BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prostat - Pola Kuman dan Sensitivitas pada Penderita Benign Prostate Hyperplasia dengan Infeksi Saluran Kemih di RSUP H. Adam Malik Medan
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Prostat
Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli, di depan rectum dan membungkus uretra posterior. ( Roehrborn CG et al., 2010 ). Letak kelenjar prostat dimulai dengan dasar kerucut (basis) sebagai terusan dari leher vesika sedang puncak kerucut yang disebut apeks terletak di atas fascia diaphragma urogenitalis. Prostat pada umur dewasa muda berukuran lebar 3-4 cm dan panjangnya 4-
et al
6 cm dengan ketebalannya kira-kira 2-3 cm dan beratnya 20 - 40 gram. ( Roehrborn 2010 dan John T 2010 ).
., et al.,
Gambar 2.1. Anatomi ProstatProstat terdiri dari 70% kelenjar dan 30% stroma fibromuskular. Komponen stroma ini terdiri atas otot polos, fibroblast, pembuluh darah, saraf, kolagen dan jaringan penyanggah yang lain. Stroma dan kelenjar berkontraksi selama ejakulasi untuk mengeluarkan sekresi prostat ke uretra. Bagian fibromuskular terletak sebagian besar di daerah anterior sedangkan bagian kelenjar terletak di bagian posterior ( Roehrborn CG
et al., et al., 2010, John T 2010 dan Rahardjo D, 2009 ).
McNeal mengusulkan suatu konsep anatomi zona berdasarkan dari gambaran anatomi dan histologi prostat. Dasar pembagian zona dari McNeal ini dijadikan dasar untuk menentukan letak dan asal keganasan prostat. Menurut McNeal, prostat dibagi menjadi 3 zona, yaitu zona perifer (70% dari volume prostat dewasa muda), zona sentral (25%), dan zona transisi (5%). Keganasan prostat 60-70% berasal dari zona perifer, 10- 20% dari zona transisi, dan 5-10% dari zona sentral. 60% keganasan dari zona sentral biasanya jenis karsinoma dengan gradasi rendah (low-grade), clear cell carsinoma (
et al.,
Nickel J 1999 )
et al.,
Gambar 2.2. Zona-zona Prostat ( Nickel J 1999 )Prostat menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu komponen dari cairan ejakulat. Sekret kelenjar prostat adalah cairan seperti susu yang dialirkan melalui duktus sekretorius dan bermuara di uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi. Semen berisi sejumlah asam sitrat sehingga pH nya agak asam. Selain itu dapat ditemukan enzim yang bekerja sebagai fibrinolisin yang kuat, fosfatase asam, enzim-enzim lain dan lipid. Sekret prostat dikeluarkan selama ejakulasi melalui kontraksi otot polos. Volume cairan prostate
et al.,
merupakan 25% dari seluruh volume ejakulat ( Roehrborn 2010 dan Taiwo SS et
., al 2006 ).
Prostat manusia mendapat dua macam persarafan yaitu parasimpatik (kolinergik) dan simpatik (noradrenergik) melalui pleksus pelvikus otonomik yang terletak dekat prostat. Pleksus ini mendapat masukan parasimpatik dari medulla spinalis setinggi S
2 -S
4
dan serat-serat simpatik dari nervus hipogastrikus presakralis (T -L ). Kedua sistem
10
2
persarafan itu dalam prostat membentuk jaringan persarafan yang terjadi dari gabungan kolinergik dan noradrenergik dan mempunyai reseptor-reseptor di dalam otot polos prostat. Saraf-saraf otonom mempersarafi prostat dan juga vesika seminalis, uretra, dan corpora cavernosa dari pleksus pelvikus yang bersama pembuluh darah membentuk kompleks saraf dan pembuluh darah (neurovascular bundle) dan kompleks ini berjalan di bagian posterior dari prostat dari kranial menuju apeks prostat dan umumnya sejajar
et al.,
dengan dinding rectum (John T 2010). Stimulasi parasimpatik meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel prostat, sedangkan rangsangan simpatik menyebabkan pengeluaran cairan prostat kedalam uretra posterior, seperti pada saat ejakulasi. Sistem simpatik memberikan inervasi pada otot polos prostat, kapsul prostat, dan leher buli- buli. Di tempat-tempat itu banyak terdapat reseptor adrenergik-
α. Rangsangan simpatik
et al., menyebabkan dipertahankannya tonus otot polos tersebut ( Roehrborn CG 2010 ).
2.2 Hiperplasia Prostat Jinak 2 .2.1 Definisi
Hiperplasia prostat jinak adalah suatu diagnosis histologis yang ditandai oleh proliferasi elemen seluler dari prostat. Hiperplasia prostat melibatkan kedua elemen stroma dan epitel dari zona periuretra dan transisi (Furqan, 2003).
