PENERAPAN MODAL SOSIAL ORANG SUNDA MELALUI KAJIAN SEJARAH PAGUYUBAN PASUNDAN DI TASIKMALAYA: studi naturalistik inkuiri terhadap peserta didik SMA pasundan 1 tasikmalaya.

(1)

SMA Pasundan 1 Tasikmalaya)

(TESIS)

Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan Sejarah

Oleh:

Haryyana Suhendar 1302608

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2015


(2)

SMA Pasundan 1 Tasikmalaya)

Oleh

Haryyana Suhendar

S.Pd Universitas Pendidikan Indonesia, 2007

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Sekolah Pascasarjana

© Haryyana Suhendar Universitas Pendidikan Indonesia

Agustus 2015

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.


(3)

DI TASIKMALAYA

(Studi Naturalistik Inquiri terhadap Peserta Didik SMA Pasundan 1 Tasikmalaya)

Disetujui dan disahkan oleh pembimbing Pembimbing,

ttd

Prof. Dr. H. Dadang Supardan, M.Pd NIP.19570408 198403 1 003

Diuji, Penguji I

ttd

Dr. Agus Mulyana, M.Hum NIP. 19660808 199103 1 002

Penguji II ttd

H. Didin Saripudin, M.Si., Ph.D NIP. 19700506 199702 1 001

Penguji III ttd

Prof. Helius Sjamsuddin, M.A., Ph.D Mengetahui,

Ketua Program Studi PendidikanSejarah Sekolah Pascasarjana UPI

ttd

Prof. Dr. H. Dadang Supardan, M.Pd NIP.19570408 198403 1 003


(4)

ABSTRAK

PENERAPAN MODAL SOSIAL ORANG SUNDA MELALUI KAJIAN SEJARAH PAGUYUBAN PASUNDAN DI TASIKMALAYA

(Studi Naturalistik Inkuiri terhadap Peserta Didik SMA Pasundan 1 Tasikmalaya) Oleh : Haryyana Suhendar (1302608)

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya fenomena krisis budaya akibat terjadinya globalisasi, dimana nilai-nilai kearifan lokal seakan mulai hilang ditelan waktu. Hal ini juga terjadi dengan lingkungan pendidikan, dimana peserta didik telah terkontaminasi dengan pengaruh globalisasi.

Pendidikan sebagai proses mempengaruhi dan mewariskan nilai-nilai budaya kepada generasi selanjutnya diharapkan mampu untuk membuat sebuah perubahan dengan mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal.

Paguyuban Pasundan sebagai organisasi yang dari awal pendiriannya bergerak dalam bidang pendidikan berkomitmen untuk terus melestarikan budaya Sunda. Hal ini terlihat dari eksistensi lembaga pendidikan di bawah naungan Paguyuban Pasundan yang mendengungkan nilai-nilai kearifan lokal budaya Sunda silih asih – silih asah – silih asuh. Akan tetapi bagaimana implementasi di lapangan? Hal ini lah yang diteliti dalam penelitian ini, khususnya dalam pembelajaran sejarah. Hasil penelitian memperlihatkan bahwasanya desain sampai dengan proses pembelajaran memegang peranan penting untuk mencapai tujuan pembelajaran. Hal pertama yang dilaksanakan adalah dengan membuat desain pembelajaran. Desain pembelajaran yang terdiri dari silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran dengan kompetensi dasar Pergerakan Kebangsaaan sampai dengan Pendudukan Jepang dengan mengambil materi sejarah lokal peranan Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya. Selain itu pula, integrasi nilai-nilai kearifan lokal budaya Sunda yang didesain guru dilaksanakan secara improvisasi sesuai dengan situasi dan kondisi di dalam kelas.

Implementasi pembelajaran sejarah dilaksanakan guru dengan menggunakan teknik pembelajaran Sydney micro skills, dimana teknik ini sangat berpengaruh di dalam kelas kecil dan juga memperkuat keterampilan guru dalam mengajar. Integrasi nilai-nilai kearifan lokal budaya Sunda diimplementasikan guru dalam proses pembelajaran.

Hasil pembelajaran sejarah dengan integrasi nilai kearifan lokal budaya Sunda silih asih – silih asah – silih asuh memperlihatkan kesadaran sejarah yang kemudian memunculkan solidaritas dan diharapkan menjadi sebuah modal sosial bagi peserta didik dalam mengarungi kehidupannya di masa depan.

Solusi untuk menanggulangi kendala yang muncul dalam pembelajaran sejarah dengan integrasi nilai kearifan lokal Sunda adalah dengan mengimplementasikan misi sekolah secara optimal dalam rangka pemeliharaan dan pengembangan budaya daerah.

Kata Kunci: sejarah lokal, Paguyuban Pasundan, silih asih – silih asah – silih asuh, modal sosial.


(5)

ABSTRACT

APPLICATION SOCIAL CAPITAL OF SUNDANESE

THROUGH PAGUYUBAN PASUNDAN HISTORY IN TASIKMALAYA (Study of the Naturalistic Inquiry Students Senior High School Pasundan 1

Tasikmalaya) By: Haryyana Suhendar

(1302608)

This research is motivated by the crisis of cultural to the phenomenon of globalization, where the values of local wisdom as ranging lost in time. It is also the case with the educational environment, where students have been contaminated with the influence of globalization.

Education as a process of influencing and pass on cultural values to the next generation will be able to make a change by promoting the values of local wisdom.

Paguyuban pasundan as an organization that from the beginning of its establishment is engaged in the field of education is committed to continuously preserve Sundanese culture. This is evident from the existence of educational institutions under the auspices of the Paguyuban Pasundan aplicated local wisdom values Sundanese silih asih – silih asah – silih asuh. But how implementation in the field? This is the one that is researched in this study, particularly in the teaching of history.

The results showed that the design up to the learning process plays an important role to achieve the learning objectives. The first thing done is to make the learning design. Instructional design which consists of a syllabus and lesson plan with basic competencies movement Nationality until the Japanese occupation by taking the role of local history material Paguyuban Pasundan in Tasikmalaya. Besides that, the integration of the values of local wisdom Sundanese designed improvised teachers implemented in according with the situation and conditions in the classroom.

Implementation of teaching history teacher conducted using Sydney micro skills learning techniques, where the technique is highly influential in small classes and also strengthen teachers' skills in teaching. Integration of the values of local wisdom Sundanese implemented teacher in the learning process.

Learning outcomes of history with the integration of the cultural values of local wisdom Sundanese silih asih – silih asah – silih asuh awareness of history shows that then led to solidarity and is expected to become a social capital for learners as it navigates his life in the future.

Solutions to overcome obstacles that arise in the integration of teaching history with local wisdom Sundanese is to implement the school's mission optimally in the maintenance and development of regional culture.

Keywords: local history, paguyuban pasundan, silih asih – silih asah – silih asuh, social capital.


(6)

DAFTAR ISI

Lembar Pernyataan ... i

Kata Pengantar ... ii

Ucapan Terima Kasih ... iii

Abstrak ... v

Abstract ... vi

Daftar Isi ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Fokus Penelitian ... 13

C. Masalah Penelitian ... 14

D. Tujuan Penelitian ... 14

E. Manfaat Penelitian ... 14

F. Paradigma Penelitian ... 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pendidikan dan Kesadaran Sejarah ... 17

1. Pendidikan Sejarah ... 17

2. Kesadaran Sejarah ... 20

B. Modal Sosial ... 25

C. Kearifan Lokal Budaya Orang Sunda ... 34

1. Kearifan Lokal ... 34

2. Budaya Orang Sunda ... 38

3. Ungkapan Tradisional Silih Asih-Silih Asah-Silih Asuh ... 42

D. Perkembangan Paguyuban Pasundan ... 48

E. Pembelajaran Sejarah Lokal ... 57

F. Penelitian Terdahulu ... 60

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi dan Subyek Penelitian ... 65

B. Metode Penelitian ... 67

C. Instrumen Penelitian ... 69

D. Teknik Pengumpulan Data ... 73

E. Teknik Analisis Data ... 77

1. Data Reduction (Reduksi Data) ... 78

2. Data Display/Penyajian Data ... 79

3. Conclution Drawing/Veryvication ... 80


(7)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Lokasi Sekolah ... 85

1. Identitas SMA Pasundan 1 Tasikmalaya ... 85

2. Visi, Misi dan Strategi SMA Pasundan 1 Tasikmalaya ... 87

3. Sejarah SMA Pasundan 1 Tasikmalaya ... 87

4. SMA Pasundan 1 Tasikmalaya sekarang ... 90

B. Desain Pembelajaran Penerapan Modal Sosial Orang Sunda dalam kajian Sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya ... 92

1. Hasil Penelitian ... 92

2. Pembahasan ... 99

C. Implementasi Pembelajaran Penerapan Modal Sosial Orang Sunda dalam kajian Sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya ... 115

1. Hasil Penelitian ... 115

2. Pembahasan ... 122

D. Hasil Pembelajaran Penerapan Modal Sosial Orang Sunda dalam kajian Sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya ... 142

1. Hasil Penelitian ... 142

2. Pembahasan ... 147

E. Solusi menghadapi Kendala dalam Pembelajaran Penerapan Modal Sosial Orang Sunda dalam kajian Sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya ... 154

1. Hasil Penelitian ... 154

2. Pembahasan ... 157

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan ... 163

B. Rekomendasi ... 165

DAFTAR PUSTAKA ... 167

RIWAYAT HIDUP ... 175 LAMPIRAN


(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap daerah di Indonesia memiliki kebudayaan tradisional yang luar biasa. Kebudayaan tradisional tersebut adalah sebuah kekayaan bagi bangsa Indonesia, dimana berbagai kebudayaan tradisional yang terbentuk merupakan hasil dari karya, cipta dan karsa manusia dalam menghadapai tantangan alam dalam ruang dan waktu. Hasil kebudayaan tersebut terus menerus digunakan dalam masyarakat.

Kebudayaan tradisional atau kearifan lokal itu sudah berabad-abad dijadikan pandangan hidup oleh masyarakat ketika dihadapkan kepada permasalahan kehidupan sehari-hari. Kearifan lokal tersebut biasanya mengatur: (1) pandangan hidup tentang manusia sebagai pribadi, (2) pandangan hidup tentang manusia dengan lingkungan masyarakat, (3) pandangan hidup tentang manusia dengan alam, (4) pandangan hidup tentang manusia dengan Tuhan, (5) pandangan hidup tentang manusia dalam mengejar kemajuan lahiriyah dan kepuasan batin (Warnaen, 1987, hal. 8).

Namun seiring berjalannya waktu, era globalisasi datang dan tak bisa dihadang, kebudayaan tradisional pun seakan-akan lenyap ditelan waktu. Kearifan-kearifan lokal seolah-olah dilupakan oleh masyarakatnya. Masyarakat digempur habis-habisan oleh budaya luar yang banyak tidak sesuai dengan budaya kita. Pengaruh globalisasi ini telah membuat masyarakat kita cenderung materialistis, hedonis, egois, dan konsumtif.

