Pengaruh Karakteristik dan Perilaku terhadap Kejadian Penyakit Skabies di Panti Asuhan Taman Harapan dan Bustanul Fikri Kota Langsa Tahun 2013

(1)

PENGARUH KARAKTERISTIK DAN PERILAKU TERHADAP KEJADIAN PENYAKIT SKABIES DI PANTI ASUHAN TAMAN HARAPAN DAN

BUSTANUL FIKRI KOTA LANGSA TAHUN 2013

TESIS

Oleh ERIZAL 127032207/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

THE INFLUENCE OF THE CHARACTERISTIC AND BEHAVIOR ON THE INCIDENT OF SCABIES IN TAMAN HARAPAN AND BUSTANUL FIKRI

ORPHANAGES IN THE CITY OF LANGSA IN 2013

THESIS

By ERIZAL 127032207/IKM

MAGISTER OF PUBLIC HEALTH SCIENCE STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

PENGARUH KARAKTERISTIK DAN PERILAKU TERHADAP KEJADIAN PENYAKIT SKABIES DI PANTI ASUHAN TAMAN HARAPAN DAN

BUSTANUL FIKRI KOTA LANGSA TAHUN 2013

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/ Epidemiologi

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh ERIZAL 127032207/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

Judul Tesis : PENGARUH KARAKTERISTIK DAN PERILAKU TERHADAP KEJADIAN PENYAKIT SKABIES DI PANTI ASUHAN TAMAN HARAPAN DAN BUSTANUL FIKRI KOTA LANGSA TAHUN 2013

Nama Mahasiswa : Erizal Nomor Induk Mahasiwa : 127032207

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

Menyetujui Komisi Pembimbing

(dr. Rahayu Lubis M.Kes, Ph.D Ketua

) (drh. Hiswani, M.Kes Anggota

)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(5)

Telah Diuji

pada Tanggal : 23 Juli 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : dr. Rahayu Lubis M.Kes, Ph.D Anggota : 1. drh. Hiswani, M.Kes

2. drh. Rasmaliah, M.Kes


(6)

PERNYATAAN

PENGARUH KARAKTERISTIK DAN PERILAKU TERHADAP KEJADIAN PENYAKIT SKABIES DI PANTI ASUHAN TAMAN HARAPAN DAN

BUSTANUL FIKRI KOTA LANGSA TAHUN 2013

T E S I S

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengrtahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Agustus 2014

Erizal 127032207/IKM


(7)

ABSTRAK

Skabies adalah penyakit zoonosis yang menginfeksi kulit, mudah menular dari manusia ke manusia, dari hewan ke manusia atau sebaliknya, dapat mengenai semua ras dan golongan di seluruh dunia yang disebabkan oleh tungau (kutu atau mite) Sarcoptes scabiei. Kota Langsa termasuk salah satu daerah yang tinggi prevalensi penyakit skabies yaitu sebesar (28,9%). Dari keseluruhan kasus tersebut prevalensinya hampir mencapai 30%.

Jenis penelitian adalah observasional analitik dengan disain case control study Populasi penelitian ini adalah seluruh penghuni panti asuhan Taman Harapan dan Bustanul Fikri sebanyak 220 orang, sampel berjumlah 118 orang, terdiri dari kasus 59 orang berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, dan 59 orang kontrol. Data diperoleh dari hasil kuesioner di tabulasikan ke dalam tabel distribusi frekuensi, kemudian di analisis secara bivariat dan multivariat pada taraf kepercayaan 95%.

Analisis bivariat menunjukkan pengetahuan (p=0,043) dan OR=2,287, CI 95%(1,093-4,786), sikap (p=0,001) dan OR=5,816, CI 95%(2,607-12,975), kebersihan diri (p=0,001), dan OR=5,658, CI 95%(2,562-12,495) dan penyediaan air bersih (p=0,006) dan OR=3,052, CI 95%(1,440-6,469), ada pengaruh secara signifikan dengan terjadinya skabies. Multivariat menunjukkan pengetahuan (p=0,077), OR=0,218, CI 95%(0,040-1,180), sikap (p=0,006), OR=9,826, CI 95%(1,953-49,426), kebersihan diri (p=0,022), OR=5,678, CI 95%(1,290-24,984) dan penyediaan air bersih (p=0,501), OR=0,581, CI 95%(0,120-2,826). Setelah diuji secara bersama variabel yang berpengaruh sikap dan kebersihan diri. Nilai PAR variabel kebersihan diri yaitu 57%.

Puskesmas diharapakan dapat melakukan penyuluhan khususnya tentang scabies kepada anak-anak panti untuk mengetahui bagaimana cara menghindari dari skabies. Pimpinan panti agar dapat membuat peraturan tentang kebersihan dilingkungan panti supaya anak-anak dapat menjaga kebersihan diri sehingga akan terhindar dari penyakit skabies. Kepada Dinas Sosial diharapkan dapat melengkapi fasilitas anak-anak panti agar tidak menggunakan fasilitas secara berkongsian sehingga dapat mengurangi tingkat penularan.


(8)

ABSTRACT

Scabies is a zoonotic disease that infected the skin, transmitted from human to human, from animal to humans or otherwise, classes caused by mites (fleas or mites). The city of Langsa is one of the areas with high prevalence of scabies or (28.9%). Of the all cases, its prevalence reached 30%.

The population of this observational analytical study with case control design was all of the 220 Orphanage children living in Taman Harapan and Bustanul Fikri Orphanage, the sample consisted of 59 children in the case group and 59 children in the control group. The data for this study were obtained through questionnaires distribution and tabulated in frequency distribution table, then in the bivariate and multivariate analysis at level of confidence 95%.

The results of bivariate analysis showed that knowledge (p=0.043), OR=2.287, CI 95%(1,093-4,786), attitude (p=0.001), OR=5.816, CI 95%(2,607-12,975), personal hygiene (p=0.001), OR=5.658, CI 95%(2,562-12,495) and clean water supply (p=0.006), OR=3.052, CI 95%(1,440-1,180) had a significant influence on the incident of scabies. The result of multivariate analysis showed that knowledge (p=0.077), OR=0.218, CI 95%(0,040-1,180), attitude (p=0.006), OR=9.826, CI 95%(1,953-49,426), personal hygiene (p=0.022), OR=5.678, CI 95%(1,290-24,984) and clean water supply (p=0.501), OR=0.581, CI 95%(0,120-2,826). After simultaneously tested, the variables of attitude and personal hygiene had influence on the incident of scabies disease. The PAR value for the variable of personal hygiene was 57%.

Puskesmas (Community Health Center) is suggested to provide extension on scabies disease. The Office of Social Service is expected to equip the facilities for the orphanage children that they did not have to share in using the facilities in orther to reduce the rate of transmission.


(9)

KATA PENGANTAR

Segala Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat serta pertolonganNya yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian ini dengan judul " Pengaruh Karakteristik dan Perilaku terhadap Kejadian Penyakit Skabies di Panti Asuhan Taman Harapan dan Bustanul Fikri Kota Langsa Tahun 2013".

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/ Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Penulis, dalam menyusun tesis ini mendapat bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, yaitu Prof. Dr. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&M.Sc (CTM), Sp.A.(K).

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, sebagai Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. dr. Rahayu Lubis, M.Kes, Ph.D selaku ketua komisi pembimbing dan drh. Hiswani, M.Kes, selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian


(10)

dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis dalam penulisan proposal hingga selesai.

5. Seluruh dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/ Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu yang sangat berarti selama penulis mengikuti pendidikan.

6. Teristimewa buat keluarga tercinta, yang penuh pengertian dan kesabaran, dan senantiasa berdo’a sehingga memotivasi penulis dalam menyelesaikan pendidikan. 7. Rekan-rekan mahasiswa (i) S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara terutama buat Fakhrurrazi, S.K.M, M.Kes yang telah memberikan masukan dan saran-saran dalam penyusunan tesis ini hingga selesai.

Akhirnya Penulis menyadari atas segala keterbatasan dan kekurangan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan penuh harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, Agusus 2014 Penulis

Erizal 127032207/IKM


(11)

RIWAYAT HIDUP

Bustami, lahir pada tanggal 27 Juni 1965 di Simpang Peut Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, anak keempat dari empat bersaudara dari pasangan Ayahanda Ibrahim (Alm) dan Ibunda Nurbarin (Alm).

Pendidikan formal penulis, dimulai dari pendidikan sekolah dasar di Sekolah Dasar Simpang Peut, selesai Tahun 1981, Sekolah Menengah Pertama di SMP Simpang Peut, selesai Tahun 1984, Sekolah Perawat Kesehatan Meulaboh, selesai tahun 1987, D-III Keperawatan Keguruan Surabaya, selesai tahun 1992, D-IV Perawat Pendidik Universitas Sumatera Utara, selesai tahun 2000.

Mulai bekerja sebagai staf di SPK Meulaboh, tahun 1988 sampai tahun 1991, Guru SPK Meulaboh, tahun 1992 sampai 1999, Dosen Prodi Keperawatan Meulaboh, tahun 2000 sampai sekarang.

Penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara sejak tahun 2009 hingga saat ini.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 11

1.3 Tujuan Penelitian ... 11

1.4 Hipotesis ... 11

1.5 Manfaat Penelitian ... 11

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1 Teori Tentang Prestasi Kerja ... 13

2.1.1 Pengertian Prestasi Kerja ... 13

2.1.2 Penilaian Prestasi Kerja ... 14

2.1.3 Tujuan dan Kegunaan Penilaian Prestasi Kerja ... 15

2.1.4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Prestasi Kerja ... 17

2.1.5 Metode Penilaian Prestasi Kerja ... 18

2.1.6 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penilaian Prestasi Kerja . 20 2.2 Teori Tentang Motivasi... 21

2.2.1 Pengertian Motivasi ... 21

2.2.2 Teori Motivasi... 22

2.2.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Motivasi ... 30

2.2.4 Manfaat Motivasi ... 33

2.3 Teori Tentang Disiplin ... 34

2.3.1 Pengertian Disiplin ... 34

2.3.2 Jenis Disiplin Kerja ... 36

2.3.3 Prinsip-Prinsip Disiplin ... 38

2.3.4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Disiplin ... 40

2.4 Pengertian Kesehatan Jiwa ... 41

2.5 Masalah Psikososial ... 43

2.6 Gangguan Jiwa ... 44

2.6.1 Rentang Sehat dan Sakit Jiwa ... 45


(13)

