Representasi Sensualitas Perempuan dalam Iklan Victoria Perfume Body Scent Versi “We are the star” (Studi Semiotika Representasi Sensualitas dalam Iklan Victoria Perfume Body Scent Versi “We are the star”).

(1)

SKRIPSI

Oleh:

IRIANY CHERRY NPM. 0643010379

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


(2)

NPM. 0643010379 IRIANY CHERRY

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran” Jawa Timur Pada tanggal 12 April 2011

Tim Penguji,

Pembimbing Utama

Yuli Candrasari, S.Sos, M.Si NPT. 3 7107 94 0027 1

2. Sekretaris

Dra. Herlina Suksmawati, M.Si NIP. 196412251993032001 1. Ketua

Dra. Sumardjijati, M.Si NIP. 196203231993092001

3. Anggota

Yuli Candrasari, S.Sos, M.Si NPT. 3 7107 94 0027 1

Mengetahui, DEKAN

Dra. Hj. Suparwati, M.Si NIP : 195 5071 8198 302 2001


(3)

Disusun Oleh: IRIANY CHERRY NPM : 0643010379

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi

Menyetujui, PEMBIMBING

Yuli Candrasari, S.Sos, M.Si NPT. 3 7107 94 0027 1

Mengetahui, D E K A N

Dra.Hj. Suparwati, M.Si. NIP : 19550718 198302 2001


(4)

Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas penyusunan Skripsi yng berjudul “Representasi Sensualitas Perempuan dalam Iklan Victoria Perfume Body Scent Versi “We Are The Star”” .

Adapun penyusunan skripsi ini diajukan guna memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan perkuliahan pada Jurusan Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur untuk meraih gelar Sarjana (S1).

Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan dan informasi dari semua pihak yang membantu. Pada kesempatan ini, tidak lupa penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Ibu Hj. Suparwati, Ec., MSi, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

2. Bapak Juwito, S.Sos, MSi, Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

3. Ibu Yuli Candrasari, S.Sos, Msi, selaku Dosen Pembimbing Skripsi jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan “Veteran” Jawa Timur.


(5)

5. Teman-teman terbaikku, Marta, Anas, Leny, Indra dan Reynata yang telah meluangkan waktunya untuk berbagi informasi dan memberikan dorongan serta bantuannya selama proses penyusunan skripsi ini.

6. Novi “Emak”, yang udah nemenin dan minjemin laptopna saat ujian lisan. 7. Yuuri.C dan Ryosuke Y yang selalu menjadi sumber inspirasi dan pencerah

suasana hati, ~Arigatou Sekai no Doko ni Itemo~!!!!!!!!!!!

8. Adek-adek angkatan 2007, QieQie, Akbar, Palu, Evan, Ega, Riska, Rr Dian, Ulfa, yang selalu menjadi teman tunggu disaat bimbingan, ~Ganbatte Ikimashou~!!!

9. Semua pihak yang telah memberikan bantuannya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas seluruh bantuannya.

Penulis menyadari bahwa pembuatan laporan Skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan penyusunan laporan Skripsi ini. Semoga laporan ini dapat berguna bagi penulis khususnya bagi pembaca. Terima Kasih.

Surabaya, Mei 2011


(6)

HALAMAN JUDUL………..……….i

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI…....ii

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI………...…iii

KATA PENGANTAR...………...……….iv

DAFTAR ISI………..………...……….vi

ABSTRAKSI………...………...……ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ……….……….1

1.2 Perumusan Masalah……….…………...………9

1.3 Tujuan Penelitian……….………...………9

1.4 Manfaat Penelitian……….……...………..9

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori……….………11

2.1.1 Periklanan………...……….………11

2.1.1.1 Tujuan Periklanan……..………...……...………13

2.1.1.2 Fungsi Periklanan……….………….…..………14

2.1.1.3 Jenis-Jenis Iklan……….…….…..……...15


(7)

2.1.4.3 Fashion sebagai budaya………..31

2.1.5 Perempuan dalam Iklan……….………..33

2.1.6 Representasi………37

2.1.7 Semiotika………40

2.1.8 Model Semiotik Roland Barthes………41

2.1.9 Respon Psikologi Warna………...……….45

2.2 Kerangka Berpikir………..………..48

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian……….…………50

3.2 Definisi Konseptual………..…………51

3.2.1 Sensualitas……….…..…………51

3.2.2 Corpus………..……...52

3.3 Teknik Pengumpulan data……….….…..54

3.4 Teknik Analisis Data……….…….……..55

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum PT. Victoria Care Indonesia……….…….…….57

4.2 Gambaran Umum Iklan Victoria Perfume Body Scent versi “We Are The Star” di televisi………..…..58


(8)

4.4.1 Pakaian……….……….…..60

4.4.2 Make-Up……….………72

4.4.3 Bentuk Tubuh……….……76

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5. 1 Kesimpulan………..84

5. 2 Saran………84

DAFTAR PUSTAKA………...86


(9)

DALAM IKLAN VICTORIA PERFUME BODY SCENT VERSI “WE ARE THE STAR”DI TELEVISI (studi semiotika representasi sensualitas dalam iklan victoria perfume body scent versi “we are the star)

Perempuan sebagai model iklan di media massa, baik cetak maupun elektronik makin marak digunakan. Menggunakan perempuan sebagai barang komoditi dalam iklan bukan hal baru. Pengumbaran sensualitas untuk menarik perhatian pria dianggap wajar. Berdasarkan fenomena ini, penulis ingin mengetahui bagaimana sensualitas perempuan direpresentasikan dalam iklan Victoria Perfume Body Scent versi “We are the star”.

Penelitian ini menggunakan semiotika Roland Barthes untuk memahami makna tanda yang muncul pada gambar baik secara denotasi maupun secara konotasi dan mitos. Sensualitas merupakan tataran imajinasi seksual individu terhadap objek yang dilihatnya. Sensualitas tak lepas dari fashion, make-up serta tubuh itu sendiri.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian deskriptif. Leksia dalam penelitian ini adalah diambil dari 4 potongan gambar/visualisasi yang mewakili sensualitas melalui pakaian, make-up dan bentuk tubuh. Teknik pengumpulan data dilakukan berupa rekaman gambar serta pernyataan maupun sumber dari berbagai pihak tentang sensualitas perempuan.

Hasil penelitian bahwa unsur pakaian yang mini serta ketat yang cenderung ketat, penambahan make-up warna natural dan gelap serta bentuk tubuh ramping, kaki jenjang, hidung mungil dan warna kulit putih dengan massa tubuh proposional dapat menghasilkan sensualitas.

Dengan demikian hal ini menjadi pembuktian bahwa makna pada gambar pakaian, make up, bentuk tubuh dalam iklan Victoria Perfume Body Scent versi “ We Are The Star” dapat menjadi representasi dari sensualitas perempuan. Ke depannya diharapkan penggunaan perempuan sebagai model iklan tidak lagi berpusat pada sensualitas perempuan,


(10)

1.1 Latar Belakang Masalah

Kehidupan dunia modern saat ini sangat bergantung pada iklan. Tanpa iklan para produsen dan distributor tidak dapat menjual barangnya, sedangkan para konsumen tidak akan memiliki informasi yang memadai mengenai produk barang dan jasa yang tersedia di pasar.

Menurut Dunn dan Burban (1978) yang menuliskan bahwa iklan merupakan bentuk kegiatan komunikasi non personal yang disampaikan lewat media dengan membayar ruang yang dipakainya untuk menyampaikan pesan bersifat membujuk (persuasive) kepada konsumen oleh perusahaan, lembaga non-komersial, maupun pribadi yang berkepentingan.

Wright (1978) sebagaimana dikutip oleh Alo Liliweri menuliskan bahwa iklan merupakan suatu proses komunikasi yang mempunyai kekuatan sangat penting sebagai alat pemasaran yang membantu menjual barang, memberikan layanan, serta gagasan atau ide-ide melalui saluran tertentu dalam bentuk informasi yang persuasif. (Liliweri, 1992 : 20)

Periklanan merupakan salah satu bentuk komunikasi untuk memenuhi fungsi pemasaran, maka apa yang harus dilakukan dalam kegiatan periklanan tentu harus lebih dari sekedar memberikan informasi kepada khalayak. Periklanan harus mampu membujuk khalayak agar berperilaku sesuai dengan strategi


(11)

pemasaran perusahaan untuk mencetak penjualan dan keuntungan. Singkatnya periklanan harus dapat mempengaruhi pemilihan dan keputusan pembeli.

Pada dasarnya tujuan iklan adalan mengubah atau mempengaruhi sikap– sikap khalayak, dalam hal ini sikap konsumen. Dalam komunikasi periklanan, ia tidak hanya menggunakan bahasa sebagai alatnya, tetapi juga alat komunikasi lainnya seperti gambar, warna dan bunyi. Iklan disampaikan melalui dua saluran media massa, yaitu media cetak (surat kabar, majalah, brosur, dan papan iklan atau billboard) dan media elektronik (televisi, radio, film dan internet).

Hampir tidak ada rumah di Indonesia yang tidak mempunyai televisi. Bahkan, banyak diantaranya yang memiliki lebih dari satu. Televisi sudah merupakan barang umum yang mudah dijumpai dimana saja. Karena itu, potensi sebagai wahana iklan sangat besar, karena ia mampu menjangkau begitu banyak masyarakat atau calon konsumen.

Televisi memiliki kelebihan-kelebihan sebagai media iklan. Beberapa kelebihannya, yaitu : 1. Kesan realistik, karena sifatnya visual, dan merupakan kombinasi warna-warni, suara dan gerak, maka iklan-iklan televisi nampak begitu hidup dan nyata, 2. Masyarakat lebih tanggap, karena iklan yang disiarkan dirumah dalam suasana yang serba santai atau rekreatif, maka masyarakat lebih siap memberikan perhatian, 3. Repetisi/pengulangan, karena iklan yang ditayangkan berulang-ulang dan singkat mampu membuat khalayaknya tidak segera bosan dan mudah mengingatnya.

Berkembangnya iklan di berbagai media membuat biro iklan tidak lagi membatasi ruang gerak dankreativitasnya. Persaingan bisnis membuatpara biro


(12)

iklan memutar otak menciptakan iklan yang menarik. Usaha tersebut digunakan untuk mempengaruhi konsumen dalam memenangkan pendapat publik untuk berpikir sesuai dengan keinginan pemasang iklan. (Agustriyanto, 2007 : 7)

Iklan sebagai teknik persuasi memang harus lihai dalam mengecoh masyarakat agar masyarakat terpikat oleh cara iklan menawarkan. Manipulasi iklan tidak dapat dihindarkan. Proses produksi tidak lagi diarahkan untuk menghasilkan nilai guna melainkan konsumsi. Konsumsi menjadi tujuan akhir dari produksi. Manipulasi iklan dilakukan pada tataran simbolik, tataran informatik atau tataran moral. Manipulasi iklan dapatdilihat dengan masih banyaknya iklan yang memakai sosok perempuan cantik dan seksi untuk memikat konsumen. Iklan tidak hanya mempunyai kekuatan untuk membujuk (persuasive) dan menggoda orang untuk membeli barang yang ditawarkan, melainkan juga kekuatan memperkenalkan kode-kode kultural asing yang seringkali bertentangan dengan kultural asli dari negara tersebut, iklan juga dapat secara langsung merendahkan perempuan.

Iklan di media massabukan lagi elemen pelengkap sistem industrialisasi dan kapitalisme melainkan telah menjadi salah satu instrument paling vital, karena telah terbukti mempunyai kekuatan dahsyat untuk membujuk nafsu dan hasrat (desire) konsumen terhadap produk barang maupun jasa, dimasyarakat melalui serangkaian asosiasi-asosiasi ideologi citra yang dibangunnya.(Kasiyan, 2008 : 2)

Iklan di media massa tanpa kita sadari berperan membangun ideologi citra produk yang ditawarkannya itu kerap kali menggunakan sistem tanda/bahasa yang banyak bersinggungan dengan nilai-nilai ideologi tertentu. Ideologi yang


(13)

dimaksud adalah ideologi gender, terutama yang paling dikenal dengan eksploitasi perempuan sebagai sistem tandanya. Sudah menjadi pemahaman klasik bahwa hampir setiap media baik media cetak maupun elektronik, untuk kepentingan menawarkan produk apapun, nyaris tidak pernah lepas dari penggunaan figur perempuan.