Gambar 2.3 Gambaran Prostat Normal Dibandingkan dengan BPH2.2.2 Epidemiologi Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau hiperplasia prostat jinak adalah tumor
jinak yang tersering pada laki-laki, dan insidennya terkait dengan umur pasien. Jika hiperplasia cukup besar, nodul-nodul dapat menekan dan mempersempit kanal uretra sehingga terjadi obstruksi uretra parsial maupun total. Prevalensi histologis hiperplasia prostat jinak pada penelitian autopsi meningkat dari sekitar 20% pada laki-laki 41-50 tahun menjadi 50% pada laki-laki umur 51-60 tahun, sampai akhirnya 90% pada laki- laki di atas 80 tahun. Gejala pada kasus ini juga terkait dengan umur pasien. Pada umur 55 tahun, sekitar 25% dari laki-laki mengeluhkan gejala obstruksi berkemih. Pada umur 75 tahun, 50% laki-laki melaporkan penurunan kekuatan dan kaliber dari aliran urin
et (Taiwo SS al., 2006).
Di rumah sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), subbagian urologi, setiap tahun ditemukan antara 200 sampai 300 penderita baru dengan prostat hipertrofi. Istilah hipertrofi sebenarnya kurang tepat oleh karena yang sebenarnya terjadi adalah hiperplasia dari kelenjar periuretral yang kemudian mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi kapsul bedah (surgical capsule). (Furqan, 2003).
Faktor risiko untuk perkembangan hiperplasia prostat jinak belum dapat diketahui dengan baik. Beberapa studi mengemukakan pendapat bahwa terdapat faktor predisposisi genetik dan beberapa mengatakan berhubungan dengan perbedaan ras. Kurang lebih 50% pria berusia dibawah 60 tahun yang mengalami hiperplasia prostat jinak mempunyai bentuk penyakit hiperplasia prostat jinak yang diturunkan. Bentuk ini mempunyai kecenderungan bersifat autosomal dominan dan hubungan saudara pria pada derajat pertama mempunyai risiko relatif yang meningkat kira-kira 4 kali. Selain itu, juga disebutkan bahwa merokok, konsumsi alkohol dan obat-obatan tertentu seperti histamine, bronkodilator dapat meningkatkan risiko hiperplasia prostat jinak ( Pondei K
et al., et al.,
2012 dan Philip M 2007 )
2.2.3 Etiologi
Etiologi hiperplasia prostat jinak masih belum dapat dipastikan hingga saat ini, tetapi kelainan ini diduga multifaktorial dan berada di bawah kontrol endokrin. Prostat terdiri dari komponen stromal dan epitelial, keduanya dapat memperbanyak nodul-nodul hiperplastik dan juga gejala-gejala yang berhubungan dengan hiperplasia prostat. Kedua komponen ini dapat menjadi target dalam penanganan medis kasus hiperplasia prostat ( Pondei K et al., 2012 ).
Hiperplasia prostat jinak merupakan salah satu penyebab LUTS pada pria berusia lanjut. Secara histopatologi, hiperplasia prostat jinak dikarakteristikkan oleh peningkatan jumlah sel-sel stroma dan epitel dalam area periuretral prostat. Etiologi yang pasti dari hiperplasia prostat jinak masih meragukan. Dalam pengamatan, peningkatan jumlah sel oleh proliferasi epitel dan stroma atau gangguan program kematian sel mengarah kepada akumulasi seluler. Androgen, estrogen, interaksi epitel- stroma, growth factor, dan neurotransmitter mungkin memainkan peranan baik tunggal ataupun kombinasi dalam menyebabkan proses hiperplasi ( Rahardjo D, 2009 ).
Testosteron dihasilkan oleh sel leydig atas pengaruh hormon Luteinizing hormon (LH) yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisis. Kelenjar hipofisis ini menghasilkan LH atas rangsangan Luteinizing Hormon Releasing Hormon (LHRH). Di samping testis, kelenjar anak ginjal juga menghasilkan testosteron atas pengaruh ACTH yang juga dihasilkan oleh hipofisis. Jumlah testosteron yang dihasilkan oleh testis kira-kira 90% dari seluruh produksi testosteron, sedang yang 10% dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Sebagian besar testosteron dalam tubuh berada dalam bentuk serum binding hormon (SBH). Hanya sekitar 2% testosteron dalam keadaan bebas dan testosteron inilah yang memegang peranan dalam proses terjadinya inisiasi pembesaran prostat. Testosteron bebas ini dengan pertolongan enzim 5-alfa reduktase akan dihidrolise menjadi dihidrotestosteron (DHT). Dalam bentuk DHT inilah yang kemudian akan diikat oleh reseptor yang berada di dalam sitoplasma sel prostat sehingga membentuk DHT-reseptor kompleks. DHT-reseptor kompleks ini kemudian akan masuk ke dalam inti sel dan akan mempengaruhi asam ribonukleat (RNA) untuk menyebabkan terjadinya sintesis protein
., sehingga dapat terjadi proliferasi sel (Taiwo SS et al 2006).
Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron- estrogen, hal ini disebabkan oleh karena berkurangnya produksi testosteron dan juga terjadinya konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposis di daerah perifer dengan pertolongan enzim aromatase. Estrogen inilah yang kemudian menyebabkan
.,
terjadinya hiperplasia stroma (Taiwo SS et al 2006).Dalam patogenesis terjadinya hiperplasia prostat jinak disebut pula pentingnya faktor interaksi stroma dan epitelial. Hal ini banyak dipengaruhi oleh growth factor.
basic fibroblast growth factor (b-GFGF) dapat menstimulasi sel stroma dan merupakan
faktor yang penting pada perkembangan prostat jinak. Konsentrasi b-FGF ini lebih besar ditemukan pada penderita hiperplasia prostat jinak dibanding pada orang normal karena bertambahnya umur (John et al., 2010).
2.2.4 Patologi
Hiperplasia prostat jinak seutuhnya merupakan proses hiperplasia, yaitu peningkatan jumlah sel. Stroma tersusun dari kolagen dan otot polos. Komponen histologis yang dominan dapat menentukan potensi responsivitas terhadap terapi medis.
Alpha-blockers dapat menghasilkan respon yang baik pada pasien hiperplasia prostat
jinak dengan komponen otot polos yang signifikan, sedangkan jika komponen sel epitel yang lebih dominan, kemungkinan respon akan lebih baik terhadap penghambat 5 α- reduktase. Pasien dengan komponen kolagen dalam stroma dapat tidak memberikan
et al., respon terhadap bentuk terapi medis apapun (Pondei K 2012).
Seiring berjalannya hiperplasia, lama-kelamaan zona luar dari prostat akan terdesak, membentuk suatu formasi yang disebut surgical capsule. Kapsul ini memisahkan zona transisi dari daerah perifer kelenjar dan berfungsi sebagai batas pembelahan untuk enukleasi prostat terbuka dalam prostatektomi sederhana (pembedahan yang mengangkat bagian prostat di sekitar uretra yang berjalan dari bagian
et al., perifer prostat dan kapsul prostat) (Pondei K 2012).
Pada taraf awal setelah tejadinya pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat, kemudian detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat. Sebagai akibatnya serat detrusor akan menjadi lebih tebal dan penonjolan serat detrusor ke dalam mukosa buli- buli akan terlihat sebagai balok-balok yang tampak apabila dilihat dari dalam vesika dengan sistoskopi. Mukosa vesika dapat menerobos ke luar diantara serat detrusor sehingga terbentuk tonjolan mukosa yang apabila kecil dinamakan sakula dan apabila besar dinamakan divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi yang apabila berlanjut detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya akan mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk kontraksi sehingga akan terjadi retensi urin
et al., total (Taiwo SS 2006).
2.2.5 Patofisiologi
Gejala hiperplasia prostat jinak dapat terkait dengan komponen obstruktif dari prostat atau respon sekunder dari kandung kemih terhadap resistensi saluran kemih (komponen iritatif). Gejala obstruktif disebabkan oleh karena detrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus, sedangkan gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada
et al.,
vesika sehingga vesika sering berkontraksi meskipun belum penuh ( Pondei K
et al., 2012 dan Taiwo SS 2006 ).
2.2.6 Diagnosis
Untuk mendiagnosis suatu BPH melalui :
a. Gambaran Klinis
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di luar saluran kemih.
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih sebelah bawah (LUTS) terdiri atas gejala obstruksi dan gejala iritatif seperti terlihat pada Tabel 2.1
Tabel 2.1 Gejala Obstruksi dan IritasiObstruksi Iritasi
- Hesitansi Frekuensi - -
Pancaran miksi lemah Nokturi
- Intermitensi Urgensi - -
Miksi tidak puas Disuri Menetes setelah miksi
- Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih sebelah bawah digunakan system scoring yaitu Skor Internasional Gejala Prostat atau I-PSS
(International Prostatic Symptom Score). System scoring I-PSS terdiri atas tujuh
pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi (LUTS) dan satu pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien. Dari skor I-PSS dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat yaitu, (1) ringan : skor 0-7, (2) sedang: skor 8-19, dan (3) berat: skor 20-35.
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas Gejala pada saluran kemih bagian atas yang muncul berupa gejala obstruksi antara lain nyeri pinggan, benjolan di pinggang, atau demam.
3. Gejala di luar saluran kemih.
Tabel 2.2 International Prostate Symptoms Score (IPSS)Selain 7 pertanyaan pada IPSS juga terdapat pertanyaan tunggal mengenai kualitas hidup (quality of life/QoL) yang terdiri atas 7 kemungkinan jawaban (John T
et al., 2010).