2.6.3 Dampak Gangguan Jiwa ... 46

2.7 CMHN (Commnunity Mental Health Nursing) ... 47

2.7.1 Pelayanan Keperawatan Komprehensif ... 48

2.7.2 Pelayanan Keperawatan Holistik ... 50

2.7.3 Pelayanan Keperawatan Paripurna... 51

2.7.4 Pelayanan Keperawatan Berkelanjutan (Continuity Of Care) ... 51

2.8 Landasan Teori ... 51

2.9 Kerangka Konsep ... 54

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 55

3.1 Jenis Penelitian ... 55

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian... 55

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 55

3.2.2 Waktu Penelitian ... 55

3.3 Populasi dan Sampel ... 55

3.3.1 Populasi ... 55

3.3.2 Sampel ... 55

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 56

3.4.1 Data Primer ... 56

3.4.2 Data Sekunder ... 56

3.4.3 Validitas dan Reliabilitas ... 56

3.5 Variabel dan Definisi Operasional ... 59

3.5.1 Variabel Bebas ... 59

3.5.2 Variabel Terikat ... 59

3.6 Metode Pengukuran ... 59

3.6.1 Pengukuran Variabel Bebas... 60

3.6.2 Pengukuran Variabel Terikat ... 61

3.7 Metode Analisis Data... 61

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 62

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian... 62

4.2 Analisis Univariat ... 64

4.2.1 Karakteristik Responden ... 64

4.2.2 Motivasi ... 66

4.2.3 Disiplin ... 73

4.3 Prestasi Kerja ... 76

4.4 Analisis Bivariat ... 80

4.4.1 Hubungan Motivasi dengan Prestasi Kerja ... 82

4.4.2 Hubungan Disiplin dengan Prestasi Kerja Petugas CMHN .. 83


(14)

BAB 5. PEMBAHASAN ... 87

5.1 Pengaruh Motivasi dan Displin terhadap Prestasi Kerja Petugas CMHN di Kabupaten Aceh Barat ... 87

5.1.1 Motivasi Intrinsik Petugas CMHN ... 87

5.1.2 Motivasi Ekstrinsik Petugas CMHN ... 97

5.1.3 Pengaruh Motivasi terhadap Prestasi Kerja Petugas CMHN di Kabupaten Aceh Barat ... 106

5.2 Pengaruh Disiplin terhadap Prestasi Kerja Petugas CMHN di Kabupaten Aceh Barat ... 108

5.3 Prestasi Kerja Petugas CMHN di Kabupaten Aceh Barat ... 111

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 115

6.1 Kesimpulan ... 115

6.2 Saran ... 115

DAFTAR PUSTAKA ... 117


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

3.1 Pengukuran Variabel Motivasi ... 60 3.2 Pengukuran Variabel Disiplin ... 60 3.3 Pengukuran Variabel Prestasi Kerja ... 61 4.1 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepala Keluarga menurut

Kecamatan di Kabupaten Aceh Barat Tahun 2010 ... 63 4.2 Distribusi Jumlah Puskesmas di Kabupaten Aceh Barat Tahun 2011 ... 64 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Individu di Kabupaten

Aceh Barat ... 65 4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Motivasi Intrinsik di Kabupaten Aceh

Barat ... 68 4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Motivasi Intrinsik di

Kabupaten Aceh Barat ... 70 4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Motivasi Ekstrinsik di Kabupaten

Aceh Barat ... 72 4.7 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Motivasi Ekstrinsik di

Kabupaten Aceh Barat ... 73 4.8 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Motivasi di Kabupaten Aceh

Barat ... 73 4.9 Distribusi Responden Berdasarkan Disiplin di Kabupaten Aceh Barat ... 75 4.10 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Disiplin di Kabupaten Aceh

Barat ... 76 4.11 Distribusi Responden Berdasarkan Prestasi Kerja di Kabupaten Aceh

Barat ... 78 4.12 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Prestasi Kerja Kabupaten

Aceh Barat ... 80 4.13 Hubungan Motivasi Intrinsik dengan Prestasi Kerja Petugas CMHN di


(16)

4.14 Hubungan Motivasi Ekstrinsik dengan Prestasi Kerja Petugas CMHN di

Kabupaten Aceh Barat ... 82 4.15 Hubungan Motivasi dengan Prestasi Kerja Petugas CMHN di Kabupaten

Aceh Barat ... 83 4.16 Hubungan Disiplin dengan Prestasi Kerja Petugas CMHN di Kabupaten

Aceh Barat ... 83 4.17 Pengaruh Motivasi dan Disiplin terhadap Prestasi Kerja Petugas CMHN


(17)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Rentang Sehat dan Sakit Jiwa. ... 45 2.2 Landasan Teori... 53 2.3 Kerangka Konsep Penelitian... 54


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Kuesioner Penelitian ... 121

2 Uji Validitas dan Reliabilitas ... 127

3 Uji Univariat dan Bivariat ... 131

4 Uji Multivariat ... 152

5 Dokumentasi ... 152

6 Surat Ijin penelitian dari Program Studi S2 IKM FKM USU Medan ... 154

7. Surat Ijin selesai penelitian dari Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Barat .... 155

5. Dokumentasi Penelitian ... 154

6. Surat Izin Penelitian dari Pascasarjana USU ... 155


(19)

ABSTRAK

Skabies adalah penyakit zoonosis yang menginfeksi kulit, mudah menular dari manusia ke manusia, dari hewan ke manusia atau sebaliknya, dapat mengenai semua ras dan golongan di seluruh dunia yang disebabkan oleh tungau (kutu atau mite) Sarcoptes scabiei. Kota Langsa termasuk salah satu daerah yang tinggi prevalensi penyakit skabies yaitu sebesar (28,9%). Dari keseluruhan kasus tersebut prevalensinya hampir mencapai 30%.

Jenis penelitian adalah observasional analitik dengan disain case control study Populasi penelitian ini adalah seluruh penghuni panti asuhan Taman Harapan dan Bustanul Fikri sebanyak 220 orang, sampel berjumlah 118 orang, terdiri dari kasus 59 orang berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, dan 59 orang kontrol. Data diperoleh dari hasil kuesioner di tabulasikan ke dalam tabel distribusi frekuensi, kemudian di analisis secara bivariat dan multivariat pada taraf kepercayaan 95%.

Analisis bivariat menunjukkan pengetahuan (p=0,043) dan OR=2,287, CI 95%(1,093-4,786), sikap (p=0,001) dan OR=5,816, CI 95%(2,607-12,975), kebersihan diri (p=0,001), dan OR=5,658, CI 95%(2,562-12,495) dan penyediaan air bersih (p=0,006) dan OR=3,052, CI 95%(1,440-6,469), ada pengaruh secara signifikan dengan terjadinya skabies. Multivariat menunjukkan pengetahuan (p=0,077), OR=0,218, CI 95%(0,040-1,180), sikap (p=0,006), OR=9,826, CI 95%(1,953-49,426), kebersihan diri (p=0,022), OR=5,678, CI 95%(1,290-24,984) dan penyediaan air bersih (p=0,501), OR=0,581, CI 95%(0,120-2,826). Setelah diuji secara bersama variabel yang berpengaruh sikap dan kebersihan diri. Nilai PAR variabel kebersihan diri yaitu 57%.

Puskesmas diharapakan dapat melakukan penyuluhan khususnya tentang scabies kepada anak-anak panti untuk mengetahui bagaimana cara menghindari dari skabies. Pimpinan panti agar dapat membuat peraturan tentang kebersihan dilingkungan panti supaya anak-anak dapat menjaga kebersihan diri sehingga akan terhindar dari penyakit skabies. Kepada Dinas Sosial diharapkan dapat melengkapi fasilitas anak-anak panti agar tidak menggunakan fasilitas secara berkongsian sehingga dapat mengurangi tingkat penularan.


(20)

ABSTRACT

Scabies is a zoonotic disease that infected the skin, transmitted from human to human, from animal to humans or otherwise, classes caused by mites (fleas or mites). The city of Langsa is one of the areas with high prevalence of scabies or (28.9%). Of the all cases, its prevalence reached 30%.

The population of this observational analytical study with case control design was all of the 220 Orphanage children living in Taman Harapan and Bustanul Fikri Orphanage, the sample consisted of 59 children in the case group and 59 children in the control group. The data for this study were obtained through questionnaires distribution and tabulated in frequency distribution table, then in the bivariate and multivariate analysis at level of confidence 95%.

The results of bivariate analysis showed that knowledge (p=0.043), OR=2.287, CI 95%(1,093-4,786), attitude (p=0.001), OR=5.816, CI 95%(2,607-12,975), personal hygiene (p=0.001), OR=5.658, CI 95%(2,562-12,495) and clean water supply (p=0.006), OR=3.052, CI 95%(1,440-1,180) had a significant influence on the incident of scabies. The result of multivariate analysis showed that knowledge (p=0.077), OR=0.218, CI 95%(0,040-1,180), attitude (p=0.006), OR=9.826, CI 95%(1,953-49,426), personal hygiene (p=0.022), OR=5.678, CI 95%(1,290-24,984) and clean water supply (p=0.501), OR=0.581, CI 95%(0,120-2,826). After simultaneously tested, the variables of attitude and personal hygiene had influence on the incident of scabies disease. The PAR value for the variable of personal hygiene was 57%.

Puskesmas (Community Health Center) is suggested to provide extension on scabies disease. The Office of Social Service is expected to equip the facilities for the orphanage children that they did not have to share in using the facilities in orther to reduce the rate of transmission.


(21)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit menular adalah penyakit yang dapat ditularkan melalui berbagai media. Penyakit menular masih menjadi masalah kesehatan yang besar dihampir semua negara berkembang karena angka kesakitan dan kematiannya yang relatif tinggi. Berbagai program telah dilaksanakan oleh pemerintah guna menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit menular. Salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia adalah penyakit skabies. Penyakit skabies merupakan penyakit yang bersifat zoonosis yang menyerang kulit, mudah menular dari manusia ke manusia, dari hewan ke manusia yang disebabkan oleh tungau (kutu atau mite) (Depkes RI, 2005).

Pengetahuan dasar tentang penyakit skabies ini ditemukan oleh Bemomo pada tahun 1687, penyebabnya ditemukan pertama kali oleh Melanby dengan melakukan percobaan induksi pada sukarelawan pada perang dunia ke II. Penyakit scabies sudah di kenal lebih dari 100 tahun yang lalu, sebagian akibat infestasi tungau yang dinamakan Acurws scabies atau Sarcoptes scabiei varian hominis kutu ini khusus menyerang dan menjalani siklus hidupnya dalam lapisan tanduk kulit manusia, dikutip dari penelitian Megawati (2005) dalam jurnal Litbang Universitas Muhammadiyah Semarang.


(22)

Infeksi kulit di negara maju sudah jarang didapatkan, sebaliknya di negara berkembang dan belum maju dapat dikatakan infeksi kulit masih sering dijumpai. Selain faktor predisposisi pada individu (sawar kulit, gizi, higiene perorangan), faktor lingkungan, kepadatan penduduk yang tinggi, patogenitas kuman dan virulensi mikroorganisme juga berperan penting pada terjadinya penyakit infeksi (Fernawan, 2008).

Prevelensi skabies di Indonesia, berdasarkan laporan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2000), masih menjadi permasalahan dalam upaya pemberantasan penyakit menular. Berdasarkan penelitian Sungkar (2001), prevalensi skabies adalah sekitar 6-27% dari populasi umum dan cenderung lebih tinggi pada anak dan remaja. Berbagai penelitian terkini juga menemukan penyakit skabies masih ada di Indonesia, seperti penelitian Ma’rufi, dkk (2005), menemukan prevalensi skabies pada penghuni pondok pesantren di Lamongan, Jawa Timur yaitu sebesar 64,20% dari 338 santri yang diperiksa, dan pondok pesantren di Jakarta prevalensinya sebesar 78,70%, dan di pondok pesantren Pasuruan sebesar 66,70%.

