BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DM - Hubungan Pola Makan dan Kepatuhan Minum Obat dengan Kejadian Hiperglikemik pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Rawat Jalan di RSU Herna dan RSU Pusat H. Adam Malik Medan Tahun 2013

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DM

  DM merupakan suatu sindrom dengan terganggunya metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh berkurangnya sekresi insulin atau penurunan sensitivitas jaringan terhadap insulin (Guyton, Arthur, 2007).

  DM merupakan penyakit sistemik, kronis, dan multifaktor yang dicirikan dengan hiperglikemia dan hiperlipedemia. Gejala yang timbul adalah akibat kurangnya sekresi insulin atau ada insulin yang tidak cakup tetapi tidak efektif.

  Pada tahun 1997, Expert Comittee on the Diagnosis and Classification of DM of the American DM Association menerbitkan klasifikasi baru DM : Tipe 1 adalah

  

insulin-dependent DM (IDDM) dan Tipe 2 non-insulin-dependent DM (NIDDN)

(Baradero, 2009).

  DM tpe 2 lebih sering dijumpai dari pada tipe 1, dan kira-kira ditemukan sebanyak 90 persen dari seluruh kasus DM. Pada kebanyakan DM terjadi diatas umur 30 tahun, seringkali diantara usia 50 dan 60 tahun, dan ini timbul secara berlahan- lahan. Oleh karena itu sindrom sering disebut sebagai DM onset-dewasa. Akan tetapi akhir-akhir ini dijumpai peningkatan kasus yang terjadi pada individu yang berusia lebih muda, sebagian berusia kurang dari 20 tahun dengan DM tipe 2. Tren tersebut berkaitan dengan peningkatan prevalensi obesitas, yaitu faktor risiko terpenting untuk DM tipe 2 pada anak-anak dan dewasa (Guyton, Arthur, 2007).

  8 Gejala DM adalah rasa haus yang berlebihan, sering kencing terutama malam hari, banyak makan serta berat badan yang turun dengan cepat. Disamping itu kadang-kadang ada keluhan lemah, kesemutan pada jari tangan dan kaki, cepat lapar, gatal-gatal, penglihatan jadi kabur, gairah seks menurun, luka sukar sembuh.

  Kadang-kadang ada pasien yang sama sekali tidak merasakan adanya keluhan, mereka mengetahui adanya DM hanya karena pada saat periksa kesehatan ditemukan kadar glukosa darahnya tinggi dan jika kadar glukosa darah yang tinggi dalam jangka panjang akan menimbulkan komplikasi. (Soegondo, dkk 2007).

2.1.2 Diagnosis DM

  Cara yang umum dipakai untuk mendiagnosa penyakit DM didasarkan pada tes kimiawi terhadap urin dan darah.

  a.

  Glukosa Urin Ada tes yang sederhana atau tes kuantitatif laboratorium yang lebih rumit, yang mungkin dapat digunakan untuk menentukan jumlah glukosa yang hilang dalam urin.

  Pada umumnya jumlah glukosa yang dikeluarkan dalam urin orang normal sukar dihitung, sedangkan ada kasus DM, glukosa yang dilepaskan jumlahnya dapat sedikit sampai banyak sekali, sesuai dengan berat penyakitnya dan asupan karbohidratnya b.

  Kadar Glukosa Darah Puasa dan Kadar Insulin.

  Kadar glukosa darah puasa sewaktu pagi hari normalnya adalah 80 sampai 90 mg/100 ml, dan nilai 110 mg/100 ml dipertimbangkan sebagai batas nilai kadar normal. Kadar glukosa darah puasa diatas nilai ini, seringkali menunjukkan adanya plasma dapat beberapa kali lipat lebih tinggi dari nilai normal dan biasanya meningkat lebih banyak bila pemberian sejumlah glukosa standar selama tes toleransi glukosa.

Gambar 2.1 Kurva Toleransi Glukosa pada Orang yang Normal dan Orang dengan DM (Guyton, Arthur, 2007) c.

  Tes Toleransi Glukosa

Gambar 2.1 yang disebut “kurva toleransi glukosa,” didapatkan bila orang normal yang puasa memakan 1 gram glukosa per kilogram berat badan, kadar

  glukosanya akan meningkat dari kadar kira-kira 90 mg/100 ml menjadi 120-140 mg/100 ml dan dalam waktu kira-kira dua jam kadar ini akan menurun lagi kenilai normalnya.

  Pada pasien DM konsentrasi glukosa darah puasa hampir selalu diatas 110 mg/100 ml dan sering diatas 140 mg/100 ml. Selain itu uji toleransi glukosa hampir peningkatan kadar glukosa darah yang jauh lebih besar daripada peningkatan yang normal seperti yang ditunjukkan oleh kurva bagian atas pada gambar 2.1, dan kadar glukosa kembali kenilai kontrol hanya setelah 4-6 jam; lebih lanjut glukosa darah gagal untuk turun dibawah kadar kontrol.

  Penurunan kurva yang lambat dan gagalnya glukosa turun dibawah kontrol menunjukkan bahwa (1) peningkatan normal sekresi insulin setelah makan glukosa tidak terjadi atau (2) adanya penurunana sensitivitas terhadap insulin.

  Diagnosa DM biasanya dapat ditegakkan berdasarkan kurva tersebut, dan DM tipe 2 menunjukkan insulin plasma yang meningkat.

  d.

  Pernapasan Aseton Aseton bersifat mudah menguap dan dikeluarkan dalam udara ekspirasi. Pada tahap dini DM tipe 2, asam keto biasanya tidak diproduksi dalam jumlah berlebih.

  Namun bila resistensi insulin sangat parah dan terdapat peningkatan penggunaan lemak sebagai sumber energi, asam keto akan dihasilkan pada orang dengan DM tipe 2 (Guyton, Arthur, 2007).

2.1.3 Komplikasi DM

  DM dapat menyerang hampir seluruh sistem tubuh manusia. Komplikasi DM diklasifikasikan menjadi akut dan kronis. Yang termasuk dalam komplikasi akut adalah hipoglikemia, DM ketoasidosis (DKA) dan hyperglicemic hyperosmolar

  

nonketotic coma (HHNC). Yang termasuk dalam komplikasi kronis adalah

retinopatik diabetik, nepropati diabetik, neuropati, dislipidemia, dan hipertensi.

  Komplikasi Akut a. Hipoglikemia

  Hipoglikemia adalah keadaan dengan kadar glukosa darah dibawah 60 mg/dl, yang merupakan komplikasi potensial terapi insulin atau obat hipoglikemik oral.

