MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW:Studi Eksperimen di SMA Negeri 1 Rengat.

(1)

i DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

LEMBAR PERSEMBAHAN ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 14

E. Definisi Operasional ... 15

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pembelajaran Matematika ... 18

B. Pembelajaran kooperatif Tipe Jigsaw ... 19

C. Kemampuan Pemahaman Matematis ... 29

D. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ... 33

E. Pembelajaran Konvensional ... 40

F. Teori Belajar Pendukung ... 43

G. Penelitian yang Relevan ... 48

H. Hipotesis ... 50

BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 52

B. Populasi dan Sampel Penelitian ... 54

C. Instrumen Penelitian ... 56

1. Tes Kemampuan pemahaman Matematis ... 55

2. Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ... 57

3. Analisis Tes Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematis ... 59

a. Analisis Validitas ... 60

b. Analisis Reliabilitas ... 62

c. Analisis Daya Pembeda... 63


(2)

ii

e. Rekapitulasi Analisis Hasil Uji Coba Tes ... 67

4. Skala Sikap Siswa ... 68

5. Lembar Observasi ... 69

D. Teknik Pengumpulan Data ... 70

E. Prosedur Penelitian ... 70

1. Tahap Persiapan ... 70

2. Tahap Pelaksanaan ... 72

3. Tahap Pengolahan Data ... 75

F. Jadwal Penelitian ... 81

G. Alur Penelitian ... 82

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 83

1. Deskriptif Hasil Pengolahan Data ... 84

2. Analisis Hasil Pretes Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematis ... 86

3. Analisis Peningkatan Kemampuan Pemahaman Matematis ... 91

4. Analisis Peningkatan Kemampuan pemecahan Masalah Matematis ... 98

5. Hasil Penelitian Skala Sikap Siswa ... 106

6. Aktivitas Siswa dan Guru Selama Proses Pembelajaran ... 105

B. Pembahasan ... 114

1. Pembelajaran matematika melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw ... 114

2. Analisis Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan pemecahan masalah matematis ... 118

4. Sikap Siswa terhadap Pembelajara Kooperatif Tipe Jigsaw ... 127

5. Aktivitas Siswa dan Guru ... 128

6. Keterbatasan ... 129

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 131

B. Saran ... 132


(3)

iii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Diagram Diskusi Kelompok Expert ... 27 3.1 Alur Proses Penelitian ... 82 4.1 Diagram Batang Perkembangan Aktivitas Guru pada Pembelajaran

dengan Kooperatif Tipe Jigsaw ……….. 111 4.2 Diagram Batang Perkembangan Aktivitas Siswa pada Pembelajaran


(4)

iv

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Pembagian kelompok dan Permasalahan ... 26

3.1 Tabel Weiner tentang Keterkaitan Antar Variabel Bebas, terikat dan kontrol ... 54

3.2 Penskoran untuk Perangkat Tes Kemampuan Pemahaman Matematis ... 57

3.3 Kriteria Penilaian untuk Pemecahan Masalah Matematis ... 58

3.4 Interpretasi koofisien Validitas ... 61

3.5 Interpretasi Uji Validitas Tes Pemahaman Matematis ... 61

3.6 Uji Validitas Tes Pemecahan Masalah Matematis ... 62

3.7 Kriteria Derajat Keandalan J.P. Guilford ... 63

3.8 Reliabilitas Tes Kemampuan Pemahamn dan Pemecahan Masalah Matematis ... 63

3.9 Klasifikasi Daya Pembeda ... 64

3.10 Daya Pembeda Tes Pemahaman Matematis ... 64

3.11 Daya Pembeda Tes Pemecahan Masalah Matematis ... 65

3.12 Kriteria Tingkat Kesukaran ... 66

3.13 Tingkat Kesukaran Butir Soal Pemahaman Matematis ... 66

3.14 Tingkat Kesukaran Butir Soal Pemecahan Masalah Matematis ... 66

3.15 Rekapitulasi Analisis Hasil Uji Coba Tes Pemahaman Matematis ... 67

3.16 Rekapitulasi Analisis Hasil Uji Coba Tes Pemecahan Masalah Matematis ... 67

3.17 Kriteria Skor Gain Ternormalisasi ………. 76

3.18 Jadwal Kegiatan Penelitian ……… 81

4.1 Statistik Deskriptif Skor Kemampuan Pemahaman Matematis ... 84

4.2 Statistik Deskriptif Skor Kemampuan Pemecahan Masalah ... 85

4.3 Hasil Uji Normalitas Pretes Pemahaman dan Pemecahan Masalah Kelas Eksperimen dan Kontrol ... 87

4.4 Uji Kesamaan Rata-rata Skor Pretes ... 88

4.5 Uji Normalitas Skor Postes Kemampuan Pemahaman dan pemecahan Masalah Matematis ... 89

4.6 Uji Homogenitas Skor PostesKemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematis ... 90

4.7 Uji Perbedaan Rata-rata Skor Postes Kemampuan pemahaman dan pemecahan Masalah Matematis ... 91

4.8 Uji Normalitas Data Gain Kemampuan Pemahaman Matematis ... 92

4.9 Uji Homogenitas Varians Gain Ternormalisasi Pemahaman Matematis ... 93

4.10 Uji Perbedaan Rata-rata Gain Ternormalisasi Pemahaman matematis ... 95

4.11 Uji Homogenitas Varians Data Gain Kemampuan Pemahaman Matematis Kelas Eksperimen ... 97


(5)

v

4.12 Uji signifikasi Perbedaan Peningkatan Kemampuan Pemahaman

Matematis Kelas Eksperimen Berdasarkan Kategori Siswa ... 97 4.13 Uji Post Hoc Data Peningkatan Kemampuan Pemahaman

Matematis Kelas Eksperimen Berdasarkan Kategori Siswa ... 98 4.14 Uji Normalitas Data Gain Ternormalisasi Kemampuan

Pemecahan Masalah Matematis ... 99 4.15 Uji Homogenitas Varians Gain Ternormalisasi Kemampuan

Pemecahan Masalah Matematis ... 100 4.16 Uji Signifikasi Perbedaan Peningkatan Kemampuan Pemecahan

Masalah Matematis ... 102 4.17 Uji Homogenitas Varians Data N-Gain Kemampuan Pemecahan

Masalah Matematis Berdasarkan Kategori Siswa

Kelas Eksperimen ... 104 4.18 Uji Signifikasi Perbedaan Peningkatan Kemampuan Pemecahan

Masalah Matematis Berdasarkan Kategori Siswa

Kelas Eksperimen ... 105 4.19 Uji Games-Howell Data Peningkatan Kemampuan Pemecahan

Masalah Matematis Berdasrkan Kategori Siswa Kelas Eksperimen... 105 4.20 Rata-rata Sikap Siswa Kelas Eksperimen terhadap

Pembelajaran kooperatif Tipe jigsaw ... 107 4.21 Rata-rata Sikap Siswa Terhadap Pembelajaran Kooperatif

Tipe Jigsaw Berdasarkan Indikator Skala Sikap ... 108 4.22 Hasil Pengamatan Aktivitas Guru Selama Proses Pembelajaran

Melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw ……….. 110 4.23 Hasil Pengamatan Aktivitas Siswa selama Proses Pembelajaran

Melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw ………...112 4.24 Rata-rata Skor Postes Berdasarkan Pendekatan Pembelajaran

dan Kategori Siswa ... 117 4.25 Rata-rata N-Gain Kemampuan Pemahaman Matematis

Berdasarkan pendekatan pembelajaran dan Kategori siswa ... 118 4.26 Rata-rata N-Gain Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis


(6)

vi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran A : Perangkat Pembelajaran dan Instrumen Penelitian ... 140

Lampiran B : Analisis Hasil Uji Coba Instrumen ... 224

Lampiran C : Analisis Hasil Data Penelitian ... 233

Lampiran D : Data Skala Sikap dan Hasil Observasi ... 257


(7)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia secara global dan kompetitif memerlukan generasi yang memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, memanfaatkan informasi sehingga menjadi sebuah pengetahuan serta menjadi alat untuk bertindak dan mengambil keputusan yang tepat dalam setiap situasi. Kemampuan seperti ini akan berperan efektif jika ditunjang oleh kemampuan berpikir logis, sistematis, analitis, kritis, dan kreatif. Berbagai kemampuan berpikir tersebut dapat dikembangkan melalui pembelajaran matematika dari tingkat sekolah dasar, sekolah menengah dan perguruan tinggi.

Ada dua visi pembelajaran matematika, yaitu; (1) mengarahkan pembelajaran matematika untuk pemahaman konsep-konsep yang kemudian diperlukan untuk menyelesaikan masalah dan ilmu pengetahuan lainnya, dan (2) mengarahkan ke-masa depan yang lebih luas yaitu matematika memberikan kemampuan pemecahan masalah, sistimatik, kritis, cermat, bersifat objektif dan terbuka. Kemampuan tersebut sangat diperlukan dalam menghadapi masa depan yang selalu berubah (Sumarmo, 2007).

National Council of Teacher of Mathematics (NCTM) menetapkan pemahaman, pengetahuan, dan kemampuan yang harus diperoleh siswa, mulai dari taman kanak-kanak hingga kelas 12. Standar isi pada NCTM memuat bilangan dan operasi, aljabar, geometri, pengukuran, analisis data, dan peluang yang secara eksplisit dijelaskan sebagai kemampuan yang harus dimiliki siswa


(8)

dalam pembelajaran. Standar prosesnya memuat kemampuan pemecahan masalah, penalaran dan pembuktian, komunikasi, koneksi, dan representasi yang merupakan cara penting untuk memperoleh dan menggunakan pengetahuan (NCTM, 2000).

Demikian pula pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dijelaskan bahwa pembelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan, diantaranya; (1) memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep, dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah; (2) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; (3) memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh; (4) mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; (5) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah (Depdiknas, 2006).

Kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis merupakan tujuan yang menjadi prioritas dalam pembelajaran matematika. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sabandar (2006) yang menyatakan bahwa pemecahan masalah matematis merupakan suatu kemampuan yang harus dicapai dan peningkatan berpikir matematis merupakan prioritas tujuan dalam pembelajarn matematika.


(9)

Demikian pula Delvin (2007) menegaskan pemahaman dan pemecahan masalah matematis merupakan unsur penting dalam setiap pembelajaran di semua jenjang pendidikan, baik jenjang persekolahan maupun perguruan tinggi. Bahkan ia menyatakan bahwa kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis merupakan suatu kekuatan yang menjadi tujuan pembelajaran matematika pada sekolah menengah, yang memberi peluang kepada siswa untuk memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, dunia kerja, dan ilmu pengatahuan lainnya.

