Study Ethnomathematics Pada Permainan Keneker Masyarakat Adat Baduy.

(1)

STUDY ETHNOMATHEMATICS

PADA PERMAINAN KENEKER MASYARAKAT ADAT BADUY

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Matematika

Oleh

Roni Galih Mustika 0905903

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA


(2)

STUDY ETHNOMATHEMATICS

PADA PERMAINAN KENEKER MASYARAKAT

ADAT BADUY

Oleh

Roni Galih Mustika

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

© Roni Galih Mustika 2013 Universitas Pendidikan Indonesia

Juli 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian,


(3)

RONI GALIH MUSTIKA STUDY ETHNOMATHEMATICS

PADA PERMAINAN KENEKER MASYARAKAT ADAT BADUY DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH:

Pembimbing I

Drs. Turmudi, M. Ed., M. Sc., Ph. D NIP. 196101121987031003

Pembimbing II

Dr. Dadang Juandi, M. Si NIP. 196401171992021001

Mengetahui,

Ketua Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI

Drs. Turmudi, M. Ed., M. Sc., Ph. D NIP. 196101121987031003


(4)

ABSTRAK

Study Ethnomathematics Pada Permainan Keneker Masyarakat Adat Baduy. Penelitian ini berupaya untuk menunjukkan hubungan timbal balik antara

matematika dengan budaya. Saat ini matematika dianggap tidak memiliki keterkaitan dengan budaya. Anggapan yang keliru tersebut berpengaruh besar terhadap lahirnya praktik kolonialisasi pembelajaran matematika di beberapa negara, terutama di negara-negara di kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Selatan. Upaya untuk menghilangkan praktik kolonialisasi pembelajaran matematika tersebut didiskusikan oleh para matematikawan dan ahli pendidikan matematika internasional dalam suatu wadah yang disebut ethnomathematics. Penelitian ini dilakukan di daerah adat Baduy, tepatnya di Kampung Gajeboh. Fokus situasi sosial yang diteliti adalah permainan

keneker masyarakat adat Baduy. Tujuannya yaitu mengungkap aspek-aspek

matematika yang terdapat pada permainan keneker masyarakat adat Baduy melalui

study ethnomathematics. Metode penelitian terbaru dalam kajian ethnomathematics

mengadopsi prinsip mutual interrogation berupa critical dialogue. Metode itu pula yang digunakan dalam penelitian ini. Sebagaimana penelitian-penelitian

ethnomathematics di negara-negara lain, teknik pengumpulan data dalam penelitian

ini menggunakan prinsip-prinsip dalam ethnography, yaitu observasi, wawancara, dokumentasi, hingga pada pembuatan catatan lapangan (field notes). Hasil temuan dalam penelitian ini adalah dalam External Configuration of The Game pada permainan keneker diungkap hubungan yang paralel antara praktik budaya tersebut dengan matematika. Di antaranya dari Para pemain keneker atau anak-anak Baduy melakukan pengelompokan bilangan. Selain itu para pemain keneker melakukan ppengelompokkan usia bermain. Hingga oara pemain keneker atau anak-anak Baduy telah mampu melakukan konsep perkalian. Sementara hasil temuan dalam Internal

Configuration of The Game pada permainan keneker adalah sebuah model

matematika yang mengakomodasi semua elemen-elemen budaya yang berada di sekitar konteks tersebut.

Kata kunci : Study Ethnomathematics, Permainan Keneker Masyarakat Adat Baduy, Pendidikan Matematika


(5)

Abstract

Study of Ethnomathematics on Keneker Game of Indigenous Baduy.

Ethnomathematics attempt to indicate a reciprocal relation between mathematics and culture. Currently mathematics is considered separating from culture. That erroneous assumption causes a lot of critics against colonialism to mathematics in some countries, especially Asia, Africa, and South America. To eliminating that colonialism practices, many efforts were discussed by mathematicians and international math experts in a scope called Ethnomathematics. A customary especially Keneker game of a Indonesian indigenous people, Baduy, is a potential object and social situation of Ethnomathematics research. It aims to uncovering mathematical aspects that were applied in its game. A recent method adopted mutual interrogation principle which was a critical dialogue to be used in this research. An ethnography method was used to collect the research data through observation, interview, documentation, through field notes techniques. This research found the External Configuration of Kaneker revealed a parallel relation between cultural practice and mathematics. The keneker players (Baduy children) can did grouping numbers, grouping their age, and do some multiplication. Furthermore, the finding in Internal Configuration of the Games on Keneker game was a mathematical model that accommodated all cultural elements around its context. The result of this research can turn our visions to give ways and widen opportunities for learning mathematics in Indonesia and use the nation's cultural future as a basic concept, so that we have chances to get better mathematics learning.

Keywords: Ethnomathematics, Keneker Game of Indigenous Baduy, Mathematics


(6)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN ... iii

LEMBAR PERSEMBAHAN ... iv

PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Pertanyaan Penelitian ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat/Signifikansi Penelitian ... 6

E. Struktur Organisasi Skripsi ... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 8

A. Masyarakat Adat Baduy ... 8

B. Permainan Sejenis Keneker ... 10

C. Study Ethnomathematics ... `13

D. Pengungkapan Aspek-aspek Matematis Dalam Aktivitas Budaya Melalui Study Ethnomathematics ... 20

BAB III METODE PENELITIAN ... 32

A. Pendekatan Penelitian ... 32

B. Kerangka Penelitian ... 32

C. Prosedur Penelitian ... 37

D. Fokus Penelitian ... 39

E. Tempat dan Waktu Penelitian ... 39

F. Sampel Sumber Data Penelitian ... 40

G. Instrumen Penelitian ... 40

H. Teknik Pengumpulan Data ... 41

I. Teknik Analisis Data ... 43

J. Rencana Pengujian Keabsahan Data ... 45

K. Road Map Penelitian Ethnomathematics ... 46

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 54

A. Hasil Penelitian ... 54

B. Pembahasan ... ... 61

B.1 Deskripsi Permainan Keneker Masyarakat Baduy ... 61

B.1.1 External Configuration of The Game ... 62


(7)

B.2 Critical Dialogues ... 82

B.2.1 External Configuration of The Game : Matematika Sebagai Kerangka Acuan ... 84

B.2.2 Internal Configuration of The Game : Budaya Sebagai Kerangka Acuan ... 89

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 97

A. Kesimpulan ... 97

B. Saran ... 98

DAFTAR PUSTAKA ... 100

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 102


(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Matematika bukanlah hal yang dianggap asing oleh sebagian banyak manusia. Disadari atau pun tidak, dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang timbul dalam hidupnya, manusia telah dan akan menggunakan matematika. Begitu pula dalam pola hidup komunitas yang masih mempertahankan kebudayaan, mungkin saja mereka tidak menyadari (mengakui) sedang menyelesaikan permasalahan secara matematis, namun apabila dikaji dan diteliti sebenarnya ada banyak ide-ide matematis dalam setiap konteks kegiatan budaya yang dilakukan.

Ide-ide matematis dalam konteks kegiatan budaya tersebut mulai dipandang oleh para ahli pendidikan matematika sebagai hal yang penting dalam pembelajaran matematika. Suatu pembelajaran matematika akan berkembang ke arah yang optimal apabila timbul interaksi-interaksi yang berkualitas. Interaksi dalam pembelajaran matematika -baik itu interaksi antara guru dengan siswa, guru dengan materi, siswa dengan materi, siswa dengan siswa- tidak akan muncul jika siswa merasa asing dengan materi yang dibawakan oleh guru. Seorang guru matematika seharusnya mampu membawakan materi-materi yang tidak asing bagi siswa sehingga melahirkan interaksi yang diharapkan. Materi-materi yang tidak asing tersebut dapat diperoleh salah satunya dengan terlebih dahulu mengamati bahkan meneliti tentang kebudayaan para siswa. Sebuah study yang mengkaji ide (praktik) matematika dalam ragam aktivitas budaya, dalam beberapa dekade terakhir ini dikenal dengan nama ethnomathematics.

Penggambarannya kurang lebih akan seperti berikut: Budaya Interaksi

Proses Pembelajaran.

Hal di atas bersesuaian dengan, salah satunya, hasil dari pertemuan-pertemuan International Community of Mathematics Education selama beberapa dekade terakhir ini. Menurut Clements (Clements, 1996: 824) hasil penting dari


(9)

pertemuan-pertemuan tersebut adalah bahwa “Belajar dan pembelajaran matematika, termasuk semua bentuk-bentuk Pendidikan Matematika, mau tidak

mau akan dikelilingi oleh permasalahan yang terkait dengan budaya.” Hasil di

atas memiliki konsekuensi bahwa upaya penelitian-penelitian saat ini haruslah dalam kerangka untuk mengidentifikasi, mengendalikan, dan memprioritaskan pemecahan masalah-masalah pembelajaran matematika yang terkait dengan budaya.

Pendapat lain tentang hal ini dapat disimak dari pernyataan Bishop. Bishop (Gerdes, 1996: 927) berpendapat bahwa asumsi dasar dan ektrim perlu untuk dikemukakan dalam penelitian ethnomathematics yang memang masih seumuran bayi ini. Secara lebih spesifik asumsi tersebut berbunyi „semua bentuk formal

pendidikan matematika adalah proses interaksi budaya, sehingga setiap siswa (juga guru) memiliki pengalaman berupa konflik-konflik budaya di dalam proses

tersebut‟. Teori-teori yang berkembang di Pendidikan Matematika saat ini belum berdasar kepada asumsi tersebut.

