Penguatatan Masyarakat sipil dari demokr

PENGUATAN MASYARAKAT SIPIL TRANSNASIONAL DAN DEMOKRATISASI DI
INDONESIA
Febryna Mulya1
[email protected]
1. PENDAHULUAN
Demokrasi merupakan sistem politik pertama yang dipilih oleh Indonesia sebagai jalan
utama membangun negara. Hal ini termuat dalam konstitusi 1945, yang mana Indonesia sejak
merdeka sudah mencanangkan demokrasi dan cendrung merupakan bentuk dari demokrasisosialisme. Demokrasi sosialisme ini dikenal dengan demokrasi pancasila. Demokrasi Pancasila
adalah paham demokrasi yang bersumber kepada kepribadian dan filsafat bangsa Indonesia yang
perwujudannya seperti tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Dasar dari Demokrasi Pancasila
adalah kedaulatan Rakyat (Pembukaan UUD 45) Negara yang berkedaulatan - Pasal 1 ayat (2)
UUD 1945.2 Maknanya, keikutsertaan rakyat dalam kehidupan bermasyarakat dan kehidupan
bernegara yang ditentukan peraturan perundang-undangan.
Dalam implementasinya, cara berdemokrasi di Indonesia sejak proklamasi tersebut selalu
mengalami revisi demi revisi namun selalu tidak “substansial”. Berkutik pada proses procedural
kekuasaan, how to get what, where and how. Sehingga, banyak kalangan ilmuan sosial-politik
Indonesia mengatakan bahwa kualitas demokrasi di Indonesia tidak kunjung memudahkan
aktualisasi warga negara (citizen) pada proses partisipasi politik, baik memilih dan dipilih
ataupun terlibat dalam proses regulasi kebijakan sosial-politik di masyarakat. 3 Dengan demikian,
banyak wacana baru muncul terkait demokrasi deliberative, dimana demokrasi yang
mengupayakan tatanan sosial politik agar sesuai dengan kebutuhan rakyat (citizen) dalam


1 Mahasiswa pada Program Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Jakarta.
2 Kitab Amandemen UUD 1945
3 Pengakuan internasional bahwa Indonesia telah menjadi negara demokrasi terbesar ketiga didunia setelah berhasil
melakukan Pemilu 2004, tetapi pada waktu yang bersamaan jumlah orang miskin di Indonesia menurut versi BPS
sebanyak 39,05 juta jiwa pada 2006. Angka kemiskinan versi BPS menunjukkan peningkatan jumlah orang miskin
di Indonesia dari 35,10 juta orang (Februari 2005) menjadi 39,05 juta orang (Maret 2006). Penentuan garis
kemiskinan versi BPS berdasarkan pada pola pemenuhan konsumsi minimum 2100 kalori. Bila menggunakan garis
kemiskinan internasional berdasarkan PPP (purchasing power parity) US$2 maka jumlah orang miskin di Indonesia
melonjak drastis menjadi 108 juta orang. Berkaitan dengan kemiskinan, angka kasus busung lapar meningkat dari
1,67 juta anak (2004) menjadi 2,3 juta anak (2006) . Dalam Kompas, 16 Desember 2006

1

berpartisipasi sesuai konteks atau nilai dasar demokrasi yakni partisipasi, kebebasan dan
kesetaraan, ketertarikan pada kebaikan bersama, keinginan untuk melalukan voting.4
Demokrasi Indonesia memasuki babak baru ketika runtuhnya rezim demokrasisentralistik yang dibangun oleh Soeharto pada Mei 1998 melalui gerakan reformasi. Demokrasi
melalui reformasi 1998 sampai saat ini masih bertumpu pada demokrasi yang berkaitan erat
dengan persoalan politik atau dikenal dengan demokrasi procedural. 5 Pekerjaan rumah terbesar
setelah 16 tahun demokrasi berjalan, adalah reformasi pada tatanan sosial dimasyarakat.

Wujud nyata dari tidak tereformasinya tatanan sosial di Indonesia dapat terlihat jelas
melalui konflik antar sub etnis, antar penganut ajaran agama dan sub ajaran agama dan sampai
ketatanan perbedaan pilihan politik.6 Dalam The Runaway World, Anthony Giddens
mengemukakan bahwa apa yang dibutuhkan di negara demokratis adalah pendalaman demokrasi
(a deepening democracy) itu sendiri. Giddens menyebutnya sebagai demokratisasi atas
demokrasi (democratizing democracy). Namun, demokrasi dewasa ini juga harus bersifat
transnasional, karena semakin kaburnya batas territorial warganegara ( citizen) akibat dari
globalisasi. Menurut Giddens, pendalaman demokrasi dibutuhkan karena mekanisme lama
pemerintahan tidak berjalan dalam sebuah masyarakat di mana warga negaranya hidup dalam
informasi yang sama dengan yang berkuasa.7
Tidak terlepas dari perjalanan demokrasi di Indonesia yang merupakan negara
multikultural, persoalan menjalankan demokrasi ini merupakan tantangan sekaligus peluang
Indonesia menuju tujuan awalnya yang tertuang di UUD 1945 sebagai negara walfare state.
Tentunya ini tidak saja dapat berupa dorongan dan tuntutan dari internal Indonesia tetapi juga
dari eksternal berupa gerakan sosial sipil baru yang melewati batas negara atau transnasional
akibat dari globalisasi saat ini.
Pesoalan baru tersebut misalnya diadakannya ASEAN Economic Community (AEC) atau
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan diberlakukan pada tanggal 31 Desember 2015
4 David Emanuel Gray, Sosial Choice in Deliberative Democracy, Tesis pada Carnegia Mellon University.
Departemen of Philosophy, January 2004, revised Agustust 2005. Hlm 46

5 Demokrasi procedural adalah demokrasi yang mengutamakan terbentuknya tata kelola urusan politik. Atau sistem
dimana rakyat mempunyai peluang untuk menerima dan menolak pemimpin mereka melalui proses pemilu
kompetitif. Dalam Joseph Schumpeter. 1947. Capitalism, Socialism, And Democracy. New York : Harper and
Brother. Lihat Robert Dahl dalam dilemmas of pluralist democracy : Autonomy vs control. yale University press
hlm. 10-11
6 Boni hargens, 2006, demokrasi radikal : memahami paradox demokrasi modern dalam perspektif postmarxisostmodernis ernesto laclau dan chantal moufee. LKis : Yogyakarta hal 42
7 Giddens, Anthony, 2002. The Runaway World. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hlm 74-75