Berdasarkan data Departemen Kesehatan Republik Indonesia, prevalensi penyakit skabies dalam masyarakat diseluruh Indonesia pada tahun 1996 adalah 4,6% - 12,95% dan skabies menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit tersering. Pada tahun 2009 penyakit kulit infeksi menempati urutan ketiga dari 10 besar penyakit rawat jalan di Indonesia dengan jumlah kasus 247.256. (Profil Kesehatan Indonesia, 2009)


(23)

Di Provinsi Aceh menunjukkan bahwa penyakit menular masih merupakan masalah kesehatan masyarakat seperti malaria, demam berdarah dan penyakit infeksi lainnya termasuk skabies. Di Provinsi Aceh pernah terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit scabies pada tahun 2003 dan pada tahun 2004 kejadian penyakit skabies prevalensinya 40,78%. (Depkes, RI 2004 dan Dinkes Prov. NAD, 2005).

Penyakit skabies masih menempati peringkat 9 dari 10 (sepuluh) penyakit terbesar di Provinsi Aceh dengan jumlah 38.854 kasus pada tahun 2011, berdasarkan laporan rawat jalan seluruh Puskesmas di Provinsi Aceh, ini terjadi penurunan jumlah kasus dari tahun sebelumnya yaitu sebanyak 46.721 kasus. (Profil Kesehatan Prov.Aceh, 2011).

Begitu pula dengan pola penyakit yang terjadi di Kota Langsa yang merupakan salah satu daerah yang termasuk tinggi prevalensi penyakit skabies adalah sebesar 28,9% dari jumlah 2.137 kasus dari jumlah seluruh penyakit kulit yang dilaporkan. Kondisi ini diduga berhubungan dengan sanitasi lingkungan dan karakteristik penduduk di daerah tersebut. Peningkatan kasus penyakit skabies yang meluas secara cepat, baik jumlah kasus maupun daerah terjangkit terutama di daerah yang padat penghuninya, seperti asrama, panti asuhan, barak dan sebagainya. Penularan penyakit skabies yang sangat cepat dilingkungan panti asuhan terutama disebabkan penyakit skabies merupakan penyakit yang dapat menular secara langsung dan juga disebabkan oleh perilaku individu yang kurang menjaga hygiene personalnya (Dinkes Kota Langsa, 2012).


(24)

Kota Langsa terdapat dua panti asuhan yaitu panti asuhan Taman Harapan yang terletak di Kecamatan Langsa Baro dan panti asuhan Bustanul Fikri terletak di Kecamatan Langsa Lama, panti asuhan Taman Harapan memiliki jumlah anak-anak panti sebanyak 124 orang, yang mengalami penyakit skabies sebanyak 31 kasus, Sedangkan panti asuhan Bustanul Fikri memiliki jumlah anak-anak panti sebanyak 96 orang, yang mengalami penyakit skabies sebanyak 28 kasus dengan prevalensi sebesar 26,8 %. (Puskesmas Langsa Baro, 2012)

Penyakit skabies yang terjadi di panti asuhan berdampak terhadap anak-anak panti terutama tingkat kemampuan dalam belajar akan terganggu. Banyak mata pelajaran yang terlewatkan baik di sekolah maupun di tempat pengajian, karena adanya rasa kurang percaya diri dalam bergaul. Tingginya angka kejadian skabies menyebabkan anak-anak panti merasa terganggu dalam belajar, sehingga prestasi belajarnya menurun.

Kedua panti asuhan tersebut dilengkapi dengan fasilitas yang sama seperti asrama, penyediaan air bersih, serta memiliki peraturan yang sama. Namun berkaitan dengan penyakit skabies sebagian dari anak-anak panti menderita dan juga ada yang tidak menderita dalam hal ini adanya tingkat perbedaan pengetahuan, sikap dan kebersihan anak-anak di panti asuhan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Dengan adanya perbedaan tersebut maka penyebaran penyakit skabies juga berbeda pada setiap panti asuhan maupun secara individu anak-anak panti.

Berdasarkan hasil penelitian Sasmita yang dilakukan di Pesantren Ta’mirulislam pada 96 orang sampel ditemukan bahwa variabel yang mempunyai


(25)

hubungan bermakna dengan kejadian skabies yaitu personal hygiene yang meliputi kebiasaan mandi, kebiasaan membersihkan tempat tidur, kebiasaan anak-anak panti tidur dalam satu malam satu tempat tidur, kebiasaan memakai handuk bersama, mencuci pakaian, penyetrikaan pakaian, mencuci handuk, dan berganti pakaian. (Sasmita, 2012).

Menurut Hidayat (2011) dalam penelitiannya yang berjudul Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kebersihan Diri dan Kesehatan Lingkungan di Pesantren Nurul Huda Desa Cibatu Kecamatan Cisaat Kabupaten Sukabumi menyatakan bahwa kebiasaan tukar menukar handuk dikalangan santri ternyata dapat menimbulkan penyakit kulit diantaranya skabies, didukung juga dengan penelitian yang telah dilakukan di pesantren Al karimiyah Sawangan Depok Tahun 2007 oleh Totih Ratna Sondari Setiadi bahwa kebiasaan tukar menukar handuk mempunyai peranan penting dalam kaitannya dengan kejadian skabies. Hubungan antara kebiasaan tukar menukar handuk dengan kejadian skabies dapat dilihat dari OR=10,07 pada selang kepercayaan 95%:3,697-27,196 dari nilai P=0,000 (P<0,05) yang berarti adanya hubungan antara kebiasaan tukar menukar handuk dengan kejadian skabies. Secara statistik ada hubungan yang bermakna artinya ada perbedaan antara santri yang biasa tukar menukar handuk dengan santri yang tidak tukar menukar handuk dengan kejadian skabies. Sedangkan hasil analisis, santri yang biasa tukar menukar handuk mempunyai risiko 10,027 kali terkena skabies dibandingkan dengan santri yang tidak tukar menukar handuk. Skabies dapat berpindah dari satu orang ke orang lain utamanya lewat kontak kulit. Dalam penelitian tersebut juga menyimpulkan bahwa


(26)

ada hubungan perilaku santri mengenai penggunaan tempat tidur, kebersihan pakaian, kebiasaan tukar menukar handuk, kebiasaan tukar menukar tempat tidur dan kebersihan lantai kamar ternyata berhubungan dengan kejadian skabies.

Menurut Muzakir (2007) dalam penelitiannya yang berjudul faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit skabies pada pesantren di Kabupaten Aceh Besar dengan desain penelitian case control ditemukan adanya hubungan antara pengetahuan dengan kejadian penyakit skabies, tidak ada hubungan sikap dengan kejadian penyakit skabies, ada hubungan kebersihan dengan kejadian penyakit skabies, tidak ada hubungan kebiasaan dengan kejadian penyakit skabies.

Sungkar (2001) dalam majalah Ilmiah Resmi Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia menyatakan perilaku manusia sangat komplek dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Salah satu bentuk perilaku terhadap sakit dan penyakit yaitu bagaimana manusia bereaksi, baik secara pasif (mengetahui, bersikap, dan mempersepsi penyakit yang ada pada dirinya atau diluar dirinya) maupun aktif (tindakan atau praktik) yang dilakukan sehubungan dengan sakit maupun penyakit skabies. Terbentuknya perilaku baru dimulai dari pengetahuan yang kemudian menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap yang akhirnya menimbulkan respon yang lebih jauh yaitu tindakan.

Menurut Widoyono (2011), secara epidemiologi terjadinya suatu penyakit disebabkan oleh tidak adanya keseimbangan antara host (manusia), agent (penyebab) dengan environment (lingkungan), demikian juga terjadinya penyakit skabies. Berdasarkan faktor host adalah semua yang berasal dari internal atau karakteristik


(27)

masyarakat yang berpengaruh terhadap kejadian penyakit yaitu umur, pendidikan, pendapatan keluarga, perilaku kesehatan (pengetahuan, sikap dan tindakan) dan faktor environment yaitu faktor sanitasi lingkungan perumahan seperti penyediaan air bersih, kepadatan hunian, penggunaan jamban keluarga, pembuangan air limbah, dan kelembaban udara mempunyai pengaruh terhadap kejadian penyakit.

Lingkungan sekolah adalah tatanan yang dapat melindungi siswa dan staf sekolah dari kecelakaan dan penyakit serta dapat meningkatkan kegiatan pencegahan dan mengembangkan sikap terhadap faktor risiko yang dapat menyebabkan penyakit (Pusat Promosi Kesehatan, Depkes RI, 2008)

Green dalam Notoatmodjo (2007) menjelaskan bahwa perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor pokok, yaitu faktor predisposisi, faktor pendukung dan faktor yang memperkuat atau pendorong. Oleh sebab itu, pendidikan kesehatan sebagai faktor usaha intervensi perilaku harus diarahkan pada ketiga faktor pokok tersebut.

Penyakit menular memiliki basis lingkungan dan perilaku penduduk setempat, keduanya sulit dipisahkan. Oleh karena itu, upaya perbaikan sanitasi lingkungan harus diikuti atau diintegrasikan dengan upaya perbaikan perilaku hidup sehat. (Achmadi, 2012)

Skabies merupakan salah satu penyakit yang sering diderita oleh masyarakat yang tinggal ditempat yang padat penghuninya seperti asrama, pesantren, panti asuhan dan tempat-tempat lain. Sehingga penyakit skabies sering dianggap sebagai penyakit tradisional dikalangan masyarakat. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh pengetahuan, sikap,


(28)

tindakan dan ketersediaan air bersih terhadap kejadian penyakit skabies di Panti Asuhan Kota Langsa Tahun 2013.

1.2. Permasalahan

Panti asuhan Taman Harapan dan panti asuhan Bustanul Fikri merupakan fasilitas Pemerintah Kota Langsa untuk penampungan anak-anak yang kurang mampu dan mempunyai peran penting dalam pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia. Sebagai salah satu sarana pemerintah maka perlu mendapat perhatian yang serius khususnya kesehatan, hal ini berkaitan dengan kebiasaan dan kebersihan anak-anak panti asuhan dalam kehidupan sehari-hari. Apabila keadaan tersebut tidak diperhatikan dan diupayakan dengan sunguh-sunguh maka akan berdampak terhadap kesehatan dan dapat meningkatnya penyakit yang diakibat oleh perilaku dan lingkungan panti asuhan yang tidak sehat.

Berdasarkan data yang diperoleh dari laporan Puskesmas ditemukan angka kejadian penyakit skabies yang masih tinggi dan ini sangat bertolak belakang dengan harapan pemerintah yang ingin menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit menular. Permasalahan ini terjadi karena adanya pengaruh lingkungan dan prilaku yang tidak baik terhadap kesehatan, sehingga perlu dilakukan sebuah penelitian untuk mengetahui berbagai faktor yang mempengaruhi angka kejadian penyakit skabies. Penelitian ini dilakukan supaya tidak terjadi peningkatan kasus yang lebih tinggi.


(29)

1.3. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui pengaruh karakteristik serta pengetahuan, sikap, kebersihan diri (pakaian, handuk dan tempat tidur) dan penyediaan air bersih dengan kejadian penyakit skabies pada anak-anak di panti asuhan Kota Langsa.