Oleh karena pentingnya penelitian-penelitian di ranah budaya yang terkait dengan pembelajaran matematika, maka penelitian-penelitian ethnomathematics perlu mendapatkan ruang dan porsi yang tepat. Tidak terkecuali bagi para penggiat Pendidikan Matematika di Indonesia.

Gerdes (1996) menyatakan bahwa penelitian ethnomathematics dalam kawasan pendidikan dapat digunakan untuk mengungkap ide-ide yang terdapat pada aktivitas budaya tertentu atau aktivitas kelompok sosial sehingga dapat dimanfaatkan untuk pengembangan kurikulum matematika dari, untuk, dan oleh kelompok tersebut. Seperti yang diungkapkannya berikut ini, Ethnomathematical

research in education setting can be the use of ideas embedded in the activities of certain cultural or social groups within a society to develop a mathematical curriculum for and with/by this group (Gerdes, 1996: 930).

Ethnomathematics adalah suatu kajian yang meneliti cara sekelompok

orang pada budaya tertentu dalam memahami, mengekspresikan, dan menggunakan konsep-konsep serta praktik-praktik kebudayaannya yang digambarkan oleh peneliti sebagai sesuatu yang matematis. Sebagaimana


(10)

dikemukakan oleh William Barton bahwa “Ethnomathematics is a field of study

which examines the way people from other cultures understand, articulate and use concepts and practices which are from their culture and which the researcher

describes as mathematical” (Barton, 1994: 196).

Oleh karena Ethnomathematics adalah sebuah field of study, maka haruslah ia memiliki objek studi. Objek study dari Ethnomathematics adalah untuk mengungkap organisasi dari ide (konsep) yang tidak terpisah dari aktivitas matematika. Ethnomathematics mendapatkan objek studinya dengan cara dua hal: (1) menginvestigasi aktivitas matematika yang terdapat dalam kelompok budaya tertentu; (2) mengungkap konsep matematis yang terdapat dalam aktivitas tersebut (Barton, 1994: 196).

Terkait dengan investigasi aktivitas matematika yang ada dalam kelompok budaya, Mustika (2012) telah menginvestigasi beberapa aktivitas matematika Masyarakat Adat Baduy yang terdapat dalam permainan keneker (permainan menggunakan kelereng di tanah). Aktivitas matematika yang telah terinvestigasi diantaranya mengukur, menghitung, dan membandingkan. Aktivitas mengukur terjadi ketika anak-anak Baduy harus menentukan urutan-urutan pemain dalam permainan, dilaporkan bahwa anak-anak Baduy menggunakan jari ataupun alat yang ada di sekitar untuk mengukur seberapa dekat keneker yang dilempar (pada awal-awal permainan) oleh setiap pemain dari pusat permainan. Dilaporkan pula dalam Mustika (2012) tersebut bahwa keseriusan anak-anak Baduy dalam melakukan aktivitas mengukur tercermin dari percakapan di antara mereka (ketika menentukan urutan-urutan pemain) dalam bahasa sunda yang khas. Begitu pula halnya dengan aktivitas menghitung dan membandingkan, Mustika (2012) menyatakan bahwa anak-anak Baduy menyebut-nyebut istilah bati (yang berarti untung) ketika mereka membandingkan banyaknya kelereng atau keneker yang dibawa sebelum permainan dengan keneker yang mereka bawa setelah permainan usai.


(11)

Gambar 1.1. Suasana permainan keneker di baduy

Kembali lagi kepada penjelasan Barton tentang ethnomathematics di atas, bahwa dalam setiap aktivitas matematika yang terinvestigasi terdapat aspek-aspek matematika yang mungkin untuk diungkap. Hal tersebut memiliki arti bahwa perlu untuk dilakukan kajian lanjutan terhadap produk (objek) dari aktivitas matematika yang tercatat demi mengungkap aspek-aspek matematika yang ada. Mustika (2012) dapat dikatakan baru sampai pada tahapan pertama (investigasi aktivitas matematika), dan belum kepada tahapan selanjutnya (pengungkapan aspek-aspek matematika dalam aktivitas tersebut). Berdasarkan kedua unsur di atas, yakni diperlukannya kajian lanjutan terhadap produk (objek) dari aktivitas matematika yang telah terinvestigasi dan belum dilakukannya tahapan kedua oleh Mustika (2012), maka penulisan skripsi ini salah satunya dimaksudkan untuk pemenuhan dua unsur tersebut.

Satu hal yang belum ditemukan dalam Mustika (2012) adalah gambaran yang komprehensif tentang aturan permainan keneker masyarakat adat Baduy. Padahal gambaran tersebut bisa dijadikan sebagai representasi produk (objek) dari aktivitas matematika yang telah tercatat. Pengungkapan aspek-aspek matematis (sebagai tahapan penting dari ethnomathematics) akan mendapatkan ruang yang


(12)

cukup apabila telah diperoleh gambaran tentang produk (objek) dari aktivitas matematika yang ada.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulisan skripsi ini salah satunya dimaksudkan untuk menjelaskan prinsip dan aturan bermain keneker masyarakat adat Baduy secara detail, mendalam, dan utuh, demi mengungkap aspek-aspek matematis yang ada. Sehingga apabila dikaitkan kembali kepada hubungan antara budaya, interaksi, dan proses pembelajaran, hasil penelitian ini tidak hanya akan bermanfaat bagi budaya itu sendiri melainkan pula bagi dunia pendidikan.

B. Rumusan Masalah

Terkait dengan permasalahan yang telah diungkap pada bagian latar belakang, yakni pentingnya study ethnomathematics serta terdokumentasikannya aktivitas matematika yang dilakukan oleh anak-anak Baduy, maka rumusan masalah yang dapat dibuat pada penelitian ini adalah “Bagaimanakah

aspek-aspek matematika pada permainan keneker masyarakat Baduy?”

C. Pertanyaan Penelitian

Untuk menjawab pertanyaan pada rumusan masalah, maka ada beberapa pertanyaan penelitian yang harus dijawab. Beberapa pertanyaan penelitian tersebut adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana aspek-aspek matematika yang terungkap melalui kriteria-kriteria di luar proses permainan keneker?

2. Bagaimana aspek-aspek matematika yang terungkap melalui kriteria-kriteria di dalam proses permainan keneker?

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap aspek-aspek matematika yang terdapat pada permainan keneker masyarakat adat Baduy.


(13)

E. Manfaat Penelitian

1) Dari segi teori, belum ada yang mengungkap aspek-aspek matematika dalam kajian ethnomathematics pada masyarakat adat Baduy, khususnya pada aktivitas permainan keneker. Penelitian ini bermanfaat untuk mengisi kekosongan tersebut.

2) Dari segi kebijakan, aturan adat Baduy yang melarang anak-anak mereka untuk mengikuti sekolah formal bisa disiasati (terutama pendidikan formal matematika) dengan memanfaatkan temuan pada penelitian ini bahwa sebenarnya mereka sudah melakukan kegiatan matematis melalui kegiatan-kegiatan budaya, terutama bermain keneker.

3) Dari segi praktik, penelitian ini bisa menjadi panduan bagi peneliti lain yang tertarik mengungkap aspek-aspek matematika pada domain

ethnomathematics sebagai akibat dari pengaruh timbal balik antara matematika

dan budaya.

4) Dari segi isu sosial, penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk merubah opini selama ini yang memandang bahwa matematika tidak ada pengaruh sama sekali dengan budaya. Dengan berubahnya opini tersebut maka para peserta didik di dalam pembelajaran matematika tidak akan lagi merasa takut ketika belajar matematika dan manfaat matematika akan secara sadar semakin dirasakan oleh masyarakat secara luas.

F. Struktur Organisasi Skripsi

Secara garis besar, isi dari skripsi ini disusun ke dalam lima bab. Bab yang pertama berisi latar belakang penelitian, identifikasi dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat/signifikansi penelitian, dan deskripsi dari struktur organisasi skripsi.

Bab kedua adalah kajian pustaka tentang lima hal, yakni pustaka tentang masyarakat adat Baduy, pustaka tentang permainan kelereng (sejenis permainan

keneker masyarakat adat Baduy), pustaka tentang study ethnomathematics, dan

pustaka tentang pengungkapan aspek-aspek matematis dalam aktivitas budaya melalui study ethnomathematics.


(14)

Bab yang ketiga yaitu metode penelitian, berisi pendekatan penelitian yang digunakan, kerangka penelitian, fokus penelitian, tempat penelitian, sampel sumber data penelitian, instrumen penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, rencana pengujian keabsahan data, dan road map penelitian

ethnomathematics.

Bab keempat adalah hasil penelitian dan pembahasan. Pada bagian hasil penelitian hal yang diungkap adalah data hasil catatan lapangan. Sementara untuk pembahasan, dibahas dengan terlebih dahulu menyajikan deskripsi dari proses-proses terkait, kemudian menyajikan bagaimana teknik analisis data dilakukan berdasarkan bab sebelumnya. Bab kelima berisi kesimpulan dari penelitian ini dan rekomendasi-rekomendasi.


(15)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Pendekatan kualitatif dipilih dan digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini. Alasan dipilihnya pendekatan kualitatif sebagai pendekatan penelitian ini adalah karena pendekatan kualitatiflah yang memungkinkan untuk mengungkap

ethnomatematics sesuai dengan perspektif Barton (1996) dan juga Alangui (2010:

61).