2

atau 1 Januari 2016. Ini merupakan salah satu gerbang transnasional baru yang akan dihadapi
oleh demokrasi Indonesia. Transnasional merupakan tantangan dan peluang baru bagi perjalanan
demokrasi Indonesia khususnya dalam memajukan masyarakat sipilnya. Bila dahulu, batas-batas
yang berkaitan dengan rasa individu dan teritorinya mungkin masih dapat dilihat dengan batasanbatasan formal seperti keberadaan rumah tinggal hingga adanya negara, pada awal abad ke 21
ini, batas-batas tadi tidak lagi menjadi batas yang cukup kuat menahan individu atau bahkan
sejumlah besar manusia untuk tidak terlibat (berhubungan) dengan individu atau sejumlah besar
orang lain di suatu tempat dan bahkan di beberapa tempat lain di dunia ini.8.
Sehingga, dalam Transnational Democracy karya James Anderson9, diulas tentang
berbagai, pentingnya demokrasi tidak semata membaca internal negara tetapi dapat menjawab
tantangan global diantaranya adalah meningkatnya penyeberangan perbatasan (negara),

terganggunya (disrupted) ruang politik lama, diciptakannya ruang-ruang (kehidupan sosial) baru,
dan terjadinya 'defisit demokrasi' secara umum atau global. Berbagai karakter dan bentuk
perubahan global telah mengancam berbagai karakter dan bentuk representasi demokratis dan
akuntabilitas konvensional. Itu semua berdampak pada terbukanya peluang kebutuhan baru dan
kemungkinan demokratisasi di luar wilayah negara secara nasional. Hal itu berlanjut dengan
munculnya berbagai pertanyaan-pertanyaan yang menantang tentang masa depan demokrasi
nasional dan kebutuhan untuk bentuk-bentuk baru demokrasi di arena transnasional. Oleh sebeb
itu, Vertovec (1999) dan Pries (2001) menyatakan pentingnya untuk mempertimbangkan kembali
kekuatan epistemogis dan nilai atas konsep-konsep nasionalisme, transnasionalisme dan
globalisasi10.
Berdasarkan persoalan terhadap tantangan dan peluang demokrasi Indonesia saat ini,
wacana demokrasi tidak lagi berbicara tentang human being tetapi human right dan salah satu
faktor utama yang yang harus diperkuat dan diperhatikan adalah masyarakat sipil. Sehingga
dengan demikian, peneliti membatasi persoalan ini pada bagaimana mengupayakan masyarakat
sipil yang kuat menuju transnasional dan demokrasi di Indonesia?

8 lihat David Hield, 1997, democracy and globalization dalam Nuri Suseno, 2013. Kewarganegaraan, Tafsir Tradisi
dan Isu-isu Kontemporer. Departemen Ilmu Politik : FISIP UI hal. 112

9 James Anderson (2002), Transnational Democracy, Political Spaces and Border Crossings, New York: Routledge,

h. 1.
10 Andreea Lazăr (2011), Transnational Migration Studie,. Reframing Sociological, Journal of Comparative
Research in Anthropology and Sociology, Volume 2, Number 2, Fall 2011, ISSN 2068 – 0317.

3

1. TINJAUAN KEPUSTAKAAN.
Dalam

memahami

memajukan

demokrasi,

melalui

masyarakat

sipil


dan

transnasionalisme merupakan persoalan sosial dimasyarakat yang menjadi tantangan ( nation
destroying) sekaligus peluang ( nation building) untuk memajukan negara. Ini kemudian menjadi
dasar dari perkembangan demokrasi di abad ke 21 saat ini. Dimana demokrasi untuk
mewujudkan human being to human right. Sehingga yang menjadi dasar pijakan untuk
menjawab persoalan masyarakat sipil ini peneliti menggunakan teori demokrasi deliberative.
Pentingnya demokrasi deliberative dalam membangun demokrasi di Indonesia guna
membangun masyarakat sipil dan transnasionalisme tidak terlepas dari nilai dasar demokrasi
yakni “ kesejahteraan sosial dan keadilan sosial”. Dan menjadi sebuah kajian tertua dan utama di
politik yakni “ kontrak sosial” yang diperkenalkan oleh John Locke dan J.J. Rousoue. Artinya,
sistem politik yang selalu akan kembali pada wacana dasarnya yakni penguatan sosial
masyarakat.
Bagi John Rawls dalam karyanya The Political Liberalism, demokrasi deliberative
adalah mendeklarasikan bahwa tujuan filsafat politik dalam demokrasi konstitusional adalah
mengajukan sebuah konsep politik keadilan yang tidak hanya memberikan dasar kehidupan
publik yang fair untuk justifikasi sosial politik dan institusi ekonomi, melainkan juga
memastikan adanya stabilitas dari satu generasi ke generasi berikutnya. 11 Namun konsep
demokrasi ini meletakan publik pada eksklusif dan konsesus koersif sehingga dalam the

paradoxs democrasi karya Chatal Mouffe demokrasi idealitas Rawls adalah ilusi bagi publik.
Sehingga bagi Mouffe dalam memajukan demokrasi apalagi pada negara pluralisme sangat
dibutuhkan inklusi publik dan pembentukan kesatuan sosial. Bagi Rawls sendiri, kesatuan sosial
itu dipastikan oleh konsensus silang yang didasarkan pada konsep politik yang waras mengenai
keadilan.12
Jurgen Habermas sendiri menggaris bawahi bahwa sangat mungkin deliberasi politik dan
transformasinya ke dalam struktur akan membentuk masyarakat yang total dan memintanya
sebagai pengganti bagi persinggungan antara tujuan deliberasi pada sebuah keputusan di mana
memperlukan tempat yang disebut justifikasi kontekstual yang diatur oleh prosedur demokrasi
yang inkonvensional dan tidak terarah. Di sini pembentukan opini publik berada dalam pencarian

11 John Rawls, 1993. Political liberalism, New York : Columbia University Press, Lecture V
12 Chantal Mouffe, 2000, The Democratic Paradox, Verso Landon : New York hlm. 3-44

4

kontekstual (context of discovery).13Dalam demokrasi deliberatif, negara tidak lagi menentukan
hukum dan kebijakan-kebijakan politik lainnya dalam ruang tertutup yang nyaman (splendid
isolation), tetapi masyarakat sipil melalui media dan organisasi yang vokal memainkan pengaruh
yang sangat signifikan dalam proses pembentukan hukum dan kebijakan politik itu. Medan

publik menjadi arena dimana perundangan dipersiapkan dan diarahkan secara diskursif. Disinilah
titik temu bahwa dalam demokrasi deliberatif sangat diperlukan inklusi sosial serta keadilan
sosial itu sendiri.
Tentunya, perdebatan konsep-konsep demokrasi deliberative ini berangkat dari
paradigma pemikir tradisi komunitarian yang mempercayai adanya hak kolektif bagi citizen. Hal
ini juga dituangkan dalam pemikiran Will Kymclika 14 Politics in the Vernacular, bahwa dalam
negara demokrasi, inklusi sosial harus diwujudkan melalui pengakuan terhadap hak baik
minoritas maupun mayoritas.
Dalam demokrasi deliberative, penekannan pada civil society sangat utama. Konsep civil
society sendiri menurut pemikiran Immanuel Kant dalam buku Menuju Perdamaian Abadi:
Sebuah Konsep Filosofis (Mizan: 2005), civil society adalah suatu masyarakat atau kelompok
yang otonom, mandiri, dan lepas dari pengaruh pasar dan negara. Dia memiliki hak dan ruang
yang boleh menentukan nasibnya sendiri. Menurut penafsiran Kant, civil society itu terjadi kalau
ada kebebasan berekspresi di dalam warga negara. Civil society itu terbentuk kalau, pertama,
terjadi benturan kepentingan, dan kedua, kebebasan atas benturan kepentingan. Jangan sampai
benturan kepentingan itu menjadi sesuatu yang saru (tabu). Jadi wajar jika masing-masing orang
memiliki kepentingan yang berbeda.
Ini mempertegas bahwa dalam demokrasi deliberate, penguatan masyrakat sipil sangat
diperlukan sehingga transnasionalisme dapat dihadapi tanpa ketakutan untuk menjadi nation
destroying.