1.4. Hipotesis

a. Adanya hubungan umur dengan kejadian penyakit skabies.

b. Adanya hubungan jenis kelamin dengan kejadian penyakit skabies. c. Adanya hubungan pendidikan dengan kejadian penyakit skabies. d. Adanya hubungan pengetahuan dengan kejadian penyakit skabies. e. Adanya hubungan sikap dengan kejadian penyakit skabies.

f. Adanya hubungan kebersihan diri dengan kejadian penyakit skabies. g. Adanya hubungan penyediaan air bersih dengan kejadian penyakit skabies. 1.5. Manfaat Penelitian

a. Bagi peneliti

Dapat memberikan suatu masukan yang berkaitan dengan penyakit skabies dan meningkatkan pengetahuan terhadap pola pencegahan penyakit skabies.

b. Bagi anak-anak panti asuhan

Dapat menjadi masukan terhadap perbaikan kebiasaan hidup yang merugikan bagi kesehatan sehingga dapat menjaga kesehatan diri khususnya yang berkaitan dengan penyakit skabies.


(30)

c. Bagi pengelola

Menjadi suatu acuan dalam membuat suatu aturan yang berkaitan dengan penularan penyakit skabies dalam lingkungan panti asuhan.


(31)

BAB 2

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Penyakit Skabies

Determinan penyakit skabies tidak terlepas dari faktor host (manusia), agent (tungau), dan environment (lingkungan). Penelitian ini menelaah determinan terhadap kejadian skabies dari aspek karakteristik masyarakat, perilaku (pengetahuan, sikap, kebersihan diri) dan penyediaan air bersih.

Hendrik L. Blum (1974) menyatakan bahwa ada empat faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan, baik kesehatan individu maupun kesehatan masyarakat. Keempat faktor tersebut yaitu keturunan, lingkungan, perilaku dan pelayanan kesehatan. Disamping berpengaruh kepada kesehatan, juga saling berpengaruh antara satu sama lainnya. Status kesehatan akan tercapai secara optimal bilamana keempat faktor tersebut secara bersama-sama mempunyai kondisi yang optimal pula. (Notoatmodjo, 2007).

2.1.1. Karakteristik

Karakteristik masyarakat merupakan ciri-ciri yang terdapat pada inividu dalam sosial baik yang merupakan ciri biologis maupun ciri demografi lainnya serta ciri sosialnya. Ada beberapa variabel yang relevan dari karakteristik masyarakat dengan kejadian skabies yaitu umur, jenis kelamin dan pendidikan.


(32)

2.1.1.1 Umur

Perbedaan umur maka ada kecenderungan terjadi perbedaan terhadap insidens suatu penyakit. Penyakit skabies secara umum banyak menyerang usia anak-anak dan remaja. Penelitian di Behl pada tahun 1985 menyatakan bahwa prevalensi skabies pada anak-anak di desa-desa Indian adalah 100%.Di Santiago, Chili, insiden tertinggi terdapat pada kelompok umur 10 -19 tahun (45%) sedangkan di Sao Paulo, Brazil insiden tertinggi terdapat pada anak di bawah 9 tahun. Di India, Gulati (dikut ip dari 4) melaporkan prevalensi tertinggi pada anak usia 5 - 14 tahun. Hal tersebut berbeda dengan laporan Srivastava yang menyatakan prevalensi tertinggi terdapat pada anak di bawah 5 tahun. Di negara maju, prevalensi skabies sama pada semua golongan umur (Maibach, 1997).

2.1.1.2 Jenis Kelamin

Jenis kelamin mempengaruhi tingkat terjadinya penyakit karena berhubungan dengan tingkat mobilisasi atau lingkungan pekerjaan dari orang tersebut. Penyakit skabies banyak dijumpai pada anak dan orang dewasa muda, tetapi dapat mengenai semua umur. Insiden sama pada pria dan wanita. Beberapa faktor yang dapat membantu penyebarannya adalah higiene yang jelek, seksual promiskuitas, diagnosis yang salah, demografi, ekologi, derajat sensitasi individual dan kemiskinan. (Harahap, 2013)

2.1.1.3 Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu indikator human development indeks. Demikian juga dengan terjadinya suatu penyakit, beberapa literatur menjelaskan


(33)

bahwa ada pengaruh pendidikan masyarakat dengan terjadinya suatu penyakit. Demikian juga dengan penyakit skabies, bahwa ada pengaruh pendidikan masyarakat dengan kejadian skabies. Hal ini didukung oleh beberapa penelitian seperti penelitian (Orkin, 1997)., bahwa tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap terjadinya skabies pada anak-anaknya.

Berdasarkan Riskesdas (2010) menyatakan bahwa pendidikan mempengaruhi pola berpikir pragmatis dan rasional terhadap adat kebiasaan, dengan pendidikan lebih tinggi orang dapat lebih mudah menerima ide atau masalah baru. Tingkat pendidikan mempunyai pengaruh terhadap tindakan ibu dalam pencarian pengobatan dan pemulihan penyakit.

2.1.2. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan itu terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behaviour) (Notoatmodjo, 2007).

Pada dasarnya pengetahuan akan terus bertambah dan bervariatif sesuai dengan proses pengalaman manusia yang dialami. Menurut Brunner, proses pengetahuan tersebut melibatkan tiga aspek, yaitu proses mendapatkan informasi, proses transformasi, dan proses evaluasi. Informasi baru yang didapat merupakan pengganti pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya atau merupakan


(34)

penyempurnaan informasi sebelumnya. Proses transformasi adalah proses memanipulasi pengetahuan agar sesuai dengan tugas-tugas baru. Proses evaluasi dilakukan dengan memeriksa kembali apakah cara mengolah informasi telah memadai. Pengetahuan merupakan hasil mengingat suatu hal, termasuk mengingat kembali kejadian yang pernah dialami baik secara sengaja maupun tidak disengaja dan ini terjadi setelah orang melakukan kontak atau pengamatan terhadap suatu objek tertentu. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Mubarak, 2012).

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Terdapat tujuh faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang (Mubarak, 2012).

1. Pendidikan

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang kepada orang lain agar dapat memahami sesuatu hal. Tidak dapat dipungkiri bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada akhirnya pengetahuan yang dimilikinya akan semakin banyak.

2. Pekerjaan

Lingkungan pekerjaan akan membuat seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan, baik secara langsung maupun tidak langsung.


(35)

3. Umur

Dengan bertambahnya umur seseorang akan mengalami perubahan aspek fisik dan psikologis (mental). Secara garis besar, pertumbuhan fisik terdiri atas empat kategori perubahan yaitu perubahan ukuran, perubahan proporsi, hilangnya ciri-ciri lama dan timbulnya ciri-ciri baru. Pada aspek psikologis atau mental, taraf berpikir seseorang menjadi semakin matang dan dewasa. 4. Minat

Minat sebagai suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi terhadap sesuatu. Minat menjadikan seseorang untuk mencoba dan menekuni suatu hal, sehingga seseorang memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam.

5. Pengalaman

Pengalaman adalah suatu kejadian yang pernah dialami seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Orang cenderung berusaha melupakan pengalaman yang kurang baik. Sebaliknya jika pengalaman tersebut menyenangkan, maka secara psikologis mampu menimbulkan kesan yang sangat mendalam dan membekas dalam emosi kejiwaan seseorang. Pengalaman baik ini akhirnya dapat membentuk sikap positif dalam kehidupannya.

6. Kebudayaan lingkungan sekitar

Lingkungan sangat berpengaruh dalam pembentukan sikap pribadi atau sikap seseorang. Kebudayaan lingkungan tempat kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita. Apabila dalam


(36)

suatu wilayah mempunyai sikap menjaga kebersihan lingkungan, maka sangat mungkin masyarakat sekitarnya mempunyai sikap selalu menjaga kebersihan lingkungan.

7. Informasi

Kemudahan untuk memperoleh informasi dapat mempercepat seseorang memperoleh pengetahuan yang baru.

Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai tingkat yang berbeda-beda termasuk dalam hal ini kemampuan anak-anak panti dalam menjaga penyakit skabies baik dalam pencegahan maupun dalam pengobatan. Pengetahuan tentang usaha-usaha kesehatan perseorangan untuk memelihara kesehatan diri sendiri, memperbaiki dan mempertinggi nilai kesehatan, serta mencegah timbulnya penyakit (Damayanti, 2005).

Usaha-usaha tersebut meliputi :

a. Kebersihan badan yaitu mandi memakai sabun sekurang-kurangnya dua kali sehari, tangan selalu dalam keadaan bersih, kuku bersih dan pendek, rambut dalam keadaan bersih dan rapi.

b. Kebersihan pakaian yaitu pakaian dicuci, diseterika, dan disimpan di lemari. c. Kebersihan tempat tinggal yaitu kebersihan rumah dan lingkungan sekitarnya.

Pengetahuan tentang kesehatan adalah mencakup apa yang diketahui oleh seseorang terhadap cara-cara memelihara kesehatan. Pengetahuan tentang cara-cara tersebut meliputi :


(37)

1) Penularan terhadap penyakit menular termasuk dalam hal ini penyakit skabies yang diketahui (tanda-tanda, gejala, penyebab, cara penularan, dan cara pencegahan). 2) Pengetahuan tentang faktor-faktor yang terkait mempengaruhi kesehatan antara

lain gizi makanan, sarana air bersih, pembuangan air limbah, pembuangan sampah, polusi udara, serta kebersihan diri.

3) Pengetahuan tentang fasilitas pelayanan kesehatan yang professional maupun tradisional.

Dalam penelitiannya Muzakir (2007) menyatakan bahwa, kurangnya pengetahuan tentang skabies, sehingga menyebabkan cepatnya penularan skabies dalam kategori tinggi yang terjadi di dalam lingkungan masyarakat, keluarga maupun individu. Pengetahuan yang diperoleh dalam waktu singkat sulit merubah prilaku seseorang baik dalam mencegah peningkatan kasus skabies ataupun mencegah penularannya. Banyak faktor yang menjadi alasan diantaranya masyarakat kesulitan memperoleh informasi lanjutan yang lebih banyak tentang sesuatu masalah kesehatan setelah informasi utama diperolehnya.

Penelitian Ma’arufi (2005) menemukan bahwa ada pengaruh pengetahuan santri terhadap kejadian skabies, dimana santri yang menderita skabies, diketahui 70,9% mempunyai pengetahuan kategori rendah dibandingkan santri dengan pengetahuan kategori tinggi (29,1%).

2.1.3. Sikap

Sikap adalah perasaan, pikiran, dan kecenderungan seseorang yang kurang lebih bersifat permanen mengenai aspe-aspek tertentu dalam lingkungannya. Sikap


(38)

merupakan kecondongan evaluatif terhadap suatu stimulus atau objek yang berdampak pada bagaimana seseorang berhadapan dengan objek tersebut. Ini berarti sikap menunjukkan kesetujuan atau ketidaksetujuan, suka atau tidak suka seseorang terhadap sesuatu. (Mubarak, 2012)

Berdasarkan pendapat Mubarak (2012 yang mengutip pendapat para ahli (Alport, 1954), menjelaskan bahwa sikap mempunyai tiga komponen utama yaitu kepercayaan atau keyakinan (ide/konsep), kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek, dan kecenderungan untuk bertindak (trend to behave). Ketiga komponen tersebut secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Sedangkan sikap dikaitkan dengan pendidikan adalah sikap atau tanggapan peserta didik terhadap materi pendidikan yang diberikan.