Pada skripsi ini pendekatan kualitatif digunakan untuk mengungkap

ethnomatematics pada permainan keneker masyarakat adat Baduy. Dimana

pengungkapan itu dilakukan sesuai dengan karakteristik penelitian kualitatif seperti yang diungkapkan Bodgan dan Biklen (Sugiyono, 2012: 15) bahwa karakteristik penelitian kualitatif adalah: (a) dilakukan pada kondisi yang alamiah, langsung ke sumber data dan peneliti adalah instrumen kunci, (b) lebih bersifat deskriptif, (c) lebih menekankan pada proses daripada produk atau outcome, (d) melakukan analisis data secara induktif, (e) lebih menekankan makna (data dibalik yang teramati).

Dalam skripsi ini peneliti mendasarkan pembahasannya pada kajian mengenai aktivitas permainan keneker masyarakat adat Baduy, menampilkan pandangan matematikawan terhadap deskripsi aktivitas permainan keneker masyarakat adat Baduy, menampilkan pendapat dan pandangan yang mewakili pelaku budaya langsung terhadap aktivitas permainan keneker masyarakat adat

Baduy, dan terakhir melakukan dialog kritis “mempertemukan” pendapat dan

pandangan dari masing-masing matematikawan dan pelaku budaya terhadap aktivitas permainan keneker masyarakat adat Baduy tersebut hingga didapatkan konsepsi matematika.

B. Kerangka Penelitian

„Mutual interrogation‟ menurut perkembangan terkini adalah metodologi


(16)

tersebut dicetuskan oleh Alangui (2010). Berdasarkan perkembangan tersebut, maka penelitian skripsi ini menggunakan kerangka penelitian ethnomathematics berdasarkan metodologi mutual interrogation.

Kerangka penelitian ethnomathematics yang memfokuskan kepada praktik budaya, berdasarkan Alangui (2010: 63) dibangun dengan empat pertanyaan umum berikut ini:

1. Dimana kita harus memulai pengamatan? (Where to start looking?) 2. Bagaimana cara mengamatinya? (How to look?)

3. Bagaimana cara untuk mengetahui bahwa kita telah menemukan sesuatu yang signifikan? (How to recognize that you have found

something significant?)

4. Bagaimana cara kita untuk memahami sesuatu yang telah kita temukan tersebut? (How to understand what it is?)

Where to start looking?

Pertanyaan pertama yaitu tentang objek apa yang bisa kita amati, darimana atau dimana kita harus memulai sebuah pengamatan? Praktik-praktik budaya yang selalu berkembang adalah tempat yang baik untuk memulai pengamatan, meskipun menurut Alangui (2010: 64) tidak semua aktivitas yang signifikan dari praktik-praktik budaya tersebut bersifat matematis. Praktik Budaya yang dilakukan para pemancing, nelayan, penenun, tukang bangunan dan praktik budaya lainnya menjadi objek yang banyak diteliti para ethnomathematician. Itu semua bukan tanpa alasan, hal itu didasarkan pada alasan diatas tadi, yaitu pada praktik-praktik budaya tersebutlah pengetahuan-pengetahuan matematika bisa digali dan ditemukan. Itu pula mengapa objek-objek seperti bangunan suku pribumi, peralatan astronomi tradisional, dan sejenisnya menjadi objek yang menarik dalam penelitian ethnomathematics. Selain itu Alangui (2010) menawarkan hal-hal lain yang bisa sangat produktif bagi para

ethnomathematician, diantaranya legenda dan mitos, arsip-arsip budaya yang


(17)

menjamin kaya akan unsur-unsur matematis, namun disanalah tempat bersemayamnya pengetahuan matematika di kehidupan sosial.

How to look?

Setelah mengetahui dan mendapatkan tempat dimana memulai penelitian berdasarkan pertanyaan pertama, selanjutnya akan dihadapkan ke pertanyaan kedua yaitu Bagaimanakah cara mengamatinya? Berdasarkan definisi

ethnomathematics yang dikemukakan oleh Barton (1996), ethnomathematics

adalah upaya untuk menyelidiki konsep-konsep dan praktik-praktik matematika yang tidak familiar. Dengan kata lain, konsep-konsep dan praktik-praktik itu secara konvensional tidak dibicarakan di dalam disiplin matematika.

Menurut Alangui (2010: 64) kata “tidak familiar” di atas tidak berarti bahwa hal-hal yang diselidiki tidak dikenal sama sekali oleh peneliti. Matematika baik sebagai sesuatu yang formal maupun sebagai ekspresi kehidupan sehari-hari memiliki konsep-konsep dan ekspresi-ekspresi yang konvensional. Beberapa konsep dapat dengan eksplisit dijelaskan, begitu pula dengan counter example-nya, tapi ada hal-hal lain yang tidak dijelaskan secara konvensional. Hal-hal yang tidak dijelaskan secara konvensional itulah yang kemudian kita anggap sebagai

“tidak familiar” dan harus kita lakukan pengamatan atau penelitian.

Secara umum cara untuk mengamatinya adalah melihat sesuatu yang

“tidak familiar” dari praktik-praktik budaya yang sedang kita amati tersebut.

Melihat disini ialah memahami sesuatu ýang “tidak familiar” itu dengan tetap berpedoman dan sejalan dengan metode dan pendekatan yang digunakan dalam penelitian tersebut. Ketidaksejalanan antara metode, pendekatan, hingga concepts atau practices matematika yang “tidak familiar” akan menjadi kelemahan dalam penelitian.

How to recognize that you have found something significant?

Setelah dilakukannya pengamatan terhadap sesuatu ýang “tidak familiar”

dengan tetap berpedoman dan sejalan dengan metode dan pendekatan yang digunakan, kemudaian kita akan dihadapkan dengan pertanyaan yang ketiga, yaitu kapan kita tahu bahwa kita telah menemukan sesuatu? Menjawab pertanyaan tersebut, Alangui (2010: 68) menjawabnya dengan “… when it comes from a


(18)

cultural group and when it is mathematics.” Dengan kata lain, sesuatu yang kita temukan dalam ethnomathematics adalah sesuatu yang datang dari kelompok budaya dan hal tersebut adalah matematika. Namun, penemuan itu belum dapat dikatakan cukup sebelum merubah pandangan peneliti terhadap ide-ide matematika (sebelum mendapatkan perceptual shift about mathematics).

Sekali lagi, Alangui (2010) merujuk kepada Barton (1996) yang menyatakan bahwa objek yang diteliti dalam ethnomathematics adalah QRS (quantitative, relational, and spatial realities), dan hasil abstraksi terhadap QRS tersebut adalah practices dan concepts yang bersifat matematika. Namun dalam kerangka penelitian ethnomathematics gubahan Alangui (2010) QRS tersebut

dimodifikasi menjadi “QRS Conseptual System”. Ini karena unsur-unsur kuantitatif, hubungan (relational), dan kemampuan ruang (spatial) di dalam budaya perlu ditemukan dengan menggunakan asumsi bahwa unsur-unsur tersebut adalah bentuk penegasan dari apa yang dikonsepsikan oleh budaya, bukan dari apa yang dikonsepsikan oleh matematika saja.

Dari objek yang diteliti tersebut, Alangui (2010: 67) menggunakan istilah

“external configuration of mathematics” sebagai sesuatu yang kita temukan.

External configuration of mathematics adalah gambaran dari objek budaya yang

diteliti terkait dengan aspek-sapek di dunia ini. Khususnya jika dikaitkan dengan sains dan teknologi. Sebagai contoh, Alangui (2010) menunjukkan hasil kajian Ascher bahwa pernah ada penelitian tentang vedic mathematics, yaitu penggambaran praktik-praktik dari matematika yang terkait erat dengan agama.

How to understand what it is?

Pertanyaan yang keempat, bagaimana cara kita memaknai terhadap apa-apa yang telah kita temukan? Alangui (2010) memperjelas pertanyaan itu dengan ungkapannya bahwa ketika objek penelitian dalam study ethnomathematics telah diidentifikasi, pertanyaan akhir adalah bagaimana cara kita memahami concept dan practices tersebut? Bagaimanakah sebuah concept atau practices dapat dipahami dalam konteks kulturalnya sendiri?

Pertanyaan di atas adalah salah satu kajian antropologi. Bagaimana bisa seseorang yang berasal dari satu budaya, atau dari satu era budaya tertentu,


(19)

memahami secara layak sesuatu yang berasal dari budaya atau era budaya yang berbeda, bahkan tidak menjadi bagian penuh dari budaya tersebut? Pertanyaan tersebut dijawab dengan teknik metodologi ethnografi, dan teknik tersebut sering digunakan oleh para ethnomathematician (Alangui, 2010: 69).

Alangui berpendapat bahwa ethnomathematics tidak sama dengan antropologi. Tugas para antropolog adalah memahami budaya. Sementara

ethnomathematics adalah tentang matematika. Tugas dari ethnomathematics yaitu

memperluas konsepsi-konsepsi matematika dengan menggunakan budaya sebagai konteks. Dari sudut pandang matematika, kesuksesan ethnomathematics bergantung kepada bagaimana dia mampu memodelkan “realita”. Namun fakta tersebut tidak lantas membuat peneliti ethnomathematics berlepas tangan dari pertanggungjawaban atas proses penelitiannya terhadap budaya (antropologi). Bagaimana cara menampilkan budaya adalah satu komponen penting dalam proses penelitian ethnomathematics. Namun pula, berdasarkan pandangan-pandangan terkini di antropologi, kita tidak akan pernah bisa mendapatkan pemahaman yang utuh tentang konteks, yang bisa dilakukan hanyalah mendekati kebenaran dalam memahaminya (Alangui, 2010: 69). Dengan kata lain, jawaban dari pertanyaan keempat ini adalah peneliti ethnomathematics baru dapat memahami terhadap apa-apa yang ditemukan jika sudah menggunakan sudut pandang matematika dan sudut pandang budaya.