Transnasionalisme dapat didefinisikan secara umum berpusat pada pertukaranpertukaran, koneksi-koneksi dan praktik-praktik lintas batas (negara bangsa), sehingga hal
tersebut mentransformasikan ruang nasional sebagai titik acuan utama untuk berbagai kegiatan
13 Salah satu karya Habermas yang banyak mengupas tentang demokrasi deliberatif adalah Faktizitas und Geltung,
yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris : Between Facts and Norms : Contribution to a Discourse Theory of Law
and Democracy. Buku telah menjadi bukti komitmen Habermas terhadap negara hukum demokratis. Faktizitas und
Geltung lahir dari asumsi Habermas bahwa “negara hukum tidak dapat diperoleh maupun dipertahankan tanpa
demokrasi radikal”. Jurgen Habermas. 1997. Betweeen facts and Norms, terj. William Rehg. Inggris : Cambridge,
hlm. 304
14 Will Kymlicka, Politics In The Vernacular : Nationalism, Multiculturalism and Citizenship. 2001 hal. 232

5

dan identitas manusia.15 Steven Vertovec dalam karyanya Transnationalism (2009) membahas
transnasionalisme terutama terkait dengan migrasi dan transformasi yang mampu merubah
formasi sosial. Kajiannya membentang isu-isu transformasi sosio-kultur, politik, ekonomi, dan
religi. Transnasionalisme sebagai pemikiran dan tindakan sepertinya semakin menegaskan
tentang dunia yang saling terhubung ketika para migrant juga saling terhubung16.
Transnasionalisme menciptakan tingkat yang lebih besar dari hubungan antara individu,
masyarakat dan masyarakat lintas batas; membawa perubahan dalam lanskap sosial, budaya,
ekonomi dan politik masyarakat asal dan tujuan. Dengan demikian maka tantangan bagi para

pembuat kebijakan di sebuah negara bangsa adalah kemauan dan kemampuan untuk melihat dan
memperhatikan melampaui batas-batas negara bangsa mereka dalam menganalisis ruang lingkup,
tujuan dan dampak dari kebijakan mereka. Meskipun di sisi lain, koneksi lintas batas antara
masyarakat akibat migrasi memerlukan perumusan dan pelaksanaan intervensi kebijakan yang
tepat oleh (pemerintah sebuah) negara bangsa17.
Singkatnya, transnasionalisme sedikit atau banyak, mempengaruhi posisi dan peran
negara –dalam hal ini tentu saja pemerintahan khususnya- dan juga kedaulatan negara itu sendiri.
Sehingga jika demokrasi atau non demokrasi dipilih menjadi system politik dan pemerintahan,
maka juga akan terpengaruh. Secara pemikiran maupun tindakan-tindakan dalam demokratisasi
maupun perlawanan terhadap demokrasi yang dilakukan oleh sebuah rezim kekuasaan di sebuah
negara.
2. METODE PENELITIAN
15 Beberapa statemen yang mencoba mendefiniskan transnasionalisme diantaranya adalah: (1) Identitas
transnasional / transnasionalisme adalah proses di mana orang membangun dan memelihara hubungan sosial budaya
lintas batas geopolitik (IOM, 2008, World Migration: Managing Labour Mobility in the Evolving Global Economy,
h. 500). (2) Satu set berkelanjutan jarak jauh, koneksi-koneksi lintas batas (Vertovec, S. 2004, “Trends and impacts
of transnationalism”, Centre on Migration, Policy and Society Working Paper No. 3, University of Oxford, h. 3) . (3)
Praktik-praktik dan relasi-relasi yang menghubungkan para migran dan anak-anak mereka dengan negari asal, di
mana praktik-praktik tersebut memiliki makna signifikan dan secara teratur teramati (Smith, R. 2006 in Levitt, P.
and Jaworsky, N. 2007, “Transnational migration studies: past developments and future trends”, Annual Review of

Sociology 33: h. 132 (129-156)). (4) Transnasionalisme didefinisikan sebagai proses-proses dimana para imigran
menggali dan melanjutkan relasi-relasi sosial yang multi-stranded menghubungkan secara bersamaan antara
identitas asal dan masa kini mereka. Disebut proses-proses transnasionalisme untuk menekankan banyak imigran
saat ini yang membangun area sosial yang lintas batas geografis, budaya dan politik (Basch, Glick-Schiller dan
Szanton-Blanc, 1994). Dalam Andreea Lazăr (2011), Transnational Migration Studie,. Reframing Sociological,
Journal of Comparative Research in Anthropology and Sociology, Volume 2, Number 2, Fall 2011, ISSN 2068 –
0317.
16 Steven Vertovec (2009), Transnationalism, New York: Routledge.
17 International Organization for Migration (IOM), Banckground Paper for International Dialogue On Migration,
Intersessional Workshop On Migration And Transnationalism: Opportunities And Challenges, 9 -10 March 2010.

6

Dalam penulisan makalah ini, peneliti menggunakan paradigma Positivism, menurut Auguste
Comte adalah cara pandang yang menyatakan bahwa mempelajari dunia social dapat dilakukan
dengan metode yang sama dengan metode yang digunakan dalam mempelajari alam.18 Sementara
menurut Neuman, positivism adalah metode terorganisasi untuk mengombinasikan logika
deduktif dengan observasi empiric akurat mengenai perilaku individu dengan tujuan menemukan
dan membuktikan seperangkat hukum sebab akibat yang dapat digunakan untuk memprediksi
pola umum dari aktivitas manusia.
Sebagai metode penelitian, peneliti menggunakan metode kualitatif strukturalis kritis untuk
mengukur pencapaian demokrasi, posisi dan peran masyarakat sipil dalam demokratisasi, dan
menerapkan konsep-konsep inklusi sosial dan keadilan sosial secara kritis. Dimana, penulis
mendalami persoalan ini dengan data-data yang diperoleh dari literature ilmuan demokrasi
khususnya demokrasi deliberative dan demokrasi sosial, serta jurnal-jurnal dari penelitianpenelitian terkait perkembangan masayrakat sipil transnasional dan demokrasi di Indonesia.
3. PEMBAHASAN
3.1 Penekanan pada Demokrasi Deliberatif
Indonesia dalam menjawab tantangan berdemokrasi dan transnasionalis harus ditekankan
pada penerapan demokrasi deliberative. Hal ini guna menjawab persoalan masyrakat yang kuat
untuk membangun nation building dalam bernegara. Dalam demokrasi deliberative, masyrakat
akan digiring pada bagaimana proses pembentukan opini, karier opini "dari mana opini dan
menuju ke mana" penyaringan komunikasi, bentuk-bentuk komunikasi, dan lain sebagainya.
Dalam "Filsafat dalam Masa Teror" yang berisi wawancara dengan Habermas, menunjukkan
bahwa di tahun 2000-an, Habermas masih konsisten berbicara mengenai proses deliberasi.
Deliberative akan terimplemntasi dengan adanya diskursus yang terjadi dimasyrakat.
Ketika ada problem dan tematisasi problem, terjadilah diskursus dalam bentuk yang sederhana.
Dengan dietrapkanya Ddemokrasi deliberatif, kanal-kanal komunikasi dalam negara hukum
harus dibuka, sumbatan-sumbatan dihilangkan, akses dibuka, parlemen diharapkan semakin
mendengar, koran berbicara keras mengontrol penyimpangan. Ini semua merupakan upaya-upaya
untuk menarik perhatian pada sistem politik supaya kanal-kanal komunikasi dibuka, tetapi
negara hukum tetap ada. Dengan demikian, prinsip-prinsip negara hukum harus tetap ada. Yaitu
18 Jane Ritchie dan Jane Lewis (2003), Qualitative Research Practice: A Guide For Social Science Students and
Researchers. London: National Centre for Social Research, hlm. 6.

