Pengaruh Sanitasi Lingkungan dan Personal Hygiene terhadap Kejadian Penyakit Skabies pada Warga Binaan Pemasyarakatan yang Berobat Ke Klinik di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Medan

(1)

PENGARUH SANITASI LINGKUNGAN DAN PERSONAL HYGIENE TERHADAP KEJADIAN PENYAKIT SKABIES PADA WARGA

BINAAN PEMASYARAKATAN YANG BEROBAT KE KLINIK DI RUMAH TAHANAN NEGARA KLAS 1 MEDAN

TESIS

Oleh

KRISTINA ROSETTY SIREGAR 107032152/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

TERHADAP KEJADIAN PENYAKIT SKABIES PADA WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN YANG BEROBAT KE KLINIK

DI RUMAH TAHANAN NEGARA KLAS 1 MEDAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

KRISTINA ROSETTY SIREGAR 107032152/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : PENGARUH SANITASI LINGKUNGAN DAN PERSONAL HYGIENE TERHADAP

KEJADIAN PENYAKIT SKABIES PADA WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN YANG BEROBAT KE KLINIK DI RUMAH TAHANAN NEGARA KLAS 1 MEDAN Nama Mahasiswa : Kristina Rosetty Siregar

Nomor Induk Mahasiswa : 107032152

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. dr. Wirsal Hasan, M.P.H) (dr.Surya Dharma, M.P.H

Ketua Anggota

)

Tanggal Lulus : 31 Juli 2012

Dekan


(4)

PERSONAL HYGIENE TERHADAP KEJADIAN PENYAKIT SKABIES PADA WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN YANG BEROBAT KE KLINIK DI RUMAH TAHANAN NEGARA KLAS 1 MEDAN Nama Mahasiswa : Kristina Rosetty Siregar

Nomor Induk Mahasiswa : 107032152

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. dr. Wirsal Hasan, M.P.H) (dr.Surya Dharma, M.P.H

Ketua Anggota

)


(5)

Telah diuji

Pada tanggal : 31 Juli 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. dr. Wirsal Hasan, M.P.H Anggota : 1. dr. Surya Dharma, M.P.H 2. Ir. Indra Chahaya S, M.Si


(6)

PENGARUH SANITASI LINGKUNGAN DAN PERSONAL HYGIENE TERHADAP KEJADIAN PENYAKIT SKABIES PADA WARGA

BINAAN PEMASYARAKATAN YANG BEROBAT KE KLINIK DI RUMAH TAHANAN NEGARA KLAS 1 MEDAN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka

Medan, Agustus 2012

( KRISTINA ROSETTY SIREGAR ) 107032152/IKM


(7)

ABSTRAK

Penyakit Skabies adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh

Sarcoptes scabei varian hominis. Prevalensi skabies di Indonesia sebesar 4,60-12,95% dan menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit tersering. Salah satu faktor terjadinya penyakit skabies adalah sanitasi yang buruk dan personal hygiene yg kurang serta menyerang manusia yang hidup secara berkelompok seperti rumah tahanan.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh sanitasi lingkungan dan

personal hygiene terhadap kejadian penyakit Skabies pada warga binaan pemasyarakatan yang berobat ke klinik di Rumah Tahanan Negara Klas I Medan. Metode penelitian adalah survey analitik dengan rancangan penelitian cross sectional. Populasi penelitian adalah warga binaan pemasyarakatan yang ada pada Rumah Tahanan Negara Klas I Medan yang berjumlah 3050 orang dengan jumlah sampel 97 orang yang diambil secara purposive sampling. Analisis data menggunakan uji regresi logistik berganda pada taraf kepercayaan 95%.

Hasil penelitian menunjukkan variabel sanitasi lingkungan yaitu ketersediaan air bersih (p=0,001), kelembaban (p=0,043), kepadatan penghuni (p=0,001) dan kondisi lantai (p=0,019) ada hubungan terhadap kejadian Skabies. Sedangkan ventilasi (p=0,095) dan pencahayaan (p=0,305) tidak berpengaruh. Variabel personal hygiene yaitu kebersihan kulit (p=0,001) dan kebersihan tangan, kaki dan kuku (p=0,006) ada hubungan terhadap kejadian Skabies. Sedangkan variabel yang tidak memiliki pengaruh adalah kebersihan rambut (p=0,425).

Hasil uji regresi logistik berganda diketahui variabel yang dominan berpengaruh terhadap kejadian Skabies adalah ketersediaan air bersih dengan nilai koefisien (Exp.β) 0,091.

Disarankan kepada Manajemen Rumah Tahanan Negara Kelas 1 Medan perlu menyediakan air bersih sesuai kebutuhan dan juga skaligus menjaga sanitasi lingkungan rutan agar tetap bersih dan sehat agar dapat mengurangi kejadian Skabies.


(8)

Scabies is a contagious skin disease caused by sarcoptes scabei varian hominis. The prevalence of scabies in Indonesia is 4.60 – 12.95% and it ranks third of the 12 most frequently suffered skin diseases. One of the factors of the prevalence of scabies is poor sanitation and personal hygiene attacking human beings living in a group like in a penitentiary.

The purpose of this analytical survey study with cross-sectional design was to analyze the influence of environmental sanitation and personal hygiene on the prevalence of scabies in the inmates who go for treatment at the clinic in the State Penitentiary Class I Medan. The population of this study was 3050 inmates in the State Penitentiary Class I Medan, and 97 of them were selected to be the samples for this study through purposive sampling technique. The data obtained were analyzed through multiple logistic regression tests at level of confidence of 95%.

The result this study showed that the variables of environmental sanitation including the availability of clean water (p = 0.001), humidity (p = 0.043), occupant density (p = 0.001), and floor condition (p = 0.019) related to the prevalence of scabies, while ventilation (p = 0.095) and lighting (p = 0.305) did not have any influence. The variable of personal hygiene including skin hygiene (p = 0.001) and cleanliness of the hands, feet and nails (p = 0.006) related to the prevalence of scabies, while the variable which has no influence was hair hygiene (p = 0.425).

The result of multiple logistic regression tests showed that the variable which dominantly influenced the prevalence of scabies was the availability of clean water with Exp. Β = 0.091.

The management of the State Penitentiary Class I Medan is suggested to provide clean water as needed and, at the same time, to maintain the environmental sanitation and hygiene of the penitentiary that the prevalence of scabies can be minimized.


(9)

KATA PENGANTAR

Segala Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas kemurahanNya, penulis dapat menyelesaikan penelitian dan peyusunan tesis ini dengan judul “Pengaruh Sanitasi Lingkungan dan Personal Hygiene terhadap Kejadian Penyakit Skabies pada Warga Binaan Pemasyarakatan yang Berobat Ke Klinik di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Medan”.

Tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat. Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A.(K) Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

3. Prof. Dr. Dra, Ida Yustina, M.Si selaku Ketua Program Studi dan Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara serta seluruh jajaranya.

4. Dr. dr. Wirsal Hasan, MPH dasn dr. Surya Dharma, MPH selaku komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu dan memberi masukan untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis ini selesai.


(10)

telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan penulisan tesis ini.

6. Seluruh dosen dan staff di lingkungan program studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

7. Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan, Kepala Bidang PMK dan Kepala Seksi Kesehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kota Medan yang telah memotivasi dan memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan dan sekaligus memberikan izin belajar pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM Universitas Sumatera Utara

8. Kementrian Hukum dan HAM RI, wilayah provinsi Sumatera Utara Rumah Tahanan Negara Klas 1 Medan yang telah memberikan izin sebagai tempat penelitian tesis ini

9. Teristimewa buat suami tercinta Marhite T Butarbutar, S.E dan putriku tercinta Olwin Butarbutar, Olivia Butarbutar dan Olga Butarbutar, yang penuh pengertian, kesabaran, pengorbanan, serta doa dan cinta dalam memberikan motivasi dan dukungan agar bisa menyelesaikan pendidikan ini tepat waktu

10.Ucapan terima kasih kepada ayahanda St. Drs. J. Siregar, M.Ed dan ibunda R.br. Tambun serta ibu mertua E. br. Gultom dan semua adik-adikku yang sudah memberikan doa dan semangat kepada penulis selama mengikuti pendidikan dan penyelesaian tesis ini


(11)

11. Rekan-rekan seperjuangan Mahasiswa Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat angkatan 2010 Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri dan rekan-rekan di Kantor Dinas Kesehatan Kota Medan khususnya di Seksi Kesehatan Lingkungan, serta semua pihak yang telah membantu penulis selama pendidikan dan proses penyusunan tesis ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu

Kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa akan membalas semua kebaikan dan bantuan yang telah penulis terima selama ini.

Penulis menyadari atas segala keterbatasan dan kekurangan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi peneliti selanjutnya.

Medan, Agustus 2012 Penulis

Kristina Rosetty Siregar 107032152/ MKLI


(12)

Kristina Rosetty Siregar dilahirkan pada tanggal 21 Mei 1968 di Tapanuli Utara. Anak pertama dari tujuh bersaudara, dari pasangan Ayahanda St. Drs. Jasudin Siregar, M.Ed dan Ibunda Renata Tambun. Menikah dengan Marhite T. Butarbutar, S.E dan dikaruniakan tiga orang putri, yaitu Olwin Putri M Butarbutar, Olivia Yosia. S Butarbutar dan Olga Patricia Butarbutar.

Pendidikan dimulai dari Sekolah Dasar tahun 1974-1980 di Perguruan Kristen V Medan, tahun 1980-1983 pendidikan di SMP Negeri 10 Medan, tahun 1983-1986 pendidikan di SMA Negeri 7 Medan, tahun 1986-1989 pendidikan di Akademi Penilik Kesehatan Teknologi Sanitasi (APKTS) Departemen Kesehatan RI Padang. Tahun 1990 diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Dinas Kesehatan Kota Medan. Tahun 1997-1999 mengikuti tugas belajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Dan sekarang bertugas sebagai Staf di Seksi Kesehatan Lingkungan di Bidang Penanggulangan Masalah Kesehatan (PMK) di Dinas Kesehatan Kota Medan.