Berdasarkan empat pertanyaan umum di atas, maka skripsi ini disusun dengan kerangka penelitian sebagaimana tergambar pada tabel di bawah ini.


(20)

3 7 ik a , 2 0 1 3 e m a ti c s P a d a P e rm a in a n K e n e k e r M a sy a ra k a t A d a t B a d u y id ik a n In d o n e si a | r e p o si to ry .u p i. e d u | p e rp u st a k a a n .u p i. e d u g ka p e n e lit ia n s tu d y e th n o m a th e m a tic s p a d a a kt iv it a s p e rm a in a n ke n e ke r m a sy a ra ka t a d a t B a d u y

permainan keneker dan wawancara tak formal kepada anak-anak Baduy yang memiliki pengetahuan dan praktik permainan keneker.

Melakukan dialog dengan orangtua Baduy terkait praktik permainan keneker.

Menggambarkan bagaimana praktik permainan sejenis keneker di luar Baduy..

Menggambarkan bagaimana aktivitas permainan

keneker masyarakat adat Baduy.

Menentukan ide-ide QRS apa saja yang terdapat pada aktivitas permainan keneker masyarakat adat Baduy, dan memperhatikan pula aspek budaya lain seperti bahasa, mitos-mitos pada permainan keneker masyarakat adat Baduy.

Mengidentifikasi aspek-aspek matematika yang terkait dengan QRS pada aktivitas permainan keneker

masyarakat adat Baduy.

Menunjukkan bahwa aktivitas permainan keneker masyarakat adat Baduy memang bersifat matematis setelah dikaitkan dan dikaji tentang aspek-aspek matematika.

Menggambarkan keterhubungan yang terjadi antara dua Berpikir alternatif

Filosofi Matematika

Antropologi masyarakat adat Baduy.

Investigasi aspek-aspek QRS (quantitative, relational, spatial) pada situasi aktivitas permainan kenekermasyarakat adat Baduy.

Bukti (hasil) berpikir alternatif di proses sebelumnya.

Bernilai penting untuk budaya (Dimana memulai

pengamatan?)

How To Look? (Bagaimana cara mengamatinya?)

What It Is? (Apa yang ditemukan?)


(21)

C. Prosedur Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Mei 2012 sampai dengan Januari 2013. Adapun langkah-langkah dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Analisis Pra-lapangan

Pada tahapan ini, peneliti merumuskan masalah, melakukan pengamatan pendahulaun, menganalisis data hasil studi pendahuluan, menentukan masalah penelitian, memilih metode penelitian, dan sumber data. Selanjutnya membuat proposal, mengajukan kepada koordinator skripsi, melakukan seminar, konsultasi kepada pembimbing, dan mengajukan surat izin penelitian dari Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UPI. Kemudian, peneliti mengajukan surat perizinan penelitian ke DISPORABUDPAR Kabupaten Lebak - Banten, dan terakhir ke Kantor Kepala Desa Kanekes (Jaro Dainah) di Kampung Kaduketug wilayah adat Baduy Luar.

2. Analisis selama di lapangan

Pada langkah ini, peneliti melakukan penelitian dengan cara mengumpulkan data dari lapangan. Tahapan kegiatan ini adalah sebagai berikut.

a. Melakukan penelitian dengan mengumpulkan data dalam bentun catatan lapangan dari beberapa narasumber penting berupa hasil wawancara, foto, rekaman;

b. Mereduksi data untuk mempermudah dalam melakukan pengumpulan data selanjutnya dan mencarinya bila diperlukan;

c. Menampilkan data dalam bentuk tabel dan diagram agar data dapat terorganisasikan, tersusun dalam pola hubungan, dan dapat dengan mudah dipahami;

d. Memverifikasi data dengan cara menyimpulkan dan menjawab rumusan masalah yang diperkuat oleh bukti-bukti penelitian.


(22)

3. Analisis data keseluruhan

Pada langkah ini, peneliti menuangkan hasil penelitian ke dalam bentuk karya ilmiah berupa skripsi. Tahapan pada kegiatan ini meliputi:

a. Pengumpulan data hasil penelitian dan studi dari berbagai sumber, seperti jurnal, prosiding, buku, majalah, surat kabar, dan internet;

b. Pengelompokkan data penelitian;

c. Penyusunan data sesuai fokus kajian permasalahan dan tujuan penelitian;

d. Penganalisisan data, membahas dan mendeskripsikan temuan-temuan dari hasil penelitian ke dalam karya ilmiah; e. Penyimpulan hasil penelitian.

D. Fokus Penelitian

Sebagai lanjutan dari pengamatan pendahuluan yang dilakukan oleh Mustika (2012), skripsi ini mengambil fokus peneilitian, yaitu aktivitas permainan

keneker masyarakat adat Baduy. Hal tersebut didasarkan kepada hasil Mustika

(2012) yang menyebutkan bahwa dimungkinkan untuk dilakukannya penelitian

ethnomathematics pada aktivitas permainan keneker masyarakat adat Baduy.

Aktivitas permainan keneker, dibalik pengetahuan budaya yang melingkupinya, dipandang memiliki aspek-aspek matematika. Pengungkapannya melalui

ethnomathematics diyakini akan menunjukkan adanya keterhubungan antara

matematika dengan budaya, juga sebaliknya.

Oleh karena itu, sebagai lanjutan dari pengamatan pendahuluan tersebut,

study ethnomathematics ini mengambil fokus penelitian, yaitu aktivitas permainan keneker yang dilakukan oleh masyarakat adat Baduy.

E. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kampung Gajeboh di wilayah adat Baduy Luar, terutama di lingkungan sekitar tempat kediaman keluarga Mang Uncal. Alasan pemilihan Kampung Gajeboh di wilayah adat Baduy Luar ini adalah demi


(23)

memenuhi unsur perpanjangan pengamatan (sebagai salah satu uji kredibilitas data kualitatif). Peneliti bermaksud membentuk rapport, keakraban dengan sumber data dari daerah yang sama dengan saat pengamatan pendahuluan sebelumnya, sehingga terbentuk rasa saling percaya dan tidak ada informasi yang disembunyikan. Pada proses pengamatan pendahuluan untuk penelitian ini, ketika itu peneliti juga menjadikan Kampung Gajeboh sebagai objek pengamatan.

Secara lebih spesifik, tempat yang diteliti adalah tempat-tempat dimana proses permainan keneker dilakukan. Lebih seringnya proses permainan keneker dilakukan di buruan (halaman) setiap rumah adat di Kampung Gajeboh. Pada beberapa kesempatan, peneliti menggunakan tempat-tempat lain untuk menggali data melalui dialog dan wawancara tak formal.

Pelaksanaan penelitian dilakukan dalam 2 (dua) tahapan, yaitu pengamatan pendahuluan selama lima hari pada 29 Mei 2012 hingga 5 Juni 2012, dan penelitian selama sembilan hari pada 28 Desember 2012 hingga 5 Januari 2013.

F. Sampel Sumber Data Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, karenanya dalam penelitian ini tidak menggunakan istilah populasi dan sampel melainkan situasi sosial dan narasumber dari situasi sosial yang diamati. Di dalam situasi sosial, terdapat tiga elemen, yaitu tempat, pelaku, dan aktivitas. Sering pada beberapa situasi, pelaku dalam situasi sosial yang diteliti menjadi nara sumber pula dalam penelitian ini.

Pada penelitian ini, peneliti memasuki situasi sosial, yaitu situasi permainan keneker yang dilakukan oleh anak-anak Baduy di Kampung Gajeboh, khususnya pada anak-anak kerabat dekat Mang Uncal. Peneliti melakukan observasi kepada para pemain keneker dan melakukan wawancara tak formal kepada mereka, juga kepada orang-orang yang dipandang tahu tentang permainan

keneker Baduy. Penentuan sumber data pada orang yang diwawancarai dilakukan


(24)

G. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian kualitatif ini, yang menjadi instrumen adalah peneliti sendiri. Dalam hal ini peneliti melakukan wawancara, observasi dan studi artefak (foto, video), serta melakukan analisis, memberi arti dan makna terhadap data yang ditemukan, hingga membuat kesimpulan.

Dengan kata lain, sebagai instrumen dalam penelitian ini, peneliti menentukan siapa yang tepat digunakan sebagai sumber data, peneliti melakukan pengumpulan data dan analisis data kualitatif, dan selanjutnya menyimpulkan secara kualitatif mengapa anak-anak di Kampung Gajeboh wilayah adat Baduy melakukan kegiatan-kegiatan yang memiliki aspek-aspek matematika dalam permainan keneker, menggambarkan pula bagaimana mereka melakukan kegiatan-kegiatan tersebut, hingga pada penggambaran hubungan apa yang terjadi antara matematika dan budaya pada konteks tersebut.

H. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan gambaran yang lengkap mengenai fenomena sosial yang diteliti, maka pengumpulan data skripsi ini diusahakan sekomprehensif mungkin. Seperti diungkap sepintas pada bagian Kerangka Penelitian, penelitian

ethnomathematics menggunakan prinsip-prinsip ethnography dalam

mengumpulkan data yang terkait dengan budaya. Oleh karena itu, sebagai respon atas prinsip-prinsip ethnography, skripsi ini menekankan pada 3 (tiga) hal utama dalam teknik pengumpulan data, yaitu setting, sumber, dan cara.

Untuk setting, dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan pada

natural setting (kondisi yang alamiah). Untuk sumber, penelitian ini

menggunakan sumber data primer, yaitu sumber data yang langsung memberikan data kepada peneliti. Untuk cara, penelitian ini menggunakan study kepustakaan, teknik observasi, wawancara tak formal, dan artefak (foto, video).

Studi kepustakaan diperlukan untuk memperoleh gambaran tentang penelitian-penelitian lain yang berhubungan dengan penelitian dalam skripsi ini, menghubungkan penelitian skripsi dengan cakupan pembicaraan yang lebih luas


(25)

dan berkesinambungan tentang topik yang sama, dan memberi kerangka untuk melakukan analisis terhadap topik penelitian.

Studi kepustakaan dalam skripsi ini dilakukan dengan cara mempelajari sejumlah literatur, jurnal, paper hasil prosiding, naskah akademis, dan skripsi-skripsi lain bahkan disertasi luar negeri yang dinilai mampu memberikan kerangka teori bagi penelitian ini. Peneliti juga mempelajari buku-buku yang diterbitkan oleh dinas-dinas terkait. Dengan mempelajari berbagai literatur, gambaran yang diperoleh peneliti kemudian digunakan untuk melakukan penggalian data lebih mendalam.

Untuk observasi, dilakukan 4 (empat) tahapan, yaitu observasi deskriptif, observasi partisipatif, observasi terfokus, dan observasi terseleksi. Observasi deskriptif dilakukan peneliti pada saat memasuki situasi sosial tertentu sebagai obyek penelitian. Pada tahap ini peneliti melakukan penjelajahan umum dan menyeluruh, melakukan deskripsi terhadap semua yang dilihat, didengar, dan dirasakan. Semua data direkam, oleh karena itu hasil dari observasi ini disimpulkan dalam keadaan yang belum tertata. Dalam penelitian ini, observasi deskriptif berarti peneliti melakukan penjelajahan umum di Kampung Gajeboh lalu mendeskripsikan apa saja yang dilihat, didengar, dan dirasakan dari permainan keneker yang dilakukan oleh anak-anak di sana.

Tahapan observasi yang kedua adalah observasi partisipatif. Pada tahap ini peneliti terlibat langsung dengan situasi sosial yang diamati. Peneliti ikut melakukan permainan keneker bersama anak-anak Baduy.

Tahapan observasi ketiga, yaitu observasi terfokus. Pada tahap ini peneliti melakukan mini tour observation, yaitu suatu observasi yang telah dipersempit untuk difokuskan pada aspek tertentu. Dalam penelitian ini, observasi terfokus berarti peneliti memfokuskan diri, salah satunya kepada jenis-jenis permainan

keneker.

Tahapan observasi keempat, yaitu observasi terseleksi. Pada tahap ini peneliti menguraikan fokus yang telah ditemukan sehingga datanya lebih rinci. Di tahapan ini peneliti menemukan aspek-aspek, kontras-kontras/perbedaan dan kesamaan antar kategori, serta menemukan hubungan suatu kategori dengan


(26)

kategori yang lain. Dalam penelitian ini, peneliti memperinci data berdasarkan kategori-kategori yang telah diperoleh pada observasi terseleksi, salah satunya adalah kategori jenis permainan keneker.

Kemudian, data primer diperoleh melalui wawancara tak formal terhadap berbagai informan yang terlibat (baik aktif maupun pasif) dalam aktivitas permainan keneker masyarakat adat Baduy dan dipandang menguasai pengetahuan tentang konteks tersebut. Kelompok narasumber pertama adalah anak-anak Baduy yang sedang melakukan aktivitas permainan keneker. Kelompok narasumber yang kedua adalah orang-orang Baduy yang terlibat secara pasif dalam permainan keneker namun memiliki pengetahuan yang cukup terkait konteks yang diteliti. Banyaknya mereka adalah para orangtua dari anak-anak yang melakukan permainan keneker.

Sementara tentang jenis-jenis pertanyaan dalam wawancara, dalam penelitian ini setiap jenis pertanyaan dikaitkan dengan aktivitas permainan

keneker dan hal-hal lain yang terkait dengan matematika. Adapun jenis-jenis

pertanyaan dalam wawancara pada penelitian ini adalah (1) pertanyaan yang berkaitan dengan pengalaman; (2) pertanyaan yang berkaitan dengan pendapat; (3) pertanyaan yang berkaitan dengan perasaan; (4) pertanyaan tentang pengetahuan; (5) pertanyaan yang berkaitan dengan indera; dan (6) pertanyaan yang berkaitan dengan latar belakang atau demografi.

Untuk artefak, secara umum data dikumpulkan dengan pengambilan banyak foto dan rekaman video. Hasil pengumpulan data dengan artefak ini terutama untuk dianalisis pasca penelitian (setelah berada di luar Kampung Gajeboh). Khususnya untuk membantu peneliti menemukan aspek-aspek

tambahan pada QRS yang “tertanam” pada setiap jenis permainan keneker masyarakat adat Baduy.

I. Teknik Analisis Data

Dalam melakukan penelitian terhadap aktivitas permainan keneker masyarakat adat Baduy untuk melihat aspek-aspek matematika yang berada di balik data yang terungkap, pertama-tama peneliti menentukan pertanyaan


(27)

penelitian yang relevan dengan fenomena sosial yang diteliti. Selanjutnya peneliti melakukan pengamatan pendahuluan, proses tersebut diapit oleh proses penggalian data pustaka yang akan digunakan sebagai alat penggalian data kepada beberapa narasumber yang dipandang memiliki kompetensi dalam hal pengetahuan, praktik, hingga makna aktivitas permainan keneker masyarakat adat Baduy. Proses pengamatan pendahuluan sangat membantu peneliti untuk memilih narasumber yang kompeten. Proses wawancara direkam dalam bentuk transkrip wawancara, yang kemudian diolah melalui proses penandaan (koding) untuk memperoleh gambaran kesinambungan data antar narasumber dalam penelitian ini, sebelum hasilnya dimasukkan dalam catatan lapangan.

Informasi yang diperoleh melalui teknik pengumpulan di atas, selanjutnya digunakan untuk melakukan Critical Dialogues di antara dua sistem pengetahuan (matematika dan budaya) melalui prinsip mutual interrogation sebagai teknik analisis data pada penelitian ethnomathematics. Teknik analisis data tersebut sepenuhnya didasarkan kepada disertasi Alangui (2010). Proses penyelenggaraan

critical dialogues melalui prinsip mutual interrogation pada penelitian ethnomathematics dinyatakan oleh Alangui (2010: 87) sebagai berikut.

1. Merancang lahirnya dialog yang kritis antara pelaku budaya (mewakili sistem pengetahuan budaya) dan matematikawan (mewakili sistem pengetahuan matematika);

2. Gambarkan kesejajaran posisi antar keduanya, yaitu dengan menggunakan elemen-elemen yang terdapat pada satu sistem pengetahuan untuk ditanyakan kepada sistem pengetahuan yang lain; 3. Libatkan proses refleksi secara terus menerus untuk mempertanyakan

aspek-aspek matematika;

4. Gali alternatif aspek yang dapat ditemukan.

Skripsi ini berusaha untuk membangun sebuah proses Critical Dialogues menggunakan prinsip mutual interrogation di antara dua sistem pengetahuan, yaitu pengetahuan penduduk Baduy yang tertanam pada aktivitas permainan


(28)

ethnomathematics ini, melalui Critical Dialogues dengan menggunakan prinsip mutual interrogation, diharapkan dapat memberikan kemungkinan-kemungkinan untuk melakukan “transformasi”, melahirkan kembali perkembangan pengetahuan-pengetahuan di dalam matematika, dan budaya.

J. Rencana Pengujian Keabsahan Data

Berkenaan dengan pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, maka uji keabsahan data yang dilakukan ada empat, yaitu Uji Kredibilitas Data, Uji Transferability, Uji Depenability, dan Uji

Confirmability. Di dalam uji yang pertama, yaitu Uji Kredibilitas Data, peneliti

melibatkan empat komponen. Untuk uji ketiga dan keempat, peneliti melakukannya secara bersamaan. Penguji Depenability dan Confirmability adalah pembimbing dalam penelitian ini.

Empat komponen yang peneliti libatkan untuk Uji Kredibilitas Data adalah:

(1) Perpanjangan pengamatan; (2) Peningkatan ketekunan; (3) Triangulasi;

(4) Diskusi dengan teman.

Untuk komponen yang pertama, yaitu perpanjangan pengamatan, dipilihnya Kampung Gajeboh adalah salah satu alasan untuk memenuhi komponen perpanjangan pengamatan. Di akhir bulan Mei 2012, peneliti untuk kali pertama berkunjung dan menginap di wilayah adat tersebut. Ketika itu pengamatan kepada permainan keneker masih berada pada kawasan permukaan. Interaksi dengan anak-anak disana pun ketika itu masih terasa kaku. Peneliti kembali menemui anak-anak di Kampung Gajeboh untuk menggali data lebih dalam tentang permainan keneker masyarakat adat Baduy, yaitu pada bulan Desember 2012 hingga awal Januari 2013.