7

harus ada pembedaan antara state dan society. Batas-batas antara negara dan masyarakat harus
dihormati. Betapapun busuknya negara, menurut teori deliberasi, negara harus ada. Karena tanpa
negara, ongkos politiknya akan sangat besar, terjadi tirani massa dan keuntungan akan diambil
oleh para demagog dan provokator. Dalam negara hukum, civil society dan negara ada batasbatasnya. Demokrasi yang diperankan bukan demokrasi langsung, melainkan kontrol diskursif
atas pemerintah. Artinya, produk UU dikontrol seluruhnya oleh suara publik, namun bukan
berarti publik mendikte pemerintah. Kalau batas-batas antara pemerintah dan masyarakat jebol,
maka akan terjadi tirani kelompok, kemudian ada otonomi publik dan otonomi privat warga
negara. Dalam politik, bahkan politik demokrasi, ada upaya untuk membeli suara publik.
Memang, suara publik bisa dibeli. Tapi menurut Habermas, suara publik yang dibeli kalau
ditelanjangi oleh publik sebagai suara yang dibeli, itu tidak bisa mempunyai kualitas publik lagi.
Jadi, kita jangan terlalu pesimis bahwa forum deliberatif itu sia-sia dan hanya berlelah-lelah, dan
kita hanya ngomong tanpa ada hasilnya. Karena kalau kita berbicara tajam dan bisa menelanjangi
manipulasi-manipulasi dan itu relevan dengan kekuasaan, maka manipulasi itu akan tampak di
permukaan dan akhirnya disadari oleh warga. Dalam teori demokrasi deliberatif terjadi apa yang
disebut proseduralisasi kedaulatan rakyat. Kata prosedur yang dipakai Habermas, bahkan John
Rawls, berarti proses. Proseduralisasi kedaulatan rakyat artinya adalah membuat kedaulatan
rakyat sebagai proses komunikasi. Kapan rakyat berdaulat? Menurut teori deliberasi, kedaulatan
terjadi bukan karena orang berkumpul dengan tubuhnya di suatu tempat sebagaimana diyakini JJ.
Rousseau, tetapi juga harus ada komunikasi publik. Dalam konteks ini, demokrasi representatif
tetap diperlukan dengan sudut pandang yang berbeda. Yaitu mencoba melihat bahwa peranan
komunikasi publik itu harus semakin besar. Kedaulatan rakyat itu jangan dilihat sebagai
substansi melainkan sebagai proses nasional, bahkan internasional, yang bergerak terus melalui
aliran anonim komunikasi. Ini proseduralisasi dari kedaulatan rakyat menurut Habermas19.
Dalam demokrasi deliberatif, negara tidak lagi menentukan hukum dan kebijakankebijakan politik lainnya dalam ruang tertutup yang nyaman (splendid isolation), tetapi
masyarakat sipil melalui media dan organisasi yang vokal memainkan pengaruh yang sangat
signifikan dalam proses pembentukan hukum dan kebijakan politik itu. Medan publik menjadi
arena di mana perundangan dipersiapkan dan diarahkan secara diskursif. Disinilah tiitk temu
19 F. Budi Hardiman, 2008, Demokrasi Deliberatif: Teori, Prinsip, dan Praktik, Presentasi yang disampaikan dalam
Forum Rapat Kerja ke-3 dan Koordinasi Pelaksanaan Deliberative Forum "Program Pemberdayaan Masyarakat Sipil
dalam Proses Otonomi Daerah" di Wisma LPP, Yogyakarta, 24 Agustus 2005.

8

bahwa dalam demokrasi deliberatif sangat diperlukan inklusi sosial serta keadilan sosial itu
sendiri.
Dalam menerapkan demokrasi deliberative, kita dapat melewati beberapa tahap yang
merupakan prinsip normatif yang selalu hendak ditekankan dalam bangunan demokrasi diskursif
atau demokrasi deliberatif ini, yaitu pertama, inklusi atau penyertaan (inclusion). Dalam
demokrasi diskursif, sebuah keputusan demokratis akan memiliki legitimasi yang kokoh hanya
apabila seluruh pihak yang terkena efek atau menjadi dari efek keputusan tersebut dilibatkan
dalam proses diskusi dan pembuatan keputusan. Yang dimaksud berefek di sini adalah berbagai
keputusan dan kebijakan tersebut mengkondisikan pilihan-pilihan aktor ketika bertintak.
Kedua, kesetaraan atau keadilan (equity). Komunitas atau individu yang terkena dampak
bukan hanya dilibatkan tapi memiliki kesamaan hak dan kesempatan efektif yang sama untuk
mengekspresikan kepentingan dan kehirauan mereka. Mereka juga berhak memiliki kesempatan
yang sama untuk mempertanyakan serta mengkritik argumen satu sama lain. Hal ini hanya akan
terjadi apabila terjadi kondisi bebas dari adanya dominasi.
Ketiga, kewajaran atau rasional (reasonableness). Dalam konteks demokrasi diskursif,
istilah "reasonableness" lebih mengacu pada serangkaian karakter yang dimiliki oleh partisipan
diskusi dbandingkan pada subtansi yang dikontribusikan oleh peserta. Komunitas yang
reasonable biasanya akan datang dalam diskusi untuk mencari solusi terhadap persoalan.
Kalaupun tidak tercapai kesepakatan setidak terjadi proses-proses untuk mencapai kesepakatan
tersebut yang sudah terpola.
Keempat, ke-publik-an atau publisitas (publicity). Adanya prinsip-prinsip inklusi,
kesetaraan, reasonableness telah mendorong adanya "publik" yang didalamnya masyarakat
saling bertangunggugat satu sama lain. Sebuah ranah publik merupakan muara dari pluralitas
pengalamary sejarah, komitmen, kepentingan dan tujuan baik dari individu maupun kolektif,
yang bertemu satu sama lain untuk mendiskusikan masalah kolektif20.
Keempat prinsip normatif tersebut selain menjadi syarat dari demokrasi diskursif atau
deliberatif, juga dapat dimaknai sebagai jalan yang didalamnya berisi langkah-langkah dari
inklusi sosial menuju keadilan sosial. Ditambah dengan realitas kekinian, di mana negara tidak
akan mampu lagi menutup diri atau menerapkan praktik isolasionis, maka perlu
mempertimbangkan transnasionalitas yang menandai perlu adanya tingkatan analisis empat
20 Iris Marion Young. 2004. Inclusion and Democracy. Oxford: Oxford University Press, h. 228-229.