Kemampuan pemahaman matematis penting untuk dimiliki siswa, karena kemampuan tersebut merupakan prasyarat seseorang untuk memiliki kemampuan pemecahan masalah matematis. Ketika seseorang belajar matematika memahami konsep-konsep, maka saat itulah orang tersebut mulai merintis kemampuan-kemampuan berpikir matematis yang lainnya, salah satunya adalah kemampuan-kemampuan pemecahan masalah. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sumarmo (2003) yang menyatakan pemahaman matematis penting dimiliki siswa karena diperlukan untuk menyelesaiakan masalah matematika, masalah dalam disiplin ilmu lain, dan masalah dalam kehidupan sehari-hari, yang merupakan visi pengembangan pembelajaran matematika untuk memenuhi kehidupan masa kini.

Namun berdasarkan kenyataan dilapangan pendidikan menunjukkan indikasi yang berbeda, guru terbiasa melakukan pembelajaran secara konvensional, guru hanya sekedar penyampai pesan pengetahuan, sementara siswa hanya sebagai penenerima pengetahuan dengan cara mencatat, mendengarkan dan menghapal serta berlatih mengerjakan soal-soal yang


(10)

disampaikan oleh gurunya. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Sumarmo (1993) yang mengungkapkan bahwa pada umumnya kondisi saat ini di lapangan pembelajaran matematika kurang melibatkan aktivitas siswa secara optimal sehingga kurang aktif dalam belajar. Begitu pula menurut Wahyudin (1999), bahwa guru matematika pada umumnya mengajar dengan metode ceramah dan ekspositori.

Hal senada diungkapkan oleh Turmudi (2008) yang memandang bahwa pembelajaran matematika selama ini kurang melibatkan siswa secara aktif, sebagaimana yang dikemukakannya bahwa “pembelajaran matematika selama ini disampaikan kepada siswa secara informatif, artinya siswa hanya memperoleh informasi dari guru saja sehingga derajat “kemelekatannya” juga dapat dikatakan rendah”. Dengan pembelajaran seperti ini, siswa sebagai subjek belajar kurang dilibatkan dalam menemukan konsep-konsep pelajaran yang harus dikuasainya. Hal ini menyebabkan konsep-konsep yang diberikan tidak membekas tajam dalam ingatan siswa sehingga siswa mudah lupa dan sering kebingungan dalam memecahkan suatu permasalahan yang berbeda dari yang pernah dicontohkan oleh gurunya. Akibat lanjutannya, siswa tidak dapat menjawab tes, baik itu tes akhir semester maupun Ujian Nasional.

Hasil laporan Trends in International Mathematics and Sciences Study (TIMSS) tahun 1999 (Suryadi, 2005) menegaskan bahwa secara umum pembelajaran matematika di Indonesia masih terdiri dari rangkaian berikut; awal pembelajaran dimulai dengan masalah oleh guru, selanjutnya dilakukan demonstrasi masalah tersebut, dan terakhir guru meminta siswa untuk melakukan


(11)

latihan penyelesaian soal. Selain itu, hasil Penelitian TIMSS tahun 2003 dengan menekan pada pengetahuan fakta, prosedur dan konsep, pemahaman dan aplikasi matematika, serta penalaran, ternyata Indonesia berada pada posisi ke-34 dari 46 negara dan Laporan TIMSS tahun 2007, Indonesia berada pada posisi ke-36 dari 49 negara (Mullis et al, 2004, 2007).

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematik siswa masih rendah. Hal ini didasarkan pada hasil penelitian Sugandi (2002), Sutrisno (2002), dan Wardani (2002), bahwa secara klasikal, kemampuan pemecahan masalah matematis belum mencapai taraf ketuntasan belajar. Juga hasil penelitian Wahyudin (1999), yang menyimpulkan bahwa kegagalan menguasai matematika dengan baik diantaranya disebabkan siswa kurang menggunakan nalar dalam menyelesaikan masalah.

Rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematis dapat juga dilihat dari hasil tes PISA tahun 2006, siswa Indonesia berada pada peringkat 52 dari 57 negara. Aspek yang dinilai adalah kemampuan pemecahan masalah, kemampuan penalaran dan kemampuan komunikasi.

Alasan lain, penelitian tentang kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis perlu mendapat perhatian yang lebih serius, karena hasil sejumlah penelitian pembelajaran matematika Suryadi (2005) pada umumnya masih berfokus pada pengembangan berpikir matematis yang bersifat prosedural, padahal hasil laporan TIMSS mengungkapkan bahwa pembelajaran matematika lebih menekankan pada pemahaman dan pemecahan masalah matematis akan mampu menghasilkan siswa berprestasi tinggi.


(12)

Untuk dapat mencapai standar-standar pembelajaran itu, seorang guru hendaknya dapat menciptakan suasana belajar yang memungkinkan bagi siswa untuk secara aktif belajar dengan mengkonstruksi, menemukan dan mengembangkan pengetahuannya. Karena mengajar matematika tidak sekedar menyusun urutan informasi, tetapi perlu meninjau relevansinya bagi kegunaan dan kepentingan siswa dalam kehidupannya. Dengan belajar matematika diharapkan siswa mampu menyelesaikan masalah, menemukan dan mengkomunikasikan ide-ide yang muncul dalam benak siswa. Untuk itu dalam pembelajaran matematika diharapkan siswa memiliki kemampuan pemahaman dan kemampuan pemecahan masalah matematis, yang tentunya diharapkan dapat mencapai hasil yang memuaskan.

Oleh karena itu, perlu dikembangkan materi serta proses pembelajaran yang dapat mewujudkan pandangan konstruktivisme dengan mengaitkan materi dengan konteks kehidupan nyata, kehidupan sehari-hari siswa, sehingga siswa dapat merasakan kebermanfaatan mempelajari matematika. Dengan cara ini diharapkan dapat memberikan alternatif bagi guru dalam penyampaian bahan ajarnya di kelas, sehingga proses belajar yang sifatnya tradisional di mana pembelajaran terpusat pada guru, perlahan tapi pasti dapat tergantikan dengan pembelajaran yang lebih terpusat pada siswa, di mana siswa sendiri yang berusaha untuk mengkonstruksi pengetahuannya dengan bimbingan guru.

Alfeld (2004) menyatakan bahwa seseorang dapat memahami matematika jika ia mampu menjelaskan konsep matematika dalam bentuk konsep-konsep yang lebih sederhana. Selanjutnya, ia dapat dengan mudah membuat


(13)

koneksi logis diantara fakta dan konsep yang berbeda. Selain itu dia juga dapat mengenali keterkaitan antara konsep yang baru dengan konsep sebelumnya yang sudah dipahami. Bila ketiga hal tersebut dapat dikuasai dengan baik, maka ia dikatakan mempunyai kemampuan pemahaman matematis baik.

Menurut Markaban (2006), “tingkat pemahaman matematika seorang siswa lebih dipengaruhi oleh pengalaman siswa itu sendiri.” Hal ini berarti pemahaman seorang siswa dalam belajar diperoleh dari apa yang ia alami dalam pembelajaran tersebut. Selanjutnya, Bruner (Markaban, 2006) menyatakan, pembelajaran matematika merupakan usaha untuk membantu siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan melalui proses, karena mengetahui adalah suatu proses, bukan suatu produk. Hal ini sejalan dengan Vygotsky (Marhaeni, 2007) yang menyatakan bahwa, konstruksi pengetahuan terjadi melalui proses interaksi sosial bersama orang lain yang lebih mengerti dan paham akan pengetahuan tersebut. Proses tersebut dimulai dari pengalaman, sehingga siswa harus diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang harus dimilikinya. Dari beberapa pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa suatu pemahaman diperoleh oleh siswa melalui suatu rangkaian proses yang dilalui oleh siswa saat belajar dan interaksi yang terjadi saat belajar bersama orang lain, sehingga siswa dapat membentuk pengetahuan dan pemahaman dari apa yang dialaminya.

Penelitian Garofalo dan Lester (dalam Wahyudin, 2008) menunjukkan bahwa kurangnya pengetahuan matematis seringkali bukan merupakan penyebab kegagalan-kegagalan pemecahan masalah, tetapi disebabkan oleh tidak efektif


(14)

dalam memanfaatkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebelumnya. Dalam hal ini, siswa memiliki pengetahuan matematis, hanya saja tidak cermat dan tidak terampil dalam memanfaatkannya. Ketika diberikan masalah matematis yang tidak rutin, siswa terbelenggu oleh pemikiran untuk menyelesaikannya, menggunakan penyelesaian yang biasa digunakan untuk menyelesaikan masalah rutin. Padahal konteks masalahnya berbeda. Siswa langsung menyerah dan tidak bersemangat untuk melanjutkan menyelesaikan permasalahan tersebut dengan beranggapan bahwa siswa tidak memiliki pengetahuan tentang hal itu

Menurut Nasution (2000), pemecahan masalah dapat dipandang sebagai proses siswa menemukan kombinasi aturan-aturan yang dipelajarinya lebih dahulu yang digunakan untuk menyelesaikan masalah yang baru. Siswa yang terlatih dengan pemecahan masalah akan terampil menyeleksi infomasi yang relevan, kemudian menganalisisnya dan akhirnya meneliti hasilnya. Keterampilan itu akan menimbulkan kepuasan intelektual dalam diri siswa dan melatih siswa bagaimana melakukan penelusuran melalui penemuan. Ini berarti kemampuan pemecahan masalah merupakan hal yang harus mendapat perhatian, mengingat peranannya yang juga dapat diterapkan bidang studi lain.

Pemahaman matematis dan pemecahan masalah matematis, baik yang rumit atau maupun yang tidak rumit, akan mudah dipahami oleh siswa jika mereka diberikan kesempatan untuk memperoleh contoh-contoh kongkrit yang pernah dikenalinya. Selain itu, dalam pembelajarannya mereka harus diberi kesempatan untuk proaktif terlibat secara langsung dalam menemukan kembali konsep-konsep matematis, serta mempraktekkannya untuk memecahkan


(15)

permasalahan dari situasi dan kondisi yang diberikan. Agar memiliki kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis. Russefendi (1991) menyarankan sebaiknya guru mengorganisir sekolah bukan untuk guru mengajar tetapi untuk anak-anak belajar. Menempatkan anak-anak kepada pusat kegiatan belajar, membantu mendorong anak-anak untuk belajar, bagaimana menyusun pertanyaan, bagaimana membicarakan, dan menemukan jawaban-jawaban persoalan, agar siswa diaktifkan dalam menyelesaikan masalah-masalah matematika dalam kelompok-kelompok.