Terjadinya globalisasi menghasilkan dampak positif maupun negatif yang ditimbulkan. Dampak positif dari pengaruh globalisasi sudah bisa kita rasakan sendiri, yaitu teknologi yang semakin canggih, kemajuan alat transportasi dan ilmu pengetahuan lebih luas. Tetapi dalam sisi negatifnya, pengaruh dari globalisasi ini adalah banyak kebudayaan Barat yang ikut memboncengi masuk di negara kita. Akibat pengaruh globalisasi kebudayaaan tersebut, banyak generasi


(9)

muda yang lebih memilih kebudayaan Barat daripada kebudayaan tradisionalnya. Hal ini dikarenakan pola pikir (mindset) yang menganggap bahwa kebudayaan Barat itu lebih modern dan lebih populer, sehingga kesadaran mereka dalam melestarikan kebudayaan tradisional menurun.

Fenomena tersebut telah menyebabkan keberadaan kebudayaan tradisional di negara kita mulai memprihatinkan tergerus oleh arus globalisasi. Padahal negara kita yang „Bhineka Tunggal Ika‟ itu adalah sebuah negara yang memiliki beraneka ragam jenis budaya. Keberagaman kebudayaan ini sebenarnya merupakan kekayaan bangsa yang harus tetap dijaga. Apabila tetap dibiarkan maka kebudayaan itu dengan sendirinya akan hilang ditelan zaman.

Realitas yang seperti ini, sebenarnya dapat diminimalisir dengan melalui pendidikan. Pendidikan seperti yang dikatakan Durkheim, merupakan proses mempengaruhi yang dilakukan oleh generasi orang dewasa kepada mereka yang belum siap untuk melakukan fungsi-fungsi sosial. Sasarannya adalah melahirkan dan mengembangkan sejumlah kondisi fisik, intelek, dan watak sesuai dengan tuntutan masyarakat secara keseluruhan dan oleh lingkungan khusus tempat ia akan hidup dan berada (Ballantine, 1985, hlm. 22). Berdasarkan pengertian tersebut, pendidikan dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Hal ini selaras pula dengan perspektif Durkheim, persepsi individu tentang kepentingan pribadinya tidak dibentuk dalam isolasi dari sesamanya, melainkan dibentuk oleh kepercayaan bersama serta nilai-nilai yang dianut bersama orang lain dalam masyarakat (Johnson, 1990, hlm. 173).

Memperkokoh pondasi masyarakat dapat dilakukan melalui proses pendidikan, karena melalui pendidikan nilai-nilai yang berkembang dan dianut oleh masyarakat diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Menurut Dewey, pendidikan dilaksanakan melalui peran serta individu di dalam kesadaran sosial rasnya. Proses tersebut dimulai secara tidak disadari nyaris sejak lahir, terus berkelanjutan membentuk kemampuan individual, memenuhi kesadarannya, membentuk berbagai kebiasaannya, melatih gagasannya, membangkitkan perasaan dan emosinya. Lewat pendidikan yang tidak disadari, individu secara bertahap mulai berbagi sumber daya intelektual dan moral yang telah


(10)

dikumpulkan umat manusia. Ia menjadi pewaris simpanan modal peradaban. Pendidikan yang paling formal dan paling teknis di dunia tidak bisa menyingkir secara aman dari proses umum. Ia hanya bisa mengorganisir proses itu atau membuatnya berbeda dalam arah-arah tertentu saja (O‟neal, 2002, hlm. 380).

Salah satu upaya pendidikan adalah dengan adanya sebuah lembaga pendidikan yang kita kenal dengan nama „sekolah‟. Berkenaan dengan sekolah, Dewey menjelaskan bahwa sekolah merupakan lembaga sosial. Pendidikan adalah proses sosial, sekolah merupakan bentuk kehidupan komunitas dimana seluruh agennya dipusatkan, bagian yang menjadi paling efektif dalam membawa anak untuk berbagi sumber daya warisan rasnya, dan untuk membantu anak menggunakan kemampuan-kemampuannya sendiri demi mencapai tujuan sosial. Jadi, pendidikan merupakan proses kehidupan dan bukan persiapan untuk hidup di masa mendatang, sedangkan sekolah harus mewakili kehidupan di masa sekarang, yaitu kehidupan nyata dan vital bagi anak sebagaimana yang dijalaninya di rumah, di lingkungan sekitar, serta di tempat bermain (O‟neal, 2002, hlm. 383). Berdasarkan pengertian tersebut, pendidikan tidak hanya diartikan sebagai sekolah karena proses pembiasaan yang berlangsung di keluarga dan masyarakat merupakan proses pendidikan juga, agar anak dapat menjalani kehidupannya sesuai dengan kehidupan yang dijalaninya.

Pembiasaan tersebut adalah untuk menghadapi globalisasi. Ada benarnya apa yang dikemukakan oleh para futurolog, seperti Naisbitt dan Aburdene (Wiriaatmadja, 2002, hlm. 164) bahwa dalam proses homogenisasi global terkandung sekaligus hasrat untuk tetap mempertahankan identitas, apakah yang ditandai oleh agama, budaya, bahasa, nasionalitas, ataupun ras. Selain itu juga seperti diungkap Zinn dan dikutip Ankersmit (1987, hlm. 358-359) mengatakan,

Harapan kita terhadap ilmu pengetahuan ialah supaya bermanfaat bagi masyarakat. Ia merasa heran, mengapa banyak sejarawan memperlihatkan sikap acuh tak acuh terhadap masalah-masalah sosial di dalam masyarakat. Menurut dia, seorang sejarawan, bila memilih sebuah obyek bagi penelitian sejarah harus dituntun oleh kebutuhan-kebutuhan sosial pada masa kini. Menurut perspektif itu, ia harus memilih obyek yang paling relevan.


(11)

Ungkapan Zinn bertujuan memberi jawaban kepada pertanyaan, aspek-aspek mana dalam masa silam paling berguna untuk diteliti.

Dalam tulisan “Kesadaran Sejarah dan Pembangunan”, Soedjatmoko mengingatkan kita betapa pentingnya sebagai bangsa memiliki kesadaran sejarah. Kesadaran sejarah diartikan sebagai suatu refleksi tentang kompkleksitas perubahan-perubahan yang ditimbulkan oleh interaksi dialektis masyarakat yang ingin melemparkan diri dari gangguan realitas yang ada. Melalui kesadaran sejarah, manusia berusaha menghargai upaya mengungkapkan terhadap kejadian-kejadian yang melingkupinya dan menghargai keunikan masing-masing keadaan. Dengan kesadaran sejarah juga membantu manusia untuk waspada terhadap pemikiran yang telalu sederhana, analogi yang terlalu dangkal serta penerimaan pola-pola hukum yang terlalu mudah, mengarahkan jalannya sejarah ataupun berada dalam cengkraman determinisme sejarah. Untuk mewujudkan kesadaran sejarah seharusnya sebagai bangsa harus mampu mengambil makna atau pesan moral pada setiap peristiwa, jika tidak maka dalam konteks ini akan mewujudkan bahwa ketidakarifan dalam pemanfaatan kekayaan alam dan budi akal manusia itu pada akhirnya akan menghancurkan eksistensi kemanusiaan dan peradabannya sendiri (Soedjatmoko, 1995a, hlm 63-71).

Dalam masa pembangunan dewasa ini, salah satu fungsi pendidikan adalah mengembangkan kesadaran nasional sebagai daya mental dalam proses pembangunan nasional dan identitasnya. Pendidikan dilakukan sebagai upaya mempengaruhi generasi-generasi selanjutnya dapat dilakukan melalui sebuah pendidikan sejarah. Mengapa sejarah? Karena sejarah sebagai ilmu yang mempelajari tentang masa lalu. Dalam konteks pendidikan, sejarah adalah sebuah pendidikan moral, penalaran, dan pendidikan politik, kebijakan, perubahan, masa depan, keindahan, dan ilmu bantu (Kuntowijoyo, 2003, hlm. 35). Adapun tujuan umum dan ideal pendidikan dan pengajaran sejarah adalah agar peserta didik mampu memahami sejarah, memiliki kesadaran sejarah, dan memiliki wawasan sejarah yang bermuara pada kearifan sejarah (Ismaun, 2005, hlm. 171). Hal ini jelas sekali bahwa pendidikan sejarah memegang peranan penting dalam melakukan pelestarian kebudayaan tradisional.


(12)

Hamid Hasan (1999) dalam tulisannya “Pendidikan Sejarah untuk Membangun Manusia Baru Indonesia” membuat perspektif baru dengan berpijak kepada pengalaman masa lalu untuk memahami apa yang terjadi pada masa sekarang. Secara tradisional tujuan pendidikan selalu dikaitkan atas pandangan “transmission of culture” (Hasan, 1999, hlm. 13). Pandangan tersebut sebenarnya menghendaki pendidikan sejarah sebagai pengetahuan yang diharapkan menjadi wahana pendidikan untuk mencapai “the glorious past” dalam arti agar generasi muda dapat menghargai hasil karya agung di masa lampau terutama untuk memupuk rasa bangga (dignity) sebagai bangsa.

Selanjutnya perkembangan pendidikan sejarah seperti yang diungkap Hasan (1999, hlm. 19):

Perkembangan dalam pendidikan sejarah terjadi pergeseran dari perenialisme ke esensialisme bahkan rekonstruksionisme sosial bergabung secara ekletik. Pendidikan sejarah tidak saja menjadi wahana memahami keagungan masa lampau dan pengembangan kemampuan intelektual tetapi juga menjadi wahana dalam upaya memperbaiki kehidupan sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Berpikir sejarah, disatu sisi mampu menyelami masa lalu, mencoba memahami konteks jamannya (historical minded), dan pada bagian lainnya, memanfaatkan pemahaman tersebut menjadi proses “memanusiakan” manusia, sehingga dapat bertindak lebih paham, humanioris, berperasaan, arif, bijak, dan tentu menjadi penilaian serta pemikiran yang lebih jeli, teliti sekaligus kritis. Dengan kata lain, masa kini dan masa lalu dikontradiksikan menjadi awal sebuah perbandingan, dan sebuah sinkronisasi, agar dapat diperoleh pemahaman yang serupa, sama, tanpa mereduksi (mengurangi) makna masa lalu, dan menerapkan untuk kepentingan masa kini agar lebih manusiawi.

Kesadaran sejarah ini, adalah sikap mental, jiwa pemikiran yang dapat membawa untuk tetap dalam rotasi sejarah. Artinya, dengan adanya kesadaran sejarah, manusia seharusnya menjadi semakin arif dan bijaksana dalam memaknai kehidupan ini. Dalam realitas yang nyata, pada proses pembelajaran sejarah di sekolah, guru dan peserta didik tidak hanya: “bagaimana belajar sejarah, melainkan belajar dari sejarah”.

Tujuan pendidikan sejarah (Ismaun, 2001) tidak hanya ditujukan pada pengetahuan akan peristiwa masa lalu tetapi harus lebih jauh yaitu memberikan pemahaman tentang kesadaran sejarah kepada peserta didik. Pembelajaran sejarah


(13)

di sekolah tidak hanya memberikan pengetahuan saja kepada peserta didik, melainkan memberikan kontribusinya untuk lebih menumbuhkan kesadaran sejarah, baik pada posisinya sebagai anggota masyarakat maupun warga negara, serta mempertebal semangat kebangsaan.