Tahun 2010 mengikuti pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

2.1 Permasalahan ... 5

3.1 Tujuan Penelitian ... 5

4.1 Hipotesis ... 5

5.1 Manfaat Penelitian ... 5

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Penyakit Skabies ... 7

2.1.1. Definisi Penyakit Skabies ... 7

2.1.2. Etiologi Penyakit Skabies ... 7

2.1.3. Patogenesis Penyakit Skabies ... 8

2.1.4. Gejala Klinis Penyakit Skabies ... 9

2.1.5. Penularan Skabies ... 10

2.1.6. Bentuk-bentuk Skabies ... 11

2.1.7. Pengobatan Penyakit Skabies ... 13

2.1.8. Pencegahan Penyakit Skabies ... 15

2.2 Sanitasi Lingkungan ... 17

2.2.1 Penyediaan Air Bersih ... 18

2.2.2 Kondisi Fisik Rumah ... 22

2.3 Personal Hygiene (Kebersihan Perorangan) ... 29

2.4. Rumah Tahanan Negara ... 36

2.5. Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) ... 36

2.6. Pemeriksaan Kesehatan Warga Binaan Pemasyarakatan .... 37

2.7 Landasan Teori ... 39

2.8 Kerangka Konsep ... 41

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 42

3.1 Jenis Penelitian ... 42


(14)

3.4.2 Waktu Penelitian ... 42

5.1 Populasi dan Sampel ... 43

3.5.1 Populasi ... 43

3.5.2 Sampel ... 43

6.1 Metode Pengumpulan Data ... 44

3.6.1 Data Primer ... 44

3.6.2 Data Sekunder ... 45

3.6.3 Uji Validitas ... 45

3.6.4 Uji Reliabilitas ... 46

7.1 Variabel dan Definisi Operasional ... 46

8.1 Metode Pengukuran ... 48

3.8.1 Pengukuran Variabel Independen ... 48

3.8.2 Pengukuran Variabel Dependen ... 51

9.1 Metode Analisis Data ... 52

3.9.1 Analisis Univariat ... 52

3.9.2 Analisis Bivariat ... 52

3.9.3 Analisis Multivariat ... 52

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 54

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 54

4.2. Analisis Univariat ... 55

4.2.1. Distribusi Karakteristik Responden ... 55

4.2.2. Distribusi Hasil Observasi dan Pengukuran Sanitasi Lingkungan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Medan ... 56

4.2.3. Distribusi Responden Berdasarkan Lingkungan ... 60

4.2.4. Distribusi Responden Berdasarkan Personal Hygiene ... 62

4.2.5. Distribusi Kejadian Penyakit Skabies ... 66

4.3. Analisis Bivariat ... 67

4.3.1. Analisis Hubungan Sanitasi Lingkungan terhadap Kejadian Penyakit Skabies di Rumah Tahanan Negara Klas I Medan ... 67

4.3.2. Analisis Hubungan Personal Hygiene Berdasarkan Kebersihan Rambut, Kebersihan Kulit dan Kebersihan Tangan, Kaki dan Kuku terhadap Kejadian Skabies ... 71

4.4. Analisis Multivariat ... 73

BAB 5. PEMBAHASAN ... 78

5.1. Karakteristik Repsonden ... 78

5.2. Sanitas Lingkungan terhadap Kejadian Penyakit Skabies pada Warga Binaan Pemasyarakatan yang Berobat ke Klinik di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Medan ... 78


(15)

5.2.1. Pengaruh Sanitasi Lingkungan Berdasarkan Ketersediaan Air Bersih terhadap Kejadian Penyakit Skabies pada Warga Binaan Pemasyarakatan yang Berobat ke Klinik di Rumah Tahanan Negara Klas 1

Medan ... 79 5.2.2. Pengaruh Sanitasi Lingkungan Berdasarkan Ventilasi

terhadap Kejadian Penyakit Skabies pada Warga Binaan Pemasyarakatan yang Berobat ke Klinik di

Rumah Tahanan Negara Klas 1 Medan ... 80 5.2.3. Hubungan Sanitasi Lingkungan Berdasarkan

Kelembaban terhadap Kejadian Penyakit Skabies pada Warga Binaan Pemasyarakatan yang Berobat ke Klinik

di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Medan ... 82 5.2.4. Hubungan Sanitasi Lingkungan Berdasarkan

Pencahayaan terhadap Kejadian Penyakit Skabies pada Warga Binaan Pemasyarakatan yang Berobat ke

Klinik di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Medan ... 83 5.2.5. Hubungan Sanitasi Lingkungan Berdasarkan Kepadatan

Penghuni terhadap Kejadian Penyakit Skabies pada Warga Binaan Pemasyarakatan yang Berobat ke Klinik

di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Medan ... 84 5.2.6. Hubungan Sanitasi Lingkungan Berdasarkan Kondisi

Lantai terhadap Kejadian Penyakit Skabies pada Warga Binaan Pemasyarakatan yang Berobat ke Klinik di

Rumah Tahanan Negara Klas 1 Medan ... 86 5.3. Hubungan Personal Hygiene terhadap Kejadian Penyakit

Skabies pada Warga Binaan Pemasyarakatan yang Berobat ke

Klinik di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Medan ... 87 5.3.1. Hubungan Personal Hygiene Berdasarkan Kebersihan

Rambut terhadap Kejadian Penyakit Skabies pada Warga Binaan Pemasyarakatan yang Berobat ke Klinik

di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Medan ... 89 5.3.2. Hubungan Personal Hygiene Berdasarkan Kebersihan

Kulit terhadap Kejadian Penyakit Skabies pada Warga Binaan Pemasyarakatan yang Berobat ke Klinik di

Rumah Tahanan Negara Klas 1 Medan ... 90 5.3.3 Hubungan Personal Hygiene Berdasarkan Kebersihan

Tangan, Kaki dan Kuku terhadap Kejadian Penyakit Skabies pada Warga Binaan Pemasyarakatan yang Berobat ke Klinik di Rumah Tahanan Negara Klas 1

Medan ... 91 5.4. Variabel yang Paling Dominan Berpengaruh terhadap Kejadian


(16)

6.1. Kesimpulan ... 95

6.2. Saran ... 96

DAFTAR PUSTAKA ... 97


(17)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman 3.1. Pengukuran Variabel Independen ... 49 3.2 Aspek Pengukuran Variabel Dependen ... 51 4.1. Distribusi Karakteristik Responden Berdasarkan Umur, Tingkat

Pendidikan dan Lama dalam Tahanan di Rumah Tahanan Negara

Klas 1 Medan 55

4.2. Distribusi Hasil Observasi dan Pengukuran Sanitasi Lingkungan Mengenai Ketersediaan Air Bersih, Ventilasi dan Kelembaban di

Rumah Tahanan Negara Klas 1 Medan ... 57 4.3. Distribusi Hasil Observasi dan Pengukuran Sanitasi Lingkungan

Mengenai Pencahayaan, Kepadatan Penghuni dan Kondisi Lantai di

Rumah Tahanan Negara Klas 1 Medan ... 58 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Ketersediaan Air Bersih,

Ventilasi, Kelembaban, Pencahayaan, Kepadatan Penghuni dan

Kondisi Lantai di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Medan ... 60 4.5. Distribusi Jawaban Responden tentang Kebersihan Rambut di

Rumah Tahanan Negara Klas 1 Medan ... 63 4.6. Distribusi Personal Hygiene Responden tentang Kebersihan Rambut

di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Medan ... 63 4.7. Distribusi Jawaban Responden tentang Kebersihan Kulit di Rumah

Tahanan Negara Klas 1 Medan ... 64 4.8. Distribusi Personal Hygiene Responden tentang Kebersihan Kulit

di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Medan ... 64 4.9. Distribusi Jawaban Responden tentang Kebersihan Tangan, Kaki dan

Kuku di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Medan ... 65 4.10. Distribusi Personal Hygiene Responden tentang Kebersihan Tangan,


(18)

Pemasyarakatan yang Berobat ke Klinik di Rumah Tahanan Negara

Klas 1 Medan ... 66 4.12. Hubungan Sanitasi Lingkungan Berdasarkan Ketersediaan Air

Bersih, Ventilasi, Kelembaban, Pencahayaan, Kepadatan Penghuni dan Kondisi Lantai terhadap Kejadian Penyakit Skabies di Rumah

Tahanan Negara Klas 1 Medan ... 67 4.13. Hubungan Personal Hygiene Berdasarkan Kebersihan Rambut,

Kebersihan Kulit dan Kebersihan Tangan, Kaki dan Kuku terhadap

Kejadian Penyakit Skabies ... 71 4.14. Pengaruh Sanitasi Lingkungan dan Personal Hygiene terhadap

Kejadian Skabies pada Warga Binaan Pemasyarakatan yang Berobat

ke Klinik di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Medan ... 74 4.15. Pengaruh Sanitasi Lingkungan dan Personal Hygiene terhadap

Kejadian Skabies pada Warga Binaan Pemasyarakatan yang Berobat

ke Klinik di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Medan ... 75 4.16. Pengaruh Sanitasi Lingkungan dan Personal Hygiene terhadap

Kejadian Skabies pada Warga Binaan Pemasyarakatan yang Berobat


(19)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman 2.1 Kerangka Teori Penelitian ... 39 2.2. Kerangka Konsep ... 41


(20)

No. Judul Halaman

1. Kuesioner ... 101

2. Lembar Observasi ... 103

3. Reliability ... 105

4. Master Data ... 108


(21)

ABSTRAK

Penyakit Skabies adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh

Sarcoptes scabei varian hominis. Prevalensi skabies di Indonesia sebesar 4,60-12,95% dan menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit tersering. Salah satu faktor terjadinya penyakit skabies adalah sanitasi yang buruk dan personal hygiene yg kurang serta menyerang manusia yang hidup secara berkelompok seperti rumah tahanan.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh sanitasi lingkungan dan

personal hygiene terhadap kejadian penyakit Skabies pada warga binaan pemasyarakatan yang berobat ke klinik di Rumah Tahanan Negara Klas I Medan. Metode penelitian adalah survey analitik dengan rancangan penelitian cross sectional. Populasi penelitian adalah warga binaan pemasyarakatan yang ada pada Rumah Tahanan Negara Klas I Medan yang berjumlah 3050 orang dengan jumlah sampel 97 orang yang diambil secara purposive sampling. Analisis data menggunakan uji regresi logistik berganda pada taraf kepercayaan 95%.

Hasil penelitian menunjukkan variabel sanitasi lingkungan yaitu ketersediaan air bersih (p=0,001), kelembaban (p=0,043), kepadatan penghuni (p=0,001) dan kondisi lantai (p=0,019) ada hubungan terhadap kejadian Skabies. Sedangkan ventilasi (p=0,095) dan pencahayaan (p=0,305) tidak berpengaruh. Variabel personal hygiene yaitu kebersihan kulit (p=0,001) dan kebersihan tangan, kaki dan kuku (p=0,006) ada hubungan terhadap kejadian Skabies. Sedangkan variabel yang tidak memiliki pengaruh adalah kebersihan rambut (p=0,425).

Hasil uji regresi logistik berganda diketahui variabel yang dominan berpengaruh terhadap kejadian Skabies adalah ketersediaan air bersih dengan nilai koefisien (Exp.β) 0,091.

Disarankan kepada Manajemen Rumah Tahanan Negara Kelas 1 Medan perlu menyediakan air bersih sesuai kebutuhan dan juga skaligus menjaga sanitasi lingkungan rutan agar tetap bersih dan sehat agar dapat mengurangi kejadian Skabies.


(22)

Scabies is a contagious skin disease caused by sarcoptes scabei varian hominis. The prevalence of scabies in Indonesia is 4.60 – 12.95% and it ranks third of the 12 most frequently suffered skin diseases. One of the factors of the prevalence of scabies is poor sanitation and personal hygiene attacking human beings living in a group like in a penitentiary.

The purpose of this analytical survey study with cross-sectional design was to analyze the influence of environmental sanitation and personal hygiene on the prevalence of scabies in the inmates who go for treatment at the clinic in the State Penitentiary Class I Medan. The population of this study was 3050 inmates in the State Penitentiary Class I Medan, and 97 of them were selected to be the samples for this study through purposive sampling technique. The data obtained were analyzed through multiple logistic regression tests at level of confidence of 95%.

The result this study showed that the variables of environmental sanitation including the availability of clean water (p = 0.001), humidity (p = 0.043), occupant density (p = 0.001), and floor condition (p = 0.019) related to the prevalence of scabies, while ventilation (p = 0.095) and lighting (p = 0.305) did not have any influence. The variable of personal hygiene including skin hygiene (p = 0.001) and cleanliness of the hands, feet and nails (p = 0.006) related to the prevalence of scabies, while the variable which has no influence was hair hygiene (p = 0.425).

The result of multiple logistic regression tests showed that the variable which dominantly influenced the prevalence of scabies was the availability of clean water with Exp. Β = 0.091.

The management of the State Penitentiary Class I Medan is suggested to provide clean water as needed and, at the same time, to maintain the environmental sanitation and hygiene of the penitentiary that the prevalence of scabies can be minimized.


(23)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Skabies adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh

Sarcoptes scabei varian hominis (Harahap, 2000). Penyakit ini dikenal juga dengan nama the itch, gudik atau gatal agogo.