Didalam kehidupan sehari-hari, perempuan banyak digunakan dalam iklan. Keterlibatan tersebut didasari 2 faktor utama, yaitu ; pertama, bahwa perempuan adalah pasar yang sangat besar dalam industri, yang dimaksud adalah produk untuk perawatan pribadi seperti produk kosmetik. Sedangkan bagi laki-laki, produk perawatan pribadi tidaklah sebanyak yang dikhususkan bagi perempuan. Faktor kedua adalah perempuan dipercaya mampu menguatkan elemen agar iklan mempunyai unsur menjual. Karena membuat sebagai unsur menjual sehingga menghasilkan keuntungan, maka penggunaan perempuan dalam iklan tampaknya merupakan sesuatu sejalan dengan ideologi kapitalisme. (Widyatama, 2007 : 41-42)

Pemakaian perempuan dalam iklan cukup lama dilakukan sekalipun baru tahun 1970-an mendapat perhatian. Menurut Sita Van Bammellen (1992), khususnya terhadap iklan-iklan di Barat telah membuktikan bahwa perempuan ada dirumah, tergantung pria, diperlihatkan dalam sedikit profesi, dan ditampilkan sebagai objek seksual. Singkatnya, perempuan banyak digambarkan dalam stereotip tradisional yang cenderung merendahkan posisi perempuan dihadapan laki-laki. Perempuan masih diperlihatkan dalam sosok subordinasi pria, terbatas,


(14)

lemah dan lebih banyak diperlihatkan sisi fisik dan objek seksual, serta ada didalam dunia domestik.

Penampilan perempuan pada media televisi saat ini sangat mendominasi. Perempuan didalam televisi dapat dilihat dalam berbagai penampilan, salah satunya adalah pemain iklan. Dari pengamatan awal atas stasiun RCTI sebagai TV swasta paling banyak mendapat iklan sepanjang tahun 2002 dengan total pendapatan sebesar Rp. 1.581 triliun (Cakram,2003), diperoleh data bahwa rata-rata dari 9 iklan yang ditayangkan dalam satu commercial break (waktu kesempatan ditayangkannya iklan) hanya 1 iklan yang tidak melibatkan perempuan. Kenyataan tersebut telah membuktikan bahwa perempuan telah menjadi komoditas sendiri. Sekalipun menempati sejumlah besar, tetapi penggambaran tersebut cenderung sebagai objek seks dan subordinatif.

Umumnya, perempuan dalam iklan televisi direpresentasikan berwajah cantik, kulitnya lembut, bersih dan berseri. Tetapi konstruksi kecantikan pada iklan tidak hanya pada wajah saja, namun juga pada bentuk tubuh. Seseorang perempuan cantik bila memiliki tubuh ramping dan ideal. Iklan televisi juga sering sekali membuat perempuan cantik tersebut melakukan gerak-gerik dan pose-pose sensual. Salah satu iklan televisi yang sering dikaitkan dengan sensualitas adalah parfum. Popularitas serta sosok yang menawan dijadikan senjata untuk memikat konsumen. Hal ini terlihat jelas dari banyak iklan parfum yang menonjolkan keindahan tubuh dan sensualitas.

Menurut Carry Cheng, ahli mode dan juru bicara Best of British, perempuan erat kaitannya dengan sensualitas, entah melalui lekuk tubuh, gaya busana,


(15)

aksesori, maupun wewangian yang digunakan. Wewangian merupakan bentuk sensualitas yang mudah tertangkap indera pria.Wewangian adalah aksesori bagi seorang wanita. Mereka bisa memilih sebuah busana berselera tinggi dan terlihat cantik, namun di penghujung hari, yang menggoda dari seorang wanita adalah

aroma tubuhnya.

(http://lifestyle.okezone.com/read/2009/10/27/194/269641/sensualitas-best-of-british)

Kliping menyatakan bahwa perempuan dianggap berbau “enak” , bersih, murni dan menarik ketimbang laki-laki. Tentu cara mengiklankan daya tarik perempuan sangat berbeda. Secara umum iklan parfum tampak menjanjikan kebahagian, kemewahan, glamour, dan seks yang berbeda. (Synnott, 2007 : 313)

Konsepsi dan batasan kehidupan sosial dan politik di Indonesia antara sensualitas, erotisme dan pornografi sebenarnya masih saling tumpang tindih. Tak ada rumusan jelas dari sisi hukum legal formal maupun aturan konvensi yang disepakati bersama. Seolah semua pihak punya batasan sendiri. Sensualitas merupakan beberapa asosiasi yang mengarah ke perilaku membangun imaji/fantasi seksual yang diekspresikan melalui gaya pakaian, mimik wajah, sikap, dan tingkah laku perempuan dengan tubuhnya. (http://eprints.undip.ac.id/14065)

Seperti yang digambarkan pada iklan Victoria perfume body scent, beberapa perempuan berdiri disebuah ruangan dengan dekorasi ruangan gemerlap dari lampu yang menimbulkan kesan glamour itu. Iklan yang diluncurkan pertama kali oleh PT. Victoria Care Indonesia tanggal 8 oktober 2010 itu menampilkan sosok


(16)

para perempuan yang melakukan gerakan-gerakan tubuh dan mimik wajah menggoda. Dengan tampilan pakaian sangat ketat pada tubuhnya sambil memegang parfum dan mengatakan “Wangi mewah tahan lama”, para perempuan tersebut melakukan gerakan-gerakan menggoda. Iklan ini mengundang beberapa komentar dari pengamat dari situs Youtube.com. Hal ini disebabkan iklan parfum ini menjiplak setting tempat, pakaian, make-up hingga iringan lagunya dari Video Klip dari Brown Eyed Girl berjudul Abacadabra yang sensual serta dianggap iklan yang “nakal” (http://www.youtube.com/watch?v=i6iSs3W8UtM&feature=related). Brown Eyed Girl (BEG) merupakan Girl Band dari Korea, dalam Video Klipnya yang berjudul Abacadabra dibuat untuk promo go International yakni pangsa pasar Amerika, yang mana menyesuaikan pangsa pasar di Amerika lebih bebas dan liberal dalam beriklan. Video klip ini mengundang kontroversi dan kritik, disebabkan penampilan BEG yang provocative (terbuka), sensual serta erotis oleh pengamat dan pecinta BEG.(http://wikipedia.org/search/brown-eyed-girl)

Semakin banyaknya kebudayaan Barat diperkenalkan pada masyarakat Indonesia, membuat masyarakat indonesia mengadaptasi segala bentuk pengenalan kebudayaan Barat melalui segi musik, bahasa, fashion dan lainnya. Pengenalan kebudayaan Barat tersebut disampaikan melalui berbagai media yang berhubungan langsung dengan khalayak, salah satunya adalah iklan. Kebanyakan iklan tersebut berisikan informasi yang berhubungan dengan penampilan dan informasi dari artis luar maupun dalam negeri, apa yang sedang menjadi trend dikalangan artis mancanegara dan penampilan-penampilan para artis tersebut yang


(17)

pada akhirnya dapat menjadi trend fashion pada kalangan audience iklan tersebut. Berdasarkan fenomena ini dapat dilihat bahwa masyarakat Indonesia juga telah terkena imperialisme budaya baik fashion, hingga pemikiran tentang bentuk tubuh (http://www.researchgate.net/publication/42356289_Imperialisme_Budaya_Pada_ Rubrik_Fashion_%28Studi_Analisa_Semiotika_Imperialisme_Budaya_Pada_Rub rik_Fashion_di_Majalah_Gogirl!%29).

IklanVictoria perfume body scent versi “We are the Star” dipilih oleh peneliti karena scenes dalam iklan ini menunjukkan sensual perempuan yang menjadi tren saat ini dengan mengadaptasi kebudayaan Barat yang ditampilkan seperti pakaian, pemikiran tentang bentuk tubuh yang ideal, dan make up yang diteliti oleh peneliti untuk menjabarkan representasi sensualitas perempuan.

Menurut Stuart Hall (Hall, 2002:15), “representation is an essential part of the process by which meaning is produced and exchanged between member of a culture. It does involved the use of the language, of signs, and images which stands for or represent things” atau representasi adalah “salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan yang melibatkan penggunaan bahasa, tanda, dan gambar yang berfungsi untuk mewakili sesuatu”.

Untuk meneliti dan menjabarkan representasi sensualitas pada iklan tersebut, peneliti meneliti dengan menggunakan teori semiotik Roland Barthes dengan melihat sensualitas baik dari denotasi maupun konotasi yang dikodekan dengan kode-kode sosial kemudian diformulasikan hingga menjadi sebuah mitos untuk mengungkap makna sensualitas.


(18)

Dari latar belakang yang telah disebutkan di atas, maka peneliti tertarik meneliti bagaimana sensualitas perempuan direpresentasikan dalam iklan Victoria perfume body scent yang menampilkan sosok perempuan cantik dan bertubuh ramping sebagai model dalam iklan tersebut.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka permasalahan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :

“Bagaimana sensualitas perempuan direpresentasikan dalam iklan Victoria perfume body scent versi “We are the star” ?”

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah memaknai sensualitas perempuan dalam iklan Victoria Perfume body scent dan mendeskripsikan sensualitas dengan pendekatan semiotik Roland Barthes melalui pakaian, bentuk tubuh, dan make-up.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis : sebagai bahan referensi bagi komunikasi jenis penelitian semiotika agar mahasiswa dapat mengaplikasikan untuk perkembangan ilmu komunikasi.

2. Manfaat Praktis : sebagai kerangka acuan agar lebih memahami tujuan iklan dalam persuasif masyarakat. Sebagai kerangka acauan bagaimana para


(19)

pengiklan untuk lebih menghasilkan iklan yang inovatif dan variatif dalam menggambarkan realitas kehidupan dengan infomatif


(20)

2.1 Landasan Teori 2.1.1 Periklanan

Periklanan adalah suatu proses komunikasi massa yang melibatkan sponsor tertentu, yakni si pemasang iklan pengiklan), yang membayar jasa sebuah media massa atas penyiaran iklannya, misalnya melalui program siaran televisi (Suhandang, 2010 : 13).

Periklanan merupakan kegiatan yang terkait pada bidang kehidupan manusia sehari-hari, yakni ekonomi dan komunikasi. Dalam bidang ekonomi periklanan bertindak sebagai salah satu upaya marketing yang strategis, yaitu memperkenalkan barang baru atau jasa untuk dapat meraih keuntungan sebanyak mungkin. Dalam hal ini periklanan merupakan salah satu kekuatan menarik yang ditujukan kepada sejumlah pembeli tertentu, hal mana dilaksanakan oleh produsen atau pedagang agar dapat mempengaruhi penjualan barang atau jasa dengan cara yang menguntungkan produsen atau penjual. Sedangkan dalam bidang komunikasi, periklanan merupakan proses atau kegiatan komunikasi yang melibatkan pihak-pihak sponsor (pemasang iklan), media massa dan agen periklanan (biro iklan). Ciri utama dari kegitan dimaksud adalah pembayaran yang dilakukan para pemasang iklan melalui biro iklan atau langsung pemilik media.

Definisi periklanan menurut Institut Periklanan Inggris adalah pesan-pesan penjualan yang paling persuasif yang diarahkan kepada konsumen yang paling


(21)

potensial atas produk barang atau jasa tertentu dengan biaya yang paling ekonomis (Jefkins, 1997 : 23).

Periklanan menjalankan fungsi persuasif yakni mencoba membujuk para konsumen untuk membeli merek-merek tertentu atau mengubah sikap mereka terhadap produk atau perusahaan tersebut. Terkadang iklan dapat persuasif sekaligus informatif. Periklanan mengkomunikasikan informasi produk, ciri-ciri produk dan lokasi penjualannya. Ia memberitahu konsumen tentang produk-produk terbaru.

Periklanan merupakan salah satu bentuk khusus komunikasi untuk memenuhi fungsi pemasaran, maka apa yang harus dilakukan dalam kegiatan periklanan harus mampu membujuk khalayak ramai agar berperilaku sedemikian rupa sesuai dengan pemasaran perusahaan untuk mencetak keuntungan. Periklanan harus mampu mengarahkan konsumen unutk membeli produk yang diyakini dapat memenuhi kebutuhan atau keinginan pembeli. Singkatnya, periklanan harus dapat mempengaruhi pemilihan dan keputusan calon pembelinya (Jefkins, 1997 : 15).