Menurut Sumarmo (2000), untuk mendukung proses pembelajaran matematika, diperlukan perubahan pandangan, yaitu; (1) dari pandangan kelas sebagai kumpulan individu ke arah kelas sebagai masyarakat belajar, (2) dari pandangan pencapaian jawaban yang benar saja ke arah logika dan peristiwa matematika sebagai verifikasi, (3) dari pandangan guru/dosen sebagai pengajar ke arah guru/dosen sebagai pendidik, motivator, fasilitator, dan manajer belajar, (4) dari penekanan pada mengingat prosedur penyelesaian ke arah pemahaman dan penalaran matematika melalui penemuan kembali (reinvention), (5) dari memandang dan memperlakukan matematika sebagai kumpulan konsep dan prosedur yang terisolasi ke arah hubungan antar konsep, ide matematika, dan aplikasinya baik dalam matematika sendiri, bidang ilmu lainnya maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Pandangan-pandangan di atas, dalam implementasinya, guru matematika perlu memperhatikan faktor-faktor yang mendukung proses pembelajaran seperti, model belajar, pendekatan pembelajaran, dan strategi pembelajaran. Sedapat


(16)

mungkin diupayakan pembelajaran yang inovatif agar proses belajar berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik berpartisipasi aktif, untuk menumbuhkan prakarsa, kreativitas, dan kemandirian siswa sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.

Reys et. al (1998) melihat pengaruh kelompok belajar terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Menurut Reys, pemecahan masalah dapat dikerjakan dengan mudah melalui diskusi pada kelompok besar, tetapi proses pemecahan masalah akan lebih praktis bila dilakukan dalam kelompok kecil yang bekerja secara kooperatif. Meskipun cara ini memerlukan waktu yang relatif lebih lama, namun siswa akan lebih baik memecahkan masalah secara kelompok daripada sendiri. Kelompok belajar juga berguna untuk meningkatkan kemampuan pemahaman matematis siswa.

Untuk meningkatkan kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis siswa, maka diperlukan suatu teknik pembelajaran yang mampu memberikan rangsangan kepada siswa agar siswa menjadi aktif. Siswa aktif di sini diartikan siswa mampu dan berani mengemukakan ide, menjelaskan masalah, bertukar pikiran dengan teman dan mencari alternatif penyelesaian masalah yang sedang dihadapi, timbul pertanyaan dalam benak kita “model dan pendekatan pembelajaran yang bagaimanakah yang tepat dilakukan untuk mengakomodasi peningkatan kompetensi siswa sehingga mencapai hasil belajar yang lebih baik?”.

Salah satu model pembelajaran yang berpusat pada siswa ialah pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning). Pembelajaran kooperatif


(17)

merupakan strategi pembelajaran yang memacu kemajuan individu melalui kelompok. Slavin (1995:2) menyatakan Cooperative Learning dapat diterapkan pada setiap tingkatan pendidikan untuk mengajarkan berbagai topik/bidang ilmu mulai dari matematika, membaca, menulis, belajar sains dan lain-lain. Model pembelajaran tipe Jigsaw diduga cocok diterapkan untuk meningkatkan kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis siswa karena dalam tipe Jigsaw, siswa dikondisikan untuk belajar bersama dalam tim ahli untuk memecahkan masalah, kemudian masing-masing siswa dituntut untuk mampu mengkomunikasikan pemahamannya untuk mengajari temannya yang lain dalam kelompoknya. Dengan demikian, berbagai kemampuan siswa diantaranya kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis dapat ditingkatkan termasuk kemampuan bekerjasama.

Melalui pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, selain siswa mempunyai kemampuan kerjasama tim dalam kelompok, mereka juga dituntut untuk memahami spesialisasi tugas/suatu materi yang berbeda-beda dalam memecahkan suatu permasalahan dengan berdiskusi dalam kelompok ahli dan dituntut harus mampu memahami materi secara keseluruhan serta menyampaikan suatu materi/permasalahan hasil diskusi kelompok ahli pada teman-teman anggota kelompok asalnya. Dengan cara tersebut, siswa dapat terlibat secara proaktif dalam pembelajaran dan siswa akan terlatih menemukan konsep-konsep pengetahuan yang dipelajari siswa akan bermakna dalam ingatan. Hal tersebut senada dengan Ruseffendi (1991) yang menyatakan: “…menemukan sesuatu oleh sendiri dapat menumbuhkan rasa percaya terhadap dirinya sendiri, dapat


(18)

meningkatkan motivasi (termasuk motivasi intrisik), melakukan pengkajian lebih lanjut, dapat menumbuhkan sikap positif terhadap matematika”. Sikap positif tersebut memberi peluang guna meningkatkan prestasi belajar matematika.

Dengan memperhatikan uraian di atas, maka keperluan untuk melakukan studi yang berfokus pada model pembelajaran yang diduga dapat meningkatkan kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis siswa, dipandang oleh penulis menjadi sangat urgen dan utama. Dalam hubungan ini, penulis mengadakan penelitian yang berkaitan dengan pembelajaran dengan model kooperatif tipe Jigsaw yang dilaksanakan di Sekolah Menengah Atas dan diberi judul: “Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Sekolah Menengah Atas melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, masalah dalam penelitian ini adalah “apakah pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dapat meningkatkan kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis siswa SMA?” Masalah ini dapat dijabarkan ke dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional?

2. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan siswa yang


(19)

mendapat pembelajaran konvensional berdasarkan pada kemampuan tinggi, sedang dan rendah?

3. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional?

4. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional berdasarkan pada kemampuan tinggi, sedang dan rendah?

5. Bagaimana sikap (respon) siswa terhadap matematika sehubungan dengan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw?

C. Tujuan penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw terhadap kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematik siswa. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

1. Untuk mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan pemahaman matematis dan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.

2. Untuk mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan pemahaman matematis dan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang


(20)

mendapat pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional berdasarkan kemampuan tinggi, sedang dan rendah.

3. Sikap siswa terhadap pembelajaran melalui pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw.

D. Manfaat Penelitian

Dengan tercapainya tujuan penelitian dan diperoleh hasil yang baik, diharapkan penelitian ini memberikan manfaat pada pihak terkait berikut:

1. Peneliti

Untuk menjawab keingintahuan serta memberi informasi mengenai peningkatan kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis siswa melalaui pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw.

2. Guru

Sebagai informasi dan memberikan kesempatan bagi guru matematika untuk dapat mengenal dan mengembangkan pembelajaran kooperataif tipe Jigsaw dalam upaya meningkatkan kemampuan pemahaman dan pemecahan matematis siswa SMA sebagai salah satu metode alternatif dalam menyampaikan informasi kepada siswa.

3. Siswa

Mampu mengembangkan kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah untuk meningkatkan prestasi belajarnya dalam matematika melalui pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw.


(21)

4. Praktisi pendidikan

Sebagai bahan masukan atau informasi dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran khususnya matematika sekolah sehingga dapat meningkatkan kemampuan matematis lainnya pada siswa SMA.

E. Definisi Operasional

Untuk menghindari terjadinya perbedaan penafsiran terhadap istilah-istilah yang terdapat pada penelitian ini, penulis menetapkan beberapa definisi operasional yaitu:

1. Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah model pembelajaran yang berpusat pada siswa dengan menggunakan kelompok kecil empat hingga lima orang siswa dengan kemampuan heterogen yang membentuk kelompok ahli (Expert team). Dalam tipe Jigsaw ini setiap siswa diberi tugas mempelajari salah satu bagian dari permasalahan tersebut. Semua siswa dengan permasalahan yang sama, belajar bersama dalam kelompok yang disebut kelompok ahli. Dalam kelompok ahli siswa mendiskusikan bagian permasalahan yang sama, serta menyusun rencana bagaimana menyampaikan kepada temannya jika kembali ke kelompok asal.

2. Kemampuan pemahaman matematis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pemahaman atas konsep matematika yang terdiri dari:

a. Pemahaman instrumental, yang mencakup kemampuan pemahaman konsep tanpa kaitan dengan yang lainnya dan dapat melakukan perhitungan sederhana.


(22)

b. Pemahaman relasional, yang mencakup kemampuan menyusun strategi penyelesaian yang dapat mengaitkan suatu konsep dengan konsep lainnya. 3. Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa meliputi kemampuan

memahami masalah, menyusun rencana pemecahan, melaksanakan rencana penyelesaian dengan tepat, dan memeriksa kembali proses dan hasil yang diperoleh.

4. Sikap (respon) siswa adalah tanggapan siswa yang menunjukkan kecenderungan siswa untuk merespon positif atau negatif tentang matematika, pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan soal-soal pemahaman dan pemecahan masalah matematis yang diberikan.

5. Pembelajaran konvensional adalah kegiatan pembelajaran yang biasa dilakukan di sekolah dengan kecenderungan berpusat pada guru (teacher-centered). Dalam pembelajaran konvensional, guru lebih mendominasi kegiatan pembelajaran dengan ceramah untuk menjelaskan konsep/materi pada bahan ajar dan menjelaskan prosedur penyelesaian soal-soal latihan. 6. Peningkatan yang dimaksud adalah peningkatan kemampuan pemahaman dan

pemecahan masalah matematis siswa. Peningkatan ditinjau berdasarkan gain ternormalkan dari perolehan skor pretes dan postes siswa. Rumus gain ternormalisasi adalah sebagai berikut:

Gain ternormalisasi (g) =

(Hake, 1999)

Kategori gain ternormalkan adalah:

Besarnya Gain (g) Interpretasi

g ≥ 0,7 Tinggi

0,3 ≤ g < 0,7 Sedang


(23)

7. Kategori kemampuan matematika siswa: Pengelompokan siswa didasarkan pada kemampuan matematika sebelumnya dan terdiri dari tiga kelompok kategori, yakni kelompok tinggi, sedang dan rendah dengan perbandingan 30%, 40% dan 30% (Dahlan, 2004).


(24)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pada penelitian ini ada dua kelompok subjek penelitian yaitu kelompok eksperimen melakukan pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan kelompok kontrol melakukan pembelajaran dengan pendekatan konvensional. Kedua kelompok ini diberikan pretes dan postes dengan menggunakan instrumen yang sama. Fraenkel et.al (1993) menyatakan bahwa penelitian eksperimen adalah penelitian yang melihat pengaruh-pengaruh dari variabel bebas terhadap satu atau lebih variabel yang lain dalam kondisi yang terkontrol. Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas yaitu pembelajaran matematika dengan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, sedangkan variabel terikatnya yaitu kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis siswa.

Pendekatan kualitatif digunakan untuk memperoleh gambaran tentang sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, sedangkan pendekatan kuantitatif digunakan untuk memperoleh gambaran tentang kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis siswa, pada materi persamaan dan fungsi kuadrat. Pertimbangan pemilihan materi dilakukan setelah melakukan survey dan melakukan konsultasi dengan guru bidang studi matematika tempat penulis melakukan penelitian, serta ketepatan materi tersebut dengan waktu pelaksanaan penelitian.