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup pasien. Bila LUTS dikaitkan dengan BPH, tingkat gangguan dari gejala atau yang mempengaruhi kualitas hidup harus dipertimbangkan disaat menentukan pilihan tatalaksana terbaik. Masalah medis yang lain mungkin dapat mempengaruhi tatalaksana BPH.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik, colok dubur, dan pemeriksaan neurologis terfokus harus dilakukan pada semua pasien. Ukuran serta konsistensi prostat harus diperhatikan walaupun tidak berkorelasi dengan tingkat keparahan gejala ataupun derajat obstruksi. Pada hiperplasia prostat jinak biasanya akan teraba pembesaran prostat yang elastis, berbatas tegas, serta permukaannya rata. Jika terdeteksi indurasi, dokter harus memikirkan kemungkinan kanker, serta pemeriksaan lebih lanjut perlu dilakukan (PSA,
transrectal ultrasound , dan biopsi). Pemeriksaan perut bawah seharusnya dilakukan
et al.,untuk memeriksa kandung kemih yang terdistensi ( Pondei K 2012 )
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium Sedimen urin diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi. Pemeriksaan kultur urine berguna dalam mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan. Selain itu diperiksa juga faal ginjal, kadar glukosa. Jika dicurigai adanya keganasan prostat perlu diperiksa kadar penanda tumor PSA (Purnomo, 2007).
2. Pencitraan Foto polos perut berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih, adanya batu/kalkulosa prostat dan kadangkala dapat menunjukkan bayangan buli-buli yang penuh terisi urin, yang merupakan tanda dari suatu retensi urin (Purnomo, 2007).
Pemeriksaan USG dianggap sebagai pemeriksaan yang baik untuk mendeteksi pembesaran prostat, tidak ada bahaya radiasi, dan juga relatif murah. Pemeriksaan USG dapat dilakukan secara trans abdominal atau transrectal (Trans Rectal Ultrasonography,
et al., et al., TRUS) ( John T 2010 dan Taiwo SS 2006 ).
2.3. Infeksi Saluran Kemih
Infeksi adalah invasi tubuh patogen atau mikroorganisme yang mampu menyebabkan sakit (Perry & Potter, 2005).
Infeksi adalah peristiwa masuk dan penggandaan mikroorganisme didalam tubuh penjamu (Linda Tietjen, 2004). Infeksi merupakan interaksi antara mikroorganisme dengan penjamu yang terjadi melalui kode transmisi kuman tertentu. Cara transmisi mikroorganisme dapat terjadi melalui darah, udara, dan dengan kontak langsung.
ISK merupakan respon inflamasi dari urothelium terhadap invasi bakteri yang biasanya berhubungan dengan bakteriuria dan piuria. Bakteriuria adalah adanya bakteri dalam urin , yang biasanya bebas dari bakteri .
Bakteriuria dapat bergejala dan tidak bergejala. Sedangkan p iuria adalah , adanya sel-sel
darah putih ( dalam urin umumnya menunjukkan infeksi dan respon inflamasi dari
leukosit) ,
urothelium untuk tanpa piuria umumnya menunjukkan kolonisasi bakteri
bakteri. Bakteriuria tanpa infeksi saluran kemih .Sedangkan piuria tanpa bakteriuria bisa dicurigai suatu tuberculosis, batu, atau kanker.
ISK adalah hasil dari interaksi antara pathogen dari saluran kemih dan host. Infeksi saluran kemih ditentukan oleh faktor-faktor virulensi bakteri, ukuran inokulum, dan ketidak cukupan mekanisme pertahanan host. Faktor-faktor ini juga berperan dalam menentukan tingkat akhir dari kerusakan pada saluran kemih. Rute infeksi saluran kemih dapat secara asending, limfatik, dan hematogen.
Manifestasi klinis dapat berupa gejala asimtomatik yang merupakan kolonisasi bakteri
dari kandung kemih berupa gejala iritasi seperti frekuensi dan urgensi yang terkait dengan
infeksi bakteri yang berhubungan dengan adanya demam , menggigil , dan nyeri pinggang , dan
bakteremia terkait dengan morbiditas berat termasuk sepsis dan kematian., Pada penderita BPH awalnya dinding otot kandung kemih menjadi hipertrofi dan menebal pada fase kompensasi. Pada fase ini otot detrusor akan berkontraksi lebih kuat.
Kontraksi detrusor yang terus-menerus akan mengakibatkan penebalan dan penonjolan serat detrusor ke dalam buli-buli yang disebut pula trabekulasi, bentuknya serupa balok- balok. Mukosa vesika dapat menerobos antara serat detrusor sehingga membentuk sakula dan bila semakin membesar disebut divertikel. Detrusor yang terus-menerus mengkompensasi pada suatu saat akan jatuh pada fase dekompensasi dimana otot detrusor tidak mampu berkontraksi lagi dan terjadi retesi urin total.
Retensi urin total yang terjadi meningkatkan tekanan intravesika. Ketika tekanan intravesika lebih tinggi daripada tekanan sfingter uretra, akan terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi urin yang berjalan kronik mengakibatkan refluks vesikouretral, yang semakin diteruskan ke atas mengakibatkan dilatasi ureter (hidroureter) dan sistem pelviokalises ginjal (hidronefrosis). Sisa urin dalam vesika dapat meningkatkan risiko terjadinya batu endapan dan infeksi. Pada umumnya, organisme patogen tidak akan berkembang biak dalam urin dan jarang menyebabkan
ISK (Cattell et al, 1974). Namun, flora normal pada urin akan berkembang biak dengan baik (Asscher et al, 1968). Faktor yang menentukan pertumbuhan bakteri pada urin adalah osmolalitas, konsentrasi urea, konsentrasi asam organik, dan pH.