Keberhasilan dari sebuah peristiwa di masa lampau dapat ditularkan melalui sebuah kesadaran sejarah, dimana kesadaran sejarah ini dapat terlihat dari adanya perubahan perilaku manusia terhadap lingkungan dari sekarang sampai dengan masa depannya. Hal ini dapat terlihat dari perilaku peserta didik dalam kehidupan di lingkungannya, dimana peserta didik mampu mengaitkan informasi baru dan kemudian akan mengkaitkannya pada informasi sejarah yang telah dipahaminya. Seperti yang diungkap David Ausabel dengan teori belajar bermaknanya (dalam Hariyono, 1995, hlm. 169) belajar akan menjadi bermakna (meaningful), bila informasi yang dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki oleh peserta didik. Menjadi bermakna dalam hal ini yaitu peserta didik dapat mengkaitkan informasi barunya sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki.

Hubungan sejarah dan pendidikan akan tampak jika dikaitkan dengan proses pewarisan nilai, yakni nilai-nilai luhur yang dikembangkan oleh generasi terdahulu yang perlu diwariskan pada generasi masa kini. Dalam konteks seperti ini sejarah dapat kita pahami sebagai sekumpulan pengalaman hidup manusia pada masa lampau dalam bentuk kisah, baik lisan maupun tertulis. Kesadaran sejarah ini tidak saja penting untuk membangun kepribadian, melainkan juga penting untuk mempersiapkan diri dalam rangka menghadapi tantangan pada masa kini dan masa yang akan datang.

Adalah Paguyuban Pasundan, sebuah organisasi budaya Sunda yang berdiri sejak tanggal 20 Juli 1913, sehingga menjadi salah satu organisasi etnisitas tertua yang masih eksis sampai saat ini. Selama keberadaannya, organisasi ini telah bergerak dalam bidang pendidikan, sosial-budaya, politik, ekonomi, kepemudaan, dan pemberdayaan perempuan. Paguyuban ini berupaya untuk melestarikan budaya Sunda dengan melibatkan bukan hanya orang Sunda tapi


(14)

semua yang mempunyai kepedulian terhadap budaya Sunda (Suharto, 2002, hlm. 47; Ekadjati, 2004, hlm. 55).

Sesuai dengan yang tercantum dalam anggaran dasarnya, salah satu jalan yang ditempuh Paguyuban Pasundan dalam mencapai cita-citanya dalam memelihara budaya adalah melalui jalur pendidikan dan pengajaran. Upaya pendirian sekolah dimulai dengan mendirikan Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Pasoendan di Tasikmalaya pada tahun 1922, diikuti pendirian Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Pasoendan, juga di Tasikmalaya, yang mendapat bantuan dari pemerintah. Sampai dengan tahun 1941 Paguyuban Pasundan cabang Tasikmalaya berhasil mendirikan sebanyak tujuh sekolah (Fallah, 2010, hlm. 81). Peristiwa di masa lalu yang menggambarkan keberhasilan Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya dalam mengimplementasikan tujuan dari didirikannya Paguyuban Pasundan.

Kebudayaan Sunda yang ditumbuhkembangkan oleh Paguyuban Pasundan salah satunya adalah filsafat Sunda, “silih asih – silih asah – silih asuh” yang telah menjadi ungkapan nasional. Ini terbukti dengan seringnya para pejabat negara dalam berpidato atau memberikan pengarahan menyampaikan ungkapan tersebut. Hal ini bisa dimaklumi karena konsep silih asih – silih asah – silih asuh merupakan konsep tradisional yang penting dalam membina hubungan antar masyarakat, sekaligus mencegah terjadinya konflik (Suryani, 2008, hlm. 101; Suryalaga, 2010, hlm. 123-124). Hal ini juga tercantum dari apa yang menjadi strategi SMA Pasundan 1 Tasikmalaya pointer keenam yaitu mengimplementasikan budaya sekolah silih asih – silih asah – silih asuh dalam kehidupan pribadi dan organsasi intansi sekolah.

Berdasarkan apa yang menjadi pengalaman penulis sebagai guru, bahwasanya pembelajaran sejarah yang terfokus terhadap materi pelajaran yang ada di dalam buku paket telah membuat peserta didik menjadikan pelajaran sejarah sebagai pelajaran hapalan. Jarang sekali pemahaman akan keterampilan sejarah atau bahkan kesadaran sejarah yang terangkat, hal ini juga terjadi di kelas XI IPS SMA Pasundan 1 Tasikmalaya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan


(15)

untuk mendapatkan pemahaman akan kesadaran sejarah bisa diperoleh dengan pembelajaran sejarah lokal.

Mengapa perlu pembelajaran sejarah lokal? Hal ini seperti yang diungkap oleh Robert Douch (dalam Mulyana & Gunawan 2007, hlm. 1) yang menyatakan bahwa pembelajaran sejarah di sekolah sebaiknya lebih mudah dipahami peserta didik dengan melihat langsung kehidupan yang nyata, bukan materi pelajaran yang jauh dari realitas. Bahkan belajar yang baik dapat bersumber dari pengalaman peserta didik sehari-hari. Kedekatan emosional peserta didik dengan lingkungannya merupakan sumber belajar yang berharga bagi terjadinya proses pembelajaran di kelas. Dimana peserta didik tidak terlepas dari identitas komunitasnya di samping mereka harus memahami sejarah nasional. Seperti yang diungkapkan Hasan (2012, hlm. 27) bahwa materi sejarah nasional sebagai “collective memory” harus dikembangkan oleh pendidikan sejarah. Identitas diri sebagai bangsa dikembangkan melalui pendidikan nasional dengan materi yang diterima pada tingkat nasional pun terlalu didominasi oleh materi sejarah yang terjadi di pulau Jawa. Tetapi, orang tidak mungkin melepaskan dirinya dari identitas komunitas terdekatnya.

Adanya kecenderungan Indonesia sentries dalam penulisan sejarah, yang pada hakikatnya sekaligus bisa kita anggap sebagai pencerminan yang makin disadari arti penting dari kajian sejarah lokal itu, antara lain dikatakan, Widja (1991, hlm. 15) dalam melakukan penelitian tentang sejarah lokal, kita tidak hanya akan bisa memperkaya perbendaharaan Sejarah Nasional, tapi lebih penting lagi memperdalam pengetahuan kita tentang dinamika sosio-kultural dari masyarakat Indonesia yang majemuk ini secara lebih intim. Dengan begini kita makin menyadari pula bahwa ada berbagai corak penghadapan manusia dengan lingkungannya dan dengan sejarahnya. Selanjutnya pengenalan yang lebih memperdalam pula kesadaran sejarah kita, yaitu kita diberi kemungkinan untuk mendapatkan makna dari berbagai peristiwa sejarah yang dilalui.

Mengacu kepada Abdullah (2010, hlm. 28), sejarah lokal terbagi dalam 4 kelompok, yaitu: (1) Studi yang difokuskan pada suatu peristiwa tertentu (studi peristiwa khusus atau apa yang disebut evenemental); (2) Studi yang lebih


(16)

menekankan pada struktur; (3) Studi yang mengambil perkembangan aspek tertentu dalam kurun waktu tertentu (seringkali disebut dengan studi tematis), dan (4) Studi sejarah umum yang menguraikan perkembangan daerah tertentu (propinsi, kota, kabupaten) dari masa ke masa. Berdasarkan klasifikasi di atas, salah satu peristiwa lingkungan terdekat tersebut dapat diambil dalam beberapa bidang, seperti perkembangan ekonomi, sosial, atau budaya merupakan bagian dari kelompok studi sejarah yang bersifat tematis. Bahkan dalam arus gerak sejarah tak jarang peristiwa sejarah terjadi akibat dari perjuangan identitas, baik identitas pribadi, golongan ataupun kelompok tertentu.

Jelas sekali, peranan pendidikan sejarah dalam menumbuhkembangkan ataupun menjaga kebudayaan yang ada, dimana melalui pembelajaran sejarah lokal dapat menciptakan sebuah sumber dalam pembelajaran. Kegiatan belajar dan pembelajaran memerlukan sumber belajar untuk memperlancar tercapainya tujuan belajar. Sumber belajar yang kontekstual tidak hanya berupa media di dalam kelas, tetapi memiliki sumber yang luas. Tidak hanya berupa sumber belajar bacaan, tetapi juga sumber belajar non bacaan, termasuk di dalamnya kehidupan masyarakat dan lingkungan sekitar kehidupan peserta didik seperti adat istiadat (Komalasari, 2010, hlm. 107).

Salah satu cara untuk sumber dalam pembelajaran sejarah hendaknya peserta didik diajak melihat langsung kehidupan yang nyata dan dekat dengan lingkungan peserta didik, bukan pada buku teks semata yang jauh dari realitas. Seperti yang diungkapkan oleh Supriatna (2007a, hlm. 157) bahwa:

lingkungan sosial peserta didik merupakan sumber belajar yang sangat kaya bagi pembelajaran. Apabila dalam pembelajaran tradisional guru lebih banyak mengandalkan sumber berupa buku teks dan diceramahkan kembali di kelas maka pemanfaatan sumber dari luar kelas (lingkungan sosial) melalui berbagai strategi akan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran terutama dalam pembelajaran sejarah yang dekat dengat aspek sosial.

Berdasarkan pendapat di atas bahwa guru sebaiknya dalam menyajikan suatu peristiwa sejarah kepada peserta didik, haruslah memberikan contoh pula terhadap peristiwa sejarah yang dekat lingkungan peserta didik kemudian dikaitkan dengan peristiwa sejarah yang berada di daerah lain.


(17)

Peranan guru adalah menyediakan, menunjukkan, membimbing dan memotivasi peserta didik agar mereka dapat berinteraksi dengan berbagai sumber belajar yang ada. Bukan hanya sumber belajar yang sengaja dirancang untuk keperluan belajar, melainkan juga sumber belajar yang telah tersedia. Semua sumber belajar itu dapat kita temukan, kita pilih, dan kita manfaatkan sebagai sumber belajar bagi peserta didik.

Pada kenyataannya, dewasa ini banyak para guru yang mengajar dengan pola tradisional dan mengabaikan keterampilan-keterampilan yang sangat mendasar. Keterampilan dasar mengajar ini adalah merupakan panduan pengajaran dengan menggunakan perangkat “Sydney Micro Skills” (Turney,1975). Adapun Keterampilan Dasar Mengajar ini adalah: (1) keterampilan bertanya, (2) keterampilan memberi penguatan, (3) keterampilan mengadakan variasi, (4) keterampilan menjelaskan, (5) keterampilan membuka dan menutup pelajaran, (6) keterampilan memimpin diskusi kelompok kecil, (7) keterampilan mengelola kelas, (8) keterampilan mengajar kelompok kecil dan perorangan.

Guru inovatif hendaknya melihat pelajaran bukan sekedar pelajaran bersifat teoritis, tetapi harus mampu menciptakan hal-hal praktis seperti nilai-nilai kemandirian, membangun rasa yang sarat nilai, sangat penting ditumbuhkembangkan kepada peserta didik. Peserta didik bukan hanya belajar nilai-nilai kepahlawanan, nasionalisme dan lain-lain yang bersifat umum, namun mengembangkan nilai-nilai kearifan lokal sekitar seperti sikap mental mandiri, berani/perkasa, ulet, tekun, aktif, kreatif, bermoral tinggi, memiliki kepekaan lingkungan, mandiri, menjadi pencipta lapangan kerja dan bukan sekedar pencari kerja akan menjadi benteng survival terhadap imperialisme ekonomi gaya baru dari globalisasi (Wiriaatmadja, 2007, hlm. 217).

Pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dengan dukungan nilai karakternya memberikan peluang kepada guru sejarah untuk mengembangkan sejarah di lingkungan sekitarnya sehingga membangun memory collective dari tingkat lokal ke nasional. Memory collective tingkat lokal dapat memberikan motivasi dan rasa ingin tahu terhadap peserta didik untuk lebih


(18)

mengetahui dan pada akhirnya bermuara pada kesadaran sejarah lingkungannya. Akan tetapi, realitas di lapangan berkata lain, dimana terjadinya mis-interpretasi terhadap kurikulum itu sendiri. Dampak dari anggapan tersebut, mereka masih tetap melakukan pembelajaran yang konvensional. Padahal, kalau guru berpikir dan bertindak kreatif, banyak sumber-sumber belajar sejarah di sekitar lingkungan peserta didik untuk dikembangkan. Sumber-sumber belajar tersebut sangat bermanfaat untuk mengembangkan kesadaran sejarah.

Salah satu upaya yang dilakukan dalam memahami masyarakat pada masa lalu dapat dilakukan melalui pembelajaran sejarah lokal di lingkungan peserta didik. Hal ini diupayakan agar pembelajaran sejarah dengan materi pembelajaran sejarah lokal akan lebih mudah dipahami peserta didik dan melihat secara langsung realitas kehidupan sesungguhnya di lingkungan terdekatnya. Aspek-aspek sosial yang dapat dikaji dalam sejarah lokal dapat berupa perilaku individu maupun kelompok dalam suatu komunitas tertentu. Perilaku tersebut dipengaruhi oleh berbagai struktur, baik geografis, budaya, sosial, ekonomi dan lainnya. Pembelajaran sejarah lokal di sekolah dapat dimulai dari lingkungan terdekat hingga terjauh peserta didik. Hal terpenting adalah bagaimana peserta didik diberikan pemahaman konsep-konsep dari sejarah yang dapat dijadikan alat analisa oleh peserta didik dalam melihat realitas masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan (Mulyana & Gunawan, 2007, hlm. 4-7).

Dengan mengangkat materi sejarah lokal, peserta didik merasa ada kedekatan emosional terhadap lingkungannya sehingga nilai genealogis, kesadaran sejarah, dan kolektif memori akan terbangun dimulai dari lokalitas menuju nasional. Hal ini sejalan dengan pemikiran Hasan (2012, hlm. 122) bahwa “posisi materi sejarah lokal dianggap penting karena pendidikan harus dimulai dari lingkungan terdekat dan peserta didik harus menjadi dirinya sebagai anggota masyarakat terdekat”. Sehingga pada akhirnya kesadaran sejarah akan identitas dirinya sebagai anggota masyarakat akan terwujud.

Salah satu upaya dalam mengangkat materi sejarah lokal adalah dengan melakukan konsep social capital. Social capital (selanjutnya disebut modal sosial) dapat diterapkan untuk upaya pemberdayaan masyarakat. World Bank memberi


(19)

perhatian yang tinggi dengan mengkaji peranan dan implementasi modal sosial. Menurut definisi World Banks (1999) adalah:

“social capital refers to the institution, relationship and norms that shape the quality and quantity of a society’s social interactions. Increasing evidence shows that social cohesion is critical for societis to prosperecomically and for developments to be sustainable. Social capital is not just the sum of the instituions (that) undepin a society – it is the glue that holds them together” (Halpern, 2005, hlm. 16).

Modal Sosial menjadi semacam perekat yang mengikat setiap individu dalam suatu komunitas. Di dalamnya berjalan “nilai saling berbagi” (shared values) serta pengorganisasian peran-peran (rules) yang diekspresikan dalam hubungan-hubungan personal (personal relationships), kepercayaan (trust), dan common sense tentang tanggung jawab bersama. Jadi, elemen utama dalam modal sosial mencakup norm, reciprocity, trust, dan network. Social capital tercipta dari ratusan sampai ribuan interaksi antar orang setiap hari. Ia tidak berlokasi di diri pribadi atau dalam struktur sosial, tapi pada space between people. Ia menjadi pelengkap institusi. Modal sosial merupakan fenomena yang tumbuh dari bawah, yang berasal dari orang-orang yang membentuk koneksi sosial dan network yang didasarkan atas prinsip kepercayaan dalam hubungan yang saling menguntungkan (mutual reciprocity). Ia tidak dapat diciptakan oleh seorang individual, namun sangat tergantung kepada kapasitas masyarakat (Hasbullah, 2007).

Pembelajaran sejarah lokal perlu diperkenalkan kepada peserta didik agar peserta didik dapat mengenali identitas kelokalannya maupun penghargaan terhadap lokalitas atau identitas daerah lain dengan mempertimbangkan asas belajar dan tahap perkembangan peserta didik. Mengingat pembelajaran sejarah bukan hanya tanggung jawab guru pelajaran semata, maka pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu memotivasi pelaksanaan pendidikan sejarah di sekolah agar pembelajaran lokal dapat dilaksanakan (Supardan, 2004, hlm. 262).

Dengan melakukan pembelajaran sejarah lokal yang memanfaatkan lingkungan sekitarnya, guru diharapakan dapat menghindari apa yang dikatakan Wineburg (2008, hlm. 16) yang menilai selama ini sejarah yang diajarkan sekolah kurang bermakna bagi peserta didik. Ironis sekali, peserta didik diajak untuk


(20)

mempelajari asal-usul daerah lain, namun tidak memahami asal-usul daerahnya sendiri. Di sisi lain juga muncul persoalan yang terkait dengan kecurigaan dari kelompok tertentu yang merasa tidak diuntungkan dalam kurikulum.

Pembelajaran sejarah lokal yang dapat diangkat di lingkungan SMA Pasundan 1 Tasikmalaya dapat dilaksanakan dengan tidak keluar dari lingkungan sekolah. Gedung yang menjadi kampus SMA Pasundan 1 Tasikmalaya adalah saksi bisu dari haru-birunya perkembangan pendidikan di Tasikmalaya. Kampus SMA Pasundan 1 yang terletak di Jl. Dewi Sartika Kota Tasimalaya (sekarang) dulunya merupakan gedung bekas Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Pasundan yang didirikan pada tahun 1922. HIS Pasundan ini adalah sebuah sekolah yang dibangun oleh Paguyuban Pasundan dalam mengimplementasikan visi misinya dalam bidang pengajaran. Keberadaan bangunan HIS Pasundan yang sampai sekarang dipakai oleh SMP dan SMA Pasundan Tasikmalaya adalah sebuah bukti eksistensi dari Paguyuban Pasundan yang berkomitmen dalam bidang pengajaran. Selain itu pula dapat digunakan berbagai peristiwa sejarah mengenai apa yang menjadi modal sosial Paguyuban Pasundan dalam menjaga eksistensi organisasinya. Dimana hal ini tidak terlepas dari budaya Sunda yang ikut dilestarikan oleh organisasi ini.

Dengan demikian, berdasarkan latar belakang masalah, penulis mengambil judul penelitian “Penerapan Modal Sosial orang Sunda melalui kajian sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya” (Studi naturalistik inquiri terhadap peserta didik SMA Pasundan 1 Tasikmalaya).

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka fokus penelitian ini adalah bagaimana pembelajaran penerapan modal sosial orang Sunda melalui kajian sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya.


(21)

C. Rumusan Masalah Penelitian

Adapun rumusan masalah yang akan dikaji yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana desain pembelajaran penerapan modal sosial orang Sunda dalam kajian sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya?

2. Bagaimana implementasi pembelajaran penerapan modal sosial orang Sunda melalui kajian sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya?

3. Bagaimana hasil yang diperoleh dengan pembelajaran penerapan modal sosial orang Sunda melalui kajian sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya? 4. Bagaimana solusi dalam memecahkan kendala yang dihadapi dalam

pembelajaran penerapan modal sosial orang Sunda melalui kajian sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin diperoleh dengan melakukan penelitian ini adalah: 1. Memperoleh desain pembelajaran penerapan modal sosial orang Sunda

melalui kajian sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya.

2. Memperoleh gambaran implementasi pembelajran penerapan modal sosial orang Sunda melalui kajian sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya. 3. Mengidentifikasi hasil yang diperoleh dari pembelajaran penerapan modal

sosial orang Sunda melalui kajian sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya.

4. Mengidentifikasi solusi dalam memecahkan kendala yang dihadapi dalam pembelajaran penerapan modal sosial orang Sunda melalui kajian sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan informasi secara ilmiah mengenai kesadaran sejarah pada peserta didik melalui penerapan modal sosial orang Sunda melalui kajian sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya.


(22)

b. Sebagai sumber data untuk penelitian kedepannya dalam memahami lebih jauh mengenai pengaruh implementasi pembelajaran sejarah lokal dengan mengintegrasikan nilai kearifan lokal dalam pembelajaran sejarah terhadap pengembangan kesadaran sejarah peserta didik.

2. Manfaat Kebijakan

Memberikan informasi terhadap sekolah atau lembaga terkait melalui pengembangan kesadaran sejarah pada peserta didik dengan menggunakan pembelajaran penerapan modal sosial orang Sunda melalui kajian sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya. Dengan demikian, informasi diharapkan menjadi pertimbangan dalam materi sejarah pada kurikulum yang dilaksanakan di sekolah.

3. Manfaat Praktis

a. Bagi guru yaitu sebagai motivasi dan bahan pertimbangan guru untuk lebih memanfaatkan sejarah lokal untuk mengaitkannya dengan sejarah nasional dalam merencanakan dan mengemas proses pembelajarannya b. Bagi peserta didik yaitu diharapkan lebih mengenal, memahami dan

menghargai sejarah lokalnya yang merupakan bagian dari sejarah bangsanya serta menjadi momentum kesadaran sejarahnya terhadap apa yang ada di lingkungan sekitarnya.

c. Bagi sekolah yaitu meningkatkan prestasi sekolah melalui inovasi-inovasi yang dilakukan oleh guru sehingga guru lain termotivasi untuk meningkatkan profesionalisme.

F. Paradigma Penelitian

Paradigma penelitian ini dibuat sebagai sebuah gambaran peta konsep yang dilakukan untuk mempermudah dalam melihat kegiatan secara keseluruhan maka dalam hal ini kalau dikaitkan dengan konsep berfikir yang dikembangkan oleh Kuhn (1970) dalam “The Structure of scientific Revolution” dapat dikemukakan sebagai berikut: paradigma I yang memiliki keterkaitan dengan normal sains (normal science) dengan karakteristik pada tatanan ini sebagai gugus berfikir di mana teori-teori keilmuan tersebut sebagai landasan berpijak dalam


(23)

melakukan studi itu telah diterima secara luas. Dalam hal ini Chalmers (1983, hlm. 13) menyatakan, ”bahwa pengembangan ilmu bertitik tolak dari observasi, dan observasi memberikan dasar yang kokoh untuk membangun pengetahuan ilmiah di atasnya, sedangkan pengetahuan ilmiah disimpulkan dari keterangan-keterangan observasi yang diperoleh melalui induksi”.