  Penyebab hipoglikemia pada pasien yang sedang menerima pengobatan insulin eksogen atau hipoglikemikoral antara lain : 1)

  Regimen insulin yang tidak fisiologis 2)

  Overdosis insulin atau sulfonilurea 3)

  Tidak makan 4)

  Tidak mengonsumsi kudapan yang telah direncanakan 5)

  Gerak badan tanpa kompensasi makanan 6)

  Penyakit ginjal stadium akhir 7)

  Konsumsi alkohol b. DM ketoasidosis

  Ketoasidosis DM adalah akibat yang berat dari defisit insulin yang berat pada jaringan adiposa, otot skletal, dan hepar. Jaringan tersebut sangat sensitif terhadap kekurangan insulin. DM ketoasidosis dapat dicetuskan oleh infeksi (penyakit) c.

  Hyperglicemic hyperosmolar nonketotic coma (HHNC).

  Patofisiologi dan tanda-tanda klinis yang terjadi sama dengan DKA dengan beberapa pengecualian. HHNC terdapat (Baradero, 2009) 1)

  Dehidrasi berat pasien bisa mengalami defisit cairan sebanyak 8-9 liter 2)

  Tingkat hiperglikemia juga lebih berat, bisa 600-2.000 mg/dl

  Osmolaritas serum adalah 350 mOsm/L atau lebih 4)

  Tidak ada ketosis karena orang dengan DM tipe 2 mempunyai cukup insulin 5)

  Biasanya ada gangguan dasar pada sistem saraf sentral (serebrovaskular) yang bisa mengganggu persepsi pasien terhadap rasa haus sehingga cairan yang hilang tidak dapat diganti dan dehidrasi bertambah berat. 6) Biasanya ada infeksi atau penyakit.

  2. Komplikasi Kronis a.

  Retinopati diabetik, merupakan penyebab utama kebutaan dan cacat visual. Hal ini disebabkan oleh kerusakan pembuluh darah kecil pada lapisan belakang mata, retina, menyebabkan hilangnya progresif penglihatan, bahkan kebutaan.

  b.

  Nefropati (penyakit ginjal) Penyakit ginjal DM juga disebabkan oleh kerusakan pembuluh darah kecil dalam ginjal. Hal ini dapat menyebabkan gagal ginjal, dan akhirnya menyebabkan kematian. Di negara maju, ini adalah penyebab utama dialisis dan transplantasi ginjal.

  c.

  Neuropati DM menyebabkan kerusakan saraf melalui mekanisme yang berbeda, termasuk kerusakan langsung oleh hiperglikemia dan penurunan aliran darah ke saraf dengan merusak pembuluh darah kecil. Kerusakan saraf dapat menyebabkan hilangnya sensorik, kerusakan anggota badan, dan impotensi pada pria DM. Ini adalah komplikasi yang paling umum dari DM. Gejalanya banyak, tergantung pada saraf yang terkena: misalnya, mati rasa pada kaki, nyeri pada ekstremitas, dan impotensi. Sensasi menurun terjadi pada kaki dapat

  Jika tidak diobati dini, ini dapat menyebabkan amputasi (WHO, 2011).

  d.

  Dislipidemia Lima puluh persen individu dengan DM mengalami dislipidemia. Ada peningkatan kolesterol LDL (low-density lipoprotein) dan trigleserida yang bisa mengakibatkan aterosklerosis. Karena resistensi insulin, profil lipid pasien dengan DM tipe 2 adalah hipertrigliseridemia dan hiperkolesterolemia (Baradero, 2009).

  e.

  Hipertensi Sebanyak 60%-65% pasien dengan DM mengalami hipertensi. Pada pasien dengan DM tipe 2, hipertensi bisa menjadi hipertensi esensial. Hiperteni harus secepat mungkin diketahui dan ditangani secara agresif karena bisa memperberat retinopati, nefropati, dan penyakit makrovaskular. Tujuan penangan hipertensi adalah tekanan darah mencapai 130/85 mmHg (Baradero M, 2009).

  f.

  Kaki diabetik Seiring dengan meningkatnya angka kejadian DM, komplikasi DM pun kian meningkat. Salah satu dampak buruk DM yang sering terjadi adalah kaki DM.

  Gangguan pada kaki DM tidak hanya melibatkan unsur metabolik, tetapi juga struktur vaskular, fungsional, perawatan, serta nutrisi. Selain itu, kaki DM tercatat sebagai komplikasi penyebab morbiditas pada seorang DM. Di Amerika Serikat, DM termasuk penyebab utama amputasi ekstremitas bawah penting dalam menjaga kualitas hidup pasien (Perkeni, 2011).

  g.

  Penyakit jantung koroner, kadar gula darah yang tidak terkontrol juga cenderung menyebabkan kadar zat berlemak dalam darah meningkat, sehingga mempercepat aterosklerosis (penimbunan plak lemak di dalam pembuluh darah).

  Aterosklerosis ini 2-6 kali lebih sering terjadi pada penderita DM. Akibat aterosklerosis akan menyebabkan penyumbatan dan kemudian menjadi penyakit

  jantung koroner (Waspadji, 2006).

2.1.4 Pengendalian DM

  Secara umum, pengendalian DM dimaksudkan untuk mengurangi gejala, membentuk berat badan ideal, dan mencegah akibat lanjut atau komplikasi. Prinsip dasar manajemen pengendalian atau penanganan DM meliputi : a.

  Pengaturan makanan; yang pertama dan kunci manajemen DM b. Latihan jasmani c. Obat antidiabetik

  Prinsip pengobatan DM tipe 2 dengan obat hipoglikemik oral (OHO), insulin dan terapi kombinasi (pemberian OHO dan insulin). Berdasarkan cara kerjanya OHO dibagi menjadi 4 golongan : 1.

  Pemicu sekresi insulin : sulfonilurea dan glinid 2. Menambah sensitivitas terhadap insulin : metformin, tiazolidindion 3. Menghambat glukoneogenesis (metformin) 4. Menghambat absorbsi glukosa

  Intervensi bedah: sebagai pilihan terakhir, kalau memungkinkan dengan cangkok pankreas (Bustan, 2007).

2.1.5 Pencegahan DM

  Kunci utama pencegahan DM terletak pada tiga titik yang saling berkaitan pengendalian berat badan, olahraga dan makanan sehat. Pencegahan DM meliputi : a.

  Pencegahan premodial kepada masyarakat yang sehat, untuk berperilaku positif mendukung kesehatan umum dan upaya menghindarkan diri dari risiko DM, misalnya, berperilaku hidup sehat, tidak merokok, makanan bergizi dan seimbang, ataupun diet, membatasi diri terhadap makanan tertentu, kegiatan jasmani yang memadai.

  b.

  Promosi kesehatan, ditujukan pada kelompok berisiko, untuk mengurangi atau menghilangkan risiko yang ada. Dapat dilakukan penyuluhan dan penambahan ilmu terhadap masyarakat.

  c.