Didalam periklanan, tanda-tanda digunakan secara aktif dan dinamis, sehingga orang tidak lagi membeli produk untuk pemenuhan kebutuhan (need), melainkan membeli makna-makna simbolik, yang menempatkan konsumen didalam struktur komunikasi yang dikonstruksikan secara sosial oleh sistem produk atau konsumen (Amir, 2003 : 287).

Dari pengertian diatas dapat dirangkum dalam bentuk prinsip pengertian periklanan, dimana iklan mengandung enam prinsip dasar, yaitu :


(22)

1. Adanya pesan tertentu, pesan yang dimaksud adalah pesan verbal dan non verbal baik merupakan secara lisan maupun tulisan, rangkaian kata-kata yang tersusun dari huruf vokal dan konsonan, melalui audio maupun audio-visual.

2. Dilakukan oleh komunikator, pesan yang dibuat dan disampaikan oleh komunikator dalam iklan dapat dari perseorangan, kelompok, masyarakat, lembaga atau oraganisasi, bahkan Negara.

3. Dilakukan dengan cara non-personal, artinya tidak dalam bentuk tatap muka. Penyampaian iklan bisa dilakukan melalui media.

4. Disampaikan untuk khalayak tertentu, khalayak atau target khalayak telah ditentukan oleh perusahaan dalam strategi marketing didasarkan pada kelompok khusus yang memiliki kesukaan, kebutuhan, keinginan, karakteristik, dan keyakinan khusus.

5. Dalam penyampaian pesan tersebut, dilakukan dengan cara membayar

6. Penyampaian pesan tersebut, mengharapkan dampak tertentu, iklan memiliki tujuan tertentu, yaitu berupa dampak tertentu di tengah khlayak. Dampak teretentu yang diharapkan oleh pengiklan dapat berupa pengaruh ekonomis maupun dampak sosial.

2.1.1.1 Tujuan Periklanan

Sasaran menjadi dasar penyusunan tujuan sebuah iklan. Kotler (2002 : 659) menyatakan bahwasanya iklan itu bertujuan untuk membujuk, menginformasikan atau mengingatkan. Iklan informatif biasanya dilakukan secara besar-besaran pada


(23)

tahap awal suatu jenis produk. Tujuannya adalah membentuk dan merangsang permintaan pertama. Iklan persuasif penting dilakukan dalam tahap kompetitif. Tujuannya adalah membentuk permintaan selektif untuk suatu merk tertentu.

Beberapa iklan persuasif telah beralih ke jenis iklan perbandingan (comperative advertising) yang berusaha membentuk keunggulan merek melalui perbandingan atribut spesifik dengan satu atau beberapa merek lain di jenis produk yang sama. Iklan pengingat (reminder advertising) sangat penting untuk produk yang sudah mapan. Bentuk iklan ini adalah iklan penguat (reinforcement advertising), yang bertujuan meyakinkan kembali pelanggan.

Dari sudut pandang konsumen, iklan dipandang sebagai suatu media penyedia informasi tentang kemampuan, harga, fungsi produk maupun atribut lainnya yang berkaitan dengan suatu produk. (Duriato, 2003 : 6)

2.1.1.2 Fungsi Periklanan

Fungsi pemasaran adalah fungsi iklan yang diharapkan untuk membantu pemasaran atau menjual produk. Artinya iklan digunakan untuk mempengaruhi khalayak untuk membeli. Fungsi pendidikan mengandung arti bahwa iklan merupakan alat yang dapat membantu mendidik khalayak mengenai sesuatu, agar mengetahui dan mampu melakukan sesuatu. Fungsi selanjutnya adalah fungsi ekonomi, maksudnya iklan mampu menjadi penggerak ekonomi agar kegiatan ekonomi tetap berjalan. Fungsi terakhir adalah fungsi sosial, dalam fungsi ini iklan ternyata telah mampu menghasilkan dampak sosial psikologis yang cukup besar (Widyatama, 2007 : 144–146).


(24)

Fungsi memperkenalkan produk berarti menyampaikan informasi kepada seseorang dari tidak kenal menajadi kenal terhadap produk. Fungsi membangkitkan kesadaran merk (brand awareness) berarti bahwa dengan menerpa iklan, masyarakat mampu terbangkitkan kesadarannya terhadap keberadaan produk atau merek. Fungsi lainnya adalah membentuk citra merek (brand image) sebuah produk. Melalui rekayasa pesan yang disampaikan, iklan telah banyak digunakan untuk membantu, memelihara dan memperbaiki citra merk. Fungsi citra perusahaan artinya citra sebuah perusahaan mampu dibangun melalui iklan. Portfolio perusahaan tidak akan mampu mendongkrak citra sebuah perusahaan apabila tidak diimbangi dengan membungkusnya melalui pesan-pesan iklan (Widyatama, 2007 : 147-149).

2.1.1.3 Jenis-Jenis Iklan

Para praktisi mengatakan, iklan dapat dipecah menjadi 2 kategori besar yakni iklan above the line dan iklan bellow the line. Iklan above the line adalah media yang bersifat media massa, yakni khalayak sasaran berjumlah banyak, tidak saling mengenal satu sama lain dan menerpa pesan iklan secara serempak.

Media yang termasuk iklan above the line adalah surat kabar, majalah, tabloid, televisi, film dan media interaktif internet. Sedangkan iklan bellow the line adalah iklan yang menggunakan media khusus, seperti leatlet, stiker, poster, spanuk, baliho, buspanel, point of purchase (POP), shop sign, dan sebagainya.

Dalam buku Itergrated Mareting Communications yang dituliskan oleh Uyung Sulaksana (2003 : 98), terdapat beberapa pilihan utama media iklan


(25)

MEDIUM KEUNGGULAN KETERBATASAN 1. Televisi Gabungan pengelihatan,

bunyi, gerak, menggelitik panca indera, atensi tinggi, jangkauan luas

Biaya absolute tinggi, high clutter, fleeting,

exposure, selektivitas

audiens kurang. 2. Koran Fleksibel, tepat waktu,

dipercaya, diterima luas, local market coverage

Tak awet, mutu reproduksi rendah, pass-long, audience rendah 3. Direct Mail Audiens terseleksi, fleksibel,

tak ada pesaing dalam medium yang sama, personalisasi

Biaya agak tinggi, citra surat sampah

4. Radio Massa, seleksi geografis dan demografis, biaya rendah

Audio saja, atensi rendah ketimbang TV, struktur tarif tak baku, fleeting exposure

5. Majalah Seleksi geografis dan demografis, kredibel dan

prestos, reproduksi, berkualitas, awet, good

pass-along, readership

Antrian giliran iklan, sebagian sirkulasi sia-sia, tak ada jaminan posisi iklan

6. Luar ruang Fleksibel, exposure berulang, biaya rendah, persaingan rendah

Selektifitas terbatas, kreatifitas terbatas

7. Halaman Kuning

Local coverage, bagus, dapat dipercaya, jangkauan luas, biaya rendah

Persaingan tinggi, antrian lama, kreatifitas terbatas 8. Newsletter Selektifitas tinggi, kendali

penuh, peluang interaktif, biaya rendah

Biaya bisa tidak terkontrol

9. Brosur Fleksibel, kendali penuh, bisa mendramatisir pesan

Produksi berlebihan, bisa membuat biaya tak terkontrol,

10.Telepon Banyak pengguna, peluang untuk sentuhan pribadi

Biaya relatif tinggi, kecuali menggunan sukarelawan

11.Internet Selektifitas tinggi, interaktif, biaya rendah

Media baru dengan pemakai terbatas

Tabel 2.1. Pilihan Utama Media Iklan


(26)

2.1.2 Kreativitas Iklan

Kreativitas iklan adalah salah satu kata yang mungkin pada umum dan sering digunakan dalam industri periklanan. Mereka yang terlibat dalam produksi iklan kerap disebut dengan tim kreatif. Tanggung jawab tim kreatif adalah mengubah seluruh informasi mengenai produk seperti atribut atau manfaat produk hingga tujuan komunikasi yang ditetapkan menjadi suatu bentuk konsep kreatif yang mampu menyampaikan pesan pemasaran kepada khalayak.

Pandangan mengenai apa yang dimaksud dengan iklan kreatif ternyata tidak sama. Salah satu pandangan mengatakan bahwa iklan kreatif adalah iklan yang mampu meningkatkan penjualan prouk. Pandangan lain mengatakan iklan kreatif adalah iklan yang berasal dari ide orisinil, memiliki nilai artistik dan estetik serta mampu memenangkan penghargaan. Pendapat lain menyebutkan iklan kreatif adalah iklan yang mampu menarik perhatian dan mampu memberikan efek kepada audiens (Morrisan, 2007 : 265).

2.1.3 Televisi sebagai Media Periklanan

Televisi telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia saat ini. Bagi banyak orang televisi adalah teman. Televisi adalah cerminan perilaku bagi masyarakat dan televisi dapat menjadi candu (Morrisan, 2007 : 1). Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang pernah dilakukan pada masyarakat Amerika Serikat, mencatat bahwa hampir setiap orang menghabiskan waktunya 6-7 jam perminggu untuk menonton televisi. Sementara di Indonesia


(27)

pemakaian televisi dikalangan anak-anak bisa meningkat pada waktu liburan, bahkan bisa melebihi 8 jam perhari (Canggara, 2005 : 123).

Oleh karena itu televisi merupakan media yang paling disukai oleh para pengusaha di bidang penyiaran dalam menyiarkan produknya. Melalui media ini, pesan disampaikan dalam bentuk audio, visual dan gerak. Oleh karena itu pesan yang disampaikan melalui media ini sangat menarik perhatian dan impresif (Widyatama, 2007 : 91).

Selain itu, para pengiklan percaya bahwa televisi mampu menambah daya tarik iklan dibanding media lainnya, televisi juga diyakini sangat berpotensi mengingatkan khalayak terhadap pesan yang disampaikan. Hal inilah yang menyebabkan nilai belanja di televisi semakin lama semakin meningkat (Kasali, 1995 : 172).

Media televisi pada dasarnya bersifat hanya sekilas dan penyampaian pesannya dibatasi oleh durasi (jam, menit, detik). Penyampaian pesan yang terjadi secara berulang-ulang dalam frekeunsi tertentu, menjadikan khlayaknya mudah mengingat. Televisi juga diyakini sangat berorientasi mengingatkan khalayak sasaran terhadap pesan yang disampaikan (Kasali, 1995 : 172).

Menurut Wells, Burnett dan Miarty terdapat beberapa bagian dalam iklan yang ditayangkan di televisi, yakni:

1. Video, yaitu segala sesuatu yang ditampilkan dilayar yang bisa dilihat pada iklan di televisi merupakan stimulus yang merangsang perhatian khalayak atau dijadikan perhatian karena pada dasarnya manusia secara visual tertarik pada iklan display yang bergerak.


(28)

2. Suara atau Audio, dalam iklan televisi pada dasarnya sama di radio, yaitu dengan memanfaatkan music, lagu-lagu singkat (jingle), atau suara orang (voice). Misalnya seorang model iklan menyampaikan pesan langsung pada khalayak melalui dialog terekam pada kamera.

3. Actor atau Model Iklan (Talent) juga menjadi bagian penting dalam iklan. Sebagaimana banyak studi yang menunjukkan bahwa keefektifan komunikasi yang ditentukan oleh ciri-ciri dari komunikator, seperti kredibilitas dan daya tarik.

4. Alat Peraga (Porps) adalah peralatan-peralatan lainnya yang digunakan untuk mendukung pengiklan sebuah produk. Unsur utama alat peraga ini harus merefleksikan karkter, kegunaan, dan keuntungan produk, seperti logo, kemasan dan cara penggunaan suatu produk.

5. Latar atau Suasana (Setting) adalah tempat atau lokasi dimana pengambilan gambar (shooting) ketika adegan itu berlangsung. Lokasi tersebut dipilih berdasarkan tema iklan.