Saat ini Badan Dunia menganggap penyakit skabies sebagai pengganggu dan perusak kesehatan yang tidak dapat dianggap lagi hanya sekedar penyakitnya orang miskin karena penyakit skabies masa kini telah merebak menjadi penyakit kosmopolit yang menyerang semua tingkat sosial (Agoes, 2009).

Menurut Sungkar (2000) mengatakan bahwa penyakit Skabies di seluruh dunia dengan insiden yang berfluktuasi akibat pengaruh faktor imun yang belum diketahui sepenuhnya. Penyakit ini banyak dijumpai pada anak dan dewasa, tetapi dapat mengenai semua umur. Penyakit ini telah ditemukan hampir pada semua negara di seluruh dunia dengan angka prevalensi yang bervariasi. Di beberapa negara berkembang prevalensinya dilaporkan berkisar antara 6-27% dari populasi umum dan insiden tertinggi terdapat pada anak usia sekolah dan remaja.

Di beberapa negara termasuk Indonesia penyakit skabies yang hampir teratasi ini cenderung mulai bangkit dan merebak kembali. Selain itu, kasus-kasus baru berupa Skabies Norwegia telah pula dilaporkan, walaupun angka prevalensinya yang tepat belum ada, namun laporan dari dinas kesehatan dan para dokter praktek


(24)

(Agoes, 2009). Menurut Departemen Kesehatan RI prevalensi skabies di Indonesia sebesar 4,60-12,95% dan skabies menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit tersering (Notobroto, 2005).

Data pola 10 penyakit terbesar di Kota Medan tahun 2010 menunjukkan bahwa penyakit kulit infeksi dengan jumlah penderita 39.267 orang atau 5,90% menduduki urutan kelima setelah penyakit infeksi akut lain pada saluran pernafasan bagian atas, hipertensi, penyakit pada sistem otot dan jaringan pengikat serta penyakit lain pada saluran pernafasan atas.

Salah satu faktor pendukung terjadinya penyakit skabies adalah sanitasi yang buruk dan dapat menyerang manusia yang hidup secara berkelompok, yang tinggal di asrama, barak-barak tentara, rumah tahanan, dan pesantren maupun panti asuhan (Badri, 2008). Usaha penyehatan lingkungan merupakan suatu pencegahan terhadap berbagai kondisi yang mungkin dapat menimbulkan penyakit dan sanitasi merupakan faktor yang utama yang harus diperhatikan (Mukono, 2006).

Lembaga Pemasyarakatan (disingkat LP atau Lapas) atau biasa disebut juga dengan rumah tahanan (Rumah Tahanan) adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana atau warga binaan pemasyarakatan di Indonesia. Selain berfungsi sebagai tempat pembinaan bagi narapidana, juga menyediakan tempat pelayanan kesehatan bagi narapidana. Pelayanan kesehatan bagi narapidana ini merupakan salah satu faktor penunjang dari Program Pembinaan Jasmani dan Rohani terhadap narapidana di lembaga pemasyarakatan/rumah tahanan (Menhum dan Hak Azazi, 2006).


(25)

Demikian juga dalam hal penanggulangan penyakit skabies di rumah tahanan pernah dilakukan beberapa tempat, seperti pada tahun 2008 kegiatan tersebut dilaksanakan di rumah tahanan pondok bambu.

Kemudian dilaporkan juga bahwa 908 orang penghuni rumah tahanan Labuhan Deli, Medan Sumatera Utara pada tanggal 7 November 2011. Mendapatkan pengobatan skabies massal yang dilakukan oleh Komite Internasional Palang Merah (ICRC Jakarta) bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (DitJenPas) dan lebih dari 110 orang penghuni rumah tahanan dengan kondisi infeksi dengan mendapat perawatan khusus dan diberi obat.

Dalam Jurnal Nasional pada Januari 2012 dilaporkan 26 orang dari 137 orang penghuni rumah tahanan kelas II B Pacitan, Jawa Timur terjangkit skabies yang diperkirakan penyebarannya terjadi karena buruknya kualitas air sumur yang digunakan penghuni untuk mandi. Selain faktor kualitas air, diperkirakan menyebarnya penyakit skabies itu muncul karena kurangnya kesadaran para penghuni akan kebersihan kamar tahanan maupun jasmaninya.

Melihat hal di atas pada survei pendahuluan yang dilakukan di rumah tahanan kelas I Medan dari data pencatatan di klinik di Rumah Tahanan Negara Klas I Medan jumlah penghuni yang terkena penyakit kulit secara keseluruhan didapatkan data bahwa pada tahun 2009, jumlah penderita adalah 752 orang dan pada tahun 2010 adalah sebanyak 984 orang serta pada tahun 2011 sebanyak 1554 orang dari 3622 orang yang datang berkunjung ke klinik Rumah Tahanan atau sekitar 42,9%. Kemudian warga binaan pemasyarakatan yang tinggal di dalam setiap ruang tahanan


(26)

melebihi kapasitas yang ditetapkan. Berdasarkan laporan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan 2010, kondisi rumah tahanan/lembaga pemasyarakaan yang melebihi kapasitas hampir terjadi di seluruh Indonesia. Kapasitas ideal seluruh rumah tahanan/ lembaga pemasyarakatan di Indonesia adalah 73.000 orang, namun jumlah warga binaan pemasyarakatan sebanyak 111.357 orang, dengan demikian terdapat kelebihan penghuni sekitar 65,6%.

Akibat kelebihan kapasitas tersebut, setiap warga binaan yang tinggal di rumah tahanan/lembaga pemasyarakatan akan mengalami keterbatasan ketersediaan sanitasi lingkungan seperti air bersih, luas ruang tahanan yang tidak sesuai dengan jumlah penghuni. Akibat keterbatasan sarana sanitasi lingkungan tersebut menyebabkan penghuni rumah tahanan/lapas mengalami keterbatasan untuk menjaga kebersihan diri (personal hygiene). Kondisi yang demikian akan meningkatkan resiko terjadinya penularan penyakit kulit skabies antar warga binaan. Menurut Achmadi, (2011) resiko terjadinya penyakit disebabkan oleh tingkat keberadaan agent penyebab penyakit serta perilaku pemajanan (behavioural exposure).

Berdasarkan kondisi Rumah Tahanan Kls I Medan, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengkaji pengaruh sanitasi lingkungan dan personal hygiene terhadap kejadian penyakit skabies pada warga binaan pemasyarakatan yang berobat ke Klinik di Rumah Tahanan Negara Klas I Medan


(27)

1.2 Permasalahan

Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut diatas, maka ditemukan permasalahan adalah tingginya penderita penyakit kulit di Rumah Tahanan Negara Klas I Medan, maka perlu diteliti pengaruh faktor sanitasi lingkungan dan personal hygiene terhadap kejadian penyakit skabies pada warga binaan pemasyarakatan yang berobat ke Klinik di Rumah Tahanan Negara Klas I Medan.

1.3 Tujuan Penelitian

Menganalisis pengaruh sanitasi lingkungan dan personal hygiene terhadap kejadian penyakit skabies pada warga binaan pemasyarakatan yang berobat ke klinik di Rumah Tahanan Negara Klas I Medan.

1.4 Hipotesis

Sanitasi lingkungan dan personal hygiene berpengaruh terhadap kejadian penyakit skabies pada warga binaan pemasyarakatan yang berobat ke Klinik di Rumah Tahanan Negara Klas I Medan.

2.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat :

1. Bagi pengembangan Ilmu Kesehatan Lingkungan yang berkaitan dengan pencegahan dan penanggulangan penyakit skabies di Rumah Tahan/Lembaga Pemasyarakatan.


(28)

2. Bagi Rumah Tahanan Negara Klas I Medan, sebagai masukan dalam rangka penyusunan program kegiatan pencegahan dan penanggulangan penyakit skabies pada warga binaan pemasyarakatan.

3. Bagi warga binaan pemasyarakatan, sebagai informasi untuk melakukan atau meningkatkan sanitasi lingkungan dan menjaga kebersihan diri (personal hygiene) sebagai upaya mengurangi risiko terkena penyakit skabies.


(29)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Skabies

2.1.1 Definisi Penyakit Skabies

Penyakit Skabies adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap Sarcoptes sabies varian hominis dan produknya. Penyakit ini sering juga disebut dengan nama lain kudis, The itch, Seven year itch, Gudikan, Gatal Agogo, Budukan atau Penyakit Ampera (Handoko, 2008).

2.1.2 Etiologi Penyakit Skabies

Sarcoptes Scabei termasuk filum Arthopoda, kelas Arachnida, ordo Ackarina,

superfamili Sarcoptes. Pada manusia disebut Sarcoptes scabei var. hominis.

(Handoko, 2008).

Secara morfologi merupakan tungau kecil, berbentuk oval, punggungnya cembung dan bagian perutnya rata. Tungau ini berwarna putih kotor, dan tidak bermata. Ukurannya yang betina berkisar antara 330-450 mikron x 250-350 mikron, sedangkan jantan lebih kecil, yakni 200-240 mikron x 150-200 mikron. Bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang kaki di depan sebagai alat untuk melekat dan 2 pasang kaki kedua pada betina berakhir dengan rambut, sedangkan pada yang jantan pasangan kaki ketiga berakhir dengan rambut dan keempat berakhir dengan alat perekat (Handoko, 2008).


(30)

Siklus hidup tungau ini sebagai berikut, setelah kopulasi (perkawinan) yang terjadi di atas kulit, yang jantan akan mati, kadang-kadang masih dapat hidup dalam terowongan yang digali oleh yang betina. Tungau betina yang telah dibuahi menggali terowongan dalam stratum korneum, dengan kecepatan 2-3 milimeter sehari dan sambil meletakkan telurnya 2 atau 4 butir sehari sampai mencapai jumlah 40 atau 50. Bentuk betina yang telah dibuahi ini dapat hidup sebulan lamanya. Telurnya akan menetas, biasanya dalam waktu 3-5 hari dan menjadi larva yang mempunyai 3 pasang kaki. Larva ini dapat tinggal dalam terowongan, tetapi dapat juga keluar. Setelah 2-3 hari larva akan menjadi nimfa yang mempunyai 2 bentuk, jantan dan betina, dengan 4 pasang kaki. Seluruh siklus hidupnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa memerlukan waktu antara 8-12 hari (Handoko, 2008).

Telur menetas menjadi larva dalam waktu 3-4 hari, kemudian larva

meninggalkan terowongan dan masuk ke dalam folikel rambut. Selanjutnya larva berubah menjadi nimfa yang akan menjadi parasit dewasa. Tungau scabies betina membuat liang di epidermis dan meletakkan telur-telurnya didalam liang yang ditinggalkannya, sedangkan tungau scabies jantan hanya mempunyai satu tugas dalam kehidupannya, yaitu kawin dengan tungau betina setelah melaksanakan tugas mereka masing-masing akan mati (Graham-Brown dan Burns, 2005).

2.1.3 Patogenesis Penyakit Skabies

Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh tungau scabies, tetapi juga oleh penderita akibat garukan. Penularan juga dapat terjadi karena bersalaman atau bergandengan tangan yang lama dengan penderita sehingga terjadi kontak kulit yang


(31)

kuat, menyebabkan kuman skabies berpindah ke lain tangan. Kuman skabies dapat menyebabkan bintil (papul, gelembung berisi air, vesikel dan kudis) pada pergelangan tangan. Gatal yang terjadi disebabkan oleh sensitisasi terhadap tungau yang memerlukan waktu kira-kira sebulan setelah infestasi. Pada saat ini kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel, urtikaria dan lain-lain. Dengan garukan dapat menimbulkan erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder. Kelainan kulit dan gatal-gatal yang terjadi dapat lebih luas dari lokasi tungau (Handoko, 2008).