Sikap mempunyai beberapa tingkatan yaitu : (Notoatmodjo, 2007) 1. Menerima (Receiving)

Menerima dapat diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).

2. Merespon (Responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pekerjaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, lepas pekerjaan itu benar atau salah, berarti orang menerima ide tersebut. 3. Menghargai (Valuing)


(39)

lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya, seseorang mau mengajak temannya untuk pemeriksaan kesehatan secara berkala.

4. Bertanggung jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi. Misalnya, Seorang ibu mau menjadi akseptor KB, meskipun mendapat tantangan dari mertua atau orang tuanya sendiri.

Pengukuran sikap dilakukan dengan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat dinyatakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek. Misalnya, bagaimana pendapat anda tentang pelayanan dokter di Rumah Sakit? Secara langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat responden. Misalnya, apabila rumah ibu luas, apakah boleh dipakai untuk kegiatan posyandu? (Sangat setuju, Setuju, Tidak Setuju, Sangat tidak setuju) (Notoatmodjo, 2007)

2.1.4. Kebersihan Diri (Personal Hygiene)

PHBS adalah bentuk perwujudan paradigma sehat dalam budaya hidup perorangan, keluarga dan masyarakat yang berorientasi sehat, dengan tujuan untuk meningkatkan, memelihara dan melindungi kesehatannya baik fisik, mental spiritual maupun sosial. Salah satu indikator PHBS dalam tatanan rumah tangga adalah kebersihan perorangan atau personal hygiene (Darsono, 2003)


(40)

Personal hygiene adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis Personal hygiene bertujuan agar manusia dapat memelihara kesehatan diri sendiri, mempertinggi dan memperbaiki nilai kesehatan, serta mencegah timbulnya penyakit. Personal hygiene disini antara lain mencakup kebersihan kulit, kebersihan rambut, perawatan gigi dan mulut, kebersihan tangan, perawatan kuku kaki dan tangan, pemakaian alas kaki, kebersihan pakaian, makanan dan tempat tinggal (Tarwoto, 2003).

Kebersihan diri adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis. Banyak manfaat yang dapat dipetik dengan merawat kebersihan diri, memperbaiki kebersihan diri, mencegah penyakit, meningkatkan kepercayaan diri dan menciptakan keindahan. Kebersihan individu yang buruk atau bermasalah akan mengakibatkan berbagai dampak baik fisik maupun psiskososial. Dampak fisik yang sering dialami seseorang tidak terjaga dengan baik adalah gangguan integritas kulit (Wartonah, 2003).

Kebersihan diri bisa juga dilihat dari tingkah laku sehari-hari dalam usaha penyesuaian diri terhadap lingkungan yang mengandung unsur afektif/perasaan. Kebersihan diri juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan kebudayaan, dan dikembangkan manusia sejak ia lahir. Tingkah laku seseorang tidak terlepas dari kebiasaan yang ada dalam lingkungan masyarakat tempat seseorang atau kelompok masyarakat berinteraksi. Hal ini dapat disimpulkan kebiasaan para anak-anak panti yang ada dalam sebuah panti asuhan tentu tidak akan terlepas dari kebiasaan-kebiasan dalam lingkungan panti asuhan tersebut (Damayanti, 2005).


(41)

Penyakit-penyakit menular di lingkungan yang sering terjadi akibat dari kurangnya kebersihan diantaranya tuberculosis paru, infeksi saluran pernapasan atas, diare, cacingan, dan penyakit kulit (dermatitis, scabies) masih merupakan masalah kesehatan yang juga dapat ditemukan di lingkungan-lingkungan yang kurang hygienenya seperti di Tempat Pembuangan Akhir (Santosa, 2002).

2.1.5. Penyediaan Air Bersih

Air adalah sangat penting bagi kehidupan manusia. Manusia akan lebih cepat meninggal karena kekurangan air daripada kekurangan makanan. Dalam tubuh manusia itu sendiri sebagian besar terdiri dari air. Tubuh orang dewasa, sekitar 55-60% berat badan terdiri dari air, untuk anak-anak sekitar 65% dan untuk bayi sekitar 80%. (Notoatmodjo, 2007)

Menurut Green (1996) sarana dan fasilitas merupakan faktor enabling yang dapat bersifat positif maupun negatif. Oleh karena itu perilaku kepatuhan seseorang sangat dipengaruhi oleh sarana dan fasilitas yang tersedia, bagaimana cara penggunaanya, posisi atau letak dari sarana tersebut dan bagaimana cara pemeliharaan sarana tersebut.

Air merupakan kebutuhan utama bagi proses kehidupan di bumi, sehingga tidak ada kehidupan seandainya di bumi tidak ada air. Namun demikian, air dapat menjadi malapetaka bilamana tidak tersedia dalam kondisi yang benar, baik kualitas maupun kuantitasnya. Air yang relative bersih sangat didambakan oleh manusia, baik untuk keperluan hidup sehari-hari, untuk keperluan industri, untuk kebersihan sanitasi kota, maupun untuk keperluan pertanian dan lain sebagainya. Dewasa ini, air menjadi


(42)

masalah yang perlu mendapat perhatian yang serius. Untuk mendapat air yang baik sesuai dengan standar tertentu, saat ini menjadi barang yang mahal, karena air sudah banyak tercemar oleh bermacam-macam limbah dari berbagai hasil kegiatan manusia. Sehingga secara kualitas, sumberdaya air telah mengalami penurunan. Demikian pula secara kuantitas, yang sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan yang terus meningkat (Warlina, 2004).

Sebuah rumah dikatakan sehat apabila rumah tersebut memiliki fasilitas-fasilitas sebagai beriku: (Notoatmodjo, 2007)

1. Penyediaan air bersih yang cukup 2. Pembuangan tinja

3. Pembuangan air limbah 4. Pembuangan sampah 5. Fasilitas dapur

6. Ruang berkumpul keluarga

Air rumah tangga harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : (Entjang, 2000).

1. Syarat fisik yaitu: jernih, tak berwarna, tak berasa dan tak berbau.

2. yarat khemis (syarat kimiawi) yaitu tidak mengandung zat-zat yang berbahaya untuk kesehatan seperti zat-zat racun, dan tidak mengandung mineral-mineral serta zat-zat organik lebih tinggi dari jumlah yang telah ditentukan.

3. Syarat bakteriologis yaitu air tidak boleh mengandung suatu bibit penyakit. Penyakit yang sering menular dengan perantaraan air adalah penyakit yang


(43)

tergolong kedalam golongan “water borne diseases. Air rumah tangga dikatakan memenuhi syarat bakteriologis bila: tidak mengandung suatu bibit penyakit, tidak mengandung bakteri Escherichia coli dan bakteri saprophyt tidak lebih dari 100/ml air.

Ada dua cara umum penularan penyakit : (Timmreck, 2004)

1. Penularan langsung atau juga dikenal sebagai penularan dari orang ke orang, adalah perpindahan patogen atau agens secara langsung dan segera dari pejamu/resrvoir ke pejamu yang rentan. Penularan langsung dapat terjadi melalui kontak fisik atau kontak langsung orang ke orang, seperti bersentuhan dengan tangan yang terkontaminasi, sentuhan kulit dengan kulit, berciuman, atau hubungan seksual.

2. Penularan tidak langsung terjadi ketika patogen atau agens berpindah atau terbawa melalui beberapa item, organisme, benda, atau proses perantara menuju pejamu yang rentan sehingga menimbulkan penyakit. Penularan tidak langsung dilakukan melalui beberapa cara penularan berikut:

- Penularan airborne terjadi ketika droplet atau partikel debu membawa patogen ke pejamu dan menginfeksinya.

- Penularan waterborne terjadi ketika patogen terbawa dalam air minum, kolam renang, sungai, atau danau yang digunakan untuk berenang.

- Penularan vehicleborne berhubungan dengan fomite (barang/benda), misalnya peralatan makan, pakaian, peralatan cuci, sisir, botol air minum, dan sebagainya.


(44)

Secara tradisional empat penggolongan penyakit yang berkaitan dengan air adalah : (Achmadi, 2001).

1. Water borne diseases, adalah penyakit yang ditularkan langsung melalui air minum, di mana air yang diminum mengandung kuman pathogen sehingga menyebabkan yang bersangkutan menjadi sakit. Penyakit-penyakit yang tergolong water borne diseases adalah: kolera, typhus, desentri , dll.

2. Water washed diseases, merupakan penyakit yang berkaitan dengan kekurangan air higiene perorangan. Penyakit yang tergolong di sini adalah: skabies, infeksi kulit, dan selaput lendir, trakhoma, lepra, dll.

3. Water based diseases, merupakan penyakit yang disebabkan oleh bibit penyakit yang sebagian siklus kehidupannya berhubungan dengan air. Penyakit yang tergolong di sini dan ada di Indonesia adalah Schistosomiasis.

4. Water Related Vectors, adalah penyakit yang ditularkan oleh vektor penyakit yang sebagian atau seluruhnya perindukannya berada di air. Penyakit yang tergolong di sini adalah malaria, demam berdarah dengue, filariasis dsb.

Ketersediaan air bersih sangat mempengaruhi terjadinya skabies. Keterbatasan air bersih membuat orang menjadi malas mandi atau jarang mandi, mandi dalam keadaan kurang bersih atau mandi seadanya, sehingga tubuh menjadi tidak bersih dan mudah dihinggap oleh penyakit kulit, yang salah satunya adalah penyakit scabies (Cakmoki, 2007).

Peran air sebagai pembawa penyakit menular terutama penyakit scabies, bermacam-macam antara lain: 1) air sebagai media untuk hidup mikroba pathogen, 2)


(45)

air sebagai sarang insekta penyebar penyakit, 3) jumlah air yang tersedia tak cukup, sehingga manusia bersangkutan tak dapat membersihkan diri dan 4) air sebagai media untuk hidup vector penyakit. Ada beberapa penyakit yang masuk dalam katagori water-borne diseases, atau penyakit-penyakit yang dibawa oleh air, yang masih banyak terdapat di daerah-daerah. Penyakit-penyakit ini dapat menyebar bila mikroba penyebabnya dapat masuk ke dalam sumber air yang dipakai masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sedangkan jenis mikroba yang dapat menyebar lewat air antara lain, bakteri, protozoa dan metazoa (Warlina, 2004).

Akses penduduk Kota Langsa terhadap air bersih tahun 2012 meliputi: air kemasan 5,5%, air isi ulang 0,1%, leding meteran 20,4%, leding eceran 0,5%,sumur pompa 14%, sumur terlindung 25,6%, mata air terlindung 10,5%, air hujan 0,2%, sumur tidak terlindung1,1% dan lain-lain1,4%. Terjadi peningkatan dibanding dengan tahun sebelumnya. Selama ini pengawasan kualitas air minum belum mendapat perhatian serius meskipun penyakit-penyakit bersumber air masih tinggi. (Profil Kesehatan Kota Langsa, 2012)

Berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 492 tahun 2010 menyatakan bahwa air minum dan air rumah tangga yang aman bagi kesehatan adalah air yang memenuhi persyaratan fisika, mikrobiologis, kimiawi dan radioaktif yang dimuat dalam parameter wajib dan parameter tambahan. Persyaratan fisik yang harus dipenuhi adalah tidak berbau, warna (15 TCU), total zat padat terlarut (TDS), kekeruhan (5 NTU), tidak berasa dan suhu kurang dari 5 derajat celcius.