6. Pencahayaan (Lighting) sangat penting untuk menarik perhatian khalayak dalam menerima suatu objek tentang kejelasan gambar.

7. Gambar atau Tampilan yang bisa dilihat pada iklan di televisi merupakan stimulus yang merangsang perhatian khalayak dalam menerima kehadiran sebuah objek, dan diharapkan khalayak lebih mudah menerima dan mempersepsikan makna yang disampaikan. Unsur gambar iklan Victoria Perfume Body Scent ini misalnya mengandalkan komposisi warna dan bahasa tubuh (gesture) dari pemeran iklan.


(29)

8. Kecepatan atau pengulangan merupakan unsur yang sering dipakai yaitu denga melakukan pengulangan slogan atau kata-kata. Sebagai contoh misalnya pengulangan nama merek atau keunggulan produk dibanding yang lain. Sebagaimana teori dalam gaya bahasa bahwa sesuatu yang disampaikan berkali-kali bila disertai variasi akan menarik perhatian orang. Dari keterangan diatas, diketahui bahwa dengan adanya unsur-unsur visual berupa gambar hidup, kata-kata, musik mampu menimbulkan kesan mendalam pada penonton, maka dampak-dampak yang dihasilkan dari iklan sangat kuat dan juga berpengaruh pada khalayak. Hal ini juga yang membuat para pengiklan berbondong-bondong menggunakan TV sebagai sarana pengiklan.

2.1.4 Sensualitas

Seperti penjelasan sebelumnya, bahwa tak ada makna yang tepat untuk mendefinisikan pornografi, erotika dan sensualitas itu sendiri. Sensualitas adalah sesuatu yang berkaitan dengan kenikmatan yang bersifat naluri. Dan sensualisme yaitu, ajaran yang menganggap bahwa segala pengetahuan itu didasarkan pada suatu hal yang dapat ditangkap oleh panca indera. Sedangkan sensualitas merupakan segala sesuatu yang mengenai badan bukan rohani (Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, 2008).

Dari kamus Webstern’s New World College Dictionary Sensuality : The state or qualiy of being sensual

Sensual : Connected or preoccupied with bodily or sexual pleasure.

Unsur sensualitas lebih dikaitkan dengan perempuan. Hal ini dikarenakan ideologi dominan yang ada dalam masyarakat. Ideologi partriarki yang


(30)

memposisikan perempuan sebagai objek, memberikan konstribusi pada pengkomoditian tubuh perempuan oleh pihak media sebagai sarana untuk mengeruk keuntungan. Sebagai contoh, cover majalah dewasa yang kerap kali menampilkan tubuh perempuan dalam balutan pakaian yang mengesankan citra sensual. (Baria 2005 : 4)

Kriteria sensualitas perempuan dimata pria mempunyai beberapa faktor yang mempengaruhinya. Dan setiap bagian tubuh perempuan pasti mengandung daya tarik seksual tersendiri/bisa memberikan sensasi sensual yang berbeda-beda diantaranya adalah:

1. Tubuh Atletis

Pria menyukai wanita yang bertubuh atletis karena dalam pandangan mereka pasti wanita tersebut mampu menjadi ibu yang baik. Dengan tubuh yang fit, si wanita tentu akan mampu menjalani hari-harinya sebagai ibu dan mengerjakan berbagai tugas rumah tangga. Wanita bertubuh atletis juga diyakini mampu melindungi dirinya dari bahaya.

2. Payudara Padat Berisi

Bagi para pria, payudara wanita paling indah ada pada rentang usia awal 20 tahunan. Favorit mereka adalah payudara padat berisi persis yang ada di majalah-majalah pria atau iklan-iklan pakaian dalam. Jika Anda tidak memiliki payudara padat berisi jangan sedih dulu. Menurut hasil penelitian, pria menyukai payudara tanpa mempedulikan bentuknya. Tidak masalah apakah payudara tersebut berukuran kecil ataupun besar, pria pasti tertarik pada payudara wanita.


(31)

3. Kaki Jenjang

Ketika seorang wanita beranjak remaja, kaki mereka akan bertambah jenjang. Nah, di mata pria, kaki yang panjang menandakan kedewasaan wanita. Banyak wanita berkaki panjang menyadari kelebihan tersebut. Biasanya mereka menggunakan sepatu hak tinggi atau rok mini untuk semakin menonjolkan keseksian kakinya. Pria juga senang ketika wanita menggunakan hak tinggi. Sepatu yang mudah bikin kaki pegal tersebut menurut pria membuat kaki wanita tambah seksi, membuat bokong dan bagian belakang wanita semakin menarik.

4. Pinggang Ramping

Bentuk tubuh jam pasir sejak dulu menjadi idola wanita. Sejak lima abad silam, wanita berusaha keras mewujudkan bentuk tersebut lewat bentukan korset, diet ketat, sampai operasi plastik. Semakin segaris pinggul dengan pinggang membuat pria semakin tertarik. Terkesan wanita tersebut banyak menimbun lemak sehingga secara reproduktif kurang subur.

5. Pantat yang Bulat

Bokong bulat yang penuh dipastikan membuat mata pria tak bisa berpaling. Bokong wanita memiliki banyak fungsi, seperti menyimpan lemak untuk menyusui dan tempat menumpuk energi untuk saat-saat tertentu. Inilah mengapa banyak orang menganggap semakin besar bokong semakin menarik wanita tersebut.


(32)

Pastinya ini bukan kejutan lagi, perut ramping akan membuat pria jatuh cinta. Mengapa? Pertama, karena jelas perut ramping menandakan wanita tersebut tidak hamil. Menurut para pria perut ramping menandakan wanita tersebut pandai merawat diri dan peduli akan kesehatannya. Perhiasan di perut, seperti tindik di perut atau rantai di sekitar perut menurut pria membuat perut semakin seksi. Rantai tersebut membuat pinggul wanita tampak lebih besar sekaligus merampingkan pinggang.

7. Leher Jenjang

Leher pria umumnya pendek, lebar, dan kokoh. Secara historis, leher semacam itu berguna untuk membawa benda-benda berat, seperti binatang hasil buruan. Nah, karena itu leher jenjang wanita membuat pria terpesona. Leher jenjang dianggap sebagai tanda kewanitaan yang sangat menggoda, membuat pria senang mencium dan menghiasinya dengan perhiasan.

8. Wajah Ramah

Diam-diam pria mengidolakan wanita yang berwajah sedikit kekanak-kanakan dan penuh senyum. Wajah mungil, dagu kecil, rahang yang elegan, tulang pipi tinggi, bibir penuh, dan mata besar merupakan ciri-ciri wajah favorit pria. Wajah seperti ini membuat pria secara insting ingin melindungi dan memberi kasih sayang. Wajah yang lebih muda memang akan membuat pria tergoda. Karena itu tak heran jika jasa facelift dan operasi plastik cukup sering digunakan oleh wanita-wanita yang mulai keriput.


(33)

9. Mulut Sensual

Manusia adalah satu-satunya mahluk hidup yang bibirnya berada di bagian luar. Pria menyukai wanita yang berbibir penuh dan sensual. Untuk wanita yang tidak memiliki bentuk bibir demikian jangan khawatir. Dengan bantuan lipstick merah menyala, para pria juga bisa tergoda.

10. Daun Telinga

Telinga wanita juga memiliki peran penting dalam menggaet pria. Bagian telinga tempat wanita memasang anting-anting adalah bagian favorit pria. Panjangnya bagian tersebut menurut beberapa pria membuat wanita makin seksi. Beberapa wanita primitif bahkan dengan sengaja memperpanjang bagian tersebut untuk menarik hati pria. Sekarang wanita sudah lebih pandai untuk mengakali bagian tersebut. Anting-anting model panjang dan menarik perhatian jadi pilihan wanita untuk membantu membuat bagian tersebut terlihat lebih menarik.

11. Mata Besar

Pria umumnya mengagumi mata besar. Karena itu tak heran jika penata rias selalu menonjolkan bagian mata pada tata rias seseorang. Pria bukannya menyukai mata besar wanita tanpa alasan yang jelas. Menurut mereka mata semacam itu membuat para pria merasa terlindungi.

12. Hidung Mungil

Secara umum, pria menyukai wajah wanita yang imut seperti anak-anak. Wajah tersebut membuat pria merasa ingin melindungi. Begitu juga dengan hidung, pria sangat menyukai wanita yang berhidung mungil.


(34)

13. Rambut Panjang

Sehelai rambut bisa hidup hingga enam tahun, setiap harinya seseorang bisa kehilangan 80-100 helai rambut. Untuk pria bule, rambut pirang dianggap menarik karena wanita terkesan feminim dan subur. Namun apapun warnanya, pria menyukai rambut yang bersih dan berkilat. Rambut tersebut menandakan wanita tersebut bersih dan rajin merawat diri. Selain bersih, menurut sebuah survey, 75% pria lebih tertarik pada wanita yang berambut panjang (http://www.idamanistri.com/artikel13/bagiantubuh.html).

Sementara itu sensualitas sendiri adalah pemahaman yang ternyata ada pada tataran imajinasi. Artinya sensualitas hanya mempunyai arti jika muncul “imajinasi” seksual individu terhadap objek yang dilihatnya. Imajinasi ini berarti menempatkan konsep sensualitas sebagai terminologi abstrak yang relatif pemaknaanya dalam pola kebahasaan ini. Selama tidak menimbulkan imajinasi atau birahi seksual, selama itu bukan masuk dalam kategori definisi terminologi sensualitas.

2.1.4.1 Sensualitas dalam Fashion

Sensualitas pada perempuan tak lepas dari apa yang disebut dengan pakaian, pakaian sangat identik dengan fashion hingga kedua hal tersebut hampir tidak bisa dipisahkan. Fashion dan pakaian adalah cara yang digunakan individu untuk membedakan dirinya sendiri sebagai individu dan menyatakan beberapa bentuk keunikannya (Barnard, 2009:85). Pakaian yang langka, baik karena sudah sangat tua atau sangat baru misalnya, mungkin digunakan untuk menciptakan dan


(35)

mengekspresikan keunikan individu. Pakaian yang karena sangat tua atau sangat baru dan pakaian yang diproduksi secara massal mungkin juga digunakan untuk menciptakan efek ini.

Pakaian seperti halnya fashion dijelaskan dengan mengacu pada kebutuhan wanita untuk memikat pasangannya. Menurut Rouse, dalam Understanding Fashion menyatakan pakaian wanita dimaksudkan, untuk membuat pemakainya lebih menarik bagi lawan jenisnya karena pria memilih “pasangan hidup” berdasarkan daya tarik wanita. Jadi menurutnya pakaian wanita dimaksudkan untuk menunjukkan daya tarik seksual.

Fluegel menyatakan bahwa minat seksual budaya pada anatomi wanita terus-menerus bergeser dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh lain, adakala payudara, lalu kaki dan adakala bagian belakang. Eksperimen Viviene Weswood pada pertengahan 1990-an dengan energiknya bisa dipandang sebagai upaya untuk mengalihkan perhatian pada bagian bawah tubuh wanita, sebagai kebalikan dari bahu atau payudara, untuk kepentingan mengaksentuasikan suatu zona sensual yang baru.

Fashion dan pakaian ada dalam ruang konseptual atau ada pada pertentangan di antara begitu banyak hal berlawanan yang sangat menggoda untuk bisa menjelaskan profil-profil ambigu yang dipresentasikannya sebagai satu produk dari semacam ketidakbisaan memutuskan yang digeneralisasikan. Fashion dan pakaian bukan sekedar fenomena publik atau privat, fashion dan pakaian merepresentasikan sesuatu seperti batas atau garis di antara persona eksterior publik dengan identitas interior privat. Fashion dan pakaian tidak bisa sekedar


(36)

direduksi menjadi sarana menyembunyikan atau sarana memamerkan, garmen itu sama-sama mengungkapkan dan menyembunyikan sekaligus. Seperti dinyatakan oleh Barthes, erotika dalam busana adalah perkara kesementaraan :

“Kesementaraan dari kilauan kulit di antara dua bahan pakaian (celana dan sweater), di antara dua ujung (baju berdada terbuka, sarung tangan dan lengan baju); inilah kilauan yang menggoda, atau bahkan mementaskan suatu penampilan sebagai ketiadaan.” (Barthes, 1975:9-10, dalam Barnard, 2009:247)

Butir-butir fashion dan pakaian itu pada dirinya sendiri tidaklah bergerak atau hidup, melainkan memberi petunjuk pada gerakan tubuh atau tubuh-tubuh bergerak mengitarinya. Garmen-garmen yang berbeda, fashion dan pakaian yang berbeda pun menentukan gerakan yang bisa dibuat saat mengenakan garmen fashion dan pakaian itu. Bahkan fashion dan pakaian bisa dinyatakan memampukan atau memaksa kita untuk berbuat seperti yang dilakukan garmen dan fashion pada dirinya sendiri. Fashion dan garmen yang diproduksi secara massal menjadi sarana untuk mengkonstruksi gaya individual kita, entah bagaimana kita mempercayai baju atau rok, padahal keduanya ada dalam ribuan helainya. Garmen yang diproduksi secara massal digunakan untuk mengkonstruksi apa yang dipikirkan dan dialami sebagai identitas individual, satu busana yang mungkin dikenakan ratusan orang pada saat yang hampir sama. Dengan cara tersebut, identitas menaungi perbedaan dan perbedaan menaungi identitas.