2.1.4 Gejala Klinis Penyakit Skabies

Gatal merupakan gejala utama sebelum gejala klinis lainnya muncul, rasa gatal biasanya hanya pada lesi tetapi pada scabies kronis gatal dapat dirasakan pada seluruh tubuh. Gejala yang timbul antara lain ada rasa gatal yang hebat pada malam hari, ruam kulit yang terjadi terutama dibagian sela-sela jari tangan, bawah ketiak, pinggang, alat kelamin, sekeliling siku, aerola mammae (area sekeliling puting susu) dan permukaan depan pergelangan (Sungkar, 2000)

Sampai besar, berwarna kemerahan yang disebabkan garukan keras. Bintik-bintik itu akan menjadi bernanah jika terinfeksi, dimana ada empat tanda kardinal yaitu : (Handoko, 2008)

1. Pruritus nokturna, yaitu gatal pada malam hari yang disebabkan karena aktifitas tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas.

2. Penyakit ini menyerang secara kelompok, mereka yang tinggal di asrama, barak-barak tentara, pesantren maupun panti asuhan berpeluang lebih besar terkena


(32)

penyakit ini. Penyakit scabies amat mudah menular melalui pemakaian handuk, baju maupun seprai secara bersama-sama. Penyakit Skabies mudah menyerang daerah yang tingkat kebersihan diri dan lingkungan masyarakatnya rendah.

3. Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang berwarna putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata panjang 1 cm, pada ujung terowongan ini ditemukan papul atau vesikel. Jika timbul infeksi sekunder ruam kulitnya menjadi polimorf (pustul, ekskoriasi, dan lain-lain). Tempat predileksinya biasanya merupakan tempat dengan stratum komeum yang tipis, yaitu: sela-sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola mammae (wanita), umbilikus, bokong, genitalia ekstema (pria), dan perut bagian bawah. Pada bayi dapat menyerang telapak tangan dan telapak kaki.

4. Menemukan tungau merupakan hal yang paling diagnostik, dapat ditemukan satu atau lebih stadium tungau ini.

Diagnosis dapat dibuat dengan menemukan 2 dari 4 tanda kardinal tersebut. 2.1.5 Penularan Skabies

Penularan penyakit skabies dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung, adapun cara penularannya adalah:

1. Kontak langsung (kulit dengan kulit)

Penularan skabies terutama melalui kontak langsung seperti berjabat tangan, tidur bersama dan hubungan seksual. Pada orang dewasa hubungan seksual merupakan hal tersering, sedangkan pada anak-anak penularan didapat dari orang tua atau temannya.


(33)

2. Kontak tidak langsung (melalui benda)

Penularan melalui kontak tidak langsung, misalnya melalui perlengkapan tidur, pakaian atau handuk dahulu dikatakan mempunyai peran kecil pada penularan. Namun demikian, penelitian terakhir menunjukkan bahwa hal tersebut memegang peranan penting dalam penularan skabies dan dinyatakan bahwa sumber penularan utama adalah selimut. Skabies norwegia, merupakan sumber utama terjadinya wabah skabies pada rumah sakit, panti jompo, pemondokkan/asrama dan rumah sakit jiwa, karena banyak mengandung tungau (Djuanda, 2006)

2.1.6 Bentuk-bentuk Skabies

Skabies adalah penyakit kulit yang sering menyerupai penyakit kulit lainnya sehingga disebut sebagai The great imitator. Terdapat beberapa bentuk-bentuk skabies yang mana bentuk-bentuk tersebut mempunyai ciri-ciri yang berbeda antara lain : (Sungkar, 2000)

1. Skabies pada orang bersih (scabies of cultivated)

Bentuk ini ditandai dengan lesi berupa papul dan terowongan yang sedikit jumlahnya sehingga sangat sukar ditemukan. Dalam penelitian dari 1000 orang penderita skabies menemukan hanya 7 % terowongan.

2. Skabies in cognito

Bentuk ini timbul pada skabies yang diobati dengan kortikosteroid sehingga gejala dan tanda klinis membaik, tetapi tungau tetap ada dan penularan masih bisa terjadi. Skabies incognito sering juga menunjukkan gejala klinis yang tidak biasa, distribusi atipik, lesi luas dan mirip penyakit gatal lain.


(34)

3. Skabies nodular

Pada bentuk ini lesi berupa nodus coklat kemerahan yang gatal. Pada nodus

biasanya terdapat di daerah tertutup, terutama pada genitalia laki-laki, inguinal

dan aksila. Nodusini timbul sebagai reaksi hipersensitivitas terhadap tungau skabies. Pada nodus yang berumur lebih dari satu bulan tungau jarang ditemukan.

Nodus mungkin dapat menetap selama beberapa bulan sampai satu tahun meskipun telah diberi pengobatan anti skabies dan kortikosteroid.

4. Skabies yang ditularkan melalui hewan

Di Amerika, sumber utama skabies adalah anjing. Kelainan ini berbeda dengan scabies manusia yaitu tidak dapat terowongan, tidak menyerang sela jari dan genitalia eksterna.Lesi biasanya terdapat pada daerah dimana orang sering kontak/memeluk binatang kesayangan yaitu paha, perut, dada, dan lengan. Masa inkubasi lebih pendek dan transmisi lebih mudah. Kelainan ini bersifat sementara (4-8 minggu) dan dapat sembuh sendiri karena S. scabiei var. Binatang tidak dapat melanjutkan siklus hidupnya pada manusia.

5. Skabies norwegia

Skabies norwegia atau scabies krustosa ditandai oleh lesi yang luas dengan krusta, skuama generalisata dan hyperkeratosis yang tebal. Tempat predileksi biasanya kulit kepala yang berambut, telinga bokong, siku, lutut, telapak tangan dan kaki yang dapat disertai distrofi kuku. Berbeda dengan scabies biasa, rasa gatal pada penderita skabies Norwegia tidak menonjol tetapi bentuk ini sangat menular Karena jumlah tungau yang menginfestasi sangat banyak (ribuan).


(35)

Skabies Norwegia terjadi akibat defisiensi imunologik sehingga system imun tubuh gagal membatasi proliferasi tungau dapat berkembang biak dengan mudah.

Pada penderita kusta, skabies Norwegia mungkin terjadi akibat defisiensi imunologi, terutama pada tipe kusta lepromatosa. Selain itu terjadi gangguan neurologik yang menyebabkan gangguan persepsi gatal dan anestasi terutama pada jari tangan dan kaki. Pada penderita kusta juga terjadi kontraktur pada jari-jari tangan sehingga penderita tidak dapat membersihkan dirinya dengan baik. 6. Skabies pada bayi dan anak

Lesi skabies pada anak dapat mengenai seluruh tubuh, termasuk seluruh kepala, leher, telapak tangan, telapak kaki, dan sering terjadi infeksi sekunder berupa

impetigo, ektima sehingga terowongan jarang ditemukan, sedangkan pada bayi lesi di muka sering terjadi.

7. Skabies terbaring di tempat tidur (bed ridden)

Penderita penyakit kronis dan orang tua yang terpaksa harus tinggal di tempat tidur dapat menderita skabies yang lesinya terbatas.

2.1.7 Pengobatan Penyakit Skabies

Semua keluarga yang berkontak dengan penderita harus diobati termasuk pasangan hidupnya. Beberapa obat yang dapat dapat dipakai pada pengobatan skabies yaitu (Harahap, 2000).

1. Permetrin

Merupakan obat pilihan dalam bentuk salep untuk saat ini, tingkat keamanannya cukup tinggi, mudah pemakaiannya dan tidak megiritasi kulit. Dapat digunakan di 13


(36)

kepala dan di leher anak usia kurang dari 2 tahun. Penggunaannya dengan cara dioleskan ditempat lesi kurang 8 jam kemudian dicuci bersih (Harahap, 2000). 2. Malation

Malation 0,5% dengan dasar air dalam bentuk salep digunakan selama 24 jam. Pemberian berikutnya diberikan beberapa hari kemudian.

3. Emulsi Benzil-benzoas (20-25 %)

Efektif terhadap semua stadium, diberikan setiap malam selama tiga hari. Sering terjadi iritasi dan kadang-kadang makin gatal setelah dipakai.

4. Sulfur

Dalam bentuk parafin lunak, sulfur 10% secara umum aman dan efektif digunakan. Dalam konsentrasi 2,5 % dapat digunakan pada bayi. Obat ini digunakan pada malam hari selama 3 hari.

5. Monosulfiran

Tersedia dalam bentuk lotion 25 %, yang sebelum digunakan harus ditambah 2-3 hari.

6. Gama Benzena Heksa Klorida (gameksan)

Kadarnya 1% dari krim atau lotion, termasuk obat pilihan karena efektif terhadap semua stadium, mudah digunakan dan terjadi iritasi. Tidak dianjurkan pada anak dibawah 6 tahun dan wanita hamil karena toksik terhadap susunan saraf pusat. Pemberian cukup sekali, kecuali jika masih ada gejala ulangi seminggu kemudian (Handoko, 2001). Krotamiton 10 % dalam krim atau lotion, merupakan obat pilihan. Mempunyai 2 efek sebagai antiskabies dan antigatal


(37)

2.1.8 Pencegahan Penyakit Skabies

Menurut Agoes (2009) mengatakan bahwa penyakit skabies sangat erat kaitannya dengan kebersihan dan lingkungan yang kurang baik, oleh sebab itu untuk mencegah penyebaran penyakit skabies dapat dilakukan dengan cara:

a. Mandi secara teratur dengan menggunakan sabun

b. Mencuci pakaian, sprai, sarung bantal, selimut dan lainnnya secara teratur minimal 2 kali dalam seminggu

c. Menjemur kasur dan bantal minimal 2 minggu sekali

d. Tidak saling bertukar pakaian dan handuk dengan orang lain

e. Hindari kontak dengan orang-orang atau kain serta pakaian yang dicurigai terinfeksi skabies

f. Menjaga kebersihan rumah dan berventilasi cukup

Menjaga kebersihan tubuh sangat penting untuk menjaga infestasi parasit. Sebaiknya mandi dua kali sehari, serta menghindari kontak langsung dengan penderita, mengingat parasit mudah menular pada kulit. Walaupun penyakit ini hanya merupakan penyakit kulit biasa, dan tidak membahayakan jiwa, namun penyakit ini sangat mengganggu kehidupan sehari-hari.

Bila pengobatan sudah dilakukan secara tuntas, tidak menjamin terbebas dari infeksi ulang. Dariansyah, 2006 yang mengutip pendapat Azwar mengatakan langkah-langkah yang dapat diambil dalam pencegahan penyakit skabies adalah sebagai berikut :


(38)

a. Suci hamakan sisir, sikat rambut dan perhiasan rambut dengan cara merendam di cairan antiseptik

b. Cuci semua handuk, pakaian, sprai dalam air sabun hangat dan gunakan setrika panas untuk membunuh semua telurnya, atau dicuci kering (dry-cleaned)

c. Keringkan topi dan jaket

d. Hindari pemakaian bersama sisir atau alat cukur dan lainnya

Departemen Kesehatan RI 2002, memberikan beberapa cara pencegahan dengan melakukan penyuluhan kepada masyarakat dan komunitas kesehatan tentang cara penularan penyakit skabies. Diagnosis dini dan cara pengobatan penderita skabies dan orang-orang yang kontak meliputi:

a. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya

b. Laporkan kepada Dinas Kesehatan setempat namun laporan resmi jarang dilakukan

c. Isolasi penderita yang terinfeksi penyakit skabies. Yang terinfeksi penyakit skabies sampai dilakukan pengobatan. Penderita yang dirawat di Rumah Sakit di isolasi sampai dengan 24 jam setelah dilakukan pengobatan yang efektif

Disinfeksi serentak yaitu pakaian dan sprai yang digunakan oleh penderita dalam 48 jam pertama sebelum pengobatan dicuci dengan menggunakan sistem pemanasan pada proses pencucian dan pengeringan, hal ini membunuh kutu dan telur. Tindakan ini tidak dibutuhkan pada infestasi yang berat. Mencuci sprai, sarung bantal dan pakaian pada penderita (Ruteng, 2007).