(46)

2.2. Penyakit Skabies 2.2.1. Definisi

Skabies (gudik) adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh Sarcoptes scabiei varian hominis (sejenis kutu, tungau), ditandai dengan keluhan gatal, terutama pada malam hari dan ditularkan melalui kontak langsung atau tidak langsung melalui bekas alas tidur atau pakaian (Cakmoki, 2007).

Skabies merupakan penyakit endemi pada banyak masyarakat. Penyakit ini dapat mengenai semua ras dan golongan diseluruh dunia. Penyakit ini banyak dijumpai pada anak dan orang dewasa muda, tetapi dapat mengenai semua umur. Insiden sama pada pria dan wanita. Beberapa faktor yang dapat membantu penyebarannya adalah higiene yang jelek, seksual promiskuitas, diagnosis yang salah, demografi, ekologi, derajat sensitasi individual dan kemiskinan. (Harahap, 2013) 2.2.2. Etiologi dan Patogenesis

Sarcoptes scabiei adalah tungau kecil berbentuk lonjong, punggungnya cembung dan bagian perutnya rata. Tungau tersebut translusen, berwarna putih kotor dan tidak bermata. Besar tungau bervariasi, yang betina berukuran kurang lebih 339-450 x 250-350 mikron, sedangkan tungau jantan lebih kecil yaitu 200-240 x 150-200 mikron. Tubuh tungau terbagi bagian anterior yang disebut nototoraks dan bagian posterior yang disebut dengan notogaster. Nototoraks dan notogaster masing-masing mempunyai dua pasang kaki. Pada tungau betina dua pasang kaki kedua berakhir dengan rambut dan kaki keempat berakhir dengan ambulacra (semacam alat yang melengketkan diri) (Harahap, 2013).


(47)

Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap tungau Sarcoptes scabiei varietas hominis. Skabies disebut juga dengan the itch, pamaan itch, seven year itch (diistilahkan dengan penyakit yang terjadi tujuh tahunan). Di Indonesia skabies lebih dikenal dengan nama gudik, kudis, buduk, kerak, penyakit ampera dan gatal agogo (Djuanda, 2006).

Patogenesis skabies ditandai dengan kelainan kulit disebabkan tidak hanya oleh tungau sarcoptes scabiei, tetapi juga oleh penderita sendiri akibat garukan. Gatal yang terjadi disebabkan oleh sesitisasi terhadap sekreta dan eksreta tungau yang memerlukan waktu kira-kira sebulan setelah infestasi. Pada saat itu kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel, urtika dan lain-lain. Akibat garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder.

2.2.3. Gambaran Klinis Skabies

Gatal merupakan gejala utama sebelum gejala klinis lainnya muncul, rasa gatal biasanya hanya pada lesi tetapi pada skabies kronis gatal dapat dirasakan pada seluruh tubuh. Gejala yang timbul antara lain ada rasa gatal yang hebat pada malam hari, ruam kulit yang terjadi terutama di bagian sela-sela jari tangan, di bawah ketiak, pinggang, alat kelamin, sekeliling siku, aerola mammale (area sekeliling puting susu), dan permukaan depan pergelangan (Sungkar, 2001).

Ciri-ciri seseorang terkena skabies adalah kulit penderita penuh bintik-bintik kecil sampai besar, berwarna kemerahan yang disebabkan garukan keras. Bintik-bintik itu akan menjadi bernanah jika terinfeksi (Djuanda, 2006).


(48)

a. Pruritus nokturna yaitu gatal pada malam hari yang disebabkan karena aktifitas tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas.

b. Penyakit ini menyerang secara kelompok, mereka yang tinggal di asrama, barak-barak tentara, panti asuhan maupun panti asuhan berpeluang lebih besar terkena penyakit ini. Penyakit ini amat mudah menular melalui pemakaian handuk, baju maupun seprai secara bersama-sama. Skabies mudah menyerang daerah yang tingkat kebersihan diri dan lingkungan masyarakatnya rendah. c. Adanya torowongan (kunikulus) dibawah kulit yang berbentuk lurus atau

berkelok-kelok. Jika terjadi infeksi sekunder oleh bakteri maka akan timbul gambaran pustula (bisul kecil), lokalisasi kulit ini berada pada daerah lipatan kulit yang tipis seperti sela-sela jari tangan, daerah sekitar kemaluan, siku bagian luar, kulit sekitar payudara bokong dan perut bagian bawah.

d. Menemukan tungau pada pemeriksaan kerokan kulit, merupakan hal yang paling diagnostik, dapat ditemukan satu atau lebih stadium tungau ini.

2.2.4. Diagnosis Skabies

Diagnosis klinis ditetapkan berdasarkan anamnesis yaitu adanya pruritus nokturna dan erupsi kulit berupa papul, vesikel dan pustula di tempat predileksi. Selain itu, didapat keterangan bahwa gejala penyakit ini terdapat pada sekelompok orang. Diagnosis pasti ditetapkan dengan menemukan tungau atau telurnya pada pemeriksaan laboratorium. Namun dengan cara permeriksaan tersebut tungau sulit ditemukan karena tungau yang menginfestasikan penderita hanya sedikit (Medicastore, 2007).


(49)

Beberapa cara yang dapat dipakai untuk menemukan tungau, telur atau terowongan adalah :

a. Kerokan kulit

Papul atau terowongan yang baru dibentuk dan utuh ditetesi minyak mineral, kemudian dikerok dengan skalpel steril untuk mengangkat atap papul atau terowongan. Hasil kerokan diletakkan di gelas obyek dan ditutup dengan kaca tutup lalu diperiksa dibawah miskroskop.

b. Mengambil tungau dengan jarum

Jarum ditusukkan pada terowongan di bagian yang gelap dan digerakkan tangensial. Tungau akan memegang ujung jarum dan dapat diangkat ke luar.

c. Kuretasi terowongan (kuret dermal)

Kuretasi dilakukan secara superfisial mengikuti sumbu panjang, terowongan atau puncak papul. Hasil kuret diletakkan pada gelas obyek dan ditetesi minyak mineral lalu diperiksa dengan mikroskop.

d. Sweb kulit

Kulit dibersihkan dengan eter lalu dilekatkan selotip dan diangkat dengan cepat. Selotip dilekatkan pada gelas obyek kemudian diperiksa dengan mikroskop.

e. Burow ink test

Papul skabies dilapisi tinta cina dengan menggunakan pena lalu dibiarkan selama 20 - 30 menit kemudian dihapus dengan alkohol. Tes dinyatakan positif bila tinta masuk ke dalam terowongan dan membentuk gambaran khas berupa garis zig zag.


(50)

f. Uji tetrasiklin

Tetrasiklin dioleskan pada daerah yang dicurigai ada terowongan, kemudian dibersihkan dan diperiksa dengan lampu Wood. Tetrasiklin dalam terowongan akan menunjukkan fluoresensi.

g. Epidermal shave biopsy

Papul atau terowongan yang dicurigai diangkat dengan ibu jari dan telunjuk lalu diiris dengan skalpel. Biopsi dilakukan sangat superfisial sehingga perdarahan tidak terjadi dan tidak perlu anestesi. Spesimen diletakkan pada gelas obyek, ditetesi dengan minyak mineral dan diperiksa dengan mikroskop.

h. Pemeriksaan histopatologik

Gambaran histopatologik menunjukkan bahwa terowongan terletak pada stratum korneum, dan hanya ujung terowongan tempat tungau betina berada terletak di irisan dermis. Pemeriksaan histopatologik tidak mempunyai nilai diagnostik kecuali bila pada pemeriksaan tersebut ditemukan tungau atau telurnya. Daerah yang berisi tungau menunjukkan sejumlah eosinofil dan sulit dibedakan dengan reaksi gigitan artropoda lainnya misalnya gigitan nyamuk atau katu busuk.

Berbagai cara pemeriksaan di atas, kerokan kulit merupakan cara yang paling mudah dilakukan dan memberikan hasil yang paling memuaskan. Mengambil tungau dengan jarum memerlukan keterampilan khusus dan jarang berhasil karena biasanya terowongan sulit diidentifikasi dan letak tungau sulit diketahui. Swab kulit mudah dilakukan tetapi memerlukan waktu lama karena dari 1 lesi harus dilakukan 6 kali pemeriksaan sedangkan pemeriksaan dilakukan pada hampir seluruh lesi. Burrow ink


(51)

test, dan uji tetrasiklin jarang memberikan hasil positif karena biasanya penderita datang pada keadaan lanjut dan sudah terjadi infeksi sekunder sehingga terowongan tertutup oleh krusta dan tidak dapat dimasuki tinta atau salep (Ginanjar, 2006).

Agar pemeriksaan berhasil baik terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan pada waktu melakukan pemeriksaan laboratorium yaitu :

1) Kerokan kulit jangan dilakukan pada lesi ekskoriasi dan lesi dengan infeksi sekunder. Pada lesi ekskoriasi tungau mungkin sudah terangkat oleh garutan dan pada lesi dengan infeksi sekunder terdapat pus yang bersifat akarisida sehingga tungau tidak ditemukan pada lesi tersebut, selain itu kerok kulit didaerah infeksi sekunder dapat memperberat infeksi.

2) Kerokan harus superfisial karena tungau berada dalam stratum korneum, jadi kerokan tidak boleh berdarah.

3) Papel yang baik untuk dikerok adalah papul yang baru dibentuk yaitu berbentuk lonjong dan tidak berkrusta karena biasanya tungau ditemukan pada papul atau terowongan yang baru dibentuk.

4) Jangan mengerok dari satu lesi tetapi keroklah dari beberapa lesi tungau belum tentu berada dalam lesi tersebut.

5) Lokasi yang paling sering terinfeksi adalah sela jari tangan, karena itu perhatian utama ditujukan pada daerah tersebut.

6) Sebelum mengerok, tetes minyak mineral pada scalpel dan pada lesi yang akan dikerok.


(52)

Diagnosis skabies dapat ditegakkan atas dasar : (Harahap, 2013)

1. Adanya terowongan yang sedikit meninggi, berbentuk garis lurus atau berkelok-kelok, panjangnya beberapa milimeter sampai 1 cm, dan pada ujungnya tampak vesikula, papula, atau pustula.

2. Tempat predileksi yang khas adalah sela jari, pergelangan tangan bagian volar, siku, lipat ketiak bagian depan, areola mammae, sekitar umbilikus, abdomen bagian bawah, genitalia eksterna pria.

3. Penyembuhan cepat setelah pemberian obat anti skabies topikal yang efektif. 4. Adanya gatal pada malam hari. Bila lebih dari satu anggota keluarga menderita

gatal, harus dicurigai adanya skabies. 2.2.5. Bentuk Penyakit Skabies

Sarcoptes scabiei termasuk Filum Arthropoda, Kelas Arachnida, Ordo Ackari, superfamili Sarcoptoidea dan Genus Sarcoptes.

Terdapat beberapa bentuk skabies atipik yang jarang ditemukan dan sulit dikenal, sehingga dapat menimbulkan kesalahan diagnosis. Beberapa bentuk tersebut antara lain (Budiman, 2006) :

1. Skabies pada orang bersih (scabies of cultivated). Bentuk ini ditandai dengan lesi berupa papul dan terowongan yang sedikit jumlahnya sehingga sangat sukar ditemukan.