Dalam mengkonstruksi identitas individual, pemakaian dilakukan atas barang-barang yang diproduksi secara massal dan kode yang disetujui secara sosial. Jadi pada inti identitas individual, pada inti sesuatu yang dianggap spesifik


(37)

atau ribuan helai. Identitas tersebut hanya bisa dikonstruksi mengikuti jaringan perbedaan yang sudah dipahami dan dianggap wajar bagi seluruh komunitas. Penyembunyian dan penampakan, tampilan dan ketidaktampilan, serta kesopanan dan godaan tidaklah berjalan bersama-sama dengan sekedar kehadiran atau ketiadaan butir-butir fashion dan pakaian. Butir fashion dan pakaian mungkin ada dan tetap memamerkan dan menggoda, seperti dinyatakan oleh Barthes, penampilan mungkin berlangsung di tempat garmen membuka diri seluas-luasnya dan dalam kesenjangan di antara garmen-garmen itu.

Orang-orang yang menilai fashion dan pakaian secara positif, orang yang melihat fashion dan pakaian sebagai bukti kreativitas dan produksi kultural adalah orang yang menyadari bahwa di sana tidak ada yang berada di baliknya dan orang yang bergembira menikmati permainan perbedaan kultural dengan ide bahwa perbedaan menghasilkan makna. Jadi, hal ini menegaskan bahwa itulah watak fashion dan pakaian ini, dan itulah watak makna dan komunikasi.

2.1.4.2 Fashion sebagai Komunikasi

Fashion dan pakaian sebagai sarana komunikasi menunjukkan bahwa pakaian dibentuk menjadi sesuatu yang menyerupai kalimat, pakaian atau setelan pakaian yang banyak kesamaannya dengan cara kata-kata dirangkai dalam kalimat. Dalam The Language of Clothes, Lurie menyatakan bahwa di sana ada banyak bahasa busana yang berbeda, yang masing-masing memiliki kosakata dan tatabahasanya masing-masing (Lurie, 1992:4). Jadi, fashion dan pakaian adalah


(38)

bentuk komunikasi non verbal karena tidak menggunakan kata-kata lisan atau tertulis.

Komunikasi sebagai pengiriman dan penerimaan pesan adalah yang pertama dilakukan kedua model yang digambarkan oleh Fiske untuk memahami komunikasi. Model pertama bisa disebut sebagai model proses, karena komunikasi dipandang sebagai suatu proses di mana seseorang menyatakan sesuatu kepada orang lain dengan menggunakan satu atau lebih medium atau saluran dengan beberapa efeknya. Dari sisi ini garmen yang merupakan salah satu butir fashion atau pakaian menjadi medium atau saluran yang dipergunakan seseorang untuk menyatakan sesuatu kepada orang lain dengan maksud mendorong terjadi perubahan pada orang lain itu. Melalui garmen itulah seseorang bermaksud mengkomunikasikan pesannya kepada orang lain. Dari sudut ini, pesan adalah maksud pengirim dan pesan itu ditransmisikan melalui garmen dalam proses komunikasi.

Dalam artian fashion dan pakaian, model ini memiliki beberapa kekuatan yang langsung diketahui umum yang kiranya benar secara intuitif untuk menyatakan bahwa seseorang mengirim pesan tentang dirinya sendiri melalui fashion dan pakaian yang dipakainya. Pakaian dipilih sesuai dengan apa yang akan dilakukan pada hari itu, bagaimana suasana hati seseorang, siapa yang akan ditemuinya dan seterusnya, tampaknya menegaskan pandangan bahwa fashion dan pakaian digunakan untuk mengirimkan pesan tentang diri seseorang kepada orang lain.


(39)

Model kedua bisa disebut sebagai model semiotika atau strukturalis seperti yang dinyatakan Fiske:

“Semiotika... merumuskan interaksi sosial sebagai tindakan yang mendasari individu sebagai anggota dari masyarakat atau budaya tertentu,”(Fiske, 1990:2)

Dengan begitu komunikasi membuat individu menjadi anggota suatu komunitas, komunikasi sebagai ‘interaksi sosial melalui pesan’ membuat individu menjadi anggota suatu kelompok. Bukan sebagai anggota suatu kelompok yang berkomunikasi dengan anggota kelompok lain, melainkan lebih dipandang sebagai komunikasi di antara individu-individulah yang membuatnya menjadi anggota suatu kelompok budaya.

Douglas menunjukkan dalam The World of Goods, “manusia membutuhkan barang-barang untuk berkomunikasi dengan manusia lain dan untuk memahami apa yang terjadi di sekelilingnya. Memang ini dua kebutuhan, namun sebenarnya tunggal, yakni untuk berkomunikasi hanya bisa dibentuk dalam sistem makna yang terstruktur” (Douglas dan Isherwood, 1979:95, dalam Barnard, 2009:44). Dia menyatakan bahwa pertama, fashion dan pakaian bisa saja digunakan untuk memahami dunia serta benda-benda dan manusia yang ada di dalamnya, sehingga fashion dan pakaian merupakan fenomena komunikatif. Kedua, dia menyatakan bahwa sistem makna yang terstruktur yakni suatu budaya, memungkinkan individu untuk mengkonstruksi suatu identitas melalui sarana komunikasi.


(40)

2.1.4.3 Fashion sebagai budaya

Kata kultur berasal dari kata Latin colere yang artinya mendiami, mengolah, melindungi, dan menghormati dengan pemujaan (Barnard, 2009:47). Dari kata ini kata cultura dikembangkan. Cultura terutama mengacu pada ide-ide pengolahan dan perawatan. Ide-ide yang utama untuk konsepsi budaya ini adalah proses, produksi dan pemurnian (refinement). Itulah arti awal dari budaya yang lebih familiar dengan bidang agrikultur yang mengacu pada proses, itulah permulaannya, saat benih ditebar, yang merupakan awal budaya, saat benih mengecambah dan tumbuh dan akhirnya saat tanaman matang dan siap dipanen. Budaya pun mengacu pada produksi atau produk akhir dari proses. Awal penggunaan kata kultur dalam artian budaya manusia bersifat metaforis, penggunaan yang umum dari satu kata menggambarkan sesuatu yang tidak begitu umum bagi manusia.

Budaya dipandang dengan cara sebagai titik akhir, yakni titik ideal yang bisa diartikan dengan cara seperti itu pulalah ia diukur dan dinilai. Budaya yang sudah berada pada titik puncaknya dapat dijadikan standard untuk menilai budaya lain apakah menyimpang atau belum matang. Pada model dokumenter, kultur dipandang sebagai serangkaian apa yang diistilahkan sebagai ‘puncak-puncak terpilih’ dari proses tersebut. Semua yang terbaik, yang paling menarik dan mencerahkan dari seni, sastra, dan musik dihimpun dalam pandangan ini dan dinamakan kultur.

Ada konsepsi lain tentang budaya yang ditegaskan Herder bahwa penting untuk menyatakan berbagai garis perkembangan budaya yang berbeda. Dia


(41)

mengusulkan konsepsi budaya yang multilinear, yang masing-masing garisnya sahih dan menarik dalam artiannya sendiri seperti juga yang lain. Herder menegaskan bahwa perlu untuk menyatakan budaya,

“Secara plural: budaya yang spesifik dan beragam dari bangsa-bangsa dan periode-periode yang berbeda, dan juga budaya yang spesifik dan beragam dari kelompok-kelompok ekonomi dan sosial di dalam suatu bangsa.”

(Williams, 1976:79, dalam Barnard, 2009:51)

Pada konsepsi budaya ini, budaya merupakan cara hidup. Pluralitas konsepsi ini bermakna bahwa setiap budaya memiliki kegiatan-kegiatan dan standard-standard yang spesifik bagi budaya itu dan standard-standard-standard-standard tersebut tidak bisa digunakan untuk menilai kegiatan-kegiatan budaya lain. Semua budaya tersebut relatif satu sama lain, tidak ada satu budaya yang dianggap berada di luar relasi tersebut dan bertindak sebagai standard atau ukuran untuk semua budaya lain. Konsepsi lain yang mengikuti konsepsi budaya dari kaum pluralis menyatakan budaya merupakan suatu deskripsi atas suatu cara hidup tertentu yang mengekspresikan nilai-nilai dan makna-makna tertentu, bukan hanya dalam seni dan belajar melainkan juga dalam institusi dan perilaku biasa. (Williams, 1961:57, dalam Barnard, 2009:51)

Oleh karena itu dalam konsepsi multilinear tentang fashion, busana, dan dandanan tentu saja akan dipandang sebagai budaya. Fashion dan busana bukan sekedar untuk mengekspresikan pesan tetapi juga menjadi dasar relasi sosial, sehingga kultur dan praktik-praktik kultural tidak sekedar mengekspresikan tatanan sosial. Fashion, busana, dan dandanan kini dipandang sebagai hal yang kurang lebih merupakan praktik penandaan hidup keseharian yang menyusun


(42)

kultur sebagai sistem penandaan umum. Fashion dan pakaian itu merupakan cara yang sama, yang selanjutnya di dalamnya dialami, dieksplorasi, dikomunikasikan, dan direproduksi tatanan sosial. Melalui fashion dan pakaian kita membentuk diri kita sebagai makhluk sosial dan kultural, dan kita menyandi (decode) lingkungan sosial dan kultural kita.

2.1.5 Perempuan dalam Iklan

Keindahan perempuan dan kekaguman laki-laki terhadap perempuan adalah cerita klasik dalam sejarah umat manusia. Dua hal itu pula menjadi dominan dalam inspirasi banyak pekerja seni dari masa ke masa. Namun ketika perempuan menjadi simbol dalam seni komersial, maka kekaguman terhadap perempuan itu menjadi diskriminatif, tendesius dan bahkan menjadi subordinasi dari simbol-simbol kelas sosial dan kehadirannya dalam kelas tersebut hanya karena kerelaan yang dibutuhkan laki-laki.

Saat ini ketika karya seni kreatif seperti iklan menjadi konsumsi masyarakat dalam berbagai media massa, posisi perempuan ini menjadi sangat potensial untuk dikomersilkan dan dieksploitasi, karena posisi perempuan menjadi sumber inspirasi dan juga tambang uang yang tidak habisnya.

Eksploitasi perempuan dalam pencitraan iklan tidak saja karena kerelaan perempuan, namun juga karena kebutuhan kelas sosial itu sendiri, sehingga mau atau tidak maupun kehadiran perempuan menjadi sebuah kebutuhan dalam kelas sosial tersebut. Sayangnya, kehadiran perempuan dalam kelas sosial itu masih menjadi realitas sosial masyarakat, bahwa laki-laki dan perempuan selalu menjadi


(43)

subordinat kebudayaan laki-laki. Karenanya, tetap saja perempuan di media massa khususnya iklan adalah “perempuannya laki-laki” dalam realitas sosialnya. Namun dalam konteks perempuan, terkadang perempuan tampil dalam bentuk yang lebih keras dan keluar dari stereotip perempuan sebagai sosok yang lembut dan tidak berdaya. Perempuan sering tampil sebagai perayu dan penindas. Sosok perempuan ini banyak ditemukan dalam iklan media, sekaligus merupakan rekonstruksi terhadap dunia realitas perempuan itu sendiri.