Adapun bagan paradigma dari penelitian ini adalah:

Input PROSES OUTPUT

Peranan Paguyuban Pasundan dalam bidang pendidikan di

Tasikmalaya

Modal Sosial Orang Sunda

(silih asih, silih asah, silih asuh)

Peserta didik yang melupakan budayanya sendiri

tergerus arus globalisasi

Penerapan Modal Sosial Orang Sunda

melalui kajian sejarah Paguyuban

Pasundan di Tasikmalaya

Peserta didik memahami apa yang

menjadi modal sosialnya, terutama

dari orang Sunda

Tumbuhnya Kesadaran Sejarah

akan pentingnya Kearifan Lokal Budaya Orang Sunda


(24)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Metode penelitian merupakan hal yang utama dalam sebuah penelitian. Dengan adanya metode penelitian, peneliti akan mampu memecahkan masalah yang ditelitinya. Pada bab ini, penulis menjabarkan komponen-komponen metodologi penelitian yang meliputi: lokasi dan subjek, metode, desain, instrumen, teknik pengumpulan data dan analisis penelitian. Adapun penjabarannya adalah sebagai berikut:

A. Lokasi dan Subjek Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMA Pasundan 1 Tasikmalaya. Aspek pelaku adalah guru bidang studi sejarah dan peserta didik kelas XI IPS yang nantinya terlibat interaksi belajar mengajar dan dari aspek kegiatan adalah proses pembelajaran Sejarah. Adapun kelas yang akan diteliti adalah kelas XI IPS 1 SMA Pasundan 1 Tasikmalaya.

Alasan penelitian di lokasi ini dikarenakan bahwa sekolah ini adalah sekolah yang dikelola oleh Yayasan Paguyuban Pasundan. Secara historis, lokasi penelitian dahulunya merupakan sebuah sekolah yang didirikan oleh Paguyuban Pasundan sebelum masa kemerdekaan. Dapat dikatakan keberadaan dari bangunan yang telah berusia lebih dari 50 tahun dapat digolongkan ke dalam cagar budaya serta pengelola yang tidak berubah yaitu Paguyuban Pasundan, sehingga menimbulkan sebuah keunikan tersendiri, dimana lokasi ini dapat dikatakan sebagai simbol dari identitas eksistensi Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya.

Subjek penelitian ini adalah guru dan peserta didik kelas XI IPS 1 SMA Pasundan 1 Tasikmalaya sebanyak 13 orang yang terjadi dalam pembelajaran sejarah. Pada penelitian ini yang diamati sebagai sumber manusia, peristiwa, dan situasi. Manusia yang dimaksud adalah semua orang yang terlibat dalam penelitian ini yang terdiri dari guru, peserta didik, dan peneliti. Peristiwa yang


(25)

dimaksud adalah semua kejadian yang diamati selama kegiatan pembelajaran berlangsung di dalam kelas. Sedangkan yang dimaksud dengan situasi adalah latar atau gambaran yang menyangkut keadaan atau kondisi ketika berlangsung pengamatan terhadap pengembangan pembelajaran oleh guru atau peneliti.

Pada penelitian ini, peneliti berusaha memperoleh berbagai macam data yang berhubungan dengan penelitian. Data tersebut akan diperoleh dari semua perkataan, tindakan, situasi, dan peristiwa yang dapat diamati oleh peneliti selama kegiatan pembelajaran sejarah di kelas XI IPS 1 SMA Pasundan 1 Tasikmalaya. Sedangkan sumber data tersebut yaitu dari guru, peserta didik, dan pihak-pihak lain yang sesuai dengan penelitian ini.

Pemilihan subjek dalam penelitian ini, didasarkan pada pertimbangan bahwa kelas XI IPS 1 perlu mendapatkan perhatian. Karena selama ini kelas tersebut dianggap kelas yang kurang memiliki kemampuan akademik yang memadai, kurang motivasi belajar, sering terlambat dalam mengikuti kegiatan pembelajaran dan pasif dalam proses pembelajaran.

Lincoln dan Guba (1985, hlm. 39) mengemukakan bahwa karakteristik penelitian kualitatif bersifat „emergent design‟, maksudnya bahwa peneliti melakukan riset pada fenomena yang muncul dan bukan mengkonstruksikan apa fenomenanya dikarenakan peneliti ingin tahu sistem nilai-nilai yang muncul dari fenomena tersebut yang akan dijadikan fungsi interaksi antara peneliti dengan fenomena tersebut. Dalam penelitian kualitatif pada tahap awal penelitian dan kemungkinan peneliti belum memiliki gambaran yang jelas tentang aspek-aspek masalah yang akan ditelitinya, tetapi ia akan mengembangkan fokus penelitian sambil berjalan dan saat mengumpulkan data. Penelitian ini, seperti yang diungkap oleh Bodgan & Biklen (1992, hlm. 31) berusaha memahami makna prilaku manusia dalam situasi tertentu, dalam hal ini guru dan peserta didik dalam lingkungan kelas menurut persfektif peneliti sendiri

Selanjutnya, Lincoln & Guba (1985) mengemukakan bahwa ”Naturalistic sampling is, then very different from conventional sampling, it is based on informational, not statistical, considerations its purpose is maximize information, not to facilitate generalization”. Penentuan sampel dalam penelitian kualitatif


(26)

(naturalistik) sangat berbeda dengan penentuan sampel dalam penelitian konvensional (kuantitatif). Sampel yang dipilih berfungsi untuk mendapatkan informasi yang maksimum, bukan untuk digeneralisasikan.

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif terutama data-data mengenai variabel-variabel terteliti. Berdasarkan jenis data dalam penelitian ini, maka sumber data penelitian yang dapat memberi akses terhadap data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi:

1. Guru sejarah, peserta didik, dan kepala sekolah 2. Proses pembelajaran sejarah di kelas

3. Literatur yaitu buku-buku, artikel dan media visual yang berkaitan dengan modal sosial orang Sunda, pembelajaran sejarah lokal Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya dan kesadaran sejarah.

B. Metode Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif (qualitative research). Bogdan & Taylor (dalam Moleong, 2012, hlm. 4) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dari individu tersebut secara holistik (utuh).

Sedangkan menurut Nasution (2003, hlm. 5) penelitian kualitatif adalah mengamati orang dalam lingkungan, berinteraksi dengan mereka dan menafsirkan pendapat mereka tentang dunia sekitar. Selanjutnya Sukmadinata (2005, hlm. 60) menyatakan bahwa penelitian kualitatif (qualitative research) adalah suatu penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktifitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individu maupun kelompok.

Ciri umum yang ditampilkan dalam penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menghasilkan data deskriptif dan analisis serta interpretasinya berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang diamati (Creswell, 1988, hlm. 493). Dengan demikian penelitian kualitatif lebih


(27)

memusatkan pada ucapan dan tindakan subyek penelitian serta situasi alami dengan berpegang teguh terhadap kekuatan data hasil wawancara.

Alasan peneliti memilih metode kualitatif naturalistik karena metode kualitatif naturalistik dapat mengungkapkan pengetahuan yang tidak terkatakan, seperti perilaku subjek penelitian yang dapat diamati seperti perhatian, keseriusan, dan ekspresi informan pada saat wawancara maupun saat melakukan kegiatan. Oleh karena itu, ciri yang menonjol dari penelitian ini adalah cara pengamatan dan pengumpulan datanya dilakukan dalam latar/seting alamiah, artinya tanpa memanipulasi subyek yang diteliti atau apa adanya. Tujuan dari penelitian naturalistik adalah untuk mengetahui aktivitas, realitas sosial dan persepsi manusia melalui pengakuan mereka yang mungkin tidak diungkapkan melalui penonjolan pengukuran formal atau pertanyaan penelitian yang telah dipersiapkan dahulu.

Lincoln & Guba (1985, hlm. 39) mengasumsikan sebagai berikut:

1) Tindakan pengamatan mempengaruhi apa yang dilihat, karena itu hubungan penelitian harus mengambil tempat pada keutuhan dalam konteks untuk keperluan pemahaman.

2) Konteks sangat ditentukan dalam menetapkan suatu penemuan mempunyai arti bagi konteks lainnya yang berarti sebuah fenomena harus dilihat dari sebuah keseluruhan pengaruh di lapangan.

Dengan demikian, dalam penelitian ini, karakteristik naturalistik tampak dari tujuan penelitian yang ingin memperoleh gambaran implementasi pembelajaran penerapan modal sosial orang Sunda melalui kajian sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya, bukan untuk mengujikan suatu teori dengan beberapa variabel melalui sebuah kuesioner. Sebagai instrumen, peneliti memberikan perhatian penuh/terfokus pada proses pembelajaran yang sedang berlangsung di kelas seperti cara guru mengajar di kelas, respon peserta didik, materi yang diajarkan, cara guru menilai peserta didik dan ekspresi subjek. Peneliti tidak melakukan rekayasa apapun terhadap peserta didik, guru dan kelas semua dibiarkan berjalan apa adanya. Selain itu, karakteristik naturalistik juga terdapat pada proses penelitian dimana peneliti berusaha untuk mengungkapkan suatu realitas kegiatan pembelajaran berupa data deskripstif yang diperoleh dari hasil wawancara,


(28)

pengamatan atau observasi dan dokumentasi terkait aktivitas peserta didik dan aktivitas guru mengajar.

Selanjutnya, Lincoln & Guba (1985) menyatakan naturalistik inkuiri merupakan metode yang berorientasi pada penemuan yang meminimalisir manipulasi peneliti atas objek penelitian/studi. Selanjutnya metode naturalistik inkuiri dapat digolongkan menjadi dua yaitu naturalistik inkuiri interaktif dan non-interaktif. Model naturalistik inkuiri ini penting karena mempunyai suatu sejarah yang terkemuka, dalam satu disiplin dan jurnal yang telah terkenal, buku dan metodologi khusus yang menggolongkan pendekatannya.

Naturalistik inkuiri interaktif merupakan suatu pendalaman studi yang mempergunakan teknik face-to-face (bertatap muka) untuk mengumpulkan data dari orang-orang yang diteliti. Para peneliti kualitatif membangun suatu kompleks, gambaran holisitik dengan uraian perspektif penutur asli yang terperinci. Beberapa peneliti kualitatif mendiskusikan secara terbuka nilai-nilai tersebut dan kemudian membentuk naratifnya. Para peneliti interaktif menguraikan konteks studinya, serta menggambarkan perspektif yang berbeda dari fenomena dan secara terus menerus meninjau kembali pertanyaan dari pengalaman mereka di bidang tersebut.

Adapun naturalistik inkuiri non-interaktif merujuk pada penelitian analitis, menyelidiki konsep dan peristiwa historis melalui suatu analisis dokumen. Para peneliti mengidentifikasi studi, lalu manyatukan data untuk menyediakan suatu pemahaman konsep atau suatu peristiwa masa lampau yang boleh atau tidak boleh akan menjadi tampak secara langsung. Dokumen yang dibuktikan keasliannya merupakan sumber utama dari data. Peneliti menginterpretasikan „fakta‟ untuk menyediakan penjelasan tentang masa lampau dan menjelaskan makna kolektif di bidang pendidikan yang bisa jadi praktik isu dan arus dasar.