2. Skabies incognito. Bentuk ini timbul pada scabies yang diobati dengan kortikosteroid sehingga gejala dan tanda klinis membaik, tetapi tungau tetap ada dan penularan masih bisa terjadi. Skabies incognito sering juga


(53)

menunjukkan gejala klinis yang tidak biasa, distribusi atipik, lesi luas dan mirip penyakit lain.

3. Skabies nodular. Pada bentuk ini lesi berupa nodus coklat kemerahan yang gatal. Nodus biasanya terdapat didaerah tertutup, terutama pada genitalia laki-laki, inguinal dan aksila. Nodus ini timbul sebagai reaksi hipersensetivitas terhadap tungau scabies. Pada nodus yang berumur lebih dari satu bulan tungau jarang ditemukan. Nodus mungkin dapat menetap selama beberapa bulan sampai satu tahun meskipun telah diberi pengobatan anti scabies dan kortikosteroid.

4. Skabies yang ditularkan melalui hewan. Di Amerika, sumber utama skabies adalah anjing. Kelainan ini berbeda dengan skabies manusia yaitu tidak terdapat terowongan, tidak menyerang sela jari dan genitalia eksterna. Lesi biasanya terdapat pada daerah dimana orang sering kontak/memeluk binatang kesayangannya yaitu paha, perut, dada dan lengan. Masa inkubasi lebih pendek dan transmisi lebih mudah. Kelainan ini bersifat sementara (4 – 8 minggu) dan dapat sembuh sendiri karena S.scabiei var. binatang tidak dapat melanjutkan siklus hidupnya pada manusia.

5. Skabies Norwegia. Skabies Norwegia atau skabies krustosa ditandai oleh lesi yang luas dengan krusta, skuama generalisata dan hyperkeratosis yang tebal. Tempat predileksi biasanya kulit kepala yang berambut, telinga bokong, siku, lutut, telapak tangan dan kaki yang dapat disertai distrofi kuku. Berbeda dengan scabies biasa, rasa gatal pada penderita skabies Norwegia tidak menonjol tetapi


(54)

bentuk ini sangat menular karena jumlah tungau yang menginfestasi sangat banyak (ribuan). Skabies Norwegia terjadi akibat defisiensi imunologik sehingga sistem imun tubuh gagal membatasi proliferasi tungau dapat berkembangbiak dengan mudah.

6. Skabies pada bayi dan anak. Lesi skabies pada anak dapat mengenai seluruh tubuh, termasuk seluruh kepala, leher, telapak tangan, telapak kaki, dan sering terjadi infeksi sekunder berupa impetigo, ektima sehingga terowongan jarang ditemukan. Pada bayi, lesi di muka.

7. Skabies terbaring ditempat tidur (bed ridden). Penderita penyakit kronis dan orang tua yang terpaksa harus tinggal ditempat tidur dapat menderita skabies yang lesinya terbatas.

2.2.6. Siklus Hidup Skabies

Setelah terjadi kopulasi (perkawinan) di atas kulit, jantan akan mati atau kadang-kadang masih dapat hidup beberapa hari didalam terowongan yang digali oleh tungau betina. Tungau betina yang telah dibuahi menggali terowongan dan dapat tinggal selama hidupnya yaitu kurang lebih 30 hari.

Tungau betina bertelur sebanyak 2 – 3 butir perhari dapat bertelur sepanjang hidupnya 4 – 5 minggu dan telurnya akan menetes setelah 3 – 5 hari menjadi larva yang mempunyai tiga pasang kaki, larva ini dapat tinggal dalam terowongan, dan dapat juga keluar setelah 2 – 3 hari larva akan menjadi nimfa yang mempunyai dua bentuk jantan dan betina. Waktu yang diperlukan dari telur hingga bentuk dewasa adalah 10 – 14 hari. Tungau jantan mempunyai masa hidup yang lebih pendek


(55)

daripada tungau betina, dan mempunyai peran yang lebih kecil pada patogenesis penyakit biasanya hanya hidup di permukaan kulit dan akan mati setelah membuahi tungau betina. Tungau ini merupakan parasit obligat pada manusia dan hanya dapat hidup diluar tubuh manusia selama kurang lebih 2 – 3 hari (Ginanjar, 2006).

2.2.7. Epidemiologi Skabies

Secara epidemiologi terjadinya suatu penyakit disebabkan oleh tidak adanya keseimbangan antara host (manusia), agent (penyebab) dengan environment (lingkungan), apabila salah satu faktor tersebut terjadi permasalahan maka akan menjadi efek terhadap permasalahan kesehatan. Demikian juga penyebab terjadinya penyakit skabies yaitu karena terjadinya ketidakseimbangan antara orang, penyebab dan lingkungan disekitarnya. (Widoyono, 2011).

Insiden skabies di negara berkembang menunjukkan siklus fluktuasi yang sampai saat ini belum dapat dijelaskan. Interval antara akhir dari suatu epidemi dan permulaan epidemi berikutnya kurang lebih 10-15 tahun. Insidennya di Indonesia masih cukup tinggi, terendah di Sulawesi Utara dan tertinggi di Jawa Barat. Amiruddin dkk, dalam penelitian skabies di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya, menemukan insidens penderita skabies selama 1983-1984 adalah 2,7%. Abu A dalam penelitiannya di RSU Dadi Ujung Pandang mendapatkan insidens skabies 0,67% pada tahun 1987-9188. (Harahap, 2013)

Dariansyah, 2006 dalam penelitiannya yang dilakukan juga di pesantren Oemar Diyan dari 61 santri yang diambil 37 orang menderita skabies dan 24 orang tidak menderita skabies. Hasil penelitian ini didapatkan OR 2,2. Di pesantren yang


(56)

padat penghuninya prevalensi skabies mencapai 78,7%, tingginya prevalensi pada kelompok tersebut yang kebersihan dirinya kurang baik 72,7% dan pada kelompok yang kebersihan dirinya baik hanya 2,2% - 3,8%.

Menurut Departemen Kesehatan RI prevalensi skabies di Puskesmas seluruh Indonesia pada tahun 1996 adalah 4.6%-12,9%, dan skabies menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit tersering (Kusnoputranto, 2002).

Berdasarkan data KSDAI tahun 2001 yang dikumpulkan dari sembilan rumah sakit di kota besar Indonesia, jumlah penderita skabies yang tertinggi ditemukan di Ibu Kota Jakarta sebanyak 335 kasus. Hal ini sesuai dengan Kota Jakarta memiliki jumlah penduduk terbanyak sebagai salah satu faktor pendukung perkembangan skabies. Skabies ditemukan pada semua kelompok usia sekolah menduduki jumlah terbanyak (Boediardja, 2003)

2.2.8. Penularan Skabies

Penularan penyakit skabies dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung, adapun cara penularanya adalah :

a. Kontak langsung (kulit dengan kulit)

Penularan skabies terutama melalui kontak langsung seperti berjabat tangan, tidur bersama dan hubungan seksual. Pada orang dewasa hubungan seksual merupakan cara tersering, sedangkan pada anak-anak penularan didapat dari orang tua atau temannya.

b. Kontak tak langsung (melalui benda)


(57)

pakaian atau handuk dahulu dikatakan mempunyai peran kecil pada penularan. Namun demikian, penelitian terakhir menunjukkan bahwa hal tersebut memegang peranan penting dalam penularan skabies dan dinyatakan bahwa sumber penularan utama adalah selimut, pakaian dalam dan penderita perempuan. Skabies Norwegia, merupakan sumber utama terjadinya wabah skabies pada rumah sakit, panti jompo, pemondokan/asrama dan rumah sakit jiwa karena banyak mengandung tungau (Djuanda, 2006).

2.2.9. Pencegahan Skabies

Siregar (1996) yang dikutip Ruteng, 2007, penyakit ini sangat erat kaitannya dengan kebersihan dan lingkungan yang kurang baik oleh sebab itu untuk mencegah penyebaran penyakit ini dapat dilakukan dengan cara :

a. Mandi secara teratur dengan menggunakan sabun

b. Mencuci pakaian, sprei, sarung bantal, selimut dan lainnya secara teratur minimal 2 kali dalam seminggu

c. Menjemur kasur dan bantal minimal 2 minggu sekali.

d. Tidak saling bertukar pakaian dan handuk dengan orang lain.

e. Hindari kontak dengan orang-orang atau kain serta pakaian yang dicurigai terinfeksi tungau skabies.

f. Menjaga kebersihan rumah dan berventilasi cukup.

Prabu (1996) yang dikutip Muzakir (2007), menjaga kebersihan tubuh sangat penting untuk menjaga infestasi parasit. Sebaiknya mandi dua kali sehari, serta menghindari kontak langsung dengan penderita, mengingat parasit mudah menular


(58)

pada kulit. Walaupun penyakit ini hanya merupakan penyakit kulit biasa, dan tidak membahayakan jiwa, namun penyakit ini sangat mengganggu kehidupan sehari-hari.

Bila pengobatan sudah dilakukan secara tuntas, tidak menjamin terbebas dari infeksi ulang. Dariansyah, 2006 yang mengutip pendapat Azwar, langkah yang dapat diambil adalah sebagai berikut :

1) Suci hamakan sisir, sikat rambut dan perhiasan rambut dengan cara merendam di cairan antiseptik.

2) Cuci semua handuk, pakaian, sprei dalam air sabun hangat dan gunakan seterika panas untuk membunuh semua telurnya, atau dicuci kering (dry-cleaned).

3) Keringkan topi yang bersih, kerudung dan jaket. 4) Hindari pemakaian bersama sisir, mukena atau jilbab.

Departemen Kesehatan RI, 2002, memberikan beberapa cara pencegahan yang dilakukan penyuluhan kepada masyarakat dan komunitas kesehatan tentang cara penularan, diagnosis dini dan cara pengobatan penderita skabies dan orang- orang yang kontak meliputi :

1) Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya

2) Laporan kepada Dinas Kesehatan setempat namun laporan resmi jarang dilakukan. 3) Isolasi anak-anak panti yang terinfeksi dilarang masuk ke dalam pondok sampai

dilakukan pengobatan.

Penderita yang dirawat di Rumah Sakit diisolasi sampai dengan 24 jam setelah dilakukan pengobatan yang efektif. Disinfeksi serentak yaitu pakaian dalam dan sprei yang digunakan oleh penderita dalam 48 jam pertama sebelum pengobatan


(59)

dicuci dengan menggunakan sistem pemanasan pada proses pencucian dan pengeringan, hal ini membunuh kutu dan telur. Tindakan ini tidak dibutuhkan pada infestasi yang berat. Mencuci sprei, sarung bantal dan pakaian pada penderita (Ruteng, 2007).

Penanggulangan wabah yang terjadi dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya :

1) Berikan pengobatan dan penyuluhan kepada penderita dan orang yang berisiko. 2) Pengobatan dilakukan secara massal.

3) Penemuan kasus dilakukan secara serentak baik didalam keluarga, didalam unit atau institusi militer, jika memungkinkan penderita dipindahkan.

4) Sediakan sabun, sarana pemandian, dan pencucian umum, jika ada sangat membantu dalam pencegahan infeksi.