(25)

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah “Pretest-Postest Control Group Design” (Desain Kelompok Pretes-Postes). Pemilihan desain ini bertujuan untuk melihet pengaruh pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw terhadap kelas eksperimen. Untuk melihat keberhasilan penelitian ini, Peneliti melakukan dua kali tes, yaitu sebelum proses pembelajaran, yang disebut pretes dan sesudah proses pembelajaran, yang disebut postes. Adapun diagram dari disain penelitian tersebut adalah sebagai berikut:

A O X O

A O O

Keterangan :

A : pengambilan sampel secara acak kelas

O : pretes dan postes (tes kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis)

X : perlakuan pembelajaran dengan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw Untuk melihat secara lebih mendalam pengaruh penggunaan pembelajaran model kooperatif tipe Jigsaw terhadap kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis siswa, maka dalam penelitian ini dilibatkan kategori kemampuan siswa (tinggi, sedang dan rendah). Keterkaitan antar variabel bebas, terikat, dan kontrol disajikan dalam model Weiner (Saragih, 2007) yang disajikan pada Tabel 3.1 berikut:


(26)

Tabel. 3.1

Tabel Weiner tentang Keterkaitan Antar Variabel Bebas, Terikat dan Kontrol

Kemampuan yang diukur

Kemampuan Pemahaman

Kemampuan Pemecahan

Masalah Pendekatan

Pembelajaran PTJ(A) PK(B) PTJ(A) PK(B) Kelompok

Siswa

Tinggi (T) KPAT KPBT KMAT KMBT

Sedang (S) KPAS KPBS KMAS KMBS

Rendah (R) KPAR KPBR KMAR KMBR

KPA KPB KMA KMB

Keterangan:

PTJ(A) : Pembelajaran model kooperatif tipe Jigsaw. PK(B) : Pembelajaran dengan pendekatan konvensional.

Contoh: KPAT adalah kemampuan pemahaman siswa kelompok tinggi dengan pembelajarannya kooperatif tipe Jigsaw.

KMBS adalah kemampuan pemecahan masalah siswa kelompok sedang yang pembelajarannya dengan pendekatan konvensional.

KPA adalah kemampuan pemahaman siswa yang pembelajarannya dengan kooperatif tipe Jigsaw.

B. Populasi dan Sampel

Penelitian ini adalah studi eksperimen yang dilaksanakan di SMA Negeri 1 Rengat dengan populasi keseluruhan siswa-siswi SMA N 1 Rengat pada tahun ajaran 2011/2012. SMA N 1 Rengat terletak di Kabupaten Indragiri Hulu Riau. Sekolah ini berdiri sejak tahun 1959 dan merupakan sekolah tertua dari sembilan sekolah menengah tingkat atas yang ada di Kabupaten Indragiri Hulu Riau.


(27)

Jumlah siswa sekarang 753 orang dengan 23 rombongan belajar. Seiring perjalanan waktu, dengan didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai, SMA Negeri 1 Rengat menjadi sekolah unggulan dan termasuk level tinggi di tingkat kabupaten Indragiri Hulu. Selain itu, dari 60 orang guru yang ada semuanya memiliki kualifikasi akademik paling rendah S1 dan 7 orang diantaranya sudah S2.

Pengambilan subjek penelitian didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Ratnaningsih (2007) menyatakan bahwa faktor level sekolah tidak memberikan pengaruh terhadap implementasi pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw. Dapat dikatakan juga bahwa baik pada level sekolah tinggi maupun level sekolah sedang, pelaksanaan pembelajaran dan kendala relatif sama. Atas dasar itulah, peneliti menetapkan SMA Negeri 1 Rengat sebagai target populasi penelitian.

Responden sampel dalam penelitian ini dipilih siswa kelas sepuluh SMA yang didasarkan pada pertimbangan antara lain: siswa kelas X merupakan siswa baru yang berada dalam masa transisi dari SMP ke SMA sehingga lebih mudah diarahkan, sedangkan siswa kelas XI dimungkinkan gaya belajarnya sudah terbentuk sehingga sulit untuk diarahkan. Demikian pula dengan kelas XII sedang dalam persiapan mengikuti Ujian Nasional.

Dari delapan kelas X yang ada di SMA Negeri 1 Rengat yang setiap kelompok kelasnya memiliki karakteristik yang sama, dipilih dua kelas secara acak dengan cara mengundi untuk dijadikan sampel penelitian. Teknik acak kelas ini digunakan karena setiap kelas dari seluruh kelas yang ada mempunyai


(28)

kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel penelitian. Terpilihlah kelas XB dan XC sebagai sampel penelitian, kemudian dari dua kelas tersebut dipilih secara acak, satu kelas digunakan sebagai kelas eksperimen dan satu kelas lagi digunakan sebagai kelas kontrol. Dalam penelitian ini terpilih siswa kelas XB sebagai kelas eksperimen dan kelas XC sebagai kelas kontrol.

C. Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan dua jenis instrumen, yaitu jenis tes dan non-tes. Instrumen jenis tes adalah instrumen kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis sedangkan instrumen jenis non-tes adalah angket skala sikap dan lembar observasi. Masing-masing jenis instrumen tersebut diuraikan sebagai berikut:

1. Tes Kemampuan Pemahaman Matematis

Tes yang digunakan untuk mengukur kemampuan pemahaman matematis siswa terdiri dari 5 soal yang berbentuk uraian. Dalam penyusunan soal tes, diawali dengan penyusunan kisi-kisi soal yang dilanjutkan dengan menyusun soal beserta alternatif kunci jawaban masing-masing butir soal. Untuk memberikan penilaian yang objektif, kriteria pemberian skor untuk soal tes kemampuan pemahaman berpedoman pada Holistic Scoring Rubrics yang dikemukakan oleh Cai, Lane, dan Jakabcsin (1996) yang kemudian diadaptasi. Kriteria skor untuk tes ini dapat dilihat pada tabel berikut:


(29)

Tabel 3.2

Penskoran untuk Perangkat Tes Kemampuan Pemahaman Matematis

Skor Respon siswa

0 Tidak ada jawaban/salah menginterpretasikan

1 Jawaban sebagian besar mengandung perhitungan yang salah 2 Jawaban kurang lengkap (sebagian petunjuk diikuti) penggunaan

algoritma lengkap, namun mengandung perhitungan yang salah 3 Jawaban hampir lengkap (sebagian petunjuk diikuti),

penggunaan algoritma secara lengkap dan benar, namun mengandung sedikit kesalahan

4 Jawaban lengkap (hampir semua petunjuk soal diikuti),

penggunaan algoritma secara lengkap dan benar, dan melakukan perhitungan dengan benar

2. Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

Tes kemampuan pemecahan masalah matematis digunakan untuk mengukur kemampuan siswa dalam penguasaan konsep dan penerapannya untuk pemecahan masalah matematis meliputi kemampuan memahami masalah, menyusun dan merencanakan strategi pemecahan, melaksanakan strategi pemecahan untuk memperoleh penyelesaian, dan melakukan peninjauan ulang atau mencoba cara yang lain.

Pedoman pensekoran tes kemampuan pemecahan masalah matematis disajikan pada Tabel 3.3 berikut. Pedoman ini diadaptasi dari pedoman pensekoran pemecahan masalah yang dibuat oleh Schoen dan Ochmke (Sumarmo, dkk 1994) dan pedoman pensekoran yang dibuat oleh Chicago Public Schools Bureau of Student Assessment sebagai berikut.


(30)

Tabel. 3.3

Kriteria Penilaian Pemecahan Masalah Matematis

SKOR MEMAHAMI

MASALAH MENYUSUN RENCANA/ MEMILIH STRATEGI MELAKSANAKAN STRATEGI DAN MENDAPAT HASIL MEMERIKSA PROSES DAN HASIL 0 Tidak berbuat (kosong) atau semua interpretasi salah (sama sekali tidak memahami masalah) Tidak berbuat (kosong) atau seluruh strategi yang dipilih salah

Tidak ada jawaban atau jawaban salah akibat perencanaan yang salah

Tidak ada pemeriksaan atau tidak ada keterangan apapun 1 Hanya sebagian interpretasi masalah yang benar Sebagian rencana sudah benar atau perencanaanny a tidak lengkap Penulisan salah, Perhitungan salah, hanya sebagian kecil jawaban yang dituliskan; tidak ada penjelasan jawaban; jawaban dibuat tapi tidak benar

Ada pemeriksaan tetapi tidak tuntas

2

Memahami masalah secara lengkap; mengidentifikasi semua bagian penting dari permasalahan; termasuk dengan membuat diagram atau gambar yang jelas dan simpel menunjukkan pemahaman terhadap ide dan proses masalah Keseluruhan rencana yang dibuat benar dan akan mengarah kepada penyelesaian yang benar bila tidak ada kesalahan perhitungan.

Hanya sebagian kecil prosedur yang benar, atau kebanyakan salah sehingga hasil salah

Pemeriksaan dilakukan untuk melihat kebenaran hasil dan proses

3

- - Secara substansial

prosedur yang dilakukan benar dengan sedikit kekeliruan atau ada kesalahan prosedur sehingga hasil akhir salah

-

4

- - Jawaban Benar dan

lengkap

Memberikan jawaban secara lengkap, jelas, dan benar, termasuk dengan membuat diagram atau gambar

-


(31)

3. Analisis Tes Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematis

Bahan tes diambil dari materi pelajaran matematika SMA kelas X semester ganjil dengan mengacu pada Kurikulum 2006 pada persamaan dan fungsi kuadrat. Sebelum diteskan, instrumen yang akan digunakan untuk mengukur kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis siswa tersebut diuji validitas isi dan validitas mukanya oleh beberapa orang mahasiswa Sekolah Pascasarjana Pendidikan Matematika UPI, yaitu 3 orang mahasiswa S3 dan 2 orang mahasiswa S2 serta guru matematika SMA Negeri 1 Rengat yang kemudian hasilnya dikonsultasikan dengan dosen pembimbing. Validitas soal yang dinilai oleh validator adalah meliputi validitas muka, konstruk dan validitas isi. Validitas muka disebut pula validitas bentuk soal (pertanyaan, pernyataan, suruhan) atau validitas tampilan, yaitu keabsahan susunan kalimat atau kata-kata dalam soal sehingga jelas pengertiannya atau tidak menimbulkan tafsiran lain (Suherman.dkk, 2003), termasuk juga kejelasan gambar dalam soal. Validitas isi berarti ketepatan alat tersebut ditinjau dari segi materi yang diajukan, yaitu materi (bahan) yang dipakai sebagai tes tersebut merupakan sampel yang representative dari pengetahuan yang harus dikuasai, termasuk kesesuaian antara indikator dan butir soal, kesesuaian soal dengan tingkat kemampuan siswa kelas X, dan kesesuaian materi dan tujuan yang ingin dicapai.

