T PKKH 1005006 Chapter1

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tunanetra adalah orang yang mengalami kerusakan pada mata, baik itu secara total maupun sebagian (low vision). Tunanetra berhak untuk hidup di lingkungan masyarakat secara layak dan harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Agar dapat bersosialisasi dan hidup dengan layak serta dapat hidup mandiri maka setiap tunanetra harus mendapatkan pendidikan yang layak seperti orang normal.

Pendidikan bagi tunanetra awalnya dilaksanakan di Sekolah Luar Biasa atau yang lebih dikenal dengan sebutan segregasi. Seiring dengan berjalannya waktu, pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, khususnya bagi tunanetra dari waktu ke waktu terus mengalami evolusi. Perubahan

tersebut terjadi dengan terus berkembanganya pendidikan dan

meningkatnya kesadaran masyarakat akan pendidikan. Seperti yang dikemukakan oleh Skjorten (2003), bahwa “terjadi gradasi pemikiran yang berhubungan dengan perkembangan pendidikan kebutuhan khusus. Adapun gradasi perkembangan pemikiran terhadap pendidikan kebutuhan khusus adalah: pemikiran segregratif, pemikiran integratif, pemikiran inklusif”.

Konsep dari pemikiran segregratif ditandai dengan pemisahan layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus dengan anak pada umumnya. Pada pemikiran integrasi terjadi perkembangan pemikiran


(2)

bahwa anak berkebutuhan khusus dapat belajar bersama anak pada umumnya dengan suatu penekanan bahwa anak berkebutuhan khusus tersebut telah dipersiapkan terlebih dahulu dalam sekolah khusus dan ditempatkan sesuai dengan pengetahuannya bukan pada usianya.

Pendidikan inklusif merupakan suatu falsafah pendidikan, dimana semua siswa dengan kebutuhan khusus diterima di sekolah reguler yang berlokasi di daerah tempat tinggal mereka dan mendapatkan berbagai pelayanan pendukung pendidikan sesuai dengan kebutuhanya. Sekolah yang menyelengarakan pendidikan inklusif didasarkan pada prinsip bahwa semua anak usia sekolah harus belajar bersama, tanpa memandang perbedaan fisik, intelektual, sosial, bahasa atau kondisi lainnya seperti anak jalanan, anak pekerja atau pengembara, anak dari kelompok linguistik, etnik ataupun kebudayaan minoritas.

Pendidikan inklusif didasarkan pada persamaan hak untuk mendapatkan pendidikan tanpa diskriminasi. setiap anak memperoleh kesempatan yang sama untuk belajar bersama-sama di sekolah umum, begitu juga anak berkebutuhan khusus tidak mendapat perlakuan khusus ataupun hak-hak istimewa melainkan persamaan hak dan kewajiban dengan peserta didik lainnya.

Pelaksanaan pendidikan inklusif dalam seting pembelajaran dilaksanakan secara kooperatif dangan kurikulum yang fleksibel serta memperhatikan kebutuhan masing-masing anak sebagai peserta didik. Pembelajaran dalam kelas hendaknya ramah dan kondusif sehingga anak


(3)

lebih bersemangat. Selain itu pembelajaran diberikan dengan menggunakan berbagai bahan yang bervariasi untuk semua mata pelajaran, penggunaan model pembelajaran dilakukan secara bervariasi bertujuan agar anak merasa termotivasi untuk belajar. Materi disampaikan dengan cara yang lebih menarik dan menyenangkan sehingga anak dapat menyerap materi pelajaran yang diberikan, dan evaluasi dilakukan secara berbeda sesuai dengan perkembangan kemampuan masing-masing anak sebagai peserta didik.

Terlaksananya proses pembelajaran yang ramah bagi anak berkebutuhan khusus akan mengembangkan potensi-potensi yang ada pada diri anak. Berkembangnya potensi yang dimilikinya, maka anak akan dapat hidup layak di masyarakat dan ikut berperan serta dalam kehidupan masyarakat. Namun kenyataan pada saat ini pelaksanaan pendidikan inklusif masih belum optimal.

Berdasarakan studi pendahuluan yang penulis lakukan di SMA YPI 45”. Sekolah ini telah melaksanakan pendidikan inklusf semenjak tahun 2005. Jumlah siswa berkebutuhan khusus pada saat ini yaitu sebanyak lima orang dengan spesifikasi tunanetra. Pada saat proses pembelajaran, guru reguler belum sepenuhnya mengakomodasi kebutuhan siswa tunanetra untuk belajar di dalam kelas.