Komponen yang kedua, yaitu peningkatan ketekunan, peneliti menyikapinya dengan membekali diri dengan membaca berbagai referensi tentang permainan-permainan tradisional di Indonesia dan dunia. Peneliti mengamati pula


(29)

secara lebih seksama dokumentasi-dokumetasi milik peneliti saat melakukan pengamatan pendahuluan.

Komponen yang ketiga, yaitu triangulasi, peneliti melakukan pengecekan data dengan tiga jenis triangulasi. Hampir seluruhnya, peneliti lakukan pengecekan data dengan triangulasi sumber (mengecek data dari berbagai sumber yang terkait), triangulasi waktu (mengecek data di waktu pagi, siang, dan sore), dan triangulasi teknik (observasi, dokumentasi, dan wawancara).

Untuk komponen yang keempat, yaitu diskusi dengan teman, peneliti melakukan diskusi dengan 3 (tiga) kawan yang sama-sama meneliti dengan tema kajian ethnomathematics. Diskusi dijadwalkan satu kali setiap satu pekan, terus menerus sejak bulan Maret hingga bulan Desember 2012, bahkan berlanjut hingga penyusunan laporan penelitian ini di tahun 2013. Topik diskusi adalah seputar kajian sejarah hingga perkembangan ethnomathematics, pendekatan penelitian kualitatif, metodologi penelitian dalam ethnomathematics, hingga teknik analisis data yang biasa dilakukan oleh para ethnomathematician.

Untuk uji keabsahan data yang kedua, yaitu Uji Transferability, peneliti berusaha untuk membuat laporan penelitian ini dengan rinci, jelas, sistematis, dan dapat dipercaya, agar setiap pembaca menjadi jelas dan pembaca dapat memutuskan apakah hasil penelitian ini dapat diterapkan atau digunakan dalam situasi lain ataukah tidak. Sementara untuk uji keabsahan data yang ketiga dan keempat, yaitu Uji Depenability dan Uji Confirmability, peneliti melakukannya

hampir bersamaan dengan melaporkan semacam “jejak langkah aktivitas” kepada

pembimbing dalam penelitian ini. Jejak langkah aktivitas tersebut diaudit oleh pembimbing pada Februari 2013 sekaligus hasil penelitian ini diuji dengan dikaitkan terhadap setiap proses yang dilakukan.

K. Road Map Penelitian Ethnomathematics

Road map penelitian ethnomathematics perlu untuk peneliti kemukakan

dengan pertimbangan agar dapat dilihat posisi penelitian ini terhadap penelitian-penelitian (perkembangan-perkembangan) sebelumnya pada area penelitian-penelitian


(30)

ethnomathematics. Untuk menggambarkan road map penelitian ini, peneliti

menggunakan Fishbone Diagrams (diagram tulang ikan).

Fishbone Diagrams (WBI Evaluation Group, 2007) adalah sebuah

diagram sebab-akibat yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi potensi apa (yang aktual) yang dapat menjadi penyebab lahirnya suatu kebutuhan (masalah).

Fishbone Diagrams menyediakan sebuah struktur kelompok-kelompok diskusi di

sekitar potensi (aktual) penyebab lahirnya kebutuhan (masalah).

Prosedur umum pembuatan Fishbone Diagrams dijelaskan pada delapan tahapan di bawah ini (WBI Evaluation Group, 2007):

1. Lakukan identifikasi kesenjangan (celah, gap) yang perlu untuk dicapai dengan sempurna melalui hasil project (program) yang sedang dijalani.

2. Perjelaslah, dengan menggunakan kalimat yang singkat tentang apa yang menjadi kebutuhan (masalah). Pastikan bahwa setiap orang di dalam kelompok project (program) setuju dengan kalimat yang menggambarkan kebutuhan (masalah) tersebut.

3. Menggunakan selembar kertas yang panjang, gambar garis horizontal

sepanjang kertas. Garis tersebut akan menjadi “tulang belakang ikan”.

Tuliskanlah kalimat singkat yang menjadi kebutuhan (masalah) di

sepanjang “tulang belakang ikan” di sebelah kiri tangan.

4. Identifikasi hal-hal yang melenceng sebagai kategori penyebab lahirnya suatu kebutuhan (masalah). Teknik yang efektif untuk bisa mengidentifikasi kategori penyebab lahirnya kebutuhan (masalah) adalah dengan teknik brainstorming. Untuk setiap kategori penyebab,

gambarlah sebuah “tulang” berupa garis yang membentuk sudut 45 derajat terhadap “tulang belakang ikan”. Beri label pada setiap “tulang” tersebut.

5. Bentuk kelompok-kelompok brainstorm untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menjadi pengaruh lahirnya penyebab dan kebutuhan (masalah). Untuk setiap kategori penyebab, kelompok-kelompok itu


(31)

harus bertanya: “Mengapa hal ini dapat terjadi?” Tambahkan pula “alasan mengapa” di dalam diagram.

6. Ulangi prosedur bertanya “Mengapa hal ini dapat terjadi” untuk setiap jawaban yang telah ditemukan, hingga pertanyaan yang diajukan sudah tidak lagi berarti untuk dijawab.

7. Ketika kelompok telah sepakat dengan isi diagram yang telah cukup memuat informasi, analisislah diagram. Khususnya, temukan/lihat bagian penyebab yang muncul lebih dari satu kali pada bagian diagram.

8. Lingkari apapun yang terlihat menjadi akar penyebab lahirnya kebutuhan (masalah). Prioritaskan akar penyebab tersebut dan tentukan sikap apa yang harus diambil. Pengambilan sikap tersebut mungkin akan menyangkut kepada investigasi selanjutnya terhadap akar-akar penyebab yang lain.

Sebagai gambaran, WBI Evaluation Group (2007) memberikan contoh pembuatan Fishbone Diagrams sebagai berikut:

Gambar 3.1.

Gambaran pembuatan fishbone diagrams

Berdasarkan kepada penjelasan, dan pedoman membuat Fishbone


(32)

ethnomathematics, maka peneliti kemudian menyusun Fishbone Diagrams

penelitian ethnomathematics seperti terlihat pada gambar berikut.

Gambar 3.2.

Fishbone Diagrams penelitian ethnomathematics

Diagram di atas digunakan pula untuk menggambarkan road map penelitian ethnomathematics. Kebutuhan yang perlu untuk dipenuhi dengan menggunakan (program) study ethnomathematics adalah perlunya memandang matematika memiliki hubungan timbal balik dengan budaya, dan sosial.

Selain itu juga disajikan causal loops diagrams dari penelitian

ethnomatemathics ini. Causal loops diagrams adalah diagram yang digunakan

untuk menampilkan atau menunjukan sebab dan akibat dari berbagai sudut pandang dan hubungan timbal balik dari sebab dan akibat itu sendiri. Dengan

causal loops diagrams ini dapat ditunjukan pengaruh antar aspek baik itu memperkuat atau memperlemah dengan ditandai tanda “+” atau “-“. Simbol “+”

digunakan jika suatu aspek memperkuat aspek yang lain, sendangkan “-“ digunakan jika suatu aspek memperlemah aspek yang lain. Memperkuat disini artinya jika suatu aspek meningkat maka aspek yang dipengaruhinya pun meningkat atau jika suatu aspek menurun maka aspek yang dipengaruhinya menurun. Sedangkan jika suatu aspek meningkat dan aspek yang dipengaruhinya menurun atau jika suatu aspek menurun dan aspek yang dipengaruhinya meningkat maka itu dikatakan memperlemah.


(33)

Untuk membuat causal loops diagrams, putuskan atau pilih apa saja hal yang penting dan dapat membuat penelitian itu semakin mudah dipahami.

Berikut ini petunjuk pembuatan causal loops diagrams menurut Kim (1992):

1. Pikirkan elemen apa saja yang akan dimasukan ke dalam causal loops

diagram, dimana elemen tersebut hasrulah berupa variable yang dapat

meningkat dan menurun, meskipun tidak mengetahui cara mengukur seberapa besar peningkatan atau penurunan dari elemen tersebut.

a. Gunakan kata benda atau frasa untuk menggambarkan elemen dalam

causal loops tersebut. Penggunaan kata benda atau frasa lebih baik

dibandingkan dengan penggunaan kata kerja. Artinya, tindakan itu digambarkan oleh penghubung (panah) antara satu elemen ke elemen lainnya, bukan digambarkan atau ditunjukan oleh elemen itu sendiri.

Contohnya, lebih baik menggunakan kata “biaya” daripada penggunaan kata “peningkatan biaya”.

b. Pastikan definisi bahasa dari elemen yang digunakan jelas. Jelas disini adalah tidak membuat bingung atau ambigu ketika diberikan penghubung

(panah) kepada elemen tersebut. Contohnya, penggunaan kata “toleransi terhadap kejahatan” akan lebih baik daripada penggunaan kata “sikap terhadap kejahatan”.

c. Pada umumnya pemilihan kata itu akan lebih jelas jika kata yang digunakan bernilai positif. Contohnya, menggunakan kata

“pertumbuhan” lebih baik daripada “penyusutan”.

d. Penghubung (panah) dari causal loops diagrams haruslah menyiratkan atau menunjukan arah sebab-akibat, dan bukan menunjukan urutan waktu. Dengan kata lain, link positif dari elemen A ke elemen B tidak berarti elemen A lebih dulu terjadi kemudian elemen B terjadi. Arti dari panah positif itu dari elemen A ke elemen B itu ketika elemen A meningkat maka meningkat pula elemenB.