  Pencegahan khusus, ditujukan pada mereka yan mempunyai risiko tinggi untuk melakukan pemeriksaan atau upaya sehingga tidak menjadi DM. Upaya ini dapat berbentuk konsultasi gizi/diatetik.

  d.

  Diagnosis awal, dapat dilakukan dengan penyaringan (screening), yakni pemeriksaan kadar gula darah kelompok risiko.

  e.

  Pengobatan yang tepat, upaya pengobatan pada penderita DM agar tidak menjadi komplikasi.

  f.

  Disability limitation; pembatasan kecacatan yang ditujukan pada upaya maksimal mengatasi dampak komplikasi DM sehingga tidak menjadi lebih berat.

  Rehabilitasi, sosial maupun medis. Memperbaiki keadaan yang terjadi akibat komplikasi atau kecacatan yang terjadi karena DM. Upaya rehabilitasi fisik berkaitan dengan akibat lanjut DM yang telah menyebabkan adanya amputasi (Bustan, 2007).

2.2 Pola Makan untuk Penderita DM

  Pola makan seseorang berkaitan erat dengan budaya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi bagaimana seseorang memilih makanannya. Faktor-faktor tersebut adalah kesenangan serta ketidaksenangan (food like and dislake), kebiasaan (food habit), daya beli serta ketersediaan makanan (purchasingpower and food

  

availability ), kepercayaan serta ketahyulan (food believe and food fadism), aktualisasi

  diri (self-actualization), faktor agama serta psikologis, dan pertimbangan gizi serta kesehatan.

  Tujuan terapi nutrisi pada manajemen DM meliputi pengendalian gula darah pada tingkat mendekati normal, pemeliharaan tekanan darah dan kadar kolesterol yang sehat, dan pencapaian berat badan yang sehat. Pedoman saat ini dari American

  

DM Association menganjurkan rencana makan dengan kalori terkontrol yang

  menggunakan daftar pergantian makanan agar asupan karbohidrat tetap stabil sepanjang hari dan dari hari demi hari. Sehingga perubahan pola makan sangat membantu untuk pasien dengan DM (Anonim, 2012)

  Balagopal, dkk 2008, meng evaluasi intervensi gaya hidup terhadap 703

  penduduk yang terdiri dari dewasa dan remaja usia 10-92 tahun di Desa Tamilnadu, perkembangan DM dan komplikasinya. Salah satu edukasi yang diberikan adalah tentang diet. Perbaikan obesitas dan pola makan merupakan salah satu hasil intervensi karena dari studi diketahui bahwa prevalensi DM dan praDM di desa tersebut mengalami peningkatan.

  Penatalaksanaan gizi pada penderita DM yaitu : a. Nutrisi Preventif

  Intervensi gizi yang bersifat preventif untuk mengurangi resiko terjadinya DM tipe 2 harus berfokus pada : a.1 Pencegahan obesitas pada pasien-pasien berisiko DM a.2 Asupan serat pangan 25 gram/1000 kalori, khususnya serat larut atau solubel dapat membantu mengendalikan kadar glukosa darah dan menambah rasa kenyang a.3 Menghindari asupan kalori yang berlebihan a.4 Olahraga raga teratur (3 kali seminggu atau lebih selama waktu >30 menit dengan intensitas 50-60% dari frekuensi jantung maksimal [120-usia]) ternyata dapat mencegah atau menunda onset DM pada mereka yang mempunyai predisposisi untuk terkena DM tipe 2 b.

  Nutrisi Kuratif Intervensi diet untuk mengendalikan glukosa darah merupakan salah satu intervensi penting bagi pasien-pasien DM tipe 2. Terapi nutrisi mencakup : kebutuhan; dan jenis makanan dengan indeks glikemik yang tinggi harus dibatasi b.2 Asupan kolesterol <300 mg/hari karena pasien DM tipe 2 menghadapi resiko lebih tinggi untuk terkena penyakit kardiovaskuler. Pada pasien DM dengan dislipidemia, asupan kolesterol bahkan harus <200 mg perhari. b.3 Asupan serat 25 gram/hari; meningkatkan konsumsi serat pangan yang larut maupun tak larut. b.4 Menghindari suplemen niasin yang berlebihan karena dapat meningkatkan kadar glukosa darah. Suplemen ini biasanya digunakan untuk mengendalikan kadar kolesterol darah. b.5 Pengendalian berat badan b.6 Olehraga aerobik yang teratur b.7 Pemantauan kadar glukosa darah.

  c.

  Preskripsi Diet c.1 Makan 3 kali makanan utama dan 2-3 kali camilan per hari dengan interval waktu sekitar 3 jam c.2 Makan camilan yang rendah kalori dengan indeks glikemik yang rendah dan indeks kekenyangan yang tinggi, seperti kolang kaling, agar-agar, rumput laut, pisang rebus, kacang hijau serta kacang-kacangan lainnya, sayuran rendah kalori dan buah-buahan yang tidak manis (apel, belimbing, jambu) serta alpukat. Makan buah berserat, seperti apel dengan kulitnya, setiap hari merupakan kebiasaan ngemil yang baik. dan gantikan dengan minuman berserat dari kelompok sayuran yang rendah kalori seperti blender tomat, ketimun dan labu siam yang sudah direbus. c.4 Sertakan rebusan buncis atau sayuran lain yang dapat membantu mengendalikan glukosa darah dalam menu sayuran sedikitnya dua kali sehari. Buncis, bawang dan beberapa sayuran lunak lainnya (pare, terong, gambas, labu siam) dianggap dapat membantu mengendalikan kadar glukosa darah karenakandungan seratnya. c.5 Biasakan sarapan dengan sereal serat tinggi, seperti kacang hijau, jagung rebus, atau roti bekatul setiap hari. c.6 Makanan pokok bisa bervariasi antara nasi (sebaiknya nasi beras merah/beras tumbuk), kentang, roti (sebaiknya roti bekatul) dan jagung. Jangan menggabungkan dua atau lebih makanan pokok seperti nasi dengan lauk mi goreng dan perkedel kentang (karena ketiganya memiliki indeks glikemik yang tinggi) c.7 Hindari penambahan gula pasir pada minuman (kopi, teh) dan makanan sereal. c.8 Makanan camilan dan minuman bebas gula yang tersedia dipasar seperti cookies