Kurikulum yang dipakai antara siswa tunanetra dengan siswa reguler pun sama. Begitupun pendekatan yang dipergunakan dalam pembelajaran masih bersifat klasikal, para guru dalam melaksakan tugasnya


(4)

belum menerapkan model pembelajaran yang lebih inovatif, mereka masih melaksanakan tugasnya sekedar mengajar secara rutin dan monoton, siswa masih dianggap sebagai objek belajar, bukan subyek belajar. Dalam pembelajaran IPA di kelas guru masih kurang mempergunakan metode yang bervariasi.

Metode yang sering digunakan yaitu metode ceramah dan metode pemberian tugas. Selain itu penggunaan media pembelajaran dalam belajar IPA masih belum maksimal. Dalam pembelajaran IPA harus mengembangkan aspek-aspek yang dapat digunakan untuk menanamkan konsep-konsep IPA, konsep-konsep tersebut dapat dikembangkan melalui kesan visual, auditif, kinestetis dan taktil siswa. Begitupula didalam kelas setting pendidikan inklusif yang didalamnya diikuti oleh anak berkebutuhan khusus harus melalui pengembangan konsep melalui kesan kesan tersebut.

Pembelajaran IPA di kelas masih belum kooperatif. Antara anak tunanetra dan anak normal dalam kelas belum ada saling kerja sama. Dalam pembelajaran peranan tutor sebaya tidak terlihat. Selama proses belajar mengajar IPA guru kurang memberikan motivasi baik kepada anak tunanetra maupun kepada anak normal lainya.

Sudah waktunya para guru menerapkan pembelajaran secara profesional, dengan memahami dan menerapkan berbagai macam model pembelajaran, dapat membelajarkan siswa secara aktif dan membantu siswa dalam belajar IPA secara bermakna. Dengan banyaknya model-model


(5)

pembelajaran diharapkan guru akan termotifasi untuk mempelajarinya secara lebih intensif

Hal ini dirasakan juga dalam pembelajaran mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam yang berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari.

Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk inkuiri dan berbuat sehingga dapat membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar.

Adanya keterbatasan penglihatan pada tunanetra, hal ini tentunya akan menimbulkan permasalahan bagi tunanetra itu sendiri, karena dalam mempelajari IPA penglihatan merupakan aspek penting untuk memberikan pemahaman konkrit dari apa yang dipelajari. Permasalahan pada tunanetra dalam mempelajari IPA ini lebih disebabkan oleh:

1) Masih banyaknya materi IPA yang bersifat abstrak yang belum mampu


(6)

2) Alat peraga yang digunakan guru untuk menguasai atau memahami materi IPA belum sesuai dengan kebutuhan tunanetra itu sendiri.

3) Model pembelajaran yang di terapkan masih mengutamakan

penghapalan konsep dari pada pemaknaan konsep, sehingga tunantera lebih memahami atau menguasai konsep dari pada makna dari sebuah konsep.

4) Kurang dalam memberikan kesempatan pada siswa untuk

mengekplorasi pengetahuannya, siswa lebih banyak duduk, diam, mendengarkan dan mencatat.

Pembelajaran IPA menuntut pelakunya berperan aktif, memiliki kemampuan mobilitas, dengan begitu siswa akan mampu mengeksplorasi pengetahuan tentang IPA mulai dari mempelajari diri sendiri, alam sekitar maupun peluang pengembangan lebih lanjut yang diterapkan dalam kehidupan. Bardasarkan hal tersebut, maka permasalahan atau hambatan dalam mempelajari IPA pada tunanetra harus segera dicarikan jalan keluarnya, karena jika tetap dibiarkan kemampuan tunanetra dalam pelajaran IPA atau pelajaran lainnya akan semakin tertinggal dengan anak pada umumnya.

Dengan kata lain peran aktif dari semua pihak, mulai dari orang tua, guru dan orang disekitarnya akan menentukan upaya mengoptimalkan kemampuan akademik siswa tunanetra.


(7)

Berdasarkan fenomena hal tersebut, maka penulis tertarik untuk

meneliti tentang “Pengembangan Model Pembelajaran IPA Bagi Siswa Tunanetra Dalam Seting Pendidikan Inklusif”.

B. Fokus dan Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan studi pendahuluan masalah di atas, maka yang menjadi

fokus dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Pengembangan Model

Pembelajaran IPA Bagi Siswa Tunanetra Dalam Seting Pendidikan Inklusif

di SMA YPI 45” Kota Bekasi?”.