C. Instrumen Penelitian

Ada dua hal utama yang mempengaruhi kualitas data hasil penelitian, yaitu kualitas instrumen penelitian dan kualitas pengumpulan data. Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen atau alat penelitian adalah peneliti


(29)

itu sendiri. Peneliti sebagai human instrument, berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, menafsirkan data, dan membuat kesimpulan atas temuannya (Lincoln & Guba, 1985, hlm. 39; 194).

Lincoln dan Guba (1985, hlm. 199) menyatakan bahwa “...the human-as-instrument is inclined toward methods that are extensions of normal human activities: looking, listening, speaking, reading, and the like”. Dari pernyataan ini semakin jelas bahwa keunggulan manusia sebagai instrumen dalam penelitian naturalistik karena alat ini dapat melihat, mendengar, membaca, merasa, dan sebagainya yang biasa dilakukan manusia umumnya.

Moleong (2008, hlm. 169) menjelaskan, ada beberapa alasan mengapa manusia dijadikan sebagai instrumen dikarenakan:

1) Manusia sebagai instrumen responsif terhadap lingkungan dan terhadap pribadi-pribadi yang menciptakan lingkungan.

2) Manusia sebagai instrumen hampir tidak terbatas dapat menyesuaikan diri pada keadaan dan situasi pengumpulan data.

3) Manusia sebagai instrumen memanfaatkan imajinasi dan kreativitasnya dan memandang dunia sebagai suatu keutuhan, jadi sebagai konteks yang berkesinambungan dimana mereka memandang dirinya sendiri dan kehidupannya sebagai sesuatu yang riil, benar, dan mempunyai arti.

4) Manusia sebagai instrumen mendasarkan diri atas perluasan pengetahuan. 5) Manusia sebagai instrumen ialah memproses data secepatnya setelah

diperolehnya, menyusunnya, mengubah arah inkuiri atas dasar penemuannya.

6) Manusia sebagai instrumen memiliki kemampuan lainnya, yaitu kemampuan untuk menjelaskan sesuatu yang kurang dipahami responden. Selanjutnya, Lincoln dan Guba (1985, hlm. 193) mengemukakan sejumlah alasan mengapa manusia sebagai alat pengumpul data, yaitu:

1) Responsivenes; manusia dapat merasakan dan memberikan tanggapan terhadap petunjuk-petunjuk baik perorangan maupun lingkungan.


(30)

2) Holistic emphasi; holistik dalam lingkungan sekeliling, akan memerlukan manusia sebagai instrumen yang mampu menangkap gejala lingkungan alamiah yang menyeluruh.

3) Adaptability; daya guna manusia untuk menyesuaikan diri sangat tinggi sehingga dapat mengumpulkan informasi mengenai banyak aspek pada berbagai tingkatan secara simultan.

4) Knowledge base expansion; berkemampuan menjalankan fungsi secara simultan dalam ranah pengetahuan proposisional dan dalam pengetahuan yang dikumpulkan berdasarkan pengalaman.

5) Processual immediacy; kemampuan manusia sebagai instrumen untuk memproses data segera setelah terkumpul, dan dapat segera mengembangkannya

6) Opportunities to explore typical or idiosyncratic response; mempunyai kemampuan untuk menyelidiki jawaban-jawaban sumber data dan informasi sampai pada tingkat pemahaman yang lebih tinggi.

7) Opportunities for clarification and summarization; mempunyai kemampuan yang unik dalam menyimpulkan data serta meminta perbaikan dan penjelasaan secara langsung dari sumber informasi.

Adapun menurut Nasution (2003, hlm. 55-56), peneliti sebagai alat penelitian karena mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1) Peneliti sebagai alat, peka, dan dapat bereaksi terhadap segala stimulus dari lingkungan yang harus diperkirakannya bermakna atau tidak bagi penelitian.

2) Peneliti sebagai alat, dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek keadaan dan dapat mengumpulkan angka ragam data sekaligus.

3) Tiap situasi merupakan suatu keseluruhan.

4) Suatu situasi yang melibatkan interaksi manusia, dipahami dengan merasakan dan menyelaminya berdasarkan penghayatan.

5) Peneliti sebagai instrumen dapat segera menganalisis data yang diperoleh. 6) Hanya manusia sebagai instrumen dapat mengambil kesimpulan


(31)

menggunakannya sebagai balikan untuk memperoleh penegasan, perubahan, perbaikan atau penolakan.

7) Dengan manusia sebagai instrumen, respon yang lain dari pada yang lain dipakai untuk mempertinggi tingkat kepercayaan dan tingkat pemahaman mengenai aspek yang diselidiki.

Dengan demikian, maka pilihan pendekatan dan metode dalam penelitian ini dilandasi oleh beberapa pertimbangan yaitu:

1) Data yang terkumpul berupa kata-kata atau uraian deskriptif meskipun tidak menutup kemungkinan berupa angka-angka, perolehan data dilakukan melalui teknik observasi, dokumentasi, dan wawancara;

2) Dalam penelitian ini peneliti memiliki kedudukan yang sama dengan subjek penelitian, baik di saat melakukan wawancara, maupun di saat mengamati sejumlah fenomena sesuai dengan fokus penelitian yang terjadi secara holistik;

3) Proses kerja penelitian dilakukan dengan mengutamakan pandangan dan pendirian responden penelitian terhadap situasi yang dihadapi;

4) Data penelitian dianalisis secara induktif untuk mendapatkan makna dari kondisi alami yang ada;

5) Pemaknaan dalam penelitian dilakukan oleh peneliti serta atas interpretasi bersama antara peneliti dengan sumber data dan fokus masalah tentang pembelajaran penerapan modal sosial orang Sunda melalui kajian sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya.

6) Tingkat keterpercayaan data yang diperoleh dilakukan melalui verifikasi data dengan metode dan subjek yang berbeda-beda, kemudian dilakukan penyesuaian-penyesuaian.

Untuk memudahkan peneliti dalam mengumpulkan data, maka diperlukan beberapa alat bantu, yaitu:

1) Buku catatan berfungsi untuk mencatat semua pengamatan dan percakapan dengan sumber data atau informan. Buku catatan ini digunakan selama peneliti melakukan pengamatan di kelas dan


(32)

mewawancarai informan di SMA Pasundan 1 Tasikmalaya, terutama peserta didik Kelas XI IPS 1, guru sejarah, dan kepala sekolah.

2) Tape Recorder berfungsi untuk merekam semua percakapan atau pembicaraan selama peneliti mewawancarai informan atau sumber data. 3) Camera digunakan untuk merekam kegiatan pembelajaran sejarah di

kelas, juga dapat digunakan untuk mengambil gambar pada saat kegiatan pembelajaran sejarah di SMA Pasundan 1 Tasikmalaya. Pengambilan gambar dilakukan ketika observasi berlangsung dan dengan adanya kegiatan alat penelitian ini maka keabsahan penelitian lebih terjamin, karena betul-betul melakukan pengumpulan data.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan data. Data yang dihimpun dalam penelitian ini berupa kata-kata, tindakan dan dokumen, situasi dan peristiwa yang dapat diobservasi. Nasution (2003, hlm. 56) mengatakan bahwa sumber data yang dimaksud adalah:

kata-kata diperoleh secara langsung atau tidak langsung melalui wawancara, dan observasi. Dokumen berupa kurikulum, satuan pembelajaran, rencana pelajaran, buku paket, dan hal-hal yang berkaitan dengan masalah penelitian. Situasi yang berhubungan dengan kegiatan subjek penelitian dan masalah penelitian seperti dalam proses belajar mengajar, situasi belajar di perpustakaan dan situasi di lingkungan sekolah.

Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan di dalam “natural setting” atau kondisi yang alamiah untuk mendapatkan sumber data primer. Sesuai dengan sumber data yang akan dituju dalam penelitian ini, maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah:

a. Observasi

Observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan, para ilmuwan hanya dapat bekerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui observasi (Nasution, 2003, hlm. 67). Selanjutnya Alwasilah (2009, hlm. 154) mengatakan bahwa observasi memungkinkan peneliti


(33)

menarik inferensi (kesimpulan) ihwal makna dan sudut pandang informan, kejadian, peristiwa atau proses yang diamati. Dengan adanya observasi, peneliti akan melihat sendiri pemahaman yang tidak terucapkan (tacit understanding) juga sudut pandang informan yang mungkin tidak tercungkil dalam wawancara.

Adapun Faisal (1990) mengklarifikasikan observasi menjadi observasi partisipasi (participant observation), observasi yang secara terang-terangan atau tersamar (overt observation and cover observation), dan observasi yang tak berstruktur (unstructured observation). Terkait dengan hal tersebut di atas, maka dalam penelitian guru dan peserta didik di SMA Pasundan 1 Tasikmalaya ini observasi yang peneliti gunakan adalah observasi partisipasif, dimana peneliti datang ke lokasi atau kelas untuk mengamati situasi dan aktivitas peserta didik, namun peneliti tidak ikut terlibat dalam kegiatan tersebut. Observasi akan dilakukan untuk mengamati proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru sejarah di antaranya:

1) Mengamati secara langsung proses pembelajaran yang dilakukan di kelas mulai dari membuka pelajaran, menyampaikan materi pembelajaran serta mengakhiri pembelajaran untuk melihat bagaimana implementasi pembelajaran penerapan modal sosial orang Sunda melalui kajian sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya, dalam hal ini observasi tertuju pada guru dan peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung. 2) Kegiatan belajar peserta didik di luar kelas terutama melihat relevansi apa

yang mereka pelajari di luar kelas dengan pola tingkah laku peserta didik di kelas terutama di lingkungan sekolah dalam hubungan peserta didik dengan peserta didik dengan guru dan personil lainnya di lingkungan sekolah.

3) Interaksi edukatif antara guru dengan peserta didik terutama berkenaan dengan upaya guru dalam mengembangkan pemahaman peserta didik tentang pembelajaran penerapan modal sosial orang Sunda bagi peserta didik SMA Pasundan 1 Tasikmalaya.