Dalam kehidupan sosial, pada hubungan perempuan dan laki-laki, posisi perempuan selalu ditempatkan sebagai posisi yang kalah dan juga sebagai “pemuas” pria, pelengkap dunia laki-laki. Hal inilah yang direkonstruksikan oleh media massa, bahwa media massa hanya merekonstruksi apa yang ada disekitarnya, sehingga media massa juga disebut sebagai refleksi dunia nyata, refleksi alam sekitarnya.

Tamrin Amal Tomagola (dalam Widyatama, 2007 : 43), dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa perempuan dalam media massa khususnya iklan dapat dikelompokkan menjadi 5 kategori citra, yaitu citra pigura, citra pilar, citra peraduan, citra pinggan, dan citra pergaulan.

Citra pigura adalah citra dimana perempuan dilekatkan pada fisik perempuan sebagai sosok yang cantik, berambut panjang, keibuan, lembut dan berbagai sifat feminin lainnya. Citra pilar adalah citra dimana perempuan menjadi penopang hidup dalam urusan domestik, setelah pria di wilayah public. Citra peraduan adalah citra dimana perempuan ditonjolkan dalam aspek seks dan seksualitasnya. Citra pinggan adalah citra gambaran perempuan yang


(44)

diperlihatkan dalam wilayah domestik, khususnya menyangkut urusan masak-memasak. Sementara citra pergaulan adalah citra yang menampilkan perempuan sebagai sosok yang cantik dan anggun sehingga pantas sebagai sosok yang dihormati dalam pergaulan.

Perempuan sangat lekat dengan iklan. Menurut Budi Sampurno, 1992 (Sampurno dalam Widyatama, 2007 : 44) daya tarik perempuan tidak saja diihat dari postur tubuh; ujung rambut hingga kaki; namun juga bisa dilihat dari tingkah lakunya. Karena itulah perempuan banyak dilibatkan dalam iklan. Keindahan perempuan menempatkan perempuan dalam stereotip perempuan dan membawa mereka ke sifat-sifat disekitar keindahan itu, seperti perempuan harus tampil menawan, pandai mengurus rumah tangga, memasak, tampil prima untuk menyenangkan suami dan lain-lainnya. Stereotip ini menjadi ide dan citra sekaligus sumber eksploitasi perempuan di berbagai media khususnya iklan.

Kuncara menyatakan bahwa perempuan adalah makhluk yang dimaksudkan untuk dilihat, bukan untuk didengar berbeda dengan pria, perempuan disertai tanda dengan gaya rambut, mode pakaian, make-up wajah, dan aksesoris lain. Tiap aspek perempuan membawa makna sendiri (Esther H Kuncara, dalam Widyatama, 2007 : 45). Perempuan yang tidak memiliki gaya, cenderung tidak diterima sebagaimana apa adanya. Sehingga perempuan cenderung ‘harus’ memilih gaya-gaya tertentu, mulai dari model rambut, pakaian, sepatu, maupun aksesoris lainnya untuk dapat diterima dan diartikan dalam citra tertentu.

Penggambaran perempuan dalam iklan televisi membuktikan bahwa perempuan cenderung diperlihatkan secara stereotip bias gender. Menurut


(45)

Widyatama, bias gender dalam iklan televisi di Indonesia terlihat dalam 3 hal, yaitu karakter yang diperlihatkan, wilayah peran, dan hubungan yang diperlihatkan antar laki-laki dan perempuan. Representasi bias gender tersebut diperlihatkan dalam aspek fisik dan aspek psikologis. Secara fisik, perempuan direpresentasikan atas kecantikan wajah dan keindahan tubuh, sementara laki-laki dalam aspek kekuatan fisik.

Umumnya perempuan ditampilkan dalam iklan televisi berambut panjang, menggunakan make-up, dan mengenakan pakaian yang lebih feminin. Di sisi lain, laki-laki cenderung ditampilkan secara lebih “natural” tidak terlalu menghiraukan penampilan fisik, namun tetap menampilkan stereotipnya sebagai sosok yang machoistik. Seorang perempuan direpresentasikan dalam iklan dengan karakter yang lemah lembut, lemah gemulai, wajah mengenakan make-up cantik, rambut panjang, tidak gesit dan menampilkan pakaian yang memperlihatkan lekuk tubuh.

Perempuan dalam aspek psikologis cenderung direpresentasikan lebih emosional. Perempuan dalam iklan cenderung direpresentasikan mengurus wilayah domestik, antara lain mencuci, menyetrika, membersihkan dan mengatur rumah, menyiapkan, mengolah, dan menghidangkan masakan, merawat dan mengasuh bayi hingga dewasa. Kalaupun perempuan ditampilkan di tempat publik, dalam iklan cenderung direpresentasikan sebagai tempat untuk “memamerkan” kecantikan serta selalu ingat pada urusan domestik. Persoalannya adalah apabila iklan di media massa telah menyangkut “aurat perempuan”, maka isi iklan tersebut seakan-akan justru menjadi konsumsi laki-laki, maka disitulah terkesan perempuan sedang dieksploitasi.


(46)

Tubuh perempuan telah menjadi kepentingan tertentu bagi penggerak bisnis di bidang iklan. Gambaran grafis dengan tujuan mengeksploitasi seksualitas perempuan lewat gambaran-gambaran yang menimbulkan birahi. Catherine Mackinnon menjelaskan bahwa pornografi adalah grafis-grafis yang eksplisit secara seksual dengan tujuan mensubordinasikan perempuan. Grafisnya berupa gambaran atau kata-kata.

Pengaturan masalah pornografi sudah dibuat dalam bentuk perundang-undangan terhadap media, seperti Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi, Undang-Undang Penyiaran, Undang-Undang Pers, Badan Sensor Film, dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bahkan untuk penyiaran dengan media untuk publik, Negara memiliki komisi khusus yang bernama Komisi Penyiaran Indonesia. Namun sayangnya, karena tidak diikutsertakan dengan semangat “penegak hukum” sehingga banyak peraturan yang tidak berfungsi dan terlaksana dengan baik. Sementara Undang-Undang Anti Pornografi dan Porno-aksi justru melakukan “perang terhadap tubuh perempuan”, dan perempuan dalam hal ini berpotensi dipersepsikan sebagai kriminal dan sumber terjadinya persoalan pornografi.

2.1.6 Representasi

Konsep representasi muncul untuk memenuhi tempat penting dan baru dalam studi kultur atau budaya. Representasi menghubungkan makna dan bahasa kepada budaya. Representasi berarti memproduksi makna dengan menggunakan bahasa untuk menyampaikan sesuatu yang bermakna atau untuk mewakili sesuatu


(47)

dengan penuh arti kepada orang lain (Hall, 2002:15). Representasi merupakan produksi makna melalui bahasa.

Representasi adalah konsep yang mempunyai beberapa pengertian. Ia adalah proses sosial dari ‘representing’. Ia juga produk dari proses sosial “representing’. Representasi menunjuk baik pada proses maupun produk dari pemaknaan suatu tanda. Representasi juga bisa berarti proses perubahan konsep-konsep ideologi yang abstrak dalam bentuk-bentuk yang kongkret. Jadi, pandangan-pandangan hidup kita tentang perempuan, anak-anak, atau laki-laki misalnya, akan dengan mudah terlihat dari cara kita memberi hadiah ulang tahun kepada teman-teman kita yang laki-laki, perempuan dan anak-anak. Begitu juga dengan pandangan-pandangan hidup kita terhadap cinta, perang, dan lain-lain akan tampak dari hal-hal yang praktis juga. Representasi adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia: dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan sebagainya. Dalam hal ini, representasi adalah produksi makna melalui gambar dalam video iklan.

Menurut Stuart Hall (Hall, 2002:15), representasi adalah “salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan”. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut ‘pengalaman berbagi’. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada disitu membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam ‘bahasa’ yang sama, dan saling berbagi konsep-konsep yang sama.


(48)

Bahasa adalah medium yang menjadi perantara kita dalam memaknai sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mempu melakukan semua ini karena ia beroperasi sebagai sistem representasi. Lewat bahasa (simbol-simbol dan tanda tertulis, lisan, atau gambar) kita mengungkapkan pikiran, konsep, dan ide-ide kita tentang sesuatu. Makna sesuatu hal sangat tergantung dari cara kita ‘merepresentasikannya’. Dengan mengamati kata-kata yang kita gunakan dan imej-imej yang kita gunakan dalam merepresentasikan sesuatu bisa terlihat jelas nilai-nilai yang kita berikan pada sesuatu tersebut.

Menurut Stuart Hall, ada dua proses representasi. Pertama, “representasi mental, yaitu konsep tentang ‘sesuatu’ yang ada di kepala kita masing-masing (peta konseptual)”. Representasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak. Kedua, “bahasa, yang berperan penting dalam proses konstruksi makna”. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam ‘bahasa’ yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu.

Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dunia dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan sistem ‘peta konseptual’ kita. Dalam proses kedua, kita mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara ‘peta konseptual’ dengan bahasa atau simbol yang berfungsi merepresentasikan konsep-konsep kita tentang sesuatu. Relasi antara ’sesuatu’, ‘peta konseptual’, dan ‘bahasa/simbol’ adalah jantung dari produksi


(49)

makna lewat bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara bersama-sama itulah yang kita namakan ‘representasi’. (Hall, 2002:19)

Konsep representasi bisa berubah-ubah. Selalu ada pemaknaan baru dan pandangan baru dalam konsep representasi yang sudah pernah ada karena makna sendiri juga tidak pernah tetap, ia selalu berada dalam proses negosiasi dan disesuaikan dengan situasi yang baru. Intinya adalah makna tidak inheren dalam sesuatu di dunia ini, ia selalu dikonstruksikan, diproduksi, lewat proses representasi. Ia adalah hasil dari praktek penandaan. Praktek yang membuat sesuatu hal bermakna sesuatu.

2.1.7 Semiotika

Semiotik adalah ilmu tentang tanda. Studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya dan penerimaanya oleh mereka yang menggunakannya. Menurut Preminger (Preminger, 2001, dalam Kriyantono, 2008 : 263), ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.

Tokoh-tokoh penting dalam bidang semiotik adalah Ferdinand Saussure, seorang ahli linguistik dari Swiss dan Charles Sanders Pierce, seorang ahli filsafat logika dari Amerika. Kajian semiotik menurut Saussure lebih mengarahkan pada


(50)

penguraian sistem tanda yang berkaitan dengan linguistic, sedangkan Pierce lebih menekankan pada logika dan filosofi dari tanda-tanda yang ada di masyarakat.

2.1.8 Model Semiotik Roland Barthes

Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Roland Barthes menekankan pada interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya, gagasan ini dikenal dengan “Order of Significations” (Fiske, 2004 : 118) atau tatanan pertandaan atau tingkatan tanda yang terdiri dari :

Denotasi

Stabilitas denotasi murni sesuatu hal yang relatif, dan untuk alasan itulah dapat muncul pembedaan yang tidak jelas dan absolut antara denotasi dan konotasi. Denotasi berkaitan dengan faktor sejarah dan sosial, denotasi bahkan tidak perlu harus benar dalam beberapa pengertian sederhana. Meskipun demikian, denotasi memiliki efek mengenai kebenaran tertentu yaitu meminta untuk dianggap benar, dan meminta mendapat perlakuan khusus. Denotasi merupakan sesuatu yang di dalamnya terdapat suatu perjuangan keras.

Denotasi adalah tanda yang paling stabil dan objektif terhadap konotasinya (Thwaites, 2002:62). Denotasi adalah apa yang sering dianggap sebagai maksud dari tanda, Pengertian first-order yang sungguh-sungguh dan benar yang muncul dan tidak terikat pada secondary manapun, seperti tambahannya, konotasi.


(51)

Stabilitas relatif denotasi (Thwaites, 2002:63) dapat hadir dalam beberapa cara:

1. Ketika beberapa cakupan umum dari suatu arti bersifat lazim, hal tersebut ditujukan kepada tanda melalui kode-kode di mana tanda tersebut beroperasi.