2.3. Panti Asuhan

2.3.1. Pengertian Panti Asuhan

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan panti asuhan sebagai rumah tempat memelihara dan merawat anak yatim piatu dan sebagainya. Panti asuhan adalah suatu lembaga usaha kesejahteraan sosial yang mempunyai tanggung jawab untuk memberikan pelayanan kesejahteraan sosial kepada anak telantar dengan melaksanakan penyantunan dan pengentasan anak telantar, memberikan pelayanan pengganti fisik, mental, dan sosial pada anak asuh, sehingga memperoleh kesempatan yang luas, tepat dan memadai bagi perkembangan kepribadiannya sesuai dengan yang


(60)

diharapkan sebagai bagian dari generasi penerus cita-cita bangsa dan sebagai insan yang akan turut serta aktif di dalam bidang pembangunan nasional (Depsos, RI, 2009)

Kesimpulan dari uraian di atas bahwa panti asuhan merupakan lembaga kesejahteraan sosial yang bertanggung jawab memberikan pelayanan pengganti dalam pemenuhan kebutuhan fisik, mental, dan sosial pada anak asuhnya, sehingga mereka memperoleh kesempatan yang luas, tepat dan memadai bagi perkembangan kepribadian sesuai dengan harapan.

2.3.2. Tujuan Panti Asuhan

Tujuan panti asuhan menurut Departemen Sosial Republik Indonesia yaitu:

1. Panti asuhan memberikan pelayanan yang berdasarkan pada profesi pekerja sosial kepada anak terlantar dengan cara membantu dan membimbing mereka ke arah perkembangan pribadi yang wajar serta mempunyai keterampilan kerja, sehingga mereka menjadi anggota masyarakat yang dapat hidup layak dan penuh tanggung jawab, baik terhadap dirinya, keluarga, dan masyarakat.

2. Tujuan penyelenggaraan pelayanan kesejahteraan sosial anak di panti asuhan adalah terbentuknya manusia-manusia yang berkepribadian matang dan berdedikasi, mempunyai keterampilan kerja yang mampu menopang hidupnya dan hidup keluarganya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan panti asuhan adalah memberikan pelayanan, bimbingan, dan keterampilan kepada anak asuh agar menjadi manusia yang berkualitas.


(61)

2.3.3. Fungsi Panti Asuhan

Panti asuhan berfungsi sebagai sarana pembinaan dan pengentasan anak telantar. Menurut Departemen Sosial Republik Indonesia panti asuhan mempunyai fungsi sebagai berikut:

1. Sebagai pusat pelayanan kesejahteraan sosial anak.

Panti asuhan berfungsi sebagai pemulihan, perlindungan, pengembangan dan pencegahan:

Fungsi pemulihan dan pengentasan anak ditujukan untuk mengembalikan dan menanamkan fungsi sosial anak asuh. Fungsi ini mencakup kombinasi dari ragam keahlian, teknik, dan fasilitasfasiltias khusus yang ditujukan demi tercapainya pemeliharaan fisik, penyesuaian sosial, psikologis penyuluhan, dan bimbingan pribadi maupun kerja, latihan kerja serta penempatannya.

Fungsi perlindungan merupakan fungsi yang menghindarkan anak dari keterlambatan dan perlakuan kejam. Fungsi ini diarahkan pula bagi keluarga-keluarga dalam rangka meningkatkan kemampuan keluarga-keluarga untuk mengasuh dan melindungi keluarga dari kemungkinan terjadinya perpecahan.

Fungsi pengembangan menitikberatkan pada keefektifan peranan anak asuh, tanggung jawabnya kepada anak asuh dan kepada orang lain, kepuasan yang diperoleh karena kegiatankegiatan yang dilakukannya. Pendekatan ini lebih menekankan pada pengembangan potensi dan kemampuan anak asuh dan bukan penyembuhan dalam arti lebih menekankan pada pengembangan kemampuannya untuk mengembangkan diri sendiri sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan.


(62)

Fungsi pencegahan menitikberatkan pada intervensi terhadap lingkungan sosial anak asuh yang bertujuan di satu pihak dapat menghindarkan anak asuh dari pola tingkah laku yang sifatnya menyimpang, di lain pihak mendorong lingkungan sosial untuk mengembangkan pola-pola tingkah laku yang wajar.

2. Sebagai pusat data dan informasi serta konsultasi kesejahteraan sosial anak. 3. Sebagai pusat pengembangan keterampilan (yang merupakan fungsi penunjang).

Panti asuhan sebagai lembaga yang melaksanakan fungsi keluarga dan masyarakat dalam perkembangan dan kepribadian anak-anak remaja.

2.4. Landasan Teori

Penyakit skabies yang merupakan penyakit menular secara langsung maupun secara tidak langsung. Penularan secara langsung melalui sentuhan dengan penderita sedangkan secara tidak langsung melalui peralatan yang digunakan oleh penderita. (Ginanjar, 2006). Menurut Widoyono (2011), secara epidemiologi terjadinya suatu penyakit disebabkan oleh tidak adanya keseimbangan antara host (manusia), agent (penyebab) dengan environment (lingkungan), demikian juga terjadinya penyakit skabies.

Berdasarkan faktor host dalam penelitian ini adalah karakteristik masyarakat yang berpengaruh terhadap kejadian skabies, yaitu umur, pendidikan, pendapatan keluarga, perilaku kesehatan (pengetahuan, sikap dan tindakan), higiene perorangan (Ma’aruf, 2005; Sungkar, 2001; Kuspriyanto (2002))


(63)

Berdasarkan faktor environment yaitu faktor sanitasi lingkungan perumahan yaitu penyediaan air bersih, kepadatan hunian dalam satu kamar, penggunaan jamban keluarga, pembuangan air limbah, dan kelembaban udara mempunyai pengaruh terhadap kejadian skabies (Ma’aruf, 2005; Sungkar, 2001; Kuspriyanto (2002).

Bloom membedakan perilaku menjadi 3 kelompok yaitu Kognitif, Afektif, dan Psikomotorik, sedangkan Notoatmojo (1989) membagi ranah perilaku menjadi tiga bagian yaitu, pengetahuan (Knowledge), sikap (Attitude) dan Tindakan (Practice). Bentuk operasional perilaku ini dapat dikelompokkan menjadi 3 macam yaitu :

a. Perilaku dalam bentuk pengetahuan yaitu dengan mengetahui situasi atau rangsangan dari luar

b. Perilaku dalam bentuk sikap yaitu tanggapan batin terhadap keadaan atau rangsangan dari luar subjek

c. Perilaku dalam bentuk tindakan yang sudah nyata (konkrit) berupa perbuatan (action) terhadap situasi atau rangsangan dari luar.

Manusia berperilaku tertentu karena ada hal-hal yang mendorong serta mengarahkan untuk memilih bentuk-bentuk perilaku seperti yang sudah diperlihatkannya. Faktor pendorong ini lazimnya muncul dari sistem kebutuhan yang didapat dalam dirinya, sedangkan faktor pengarahnya adalah sikap.

Green (1996) menganalisa perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni faktor perilaku dan faktor diluar perilaku, selanjutnya perilaku itu sendiri terbentuk dari 3 faktor yaitu :


(1)

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 8,700a 1 ,003

Continuity Correctionb 7,647 1 ,006

Likelihood Ratio 8,812 1 ,003

Fisher's Exact Test ,005 ,003

Linear-by-Linear Association 8,627 1 ,003

N of Valid Cases 118

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 28,00. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval Lower Upper Odds Ratio for Skabies (Kontrol

/ Kasus)

3,052 1,440 6,469

For cohort Air Bersih = Memenuhi Syarat

1,800 1,194 2,714

For cohort Air Bersih = Tidak Memenuhi Syarat

,590 ,408 ,852

N of Valid Cases 118

Logistic Regression

Case Processing Summary

Unweighted Casesa N Percent

Selected Cases Included in Analysis 118 100,0

Missing Cases 0 ,0

Total 118 100,0

Unselected Cases 0 ,0

Total 118 100,0

a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

Dependent Variable Encoding Original Value Internal Value


(2)

Case Processing Summary

Unweighted Casesa N Percent

Selected Cases Included in Analysis 118 100,0

Missing Cases 0 ,0

Total 118 100,0

Unselected Cases 0 ,0

Total 118 100,0

Kasus 1

Block 0: Beginning Block

Classification Tablea,b

Observed

Predicted

Skabies Percentag e Correct Kontrol Kasus

Step 0 Skabies Kontrol 0 59 ,0

Kasus 0 59 100,0

Overall Percentage 50,0

a. Constant is included in the model. b. The cut value is ,500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 0 Constant ,000 ,184 ,000 1 1,000 1,000

Variables not in the Equation

Score df Sig.

Step 0 Variables Peng 4,894 1 ,027

SKP 19,804 1 ,000


(3)

Block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step 31,024 4 ,000

Block 31,024 4 ,000

Model 31,024 4 ,000

Model Summary

Step -2 Log likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

1 132,559a ,231 ,308

a. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than ,001.

Classification Tablea

Observed

Predicted

Skabies Percentage Correct Kontrol Kasus

Step 1 Skabies Kontrol 43 16 72,9

Kasus 15 44 74,6

Overall Percentage 73,7


(4)

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

95% C.I.for EXP(B) Lower Upper Step 1a Peng -1,523 ,862 3,124 1 ,077 ,218 ,040 1,180

SKP 2,285 ,824 7,686 1 ,006 9,826 1,953 49,426 KBD 1,737 ,756 5,276 1 ,022 5,678 1,290 24,984 AB -,543 ,807 ,452 1 ,501 ,581 ,120 2,826 Constant -3,037 ,782 15,075 1 ,000 ,048

a. Variable(s) entered on step 1: Peng, SKP, KBD, AB.

Logistic Regression

Case Processing Summary

Unweighted Casesa N Percent

Selected Cases Included in Analysis 118 100,0

Missing Cases 0 ,0

Total 118 100,0

Unselected Cases 0 ,0

Total 118 100,0

a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

Dependent Variable Encoding Original Value Internal Value

Kontrol 0


(5)

Block 0: Beginning Block

Classification Tablea,b

Observed

Predicted

Skabies Percentage Correct Kontrol Kasus

Step 0 Skabies Kontrol 0 59 ,0

Kasus 0 59 100,0

Overall Percentage 50,0

a. Constant is included in the model. b. The cut value is ,500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 0 Constant ,000 ,184 ,000 1 1,000 1,000

Block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step 25,387 2 ,000

Block 25,387 2 ,000

Model 25,387 2 ,000

Model Summary

Step -2 Log likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

1 138,196a ,194 ,258

a. Estimation terminated at iteration number 4 because parameter estimates changed by less than ,001.


(6)

Classification Tablea

Observed

Predicted Skabies Perce

ntage Corre

ct Kontr

ol Kasus

Step 1 Skabies Kontrol 45 14 76,3

Kasus 20 39 66,1

Overall Percentage 71,2

a. The cut value is ,500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

95% C.I.for EXP(B) Lower Upper Step 1a SKP 1,133 ,493 5,277 1 ,022 3,104 1,181 8,159

KBD 1,093 ,488 5,019 1 ,025 2,983 1,147 7,763 Constant -3,447 ,772 19,928 1 ,000 ,032