Untuk mengukur kecukupan waktu siswa dalam menjawab soal tes ini, peneliti juga mengujicobakan soal-soal ini kepada kelompok terbatas yang terdiri dari lima orang siswa yang sudah pernah memperoleh materi ini. Hasilnya adalah


(32)

beberapa soal-soal yang ada perlu perbaikan karena menurut mereka soal itu terlalu banyak menghabiskan waktu. Misalnya pada soal nomor 5, ketika siswa diminta menentukan ukuran kandang ayam alternatif jawabannya banyak, sehingga peneliti melakukan perbaikan dengan mengubah kalimat soal tersebut dengan menambahkan kata-kata “lebarnya diabaikan”.

Selanjutnya soal-soal yang valid menurut validitas muka dan validitas isi ini diujicobakan kepada siswa kelas XI SMA Negeri 1 Rengat pada tanggal 28 Juli 2011. Uji coba tes ini dilakukan kepada siswa-siswa yang sudah pernah mendapatkan materi persamaan dan fungsi kuadrat. Kemudian data yang diperoleh dari ujicoba tes kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis ini dianalisis untuk mengetahui validitas, reliabilitas, daya pembeda, dan tingkat kesukaran tes tersebut dengan menggunakan program SPSS 16.0 dan Anates Versi 4.0. Seluruh perhitungan menggunakan program tersebut dapat dilihat pada Lampiran B. Secara lengkap, proses penganalisisan data hasil ujicoba meliputi hal-hal sebagai berikut:

a. Analisis Validitas

Suatu alat evaluasi (instrumen) dikatakan valid bila alat tersebut mampu mengukur apa yang seharusnya diukur (Ruseffendi, 1991). Interpretasi mengenai besarnya koefisien validitas dalam penelitian ini menggunakan ukuran yang dibuat J.P.Guilford (Suherman. dkk, 2003) seperti pada tabel berikut.


(33)

Tabel 3.4

Interpretasi Koefisien Validitas

Koefisien Interpretasi

00 , 1 90

,

0 <rxy ≤ Sangat tinggi (sangat baik) 90

, 0 70

,

0 <rxy ≤ Tinggi (baik) 70

, 0 40

,

0 <rxy ≤ Sedang (cukup) 40

, 0 20

,

0 <rxy ≤ Rendah (kurang) 20

, 0 00

,

0 <rxy ≤ Sangat rendah 20

, 0

<

xy

r Tidak valid

Berdasarkan hasil uji coba di SMA Negeri 1 Rengat kelas XI semester ganjil, maka dilakukan uji validitas dengan bantuan Program Anates 4.0. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran B.3. Hasil uji validitas ini dapat dinterpretasikan dalam rangkuman yang disajikan pada Tabel 3.5 berikut ini.

Tabel 3.5

Interpretasi Uji Validitas Tes Pemahaman Matematis Nomor Soal Korelasi Interpretasi Validitas Signifikansi

1 0,849 Tinggi (baik) Sangat Signifikan

2 0,881 Tinggi (baik) Sangat Signifikan

3 0,842 Tinggi (baik) Sangat Signifikan

4 0,868 Tinggi (baik) Sangat Signifikan

5 0,853 Tinggi (baik) Sangat Signifikan

Dari lima butir soal yang digunakan untuk menguji kemampuan pemahaman matematis tersebut berdasarkan kriteria validitas tes, diperoleh bahwa kelima butir soal tersebut mempunyai validitas tinggi atau baik. Artinya, semua soal mempunyai validitas yang baik. Untuk kriteria signifikansi dari korelasi pada tabel di atas terlihat bahwa semua butir sangat signifikan.


(34)

Selanjutnya melalui uji validitas dengan Anates 4.0, yang hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran B.3 diperoleh hasil uji validitas tes pemecahan masalah matematis yang dapat dinterpretasikan dalam rangkuman yang disajikan pada Tabel 3.6 berikut ini.

Tabel 3.6

Uji Validitas Tes Pemecahan Masalah Matematis

Nomor Soal Korelasi Interpretasi Validitas Signifikansi 1 0,947 Tinggi (baik) Sangat Signifikan 2 0,863 Tinggi (baik) Sangat Signifikan 3 0,913 Tinggi (baik) Sangat Signifikan 4 0,961 Tinggi (baik) Sangat Signifikan 5 0,896 Tinggi (baik) Sangat Signifikan

Dari lima butir soal yang digunakan untuk menguji kemampuan pemecahan masalah matematis tersebut berdasarkan kriteria validitas tes, diperoleh bahwa kelima butir soal tersebut mempunyai validitas tinggi atau baik. Artinya, semua soal mempunyai validitas yang baik. Untuk kriteria signifikansi dari korelasi pada tabel di atas terlihat bahwa semua butir sangat signifikan.

b. Analisis Reliabilitas

Reliabilitas suatu alat ukur dimaksudkan sebagai suatu alat yang memberikan hasil yang tetap sama (konsisten, ajeg) (Suherman.dkk, 2003). Penulis menggunakan program Anates Versi 4.0 untuk menghitungnya seperti pada perhitungan validitas butir soal. Untuk menginterpretasikan derajat reliabilitas instrumen digunakan tolok ukur yang ditetapkan J.P. Guilford (Suherman 2003) sebagai berikut.


(35)

Tabel 3.7

Kriteria Derajat Keandalan J.P. Guilford

Nilai Interpretasi

< 0,20 Sangat rendah

0,20 ≤ < 0,40 Rendah

0,40 ≤ < 0,70 Sedang

0,70 ≤ < 0,90 Tinggi

0,90 ≤ ≤ 1,00 Sangat tinggi

Berdasarkan hasil uji coba reliabilitas butir soal secara keseluruhan untuk tes pemahaman dan pemecahan masalah matematis dapat dilihat pada Tabel 3.8 berikut:

Tabel 3.8

Reliabilitas Tes Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematis

No. Interpretasi Keterangan

1 0,880 tinggi Pemahaman Matematis

2 0,970 Sangat Tinggi Pemecahan Masalah Matematis

c. Analisis Daya Pembeda

Daya pembeda menunjukkan kemampuan soal tersebut membedakan antara siswa yang pandai (termasuk dalam kelompok unggul) dengan siswa yang kurang pandai (termasuk kelompok asor). Suatu perangkat alat tes yang baik harus bisa membedakan antara siswa yang pandai, rata-rata, dan yang kurang pandai karena dalam suatu kelas biasanya terdiri dari tiga kelompok tersebut. Sehingga hasil evaluasinya tidak baik semua atau sebaliknya buruk semua, tetapi haruslah berdistribusi normal, maksudnya siswa yang mendapat nilai baik dan siswa yang


(36)

mendapat nilai buruk ada (terwakili) meskipun sedikit, bagian terbesar berada pada hasil cukup.

Proses penentuan kelompok unggul dan kelompok asor ini adalah dengan cara terlebih dahulu mengurutkan skor total setiap siswa mulai dari skor tertinggi sampai dengan skor terendah (menggunakan Anates Versi 4.0). Daya pembeda uji coba soal kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis didasarkan pada To (Astuti, 2009).

Tabel 3.9

Klasifikasi Daya Pembeda

Daya Pembeda Evaluasi Butiran Soal Negatif – 10% sangat buruk, harus dibuang 10% – 19% buruk, sebaiknya dibuang

20% – 29% agak baik, kemungkinan perlu direvisi

30% – 49% Baik

50% keatas Sangat baik

Hasil perhitungan daya pembeda untuk tes pemahaman dan pemecahan masalah matematis disajikan masing-masing dalam Tabel 3.10 dan Tabel 3.11 berikut.

Tabel 3.10

Daya Pembeda Tes Pemahaman Matematis Nomor Soal Indeks Daya Pembeda Interpretasi

1 53,13 % Sangat Baik

2 50,00% Sangat baik

3 43,75% Baik

4 43,75% Baik


(37)

Dari Tabel 3.10, dapat dilihat bahwa untuk soal tes pemahaman matematis yang terdiri dari lima butir soal, terdapat tiga butir soal yang daya pembedanya baik yaitu soal nomor 3, 4 dan 5, sedangkan soal nomor 1 dan 2 daya pembedanya sangat baik. Hasil perhitungan daya pembeda untuk kemampuan pemecahan masalah matematis dapat dilihat pada Tabel 3.11 berikut.

Tabel 3.11

Daya Pembeda Tes Pemecahan Masalah Matematis Nomor Soal Indeks Daya Pembeda Interpretasi

1 51,25% Sangat baik

2 30,00% Baik

3 37,50% Baik

4 45,00% Baik

5 37,50 % Baik

Untuk soal tes pemecahan masalah matematis terdapat empat butir soal yang daya pembedanya baik yaitu soal nomor 2,3,4 dan 5, sedangkan soal nomor 1 daya pembedanya sangat baik.

d. Analisis Tingkat Kesukaran

Perlu dianalisis butir soal pada instrumen untuk mengetahui derajat kesukaran dalam butir soal yang kita buat. Butir-butir soal dikatakan baik, jika butir-butir soal tersebut tidak terlalu sukar dan tidak terlalu mudah. Dengan kata lain derajat kesukarannya sedang atau cukup. Menurut Ruseffendi (1991), kesukaran suatu butiran soal ditentukan oleh perbandingan antara banyaknya siswa yang menjawab butiran soal itu.

Kriteria tingkat kesukaran soal yang digunakan dalam uji coba soal kemampuan pemahaman dan Pemecahan masalah matematis didasarkan pada To (Astuti, 2009), seperti pada Tabel. 3.12 berikut:


(38)

Tabel 3.12

Kriteria Tingkat Kesukaran Tingkat Kesukaran Interpretasi

0% - 15% Sangat sukar

16% - 30% Sukar

31% - 70 % Sedang

71% - 85% Mudah

86% - 100% Sangat mudah

Dari hasil perhitungan dengan menggunakan Anates Versi 4.0. diperoleh tingkat kesukaran tiap butir soal tes pemahaman dan pemecahan masalah matematis yang terangkum dalam Tabel 3.13 dan Tabel 3.14 berikut ini.

Tabel 3.13

Tingkat Kesukaran Butir Soal Pemahaman Matematis Nomor Soal Tingkat Kesukaran Interpretasi

1 51,56% Sedang

2 65,63% Sedang

3 46,88% Sedang

4 43,75 % Sedang

5 35,94% Sedang

Tabel 3.14

Tingkat Kesukaran Butir Soal pemecahan Masalah Matematis Nomor Soal Tingkat Kesukaran Interpretasi

1 33,13 % Sedang

2 27,50% Sukar

3 25,00% Sukar

4 30,00% Sukar

5 41,25% Sedang

Dari kedua tabel di atas dapat dilihat bahwa untuk soal tes pemahaman matematis yang terdiri dari lima butir soal, semua soal tingkat kesukarannya sedang. Untuk soal tes pemecahan masalah matematis terdapat tiga butir soal yang tingkat kesukarannya sukar, yaitu soal nomor 2, 3, dan 4, sedangkan soal nomor 1 dan 5 tingkat kesukarannya sedang.