2. Ketika ada kode yang berfungsi secara dominan dan khusus.

3. Ketika tanda bekerja dengan kode-kode objektif dan ilmiah tertentu.

Konotasi

Konotasi mungkin bersifat jamak, tapi hal ini bukan berarti bahwa konotasi merupakan suatu pilihan subjektif individu. Konotasi muncul melalui kode-kode yang akhirnya shared dan sosial. Konotasi terstruktur dengan baik dan dengan melalui konotasi, seluruh dunia sosial memasuki sistem-sistem signifikasi. Konotasi dari tanda adalah satuan tentang sesuatu hal yang ditandai. (Thwaites, 2002:60)

Roland Barthes (Fiske, 2004:118) mengembangkan dua tingkatan pertandaan (staggered sistems) yang memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat, yaitu tingkat denotasi (denotation) dan konotasi (connotation).

1. “Denotasi” adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung dan pasti. Makna denotasi (denotative meaning) , dalam hal ini adalah makna pada apa yang tampak,


(52)

misalnya foto wajah Soeharto berarti wajah Soeharto yang sesungguhnya. Contoh lain misalnya : Sebuah foto tentang keadaan jalan mendenotasi jalan tertentu. Kata “jalan” mendenotasi jalan perkotaan yang membentang di antara bangunan. Namun foto jalan yang sama dapat dibuat dengan cara yang secara signifikan berbeda. Pengambilan gambar misalnya dilakukan dengan menggunakan film berwarna, memilih saat mentari belum meninggi, menggunakan soft focus, dan membuat jalanan tampak ceria, hangat, komunitas yang manusiawi untuk anak-anak bermain di sana. Namun pengambilan gambar dapat juga dilakukan dengan menggunakan film hitam putih, hard focus, kontras yang kuat, dan membuat jalan yang sama kelihatan dingin, tidak manusiawi, tidak ramah, dan lingkungan yang destruktif untuk anak-anak bermain di sana. Makna denotatifnya akan sama, yang beda akan ada dalam konotasinya.

2. “Konotasi” adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan). Ia menciptakan makna lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis, seperti perasaan, emosi, atau keyakinan, misalnya tanda bunga mengkonotasikan kasih sayang atau tanda tengkorak mengkonotasikan bahaya. Konotasi dapat menghasilkan makna lapis kedua yang bersifat implisit, tersembunyi, yang disebut makna konotatif (connotative meaning). Contoh masih tentang foto yang sama seperti pada contoh denotasi, perbedaan di antara keduanya


(53)

terkait dengan bentuk, tampilan foto, atau dalam penandanya. Barthes menegaskan bahwa setidaknya pada foto, perbedaan antara konotasi dan denotasi menjadi jelas. Denotasi merupakan reproduksi mekanis di atas film tentang objek yang ditangkap kamera. Konotasi adalah bagian manusiawi dari proses ini. Ini mencakup seleksi atas apa yang masuk dalam bingkai (frame), fokus, rana, sudut pandang kamera, mutu film dan seterusnya. Denotasi adalah apa yang difoto, sedangkan konotasi adalah bagaimana memfotonya.

Selain itu, Roland Barthes juga melihat makna yang lebih dalam tingkatnya, tetapi lebih bersifat konvensional yaitu makna-makna yang berkaitan dengan mitos. Mitos dalam pemahaman semiotika Barthes adalah pengkodean makna dan nilai-nilai sosial sebagai sesuatu yang dianggap alamiah atau cerita yang digunakan suatu kebudayaan untuk menjelaskan atau memahami beberapa aspek dari realitas atau alam. (Fiske, 2004:121)

Berbagai tingkatan pertandaan ini sangat penting dalam penelitian desain karena dapat digunakan sebagai model dalam membongkar berbagai makna desain (iklan, produk, interior, fesyen) yang berkaitan secara implisit dengan nilai-nilai ideologi, budaya, moral, spiritual. Tingkatan tanda dan makna Barthes ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.1

Tingkatan Tanda dan Makna Barthes (Christomy, 2004 : 94)

Pada penelitian ini, mengungkap makna dengan membongkar tanda-tanda Tanda → Denotasi → Konotasi (Kode) → Mitos


(54)

termasuk hal-hal yang tersembunyi di balik sebuah tanda yaitu teks yang tak lain adalah video iklan dan unsur-unsur lainnya dalam video iklan tersebut seperti pakaian, make up, bentuk tubuh, ekspresi yang ditampilkan dalam iklan yang dapat dimaknai oleh peneliti.

2.1.9 Respon Psikologi Warna

Menurut Leatrice Eisman, seorang konsultan warna dan penulis buku More a Live With Color bahwa warna ternyata menyatakan pesan pada orang sekeliling. Pesan itu bisa berarti menyejukkan, menggoda, gembira atau menakutkan. (http://nasional.kompas/read/2008/10/09/15551015/psikologi.dan.arti.warna)

Berikut ini merupakan keterangan respon psikologi warna : 1. Hitam

Respon : Power, Seksualitas, Kecanggihan, Kematian, Misteri, Ketakutan, Kekuatan, Kesedihan, Kegelapan, Represent Inauspicious Events

Misal : penggunaan pakaian pengantin pada wanita Sunda, Bali dan Madura umumnya biasanya menggunakan kebaya warna hitam yang terbuat dari kain beludru atau merah tua, yang dihiasi pita emas di tepi pinggiran baju.

(http://njowo.wikia.com/wiki/Busana_Tradisional_Jawa-Solo). Pada penggunaan pakaian dan bendera prajurit keraton Yogyakarta, warna hitam

dapat diartikan sebagai keabadian dan kekuatan. 2. Putih

Respon : Kesucian, Kebersihan, Ketepatan, Ketidakbersalahan, Kemurnian, Penuh Kejujuran, Setril dan Kematian


(55)

Missal : penggunaan warna bendera putih pada masyarakat Yogyakarta

sebagai tanda kedukaan atau kematian.(http://www.google.co.id/gwt/x?site=unuiversal&q=Warna+Pakaia

n+Yogyakarta&ei=6_qfTYialsuikaXahxKKQAw7ve=OCAwqfjAD&hl=id& source=m&rd=1&u=http://archive.kaskus.us/thread/2097242/60)

3. Merah

Respon : Power, Energi, Kehangatan, Keberanian, Cinta, Nafsu, Agersi, Bahaya

Missal : di Gorontalo, penggunaan warna merah biasa dikenakan dalam upacara pernikahan. Hal ini bermakna keberanian dan tanggung jawab. Di Keraton Yogyakarta, penggunaan warna merah pada prajurit Wirabraja bermakna keberanian.

4. Biru

Repon : Kepercayaan, Konservatif, Keamanan, Teknologi, Kebersihan, Keteraturan, Kesunyian, Kesesuaian, Kejujuran, Keseriusan, Keterangan dan Stabilitas, hubungannya dengan Air dan Langit

Missal : misalnya pada lonthong prajurit Dhaeng Yogyakarta, bermakna teduh dan ayom. (http://kilasbaliknusantara.blogspot.com/2010/12/makna-filosofi-dan-nilai-budaya.html)

5. Hijau

Respon : Kesegaran, Kesehatan, Kejelasan, Keburuntungan, Pembaharuan, Relaksasi


(56)

Misal : digunakan antara lain pada sayak Lurah prajurit Patangpuluh Keraton Yogyakarta. Pada bendera, muncul pada warna bendera Pareanom.Warna ini adalah simbol pengharapan.

6. Kuning

Respon : Optimis, Harapan, Filosofi, Ketidakjujuran, Pengecut, Pengkhianatan, Keselamatan, Kekayaan, dan Spiritualisasi

Misal : Dalam upacara selamatan pada masyarakat Jawa, sering dihadirkan nasi kuning sebagai bagian dari sesaji. Hal ini merupakan simbol pengharapan akan keselamatan dari Tuhan yang Maha Kuasa

7. Ungu/ Jingga

Respon : Spiritualisasi, Misteri, Transformasi, Kekasaran, Keangkuhan, Kemurungan

8. Orange

Respon : Energy, Keseimbangan, Kehangatan, Simbol Pengetahuan, juga mewakili Kebahagiaan, Kesegaran, Patriotisme

Missal : penggunaan pada pakaian prajurit Jagakarya keraton Yogyakarta, bermakna pemberani.

9. Cokelat

Respon : Tanah/Bumi, Realibility, Comfort, Daya tahan 10.Abu-abu


(57)

2.2 Kerangka Berpikir

Iklan dibuat dengan tujuan memperkenalkan suatu produk baik yang lama maupun yang baru serta meningkatkan penjualan produk tersebut, maka dari itu iklan dibuat semenarik mungkin. Tentunya dengan perbedaan media yang ditampilkan, perusahaan yang membuat iklan menerapkan strategi yang berbeda-beda. Maka dari itu, terdapat beberapa strategi yang digunakan oleh pengiklan agar audiens memiliki kesadaran akan merek yang diiklankan. Televisi merupakan media periklanan yang sangat ampuh dibandingkan media periklanan yang lainnya, karena televisi menggabungkan pengelihatan, suara dan gerak. Maraknya tayangan iklan di media televisi ini menyebabkan kompetisi diantara merek produk yang diiklankan semakin tinggi, maka pesan iklan harus diolah sekreatif mungkin dan semenarik mungkin. Iklan produk di televisi banyak menggunakan perempuan sebagai objek utama untuk menarik perhatian audiensnya.

Perempuan dalam iklan merupakan upaya politik bujuk rayu dan pengaburan nilai oleh iklan terhadap produk. Penggunaan figur perempuan dalam iklan cenderung menunjukkan pencitraan negatif. Diantaranya dalam bentuk subordinatif dan eksploitasi. Pencitraan negatif (stigma) perempuan dalam iklan misalnya adalan iklan Victoria perfume body scent versi “We are the star” ini. Iklan yang berdurasi 38 detik ini menggambarkan beberapa perempuan dengan berpakaian mini dan berbalut ketat ditubuhnya. Dalam ruangan yang tertutup dan gemerlap para perempuan tersebut melakukan gerakan dan pose sensual.


(58)

Pada iklan Victoria perfume body scent versi “We are the star”, eksploitasi perempuan secara operasional paling mencolok, terutama pada patologi ideologi gender dan sistem kapitalisme masyarakat adalah terkait dengan 2 hal pokok, yakni sebagai berikut. Pertama, persoalan eksploitasi stereotip daya tarik seksualitas perempuan tersebut. Kedua, maka sebagai konsekuensinya adalah kemunculan adanya stereotip turunan terkait dengannya, yakni eksploitasi stereotip segenap organ tubuh yang sangat berlebihan.

Dalam iklan Victoria perfume body scent versi “We are the star”, terdapat beberapa shot yang kurang pantas untuk ditampilkan dikarenakan kurang baik bagi masyarakat yang melihatnya. Misalnya dengan menampilkan sisi sensualitas perempuan dengan memperlihatkan beberapa perempuan dengan memperlihatkan beberapa perempuan memakai pakaian serba ketat menonjolkan lekuk tubuh wanita dan potongan busana yang pendek sehingga terlihat bagian paha, lengan dan perutnya.

Penelitian representai sensualitas dalam iklan ini menggunakan kategori yang ditentukan oleh penulis berdasarkan isi sensualitas dalam iklan Victoria perfume body scent versi “We are the star”.


(59)

3.1 Jenis Penelitian

Jenis peneltian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Dasar teoritis penenlitian kualitatif biasanya berorientasi teoritis dan teori dibatasi pada pengertian suatu pernyataan sistematis yang berkaitan dengan seperangkat proposisi yang berasal dari data yang diuji lagi secara empiris. Penelitian ini mengintrepretasikan sensualitas perempuan sebagai representasi dalam iklan Victoria Perfume Body Scent versi “We Are The Star” di televisi. Metode semiologi, pada dasarnya beroperasi pada dua jenjang analisis. Pertama, analisis tanda secara individual. Mencakup: jenis, struktur, kode dan makna tanda. Kedua, analisis tanda sebagai sebuah kelompok atau kombinasi. Yaitu kumpulan tanda-tanda yang membentuk teks, sedangkan teks dipahami sebagai kombinasi tanda-tanda. Dengan metode penelitian deskriptif menggunkan pendekatan semiologi Roland Barthes untuk mengetahui pemaknaan secara menyeluruh iklan Victoria Perfume Body Scent versi “We Are The Star” yang merupakan proses pembentukan makna yang bersifat sensual.