9

tingkat, yaitu: lokal, nasional, regional dan global. Dari seluruh rujukan pemikir-pemikir politik
diatas maka dapat disimpulkan bahwa dalam memajukan demokrasi di Indonesia adalah melalui
upaya demokrasi deliberatif yakni dimulai dari inklusi sosial sampai pada keadilan sosial.
Memadukan konsepsi demokrasi deliberatif dan transnasionalisme dalam menganalisis
demokrasi dan demokratisasi di Indonesia dapat diamati melalui skema sederhana yang diolah
dari berbagai literature diatas:
Tabel 1
Tingkat Analisis dan Sektor Publik dalam Demokrasi Deliberatif
Sektor Publik:
Ekonomi, Politik, Sosial, Budaya
Reasonablenes
Inclusion
Equity
s

T
i
n
g
k
a
t

Publicity

Lokal/
Daerah
Nasional/
Negara
Regional/
Kawasan
Global/
Dunia

Dengan penabelan demokrasi deliberative ini dapat diukur sejauh mana demokrasi deliberative
dapat dijalankan oleh Indonesia khususnya.
3.2 Dari Inklusi Sosial sampai Keadilan Sosial.
Dalam memajukan masyarakat sipil transnasional dan demokrasi haruslah dimulai dari
inklusi sosial bukan ekslusi. Hal ini didasari bahwa Inklusi adalah upaya membangun dan
mengembangkan keterbukaan, mengajak masuk dan mengikutsertakan semua orang dengan
berbagai perbedaan latar belakang untuk terlibat dalam bernegara. Inklusi sosial dengan
demikian membangun dan mengembangkan keterbukaan dalam relasi sosial,
Menurut Chantal Mouffe inklusi sosial ini nantinya akan mewujudkan masyarakat
friendly . Membatasi ruang doktrin komprehensif di dalam kehidupan publik (ekslusi) adalah
upaya untuk menetralisasi potensi kekuasaan destruktif kelompok tertentu terhadap kelompok
lain. Dengan kata lain, di dalam kehidupan publik, apapun latar belakangnya, setiap warga
negara harus kita tempatkan pada posisi dimana kebebasan mereka memiliki keluasan yang

10

setara. bukan hanya perbedaan latar belakang secara personal atau individual, bahkan perbedaan
latar belakang secara sosial.
Dalam buku Politics In The Vernacular : Nationalism, Multiculturalism and Citizenship (
2001), Kymlicka mengkritisi ilmuan politik bahwa negara modern saat ini bersifat multikultural,
sehingga tidak cocok lagi menggunakan kerangka ideal lama bahwa negara bangsa merupakan
negara yang homogen yang bersifat alamiah, melainkan negara yang heterogen, multikultural
yang terbentuk dari gerakan-gerakan subnasional, identitas dan budaya.
Seperti halnya Indonesia sebagai negara bangsa, terbentuk dari gerakan-gerakan
subnasional, identitas dan budaya yang dilandasi oleh kolonialisme dan kekalahan Jepang pada
perang dunia ke-2. Sehingga yang terjadi di Indonesia adalah pluralitas dan heterogenitas serta
nasionalisme ganda dimana ada identitas etnis dan sipil yang secara bersamaan melekat pada
warganegara Indonesia, contohnya, etnis batak, minang, jawa, china, melayu, India, Arab dsb
(etnis minoritas maupun mayoritas) yang tersebar dari sabang sampai merauke yang merupakan
sipil (warganegara) Indonesia ( misalnya : Saya Minang, dan Saya Indonesia). Dengan demikian
Indonesia menjadi negara bangsa modern dimana multi nasional, multi etnis dan heterogen
terhadap budaya dan juga agama.
Inilah kenapa Kymlicka tidak setuju dengan pandangan yang mengatakan bahwa semua
penduduk di dalam sebuah negara harus memiliki identitas yang sama yang melekat pada setiap
warganegara karna setiap individu membawa identitas etnis, agama, ataupun kelompoknya( ini
merujuk pada kehadiran identitas baru dari kemajemukan yang disadari Kymlicka seperti
gay/lesbian, kelompok difabel dsb) melainkan sebagai sebuah identitas yang otonom individu
yang berbeda-beda sekaligus memiliki identitas sipil sebagai nasionalisme terhadap negara
bangsanya. Atau jika kita mengacu pada pernyataan Mouffe bahwa tidak adanya identitas yang
absolut dan final ( the unfixed of all identities). Diskursivitas tentang identitas selalu berproses
tanpa henti makanya banyak identitas baru yang akan muncul secara terbuka.
Melihat keberagaman Indonesia, memajukan demokrasi melalui inklusi atau demokrasi
deliberatif adalah jawab dan persoalan sosial di masayarakat saat ini. Pasca
Jika Mouffe menolak bila kewarganegaraan cuma ‘satu identitas di antara banyak
identitas’ atau ‘satu identitas yang dominan yang menekankan semua identitas lainnya, maka
Kymlicka menekankan pada multikultural warganegara dalam negara bangsa yang ingin diakui
atas perbedaan bukan persamaan untuk perbedaan tersebut.
11

Inilah kenapa dalam memajukan demokrasi di Indonesia sangat ditentukan oleh praktik
dari inklusi sosial. Jika inklusi sosial masih menjadi persoalan, maka demokrasi di Indonesia
masih menjadi persoalan bahkan di titik awalnya.
Termasuk dalam menghadapi masyarakat transnasional karena dengan iklusi sosial,
Indonesia dapat menghindari terjadinya penghancuran bangsa ( nation destroying) tetapi dapat
menuju pembangunan bangsa ( nation building).