(39)

e. Rekapitulasi Analisis Hasil Uji Coba Soal Tes Matematika

Rekapitulasi dari semua perhitungan analisis hasil uji coba tes kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis disajikan secara lengkap dalam Tabel 3.15 dan Tabel 3.15 di bawah ini.

Tabel 3.15 Rekapitulasi Analisis

Hasil Uji Coba Soal Tes Pemahaman Matematis

Nomor Soal Interpretasi Validitas Interpretasi Tingkat Kesukaran Interpretasi Daya Pembeda Interpretasi Reliabilitas 1 Tinggi (baik) Sedang Sangat Baik

Tinggi 2 Tinggi (baik) Sedang Sangat Baik

3 Tinggi (baik) Sedang Baik

4 Tinggi (baik) Sedang Baik

5 Tinggi (baik) Sedang Baik

Tabel 3.16 Rekapitulasi Analisis

Hasil Uji Coba Soal Tes Pemecahan MasalahMatematis Nomor Soal Interpretasi Validitas Interpretasi Tingkat Kesukaran Interpretasi Daya Pembeda Interpretasi Reliabilitas

1 Tinggi (baik) Sedang Sangat baik

Sangat Tinggi

2 Tinggi (baik) Sukar Baik

3 Tinggi (baik) Sukar Baik

4 Tinggi (baik) Sukar Baik

5 Tinggi (baik) Sedang Baik

Berdasarkan hasil analisis keseluruhan terhadap hasil ujicoba tes kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis yang dilaksanakan di SMA Negeri 1 Rengat pada kelas XI semester 1, serta dilihat dari hasil analisis validitas, reliabilitas, daya pembeda dan tingkat kesukaran soal, maka dapat disimpulkan bahwa soal tes tersebut layak dipakai sebagai acuan untuk mengukur kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis siswa SMA kelas X yang merupakan responden dalam penelitian ini.


(40)

4. Skala Sikap Siswa

Skala sikap yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sikap siswa terhadap pembelajaran matematika, pembelajaran dengan pendekatan inkuiri terbimbing, dan soal-soal pemahaman dan pemahaman. Instrumen skala sikap dalam penelitian ini terdiri dari 20 butir pertanyaan dan diberikan kepada siswa kelompok eksperimen setelah semua kegiatan pembelajaran berakhir yaitu setelah postes. Instrumen skala sikap secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran A.5.

Model skala yang digunakan adalah model skala Likert. Derajat penilaian terhadap suatu pernyataan tersebut terbagi ke dalam 5 kategori, yaitu : sangat setuju (SS), setuju (S), Netral (N), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Dalam menganalisis hasil skala sikap, skala kualitatif tersebut ditransfer ke dalam skala kuantitatif. Pemberian nilainya dibedakan antara pernyataan yang bersifat negatif dengan pernyataan yang bersifat positif. Untuk pernyataan yang bersifat positif, pemberian skornya adalah SS diberi skor 5, S diberi skor 4, N diberi skor 3, TS diberi skor 2, dan STS diberi skor 1. Untuk pernyataan negatif, pemberian skornya adalah SS diberi skor 1, S diberi skor 2, N diberi skor 3, TS diberi skor 4, dan STS diberi skor 5.

Langkah pertama dalam menyusun skala sikap adalah membuat kisi-kisi. Kemudian melakukan uji validitas isi butir pernyataan dengan meminta pertimbangan teman-teman mahasiswa Pascasarjana UPI dan selanjutnya dikonsultasikan dengan dosen pembimbing, mengenai isi dari skala sikap sehingga skala sikap yang dibuat sesuai dengan indikator-indikator yang telah


(41)

ditentukan serta dapat memberikan informasi-informasi yang dibutuhkan. Selanjutnya, dilakukan juga uji validitas skala sikap ini kepada beberapa orang siswa (kelompok terbatas) sebanyak empat orang dalam melihat keterbacaan kalimat-kalimat dalam angket tersebut.

Untuk mengetahui sikap siswa, siswa mempunyai sikap positif atau negatif, maka rataan skor setiap siswa dibandingkan dengan skor netral terhadap setiap butir skor, indikator dan klasifikasinya. Bila rataan skor seorang siswa lebih kecil dari skor netral, artinya siswa mempunyai sikap negatif. Apabila rataan skor seorang siswa lebih besar dari skor netral, artinya siswa mempunyai sikap positif. 5. Lembar Observasi

Lembar observasi digunakan untuk melihat aktivitas siswa dan guru selama proses pembelajaran berlangsung di kelas eksperiman. Aktivitas siswa yang diamati pada kegiatan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah keaktifan siswa dalam mencari informasi dengan membac, menyelesaikan masalah, menyampaikan pembahasan tim ahli, membuat laporan kelompok, mengajukan/membahas pertanyaan, membuat kesimpulan, memperhatikan penjelasan teman/guru, mengemukakan pendapat serta berargumentasi dengan sopan.

Aktivitas guru yang diamati adalah kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran dengan kooperatif tipe Jigsaw. Tujuannya adalah untuk dapat memberikan refleksi pada proses pembelajaran, agar pembelajaran berikutnya dapat menjadi lebih baik daripada pembelajaran sebelumnya dan sesuai dengan skenario yang telah dibuat. Observasi terhadap aktifitas siswa dan aktifitas guru


(42)

dilakukan oleh guru pengamat. Lembar observasi siswa dan guru disajikan dalam Lampiran A.6.

D. Teknik Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini akan dikumpulkan melalui tes, lembar observasi, dan angket skala sikap. Data yang berkaitan dengan kemampuan Pemahaman dan pemecahan masalah matematis siswa dikumpulkan melalui tes (pretes dan postes), sedangkan data yang berkaitan dengan sikap siswa dalam pembelajaran matematika melalui pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dikumpulkan melalui angket skala sikap siswa.

E. Prosedur Penelitian

Terdapat tiga tahapan besar pada prosedur penelitian yang peneliti lakukan, yaitu tahap persiapan, pelaksaan, dan pengolahan data.

1. Tahap Persiapan

a. studi kepustakaan mengenai pembelajaran melalui pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, kemampuan pemahaman dan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa;

b. menyusun instrumen penelitian yang disertai dengan proses bimbingan dengan dosen pembimbing;

c. mengurus surat izin penelitian, izin dari Direktur Sekolah Pascasarjana UPI;

d. berkunjung ke SMA Negeri 1 Rengat untuk menyampaikan surat izin penelitian dan sekaligus meminta izin untuk melaksanakan penelitian;


(43)

e. melakukan observasi pembelajaran di sekolah dan berkonsultasi dengan guru matematika untuk menentukan waktu, teknis pelaksanaan penelitian, serta meminjam nilai hasil ulangan tengah semester untuk membuat pengelompokkan di kelas eksperimen dan kelas kontrol;

f. pemilihan sampel secara acak kelas;

g. melaksanakan pelatihan kepada guru matematika kelas X tentang model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw;

h. menguji coba instrumen penelitian, mengolah data hasil uji coba instrument tersebut.

2. Tahap Pelaksanaan

Pada tahap ini, kegiatan diawali dengan memberikan pretes pada kelas eksperimen dan kelas kontrol untuk mengetahui pengetahuan awal siswa dalam kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis. Setelah pretes dilakukan, maka dilanjutkan dengan pelaksanaan pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw pada kelas eksperimen dan pembelajaran dengan pendekatan konvensional pada kelas kontrol. Pada kelas eksperimen diberi pembelajaran oleh peneliti sendiri dengan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw pada kelas tersebut, sedangkan pada kelas kontrol memberikan pembelajaran secara konvensional dan pembelajaran dilaksanakan sesuai jadwal yang telah direncanakan.

Observasi pada kelas eksperimen dilakukan oleh peneliti dan satu orang guru pengamat. Kelompok eksperimen dan kelompok kontrol mendapat perlakuan yang sama dalam hal jumlah jam pelajaran, soal-soal latihan dan tugas. Kelas


(44)

eksperimen menggunakan lembar kerja kelompok Jigsaw rancangan peneliti, sedangkan kelas kontrol menggunakan sumber pembelajaran dari buku paket yang disediakan sekolah. Jumlah pertemuan pada kelas eksperimen dan kontrol masing-masing 8 kali pertemuan. Peneliti menggunakan catatan lapangan untuk memantau dan mengawasi pelaksanaan pembelajaran di kelas eksperimen dan kontrol untuk memastikan bahwa perlakuan yang diberikan pada kedua kelas tersebut berbeda dan berjalan sesuai dengan rancangan penelitian.

Secara garis besar langkah-langkah yang digunakan dalam pembelajaran melalaui pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Kegiatan Pendahuluan (± 10 menit)

1) Guru mengawali pertemuan dengan memperkenalkan dan menjelaskan kegiatan dan langkah-langkah pembelajaran yang akan dilakukan siswa dalam model Jigsaw.

2) Guru memotivasi siswa dengan memberi penjelasan tentang pentingnya mempelajari materi persamaan kuadrat dengan memberikan contoh kasus dalam kehidupan sehari-hari.

3) Guru menggali pengetahuan prasyarat yang dimiliki siswa, seperti bentuk umum persamaan kuadrat.

4) Guru menyampaikan indikator pencapaian hasil belajar.

b. Kegiatan Inti

Eksplorasi melalui diskusi dalam tim ahli dan diskusi dalam kelompok belajar.


(45)

Fase -1 (± 15 menit) :

1) Guru menjelaskan secara garis besar tentang materi yang akan dipelajari. 2) Siswa bergabung dalam kelompok belajar terdiri dari empat orang yang

sudah ditentukan sebelumnya.

3) Setiap kelompok diberi bahan kerja kelompok Jigsaw berisi bagian materi/soal sebanyak jumlah anggota kelompok.

4) Setiap siswa dalam kelompok asal memilih bagian yang menjadi tugasnya.

Fase-2 (± 15 menit) :

1) Siswa dari tiap kelompok asal yang memilih materi/soal yang sama, bergabung ke dalam kelompok ahli.

2) Kelompok ahli membahas satu materi/soal spesifik.

3) Guru memfasilitasi, mengamati, dan memotivasi kegiatan diskusi kelompok ahli.

Fase-3 (± 30 menit) :

a) Setelah berdiskusi dalam kelompok ahli, masing-masing siswa kembali ke kelompok asal untuk menyampaikan hasil diskusinya.

b) Dalam kelompok asal siswa saling membelajarkan, dengan cara bergiliran menjelaskan hasil diskusi tim ahli.

c) Selanjutnya dilakukan presentasi masing-masing kelompok atau dilakukan pengundian salah satu kelompok untuk menyajikan salah satu materi diskusi kelompok yang telah dilakukan agar guru dapat menyamakan persepsi pada materi pelajaran yang telah didiskusikan.