(34)

2. Ketika mengkonstruksi link-link pada casual loop diagrams, pikirkanlah kemungkinan-kemungkinan lain yang sebelumnya tidak pernah diduga memiliki efek terhadap elemen-elemen yang disambungkan.

3. Untuk loop yang bernilai feedback negatif, biasanya disanalah tujuan yang harus dicapai itu berada.

4. Perbedaan antara apa yang telah terjadi dengan apa yang dirasakan terhadap suatu proses bisa sering menjadi hal yang penting dalam menjelaskan suatu kebiasaan. Maka dari itu penting untuk membuat causal loop antar 2 (dua) elemen untuk menilai yang mana yang sudah terjadi dan yang mana yang menjadi persepsi (yang dirasakan). Pada banyak kasus, ketika persepsi muncul terhadap apa yang telah terjadi, biasanya ada sesuatu yang menunda/menghalangi. Penundaan/penghalang itu pun perlu untuk digambarkan causal loop-nya.

5. Terdapat perbedaan antara konsekuensi yang panjang (dirasakannya lama) dengan konsekuensi yang pendek (dirasakan seketika), dan hal tersebut sangat mungkin membedakan pula dalam penggambaran loop-nya.

6. Jika link antara dua elemen dipandang memiliki penjelasan yang panjang, pikirkanlah kemungkinan dibuatnya elemen perantara yang menjembatani kedua elemen tersebut untuk lebih memperjelas apa sebenarnya yang sedang terjadi.

7. Usahakan diagram yang dibuat adalah diagram yang sesederhana mungkin. Tujuan dari causal loop diagram bukanlah untuk menggambarkan secara detail proses-proses yang terjadi, tetapi untuk menggambarkan feedback dari setiap aspek pada proses-proses tersebut sehingga mampu untuk mengobservasi pola dari apa yang sedang terjadi.


(35)

Causal loops diagrams dari penelitian ini disajikan pada gambar dibawah

ini.

Gambar 3.3.

Causal loops diagrams penelitian ethnomatematics

Causal loops diagrams ini bisa dimulai dari mana saja. Misalkan akan

dimulai dari “matematika dianggap jauh dari budaya” dan “study

ethnomathematics”. Loop dari “matematika dianggap jauh dari budaya” ke “study

ethnomathematics” adalah positif, ini artinya “matematika dianggap jauh dari

budaya” memperkuat “study ethnomathematics”. Dengan kata lain, jika semakin meningkatnya anggapan bahwa matematika itu dianggap jauh dari budaya maka akan meningkat pula study ethnomathematics. Sedangkan loop yang sebaliknya negative, artinya semakin meningkatnya penelitian study ethnomathematics maka akan menurun anggapan atau pandangan matematika jauh dari budaya.

Dari diagram tersebut, semakin meningkatnya anggapan matematika jauh dari budaya akan meningkatkan ketidaktahuan akan timbal balik matematika


(36)

dengan budaya. Dan sebaliknya, jika anggapan matematika jauh dari budaya menurun, maka akan menurun pula ketidaktahuan terhadap timbal balik matematika dengan budaya. Begitu pula hubungan antar aspek-aspek yang lain


(37)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Untuk menjawab pertanyaan deskriptif pada rumusan masalah, yaitu

“Bagaimanakah aspek-aspek matematika pada permainan keneker masyarakat

Baduy?” kesimpulan penelitian ini dibagi berdasarkan kriteria di luar permainan,

dan kriteria di dalam permainan. Melalui study ethnomathematics dengan prinsip

mutual interrogation aspek-aspek matematika dalam permainan keneker

masyarakat adat Baduy ini diungkap.

Pada konfigurasi, kriteria di luar permainan (External Configuration of

The Game), aspek-aspek matematika pada permainan keneker masyarakat Baduy

diungkap dengan menggunakan matematika sebagai kerangka acuan. Penggunaan matematika sebagai kerangka acuan berarti proses interogasi dimulai dari elemen-elemen budaya pada proses tersebut.

Aspek-aspek matematika yang terungkap dari External Configuration of

The Game pada permainan keneker masyarakat Baduy adalah:

1) Para pemain keneker atau anak-anak Baduy melakukan pengelompokan bilangan. Salah satunya mereka mengelompokan bilangan 2-2 (dua-dua) sebagai upaya mereka mempermudah dalam membilang keneker yang mereka kumpulkan dalam botol air mineral.

2) Para pemain keneker atau anak-anak Baduy telah mampu melakukan konsep perkalian. Salah satunya perkalian dua ketika mereka membilang

keneker yang mereka miliki.

3) Para pemain keneker melakukan pengelompokkan usia bermain meskipun mereka melakukan pengelompokkan tersebut dengan perkiraan secara fisik.

4) Kemungkinan model matematika yang dapat dikembangkan pada External

Configuration of The Game adalah salah satunya bagaimana sebenarnya


(38)

Kemudian, pada konfigurasi, kriteria di dalam permainan (Internal

Configuration of The Game) aspek-aspek matematika pada permainan keneker

masyarakat Baduy, diungkap dengan menggunakan budaya sebagai kerangka acuan. Penggunaan budaya sebagai kerangka acuan berarti proses interogasi dimulai dengan meninjau perspektif matematika pada proses tersebut.

Aspek-aspek matematika yang terungkap pada Internal Configuration of

The Game permainan keneker masyarakat Baduy adalah:

1) Model matematika, yaitu sumbu diagram dibuat untuk memudahkan menyelesaikan salah satu persoalan pada Internal Configuration of The

Game permainan keneker masyarakat Baduy, yaitu strategi-strategi

matematis apa yang dapat dilakukan atau dipilih oleh anak-anak Baduy dalam melakukan permainan keneker;

2) Daerah koder dapat dimodelkan ke dalam bentuk lingkaran yang mana lingkaran daerah koder tersebut bergantung pada lingkaran yang digunakan untuk memasang keneker pasangan. Jika lingkaran keneker pasangan itu adalah n cm, maka diameter daerah koder-nya adalah n + (3 x diameter keneker)

B. Saran

Saran pada penelitian ini lebih menitikberatkan pada output dari penggunaan prinsip mutual interrogation pada penelitian ethnomathematics. Ada 2 (dua) saran utama yang biasa dihasilkan oleh para ethnomathematician setelah menggunakan prinsip tersebut, yaitu:

1) Apa yang dapat disumbangkan terhadap praktik budaya yang diteliti; 2) Terkait dengan matematika, hal baru apa yang didapat.

Oleh karena itu, melalui penelitian ini, peneliti bermaksud memberikan rekomendasi terkait dua hal tersebut.


(39)

Kesatu, bagi para pemain keneker, penelitian ini memberikan rekomendasi model-model matematika yang dapat diterapkan untuk memudahkan para pemain

keneker Baduy.

Kedua, bagi para matematikawan, penelitian ini bermaksud memberikan rekomendasi bahwa permainan keneker masyarakat adat Baduy dapat dipandang sebagai sesuatu yang berhubungan dengan matematika. Keterhubungan tersebut dapat dilihat dari hubungan antara anak-anak yang bermain keneker dan matematikawan, bagaimana cara mereka berpikir, mengambil keputusan, dan seterusnya. Dapat pula keterhubungan itu dilihat dari konsep-konsep dasar yang terdapat pada permianan keneker yaitu membilang, pengukuran, hingga pada model-model matematika yang telah dikonstruksi pada penelitian ini.

Saran untuk penelitian ethnomathematics selanjutnya yang akan mengkaji konteks permainan keneker masyarakat adat Baduy adalah apa yang belum selesai dari penelitian ini, yaitu pengembangan model matematika untuk memecahkan persoalan bagaimana sistem bilangan yang telah dikenal anak-anak Baduy.

Saran tambahan yaitu bagi para pemangku kebijakan arah Pendidikan Matematika di Indonesia. Melalui skripsi ini peneliti berkeyakinan bahwa pembelajaran matematika yang didasarkan kepada budaya bangsa sendiri bukanlah hal yang mustahil. Study Ethnomathematics memberikan jalan dan melebarkan peluang bagi pembelajaran matematika di Indonesia agar kedepannya dapat menggunakan budaya bangsa sebagai basic concept-nya. Diharapkan dengan cara tersebut mampu memberikan motivasi lebih bagi para peserta didik, karena pembelajaran yang didasarkan kepada budaya bangsa sendiri diyakini akan membentuk karakter-karakter positif baik bagi pendidik maupun bagi peserta didik. Semoga.


(40)

DAFTAR PUSTAKA

Alangui, W.V. (2010). Stone Walls and Water Flows: Interrogating Cultural Practice

and Mathematics. Doctoral Dissertation, University of Auckland, Auckland,

New Zealand: Unpublished.

Barton, W.D. (1996). Ethnomathematics: Exploring Cultural Diversity in

Mathematics. A Thesis for Doctor of Philosophy in Mathematics Education

University of Auckland: Unpublished.

Clements, K. (1996). “Historical Perspective”, dalam International Handbook of

Mathematics Education. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.

Daur, M. (2012). Bermain Kelereng (gundu). [Online]. Tersedia: http://mbahdaur.blogspot.com/2012/04/bermain-kelereng-gundu.html [17 Desember 2012].

Erwinantu. (2012). Saba Baduy. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Gerdes, P. (1996). “Ethnomathematics and Mathematics Education”, dalam

International Handbook of Mathematics Education. Dordrecht: Kluwer

Academic Publishers.