  diet , sirup diet, coke diet, dapat digunakan jika diinginkan tetapi jangan

  mengkonsumsinya secara berlebihan. Penyandang DM yang gemar memasak dapat membuat kue-kue basah seperti wafel yang terdiri dari tepung gangum utuh, havermout, putih telur, susu skim dan sedikit buah-buahan dengan aroma yang mengundang selera (misalnya pisang, stroberi, nanas). konsumsi daging merah yang dapat diganti dengan daging putih seperti ayam atau ikan. Hindari kulit, kepala serta brutu ayam dan daging ikan yang berlemak karena kandungan kolesterol yang tinggi dalam bahan makanan hewani. Daging ikan yang berwarna gelap lebih banyak mengndung lemak dibandingkan dengan daging ikan yang putih. c.10 Gunakan minyak goreng dalam jumlah terbatas (kurang lebih setengah sendok makan untuk sekali makan). Biasakan memasak dengan cara menumis, merebus, memepes, memanggang, serta menanak, dan hindari kebiasaan menggoreng makanan dengan banyak minyak. c.11 Biasakan makan makanan vegetarian pada waktu santap malam c.12 Dalam membuat menu yang menggunakan telur, setiap merah telur dapat diganti dengan dua buah putih telur, santan dapat diganti dengan susu skim, dan minyak dapat diganti dengan saus apel. Untuk menu yang menggunakan kecap diet dalam jumlah terbatas. c.13 Biasakan berjalan sedikitnya 3 kali dalam seminggu selama >30 menit (Hartono A, 2006).

  Menurut Waspadji (2007) mengutip pendapat Joslin dari Medical Centre

  

Institute , dalam penatalaksanaan DM ada 3 (tiga) J yang harus diketahui dan

  dilaksanakan oleh penderita DM, yaitu jumlah makanan, jenis makanan, dan jadwal makan. Berikut ini uraian mengenai ketiga hal tersebut.

  Jumlah Makanan Jumlah makanan yang diberikan disesuaikan dengan status gizi penderita DM, bukan berdasarkan tinggi rendahnya gula darah. Jumlah kalori yang disarankan berkisar 1100-2900 Kkal. Sebelum menghitung berapa kalori yang dibutuhkan seorang pasien DM terlebih dahulu harus diketahui berapa berat badan ideal (idaman) seseorang. Yang paling mudah adalah dengan rumus Brocca : Berat Badan Idaman : 90% x (tinggi badan dalam cm - 100) x 1 kg.

Tabel 2.1 Tingkat Kegiatan Sehari-hari untuk Perhitungan Kalori Ringan Sedang Berat

  Mengendarai mobil Kerja rumah tangga Aerobik Memancing Bersepeda Bersepeda Kerja laboratorium Bowling Memanjat Kerja sekretaris Jalan cepat Menari Mengajar Berkebun Lari

  Sumber : Waspadji, 2007

  Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan seorang pasien DM : a.

  Menghitung kebutuhan basal dahulu dengan cara mengalikan berat badan idaman dengan sejumlah kalori : 1)

  Berat badan idaman dalam kg x 30 Kkal untuk laki-laki 2)

  Berat badan idaman dalam kg x 25 Kkal untuk perempuan Kemudian ditambahkan dengan jumlah kalori yang diperlukan untuk kegiatan sehari-hari (lihat tabel 2.1). Tampak pada tabel itu ada tiga jenis kegiatan, dari yang ringan sampai yang berat

  Kerja ringan : tambah 10% dari kalori basal 2)

  Kerja sedang : tmbah 20% dari kalori basal 3)

  Kerja berat : tambah 40-100% dri kalori basal 4)

  Tambah kalori sekitar 20-30% pada keadaan sbb : Pasien kurus

  • Pasien masih tumbuh kembang
  • Ada stres misalnya infeksi, hamil atau menyusui
  • 5)

  Kurangi kalori bila gemuk sekitar 20-30% tergantung tingkat kegemukannya b. Cara lain tertera pada tabel 2.2 yang tampaknya lebih mudah. Tampak pada tabel itu bahwa seseorang dengan berat badan normal yang bekerja santai memerlukan

  30 Kkal/kg BB idaman. Bagi orang yang kurus dan bekerja berat memerlukan 40-50 Kkal/kg BB idaman. Dengan cara ini tidak perlu ditambah-tambahkan lagi c. Untuk gampangnya, secara kasar dapat dibuat suatu pegangan sbb :

  • : 2300-2500 Kkal Pasien kurus Pasien berat normal : 1700-2100 Kkal -
  • Tabel 2.2 Kebutuhan Kalori pada Pasien DM

    Kkal/kg BB Kerja

    Dewasa Kerja Sedang Kerja Berat

    Santai

  : 1300-1500 Kkal Pasien gemuk

  Gemuk 20-25

  30

  35 Normal

  30

  35

  40 Kurus

  35 40 40-50

   Sumber : Waspadji, 2007 kadar gula darah karena metabolisme gula darah didalam tubuh tidak akan berjalan baik jika gula atau kalori yang dikonsumsi terlalu besar dan terus menerus. Pada penderita DM tipe 2 sebaiknya mengikuti diit sesuai dengan jumlah kalori yang dikonsumsi dalam satu hari sesuai dengan aktivitas dan kebutuhan metabolisme tubuh (Juwi P dan Suprihatin, 2012).

  Perkumpulan Endrikonologi Indonesia (PERKENI) telah menetapkan standar jumlah gizi pada diet DM, dimana telah ditetapkan proporsi yang ideal untuk zat makanan seperti karbohidrat, protein, lemak, kolesterol, serat, garam dan pemanis dalam satu porsi makanan utama. Pengaturan jumlah makanan yng harus dikonsumsi oleh penderita DM adalah sebagai berikut : a.

  Karbohidrat Sampai saat ini sebagian orang berpendapat bahwa pasien DM harus mengonsumsi makanan rendah krobohidrat. Namun belakangan banyak dilakukan penelitian dan ditemukan bahwa justru diet tinggi karbohidrat dan rendah lemak lebih unggul daripada diet rendah karbohidrat. Tetapi harus diingat, walaupun pasien dianjurkan diet tinggi karbohidrat, pasien tersebut harus menghindari karbohidrat yang mudah diserap tubuh seperti sirup, gula, sari buah dan makanan lain yang manis atau mengandung gula. Selain itu penderita DM harus mengetahui bahwa jumlah karbohidrat dalam makanan untuk setiap kali makan harus diatur sedemikan rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan tubuh akan hidrat arang sepanjang hari.

  Protein Protein merupakan bahan dasar untuk zat pembangun, pertumbuhan, hormon dan antibodi. Pada penderita DM kebutuhan protein akan meningkat akibat digunakannya protein sebagai energi sedangkan karbohidrat sendiri tidak dapat diserap oleh tubuh sehingga penderita merasa lemas. Berdasarkan hal terebut maka seorang penderita DM memerlukan protein sebanyak 10-15% untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya.

  c.