Menurut Rakhmat (2004 : 24) penelitian semiotik atau semiologi ditujukan untuk beberapa hal diantaranya adalah:

1. Mengidentifikasikan masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang berlaku


(60)

2. Mengumpulkan informasi actual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada

3. Menentukan yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana pada waktu yang mendatang.

4. Membuat perbandingan atau evaluasi.

3.2 Definisi Konseptual

3.2.1 Sensualitas

Sensualitas menurut Erwin Arnada, redaksi majalah Playboy Indonesia yaitu Menonjolkan beberapa bagian tubuh disetiap posenya, ekspresi wajah dibentuk dengan kesan sensual seperti penonjolan beberapa bagian tubuh, ekspresi wajah yang menggoda, selain itu pengunaan warna hitam untuk menimbulkan kesan berani dan seksi serta elegan untuk menjauhi kesan terlalu vulgar. (Majalah Playboy Indonesia Edisi bulan April 2006)

Sensualitas erat kaitannya dengan lekuk tubuh dan gaya pakaian yang digunakan. Sensualitas gaya pakaian dapat dilihat melalui tekstur pakaian serta melalui permainan warna dan siluet body hugging. Menurut Kantrazou, ahli fashion dan designer dari Rumah Mode Pazuki Jakarta, sensualitas pada pakaian dapat ditimbulkan dengan memilih koleksi gaun semi transparan dengan detail prints berpotongan pendek, yang memfokuskan perhatian pada kaki. (http://lifestyle.okezone.com/read/2009/10/27/194/269641/sensualitas-best-of-british)


(1)

ciri khas. Penampilan Jennifer Lopez yang sangat sensual didukung dengan rancangan busananya yang ketat dan terbuka. Dengan demikian sensualitas perempuan dan komoditi dalam masyarakat kapitalis ini bermuara pula dari kecenderungan untuk mengidolakan seseorang secara berlebihan dimana apapun yang dipakai dan dilakukan selalu diikuti masyarakat, dianggap yang terbaik, yang terbaru dan bagian dari gaya hidup mutakhir.

Pagelaran mode umumnya selalu memakai model dengan bentuk tubuh nyaris seragam, dan ini mendunia, tidak saja di Barat tapi juga di Indonesia para modelnya tidak jauh berbeda kesamaan fisiknya dengan rekannya di Barat. Salah satunya dikarenakan kiblat mode dunia masih berpusat pada Barat, walaupun sejak tahun 1990-an ada kecenderungan kekaburan dari kiblat mode ini dan saling mempengaruhi sehubungan dengan makin kuatnya arus globalisasi melanda seluruh dunia, kecenderungan dunia Barat berpaling ke dunia Timur, kejenuhan pada modernisme, kembali ke back to nature.

Tidak adanya perancang mode yang memakai model yang di luar kriteria seperti gemuk, tidak tinggi atau mungil, seolah mereka secara serempak mengatakan bahwa mode hanya untuk dikonsumsi wanita yang bertubuh ideal. Seolah pakaian tidak akan terlihat menarik bila yang memakainya adalah wanita yang gemuk atau pendek. Umumnnya mereka beralasan bahwa dengan bentuk tubuh yang ideal maka pakaian yang diperagakan akan bagus dan enak jatuhnya. Mitos tubuh ini sebenarnya telah diajarkan di sekolah-sekolah mode, terlihat dari sketsa-sketsa mode yang menggambarkan kriteria tersebut, sehingga menjadi suatu kelaziman bagi perancang mode untuk mengejawantahkan karyanya tidak

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(2)

83

jauh berbeda dengan standar tubuh itu. Penulis melihat bahwa kriteria bentuk tubuh ramping, kaki jenjang, paha, perut, pinggul dan pinggang ramping merupakan kriteria bentuk tubuh pada dunia model yang diikuti trennya oleh peragawati serta artis. Kesemuanya berpusat pada citra tubuh indah dan sensualitas perempuan. Dan semuanya mempunyai relasi erat dengan fashion.


(3)

84

5. 1 Kesimpulan

Representasi berawal dari sebuah fakta yang kemudian diangkat oleh sebuah media, media tersebut dapat berupa media cetak maupun media elektronik, yang kemudian dikomunikasikan kepada khalayak. Berdasarkan materi dan temuan data yang kemudian dianalisa dengan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes ditemukan kesimpulan bahwa perempuan muda dengan keistimewaan ciri mempunyai badan ramping, perut serta pinggang ramping, kaki jenjang, hidung mungil, kulit putih bersih, massa tubuh proporsional dikaitkannya fashion/gaya berbusana wanita serba tighter fitting dan mini serta ber-make-up dapat memberikan kesan sensualitas. Hal ini juga memberi pengaruh terhadap pemikiran para perempuan saat ini hingga turut mengikuti tren gaya berbusana dan penampilan seperti yang direpresentasikan oleh media. Dengan demikian hal ini menjadi pembuktian bahwa pakaian, make up, bentuk tubuh dalam iklan Victoria Perfume Body Scent versi “We Are The Star”dapat menjadi representasi dari sensualitas perempuan

5. 2 Saran

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan bacaan dan menambah wawasan serta pengetahuan bagi para pembacanya, dan juga sebagai bahan pertimbangan dalam menilai suatu penampilan sebagai suatu representasi

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(4)

85

sensualitas dalam fenomena komunikasi. Ke depannya diharapkan penggunaan perempuan sebagai model iklan tidak lagi berpusat pada sensualitas perempuan, baik pemikiran tentang bentuk tubuh, make-up hingga fashion.


(5)

86

Agustrijantono, 2001. Copywriting (Seni Mengasah Kreatifitas dan memahami Bahasa Iklan), Bandung : Remaja Rosda Karya

Baria, Ludfy, 2005. Media Meneropong Perempuan, Surabaya : Konsorsium Swara Perempuan & The Ford Fondation Jakarta

Barnard, Malcolm, 2009. Fashion Sebagai Komunikasi. Yogyakarta : Jalasutra Barthes, Roland, 2007. Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa,Yogyakarta dan Bandung : Jalasutra

Burton, Graeme, 2008. Media & Budaya Populer, Yogyakarta : Jalasutra

Canggara, Hafied, 2005. Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Christomy, T., Untung Yuwono, 2004. Semiotika Budaya. Depok : UI.

Durianto, Darmadi, dkk, 2003. Invasi Pasar dengan Iklan yang Efektif : Strategi dan Teknik Pengukuran, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama

Fiske, John, 2007. Cultural and Communication Studies, Yogyakarta : Jalasutra Hall, Stuart, 2002. Representation : Cultural Representations and Signifying Practices. London : Sage Publications.

Jefkins, Frank, 1997. Periklanan, Jakarta : Erlangga

Kasali, Rheinald, 1995. Manajemen Periklanan, Konsep dan Aplikasinya di Indonesia, Jakrta : PAU Ekomomi UO.

Kasiyan, 2008. Manipulasi & Dehumanisasi Perempuan dalam Iklan, Yogyakarta : Ombak

Kustadi Suhandang, 2010. Periklanan Manajemen, Kiat dan Strategi, Bandung : Nuansa

Kriyantono, Rachmat, 2008. Teknik Praktis; Riset Komunikasi, Jakarta : Kencana Prenada Media Group

Morrisan, 2007. Jurnalistik Televisi Mutakhir, Jakarta : Ghalia Indonesia Piliang, Amir, Yasraf, 2003. Wanita dan Media, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya

Sobur, Alex, 2006. Semiotika Komunikasi, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Subandi, Idi, 2007. Budaya Populer sebagai Komunikasi : Dinamika Popscape dan Mediascapedi Indonesia Kontemporer, Yogyakarta, Jalasutra

Sulaksana, Uyung, 2005. Intergrated Marketing Communications, Yogyakarta, Pustaka Pelajar

Synnott, Anthony, 2007. Tubuh Sosial Simbolisme, Diri, dan Masyarakat, Yogyakarta : Jalasutra.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(6)

87

Thwaites, Tony., Lloyd Davis, Warwick Mules, 2002. Introducing Cultural and Media Studies : A Semiotic Approach. New York : Palgrave

Widyatama, Rendra, 2006. Bias Gender dalam Iklan Televisi, Yogyakarta : Media Pressindo

Widyatama, Rendra, 2007. Pengantar Periklanan, Yogyakarta : Pustaka Book Publisher

---, 2004. Reka Reklame SejarahPeriklanan Indonesia 1774-1984, Yogyakarta : Galangpress

Internet

http://eprints.undip.ac.id/14065

http://www.idamanistri.com/artikel13/bagiantubuh.htm

http://lifestyle.okezone.com/read/2009/10/27/194/269641/sensualitas-best-of-british

http://nasional.kompas.com/read/2008/10/15551015/psikologi.dan.arti.warna http://www.researchgate.net/publication/42356289_Imperialisme_Budaya_Pada_ Rubrik_Fashion_%28Studi_Analisa_Semiotika_Imperialisme_Budaya_Pada_Rub rik_Fashion_di_Majalah_Gogirl!%29).

http://wikipedia.org/search/brown-eyed-girl

http://www.youtube.com/watch?v=i6iSs3W8UtM&feature=related http://njowo.wikia.com/wiki/Busana_Tradisional_Jawa-Solo

http://www.google.co.id/gwt/x?site=unuiversal&q=Warna+Pakaian+Yogyakarta &ei=6_qfTYialsuikaXahxKKQAw7ve=OCAwqfjAD&hl=id&source=m&rd=1& u=http://archive.kaskus.us/thread/2097242/60

http://kilasbaliknusantara.blogspot.com/2010/12/makna-filosofi-dan-nilai-budaya.html


Dokumen yang terkait

REPRESENTASI SENSUALITAS PEREMPUAN PADA IKLAN POMPA AIR SHIMIZU DI TELEVISI (Studi Semiotika Tentang Representasi Sensualitas Perempuan Pada Iklan Pompa Air Shimizu di Televisi).

2 14 115

REPRESENTASI SENSUALITAS PEREMPUAN DALAM IKLAN AXE (Studi semiotik representasi sensualitas perempuan dalam iklan axe versi axe effect di televisi).

6 11 197

REPRESENTASI SENSUALITAS DALAM IKLAN PARFUM “SIREN” (Studi Semiotik tentang Representasi Sensualitas dalam Iklan Parfum “SIREN” pada majalah cosmopolitan).

1 6 87

REPRESENTASI SENSUALITAS PEREMPUAN DALAM IKLAN KONDOM SUTRA VERSI GOYANG KAMASUTRA JULIA PEREZ ( Studi Semiotika Tentang Representasi Sensualitas Perempuan Dalam Iklan Kondom Sutra Versi Goyang Kamasutra Julia Perez Di Televisi ).

10 42 86

Representasi Sensualitas dalam Iklan Par

0 0 12

REPRESENTASI SENSUALITAS PEREMPUAN DALAM IKLAN KONDOM SUTRA VERSI GOYANG KAMASUTRA JULIA PEREZ ( Studi Semiotika Tentang Representasi Sensualitas Perempuan Dalam Iklan Kondom Sutra Versi Goyang Kamasutra Julia Perez Di Televisi )

0 0 22

REPRESENTASI SENSUALITAS DALAM IKLAN TELEVISI TIM TAM SLAM (Studi Semiotik Tentang Representasi Sensualitas pada Iklan Televisi Tim Tam Slam versi “Titi Kamal sebagai Pramugari”)

0 0 23

REPRESENTASI SENSUALITAS PEREMPUAN DALAM IKLAN AXE (Studi semiotik representasi sensualitas perempuan dalam iklan axe versi axe effect di televisi) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Program Studi Ilmu Komu

0 0 107

Representasi Sensualitas Perempuan dalam Iklan Victoria Perfume Body Scent Versi “We are the star” (Studi Semiotika Representasi Sensualitas dalam Iklan Victoria Perfume Body Scent Versi “We are the star”)

0 0 19

REPRESENTASI SENSUALITAS PEREMPUAN PADA IKLAN POMPA AIR SHIMIZU DI TELEVISI (Studi Semiotika Tentang Representasi Sensualitas Perempuan Pada Iklan Pompa Air Shimizu di Televisi)

0 1 99