(34)

Menurut Patton (dalam Nasution, 2003, hlm. 78) manfaat observasi adalah (a) dengan observasi di lapangan peneliti akan lebih mampu memahami konteks data dalam keseluruhan situasi sosial, jadi akan dapat diperoleh pandangan yang holistik (menyeluruh); (b) dengan observasi akan diperoleh pengalaman langsung, sehingga memungkinkan peneliti menggunakan pendekatan induktif, jadi tidak dipengaruhi oleh konsep atau pandangan sebelumnya. Pendekatan induktif membuka kemungkinan melakukan penemuan atau discovery; (c) dengan observasi, peneliti dapat melihat hal-hal yang kurang atau tidak diamati orang lain, khususnya orang yang berada dalam lingkungan itu, karena telah dianggap „biasa‟ dan karena itu tidak akan terungkapkan dalam wawancara; (d) dengan observasi, peneliti dapat menemukan hal-hal yang tidak akan terungkapkan oleh responden dalam wawancara karena bersifat sensitif atau ingin ditutupi karena dapat merugikan nama lembaga; (e) dengan observasi, peneliti dapat menemukan hal-hal di luar persepsi responden, sehingga peneliti memperoleh gambaran yang lebih komprehensif; (f) melalui pengamatan di lapangan, peneliti tidak hanya mengumpulkan data yang kaya, tetapi juga memperoleh kesan-kesan pribadi, dan merasakan suasana situasi sosial yang diteliti.

b. Wawancara

Teknik ini digunakan karena ingin menggali informasi secara mendalam dan karena merasa tidak tahu mengenai apa yang terjadi sebenarnya. Hal ini terutama kekurangtahuan peneliti mengenai kognisi dan afeksi informan mengenai variabel-variabel terteliti. Untuk itu diajukan pertanyaan terbuka, mengarah pada kedalaman informasi (Sutopo, 2006, hlm. 68). Berdasarkan hal itu, contoh-contoh pertanyaan yaitu (a) Apa yang anda ketahui mengenai modal sosial orang Sunda?; (b) Bagaimana memunculkan kesadaran sejarah dalam pembelajaran yang telah anda lakukan?

Selanjutnya dilancarkan clarifying interview (wawancara mengklarifikasi) terhadap informan dari guru sejarah, peserta didik dan kepala sekolah. Dalam hal ini dapat digunakan rangkaian pertanyaan yang bersifat mengklarifikasi,


(35)

untuk membantu informan mengklarifikasi secara mendalam beberapa informasi yang kurang jelas atau saling bertentangan.

Kedua teknik pengumpulan data di atas telah dikembangkan menjadi instrumen pengumpulan data berupa pedoman-pedoman, meliputi: pedoman wawancara untuk guru sejarah, pedoman wawancara untuk para peserta didik, pedoman wawancara untuk kepala sekolah, dan pedoman observasi proses pembelajaran sejarah.

c. Studi dokumen.

Arikunto (1998, hlm. 236) mengemukakan bahwa studi dokumen merupakan suatu teknik yang digunakan dan mencari data mengenai hal-hal atau cacatan-catatan, buku-buku, surat kabar, prasasti, kajian kurikulum dan sebagainya. Lincon dan Guba (1985, hlm. 276-277) mengatakan bahwa dokumentasi dan catatan digunakan sebagai pengumpulan data didasarkan pada beberapa hal yakni:

1) Dokumen dan catatan ini selalu dapat digunakan terutama karena mudah diperoleh dan relatif lebih murah.

2) Merupakan informasi yang mantap baik dalam pengertian merefleksikan situasi secara akurat maupun dapat dianalisis ulang tanpa melalui perubahan didalamnya.

3) Dokumen dan catatan merupakan sumber informasi yang kaya.

4) Keduanya merupakan sumber resmi yang tidak dapat disangkal, yang menggambarkan kenyataan formal.

5) Tidak seperti pada sumber manusia, baik dokumen maupun catatan non kreatif, tidak memberikan reaksi dan respon atau pelakuan peneliti.

Adapun dokumen yang peneliti maksudkan adalah tulisan hasil penelitian yang berkaitan dengan eksistensi Paguyuban Pasundan. Dokumen atau tulisan tersebut adalah yang peneliti butuhkan untuk mendapatkan gambaran mengenai penerapan modal sosial orang Sunda melalui kajian sejarah Paguyuban Pasundan. Selain itu ada pula dokumen Silabus dan RPP yang penulis butuhkan untuk melihat rencana yang guru persiapkan dalam implementasi pembelajaran penerapan modal sosial orang Sunda di dalam kelas. Dokumen-dokumen tersebut


(36)

dapat memberikan gambaran tentang inti dari penelitian ini. Hal ini dimaksudkan demi menjaga validitas data serta kredibilitas data yang nantinya akan dikumpulkan oleh penelitian.

E. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan adalah bersifat kualitatif yang dilakukan sejak tahap orientasi lapangan, seperti dikatakan Miles dan Huberman (1992) bahwa”… the ideal model for data collection and analysis is one that interweaves them from the beginning”. Yang artinya, model ideal dari pengumpulan data dan analisis adalah yang secara bergantian berlangsung sejak awal.

Pelaksanaan analisis data dilakukan sepanjang penelitian itu dan secara terus menerus mulai dari tahap pengumpulan data sampai akhir. Data yang diperoleh dalam penelitian ini tidak akan memberikan makna yang berarti apabila tidak dianalisis lebih lanjut. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Miles & Huberman (1992, hlm. 20) bahwa: “Analisa data kualitatif merupakan upaya berlanjut, berulang dan terus menerus”. Dengan demikian analisis yang dimaksud merupakan kegiatan lanjutan dari langkah pengumpulan data, dalam hal ini peneliti mencoba memberikan penafsiran terhadap keseluruhan temuan hasil penelitian yang di dasarkan pada kerangka teoritik. Penafsiran yang dilakukan tujuannya untuk mendapatkan sebuah gambaran permasalahan dalam penelitian kemudian mempunyai pemahaman dari hasil analisis dengan berbagai penjelasan, perbandingan/komparatif, sebab akibat serta deskriptif.

Menurut Miles & Huberman (1992, hlm. 20) mengemukakan bahwa aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Aktifitas dalam analisis data yaitu data reduction, data display dan concluting: drawing/verification.


(37)

Model Interaktif dalam Analisis Data Sumber: (Miles dan Huberman 1992, hlm. 23-27)

1. Data Reduction ( Reduksi Data)

Adapun data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu maka perlu dicatat secara teliti dan rinci. Seperti telah dikemukakan, semakin lama peneliti ke lapangan, maka jumlah data akan semakin banyak, kompleks dan rumit. Untuk itu perlu segera dilakukan analisis data melalui reduksi data. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan selanjutnya, mencari bila diperlukan.

Reduksi data dapat dibantu dengan berbagai peralatan dengan memberikan kode pada aspek-aspek tertentu. Kemudian dalam mereduksi data, setiap peneliti akan dipandu oleh tujuan yang akan dicapai. Tujuan utama dari penelitian kualitatif adalah pada temuan. Oleh karena itu, kalau peneliti dalam melakukan penelitian, menemukan segala sesuatu yang dipandang asing, tidak dikenal, belum memiliki pola, justru itulah yang harus dijadikan perhatian peneliti dalam melakukan reduksi data. Reduksi data merupakan suatu proses berpikir sensitif yang memerlukan kecerdasan dan keluasan serta kedalaman wawasan yang tinggi. Bagi peneliti yang masih baru, dalam melakukan reduksi data dapat mendiskusikan pada teman atau orang lain yang dipandang

Data collectio

Data reductio

n

Data display

Conclusion: drawing/verifyin


(38)

ahli. Melalui reduksi data, maka wawasan peneliti akan berkembang, sehingga dapat mereduksi data-data yang memiliki nilai temuan dan pengembangan teori yang signifikan

Proses reduksi data dalam penelitian ini dapat peneliti uraikan sebagai berikut: pertama, peneliti merangkum hasil catatan lapangan selama proses penelitian berlangsung di SMA Pasundan 1 Tasikmalaya yang masih bersifat mentah/kasar ke dalam bentuk yang lebih mudah dipaham seperti mentranskrip hasil wawancara dengan informan dari alat perekam ke dalam teks. Kedua, peneliti mendeskripsikan terlebih dahulu hasil dokumentasi berupa foto-foto proses pembelajaran sejarah ke dalam bentuk kata-kata sesuai apa adanya di lapangan. Ketiga, peneliti membuat kalimat dalam bentuk deskripsi dan membuang data yang peneliti anggap tidak perlu. Selanjutnya, peneliti memfokuskan tiga jenis data dokumentasi, observasi, dan wawancara pada empat kategori berdasarkan tujuan penelitian antara lain:

1) Desain penerapan modal sosial orang Sunda melalui kajian sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya

2) Implementasi pembelajaran penerapan modal sosial orang Sunda melalui kajian sejarah Paguyuban Pasundan di SMA Pasundan 1 Tasikmalaya 3) Hasil yang diperoleh, termasuk di dalamnya kendala dalam pembelajaran

penerapan modal sosial orang Sunda melalui kajian sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya

4) Solusi untuk memecahkan kendala yang dihadapi oleh peserta didik dan guru dalam pembelajaran penerapan modal sosial orang Sunda melalui kajian sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya.

2. Data Display (Penyajian Data)

Pada penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya. Dalam hal ini Miles and Huberman (1992) menyatakan ”the most frequent from of display data for qualitative research data in the has been narrative text”. Yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian


(39)

kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif. Dengan mendisplaykan data, maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti menyajikan data dalam bentuk uraian singkat yang bersifat naratif. Adapun pola penyajian data ini akan disajikan dalam empat kategori yang terdiri dari:

1) Desain, dalam tahap ini peneliti mendeskripsikan persiapan dan orientasi guru dalam melaksanakan pembelajarannya, dimulai secara filosofis sampai perangkat pembelajaran. Peneliti mendeskripsikan rencana pembelajaran penerapan modal sosial orang Sunda melalui kajian sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya yang disusun oleh guru.

2) Implementasi, dalam tahap ini mendeskripsikan pelaksanaan pembelajaran. Peneliti mendeskripsikan tentang proses pembelajaran penerapan modal sosial orang Sunda melalui kajian sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya yang terjadi di dalam kelas.

3) Hasil, dalam tahapan ini dideskripsikan hasil yang diperoleh dalam proses pembelajaran. Peneliti mendeskripsikan perubahan-perubahan yang terjadi setelah dilaksanakannya pembelajaran penerapan modal sosial orang Sunda melalui kajian sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya serta kendala yang dihadapi selama proses pelaksanaan.

4) Solusi, dalam tahapan ini dideskripsikan solusi dalam rangka memperbaiki proses pembelajaran. Peneliti mengidentifikasi kendala-kendala yang yang dihadapi oleh peserta didik dan guru dalam pembelajaran penerapan modal sosial orang Sunda melalui kajian sejarah Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya. Selanjutnya, peneliti mencarikan solusi yang dapat dilaksanakan dalam proses pembelajaran di dalam kelas.

3. Conclution Drawing/verification

Kemudian langkah ke tiga dalam analisis data kualitatif menurut Miles & Huberman (1992, hlm. 27) adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan


(1)

Gonggong, Anhar. “Sulawesi Selatan dan Komunikasi dalam Rangka Proses Integrasi Bangsa; Melangkah ke Pemahaman diri melalui Sejarah Lokal”. dalam Anhar Gonggong, (eds) (1983). Seminar Sejarah Lokal:

Komunikasi Antar Daerah Suku Bangsa dan Pembauran. Jakarta:

Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Depdikbud. Halpern, D. (2005). Social Capital. Cambridge: Polity Press.

Hamalik, O. (2008). Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara Hariyono (1995). Mempelajari Sejarah Secara Efektif. Jakarta: Pustaka Jaya Hasan, S.H. (1999). “Pendidikan Sejarah untuk Membangun Manusia Baru

Indonesia” dalam Mimbar Pendidikan. Nomor 2/XVIII Tahun. 1999.

Bandung: University Press IKIP Bandung.