Hakim, A. (2011). Sejarah Permainan Kelereng. [Online]. Tersedia: http://akimlinovsisa.wordpress.com/2011/08/04/sejarah-permainan-kelereng/ [16 Desember 2012].

Kim, D.H. (1992). “Toolbox: Guidelines for Drawing Causal Loop Diagrams.” The Systems Thinker. 3, (1), 5-6.

Maffei, L. & Favilli, F. (2004). “Piloting the Software SonaPolygonals_1.0: A

Didactic Proposal for the GCD”, dalam Ethnomathematics and Mathematics

Education Proceedings of the 10th International Congress of Mathematics

Education Copenhagen, 99-118.

Mustika, R.G. (2012). “Eksplorasi Etnomatematika Dalam Perilaku Keseharian Masyarakat Baduy”. Makalah pada Seminar Pendidikan Matematika UPI,


(41)

Sugiono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi (Mixed

Method). Bandung: Alfabeta.

Syarif. (2011). Cara Main Kelereng. [Online]. Tersedia: http://sictap01.blogspot.com/2011/06/cara-main-kelereng.html [17 Desember 2012].

Tim Dinas Informasi Komunikasi Seni Budaya dan Pariwisata Kabupaten Lebak. (2004). Membuka Tabir Kehidupan: Tradisi Masyarakat Baduy dan

Cisungsang serta Peninggalan Sejarah Situs Lebak Sibedug, Lebak:

Disporabudpar.

WBI Evaluation Group. (2007). Fishbone Diagrams. [Online]. Tersedia:


(1)

dengan budaya. Dan sebaliknya, jika anggapan matematika jauh dari budaya menurun, maka akan menurun pula ketidaktahuan terhadap timbal balik matematika dengan budaya. Begitu pula hubungan antar aspek-aspek yang lain


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Untuk menjawab pertanyaan deskriptif pada rumusan masalah, yaitu “Bagaimanakah aspek-aspek matematika pada permainan keneker masyarakat

Baduy?” kesimpulan penelitian ini dibagi berdasarkan kriteria di luar permainan, dan kriteria di dalam permainan. Melalui study ethnomathematics dengan prinsip

mutual interrogation aspek-aspek matematika dalam permainan keneker

masyarakat adat Baduy ini diungkap.

Pada konfigurasi, kriteria di luar permainan (External Configuration of

The Game), aspek-aspek matematika pada permainan keneker masyarakat Baduy

diungkap dengan menggunakan matematika sebagai kerangka acuan. Penggunaan matematika sebagai kerangka acuan berarti proses interogasi dimulai dari elemen-elemen budaya pada proses tersebut.

Aspek-aspek matematika yang terungkap dari External Configuration of

The Game pada permainan keneker masyarakat Baduy adalah:

1) Para pemain keneker atau anak-anak Baduy melakukan pengelompokan bilangan. Salah satunya mereka mengelompokan bilangan 2-2 (dua-dua) sebagai upaya mereka mempermudah dalam membilang keneker yang mereka kumpulkan dalam botol air mineral.

2) Para pemain keneker atau anak-anak Baduy telah mampu melakukan konsep perkalian. Salah satunya perkalian dua ketika mereka membilang

keneker yang mereka miliki.

3) Para pemain keneker melakukan pengelompokkan usia bermain meskipun mereka melakukan pengelompokkan tersebut dengan perkiraan secara fisik.

4) Kemungkinan model matematika yang dapat dikembangkan pada External


(3)

Kemudian, pada konfigurasi, kriteria di dalam permainan (Internal

Configuration of The Game) aspek-aspek matematika pada permainan keneker

masyarakat Baduy, diungkap dengan menggunakan budaya sebagai kerangka acuan. Penggunaan budaya sebagai kerangka acuan berarti proses interogasi dimulai dengan meninjau perspektif matematika pada proses tersebut.

Aspek-aspek matematika yang terungkap pada Internal Configuration of

The Game permainan keneker masyarakat Baduy adalah:

1) Model matematika, yaitu sumbu diagram dibuat untuk memudahkan menyelesaikan salah satu persoalan pada Internal Configuration of The

Game permainan keneker masyarakat Baduy, yaitu strategi-strategi

matematis apa yang dapat dilakukan atau dipilih oleh anak-anak Baduy dalam melakukan permainan keneker;

2) Daerah koder dapat dimodelkan ke dalam bentuk lingkaran yang mana lingkaran daerah koder tersebut bergantung pada lingkaran yang digunakan untuk memasang keneker pasangan. Jika lingkaran keneker pasangan itu adalah n cm, maka diameter daerah koder-nya adalah n + (3 x diameter keneker)

B. Saran

Saran pada penelitian ini lebih menitikberatkan pada output dari penggunaan prinsip mutual interrogation pada penelitian ethnomathematics. Ada 2 (dua) saran utama yang biasa dihasilkan oleh para ethnomathematician setelah menggunakan prinsip tersebut, yaitu:

1) Apa yang dapat disumbangkan terhadap praktik budaya yang diteliti; 2) Terkait dengan matematika, hal baru apa yang didapat.

Oleh karena itu, melalui penelitian ini, peneliti bermaksud memberikan rekomendasi terkait dua hal tersebut.


(4)

Kesatu, bagi para pemain keneker, penelitian ini memberikan rekomendasi model-model matematika yang dapat diterapkan untuk memudahkan para pemain

keneker Baduy.

Kedua, bagi para matematikawan, penelitian ini bermaksud memberikan rekomendasi bahwa permainan keneker masyarakat adat Baduy dapat dipandang sebagai sesuatu yang berhubungan dengan matematika. Keterhubungan tersebut dapat dilihat dari hubungan antara anak-anak yang bermain keneker dan matematikawan, bagaimana cara mereka berpikir, mengambil keputusan, dan seterusnya. Dapat pula keterhubungan itu dilihat dari konsep-konsep dasar yang terdapat pada permianan keneker yaitu membilang, pengukuran, hingga pada model-model matematika yang telah dikonstruksi pada penelitian ini.

Saran untuk penelitian ethnomathematics selanjutnya yang akan mengkaji konteks permainan keneker masyarakat adat Baduy adalah apa yang belum selesai dari penelitian ini, yaitu pengembangan model matematika untuk memecahkan persoalan bagaimana sistem bilangan yang telah dikenal anak-anak Baduy.

Saran tambahan yaitu bagi para pemangku kebijakan arah Pendidikan Matematika di Indonesia. Melalui skripsi ini peneliti berkeyakinan bahwa pembelajaran matematika yang didasarkan kepada budaya bangsa sendiri bukanlah hal yang mustahil. Study Ethnomathematics memberikan jalan dan melebarkan peluang bagi pembelajaran matematika di Indonesia agar kedepannya dapat menggunakan budaya bangsa sebagai basic concept-nya. Diharapkan dengan cara tersebut mampu memberikan motivasi lebih bagi para peserta didik, karena pembelajaran yang didasarkan kepada budaya bangsa sendiri diyakini akan membentuk karakter-karakter positif baik bagi pendidik maupun bagi peserta didik. Semoga.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Alangui, W.V. (2010). Stone Walls and Water Flows: Interrogating Cultural Practice

and Mathematics. Doctoral Dissertation, University of Auckland, Auckland,

New Zealand: Unpublished.

Barton, W.D. (1996). Ethnomathematics: Exploring Cultural Diversity in

Mathematics. A Thesis for Doctor of Philosophy in Mathematics Education

University of Auckland: Unpublished.

Clements, K. (1996). “Historical Perspective”, dalam International Handbook of

Mathematics Education. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.

Daur, M. (2012). Bermain Kelereng (gundu). [Online]. Tersedia: http://mbahdaur.blogspot.com/2012/04/bermain-kelereng-gundu.html [17 Desember 2012].

Erwinantu. (2012). Saba Baduy. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Gerdes, P. (1996). “Ethnomathematics and Mathematics Education”, dalam

International Handbook of Mathematics Education. Dordrecht: Kluwer

Academic Publishers.

Hakim, A. (2011). Sejarah Permainan Kelereng. [Online]. Tersedia: http://akimlinovsisa.wordpress.com/2011/08/04/sejarah-permainan-kelereng/ [16 Desember 2012].

Kim, D.H. (1992). “Toolbox: Guidelines for Drawing Causal Loop Diagrams.” The

Systems Thinker. 3, (1), 5-6.

Maffei, L. & Favilli, F. (2004). “Piloting the Software SonaPolygonals_1.0: A

Didactic Proposal for the GCD”, dalam Ethnomathematics and Mathematics

Education Proceedings of the 10th International Congress of Mathematics Education Copenhagen, 99-118.

Mustika, R.G. (2012). “Eksplorasi Etnomatematika Dalam Perilaku Keseharian Masyarakat Baduy”. Makalah pada Seminar Pendidikan Matematika UPI,


(6)

Sugiono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi (Mixed

Method). Bandung: Alfabeta.

Syarif. (2011). Cara Main Kelereng. [Online]. Tersedia:

http://sictap01.blogspot.com/2011/06/cara-main-kelereng.html [17 Desember 2012].

Tim Dinas Informasi Komunikasi Seni Budaya dan Pariwisata Kabupaten Lebak. (2004). Membuka Tabir Kehidupan: Tradisi Masyarakat Baduy dan

Cisungsang serta Peninggalan Sejarah Situs Lebak Sibedug, Lebak:

Disporabudpar.

WBI Evaluation Group. (2007). Fishbone Diagrams. [Online]. Tersedia: