  d. Tidak saling bertukar pakaian dan handuk dengan orang lain.

  e. Hindari kontak dengan orang-orang atau kain serta pakaian yang dicurigai terinfeksi tungau skabies.

  f. Menjaga kebersihan rumah dan berventilasi cukup.

  Prabu (1996) yang dikutip Muzakir (2007), menjaga kebersihan tubuh sangat penting untuk menjaga infestasi parasit. Sebaiknya mandi dua kali sehari, serta menghindari kontak langsung dengan penderita, mengingat parasit mudah menular pada kulit. Walaupun penyakit ini hanya merupakan penyakit kulit biasa, dan tidak membahayakan jiwa, namun penyakit ini sangat mengganggu kehidupan sehari-hari.

  Bila pengobatan sudah dilakukan secara tuntas, tidak menjamin terbebas dari infeksi ulang. Dariansyah, 2006 yang mengutip pendapat Azwar, langkah yang dapat diambil adalah sebagai berikut : 1) Suci hamakan sisir, sikat rambut dan perhiasan rambut dengan cara merendam di cairan antiseptik.

  2) Cuci semua handuk, pakaian, sprei dalam air sabun hangat dan gunakan seterika panas untuk membunuh semua telurnya, atau dicuci kering (dry-cleaned).

  3) Keringkan topi yang bersih, kerudung dan jaket. 4) Hindari pemakaian bersama sisir, mukena atau jilbab.

  Departemen Kesehatan RI, 2002, memberikan beberapa cara pencegahan yang dilakukan penyuluhan kepada masyarakat dan komunitas kesehatan tentang cara penularan, diagnosis dini dan cara pengobatan penderita skabies dan orang- orang yang kontak meliputi : 1) Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya 2) Laporan kepada Dinas Kesehatan setempat namun laporan resmi jarang dilakukan.

  3) Isolasi anak-anak panti yang terinfeksi dilarang masuk ke dalam pondok sampai dilakukan pengobatan.

  Penderita yang dirawat di Rumah Sakit diisolasi sampai dengan 24 jam setelah dilakukan pengobatan yang efektif. Disinfeksi serentak yaitu pakaian dalam dan sprei yang digunakan oleh penderita dalam 48 jam pertama sebelum pengobatan dicuci dengan menggunakan sistem pemanasan pada proses pencucian dan pengeringan, hal ini membunuh kutu dan telur. Tindakan ini tidak dibutuhkan pada infestasi yang berat. Mencuci sprei, sarung bantal dan pakaian pada penderita (Ruteng, 2007).

  Penanggulangan wabah yang terjadi dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya : 1) Berikan pengobatan dan penyuluhan kepada penderita dan orang yang berisiko. 2) Pengobatan dilakukan secara massal. 3) Penemuan kasus dilakukan secara serentak baik didalam keluarga, didalam unit atau institusi militer, jika memungkinkan penderita dipindahkan.

  4) Sediakan sabun, sarana pemandian, dan pencucian umum, jika ada sangat membantu dalam pencegahan infeksi.

2.3. Panti Asuhan

2.3.1. Pengertian Panti Asuhan

  Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan panti asuhan sebagai rumah tempat memelihara dan merawat anak yatim piatu dan sebagainya. Panti asuhan adalah suatu lembaga usaha kesejahteraan sosial yang mempunyai tanggung jawab untuk memberikan pelayanan kesejahteraan sosial kepada anak telantar dengan melaksanakan penyantunan dan pengentasan anak telantar, memberikan pelayanan pengganti fisik, mental, dan sosial pada anak asuh, sehingga memperoleh kesempatan yang luas, tepat dan memadai bagi perkembangan kepribadiannya sesuai dengan yang diharapkan sebagai bagian dari generasi penerus cita-cita bangsa dan sebagai insan yang akan turut serta aktif di dalam bidang pembangunan nasional (Depsos, RI, 2009) Kesimpulan dari uraian di atas bahwa panti asuhan merupakan lembaga kesejahteraan sosial yang bertanggung jawab memberikan pelayanan pengganti dalam pemenuhan kebutuhan fisik, mental, dan sosial pada anak asuhnya, sehingga mereka memperoleh kesempatan yang luas, tepat dan memadai bagi perkembangan kepribadian sesuai dengan harapan.

2.3.2. Tujuan Panti Asuhan

  Tujuan panti asuhan menurut Departemen Sosial Republik Indonesia yaitu:

  1. Panti asuhan memberikan pelayanan yang berdasarkan pada profesi pekerja sosial kepada anak terlantar dengan cara membantu dan membimbing mereka ke arah perkembangan pribadi yang wajar serta mempunyai keterampilan kerja, sehingga mereka menjadi anggota masyarakat yang dapat hidup layak dan penuh tanggung jawab, baik terhadap dirinya, keluarga, dan masyarakat.

  2. Tujuan penyelenggaraan pelayanan kesejahteraan sosial anak di panti asuhan adalah terbentuknya manusia-manusia yang berkepribadian matang dan berdedikasi, mempunyai keterampilan kerja yang mampu menopang hidupnya dan hidup keluarganya.

  Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan panti asuhan adalah memberikan pelayanan, bimbingan, dan keterampilan kepada anak asuh agar menjadi manusia yang berkualitas.

2.3.3. Fungsi Panti Asuhan

  Panti asuhan berfungsi sebagai sarana pembinaan dan pengentasan anak telantar. Menurut Departemen Sosial Republik Indonesia panti asuhan mempunyai fungsi sebagai berikut: 1. Sebagai pusat pelayanan kesejahteraan sosial anak.

  Panti asuhan berfungsi sebagai pemulihan, perlindungan, pengembangan dan pencegahan: Fungsi pemulihan dan pengentasan anak ditujukan untuk mengembalikan dan menanamkan fungsi sosial anak asuh. Fungsi ini mencakup kombinasi dari ragam keahlian, teknik, dan fasilitasfasiltias khusus yang ditujukan demi tercapainya pemeliharaan fisik, penyesuaian sosial, psikologis penyuluhan, dan bimbingan pribadi maupun kerja, latihan kerja serta penempatannya. Fungsi perlindungan merupakan fungsi yang menghindarkan anak dari keterlambatan dan perlakuan kejam. Fungsi ini diarahkan pula bagi keluarga- keluarga dalam rangka meningkatkan kemampuan keluarga untuk mengasuh dan melindungi keluarga dari kemungkinan terjadinya perpecahan.

  Fungsi pengembangan menitikberatkan pada keefektifan peranan anak asuh, tanggung jawabnya kepada anak asuh dan kepada orang lain, kepuasan yang diperoleh karena kegiatankegiatan yang dilakukannya. Pendekatan ini lebih menekankan pada pengembangan potensi dan kemampuan anak asuh dan bukan penyembuhan dalam arti lebih menekankan pada pengembangan kemampuannya untuk mengembangkan diri sendiri sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan.

  Fungsi pencegahan menitikberatkan pada intervensi terhadap lingkungan sosial anak asuh yang bertujuan di satu pihak dapat menghindarkan anak asuh dari pola tingkah laku yang sifatnya menyimpang, di lain pihak mendorong lingkungan sosial untuk mengembangkan pola-pola tingkah laku yang wajar.

  2. Sebagai pusat data dan informasi serta konsultasi kesejahteraan sosial anak.

  3. Sebagai pusat pengembangan keterampilan (yang merupakan fungsi penunjang).

  Panti asuhan sebagai lembaga yang melaksanakan fungsi keluarga dan masyarakat dalam perkembangan dan kepribadian anak-anak remaja.

2.4. Landasan Teori

  Penyakit skabies yang merupakan penyakit menular secara langsung maupun secara tidak langsung. Penularan secara langsung melalui sentuhan dengan penderita sedangkan secara tidak langsung melalui peralatan yang digunakan oleh penderita. (Ginanjar, 2006). Menurut Widoyono (2011), secara epidemiologi terjadinya suatu penyakit disebabkan oleh tidak adanya keseimbangan antara host (manusia), agent (penyebab) dengan environment (lingkungan), demikian juga terjadinya penyakit skabies.

Dokumen yang terkait

Pengaruh Karakteristik dan Perilaku terhadap Kejadian Penyakit Skabies di Panti Asuhan Taman Harapan dan Bustanul Fikri Kota Langsa Tahun 2013

2 64 122

Hubungan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat dengan Kejadian Penyakit Skabies pada Santri Perempuan di Pesantren Syamsudhuha Cot Murong Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh utara

21 158 71

Pengaruh Personal Hygiene dan Sanitasi Lingkungan terhadap Kejadian Skabies pada Anak Usia Sekolah di Kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang Tahun 2013

8 87 219

Pengaruh Sanitasi Lingkungan dan Personal Hygiene terhadap Kejadian Penyakit Skabies pada Warga Binaan Pemasyarakatan yang Berobat Ke Klinik di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Medan

10 99 155

Hubungan Personal Hygiene Santri dengan Kejadian Penyakit Kulit Infeksi Skabies dan Tinjauan Sanitasi Lingkungan Pesantren Darel Hikmah Kota Pekanbaru Tahun 2011

49 306 141

Pengaruh Pengetahuan dan Tindakan Higiene Pribadi terhadap Kejadian Penyakit Skabies di Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah Medan

1 70 73

Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit Kecacingan Yang Ditularkan Melalui Tanah Pada Anak Panti Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun 2008

1 25 62

Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit Skabies Pada Pesantren Di Kabupaten Aceh Besar Tahun 2007

4 64 115

Pengaruh Komponen Fisik Rumah Susun, Sanitasi Lingkungan dan Perilaku Terhadap Kejadian Penyakit Skabies di Rumah Susun Sederhana Sewa di Kota Medan Tahun 2015

3 56 197

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dismenore 2.1.1. Defenisi Dismenore - Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dismenore pada Siswi SMA Negeri 2 Medan Tahun 2014

0 1 11