Hasan, S.H. “Kurikulum Sejarah dan Pendidikan Sejarah Lokal” dalam Mulyana, A. & Restu Gunawan. (2007). Sejarah Lokal: Penulisan dan

Pembelajaran di Sekolah. Bandung: Salamina Press.

Hasan, S.H. (2012). Pendidikan Sejarah Indonesia - Isu dalam Ide dan

Pembelajaran. Bandung: Rizqi Press.

Hasbullah, J. (2006). Social capital: Menuju Keunggulan Budaya Manusia

Indonesia. Jakarta: MR-United.

Hasbullah, J. (2007) Social Capital. Tersedia: http://jousairihasbullah .blogspot.com/2007/07/social-capital-suatu-organisasi-atau.html

Hasibuan, J.J. et all (2009). Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Hermawan, I. (2009). Menuntut Ilmu di Mata Leluhur Sunda. Tersedia:

http://iwan1772.blogspot.com/2009/05/menuntut-ilmu-di-mata-leluhur-sunda.html

Huberman & Miles, B.M. (1992). Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press. Ife, J. & Frank Tesoriero (2008). Comunity Development: Alternatif

Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Ismaun (2001). “Paradigma Pendidikan Sejarah yang terarah dan bermakna” dalam Historia Jurnal Pendidikan Sejarah, No.4 Vo. II (Desember 2001).


(2)

Ismaun. (2005). Filsafat Sejarah. Bandung: Historia Utama Press. Ismaun. (2007). Filsafat Administrasi Pendidikan. Bandung: UPI Press.

Johnson, D.P. (1990). Teori Sosiologi: Klasik dan Modern 1 (Penterjemah:

Lawang, R.M.Z). Jakarta: Gramedia.

Johnson, E. B. (2009). Contextual Teaching & Learning. Bandung: MLC Kartodirdjo, S. (eds) (1983). Elite dalam Persfektif Sejarah. Jakarta: LP3ES. Kartodirdjo, S (1992). Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah.

Jakarta: Gramedia.

Kartodirdjo, S. (2005). Sejak Indische sampai Indonesia. Jakarata: Kompas. Keraf, A.S. (2010). Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Kompas

Kochhar, S.K. (2008). Pembelajaran Sejarah. Jakarta: Grasindo.

Komalasari, K. (2010). Pembelajaran Kontekstual: Konsep dan Aplikasi. Bandung: PT. Refika Aditama.

Kuntowijoyo (2003) Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Latif, A. (2009). Pendidikan Berbasis Nilai Kemasyarakatan. Bandung: Refika Aditama.

Lapian, A.B. (1980). “Memperluas Cakrawala melalui Sejarah Lokal” dalam

Prisma No. 8. Agustus 1980. Jakarta: LP3ES.

Lawang, R.M.Z. (1990). Pengantar Sosiologi. Jakarta: Universitas Teruka

Lawang, R.M.Z. (2004). Kapital Sosial dalam Persfektif Sosiologi: Suatu

Pengantar. Depok: UI press.

Lincoln S.Y. & Guba. E.G. (1985). Naturalistic Inquiry. California: Sage Publications.

Lubis, N.H. “Kearifan Tradisional: Warisan Sejarah Sunda” dalam Ajip Rosidi, Edi Ekadjati dan A Chaedar Alwasilah (eds) (2006). Prosiding Konferensi

Internasional Budaya Sunda Jilid I. Bandung: Yayasan Kebudayaan


(3)

Lubis, N.H. “Pewarisan Nilai-nilai Budaya Sunda sebagai Bagian dan Pendidikan

Sejarah” dalam Kamarga, H. & Yani Kusmayarni (2012). Pendidikan

Sejarah untuk Manusia dan Kemanusiaan; Refleksi Perjalanan Karir Prof Dr. H. Said Hamid Hasan, MA. Jakarta: Bee Media.

Lubis, N.H. et all (2013). Sejarah Jawa Barat Jilid 2. Bandung. YMSI Jawa Barat.

Moleong, L. J. (2008). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mulyana, A. & R. Gunawan (Eds) (2007). Sejarah Lokal: Penulisan dan

Pembelajaran di Sekolah. Bandung: Salamina Press.

Mulyana, A. “KTSP dan Pengembangan Konsep dalam Pembelajaran Sejarah

Lokal” dalam Mulyana, A & Restu Gunawan (eds) (2007). Sejarah Lokal

Penulisan dan Pembelajaran di Sekolah. Bandung: Salamina Press.

Mulyasa, E. (2008). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan; Suatu Panduan

Praktis. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Mulyasa, E. (2009). Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan;

Kemandirian Guru dan Kepala Sekolah. Jakarta: Bumi Aksara.

Mulyasa, E (2010). Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran

Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Mundardjito. “Hakikat Local Genius dan Hakikat Data Arkeologi” dalam

Ayatrohaedi (eds) (1986). Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya.

Murni, W. et all (2010). Keterampilan Dasar Mengajar. Yogyakarta: Ar Ruzz. Muslich, M (2007). KTSP: Pembelajaran berbasis Kompetensi dan Kontekstual.

Jakarta: Bumi Aksara.

Nasution, S. (1988). Asas-asas Kurikulum. Bandung: Jemmars.

Nasution, S. (2003). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. Noer, D. “Masyarakat dan Kesadaran Sejarah” dalam Gunawan, R. (eds) (1997).

Kongres Nasional Sejarah 1996 sub tema Perkembangan Teori dan Metodologi dan Orientasi Pendidikan Sejarah. Jakarta: Depdikbud.


(4)

O’neal, W.F. (2002). Ideologi-ideologi Pendidikan. (Penterjemah: Naomi, O.I.,

dari Educational Ideologies: Contemporary Expressions of Educational

Philosophies). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ranjabar, J. (2006). Sistem Sosial Budaya Indonesia: Suatu Pengantar. Bogor: Ghalia Indonesia.

Ridwan, N.A. (2007). “Landasan Keilmuan Kearifan Lokal”. Jurnal Studi Islam

dan Budaya. Vol.5, (1), 27-38. Ibda P3M STAIN Purwokerto

Rosidi, A. (2004). Masa Depan Budaya Daerah: Kasus Bahasa dan Sejarah

Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya.

Rosidi, A. (2011). Kearifan Lokal dalam Persfektif Budaya Sunda. Bandung: Kiblat.

Rowse, A.L (2014). Apa Guna Sejarah?. Depok: Komunitas Bambu.

Sanjaya, W. (2008). Pembelajaran Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis

Kompetensi. Jakarta: Kencana.

Sedyawati. (1986). “Lokal Genius dalam Kesenian Indonesia” dalam Ayatrohaedi, (eds) (1986). Kepribadian Budaya Bangs (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya.

Seixas, P. “Schweigen! Die Kinder! Or, Does Postmodern History Have a place in the Schools?: dalam Peter N. Stearns, Peter Seixas and Sam Wineburg (Eds) (2000). Knowing, Teaching, and Learning History, National and

International Perspectives. New York: New York University Press.

Soedjatmoko. (l985). Etika Pembebasan, Pilihan Karangan Tentang Agama,

Kebudayaan, Sosial dan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: LP3ES.

Soedjatmoko. “Kesadaran Sejarah dalam Pembangunan” dalam (1995a). Dimensi

Manusia dalam Pembangunan. Jakarta: LP3ES.

Soedjatmoko. “Sejarawan Indonesia dan Zamannya” dalam (1995b). Historiografi

Indonesia: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.

Soekanto, S (2001). Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press.

Sternberg, R.J. (2003). Wisdom, Intelligence, and Creativity Synthesized. Cambride: Cambride University Press. Tersedia: http://vct.qums.ac.ir/ Portal/file/?180470/Wisdom,%20Intelligence,%20and%20Creativity%20S ynthesized.pdf


(5)

Sugiyono. (2006). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif,

Kualitatif, dan R &D). Bandung: Alfabeta.

Suhamihardja, A.S. “Agama, Kepercayaan dan Sistem Pengetahuan” dalam Ekadjati, E.S. (1984). Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Jakarta: Girimukti Pusaka.

Suharto (2002). Paguyuban Pasundan 1927-1942; Profil Pergerakan

Etno-Nasionalis. Bandung: Lembaga Kajian Strategis Paguyuban Pasundan.

Sukmadinata, N. S. (2005). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sukmadinata, N.S. (2009). Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Supardan, D. (2004). Pembelajaran Sejarah Berbasis Pendekatan Multikultural

dan Perspektif Sejarah Lokal, Nasional, Global untuk Integrasi Bangsa.

Disertasi Doktor pada SPs UPI. Bandung: tidak diterbitkan.

Supardan, D. (2009). Pembelajaran Sejarah Berbasis Pendekatan Multikultural

Dan Perspektif Sejarah Lokal, Nasional, Global, Dalam Integrasi Bangsa (Studi Kuasi Eksperimental Terhadap Peserta didik Sekolah Menengah Atas di Kota Bandung). Tersedia: http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/ JUR.PEND.SEJARAH/19570408194031_DADANG_SUPARDAN/ARTI KEL_JURNAL_INTERNASIONAL.pdf

Supriatna, N. (2007a). Konstruksi Pembelajaran Sejarah Kritis. Bandung: Historia Utama Press.

Supriatna, N. “Pembelajaran Sejarah dalam KTSP” dalam Mulyana, A & Restu

Gunawan (eds) (2007b). Sejarah Lokal Penulisan dan Pembelajaran di

Sekolah, Bandung: Salamina Press.

Supriono, A, Dance, F, Sasli, R (2007). Modal Sosial: Definisi, Dimensi, dan

Tipologi. Jakarta: MR-United Press.

Suryalaga, H. (2010). Kasundaan Rawayan Jati. Bandung: Nur Hidayah.

Suryani, E (2008). Merumat Warisan Karuhun Orang Sunda yang terpendam

dalam Naskah dan Prasasti. Jatinangor: Alqaprint

Suryo, D. “Kesadaran Sejarah” dalam Ayatrohaedi (eds) (2012). Pemikiran


(6)

Sutopo, H B. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif Dasar Teori dan

Terapannya dalam Penelitian. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Turney, C (1975). Sydney Micro Skills: Skills for Teacher Handbooks. Sydney: Sydney University Press.

Warnaen, S. et al. (1987). Pandangan Hidup Orang Sunda seperti tercermin

dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda. Jakarta: Depdikbud.

Widja, I. G. (1991) Sejarah Lokal Suatu Perspektif dalam Pengajaran Sejarah. Bandung: Angkasa.

Winataputra, U.S. et all (2002). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Universitas Terbuka.

Wineburg, S. (2006). Berpikir Historis; Memetakan Masa Depan, Mengajarkan

Masa Lalu. Jakarta: YOI.

Wiriaatmadja, R. (2002). Pendidikan Sejarah di Indonesia: Perspektif Lokal,

Nasional, dan Global. Bandung: Historia Utama Press.

Wiriaatmadja, R. “Multikulturalisme dalam Materi Pembelajaran Sejarah” dalam Mulyana, A & Restu Gunawan (eds). (2007). Sejarah Lokal: Penulisan

dan Pembelajaran di Sekolah. Bandung: Salamina Press.

Yulaelasari, E. (2004). Kurikulum dan Pembelajaran: Filosofi, Teori dan