  Lemak Pada penderita DM penggunaan lemak dibatasi, terutama lemak jenuh yang secara tidak langsung dengan mekanisme tertentu dapat mempengaruhi kenaikan kadar gula darah. Makanan yang mengandung lemak jenuh antara lain minyak kelapa, margarin, santan, keju, dan lemak hewan. Sedangkan lemak tidak jenuh efeknya jauh lebih kecil terhadap kadar gula darah daripada lemak jenuh.

  d.

  Kolesterol Kadar kolesterol yang tinggi dalam tubuh dapat menimbulkan hiperkolesterolemia yang berkaiatan dengan terjadinya aterosklerosis. Pada penderita DM, kadar kolesterol yang tinggi dapat memperberat penyakitnya. Oleh karena itu konsumsi yang berkolesterol harus dibatasi, dengan perkiraan jumlah dibutuhkan <300 mg per hari.

  Mengonsumsi makanan yang mengandung kolesterol akan berpengaruh terhadap terjadinya komplikasi Yanti, dkk meneliti tentang kadar kolesterol terhadap terjadinya komplikasi pada penderita DM tipe 2 menunjukkan bahwa

  Kadar kolesterol HDL ≤ 45 mg/dl, merupakan faktor risiko terjadinya PJK pada penderita DM tipe 2 2)

  Penderita DM tipe 2 dengan kadar kolesterol total yang tidak terkontrol secara baik mempunyai risiko terjadi PJK sebesar 2,313 kali lebih besar.

  3) Penderita DM tipe 2 dengan kadar trigliserida yang tidak terkontrol secara baik mempunyai risiko terjadi PJK sebesar 6,765 kali lebih besar.

  4) Kadar kolesterol LDL tidak terkontrol secara baik menunjukkan ada hubungan yang bermakna dengan kejadian PJK pada DM tipe 2 sebesar

  2,530 kali dibandingkan dengan penderita DM tipe 2 dengan kadar kolesterol terkontrol baik 5)

  Kadar kolesterol HDL tidak terkontrol menunjukkan ada hubungan dengan kejadian PJK pada DM tipe 2 (P=0,0001) sebesar 9,877 kali daripada penderita DM tipe 2 dengan kadar kolesterol HDL yang terkontrol baik. Hastuti, (2008) meneliti faktor-faktor risiko ulkus diabetika pada penderita DM (studi kasus di RSU dr.Moewardi Surakarta) dengan hasil penelitian bahwa tidak patuh diet DM (kurang atau lebih 30 % dari diet DM) sehingga kadar glukosa darah tidak terkontrol mempunyai risiko terjadi ulkus diabetika sebesar 6,2 kali dibandingkan dengan yang patuh diet.

  e.

  Serat Serat yang dikonsumsi sebanyak 25 gram per hari akan mempercepat pergerakan makanan disaluran pencernaan dan membentuk massa sehingga absorbsi glukosa dan lemak diusus akan berkurang. setelah makan, dibandingkan dengan diet miskin-serat, dan diet tinggi serat telah terbukti memperbaiki pengendalian gula darah dan kolesterol pada individu dengan DM tipe 2 (Anonim, 2012).

  f.

  Garam Penggunaan garam yang tinggi dalam makanan dapat meningkatkan kerja jantung. Oleh karena itu pada penderita DM dengan hipertensi pemakaian garam dibatasi.

  g.

  Pemanis Selama ini pemanis yang ada dipasaran adalah sukrosa, fruktosa, sorbitol, manitol, xylol, sakkarin, siklamat dan aspartam. Pemanis yang mengandung kalori adalah sukrosa dan fruktosa. Berikut ini tabel perbandingan jumlah total zat makanan yang terdapat dalam satu porsi makanan utama penderita DM.

Tabel 2.3 Jumlah Total Zat Makanan yang Dikonsumsi Jenis Zat Makanan Jumlah

  Karbohidrat 60-70% Protein 10-15% Lemak 20-25% Kolesterol <300 mg/hari Serat 25 g/hari Garam Dibatasi terutama bila ada hipertensi Pemanis Gunakan secukupnya

  Jenis Makanan Penderita DM harus mengetahui dan memahami jenis makanan apa yang boleh dimakan secara bebas, makanan yang mana harus dibatasi dan makanan apa yang harus dibatasi secara ketat. Makanan yang mengandung karbohidrat mudah diserap seperti sirup, gula, sari buah harus dihindari. Sayuran dengan kandungan karbohidrat tinggi seperti buncis, kacang panjang, wortel, kacang kapri, daun singkong, bit, dan bayam harus dibatasi. Buah-buahan berkalori tinggi seperti pisang, pepaya, mangga, sawo, rambutan, apel, duku, durian, jeruk dan nanas juga dibatasi. Sayuran yang boleh dikonsumsi adalah sayuran dengan kandungan kalori rendah seperti oyong, ketimun, kol, labu air, labu siam, lobak, sawi, rebung, selada, toge, terong dan tomat (Waspadji, 2007).

  Cukup banyak pasien DM mengeluh karena makanan yang tercantum dalam daftar menu diet kurang bervariasi sehingga sering terasa membosankan. Untuk itu agar ada variasi dan tidak menimbulkan kebosanan dapat diganti dengan makanan penukar lain. Perlu diingat dalam penggunaan makanan penukar, kandungan zat gizinya harus sama dengan makanan yang digantikannya (Suyono, 1996). Contoh- contoh bahan makanan penukar adalah sebagai berikut : a. Golongan I : Sumber Karbohidrat

  Sumber bahan makanan penukar karbohidrat mempunyai takaran 1 satuan penukar = 15 kal, 4 gr protein, 40 gr karbohidrat.

  Bahan Makanan URT Berat (gr)

  50 Daging sapi 1 potong sedang

  50 Keju 1 potong kecil

  60 Udang segar ¼ gelas

  50 Telur bebek 1 butir

  25 Telur ayam 1 butir

  50 Ikan asin 1 potong sedang/1 ekor

  50 Ikan segar 1 potong sedang

  50 Hati sapi 1 potong sedang

  Ayam 1 potong sedang

  Bihun ½ gelas

Tabel 2.5 Bahan Makanan Penukar Protein Hewani Bahan Makanan URT Berat (gr)

  b. Golongan II : Sumber Protein Hewani Sumber protein hewani ini dapat diperoleh dari bahan makanan yang lazim dikonsumsi sehari-hari dengan takaran 1 satuan penukar = 95 kal, 10 gr protein, 6 gr lemak. Adapun jenis makanan penukar protein hewani dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

  80 Sumber : Suyono, 1996

  50 Nasi ¾ gelas 100 Roti putih 2 potong sedang

  50 Mi kering ½ bugkus

  50 Kentang 2 biji sedang 200 Krekers 5 buah besar

  50 Havermount 6 sendok makan

  30 Sumber : Suyono, 1996 Sumber protein nabati mempunyai takaran 1 satuan penukar = 80 kal, 6 gr protein, 3 gr lemak, 8 gr karbohidrat. Jenis bahan makanan penukar protein hewani dapat dilihat pada tabel 2.6

Tabel 2.6 Bahan Makanan Penukar Protein Nabati Bahan Makanan URT Berat (gr)

  Kacang hijau 2 sendok makan

  20 Kacang merah segar 2 ½ sendok makan

  25 Kacang tanah 2 sendok makan

  20 Keju kacang tanah 2 sendok makan

  20 Tahu 1 biji besar 100 Tempe 2 potong sedang

  50 Susu kedelai 1 gelas 100

  Sumber : Suyono, 1996

  Pola makan nabati yang rendah lemak, dapat lebih efektif menurunkan berat badan, pengendalian gula darah, dan pengurangan faktor risiko kardiovaskular, terutama kolesterol darah. Diet seperti ini juga dapat lebih mudah bagi pasien untuk mengikutinya. Pola makan nabati yang rendah lemak, bekerja dalam beberapa cara.