21

Hal ini dikarenakan penguatan masyarakat

sipil dengan menekankan pada inklusi sosial, mengupayakan kesadaran atau demokrasi individu
secara otonom sehingga dapat menerima perbedaan dan kehadiran masayrakat baru tanpa
meninggalkan atribut nasionalismenya.
Pertanyaan mendasar, kenapa untuk memajukan demokrasi hasus sampai pada keadilan
sosial? kenapa tidak sebatas inklusi sosial. Hal ini berangkat dari pemikiran filusuf perancis
Pierre Bourdieu, baginya orang harus terus-menerus bersuara mengenai keharusan modal sosial
sebagai panglima. Menurutnya, pemenuhan terhadap prinsip keadilan sosial merupakan salah
satu benteng penahan gurita globalisasi-neoliberalisme yang disebar luaskan melalui demokrasi
barat.22
Jalan demokrasi adalah jalan sejak awal dipilih oleh Founding Father ketika Indonesia
merdeka. Rekam jejaknya termuat pada pembukaan UUD 1945, UUD 1945 dan Pancasila.
Sebagai pijakan negara, demokrasi yang diimpikan adalah demokrasi yang berkeadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Inilah kenapa dikatakan bahwa demokrasi Indonesia adalah
demokrasi pancasila, karena merupakan demokrasi yang lahir dari nilai-nilai sosial-historic
bangsa Indonesia sendiri.23 Demokrasi pancasila yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat
merupakan jalan tengah dari melihat perjalanan demokrasi kapitalisme yang tumbuh di barat
pasca revolusi perancis 1789.24
Keadilan sosial sebagai tujuan demokrasi Indonesia, sudah sejak lama tertuang dalam
amanat-amanat Pancasila dan UUD 1945 mengamanatkan Pertama; pemerintah/ negara wajib
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Amanat ini bermakna bahwa

21 op.cit will Kymlicka hal. 229-230.
22
23 Pidato Moh. Hatta pada tahun 1969, sekaligus tertuang dalam buku demokrasi kita karya Moh. Hatta tahun 1966
dan direkam kembali dalam buku Demokrasi untuk Indonesia: pemikiran politik Hatta oleh zulkifli Suleman tahun
2010.
24 “demokrasi barat mengalami distorsi menjadi tidak senonoh” Hatta dalam Carol C. Gould. 1993. Demokrasi
ditinjau kembali. Yogyakarta : tiara wacana. Hlm. 4

12

pemerintah (penyelenggara negara), terlepas siapapun yang menjadi kepala negara, wajib dengan
segala daya dan usahanya untuk melindungi tumpah darah Indonesia.
Kedua : pemerintah berkewajiban untuk memajukan kesejahteraan umum. Dalam hal ini
pemerintah harus dapat menciptakan kesejahteraan bagi seluruh bangsa Indonesi. Konsep ini
dikenal dengan tanggung jawab negara untuk menciptakan kesejahteraan (wellfare state).
Konsep ini merupakan konsep demokrasi modern. Contoh nyata jaminan tentang kesejahteraan
ini antara lain tercantum pada pasal 34 UUD 1945 yang terdiri dari 4 ayat (1) Fakir miskin dan
anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial
bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu seusai dengan
martabat kemanusiaan (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Ketiga : pemerintah berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa. Amanat ini
mengandung hakikat bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang menuju
kepada tingkat kecerdasan. Untuk itulah pemerintah harus betul-betul berusaha agar pendidikan
bangsa yang bertujuan mencerdaskan bangsa, betul-betul dilakukan secara terencana,
berkelanjutan, dan bertanggung jawab. Amanat ini tercantum pada pasal 33 UUD 1945 yang
berbunyi (1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran, (2) pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan
Undang-undang.
Keempat; pemerintah berkewajiban menjaga persatuan Indonesia dalam pengertian
bahwa negara kesatuan merupakan nilai yang final yang tidak dapat ditawar-tawar. Artinya
segala usaha yang mencoba untuk mengganggu kesatuan dan persatuan bangsa, harus dicegah
tanpa kompromi. Kelima; pemerintah berkewajiban untuk menjaga prinsip yang selalu
mengedepankan hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Nilai ini merupakan
salah satu dasar demokrasi Indonesia yang selalu menjaga permusyawaratan yang didasarkan
atas perwakilan.
Kelima amanat ini bertujuan untuk tercapainya demokrasi yang berkeadilan sosial.
Pentingnya keadilan sosial sebagai tujuan akhir dari demokrasi merupakan tercapainya negara
kesejahterann atau negara kemakmuran yang merupakan bentuk negara terbaik saat ini. Anthony
Giddens dalam Third Way adalah ‘kiri tengah baru’. menyatakan bahwa bentuk tatanan
13

demokrasi baru adalah dengan mempertahankan nilai-nilai kesejahteraan dan kemanusian yang
bermanfaat untuk kepentingan bersama. Artinya bahwa keadilan sosiallah tujuan akhir dari
seluruh sistem negara yang ada, terutama halnya demokrasi. Sehingga kenapa sampai pada
keadialn sosial karena inilah tujuan akhir adanya sebuah negara.
4.3 Penguatan Masyarakat Sipil yang Bertransnasional.
Menjawab masyrakat sipil yang bertransnasional, Indonesia sebagai negara modern,
dapat menganalisanya sebagai keseluruhan, setidaknya ada tiga komponen di dalamnya:
negara/birokrasi (kekuasaan), pasar (uang), dan masyarakat (solidaritas). Ada dua unsur dalam
bagan ini. Unsur atas adalah negara dan pasar. Ini yang disebut sistem; dan unsur bawah yaitu
masyarakat. Ini yang disebut lebenswelt. Pembedaan itu bukan semata-mata terjadi karena
pembedaan analisa, tetapi juga pembedaan bentuk komunikasi. Habermas melihat bahwa dalam
masyarakat modern, tugas kita adalah memperbesar lebenswelt dengan membangun kekuasaan
komunikatif (communicative power), dengan menciptakan forum inisiatif warga. Kekuasaan
komunikatif ini ada ketika ada kekuasaan jaringan, jaringan komunikasi yang tumbuh, baik
dalam bidang sosial, budaya, dll. masyarakat kita punya potensi deliberatif yang tinggi yang
dalam masyarakat tradisional ada pada apa yang disebut gotong-royong dan musyawarah.
Dengan musyawarah yang bebas, non-diskriminatif, non-manipulatif, sebenarnya kita telah
memiliki ruang-ruang dalam masyarakat kita untuk deliberasi. Jadi tugas kita menghidupkan dan
menvitalisasi potensi itu menjadi suatu gerakan25.
Terjadinya democratic deficit di dalam masyarakat sipil adalah sebagaimana kata Alyson
Brisk: “In broader terms, civic democratic deficits include unclear representation,
unaccountable leadership, lack of autonomy (from the state, political parties, or international
forcers), and lack of respect for universal human rights (Alyson Brisk, 2000: 155). Dan menurut
Verba, Nie, dan Kim, yang melakukan studi tentang partisipasi politik di tujuh negara
mengatakan bahwa: “By political participationwe refer to those legal acts by private citizens that
are more or less directly aimed at influencing the selection of governmental personnel and/ or
the actions they take” (Verba et al, 1978: 1). Amartya Sen bahwa: “At the political level,
faminesare associated with the absence of democracy”. (Amartya Sen,1998: 66). Dikatakan oleh
Peter Berger, seorang sosiolog yang memperhatikan pembangunan di Dunia Ketiga, bahwa
25 F. Budi Hardiman, 2008.