(39)

Penanggulangan wabah yang terjadi dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya:

a. Berikan pengobatan dan penyuluhan kepada penderita dan orang yang berisiko b. Pengobatan dilakukan secara massal

c. Penemuan kasus dilakukan secara serentak baik di dalam keluarga, di dalam unit atau institusi militer, jika memungkinkan penderita dipindahkan

d. Sediakan sabun, sarana pemandian, dan pencuci umum, jika ada sangat membantu dalam pencegahan infeksi.

2.2 Sanitasi Lingkungan

Sanitasi atau Kesehatan Lingkungan pada hakeketnya adalah suatu kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan yang optimum pula. Adapun yang dimaksud dengan usaha kesehatan lingkungan adalah suatu usaha untuk memeperbaiki atau menoptimumkan lingkungan hidup manusia agar merupakan media yang baik untuk terwujudnya kesehatan yang optimum bagi manusia yang hidup didalamnya.

Menurut Riyadi (1984) sanitasi lingkungan adalah prinsip-prinsip untuk meniadakan atau setidak-tidaknya mengurangi faktor-faktor pada lingkungan yang dapat menimbulkan penyakit, melalui kegiatan-kegiatan yang ditunjukkan untuk mengendalikan: sanitasi air, pembuangan kotoran, air buangan dan sampah, sanitasi udara, vektor dan binatang pengerat, tetapi dalam hal ini yang menjadi prioritas adalah penyediaan air bersih (sanitasi air)


(40)

2.2.1 Penyediaan Air Bersih

Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan manusia, karena tanpa air manusia tidak dapat hidup. Namun demikian air dapat menjadi malapetaka, bilamana tidak tersedia dalam kondisi yang benar baik kuantitas maupun kualitasnya. Pertumbuhan penduduk dan kegiatan manusia menyebabkan pencemaran sehingga kualitas air yang baik dan memenuhi persyaratan tertentu sulit diperoleh (Raini, 2004).

Selain sebagai komonen lingkungan, air juga merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Sekitar tiga per empat bagian dari tubuh kita terdiri dari air dan tidak seorangpun dapat bertahan hidup lebih dari 4-5 hari tanpa minum air. Selain itu, air juga dipergunakan untuk memasak, mencuci, mandi, dan membersihkan kotoran yang ada di sekitar rumah. Air juga digunakan untuk keperluan industri, pertanian, pemadam kebakaran, tempat rekreasi, transportasi, dan lain-lain.

Volume air dalam tubuh manusia rata-rata 65% dari total berat badannya, dan volume tersebut sangat bervariasi pada masing-masing orang, bahkan juga bervariasi antara bagian-bagian tubuh seseorang. Volume rata-rata kebutuhan air setiap individu per hari berkisar antara 100-200 liter atau 35-40 galon (Chandra, 2007).

Air yang diperuntukkan bagi konsumsi manusia harus berasal dari sumber yang bersih dan aman, yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan. Dimana kualitas air adalah kondisi kualitatif air yang diukur dan atau diuji berdasarkan syarat-syarat tertentu dan metode tertentu berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 416/Menkes/Per/IX/1990. Syarat-syarat kualitas air bersih meliputi:


(41)

1. Syarat fisik

a. Tidak berwarna

Air untuk rumah tangga harus jernih, air yang berwarna berarti mengandung bahan-bahan lain yang berbahaya bagi kesehatan (Slamet, 2007).

b. Tidak berbau

Bau air tergantung dari sumber airnya. Bau air dapat disebabkan oleh bahan-bahan kimia, ganggang, plankton atau tumbuhan dan hewan air baik yang hidup maupun yang sudah mati (Slamet, 2007).

c. Tidak berasa

Secara fisik air bisa dirasakan oleh lidah, air yang terasa asam, manis, pahit atau asin menunjukkan bahwa kualitas air tersebut tidak baik. Rasa asin disebabkan oleh garam-garam tertentu yang larut dalam air, sedangkan rasa asam diakibatkan adanya asam organik maupun asam anorganik (Slamet, 2007).

d. Kekeruhan

Air dikatakan keruh apabila air tersebut mengandung begitu banyak partikel bahan padatan sehingga memberikan warna yang berlumpur dan kotor. Bahan-bahan yang menyebabkan kekeruhan meliputi tanah liat, lumpur, dan bahan-bahan anorganik (Slmaet, 2007).

2. Syarat kimia

Air bersih yang memenuhi persyaratan kesehatan tidak tercemar secara berlebihan oleh zat-zat kimia maupun mineral karena selain menimbulkan gangguan kesehatan juga merusak instalasi penyediaan air bersih (Slamet, 2007).


(42)

3. Kesadahan

Kesadahan adalah merupakan sifat air yang disebabkan oleh adanya ion-ion (kation) logam valensi dua. Ion-ion semacam itu mampu bereaksi dengan sabun membentuk kerak air. Kesadahan dalam air sebagian besar adalah berasal dari kontaknya dengan tanah dan permukaan batuan. Pada umumnya air sadah berasal dari daerah dimana lapis tanah atas (topsil) tebal, dan ada pembentukan batu kapur (Sutrisno, 2006).

4. Syarat mikrobiologi

Air sebaiknya tidak mengandung bakteri pathogen dan tidak boleh mengandung bakteri golongan coli yang mengganggu kesehatan. Standar yang dipakai adalah total bakteri Coliform dengan batas tidak boleh lebih dari 1 coli/100 ml air (Sutrisno, 2006).

5. Syarat radioaktif

Yaitu adanya batas tertinggi yang diperkenankan adanya aktivitas Alpha (Gross Alpha Activity) tidak boleh lebih dari 0,1 Bq/L dan aktivitas Beta (Gross Beta Activity) tidak boleh lebih dari 0,1 Bq/L (Slamet, 2007).

Air dinyatakan tercemar bila mengandung bibit penyakit, parasit, bahan-bahan kimia yang berbahaya dan sampah atau limbah industri. Penyakit yang menyerang manusia dapat ditularkan dan menyebar secara langsung maupun tidak langsung melalui air. Penyakit yang ditularkan melalui air disebut sebagai waterbone disease atau water-related disease. Sementara itu, penyakit-penyakit yang berhubungan dengan air dapat dibagi dalam kelompok-kelompok berdasarkan cara penularannya. Mekanisme penularan penyakit sendiri terbagi menjadi empat, yaitu (Chandra, 2007):


(43)

1. Water borne disease, yaitu jika kuman pathogen yang terdapat dalam diminum oleh manusia sehinggga terjadi penjangkitan penyakit pada orang yang meminum air dimaksud, misalnya penyakit cholera, thypus, abdominalis, hepatitis, dan disentri baselir. Pengawasan terhadap penularan penyakit ini sangat diperlukan terutama pengawasan terhadap penggunaan air bersih

2. Water based disease, yaitu penularan penyakit yang berkaitan erat dengan penggunaan untuk membersihkan alat-alat misalnya alat dapur, alat makan dan pembersihan alat lain. Penularan penyakit dengan cara water based ini antara kain infeksi saluran pencernaan, infeksi kulit seperti skabies dan selaput lendir.

3. Water washed disease, yaitu penyakit yang ditularkan air pada orang lain melalui persediaan air sebagai pejamu (host) perantara, misalnya schistosomiasis

4. Vektor-vektor insektisida yang berhubungan dengan air yaitu penyakit yang berkembang biak dalam air, misalnya malaria, demam berdarah, yellow fever dan

trypanosomiasis.

Penyakit yang disebabkan oleh air hanya dapat menular apabila mikroorganisme penyebabnya dapat masuk ke dalam sumber air yang dipakai masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sedangkan jenis mikroba yang dapat menyebar lewat air sangat banyak macamnya, antara lain virus, bakteri, protozoa, dan metozoa.

Perlindungan sumber air merupakan cara paling baik untuk mengamankan air minum dan akan terjadi relatif lebih mudah daripada melakukan pengolahan terhadap air yang telah terkontaminasi, guna menjamin kulitasnya agar sesuai untuk dikonsumsi (Depkes RI, 1996). Oleh karena itu masyarakat perkotaan membutuhkan


(44)

keberadaan PDAM untuk mencukupi kebutuhan air bersih yang layak untuk dikonsumsi (Raini, 2004). Air PDAM adalah air yang diambil dari mata air atau sumber air dan dikelola oleh suatu Perusahaan Daerah Air Minum yang mana air tersebut telah disterilkan dengan bahan kimia yang disebut khlor dan didistribusikan kepada masyarakat dan digunakan untuk berbagai kehidupan sehari-hari termasuk sebagai sumber bahan baku air minum. Akan tetapi dalam kenyataannya pemakaian air PDAM tersebut tidak diiringi dengan usaha-usaha untuk menjaga kebersihan lingkungan sehinggan mengakibatkan terjadinya penurunan terhadap kualitas air sesuai dengan syarat kulitas air yang telah ditetapkan oleh Departemen Kesehatan (Raini, 2004).

2.2.2 Kondisi Fisik Rumah 1. Ventilasi

Udara segar diperlukan dalam rumah untuk mengganti udara ruangan yang sudah terpakai. Udara segar diperlukan untuk menjaga temperatur dan kelembaban udara dalam ruangan.

Menurut Sarudji (2010), rumah harus memiliki sistem pertukaran udara yang baik, karena penghuni memerlukan udara yang segar. Setiap ruang/kamar memerlukan ventilasi yang cukup untuk menjamin kesegaran penghuninya. Ventilasi adalah usaha untuk memenuhi kondisi atmosfer yang menyenangkan dan menyehatkan manusia.

Ventilasi bermanfaat bagi sirkulasi pergantian udara dalam rumah serta mengurangi kelembaban. Keringat manusia juga dikenal mempengaruhi kelembaban. Semakin banyak manusia dalam satu ruangan, kelembaban semakin


(45)

tinggi khususnya karena uap air baik dari pernafasan maupun keringat. Kelembaban dalam ruangan tertutup dimana banyak terdapat manusia di dalamnya lebih tinggi dibanding di luar ruangan (Sarudji, 2010).

Ventilasi mempengaruhi proses dilusi udara, juga dengan kata lain mengencerkan konsentrasi debu ataupun kotoran terbawa keluar dan mati terkena sinar ultraviolet. Ventilasi juga merupakan tempat untuk memasukkan cahaya ultraviolet ke dalam rumah, hal ini akan semakin baik apabila konstruksi rumah menggunakan genteng kaca, maka hal ini merupakan kombinasi yang baik (Achmadi, 2008). Menurut persyaratan ventilasi yang baik adalah ≥10% dari luas lantai rumah (Kepmenkes, 1999).

Secara umum, penilaian ventilasi rumah dengan cara membandingkan antara luas ventilasi dan luas lantai rumah, dengan menggunakan role meter. Menurut indikator penghawaan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah ≥10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah <10% luas lantai rumah (Kepmenkes, 1999).

Menurut Sarudji (2010), ventilasi yang baik dalam suatu ruangan memerlukan persyaratan tertentu, diantaranya yang penting adalah luas lubang ventilasi tetap, minimum 5% dari luas lantai ruangan, sedangkan luas ventilasi insidental (yang dapat dibuka dan ditutup) minimum 5% dari luas lantai.

Menurut Notoatmodjo (2003), rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Salah satu fungsi ventilasi adalah menjaga aliran udara dalam rumah tersebut tetap 23


(46)

segar. Luas ventilasi rumah yang ≤10% dari luas lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksigen dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya. Disamping itu, tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan meningkatnya kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit. Fungsi kedua ventilasi adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena disitu selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir.