  Pertama, karena diet tersebut rendah lemak, pola makan ini cenderung rendah kalori. Dan karena pola makan ini tinggi serat, maka mengenyangkan (Anonim, 2012).

  Penelitian yang dilakukan oleh Rahmawaty, dkk (2009) terdapat pengaruh frekuensi konsumsi tinggi protein terhadap kejadian hiperglikemia. Nilai OR didapatkan 0,440, yang berarti pada subjek dengan konsumsi tinggi protein mempunyai risiko 0,44 kali terhadap kejadian hiperglikemi dibandingkan subjek dengan konsumsi rendah protein.

  Jenis sayuran yang dapat dijadikan bahan penukar adalah sayuran A dan sayuran B bebas dimakan, seperti pada tabel 2.7

  

Tebel 2.7 Jenis Sayuran

Sayuran A Sayuran B

  Kangkung Bayam Tomat Buncis Toge Daun singkong Jamur segar Jagung muda Ketimun Labu siam Kol Nangka muda Rebung Jagung putren Sawi Kacang panjang Oyong

  Sumber : Suyono, 1996

  e. Golongan V : Buah Sumber bahan makanan bersumber dari buah-buahan mempunyai takaran 1 satuan penukar = 40 Kal, 40 gr karbohidrat, seperti pada tabel 2.8.

Tabel 2.8 Bahan Makanan Penukar Buah Bahan Makanan URT Berat (gr)

  Pisang 1 buah

  50 Pepaya 1 potong 100 Apel ½ buah

  75 Jeruk 2 buah 100 Duku 15 buah

  75 Sumber : Suyono, 1996 Makanan rendah indeks glikemik cenderung memiliki lebih sedikit efek pada gula darah. Ini termasuk kacang-kacangan, ubi jalar, oatmeal, sereal kulit padi, dan dapat membantu pengendalian glukosa darah dan juga dapat mengurangi trigliserida (lemak darah) (Anonim, 2012).

  f. Bahan Makanan Golongan Susu Sumber bahan makanan golongan susu mempunyai takaran 1 satuan penukar

  = 130 Kal, 7 gr protein, 7 gr lemak, 9 gr karbohidrat, seperti tabel 2.9

Tabel 2.9 Bahan Makanan Penukar Susu Bahan Makanan URT Berat (gr)

  Susu sapi 1 gelas 200 Tepung whole 5 sendok makan

  25 Yogurt 1 gelas 200

  Sumber : Suyono, 1996

  g. Golongan VII : Minyak Bahan makanan penukar minyak mempunyai takaran 1 satuan penukar = 45

  Kal, 5 gr lemak, seperti pada tabel 2.10

Tabel 2.10 Bahan Makanan Penukar Minyak Bahan Makanan URT Berat (gr)

  Minyak kelapa ½ sendok makan

  5 Margarin ½ sendok makan

  5 Minyak kacang/kedelai/jagung ½ sendok makan

  5 Kelapa parut 5 sendok makan

  30 Santan ½ sendok makan

  50 Sumber : Suyono, 1996 Penderita DM harus membiasakan diri untuk makan tepat pada waktu yang telah ditentukan. Penderita DM makan sesuai jadwal yaitu 3 kali makan utama, 3 kali makan selingan dengan interval waktu 3 jam. Ini dimaksudkan agar terjadi perubahan pada kandungan glukosa darah penderita DM, sehingga diharapkan dengan perbandingan jumlah makanan dan jadwal yang tepat maka kadar glukosa darah akan tetap stabil dan penderita DM tidak merasa lemas akibat kekurangan zat gizi. Jadwal makan standar yang digunakan oleh penderita DM disajikan dalam tabel berikut :

Tabel 2.11 Jadwal Makan Penderita DM Waktu Jadwal Total Kalori

  Pukul 07.00 Makan Pagi 20% Pukul 10.00 Selingan 10% Pukul 13.00 Makan Siang 30% Pukul 16.00 Selingan 10% Pukul 19.00 Makan Malam 20% Pukul 21.00 Selingan 10%

2.3 Kepatuhan Minum Obat

  Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kepatuhan adalah sejauh mana perilaku seseorang minum obat, mengikuti diet, dan / atau melaksanakan perubahan gaya hidup yang disepakati dari penyedia perawatan kesehatan. Namun, ketidakpatuhan pengobatan sangat umum di antara pasien dengan DM tipe 2 yang menyebabkan peningkatan mortalitas dan morbiditas dengan biaya langsung dan tidak langsung yang cukup besar untuk sistem kesehatan (Tiv M, dkk, 2012).

  Variabel yang telah dianggap berhubungan dengan kepatuhan pada DM dapat akan dibagi dalam empat kelompok : a.

  Pengobatan dan karakteristik penyakit.

  Tiga unsur pengobatan dari penyakit telah dikaitkan dengan kepatuhan: Kompleksitas pengobatan, durasi penyakit dan pemberian perawatan. Secara umum, semakin kompleks rejimen pengobatan, semakin kecil kemungkinan pasien akan mengikutinya. Indikator kompleksitas pengobatan termasuk frekuensi perilaku perawatan diri yaitu jumlah kali per hari perilaku perlu dilakukan oleh pasien.

  Kepatuhan terhadap hipoglikemik oral agen telah dikaitkan dengan frekuensi tingkat kepatuhan dosis. Pasien diresepkan obat tunggal mempunyai tingkat kepatuhan yang lebih baik dibandingkan pasien diresepkan dua atau lebih obat.