14

kegagalan pembangunan di Dunia Ketiga terutama disebabkan oleh diabaikannya aspirasi rakyat
(Berger 1985: 239). ”At the economic level, it isimportant to realize that people starve when they
do not have the means to buy food” (Amartya Sen, 1998:66). Di dalam era transisi demokrasi di
Indonesia, maka keterlibatan warga di dalam proses perencanaan pembangunan menjadi suatu
hal yang esensial.26
Dua kategori tindakan kolektif: massa dan gerakan civil society atau masyarakat sipil.
Massa adalah semua orang sama, sedangkan masyarakat sipil adalah warga negara sebagai
individu. Herbert Blumer memberikan definisi: ‘social movements, quite simply, as collective
enterprises to establish a new order of life” (di dalam Miller, 1989: 286). Dalam proses deliberasi,

individualitas sangat ditekankan. Dalam kondisi budaya bisu (silence culture), deliberasi tidak
terjadi. Karena dalam porses deliberasi harus ada apa yang disebut kompetensi komunikatif.
Setiap individu dalam masyarakat mempunyai kompetensi komunikatif.
Tugas dari forum deliberasi adalah membangun kompetensi komunikatif. Caranya,
membiarkan mereka menghargai pendapat sendiri, memberikan ruang perbedaan pendapat
sehingga mereka menyadari bahwa perbedaan pendapat itu menguntungkan. Karena, dari
perbedaan pendapat itu ada cukup banyak perspektif yang dibuka. Dan yang lebih penting untuk
silence culture, berbeda pendapat itu tidak menakutkan, tetapi memperkaya27.
Sedangkan konsepsi tentang Masyarakat Sipil dapat dipahami dan didefinisikan sebara
baik sebagai sebuah konsep yang mungkin untuk berubah: masyarakat sipil adalah masyarakat
yang terbuka dalam karakter ... mudah dimodifikasi sehingga dapat diterapkan pada berbagai
intensi dan situasi secara luas (Guan, 2004); selain itu juga sebuah konsep yang populer,
bermuatan normatif yang tidak memiliki makna tunggal (Alagappa, 2004).
Masyarakat sipil adalah perwujudan cita-cita etis tatanan sosial, yang, jika tidak dapat
mengatasi, setidaknya menyelaraskan, tuntutan yang bertentangan dari berbagai kepentingan
individu dan sosial dengan baik (Seligman, 1992). Inti dari pemahaman ini adalah proposisi
bahwa masyarakat sipil sebagai sebuah benteng modern bagi kebebasan, demokrasi, kerjasama,
solidaritas dan keadilan sosial karena memberikan ruang bagi pelaku sosial untuk membawa
perubahan sosial dan politik yang positif (Cohen dan Arato, 1992)28.
26 Ganda Upaya, Demokrasi dan Gerakan Sosial
27 F. Budi Hardiman, 2008.
28 Dalam Ben Davis, 2007, Advocacy NGOs, Transnationalism and Political Space, An Indonesian Case Study,
sebuah Tesis pada Department of Indonesian Studies, The University of Sydney. h. 10.

15

Ketika pertukaran aktual sumber daya, informasi, pernikahan, atau kunjungan,
berlangsung lintas batas antara anggota diaspora sendiri atau dengan orang-orang di tanah air,
dapat dikatakan sebagai kegiatan transnasional; menjadi sarana transnasional milik dua atau
lebih masyarakat pada saat yang sama. Pada saat itu, fungsi diaspora sebagai komunitas
transnasional. Ketika pertukaran tersebut tidak terjadi (kadang-kadang selama beberapa
generasi), tetapi orang-orang mempertahankan identifikasi dengan tanah air dan atau etnis
mereka di tempat lain, hanya ada diaspora. Dengan demikian, tidak semua diaspora adalah
masyarakat transnasional, namun masyarakat transnasional muncul dalam diaspora29.
Jika kemudian dipahami secara umum maka masyarakat sipil transnasional adalah para
pelaku sosial untuk membawa perubahan sosial dan politik yang positif dalam masyarakatnya
melalui proses-proses transnasional. Istilah 'masyarakat sipil transnasional' dan 'masyarakat sipil
global' populer digunakan dalam literatur akademik pada politik internasional dimulai sejak
periode akhir Perang Dingin30. Sebagian besar definisi mengacu pada 'aksi kolektif yang tidak
koersif (uncoerced) di sekitar berbagi minat, tujuan dan nilai-nilai' yang bersifat non-pemerintah
dan bukan untuk keuntungan31. Aktor kunci masyarakat sipil transnasional adalah organisasi
internasional non-pemerintah (Ornop atau Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM) yang tidak
menghasilkan keuntungan atau instrumen pemerintah, serta organisasi non-pemerintah nasional
yang berorientasi internasional. Perbedaan sering dibuat antara organisasi non-pemerintah
internasional yang ada hanya untuk memberikan layanan kepada anggotanya dan organisasi nonpemerintah internasional berorientasi pada isu, yang merupakan fokus utama dalam studi
masyarakat sipil transnasional32.

Masyarakat sipil transnasional tidak selalu sesuai dengan

kemajuan kajian tentangnya secara linier sebanyak literatur yang ada mengasumsikannya.
Sebaliknya, ia telah bangkit dan jatuh secara bergelombang selama dua abad terakhir.
Kebangkitan dan kejatuhan masyarakat sipil transnasional bahkan mungkin sesperti proses
siklus: faktor-faktor yang mendorong kebangkitannya sering kali sama dengan orang-orang yang

29 Vertovec, S. 2005, “The political importance of diasporas”, Centre on Migration, Policy and Society Working
Paper No. 13, University of Oxford, h. 3-4.
30 Thomas Richard Davies (2008), The Rise and Fall of Transnational Civil Society: The Evolution of International
Non-Governmental Organizations Since 1839, Working Papers on Transnational Politics, London: City University,
Centre for International Politics, h. 2.
31 Jan Aart Scholte(1999), Global Civil Society: Changing the World? Coventry: Centre for the Study of
Globalization and Regionalization (CSGR), University of Warwick, h. 2-3.
32 Thomas Richard Davies (2008), h. 2.

16

mempromosikan penurunannya33, dan masyarakat sipil transnasional itu sendiri di masa lalu dan
di masa depan bisa berkontribusi terhadap kematiannya sendiri34.
Richard Price dalam pemaparannya memeriksa bagaimana masyarakat sipil transnasional
bekerja melalui jaringan isu untuk mengajar kepentingan negara dalam kebijakan keamanan.
Price menganalisis kampanye masyarakat sipil transnasional untuk menghasilkan norma
internasional yang melarang ranjau darat anti personil dan melacak efek dari beberapa teknik
melalui mana negara dapat dikatakan disosialisasikan. Melalui menghasilkan isu, jaringan,
"sambungan" dan menggunakan metode Sokrates (yaitu dialog) transnasional untuk
membalikkan beban pembuktian, kampanye telah mendorong perubahan normatif sistemik
melalui dua proses: adopsi norma melalui konversi membujuk pengrajut moral dan emulasi
akibat tekanan sosial dari identitas35.
4. PENUTUP
Dalam menjawab masayrakat sipil transnasional dan demokrasi di Indonesia adalah
dengan menuangkan ide-ide demokrasi deliberative dimulai dari inklusi sosial sampai
terwujudnya keadilan sosial. Mengabaikan inklusi sosial dan keadilan sosial sama halnya
mengabaikan amanat demokrasi pancasila sebagai jalan menuju Indonesia sejahtera atau walfare
state. Sehingga tak pelik bahwasanya pengabaian ini akan melahirkan negara yang tidak
berdaulat.
Inklusi sosial harus dimaknai bahwa perlunya pengakuan atas perbedaan bukanlah
persamaan atas perbedaan. Artinya hak minoritas maupun mayoritas harus sama-sama diakui
sebagai hak universal the citizen. Terlaksananya inklusi sosial nantinya dengan sendirinya

33 Komunikasi transnasional lebih cepat dan lebih murah daripada sebelumnya; globalisasi ekonomi terus berlanjut;
dan masalah transnasional yang memerlukan solusi global telah menjadi semakin jelas. Selain itu, dekolonisasi tidak
hanya memberikan kesempatan bagi masyarakat sipil transnasional untuk tersebar di seluruh dunia, demikian juga
merangsang pembentukan asosiasi transnasional, organisasi di tingkat regional dan sebagainya. Perkembangan
teknologi komunikasi dan transportasi transnasional telah membawa orang-orang yang berbeda ke dalam kontak
yang lebih dekat satu dengan yang lain, membuat mereka juga lebih menyadari perbedaan mereka. Dan globalisasi –
khususnya ekonomi dengan konsekuensi negatif bagi mereka yang tidak efektif bersaing dalam perekonomian
dunia- telah menimbulkan reaksi nasionalis yang memiliki potensi yang cukup besar untuk melemahkan masyarakat
sipil transnasional. Thomas Richard Davies (2008), The Rise and Fall of Transnational Civil Society: The Evolution
of International Non-Governmental Organizations Since 1839, Working Papers on Transnational Politics, London:
City University, Centre for International Politics, h. 13-15.
34 Thomas Richard Davies (2008), h. 16.

35

Richard Price, Reversing the Gun Sights: Transnational Civil Society Targets Land Mines, International
Organization, Volume 52 / Issue 03 / Summer 1998, pp 613-644.

17

keadilan sosial akan segera terwujud. Sehingga jalan utama yang dipilih bangsa ini, demokrasi
pancasila dapat kembali pada khitohnya yakni kesejahteraan dan kedaulatan rakyat.
Memajukan demokrasi Indonesia dari Inklusi sosial sampai pada keadilan sosial adalah
“sesat diujung kembali kepangkal” artinya adalah jalan pulang untuk mencapai tujuan bernegara.
Dan selayaknya kita memperdebatkan mau dibawa kemana demokrasi Indonesia ini?
Kedepannya, perlu adanya political will atau kemauan politik dari pemimpin negara ini
apakah akan kembali pada amanat UUD 1945 dan Pancasila atau akan mencari jalan baru untuk
memajukan demokrasi di Indonesia. Selain itu, pada Abad 21 ini, semuanya itu masih
mendorong diperlukannya agenda-agenda politik oleh berbagai gerakan 'anti-globalisasi' atau
'anti-kapitalisme' yang lebih luas dan besar karena globalisasi kapitalistik yang terangkum dalam
neoliberalisme masih dominan. Dan semua fenomena itu berada dalam rentang spektrum isu-isu
dari yang berskala lokal hingga global.
Dan tentunya disinilah peran besar ilmu sosial dan ilmu politik untuk terus menerus
mengali wacana apa yang seharusnya dan dapat membangun negara dalam tata kelola politik dan
sosial melalui riset-riset ilmiah dan forum-forum ilmiah.

DAFTAR BUKU
Andreea Lazăr (2011), Transnational Migration Studie,. Reframing Sociological, Journal of
Comparative Research in Anthropology and Sociology, Volume 2, Number 2, Fall 2011,
ISSN 2068 – 0317.
Ben Davis, 2007, Advocacy NGOs, Transnationalism and Political Space, An Indonesian Case
Study, sebuah Tesis pada Department of Indonesian Studies, The University of Sydney.
Boni Hargens, 2006, Demokrasi Radikal: Memahami Paradox Demokrasi Modern Dalam
Perspektif Postmarxis-Ostmodernis Ernesto Laclau Dan Chantal Moufee. Yogyakarta:
LKiS.
Carol C. Gould. 1993. Demokrasi Ditinjau Kembali. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Chantal Mouffe, 2000, The Democratic Paradox, New York dan London: Verso.
David Emanuel Gray. 2004. revised Agustust 2005. Sosial Choice in Deliberative Democracy,
Tesis pada Carnegia Mellon University. Departemen of Philosophy,
F. Budi Hardiman, 2008, Demokrasi Deliberatif: Teori, Prinsip, dan Praktik, Presentasi yang
disampaikan dalam Forum Rapat Kerja ke-3 dan Koordinasi Pelaksanaan Deliberative
Forum "Program Pemberdayaan Masyarakat Sipil dalam Proses Otonomi Daerah" di
Wisma LPP, Yogyakarta, 24 Agustus 2005.
Giddens, Anthony, 2002. The Runaway World. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

18

International Organization for Migration (IOM), 2010, Background Paper for International
Dialogue On Migration, Intersessional Workshop On Migration And Transnationalism:
Opportunities And Challenges.
Iris Marion Young. 2004. Inclusion and Democracy. Oxford: Oxford University Press.
James Anderson (2002), Transnational Democracy, Political Spaces and Border Crossings, New
York: Routledge.
Jan Aart Scholte(1999), Global Civil Society: Changing the World? Coventry: Centre for the
Study of Globalization and Regionalization (CSGR), University of Warwick.
John Rawls, 1993. Political liberalism, New York : Columbia University Press, Lecture V
Joseph Schumpeter. 1947. Capitalism, Socialism, And Democracy. New York: Harper and
Brother.
Jurgen Habermas. 1997. Betweeen facts and Norms, terj. William Rehg. Inggris: Cambridge
Kitab Amandemen UUD 1945
Richard Price, Reversing the Gun Sights: Transnational Civil Society Targets Land Mines,
International Organization, Volume 52 / Issue 03 / Summer 1998.
Robert Dahl, Dilemmas of Pluralist Democracy: Autonomy vs Control. Yale: Yale University
Press.
Steven Vertovec (2009), Transnationalism, New York: Routledge.
Thomas Richard Davies (2008), The Rise and Fall of Transnational Civil Society: The Evolution
of International Non-Governmental Organizations Since 1839, Working Papers on
Transnational Politics, London: City University, Centre for International Politics.
Vertovec, S. 2005, “The political importance of diasporas”, Centre on Migration, Policy and
Society Working Paper No. 13, University of Oxford.
Will Kymlicka, Politics In The Vernacular: Nationalism, Multiculturalism and Citizenship.
Zulkifli Suleman. 2010. Demokrasi untuk Indonesia: Pemikiran Politik Hatta. Jakarta: Kompas
Media.

19