2.3.1 Epidemiologi
Epidemiologi ISK dikelompokkan berdasarkan usia dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 2.3. Pada bayi baru lahir sampai usia 1 tahun, bakteriuria dijumpai dalam 2,7% dari anak laki-laki dan 0,7% pada anak perempuan (Wettergren, Jodal, dan Jonasson, 1985). Kejadian ISK pada laki-laki yang tidak disunat lebih tinggi dari pada laki-laki yang disunat (1,12 % dibandingkan dengan 0,11 % ) (Wiswell dan Roscelli, 1986). Pada anak-anak usia 1 sampai 5 tahun, kejadian bakteriuria pada anak perempuan meningkat menjadi 4,5 %, sementara itu penurunan pada anak laki-laki menjadi 0,5 % (Randolph dan Greenfield, 1964). Sebagian besar ISK pada anak kurang dari 5 tahun biasanya berhubungan dengan kelainan congenital pada saluran kemih, seperti refluks vesicoureteral atau obstruksi. Insiden bakteriuria tetap relatif konstan pada anak usia 6- 15 tahun . Namun, ISK pada anak-anak lebih mungkin dihubungkan dengan kelainan fungsional saluran kemih, seperti gangguan berkemih. Selama masa remaja, kejadian
ISK meningkat secara signifikan ( 20% ) pada wanita muda, dan tetap konstan pada pria muda ( Sanford, 1975).
Pada pria dengan prostatic hipertrofi / obstruksi, kateterisasi, dan pembedahan merupakan faktor risiko yang berkaitan untuk terjadinya infeksi. Untuk pasien yang lebih tua dari 65 tahun, kejadian ISK biasanya terus meningkat. Pada usia kurang dari 1 tahun dan yang lebih tua dari 65 tahun, morbiditas dan mortalitas dari ISK adalah yang terbesar ( Shortliffe dan McCue, 2002) .
Tabel.2.3 Epidemiologi Genitourinarius
Pondei dkk melakukan penelitian terhadap pasien dengan infeksi saluran kemih di Nigeria. Didapatkan bahwa kejadian infeksi saluran kemih terjadi sebesar 41,6% pada pasien dengan gangguan patologi ginjal, 39% pada wanita hamil, 16% pada pasien
et al., dengan pembesaran prostat ( Pondei K 2012 ).
Bakteriuria dapat terjadi pada penderita retensi urin karena BPH sebelum pemasangan kateter, hal ini dapat disebabkan karena terjadi urin statis yang berlarut- larut, apalagi pada penderita dengan riwayat pernah pakai kateter berulang. Furqan melaporkan bakteriuria sudah terjadi sebelum pakai kateter pada 12,12% dari kelompok yang baru pertama kali pakai keteter, dan 38,46% dari kelompok yang berulang pakai kateter. Peningkatan bakteriuria yang bermakna ditemukan setelah pemakaian kateter baik pada pemakaian kateter pertama kali atau berulang. Sesuai dengan literatur bahwa pertumbuhan bakteri sudah terjadi dalam 24 jam pemakaian kateter menetap, dan terjadi peningkatan bakteriuria 10% setiap harinya pada perawatan tertutup ( Furqan, 2003 ) Kuman penyebab bakteriuria karena pemakaian kateter menetap dari penelitian ini banyak disebabkan oleh E.coli, kemudian dikuti oleh Staphylococcus aureus, Klebsiella
sp , Citrobacter sp, Enterococcus sp dan Proteus sp.
Pondai dkk melaporkan dari total 237 (37,38%) pasien yang kultur kumannya tumbuh, sebanyak 195 (82,28%) adalah gram negatif. Bakteri gram negatif merupakan
et al., bakteri yang dominan sebagai penyebab infeksi saluran kemih ( Pondei K 2012 ). Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini yang mana ditemukan 100 % adalah gram
et al., negatif. E.Coli merupakan jenis bakteri yang sering dijumpai ( Pondei K 2012 ).
Hal yang sama juga didapatkan pada penelitian ini bakteri yang paling banyak adalah
Escherichia Coli (46.2%) serta yang paling sedikit ditemukan adalah Klebsiella
Pneumonia (23.1%). Hasil ini sama dengan hasil kepustakaan Barat, dimana di negara
maju infeksi saluran kemih 48,6 % adalah E.coli, dan pada penelitian ini memperoleh hasil sekitar 46,2%. Dari penelitian lain sebelumnya ada yang melaporkan kuman penyebab bakteriuria terbanyak bukan oleh E. coli, ini mungkin perbedaan tempat dan perlakuan terhadap penderita misalnya penderita yang dirawat inap di rumah sakit penyebab bakteriuria sering oleh kuman nosokomial (pseudomonas) dan juga kerap kali berkaitan dengan hyegine dan sanitasi penderita dalam merawat kebersihan kateter (
et al., Taiwo SS 2006 ).
Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Taiwo SS dan Aderounmu AOA, meneliti kuman yang diakibatkan oleh pemasangan kateter. Dari total 122 pasien, sebanyak 76 (62,3%) diakibatkan oleh pembesaran prostat jinak. Kuman yang paling banyak ditemukan adalah E.Coli dan Pseudomonas Aerogenosa masing-masing 20,6%. Berdasarkan penelitian ini, pada pasien infeksi saluran kemih sebesar 82.05% sensitif terhadap Imipenem yang kemudian diikuti dengan Amikacin (74.35%). Namun pada
et al.,
penelitian yang dilakukan Pondei anti mokroba yang sensitif dan tepat untuk diberikan adalah nitrofurantoin.
Pondei dkk melaporkan bahwa bakteri gram negatif lebih resisten terhadap cloxacilin dan amoxicillin-clavulanat. E. Coli, K. Pneumoniae, dan P. Mirabilis lebih sensitive terhadap nitrofurantoin dan kurang sensitive terhadap cloxacilin dan amoxicillin-clavulanat. Staphilokokus lebih sensitive terhadap ceftazidim dan kurang sensitive terhadap cloxacilin, lincomicin dan oxacilin. Selain itu pondei dkk juga melaporkan bahwa tidak ada pengaruh antara usia dan jenis kelamin terhadap
et al., sensitivitas antibiotika pada infeksi saluran kemih (Pondei K 2012).
2.3.2 Cara Pengambilan Sampel
Dalam keadaan normal urine bersifat steril. Pada keadaan infeksi saluran kemih (ISK), akan ditemukan bakteri dalam jumlah bermakna di dalam urine. Penyebab terbanyak ISK adalah bakteri enterik terutama Escherichia coli. Pada ± 10 % penderita ISK dapat ditemukan 2 jenis bakteri yang keduanya mungkin merupakan penyebab. Jika ditemukan 3 jenis bakteri atau lebih, hal ini mungkin disebabkan oleh cara pengambilan dan pengolahan bahan urine yang tidak sempurna. Walaupun demikian hal ini dapat terjadi pada penderita ISK yang menggunakan kateter menetap. Pemeriksaan bakteriologik terhadap urine bertujuan untuk menentukan diagnosis bakteriologik ISK.
Bahan urin utuk pemeriksaan harus segar dan sebaiknya diambil pada pagi hari. Bahan urin dapat diambil dengan cara punksi supra pubik (suprapubic puncture=SPP), dari kateter dan urin porsi tengah (midstream urine). Bahan urin yang paling mudah diperoleh adalah urin porsi tengah dan ditampung dengan wadah bermulut lebar dan steril (Roehrborn CG et al., 2010).
Sampel yang diambil adalah urin porsi tengah. Pria yang tidak dikhitan harus menarik prepusiumnya, membersihkan ujung penis dengan larutan antiseptik, dan tetap menarik prepusiumnya selama berkemih. Pasien pria mulai berkemih ke dalam toilet, kemudian menempatkan wadah steril dengan mulut lebar di bawah penisnya untuk mengumpulkan sampel urin porsi tengah. Cara ini mencegah kontaminasi spesimen urin dari organisme kulit dan urethra.
Bila perlu semua sampel urin harus diperiksa dalam kurun waktu 1 jam setelah pengumpulan dan ditempatkan untuk kultur dan sensitivitas jika ada indikasi. Jika urin dibiarkan pada suhu kamar dalam waktu yang lebih lama, bakteri yang muncul akan tumbuh lebih cepat, pH dapat berubah, dan sel-sel darah merah dan putih dapat tidak terindikasi. Jika tidak mungkin untuk memeriksa urin dengan segera, sampel harus
O
diletakkan di dalam pendingin pada suhu 5 C.
2.3.3 Pengambilan, Penyimpanan Dan Pengiriman Spesimen
A. Tujuan Mendapatkan spesimen urine yang memenuhi persyaratan untuk pemeriksaan bakteriologik.
B. Waktu Pengambilan Sebaiknya, sebelum pemberian antimikroba atau 48 sampai 72 jam setelah pemberian antimikroba terakhir.
Disarankan urine pagi pertama ( pada malam hari tidak buang air kecil ). Bila hal ini tidak memungkinkan maka urine diambil 2 jam setelah buang air kecil terakhir (Roehrborn CG et al., 2010).
C. Peralatan dan Bahan
1. Peralatan
a. Semprit
b. Wadah steril dari gelas atau plastik bermulut lebar bertutup rapat, volume lebih kurang 50 ml.