  Durasi penyakit tampaknya memiliki hubungan negatif dengan kepatuhan: semakin lama pasien menderita DM, semakin kecil kemungkinan untuk menjadi patuh terhadap penatalaksaan DM. Pasien yang telah menderita DM selama 10 tahun atau kurang dilaporkan lebih besar pengeluaran energi dalam kegiatan fisik, rekreasi, dan olahraga pada hari-hari per minggu, dibandingkan dengan menderita DM lebih dari 10 tahun dan makan makanan pantangan, yaitu mengonsumsi lemak jenuh lebih besar dan kurang mengikuti diet yang telah disusun. Durasi penyakit juga dikaitkan dengan kepatuhan terhadap pemberian insulin. Faktor Intra-personal.

  Tujuh variabel penting telah dikaitkan dengan kepatuhan: usia, jenis kelamin, harga diri, self-efficacy , stres, depresi dan penyalahgunaan alkohol.

  Umur juga telah dikaitkan dengan kepatuhan terhadap pemberian insulin. Dalam sebuah penelitian yang menilai kepatuhan terhadap pemantauan glukosa darah, dewasa muda melaporkan pemantauan konsentrasi glukosa darah mereka lebih sering daripada yang lebih tua. Orang dewasa muda juga bisa berlatih lebih baik untuk perewatan diri daripada orang dewasa tua.

  Jenis kelamin laki-laki juga telah dikaitkan dengan kepatuhan. Pasien laki-laki dengan DM ditemukan menjadi lebih aktif secara fisik daripada wanita, tetapi mereka mengkonsumsi lebih banyak kalori.

  Harga diri telah dikaitkan dengan kepatuhan terhadap manajemen diri pada pasien dengan DM. Harga diri tinggi berhubungan dengan tingkat kepatuhan yang tinggi terhadap penyesuaian dosis insulin. Harga diri rendah pada dewasa dengan DM dikaitkan dengan kurang sering kontrol glukosa darah.

  Self-efficacy telah dipelajari dalam kaitannya dengan kepatuhan terhadap

  pengobatan yang diresepkan untuk DM, self-efficacy adalah prediktor kepatuhan terhadap perilaku perawatan DM Stres dan masalah emosional juga berkorelasi dengan kepatuhan. Stres ringan dikaitkan dengan tingkat yang lebih tinggi terhadap kepatuhan pemberian insulin dan diet pada wanita dengan DM. Dalam sebuah penelitian yang menggunakan skala stres pasien DM pada sampel gabungan orang dewasa dengan DM tipe 2 dan tipe 1, stres dengan kontrol metabolik yang buruk . Pasien yang memiliki rasa takut terhadap suntikan insulin atau monitor glukosa darah memiliki tingkat kepatuhan yang rendah.

  Depresi. Insiden depresi telah diamati dua kali lebih tinggi di antara orang- orang dengan DM dibandingkan pada populasi umum. Pasien dengan depresi lebih mungkin untuk mengalami komplikasi DM, memiliki kontrol glikemik buruk, dan kurang patuh terhadap perilaku perawatan diri dibandingkan pasien yang tidak depresi. Depresi juga berkaitan dengan biaya yang lebih tinggi dari perawatan medis pada pasien dengan DM.

  Penyalahgunaan alkohol. Pola penggunaan alkohol telah terkait dengan kualitas manajemen diri pada DM Johnson, Bazargan & Bing yng dikutip oleh Tiv, dkk (2012), mempelajari 392 pasien dengan DM tipe 2 dari kelompok etnis minoritas di Los Angeles, dan menemukan bahwa konsumsi alkohol dalam 30 hari sebelumnya dikaitkan dengan ketidakpatuhan terhadap diet, monitor glukosa darah, obat-obatan oral.

  c.

  Faktor Inter-personal.

  Dua faktor penting antar-pribadi yang berhubungan dengan kepatuhan adalah kualitas hubungan antara pasien dan penyedia perawatan, dan dukungan sosial.

  Komunikasi yang baik antara pasien dan penyedia perawatan berkaitan dengan peningkatan kepatuhan. Komunikasi yang baik dengan penyedia layanan di antara pasien dengan DM tipe 2 berpengaruh secara singnifikan terhadap kepatuhan minum obat hipoglikemik oral dan pemantauan glukosa. Dukungan sosial seperti pemantauan glukosa darah.

  d.

  Faktor-faktor lingkungan.

  Dua faktor lingkungan telah dikaitkan dengan ketidakpatuhan pada pasien dengan DM yaitu situasi berisiko tinggi dan lingkungan. Perilaku perawatan diri terjadi dalam situasi lingkungan yang terus berubah di rumah, di tempat kerja, di depan umum, dll, yang berhubungan dengan tuntutan dan prioritas yang berbeda.

  Keadaan yang berubah, pasien ditantang untuk menyesuaikan dan memeliharan perilaku perawatan diri mereka. Pasien memilih antara memberikan perhatian pada manajemen DM atau beberapa prioritas kehidupan lainnya. Situasi terkait dengan ketidakpatuhan tersebut disebut situasi "berisiko tinggi"

  Dua belas kategori situasi makanan berisiko tinggi pada orang dewasa dengan DM tipe 1 dan tipe 2: ini termasuk menolak godaan, makan di luar, tekanan waktu, prioritas yang bersaing dan studi , faktor sosial juga menunjukkan bahwa hambatan lingkungan merupakan prediksi kepatuhan terhadap berbagai aspek perawatan DM.

  Banyak faktor lingkungan yang mempengaruhi perilaku orang. Sistem ini meliputi lingkungan ekonomi, pertanian, politik, perawatan kesehatan, geografis, sistem ekologi dan budaya . Perubahan lingkungan skala besar yang terjadi pada abad kedua puluh menciptakan epidemi obesitas dan DM tipe 2. Perubahan ini termasuk peningkatan ketersediaan makanan cepat, murah, tinggi lemak, garam dan kalori, dan mekanisasi sistem transportasi. Perubahan dalam sistem ekonomi dan politik telah memungkinkan perempuan untuk masuk ke dunia kerja, tetapi perubahan yang sama pilihan dan persiapan makanan.

  Lingkungan saat ini dikatakan "beracun" untuk gaya hidup sehat. Kejadian obesitas dan DM meningkat pesat di negara berkembang dan kemungkinan akan terkait dengan urbanisasi, transportasi dan perubahan luas dalam penyediaan makanan. Faktor yang sama mendorong gaya hidup menetap dan konsumsi makanan berlebihan, dan mengarah pada obesitas dan DM, mungkin juga membuat sulit bagi orang-orang yang menderita DM untuk mematuhi praktek yang baik.

  Edukasi dan informasi yang tepat dapat meningkatkan kepatuhan penderita dalam menjalani program pengobatan yang komprehensif, sehingga pengendalian kadar glukosa darah dapat tercapai. Ada beberapa parameter laboratorium yang dapat dilakukan untuk menilai tingkat kepatuhan berobat penderita DM, salah satunya adalah hemoglobin A1c (HbA1c ), yaitu glukosa yang terikat pada N- terminal valin hemoglobin rantai ß, yang terjadi melalui reaksi non enzymatik (Soegondo S, 2004)

  Hemoglobin pada manusia terdiri dari HbA1, HbA2, HbF (fetus) Hemoglobin A (HbA) terdiri atas 91 sampai 95 % dari jumlah hemoglobin total. Molekul glukosa berikatan dengan HbA1 yang merupakan bagian dari hemoglobin A. Proses pengikatan ini disebut glikosilasi atau hemoglobin terglikosilasi atau hemoglobin A. Dalam proses ini terdapat ikatan antara glukosa dan hemoglobin.

  Hasil pemeriksaan hemoglobin A1c merupakan pemeriksaan tunggal yang sangat akurat untuk menilai status glikemik jangka panjang dan berguna pada semua tipe penyandang DM (Soewondo P, 2004). HbA1c yang terukur sekarang atau

  “sewaktu” mencerminkan kadar glukosa pada waktu 3 bulan yang lampau (sesuai dengan umur sel darah merah manusia kira-kira 100-120 hari), sehingga hal ini dapat memberikan informasi seberapa tinggi kadar glukosa pada waktu 3 bulan yang lalu. Dengan melakukan pemeriksaan ini kita juga dapat mengetahui seberapa besar kepatuhan dalam berobat pada penderita DM.

  Semakin tinggi HbA1c menunjukkan semakin buruk kepatuhan seorang penderita dalam berobat. Peningkatan kadar HbA1c >8% mengindikasikan DM yang tidak terkendali dan beresiko tinggi untuk menjadikan komplikasi jangka panjang seperti nefropati, retinopati, atau kardiopati (Soewondo P, 2004)

  Hasil dari Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) menunjukkan bahwa pengendalian DM yang baik dapat mengurangi komplikasi kronik DM antara 20-30%, bahkan hasil dari United Kingdom Proporsive Diabetes Study (UKPDS) menunjukkan setiap penurunan 1% dari HbA1c akan menurunkan komplikasi sebesar 35%.

  Wiyono (2004) menyatakan bahwa pengendalian glukosa darah penting mengingat peranan hiperglikemia terhadap terjadinya komplikasi kronis dengan pengukuran HbA1c yaitu pengukuran hemoglobin terglikosilasi dalam eritrosit karena HbA1c terkandung dalam eritrosit yang hidup sekitar 100-120 hari, maka HbA1c mencerminkan pengendalian metabolisme glukosa selama 3-4 bulan. Hal ini lebih menguntungkan secara klinis karena memberikan informasi yang lebih jelas tentang keadaan penderita dan seberapa efektif terapi diabetik yang diberikan. Target penurunan HbA1c antara 6,5

  • – 7,0 %. Hal ini juga dilakukan oleh Nanri A, dkk
diperoleh melalui analisis komponen utama terhadap konsumsi 49 jenis makanan yang diketahui dari kuesioner frekuensi makanan hal ini untuk menilai odds ratio (OR) peningkatan kadar A1c (≥5,5%) yang spesifik terhadap jenis kelamin. Pola makan seperti negara Barat, dimana seafood memiliki hubungan positif dengan kadar A1c hanya pada pria (p=0,01).

2.4 Epidemiologi DM

2.4.1 Distribusi DM

  a) Orang (Person)

  Berdasarkan proses timbulnya penyakit DM dapat disimpulkan bahwa orang yang berisiko mengalami DM adalah mereka yang memiliki riwayat DM dari keluarga. Pasien DM tipe 2 umumnya dewasa usia 40-an dan mengalami kegemukan (obesitas) dan kurang aktif secara fisik.

  Prevalensi dan insiden DM tipe 2 berfariasi antara jenis kelamin dari satu populasi, namun perbedaan ini relatif kecil dan tampaknya dijelaskan oleh perbedaan dalam faktor-faktor risiko lain seperti obesitas dan aktivitas fisik. Prevalensi DM tipe 2 meningkat dengan usia meskipun pola kejadian sangat bervariasi. Prevalensi dapat meningkatkan nyata pada usia dewasa muda (20-35 tahun), sedangkan di kejadian lain peningkatan prevalensi terutama pada orang tua (misalnya 55-74 tahun usia).

  Penurunan prevalensi terlihat dalam kelompok usia tertua (misalnya 75 tahun) karena lebih tinggi tingkat kematian karena penyakit. DM tipe 2 dalam masyarakat yang

  Dinegara berkembang, karena distribusi penduduk usia muda, banyak kasus terjadi pada usia muda dan dewasa paruh baya (Steyn, dkk).

  Amerika Serikat dan Eropa, prevalensi DM tipe 2 meningkat dengan usia paling tidak ke umur 17 tahun. DM tipe 2 yang sebelumnya dianggap sebagai penyakit dewasa. Dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi banyak laporan pada masa kanak-kanak dan adolesence.

Dokumen yang terkait

Gambaran Pola Makan dan Dukungan Keluarga Penderita Diabetes Melitus yang Menjalani Rawat Jalan di RSU Dr. Pirngadi Medan Tahun 2015

11 110 113

Hubungan Pola Makan dan Kepatuhan Minum Obat dengan Kejadian Hiperglikemik pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Rawat Jalan di RSU Herna dan RSU Pusat H. Adam Malik Medan Tahun 2013

2 74 105

Gambaran Pengetahuan Penderita DM Tipe 2 terhadap Penyakit dan Pengelolaan DM Tipe 2 di RSUP. H. Adam Malik Medan Juli – Agustus 2010

0 38 88

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pankreas - Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan Komplikasi Hipertensi dan Diabetes Retinopati di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik

0 0 22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Diabetes Mellitus 2.1.1. Pengertian Diabetes Mellitus - Gambaran Pola Makan dan Dukungan Keluarga Penderita Diabetes Melitus yang Menjalani Rawat Jalan di RSU Dr. Pirngadi Medan Tahun 2015

0 0 19

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus - Hubungan antara Diabetes Melitus Tipe II dengan Burning Mouth Syndrome di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 1 17

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1. Definisi - Gambaran Simtom Ansietas dan Depresi pada pasien Diabetes Melitus tipe-2 di Instalasi Rawat Jalan Divisi Endokrin dan Metabolik RSUP.H Adam Malik Medan

0 0 9

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi Diabetes Melitus - Profil Foto Thoraks Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Dengan Tb Di Rumah Sakit Haji Adam Malik Tahun 2012

0 0 14

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus - Prevalensi Terjadinya Manifestasi Oral Pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Dengan Risiko Sedang Di Rs. Haji Medan

0 0 13

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prostat - Pola Kuman dan Sensitivitas pada Penderita Benign Prostate Hyperplasia dengan Infeksi Saluran Kemih di RSUP H. Adam Malik Medan

0 0 22