(46)

d) Tiap siswa menuliskan penyelesaian bahan kerja kelompok pada catatan masing-masing.

e) Penyelesaian kerja kelompok dikumpulkan sebagai laporan. c. Kegiatan Penutup (±±±± 20 menit)

1) Membuka kesempatan tanya jawab untuk memberi penguatan dan membuat kesimpulan.

2) Guru meminta siswa menyelesaikan soal/kuis individu untuk mengetahui kemajuan belajar individu dan kemajuan dalam kelompok.

3) Pada akhirnya guru menutup pertemuan dan memberi tugas individu. Langkah-langkah pembelajaran matematika dengan pembelajaran konvensional adalah sebagai berikut:

a. Kegiatan Pendahuluan

1) Guru menjelaskan tujuan pembelajaran dan materi yang akan dipelajari 2) Guru memberikan apersepsi dengan cara tanya jawab serta mengingatkan

kembali pelajaran yang telah lalu yang berhubungan dengan materi pelajaran saat ini.

b. Kegiatan inti

1) Guru menjelaskan kepada siswa tentang materi pelajaran

2) Memberi contoh-contoh soal dan menyelesaikannya di papan tulis.

3) Bertanya kepada siswa apakah siswa sudah mengerti atau belum, jika belum, guru akan kembali menjelaskan pada bagian yang siswa belum begitu memahaminya.

4) Memberikan latihan-latihan soal, siswa diminta mengerjakannya secara individu.


(47)

5) meminta beberapa orang siswa untuk mengerjakan soal yang telah diberikan guru.

c. Penutup

1) Guru menyimpulkan mengenai pembelajaran yang telah dilakukan 2) Guru memberikan tugas rumah.

Setelah seluruh kegiatan pembelajaran selesai, akan dilakukan tes akhir (postes) pada kelas eksperiman dan kelas kontrol. Kedua kelompok ini diberikan soal tes akhir yang sama dengan soal tes awal (pretes), hal ini dilakukan untuk mengetahui besarnya peningkatan kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis siswa. Pelaksanaan tes pemahaman dan pemecahan masalah matematis masing-masing 90 menit baik di kelas eksperimen maupun di kelas kontrol. Selain postes, pada kelas eksperimen diberikan angket skala sikap. Jadwal pelaksanaan penelitian secara lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran E.1.

3. Tahap Pengolahan Data

Data-data yang diperoleh dari hasil pretes dan postes dianalisis secara statistik. Hasil pengamatan observasi pembelajaran dianalisis secara deskriptif.

Data yang akan dianalisis adalah data kuantitatif berupa hasil tes kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis siswa dan data kualitatif berupa hasil angket untuk siswa dan lembar observasi. Untuk pengolahan data penulis menggunakan bantuan program software SPSS 16, dan Microsoft Excell 2007.


(48)

a. Data Hasil Tes Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematis

Dalam penelitian ini ingin dilihat perbedaan rataan peningkatan kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis siswa Sekolah Menengah Atas yang belajar melalui pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan siswa yang belajar dengan pendekatan konvensional.

Data yang diperoleh dari hasil tes diolah melalui tahap-tahap sebagai berikut:

1) Menghitung statistik deskriptif skor pretest, posttest, dan gain yang meliputi skor minimum, skor maksimum, rata-rata dan simpangan baku.

2) Menghitung besarnya peningkatan kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis siswa yang diperoleh dari skor pretest dan posttest dengan menggunakan gain ternormalisasi yang dikembangkan oleh Hake (1999) sebagai berikut:

Gain ternormalisasi (g) =

dengan kriteria indeks gain:

Tabel 3.17

Kriteria Skor Gain Ternormalisasi Skor gain Interpretasi

> 0,70 0,30 < ≤ 0,70

≤ 0,30

Tinggi Sedang Rendah

3) Melakukan uji normalitas pada setiap data skor pretest dan gain ternormalisasi untuk tiap kelompok. Adapun rumusan hipotesisnya adalah:


(49)

H0 : Data berdistribusi normal

H1 : Data tidak berdistribusi normal

Perhitungan melalui Uji Shapiro-Wilk, karena ukuran sampel yang lebih besar dari 30. Kriteria pengujian adalah tolak H0 apabila Asymp.Sig < taraf

signifikansi ( = 0,05).

4) Menguji varians. Pengujian varians antara kelompok eksperimen dan kontrol dilakukan untuk mengetahui apakah varians kedua kelompok sama atau berbeda. Pengujian ini dilakukan untuk data skor gain ternormalisasi kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematis. Adapun hipotesis yang akan diuji adalah:

H0: ! = !! varians gain ternormalisasi kemampuan pemahaman

(pemecahan masalah) matematis kedua kelompok homogen

H1 : ! ≠ !! varians gain ternormalisasi kemampuan pemahaman

(pemecahan masalah) matematis kedua kelompok tidak homogen Keterangan:

!: varians skor gain ternormalisasi kelompok eksperimen !!: varians skor gain ternormalisasi kelompok kontrol

Uji statistik menggunakan Uji Levene dengan kriteria pengujian adalah terima H0 apabila Sig. Based on Mean > taraf signifikansi ( = 0,05).

5) Melakukan uji kesamaan dua rata-rata pada data skor pretest kedua kelompok eksperimen dan kontrol untuk masing-masing kemampuan, pemahaman dan pemecahan masalah matematis. Hipotesis yang diajukan adalah:


(50)

H$ ∶ & = &

H ∶ & ≠ & Keterangan:

& : rata-rata pretest pemahaman/pemecahan masalah kelompok eksperimen

& : rata-rata pretest pemahaman/pemecahan masalah kelompok kontrol Selanjutnya melakukan uji perbedaan dua rata-rata untuk data skor gain ternormalisasi pada kedua kelompok tersebut. Berikut ini adalah rumusan hipotesisnya:

H$ ∶ &' = &'

H ∶ &' > &' Keterangan:

&' : rata-rata gain ternormalisasi pemahaman atau pemecahan masalah kelompok eksperimen

&' : rata-rata gain ternormalisasi pemahaman atau pemecahan masalah kelompok kontrol

Jika kedua rata-rata skor berdistribusi normal dan homogen maka uji statistik yang digunakan adalah Uji-t dengan rumus:

( = )̅+ )̅,

-.++/.,+ dengan 0

! =12+ 3 +,/12, 3 +, 2+/2, !

Untuk uji dua pihak, kriteria pengujian dengan taraf signifikansi = 0,05 adalah terima H$ jika − ( 5 1+

,63 < ( 7 82' < ( 5 1+,63, sedangkan

kriteria pengujian untuk uji satu pihak untuk taraf signifikansi yang sama tolak H$ jika ( 7 82' > ( 5 , dalam hal lainnya diterima, (Sudjana, 2005).


(51)

Data berdistribusi normal tetapi tidak homogen maka uji statistik yang digunakan adalah Uji-t’ sebagai berikut:

(′ = )̅+ )̅, :.+;+,/;,,.,

Kriteria pengujian untuk uji dua pihak adalah terima hipotesis H$ jika

−<+ +/<, , <+/<, < (

=< <+ +/<, ,

<+/<, . Kriteria pengujian untuk uji satu pihak adalah

tolak H$ jika (=≥ <+ +/<, ,

<+/<, , dengan ? = +,

2+, ?! = ,,

2,, ( = (1 63,12+ 3

dan (! = (1 63,12, 3 (Sudjana, 2005).

Keterangan:

0 = simpangan baku gabungan dari kedua kelompok

0 = simpangan baku kelompok eksperimen

0! = simpangan baku kelompok kontrol

@̅ = rata-rata skor dari kelompok eksperimen

@̅! = rata-rata skor dari kelompok kontrol

A = banyaknya siswa kelompok eksperimen

A! = banyaknya siswa kelompok kontrol

Apabila data tidak berdistribusi normal, maka uji statistik yang digunakan adalah dengan pengujian non-parametrik, yaitu Uji Mann-Whitney dengan rumus:

B = A A!+!A 1A + 13 − ∑E


(52)

Nilai U dipilih yang paling kecil. Pengujian untuk sampel besar menggunakan pendekatan kurva normal z.

F = G +,2+2, H2+2,12+/2,/ 3/ !

Kriteria pengujian uji satu pihak adalah terima H$ jika F 7 82' < F 5 untuk taraf signifikansi = 0,05. Untuk uji dua pihak, kriteria pengujian adalah terima H$ jika − F 5 1+

,63 < F 7 82' < F 5 1+,63.

Keterangan:

A = banyaknya siswa kelompok eksperimen

A! = banyaknya siswa kelompok kontrol

B = jumlah banyak kalinya dari unsur-unsur kelompok eksperimen mendahului unsur-unsur kelompok kontrol

B! = jumlah banyak kalinya dari unsur-unsur kelompok kontrol mendahului unsur-unsur kelompok eksperimen

E = peringkat unsur kelompok eksperimen

E! = peringkat unsur kelompok kontrol

b. Data Hasil Observasi

Data hasil observasi yang dianalisis adalah aktivitas siswa selama proses pembelajaran berlangsung yang dirangkum dalam lembar observasi. Tujuannya adalah untuk membuat refleksi terhadap proses pembelajaran, agar pembelajaran berikutnya dapat menjadi lebih baik dari pembelajaran sebelumnya dan sesuai dengan skenario yang telah dibuat. Selain itu, lembar observasi ini digunakan


(53)

untuk mendapatkan informasi lebih jauh tentang temuan yang diperoleh secara kuantitatif dan kualitatif.

F. Jadwal Penelitian

Penelitian dilakukan mulai bulan Mei 2011 sampai dengan Desember 2011. Jadwal kegiatan penelitian dapat dilihat dalam Tabel 3.18 berikut:

Tabel 3.18

Jadwal Kegiatan Penelitian

Tahap Kegiatan Bulan

April Mei Juni Juli Agus Sept Okt Nov Des

Persiapan

Penyusunan proposal Seminar proposal dan revisi Penyusunan

instrumen Uji coba instrumen Pelaksaaan Pelaksanaan

penelitian Analisis

data Pelaporan Penulisan


(54)

G. Alur Penelitian

Gambar 3.1 Alur Proses Penelitian

Studi Pendahuluan: Identifikasi Masalah, Rumusan Masalah, Studi Literatur

Pengembangan Bahan Ajar, Instrumen Penelitian

dan Ujicoba

Analisis Hasil Uji coba

Pemilihan Subjek

Tes Awal (pretest)

Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw ( Kelas Eksperimen ) Pembelajaran Konvensional

( Kelas Kontrol )

Tes Akhir (Posttest)

Pengolahan dan Analisis Data

Temuan

Kesimpulan

Observasi vas Angket


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Alfeld, P. (2004). Understanding Mathematics, a Study Guide. [Online]. Tersedia: http:www.math.utah.edu/~alfeld/math.html [5 Januari 2011]

Ansari, B.I. (2003) Menumbuhkembangkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematik melalui Strategi Think-Talk-Write (Eksperimen di SMUN kelas I Bandung). Disertasi Doktor pada PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan

Afgani, J. (2004). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Matematis Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama melalui Pendekatan Open-Ended. Disertasi. UPI: Tidak diterbitkan.