Berdasarkan fokus penelitian tersebut, kemudian dijabarkan dalam pertanyaan penelitian berikut ini:

1. Bagaimanakah kondisi objektif pelaksanaan pembelajaran IPA bagi siswa tunanetra dalam Seting Pendidikan Inklusif di SMA YPI 45” Kota Bekasi?

2. Hambatan-hambatan apa yang dihadapi oleh guru dan siswa dalam pembelajaran IPA bagi siswa tunanetra dalam Seting Pendidikan Inklusif

di SMA YPI 45” Kota Bekasi?

3. Kebutuhan-kebutuhan apa yang diperlukan oleh guru dan siswa dalam pembelajaran IPA dengan Seting Pendidikan Inklusif di SMA YPI 45” Kota Bekasi?

4. Upaya-upaya apa yang dilakukan oleh guru untuk mengatasi hambatan yang dihadapi dalam pembelajaran IPA bagi siswa tunanetra dalam Seting Pendidikan Inklusif di SMA YPI 45” Kota Bekasi?


(8)

5. Bagaimanakah pengembangan model pembelajaran IPA bagi siswa tunanetra dalam Seting Pendidikan Inklusif di SMA YPI 45” Kota Bekasi?

C.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:

1. Kondisi objektif pembelajaran IPA bagi siswa tunanetra dalam Seting

Pendidikan Inklusif di SMA YPI 45” Kota Bekasi.

2. Hambatan-hambatan yang dihadapi oleh guru dan siswa dalam

pembelajaran IPA bagi siswa tunanetra dalam Seting Pendidikan Inklusif di SMA YPI 45” Kota Bekasi.

3. Kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh guru dan siswa dalam

pembelajaran IPA dengan Seting Pendidikan Inklusif di SMA YPI 45”

Kota Bekasi.

4. Upaya yang dilakukan oleh guru untuk mengatasi hambatan yang

dihadapi dalam pembelajaran IPA bagi siswa tunanetra dalam Seting Pendidikan Inklusif di SMA YPI 45” Kota Bekasi

5. Pengembangan model pembelajaran IPA bagi siswa tunanetra dalam Seting Pendidikan Inklusif di SMA YPI 45” Kota Bekasi


(9)

D. Manfaat Penelitian

Secara teori hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberi masukan atau sumbangan berupa kajian konseptual tentang unsur-unsur utama yang berkaitan tentang pengembangan model pembelajaran IPA dalam seting pendidikan inklusiff bagi siswa tunanetra sehingga turut memperkaya dan mempertajam kajian tentang pembangunan pendidikan di Indonesia.

Secara praktis, diharapkan dapat memberikan kajian empiris tentang berbagai hal yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran. Hasil penelitian ini secara praktis juga dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan pengembangan model pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus dalam seting pendidikan inklusif. Manfaat lain dari hasil penelitian ini antara lain:

1. Sebagai bahan referensi bagi guru kelas yang langsung berhubungan dengan peserta didik dalam pengembangan model pembelajaran IPA bagi siswa tunanetra dalam seting pendidikan inklusif yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan tunanetra.

2. Sebagai bahan masukan bagi Kepala sekolah dalam mempersiapkan sekolah yang ramah dan nyaman bagi anak tunanetra.

3. Dinas Pendidikan Tingkat Provinsi, kota/kabupaten dalam rangka meningkatkan kualitas implementasi pendidikan inklusif.


(10)

E. Definisi Konsep

1. Pengembangan Model

Pengembangan model dapat diartikan sebagai proses disain konseptual dalam upaya peningkatan fungsi dari model yang telah ada sebelumnya, melalui penambahan komponen pembelajaran yang dianggap dapat meningkatkan kualitas pencapaian tujuan

Pengembangan model dapat diartikan sebagai upaya

memperluas untuk membawa suatu keadaan atau situasi secara berjenjang kepada situasi yang lebih sempurna atau lebih lengkap maupun keadaan yang lebih baik.

Model merupakan deskripsi atas benda, prosedur, situasi atau pikiran untuk merancang suatu program pembelajaran. Model maksudnya suatu pola yang dapat dijadikan contoh atau rujukan untuk diterapkan di lapangan.

2. Pembelajaran

Pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk merancang pembelajaran tatap muka di dalam kelas untuk membantu para siswa mencapai berbagai tujuan.

Pembelajaran akan bermakna bila guru mampu mengembangkan proses pembelajaran sesuai dengan perbedaan kebutuhan individu serta mampu mengembangkan program pendidikan bagi siswa sesuai dengan


(11)

keberagaman dan kebutuhan kebutuhan siswa termasuk bila didalam kelas tersebut terdapat anak berkebutuhan khusus.

3. Tunanetra

Dari sudut pandang pendidikan, definisi yang paling populer diberikan oleh Barraga sebagai berikut. Tunanetra adalah sekelompok anak yang memerlukan layanan pendidikan khusus karena ada masalah pada penglihatannya.

Menurut Garaldine T. Scholl (1986: 26) dalam IG.A.K. Wardani,dkk (2011:4.4) mengemukakan bahwa orang yang memiliki

kebutaan menurut hukum (legal blindness) apabila ketajaman

penglihatan sentralnya 20/200 feet atau kurang pada penglihatan terbaiknya setelah dikoreksi dengan kacamata atau ketajaman penglihatan sentralnya lebih dari 20/200 feet, tetapi ada kerusakan pada lantang pandangnya sedemikian luas sehingga diameter terluas dari lantang pandangnya membentuk sudut yang tidak lebih besar dari 20 derajat pada mata terbaiknya.

4. Inklusi

Pengertian pendidikan inklusif adalah pendidikan yang bertujuan memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak tanpa membedakan latar belakang anak, memberikan kesempatan bagi peserta didik berkelainan dan/atau peserta didik yang memiliki potensi


(12)

kecerdasan dan bakat istimewa belajar bersama-sama dengan peserta didik pada satuan pendidikan umum atau satuan pendidikan kejuruan dengan menggunakan kurikulum yang disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan khusus peserta didik berkelainan dan peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

Jadi Pendidikan Inklusif adalah layanan pendidikan yang semaksimal mungkin mengakomodasi semua anak didik termasuk anak yang berkebutuhan khusus disekolah atau lembaga pendidikan atau tempat lain (diutamakan yang terdekat dengan tempat tinggal anak didik) bersama teman-teman sebayanya dengan memperhatikan perbedaannya.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode Deskriftif dengan pendekatan kualitatif, untuk mengumpulkan data teknik yag digunakan: wawancara, observasi, dan dokumentasi. Instrumen yang diggunakan adalah pedoman wawancara, pedoman observasi.


(1)

Berdasarkan fenomena hal tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti tentang “Pengembangan Model Pembelajaran IPA Bagi Siswa Tunanetra Dalam Seting Pendidikan Inklusif”.

B. Fokus dan Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan studi pendahuluan masalah di atas, maka yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Pengembangan Model Pembelajaran IPA Bagi Siswa Tunanetra Dalam Seting Pendidikan Inklusif di SMA YPI 45” Kota Bekasi?”.

Berdasarkan fokus penelitian tersebut, kemudian dijabarkan dalam pertanyaan penelitian berikut ini:

1. Bagaimanakah kondisi objektif pelaksanaan pembelajaran IPA bagi siswa tunanetra dalam Seting Pendidikan Inklusif di SMA YPI 45” Kota Bekasi?

2. Hambatan-hambatan apa yang dihadapi oleh guru dan siswa dalam pembelajaran IPA bagi siswa tunanetra dalam Seting Pendidikan Inklusif di SMA YPI 45” Kota Bekasi?

3. Kebutuhan-kebutuhan apa yang diperlukan oleh guru dan siswa dalam pembelajaran IPA dengan Seting Pendidikan Inklusif di SMA YPI 45” Kota Bekasi?

4. Upaya-upaya apa yang dilakukan oleh guru untuk mengatasi hambatan yang dihadapi dalam pembelajaran IPA bagi siswa tunanetra dalam


(2)

5. Bagaimanakah pengembangan model pembelajaran IPA bagi siswa tunanetra dalam Seting Pendidikan Inklusif di SMA YPI 45” Kota Bekasi?

C.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:

1. Kondisi objektif pembelajaran IPA bagi siswa tunanetra dalam Seting Pendidikan Inklusif di SMA YPI 45” Kota Bekasi.

2. Hambatan-hambatan yang dihadapi oleh guru dan siswa dalam pembelajaran IPA bagi siswa tunanetra dalam Seting Pendidikan Inklusif di SMA YPI 45” Kota Bekasi.

3. Kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh guru dan siswa dalam pembelajaran IPA dengan Seting Pendidikan Inklusif di SMA YPI 45” Kota Bekasi.

4. Upaya yang dilakukan oleh guru untuk mengatasi hambatan yang dihadapi dalam pembelajaran IPA bagi siswa tunanetra dalam Seting Pendidikan Inklusif di SMA YPI 45” Kota Bekasi

5. Pengembangan model pembelajaran IPA bagi siswa tunanetra dalam Seting Pendidikan Inklusif di SMA YPI 45” Kota Bekasi


(3)

D. Manfaat Penelitian

Secara teori hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberi masukan atau sumbangan berupa kajian konseptual tentang unsur-unsur utama yang berkaitan tentang pengembangan model pembelajaran IPA dalam seting pendidikan inklusiff bagi siswa tunanetra sehingga turut memperkaya dan mempertajam kajian tentang pembangunan pendidikan di Indonesia.

Secara praktis, diharapkan dapat memberikan kajian empiris tentang berbagai hal yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran. Hasil penelitian ini secara praktis juga dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan pengembangan model pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus dalam seting pendidikan inklusif. Manfaat lain dari hasil penelitian ini antara lain:

1. Sebagai bahan referensi bagi guru kelas yang langsung berhubungan dengan peserta didik dalam pengembangan model pembelajaran IPA bagi siswa tunanetra dalam seting pendidikan inklusif yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan tunanetra.

2. Sebagai bahan masukan bagi Kepala sekolah dalam mempersiapkan sekolah yang ramah dan nyaman bagi anak tunanetra.

3. Dinas Pendidikan Tingkat Provinsi, kota/kabupaten dalam rangka meningkatkan kualitas implementasi pendidikan inklusif.


(4)

E. Definisi Konsep

1. Pengembangan Model

Pengembangan model dapat diartikan sebagai proses disain konseptual dalam upaya peningkatan fungsi dari model yang telah ada sebelumnya, melalui penambahan komponen pembelajaran yang dianggap dapat meningkatkan kualitas pencapaian tujuan

Pengembangan model dapat diartikan sebagai upaya memperluas untuk membawa suatu keadaan atau situasi secara berjenjang kepada situasi yang lebih sempurna atau lebih lengkap maupun keadaan yang lebih baik.

Model merupakan deskripsi atas benda, prosedur, situasi atau pikiran untuk merancang suatu program pembelajaran. Model maksudnya suatu pola yang dapat dijadikan contoh atau rujukan untuk diterapkan di lapangan.

2. Pembelajaran

Pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk merancang pembelajaran tatap muka di dalam kelas untuk membantu para siswa mencapai berbagai tujuan.

Pembelajaran akan bermakna bila guru mampu mengembangkan proses pembelajaran sesuai dengan perbedaan kebutuhan individu serta mampu mengembangkan program pendidikan bagi siswa sesuai dengan


(5)

keberagaman dan kebutuhan kebutuhan siswa termasuk bila didalam kelas tersebut terdapat anak berkebutuhan khusus.

3. Tunanetra

Dari sudut pandang pendidikan, definisi yang paling populer diberikan oleh Barraga sebagai berikut. Tunanetra adalah sekelompok anak yang memerlukan layanan pendidikan khusus karena ada masalah pada penglihatannya.

Menurut Garaldine T. Scholl (1986: 26) dalam IG.A.K. Wardani,dkk (2011:4.4) mengemukakan bahwa orang yang memiliki kebutaan menurut hukum (legal blindness) apabila ketajaman penglihatan sentralnya 20/200 feet atau kurang pada penglihatan terbaiknya setelah dikoreksi dengan kacamata atau ketajaman penglihatan sentralnya lebih dari 20/200 feet, tetapi ada kerusakan pada lantang pandangnya sedemikian luas sehingga diameter terluas dari lantang pandangnya membentuk sudut yang tidak lebih besar dari 20 derajat pada mata terbaiknya.

4. Inklusi

Pengertian pendidikan inklusif adalah pendidikan yang bertujuan memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak tanpa membedakan latar belakang anak, memberikan kesempatan bagi peserta


(6)

kecerdasan dan bakat istimewa belajar bersama-sama dengan peserta didik pada satuan pendidikan umum atau satuan pendidikan kejuruan dengan menggunakan kurikulum yang disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan khusus peserta didik berkelainan dan peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

Jadi Pendidikan Inklusif adalah layanan pendidikan yang semaksimal mungkin mengakomodasi semua anak didik termasuk anak yang berkebutuhan khusus disekolah atau lembaga pendidikan atau tempat lain (diutamakan yang terdekat dengan tempat tinggal anak didik) bersama teman-teman sebayanya dengan memperhatikan perbedaannya.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode Deskriftif dengan pendekatan kualitatif, untuk mengumpulkan data teknik yag digunakan: wawancara, observasi, dan dokumentasi. Instrumen yang diggunakan adalah pedoman wawancara, pedoman observasi.