2. Bahan
a. Air hangat
b. Alkohol 70 %
c. Handuk
d. Kasa steril
e. Povidon Iodine 10 %
f. Sabun
D. Prosedur Pengambilan
1. Urine Porsi Tengah
a. Penderita harus mencuci tangan memakai sabun
b. Jika tidak disunat tarik kulit preputium kebelakang, keluarkan urin, aliran yang pertama dibuang, aliran urin selanjutnya ditampung dalam wadah yang sudah disediakan.
c. Wadah ditutup Wadah ditutup rapat dan segera dikirimkan ke laboratorium. Pada penderita yang tidak mampu melakukan sendiri, hal ini dilakukan dengan bantuan perawat.
E. Pemberian Identitas
1. Formulir permintaan pemeriksaan surat pengantar / formulir permintaan pemeriksaan laboratorium sebaiknya memuat secara lengkap : a.
Tanggal permintaan b. Tanggal dan jam pengambilan spesimen c. Identitas pasien ( nama, umur, jenis kelamin, alamat, nomor rekam medik ) d.
Identitas pengirim (nama, alamat/ruangan, nomor telpon) e. Identitas spesimen ( jenis, volume, lokasi pengambilan ) f. Pemeriksaan laboratorium yang diminta g.
Nama pengambil spesimen
h. Transpor medial pengawet yang digunakan i. Keterangan klinis : diagnosis atau rawatan singkat penyakit, riwayat pengobatan
2. Label Wadah urine diberi lebel yang memuat :
a. Tanggal pengambilan spesimen b Identitas pasien ( nama, umur, jenis kelamin, nomor rekam medik ).
c. Jenis spesimen
F. Penyimpanan Spesimen Semua spesimen urine harus sudah sampai di laboratorium dalam waktu 1 jam setelah pengambilan. Jika hal ini tidak mungkin dilaksanakan, spesimen harus disimpan di lemari es ( 2°-8°C ) segera setelah pengambilan, selanjutnya harus sudah diproses di laboratorium dalam waktu 18 jam.
G. Pengiriman Spesimen Pengiriman spesimen dilakukan dengan menggunakan "cool box" (
° 2-8 C ) Kecuali jika waktu perjalanan yang diperlukan kurang dari 1 jam.
2.3.4 Hitung Kuman, Isolasi dan Identifikasi
A. Tujuan Hitung kuman bertujuan untuk menilai apakah jumlah kuman yang tumbuh bermakna atau tidak untuk ISK. Sedangkan isolasi dan identifikasi bertujuan untuk mengetahui bakteri penyebab ISK.
B. Peralatan
1. Bunsen burner
2. Cawan petri
3. Inkubator
4. Kaca Objek
5. Kaca Penutup
6. Mikroskop binokuler
7. Penghitung koloni
- 3
8. Sengkelit 10
C. Media dan Reagen
1. Agar Darah (AD)
2. Agar Mac Conkey (MC)
3. Antesera spesifik
4. Brain Heart Infusion (BHI) Agar
5. NaCl fisiologis
6. Pewarnaan gram
7. Reagen uji biokimia
D. Prosedur pemeriksaan
1. Mikroskopik
a. Urine disentrifugasi 3000 rpm selama 5 - 10 menit b.
Supernatan dibuang c. Teteskan endapan pada 2 kaca objek d. Tutup kaca objek 1 dengan kaca penutup
e. Lihat di bawah mikroskop dengan pembesaran 400 kali
f. Hitung jumlah leukosit per lapang pandang
Cara I
2. Isolasi, hitung koloni dan identifikasi
g. Terhadap sedimen pada kaca objek 2, lakukan pewarnaan gram Spesimen urine yang tidak disentrifuge :
a. Masukkan dalarn Brain Heart Infusion (BHI) dengan perbandingan 1: 9.
b. Lakukan isolasi pada Agar Darah dan Agar Mac Conkey dengan cara 1 / cara 2.
1.
- 3 2.
1. Dengan menggunakan sengkelit (volume 10
Khusus inokulasi pada Agar Darah dilakukan dengan cara : ), spesimen urine yang tidak disentrifuge. diinokulasikan pada Agar Darah dan
- 3 b.
°
Masukkan masing-masing 1 tetes (50 µI) spesimen tersebut ke dalam Agar Darah dan Agar Mac Conkey
1. Buat pengenceran urine, dengan mencampur 0,2 ml urine dengan 9,8 ml NaC1 fisiologis steril Cara II 2.
2.
6. Kuman Gram (+) kokus dan koloni Gram(-) yang tumbuh pada Agar Darah dilanjutkan dengan uji identifikasi.
5.Dari koloni yang tumbuh pada Agar Darah (setelah hitung koloni) dan Agar Mac Conkey dilakukan pewarnaan Gram.
4. Hitung koloni yang tumbuh pada Agar C selama 24 jam
37
Agar Mac Conkey.
3. Inkubasi Agar Darah dan Agar Mac Conkey pada suhu 35 -
Kemudian buat goresan tegak lurus terhadap goresan terakhir sampai media penanaman penuh.
Selanjutnya dibuat goresan sepanjang goresan pertama, dengan arah tegak lurus terhadap goresan pertama.
Goreskan secara menyilang di bagian tengah media Agar Darah. ml) urine yang tidak disentrifus.
Ambil satu sengkelit (volume 10
a.
c.
3. Aduk rata dengan cara menggoyangkan ke kanan dan ke kiri supaya urine tercampur rata dengan perbenihan
4. Inkubasi pada suhu 35°C - 37°C selama 24 jam 5.
Hitung koloni yang tumbuh pada Agar 6. Buat sediaan Gram dari koloni yang tumbuh pada Agar Darah
(setelah hitung koloni) dan Agar Mac Conkey 7. Lanjutkan dengan uji identifikasi seperti cara I
3. Pembacaan dan interpretasi hasil
a. Mikroskopis Hitung jumlah lekosit yang ditemukan. Untuk laki-laki laporkan bila ditemukan lekosit > 2/LPB, sedangkan untuk wanita bila > 5/LPB, denaan catatan hasil lengkap hitung kuman isolasi dan identifikasi menyusul.
b. Hitung Kuman
1. Pembacaan hasil : Untuk cara I Jumlah kuman dalam 1 ml urine adalah jumlah koloni yang
- 3
tumbuh dikalikan 1000 (karena volume ose yang dipakai 10 ml). Untuk cara II Jumlah kuman dalam 50 µ l urine adalah jumlah Y koloni yang turnbuh dikalikan dengan pengenceran ( 50 X). Dengan demikian jumlah kuman dalam 1 ml urine = 20 Y.
2. Intepretasi Hitung Kuman
a. Kategori 1 :
4 Jika didapatkan jumlah kuman kurang dari 10 per ml urine : o
Pada urine porsi tengah diinterpretasikan o kemungkinan tidak ada infeksi saluran kemih. Pada urine pungsi suprapubik atau kateter, pemeriksaan dilanjutkan dengan isolasi dan identifikasi serta uji kepekaan.
- 10
c. Kategori 3 : Pada urine porsi tengah, jika jumlah kuman lebih dari
b. Kategori 2 : Jika jumlah kuman antara 10
4
5 Jika pasien menunjukkan gejala infeksi saluran
kemih, pemeriksaan dilanjutkan dengan identifikasi dan uji kepekaan. Jumlah kuman pada batas ini, disertai dengan lekosituri, sangat dicurigai adanya infeksi. Jika meragukan, mintakan urine kedua untuk pemeriksaan ulang. per ml urine dan pasien tidak menunjukkan keluhan, mintakan urine kedua dan hitung kuman diulangi.
5 Kategori ini tidak berlaku bagi urine kateter dan urine pungsi supra- pubik.
10
per ml urine, pemeriksaan dilanjutkan dengan isolasi dan identifikasi serta uji kepekaan, meskipun penderita tidak menunjukkan gejala.
4. Pencatatan dan pelaporan Setelah hasil ditemukan lengkap, dicatat dalam buku registrasi laboratorium dan dilaporkan pada pengiriman dalam formulir hasil pemeriksaan. Rekomendasi umum untuk pelaporan hitung kuman pada urine porsi tengah :
a. Kategori 1 :
10
4
per ml urine dilaporkan kemungkinan tidak ada infeksi suprapubik atau kateter, jumlah kuman ini harus dilaporkan bersama hasil identifikasi dan uji kepekaan.
b.
Jika jumlah kuman antara 10 Kategori 2 :
4
5
- 10
per ml urine dan pasien menunjukkan gejala infeksi saluran kemih, laporkan bersama hasil identifikasi dan uji kepekaan serta ada tidaknya leukosituri.
Jika jumlah kuman kurang dari c. Kategori 3 :
5 Jika jumlah lebih dari 10 per ml urine, dilaporkan bersama hasil identifikasi dan uji kepekaan.
2.3.5 Urinalisa
Untuk pasien dengan gejala pemeriksaan urinalisis mikroskopik untuk bakteriuria, piuria, dan hematuria harus dilakukan. Urinalisis dilakukan untuk mengidentifikasi bakteri dan leukosit dan sebagai diagnosis dugaan ISK. Biasanya ISK, ditemukan leukosit urin dengan sedimen > 5 / LPB.
2.3.6 Kultur Urin Standar baku untuk diagnosa
ISK adalah kultur urin secara kuantitatif . Urin harus
dikumpulkan dalam wadah steril dan segera dikultur . Bila tidak langsung dikultur, urin dapat
disimpan dalam lemari es sampai 24 jam Sampel tersebut kemudian diencerkan dan sebar di
. di
piring Setiap bakteri akan membentuk koloni tunggal pada piring Jumlah koloni
kultur..
dihitung dan disesuaikan per mililiter urin ( CFU/ mL ) ( Stamm et al , 1982 ). Bakteriuria
5
mikroskopis ditemukan lebih dari 90% dari infeksi dengan jumlah > 10 koloni (CFU) /mililiter urin dan ini merupakan temuan yang sangat spesifik (Stamm, 1982; Jenkins et al,1986).