Astuti, R. (2009). Studi Perbandingan Kemampuan Komunikasi Matematik dan Kemandirian Belajar Siswa pada Kelompok Siswa yang Belajar Reciprocal Teaching dengan Pendekatan Metakognitif dan Kelompok Siswa yang Belajar dengan Pembelajaran Biasa. Tesis. UPI: Tidak diterbitkan.

Arikunto, S. (2007). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Baroody, A.J. (1993). Problem Solving, Reasoning, and Communicating, K-8. Helping Children think Mathematically. New York: Macmillan Publishing Company.

Cai, J.L, dan Jakabcsin, M.S. (1996). The Role of Open-Ended Tasks and Holistic Scoring Rubrics: Assessing Students’ Mathematical Reasoning and Communication. Dalam Portia C. Elliot (Eds). Communication in Mathematics K-12 and Beyond. Virginia: NCTM.

Chicago Public Schools Bureau of Student Assessment: Analytical Scale for Problem Solving Scoring Rubrics [Online] Tersedia: http://intranet.cps.k12.il.us/Assessments/Ideas_and_Rubrics/Rubric_Ba nk/MathRubrics.pdf

Darhim. (2004). Pengaruh Pembelajaran Matematika Kontekstual terhadap Hasil Belajar dan Sikap Siswa Sekolah Dasar Kelas Awal dalam Matematika. Disertasi Doktor pada PPS UPI.: Tidak Diterbitkan.


(2)

Depdiknas. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Depdiknas. (2005). Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Depdiknas. (2006). “Pengembangan Bahan Ujian dan Analisis Hasil Ujian” Materi Presentasi Sosialisasi KTSP Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Fraenkel, J.R. & Wallen, N. (1993). “How to Design and Evaluate Research in Education” Singapore: Mc.Gaw-Hill

Guilford, J. P. (1954). Pychometric Methods. New Delhi: Tata Mc-Graw Hill Publishing Co. Ltd.

Herman, T. (2006). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP). Disertasi Doktor pada PPS UPI.: Tidak Diterbitkan.

Hudoyo, H. (1985). Teori Belajar Dalam Proses Belajar-Mengajar Matematika. Jakarta: Depdikbud.

Juandi, D. (2007). Meningkatkan Daya Matematik Mahasiswa Calon Guru Matematika Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Disertasi Doktor SPS UPI: Tidak diterbitkan.

Kaimudin. (2003). Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Sekolah Dasar melalui Belajar dalam Kelompok Kecil. Tesis UPI: Tidak dipublikasikan.

Kusumah, Y. S. (2008). Konsep, Pengembangan, dan Implementasi Computer-Based Learning dalam Peningkatan Kemampuan High-Order Mathematical Thinking. Pidato pengukuhan Guru Besar dalam Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia tanggal 23 Oktober 2008. Bandung: UPI PRESS.

Krulik, S. dan Reys, R.E. (1980). Problem Solving in School Mathematics. Reston, Virginia: NCTM


(3)

Marhaeni, I. (2007). Pembelajaran Inovatif dan Asesmen Otentik dalam Rangka Menciptakan Pembelajaran yang Efektif dan Produktif. Makalah dalam Penyusunan Kurikulum dan Pembelajaran Inovatif di Universitas Udayana.

Markaban. (2006). Model Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Penemuan Terbimbing.Yogyakarta: PPPG Matematika.

Matlin, M.W. (2003). Cognition. Fifth Edition. New York : John Wiley & Son.Inc.

McGregor, D. (2007). Developing Thinking; Developing Learning A Guide to Thinking Skills in Education. New York: Open University Press McGraw-Hill.

Mungin, E.W. (2006). Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Makalah disampaikan pada pelatihan KTSP di Pekan baru, Riau.

Mullis, et.al. (2000). TIMMS 1999: International Mathematics Report. Boston: The International Study Center, Boston College, Lynch School of Education.

Mullis, I.V.S., Martin, M.O.,Gonzales, E.J., Gregory, KD., Garden, R.A.,O’Connors,KM.,Krostowski, S.J., danSmith, T.A (2004) TIMSS: Trends in Mathematics and Science Study: Assessment Specification 2003. Boston : The International StudyCenter.

Mullis, I.V.S., Martin, M.O.,Gonzales, E.J., Gregory, KD., Garden, R.A.,O’Connors,KM.,Krostowski, S.J., danSmith, T.A (2007) TIMSS: Trends in Mathematics and Science Study: Assessment Specification 2006. Boston : The International StudyCenter.

Nasution, S. (1987). Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bina Aksara

National Council of Supervisors of Mathematics. (1977). NCSM Position Paper on Basic Mathematical Skills. [Online]. Tersedia: http://www. ncsmonling.org/NCSMPublications/publications.html [2008, November 26].

NCTM. (1989). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. Reston, VA : NCTM

National Council of Teacher of Mathematics. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston, VA: NCTM.


(4)

Nirmala. (2008). Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Pemecahan Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Dasar. Tesis. UPI: Tidak Diterbitkan.

Noviana, R. (2008). Upaya Meningkatkan Pemahaman Konsep Matematika Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Pada Pokok Bahasan Bangun Datar. UMS, Surakarta: tidak Dipublikasikan.

Oakley, L. (2004). Cognitive Development Routledge: London and New York

PISA. (2006). First Result [Online] tersedia: http://www.minedu,/export/site/ defaul/OPM/Kaulutus/artikelit/pisatutkimus/PISA006/liitteet/PISA2006 en.pdf

Reys, R. E., Suydam, M. N, Lindquist, M. M., & Smith, N. L., & (1998). Helping Children Learn Mathematics (5thed.). USA: Allyn and Bacon.

Ruseffendi. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Ruseffendi, E.T. (1993). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Bandung: Tarsito.

Ruseffendi. (1998). Statistik Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Jakarta: Depdikbud.

Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Schneider, J.& Saunders, K.W. (1980) Pictorial Languages in Problem Solving. In Krulik, S dan Reys, R.E. (1980) Yearbook. Problem Solving in School Mathematics. Reston, Virginia: NCTM

Shadiq, F. (2004). Penalaran, Pemecahan Masalah dan Komunikasi dalam Pembelajaran Matematika. Depdiknas Dirjen Dikdasmen PPPG Matematika, Yogyakarta.

Slavin, R.E. (1995). Cooperative Learning : Theory, Research, and Practice, (second ed.). Boston: Allyn and Bacon.

Suherman, dkk. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, Bandung: FPMIPA UPI.


(5)

Suherman, dkk. (2003). Evaluasi Pembelajaran Matematika, Bandung: JICA FPMIPA UPI.

Sumarmo, U.(1987). Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa SMA dikaitkan dengan Kemampuan Penalaran Logik Siswa dan Beberapa Unsur Proses Belajar Mengajar. Disertasi. UPI: Tidak diterbitkan.

Sumarmo, dkk. (1994). Suatu Alternatif Pengajaran untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika pada Guru dan Siswa SMP. Laporan Penelitian FPMIPA IKIP Bandung.: Tidak diterbitkan. Sumarmo, U. (2000). “Kecenderungan Pembelajaran Matematika pada Abad

21”. Makalah pada Seminar di UNSWAGATI Tanggal 10 September 2000. Cirebon.

Sumarmo, U. (2002). Alternatif Pembelajaran Matematika dalam Menerapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Makalah pada Seminar Tingkat Nasional FPMIPA UPI.: Tidak Diterbitkan.

Sumarmo, U. (2005). Pengembangan Berfikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP dan SMU serta Mahasiswa Strata Satu (S1) melalui Berbagai Pendekatan Pembelajaran. Laporan Penelitian Lemlit UPI.: Tidak Diterbitkan.

Sumarmo, U. (2007). “Pembelajaran Matematika”, dalam Rujukan Filsafat, Teori, dan Praksis Ilmu Pendidikan. Bandung: UPI Press.

Suryadi, D. (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta Pendekatan Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Disertasi Doktor pada PPS UPI.: Tidak Diterbitkan.

Suryadi, D. (2008). Metapedadidaktik dalam Pembelajaran Matematika: Suatu Strategi Pengembangan Diri Menuju Guru Matematika Profesional. Pidato pengukuhan Guru Besar dalam Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Idonesia tanggal 22 Oktober 2008. Bandung: UPI PRESS.

Suparno, P. (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Sutrisno, A.B.J. (2002). Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa dalam Geometri melalui Model Pembelajaran Investigasi Kelompok. Bandung: Tesis SPs UPI. Tidak diterbitkan.


(6)

Tim MKPBM. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI

To, K. (1996). Mengenal Analisis Tes, Pengantar kepada Program Komputer ANATES. Bandung: FIP IKIP Bandung.

Trianto. (2007). Model-model Pembelajaran Inovatif berorientasi Konstruktivistik Jakarta: Prestasi Pustaka.

Trihenradi, C. (2005). Step by Step SPSS 13 Analisis Data Statistik. Yokyakarta: ANDI.

Turmudi. (2008). Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika (Berparadigma Eksploratif dan Investigatif). Jakarta: Leuser Cipta Pustaka.

Wardani, S. (2002) Pembelajaran Pemecahan Masalah Matematika Melalui Model Kooperatif tipe Jigsaw Bandung: Tesis PPS UPI.

Wahyudin (1999). Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika, dan Siswa dalam Mata Pelajaran Matematika. Bandung: Disertasi SPs UPI. Tidak diterbitkan

Wahyudin. (2008). Pembelajaran dan Model-model Pembelajaran. Bandung: UPI.


Dokumen yang terkait

UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA KELAS VII MTS NEGERI 2 MEDAN MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD.

0 1 43

MENINGKATKAN KEMAMPUAN REPRESENTASI DAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN NOVICK PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS.

3 5 58

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN PENALARAN MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS MELALUI PENDEKATAN PROBING-PROMPTING.

2 2 34

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH :Studi Kuasi Eksperimen pada Siswa SMA di Kabupaten Bima.

0 1 50

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP DAN KONEKSI MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD DISERTAI TUGAS BENTUK SUPERITEM.

0 1 64

PENINGKATAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI, PENALARAN, DAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SERTA KECERDASAN EMOSIONAL MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS-MASALAH PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS.

0 0 170

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF BERBANTUAN MAPLE.

0 1 45

PENINGKATAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI, PENALARAN, DAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SERTA KECERDASAN EMOSIONAL MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS-MASALAH PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS.

0 1 170

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW.

0 0 66

KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA SMP MELALUI MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH

0 0 19