Menurut Notoatmodjo (2007), fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan selalu tetap di dalam kelembaban (humidity) yang optimum. Selain itu luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan terhalangnya proses pertukaran aliran udara dan sinar matahari yang masuk ke dalam rumah.

Kualitas udara di dalam rumah berkaitan dengan masalah ventilasi dan kegiatan penghuni di dalamnya. Bertambahnya jumlah penduduk dalam pemukiman di perkotaan maupun di pedesaan, menyebabkan kepadatan bangunan dan sulit membuat ventilasi dan bahkan ada rumah yang tidak mempunyai jendela, tidak ada lubang angin dan tidak pernah ada sinar matahari masuk, menyebabkan keadaan udara dalam rumah terasa pengap (Depkes, 2002).

Pengaruh buruk berkurangnya ventilasi adalah berkurangnya kadar oksigen, bertambahnya gas CO2, adanya bagu pengap, suhu udara ruangan naik, dan kelembaban udara bertambah. Kecepatan aliran udara adalah penting untuk


(47)

mempercepat pembersih udara ruangan. Kecepatan udara dikatakan sedang jika gerak udara 5-20 cm per detik atau pertukaran udara bersih antara 25-30 cfm (cubic feet per minute) untuk setiap yang berada di dalam ruangan (Depkes, 2002).

2. Kelembaban

Kelembaban udara adalah persentase jumlah kandungan air dalam udara. Kelembaban terdiri dari dua jenis yaitu kelembaban absolut dan kelembaban nisbi. Kelembaban absolut berat uap air per unit volume udara. Sedangkan kelembaban nisbi adalah banyaknya uap air dalam udara pada suatu temperatur terhadap banyaknya uap air pada saat udara jenuh pada uap air pada temperatur tersebut (Suryanto, 2003).

Kelembaban udara berpengaruh terhadap konsentrasi pencemar di udara. Kelembaban berhubungan negatif (terbalik) dengan suhu udara. Semakin tinggi suhu udara, maka kelembaban udaranya akan semakin rendah. Kelembaban yang standar apabila kelembaban udaranya akan semakin rendah. Kelembaban merupakan sarana baik untuk pertumbuhan mikroorganisme. Kelembaban rumah yang tinggi dapat mempengaruhi penurunan daya tahan tubuh seseorang dan meningkatkan kerentanan tubuh terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Kelembaban juga dapat meningkatkan daya tahan hidup bakteri. Kelembaban dianggap baik jika memenuhi 40-70% dan buruk jika kurang dari 40% atau lebih dari 70% (Suryanto, 2003).


(48)

Kelembaban berkaitan erat dengan ventilasi karena sirkulasi udara yang tidak lancar akan mempengaruhi suhu udara dalam rumah menjadi rendah sehingga kelembaban udaranya tinggi. Sebuah rumah yang memiliki kelembaban udara tinggi memungkinkan adanya tikus, kecoa dan jamur yang semuanya memiliki peran besar dalam patogenesis penyakit pernafasan (Krieger dan Higgins, 2002).

Rumah yang tidak memiliki kelembaban yang memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Rumah merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme, antara lain bakteri, spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara. Selain itu kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering sehingga kurang efektif dalam menghadang mikroroganisme. 3. Pencahayaan

Salah satu syarat rumah sehat adalah tersedianya cahaya yang cukup, karena suatu rumah yang tidak mempunyai cahaya selain dapat menimbulkan perasaan kurang nyaman, juga dapat menimbulkan penyakit (Prabu, 2009).

Menurut Sukini (1989), sinar matahari berperan secara langsung dalam mematikan bakteri dan mikroorganisme lain yang terdapat di lingkungan rumah, khususnya sinar matahari pagi yang dapat menghambat perkembangbiakan bakteri pathogen. Dengan demikian sinar matahari sangat diperlukan didalam ruangan rumah terutama ruangan tidur.


(49)

Pencahayaan alami dan/atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan minimal intensitasnya 60 lux dan tidak menyilaukan (Kepmenkes, 1999).

Menurut Sarudji (2010), cahaya dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu : a. Cahaya alamiah, yakni matahari. Cahaya matahari ini sangat penting, karena

dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah. Oleh karena itu, rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup. Seyogyanya jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-kurangnya 15% sampai 20% dari luas lantai yang terdapat di dalam ruangan rumah. Perlu diperhatikan di dalam membuat jendela diusahakan agar sinar matahari dapat langsung masuk ke dalam ruangan, tidak terhalang oleh bangunan lain. Fungsi jendela disini, disamping sebagai ventilasi, juga sebagai jalan masuk cahaya.

Lokasi penempatan jendela pun harus diperhatikan dan diusahakan agar sinar matahari lama menyinari lantai (bukan menyinari dinding). Maka sebaiknya jendela itu harus ditengah-tengah tinggi dinding (tembok). Jalan masuknya cahaya ilmiah juga diusahakan dengan genteng kaca. Genteng kaca dapat dibuat secara sederhana, yakni dengan melubangi genteng biasa pada waktu pembuatannya kemudian menutupnya dengan pecahan kaca.

b. Cahaya buatan, yaitu menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah, seperti lampu minyak tanah, listrik, api dan sebagainya. Kualitas dari cahaya buatan tergantung dari terangnya sumber cahaya (brighness of the source). Pencahayaan buatan bisa terjadi dengan tiga cara yaitu direct, indirect dan

semi direct atau general diffusing.


(50)

4. Kepadatan penghuni

Kepadatan hunian sangat berpengaruh terhadap jumlah bakteri penyebab penyakit menular. Selain itu kepadatan hunian dapat mempengaruhi kualitas udara didalam rumah. Dimana semakin banyak jumlah penghuni maka akan semakin cepat udara dalam rumah mengalami pencemaran oleh karena CO2 dalam rumah akan cepat meningkatkan dan akan menurunkan kadar O2 yang diudara (Sukini, 1989). Manusia dalam kehidupan sehari-hari akan membutuhkan udara 33 m2 per jam atau 40 liter/menit. Dari 40 liter itu jumlah oksigen yang diambil adalah sebanyak 2 liter dan menghasilkan 1,7 liter gas asam arang. Dengan demikian akan meningkatkan kadar CO2 yang telah ada didalam rumah dan akan menurunkan kadar oksigen di dalam udara. Konsep Departemen Kesehatan RI yang menggunakan luas lantai kamar minimal sebesar 4,5 m2 dan anak-anak usia 1-10 tahun memerlukan 1,5 m2

5. Lantai rumah

, sedangkan ketentuan luas ruangan untuk setiap orang di lembaga pemasyarakatan menurut Surat Edaran Dirjen Pemasyarakatan tahun 2005 adalah 1,80 x 3,00 m/orang.

Lantai rumah jenis tanah memiliki peran terhadap proses kejadian penyakit, melalui kelembaban dalam ruangan. Lantai merupakan dinding penutup ruangan bagian bawah, konstruksi lantai rumah harus rapat air dan selalu kering agar mudah dibersihkan dari kotoran dan debu. Selain itu dapat menghindari naiknya tanah yang dapat menyebabkan meningkatnya kelembaban dalam ruangan. untuk mencegah masuknya air ke dalam rumah, maka lantai rumah sebaiknya dinaikkan


(51)

20 cm dari permukaan tanah. Keadaan lantai rumah perlu dibuat dari bahan yang kedap terhadap air sehingga lantai tidak menjadi lembab dan selalu basah seperti tegel, semen dan keramik (Suyono, 2005).

Lantai yang tidak memenuhi syarat dapat dijadikan tempat hidup dan perkembang-biakan bakteri terutama vektor penyakit lainnya. Menjadikan udara dalam ruangan lembab, pada musim panas lantai menjadi kering sehingga dapat menimbulkan debu yang berbahaya bagi penghuninya (Suyono, 2005).

2.3 Personal Hygiene (Kebersihan Perorangan)

Personal hygiene berasal dari bahasa Yunani, berasal dari kata Personal

artinya perorangan dan hygiene berarti sehat. Dari pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa kebersihan perorangan atau personal hygiene adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan, baik fisik maupun psikisnya (Laily, 2012).

Personal hygiene menjadi penting karena personal hygiene yang baik akan meminimalkan pintu masuk (port de entry) mikroorganisme yang ada dimana-mana dan pada akhirnya mencegah seseorang terkena penyakit. Personal hygiene

merupakan perawatan diri, dimana seseorang merawat fungsi-fungsi tertentu seperti mandi, toileting, kebersihan tubuh secara umum dan berhias. Personal hygiene atau kebersihan diri ini diperlukan untuk kenyamanan, keamanan dan kesehatan seseorang. Kebersihan diri merupakan langkah awal mewujudkan kesehatan diri. Dengan tubuh yang bersih meminimalkan resiko seseorang terhadap kemungkinan 29


(52)

terjangkitnya suatu penyakit, terutama penyakit yang berhubungan dengan kebersihan diri yang buruk. Personal hygiene yang tidak baik akan mempermudah tubuh terserang berbagai penyakit, seperti penyakit kulit, penyakit infeksi, penyakit mulut, dan penyakit saluran cerna atau bahkan dapat menghilangkan fungsi bagian tubuh tertentu sepertinya halnya kulit (Soedarto dalam Saryono, 2011).

Personal hygiene (kebersihan perorangan) meliputi : (Laily, 2012) 1. Kebersihan Kulit

Kulit merupakan salah satu aspek vital yang perlu diperhatikan dalam higiene perorangan. Kulit merupakan pembungkus yang elastik, yang melindungi tubuh dari pengaruh lingkungan, dan bersambungan dengan selaput lendir yang melapisi rongga-rongga dan lubang-lubang masuk kulit. Begitu vitalnya kulit, maka setiap ada gangguan dalam kulit, dapat menimbulkan berbagai masalah yang serius dalam kesehatan. Sebagai organ yang berfungsi sebagai proteksi, kulit memegang peranan penting dalam meminimalkan setiap gangguan dan ancaman yang akan masuk melewati kulit.

Kulit sebagai organ terberat dalam tubuh memiliki peranan yang sangat sentral dalam menjaga keutuhan badan. Kulit memiliki fungsi yang beragam yang membantu dan menjalankan sistem kerja tubuh.

Kulit merupakan lapisan terluar dari tubuh dan bertugas melindungi jaringan tubuh di bawahnya dan organ-organ yang lainnya terhadap luka, dan masuknya berbagai macam mikroorganisme ke dalam tubuh. Untuk itu diperlukan perawatan terhadap kesehatan dan kebersihan kulit. Menjaga kebersihan kulit dan


(53)

perawatan kulit ini bertujuan untuk menjaga kulit tetap terawat dan terjaga sehingga bisa meminimalkan setiap ancaman dan gangguan yang akan masuk melewati kulit. Perawat sebagai tenaga kesehatan penting untuk menginformasikan kepada klien di pelayanan kesehatan untuk pentingnya menjaga kebersihan dan perawatan kulit. Setiap kondisi yang mengenai pada kulit (misalnya : kelembaban, kerusakan lapisan epidermis, penekanan yang terlalu lama pada kulit, dan sebagainya) sudah cukup untuk mengganggu fungsional kulit sebagai organ proteksi.

Peranan kulit dalam menjaga keutuhan tubuh tidak selamanya mudah. Sebagai organ proteksi peranan kulit tidak luput dari berbagai masalah-masalah yang bisa membahayakan kulit itu sendiri.

Untuk selalu memelihara kebersihan kulit kebiasaan-kebiasaan yang sehat harus selalu memperhatikan seperti:

a. Menggunakan barang-barang keperluan sehari-hari milik sendiri b. Mandi minimal 2x sehari

c. Mandi memakai sabun d. Menjaga kebersihan pakaian

e. Makan yang bergizi terutama banyak sayur dan buah f. Menjaga kebersihan lingkungan

2. Kebersihan Rambut

Penampilan dan kesejahteraan seseorang seringkali tergantung dari cara penampilan dan perasaan mengenai rambutnya. Kurangnya perawatan rambut 31


(54)

pada manusia akan membuat penampilan rambut menjadi kusut, kusam, tidak rapi dan tampak acak-acakan.

Rambut terdiri dari bagian yang terbenam dalam kulit (akar rambut) dan bagian yang berada diluar kulit (batang rambut). Ada dua macam tipe rambut, yaitu lanugo yang merupakan rambut halus, tidak mengandung pigmen dan terdapat pada bayi, dan rambut terminal yaitu rambut yang lebih kasar dengan banyak pigmen, mempunyai medulla dan terdapat pada orang dewasa.

Dengan selalu memelihara kebersihan rambut dan kulit kepala, maka perlu diperhatikan sebagai berikut:

a. Memperhatikan kebersihan rambut dengan mencuci rambut sekurang-kurangnya 2x seminggu

b. Mencuci rambut memakai shampoo/bahan pencuci rambut lainnya c. Sebaiknya menggunakan alat-alat pemeliharaan rambut sendiri

Kesehatan yang baik secara menyeluruh penting artinya bagi rambut yang menarik, dan seperti halnya kulit, kebersihan membantu kita memelihara badan supaya menarik. Penyakit berpengaruh buruk pada rambut, terutama jika terdapat kelainan endokrin, suhu badan yang naik, kurang makan, rasa cemas atau ketakutan.

Usaha-usaha yang bisa dilakukan untuk menjaga kesehatan rambut adalah : a. Menghindari sampo yang memiliki kandungan kimia yang tidak jelas b. Menghindari penggunaan air yang terlalu panas saat keramas


(55)

c. Berhenti atau setidaknya kurangi penggunaan pengering rambut. Usahakan agar selalu mengeringkan rambut secara alami dengan menggunakan handuk dan mengangin-anginkannya di udara terbuka. Saat mengeringkan, gosokkan handuk dengan lembut.

d. Menyisir rambut dengan lembut saat rambut masih dalam keadaan agak basah.

e. Mengurangi penggunaan gel rambut, krim, minyak rambut, pewarna rambut, dan spray rambut.

f. Melindungi kulit kepala dari sinar matahari langsung, misalnya dengan menggunakan topi atau scarf.

g. Menghindari ikatan yang kencang pada rambut. Hentikan kebiasaan menarik-narik rambut tanpa alasan yang jelas.

h. Saat memotong rambut ke salon atau tukang cukur, pastikan mereka menggunakan gunting yang tajam. Gunting yang kurang tajam hanya akan berefek negatif pada akar rambut dan merusak struktur rambut anda.

i. Mengonsumsi makanan bergizi, terutama yang mengandung protein dan zat besi. Bila sedang mengikuti program pengurangan berat badan, perhatikan kandungan nutrisi diet. Kurangi konsumsi kafein dan hentikan kebiasaan merokok. Keduanya memang terbukti tidak baik bagi kesehatan tubuh.

j. Menjauhi obat-obatan yang berpotensi mengganggu pertumbuhan rambut. Rajin berolahraga karena olahraga yang teratur akan memperlancar peredaran darah, termasuk peredaran darah ke kulit kepala yang dapat menutrisi akar 33


(56)

rambut dan memperlancar pertumbuhan rambut. Beristirahat dengan cukup sehingga pertumbuhan rambut lebih optimal.

k. Menghindari stres karena stres akan mengganggu metabolisme tubuh yang berpotensi mempengaruhi pertumbuhan rambut.

Sebagaimana struktur tubuh yang lainnya, maka rambut juga tidak akan lepas dari permasalahan/gangguan yang bisa ditimbulkan akibat dari kurangnya menjaga kebersihan dan perawatan rambut.

3. Kebersihan Tangan, Kaki, dan Kuku

Kaki, tangan dan kuku membutuhkan perhatian khusus dalam praktik higiene seseorang, karena semuanya rentan terhadap berabgai macam infeksi. Cidera di kulit (misalnya kaki) dapat menimbulkan sensasi nyeri serta sangat mengganggu kemampuan untuk bergerak, berjalan dan menyangga beban tubuh, sedangkan tangan lebih bersifat manipulatif daripada suportif. Ketangkasan tangan sangat banyak karena besarnya rentang gerak antara ibu jari dan jari yang lainnya, sehingga setiap kondisi yang mengenai tangan secara otomatis akan mengganggu kemampuan dalam hal perawatan diri klien.

Perawatan tangan, kaki dan kuku secara wajar penting artinya bagi manusia dalam usia berapapun dan kapanpun, akan tetapi dengan semakin bertambahnya usia dan terutama pada saat sakit, perawatan tangan, kaki dan kuku akan semakin penting.

Perawatan kaki, tangan yang baik dimulai dengan menjaga kebersihan termasuk didalamnya membasuh dengan air bersih, mencucinya dengan sabun


(57)

atau detergen, dan mengeringkannya dengan handuk. Hindari penggunaan sepatu yang sempit, karena merupakan sebab utama gangguan kaki dan bisa mengakibatkan katimumul (kulit ari menjadi mengeras, menebal, bengkak pada ibu jari kaki dan akhirnya melepuh). Hindari juga penggunaan kaos kaki yang sempit, sudah usang, dan kotor, karena bisa menimbulkan bau pada kaki, alergi dan infeksi pada kulit kaki. Sedangkan perawatan pada kuku dapat dilakukan dengan memotong kuku jari tangan dan kaki dengan rapi dengan terlebih dahulu merendamnya dalam sebaskom air hangat, hal ini sangat berguna untuk melunakkan kuku sehingga mudah dipotong. Kuku jari tangan dipotong sedemikian rupa mengikuti alur pada jari tangan sedangkan kuku jari kaki dipotong lurus. Kuku merupakan salah satu dermal appendages yang mengandung lapisan tanduk yang terdapat pada ujung-ujung jari tangan dan kaki.

Seperti halnya kulit, tangan kaki dan kuku harus dipelihara dan ini tidak terlepas dari kebersihan lingkungan sekitar dan kebiasaan hidup sehari-hari. Selain indah dipandang mata, tangan, kaki dan kuku yang bersih juga menghindarkan kita dari berbagai penyakit. Kuku dan tangan yang kotor dapat membahayakan kontaminasi dan menimbulkan penyakit-penyakit tertentu.

Untuk menghindari hal tersebut maka perlu diperhatikan sebagai berikut: a. Membersihkan tangan sebelum makan

b. Memotong kuku secara teratur c. Mencuci kaki sebelum tidur


(58)

2.4. Rumah Tahanan Negara

Struktur Organisasi Rumah Tahanan Negara (Rumah Tahanan) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.04.0PR.07.03 Tahun 1985 diklasifikasikan dalam 3 (tiga) klas, yaitu: (a) Rumah Tahan Negara Klas I, (b) Rumah Tahanan Negara Klas IIA dan (c) Rumah Tahanan Negara Klas IIB serta didukung oleh Cabang Rumah Tahanan, Klasifikasi tersebut didasarkan atas kapasitas dan lokasi.

Rumah Tahanan sebagai salah satu tempat yang sulit untuk menjalankan program pencegahan dan perawatan efektif bagi warga binaan. Namun sampai akhir tahun 2010, dari 207 Lapas dan 190 Rumah Tahanan di Indonesia dan tersebar di 33 provinsi belum semuanya memiliki fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai, namun sudah dapat melaksanakan pelayanan kesehatan kepada warga binaan.

2.5. Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP)

Menurut Undang-Undang No.12 tahun 1995 WBP adalah insan tahanan, narapidana dan anak didik pemasyarakatan sebagai anggota masyarakat yang mempunyai hak yang sama dengan anggota masyarakat lainnya untuk mendapatkan derajat kesehatan yang optimal. Salah satu aspek penting yang memerlukan perhatian yaitu keadaan kesehatan baik fisik, mental maupun sosial. Perlakuan dan pelayanan kesehatan pada tahanan, narapidana atau anak didik pemasyarakatan dapat dipakai sebagai salah satu tolak ukur keberhasilan pembangunan di bidang hukum baik secara nasional maupun internasional.


(59)

2.6. Pemeriksaan Kesehatan Warga Binaan Pemasyarakatan

Hak untuk mendapatkan perawatan kesehatan merupakan standar internasional hak asasi manusia yang penting. Hak ini tidak hilang meskipun seseorang menjadi narapidana. Tanggung jawab untuk menjamin penghormatan atas hak ini pindah ke Rumah Tahanan atau Lapas karena narapidana tidak bisa melakukan semua ini secara mandiri (Nemberini, 2007).

Rumah Tahanan atau Lapas memiliki kewajiban untuk melayani narapidana. Ini adalah salah satu prinsip-prinsip kunci dalam Peraturan Minimum Standar Perlakuan terhadap narapidana. Hal ini berarti apabila narapidana tidak dapat mencari perawatan kesehatannya sendiri maka Lapas akan menyediakannya. Karena narapidana tidak bisa berkunjung ke dokter yang ada di luar Rumah Tahanan atau Lapas, maka dokter tersebut yang akan mengunjungi narapidana. Hal tersebut berlaku juga untuk dokter gigi, dan untuk ahli kesehatan jiwa (Nemberini, 2007).

Standar perawatan kesehatan di Rumah Tahanan atau Lapas harus sekurangnya sama dengan standar kesehatan yang ada di masyarakat. Tak seorang pun harus menderita karena tidak adanya perawatan kesehatan hanya karena mereka di penjara. Selain itu, karena banyak orang miskin dan yang berpenyakit masuk penjara, otoritas lapas harus memperkirakan kebutuhan perawatan kesehatan yang lebih besar bagi narapidana yang ada di masyarakat pada umumnya (Nemberini, 2007).

Paramedis harus memberikan perawatan kesehatan di lapas. Dokter dan perawat yang berkualitas harus tersedia. Petugas lapas juga harus membantu 37


(60)

mengidentifikasikan narapidana yang mungkin sakit, dan memberikan pertolongan pertama kepada narapidana yang cedera. Petugas lapas tidak b oleh menghalangi warga binaan pemasyarakatan yang membutuhkan perawatan kesehatan, justru mereka harus membantu narapidana untuk menemui petugas medis. Ini juga berlaku untuk semua warga binaan pemasyarakatan baik itu sangat jahat sekalipun. Semua tergantung petugas medis untuk memutuskan apa yang perlu dilakukan terhadap warga binaan pemasyarakatan, dan bukan petugas Rumah Tahanan atau Lapas (Nemberini, 2007).

Semua narapidana harus menerima pemeriksaan medis ketika masuk ke lapas. Penyakit kronis dan menular adalah yang terutama penting. Obat-obatan harus tersedia bilamana diresepkan oleh dokter. Petugas lapas harus membantu agar semua ini dapat berjalan dengan lancar. Petugas lapas perlu memahami apa yang dimaksud dengan kontrol penyakit menular, dimana mereka harus dilatih dalam upaya pencegahan penyakit menular. Ini adalah cara yang efektif untuk melindungi petugas, rekan kerja mereka dan narapidana. Pencegahan ini diberlakukan agar semua cairan tubuh seperti air liur, air seni, darah dan tinja yang mungkin dapat ditularkan akan dapat dicegah. Mereka melakukan tindakan ini agar kekhawatiran khususnya akan terjangkit atau tidaknya petugas dan nadapidana di lapas. Perlakuan setiap orang seakan-akan mereka telah tertular, termasuk nadapidana dan petugas lainnya di lapas akan memperlakukan setiap cairan tubuh yang tertumpah seakan-akan itu menular, dan karenanya desinfeksi harus dilakukan secepatnya, menggunakan desinfektan yang telah disetujui dan efektif (Nemberini, 2007).


(61)

2.7 Kerangka Teori

Berdasarkan teori simpul, maka kerangka teori dalam penelitian ini dibuat sebagai berikut :

Simpul 1 Simpul 2 Simpul 3 Simpul 4

Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelitian

Simpul 1: Sumber penyakit adalah titik mengeluarkan agent penyakit. Agent

penyakit skabies dalam hal ini adalah tungau kecil yang dapat menimbulkan gangguan penyakit skabies melalui kontak secara langsung atau melalui media perantara (yang juga komponen lingkungan). Umumnya melalui sekret dan eskret

Sumber Penyakit (Tungau kecil yang mengandung

Sarcoptis scabei)

Komponen Lingkungan - Air

- Manusia melalui

kontak langsung dan tidak langsung - Rumah tahanan

Komunitas

Personal Hgyiene

- Kebersihan kulit - Kebersihan rambut - Kebersihan tangan,

kaki dan kuku  Karateristik

Individu

- Umur

- Pendidikan

- Lama dalam

tahanan

Penderita Skabies

Tidak menderita penyakit scabies

Variabel lain yang berpengaruh - Lingkungan strategis/politik - Iklim

- Topografi

- Suhu

- Dll


(62)

yang dihasilkan oleh tungau yang dapat menyebabkan bintik (papul, gelembung yang berisi air, vesikel dan kudis pada pergelangan tangan).

Simpul 2: Komponen lingkungan sebagai media transmisi penyakit adalah komponen lingkungan yang dapat memindahkan agent penyakit pada hakikatnya hanya ada 5 komponen lingkungan sebagai media transmisi penyakit yaitu udara, air, tanah, binatang/serangga, dan manusia. Dimana pada kejadian penyakit skabies dapat dilihat pada manusia yang terinfeksi skabies akan menularkan penyakit skabies pada orang lain, baik melalui kontak langsung dan kondisi rumah tahanan.

Simpul 3: Penduduk melakukan perilaku pemajanan adalah hubungan interaktif antara komponen lingkungan dengan penduduknya berikut perilakunya. Perilaku pemajanan adalah jumlah kontak antara manusia dengan komponen lingkungan yang mengandung potensi bahaya penyakit. Dalam hal ini penyakit skabies yaitu penderita skabies.

Simpul 4: Kondisi sakit atau sehat merupakan outcome hubungan interaktif antara penduduk dengan lingkungan yang memiliki potensi bahaya gangguan kesehatan atau kejadian penyakit.

Simpul 5: Variabel lain yang berpengaruh merupakan komponen suprasistem, berupa variabel iklim, topografi, temporal dan suprasistem lainnya yaitu keputusan politik berupa kebijakan mikro yang bisa mempengaruhi semua simpul

Landasan teori dalam penelitian mengacu pada konsep teori simpul bahwa terjadinya penyakit skabies pada warga binaan pemasyarakatan di Rumah Tahanan


(63)

Klas I Medan dipengaruhi oleh faktor karateristik dan higiene perorangan pada warga binaan pemasyarakatan serta sanitasi lingkungan

2.8 Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Sanitasi Lingkungan

a. Penyediaan Air Bersih b. Kondisi Fisik Rumah

Tahanan

- Ventilasi

- Kelembaban

- Pencahayaan

- Kepadatan Penghuni

- Lantai Rumah

Higiene Perorangan a. Kebersihan Rambut b. Kebershan Kulit

c. Kebersihan Tangan, Kaki dan Kuku

Karateristik Individu a. Umur

b. Pendidikan

c. Lama dalam Tahanan

Kejadian Penyakit Skabies

- Sakit

- Tidak Sakit


(64)

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian survey analitik dengan rancangan penelitian cross sectional yang mengkaji pengaruh variabel independen/faktor risiko (sanitasi lingkungan Rumah Tahanan Klas I Medan, Personal Hygiene) terhadap variabel dependen/efek (kejadian penyakit skabies) dengan melakukan pengukuran atau pengamatan pada saat bersamaan dan faktor risiko serta efek tersebut diukur menurut keadaan atau statusnya pada saat observasi (Sastroasmoro, 2010).

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Tahanan Negara Klas I Medan dengan alasan Rumah Tahanan Negara Klas I Medan tersebut menampung warga binaan kemasyarakatan yang diperkirakan sanitasi lingkungan rumah tahanan yang buruk dan personal hygiene yang kurang baik, sehingga dapat memungkinkan terjadinya penularan penyakit skabies.

3.2.2. Waktu Penelitian


(65)

3.3.Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah warga binaan pemasyarakatan yang ada pada Rumah Tahanan Negara Klas I Medan dimana pada rutan tersebut terdapat 9 blok (ruang tahanan). Data dari Rumah Tahanan Negara Klas I Medan bahwa terdapat 3050 orang warga binaan pemasyarakatan.

3.3.2 Sampel

Adapun besar sampel dalam penelitian ini menggunakan rumus yang dikutip dari Sudigdo Sastroasmoro (2010) :

n =(Zα 2

2 ) ( 2 o a a a o o P P Q P p Q P − +

n = 2

) 10 , 0 ( ) 075 , 0 . 925 , 0 842 , 0 175 , 0 . 825 , 0 96 . 1 ( + = 01 , 0 ) 263391343 , 0 . 842 , 0 379967103 , 0 . 96 . 1 ( + = 01 , 0 22177551 , 0 744735523 , 0 ( + = 01 , 0 966511033 , 0

= 96,65 ≠ 97


(66)

Dimana :

n = besar sampel

Po = Proporsi Kejadian Penyakit Skabies di Kota Medan = 0,825

Qo = 1 – P0 Pa-P

= 0,175 o

P

= Selisih proporsi yang dianggap bermakna, ditetapkan 10% = 0,10 a

Q

= Proporsi kejadian penyakit scabies yang diharapkan a = 1 – Pa

α = 0,05 atau interval kepercyaaan 95%, maka Z = 0,075

1

β = Kekuatan, dalam penelitian ini kekuatan 80%, maka Z – α/2 = 1,96

1

Berdasarkan peritungan di atas jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 97 orang yang akan diambil secara purposivesampling, dengan kriteria responden :

- β = 0,842

1. Semua warga binaan pemasyarakatan yang datang ke klinik Rumah Tahanan Negara Klas I Medan selama penelitian bulan Mei 2012.

2. Sudah menderita penyakit kulit gatal-gatal selama 2 minggu 3. Bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.

3.4 Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Data Primer

Pengumpulan data dapat diperoleh dari data Primer dan Sekunder. Data primer yang meliputi : variabel karakteristik individu (umur, pendidikan, status perkawinan dan lama menjadi tahanan) personal hygiene (perilaku/kebiasaan) yang


(1)

Logistic Regression

Case Processing Summary

97 100.0

0 .0

97 100.0

0 .0

97 100.0

Unweighted Casesa

Included in Anal ysis Mis sing Cases Total

Selected Cases

Unselected Cas es Total

N Percent

If weight is in effect, s ee class ification table for the total number of cases.

a.

De pe n de n t V a ria ble Enc odi ng

0 1 Or igina l Va lue

Sa k it

Tid ak Sak it

Int erna l Va lue

Block 0: Beginning Block

Classification Tablea,b

63 0 100.0

34 0 .0

64.9 Observed Sakit Tidak Sakit Kejadian Skabies Overall Percentage Step 0

Sakit Tidak Sakit

Kejadian Skabies Percentage Correct Predicted

Constant is included in the model. a.

The cut value is .500 b.

Va riables in the Equa tion

-.617 .213 8.400 1 .004 .540

Constant St ep 0


(2)

Va riables not in the Equa tion

11.920 1 .001

11.434 1 .001

4.750 1 .029

11.768 1 .001

7.590 1 .006

35.672 5 .000

Air Kepadatan Lantai Kulit KTKK Variables Overall Statistics St ep 0

Sc ore df Sig.

Block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

44.039 5 .000

44.039 5 .000

44.039 5 .000

Step Block Model Step 1

Chi-square df Sig.

Model Summar y

81 .627a .36 5 .50 2

Ste p 1

-2 Log likeliho od

Co x & Snel l R Squa re

Na gelkerke R Squa re

Es tima tion term inated a t iteration num be r 6 b ecau se pa ram eter estim ate s ch ang ed b y les s tha n .0 01. a.

Classification Tablea

55 8 87.3

12 22 64.7

79.4 Observed Sakit Tidak Sakit Kejadian Skabies Overall Percentage Step 1

Sakit Tidak Sakit

Kejadian Skabies Percentage Correct Predicted

The cut value is .500 a.


(3)

Variables in the Equation

-2.331 1.082 4.643 1 .031 .097 .012 .810

-1.896 .814 5.420 1 .020 .150 .030 .741

1.547 .740 4.372 1 .037 4.698 1.102 20.033

-2.271 .785 8.367 1 .004 .103 .022 .481

-2.608 .790 10.913 1 .001 .074 .016 .346

12.873 3.658 12.384 1 .000 389517.6 Air

Kepadatan Lantai Kulit KTKK Constant Step

1a

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper

95.0% C.I.for EXP(B)

Variable(s) entered on step 1: Air, Kepadatan, Lantai, Kulit, KTKK. a.


(4)

Lampiran 7

Gambar 1. Rutan Klas I Medan


(5)

Gambar 3. Kondisi Ketersediaan air


(6)

Gambar 5. Kondisi Ventilasi Ruangan / Blok


Dokumen yang terkait

Pengaruh Karakteristik Individu dan Mutu Pelayanan Klinik VCT terhadap Pemanfaatan Klinik VCT oleh Warga Binaan Pemasyarakatan Risiko HIV/AIDS di Rumah Tahanan Negara Klas I Medan

1 68 120

Pengaruh Higiene dan Sanitasi Lingkungan terhadap Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru pada Warga Binaan Pemasyarakatan di Blok D Rumah Tahanan Negara Klas I Medan

9 72 139

Pengaruh Sanitasi Lingkungan, Personal Hygiene Dan Karakteristik Anak Terhadap Infeksi Kecacingan Pada Murid Sekolah Dasar Di Kecamatan Blang Mangat Kota Lhokseumawe

6 48 123

PELAKSANAAN REMISI TERHADAP WARGA BINAAN RUMAH TAHANAN KLAS II B MAGETAN Pelaksanaan Remisi Terhadap Warga Binaan Di Rumah Tahanan Klas II B Magetan.

0 3 12

PELAKSANAAN REMISI TERHADAP WARGA BINAAN DI RUMAH UMAH TAHANAN KLAS II B MAGETAN Pelaksanaan Remisi Terhadap Warga Binaan Di Rumah Tahanan Klas II B Magetan.

0 3 19

PEMBINAAN MORAL DAN SPIRITUAL PADA WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN Pembinaan Moral Dan Spiritual Pada Warga Binaan Pemasyarakatan (Studi Kasus di Rumah Tahanan Negara kelas IIB Kabupaten Rembang).

0 3 13

GAMBARAN FUNGSI KELUARGA PADA WARGA BINAAN REMAJA DI RUMAH TAHANAN NEGARA KLAS I BANDUNG.

0 1 1

Upaya Pemenuhan Kebersihan Diri (Personal Hygiene) Warga Binaan Pemasyarakatan Dengan Gangguan Integumen di Rumah Tahanan Negara Klas I Kebon Waru Bandung Jawa Barat.

0 0 2

STRATEGI DAKWAH PROFESOR SALMADANIS BAGI WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN DI RUMAH TAHANAN NEGARA KLAS IIB PADANG

0 1 155

PROSES PEMBENTUKAN CITRA WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN OLEH HUMAS RUMAH TAHANAN NEGARA KLAS II B RANGKASBITUNG

0 0 10