Optimasi Konsentrasi NaOH, Waktu Ekstraksi dan Waktu Presipitasi Pada Isolasi Carrageenan Dari Kappaphycus Alvarezli Doty Menggunakan Desain Faktorial.

(1)

OPTIMASI KONSENTRASI NaOH, WAKTU

EKSTRAKSI DAN WAKTU PRESIPITASI PADA

ISOLASI CARRAGEENAN

Doty. MENGGUNAKAN DESAIN PERCOBAAN

PANDE MADE DIAH ANTARYAMI HARUM PAWITRI R

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

OPTIMASI KONSENTRASI NaOH, WAKTU

EKSTRAKSI DAN WAKTU PRESIPITASI PADA

CARRAGEENAN DARI Kappaphycus

MENGGUNAKAN DESAIN PERCOBAAN

FAKTORIAL

Skripsi

PANDE MADE DIAH ANTARYAMI HARUM PAWITRI R 1208505041

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS UDAYANA

2016

OPTIMASI KONSENTRASI NaOH, WAKTU

EKSTRAKSI DAN WAKTU PRESIPITASI PADA

ycus alvarezii

MENGGUNAKAN DESAIN PERCOBAAN

PANDE MADE DIAH ANTARYAMI HARUM PAWITRI RIMBAWAN


(2)

OPTIMASI KONSENTRASI NaOH, WAKTU

EKSTRAKSI DAN WAKTU PRESIPITASI PADA

ISOLASI CARRAGEENAN

Doty. MENGGUNAKAN DESAIN PERCOBAAN

PANDE MADE DIAH ANTARYAMI HARUM PAWITRI R

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

i

OPTIMASI KONSENTRASI NaOH, WAKTU

EKSTRAKSI DAN WAKTU PRESIPITASI PADA

CARRAGEENAN DARI Kappaphycus

MENGGUNAKAN DESAIN PERCOBAAN

FAKTORIAL

Skripsi

PANDE MADE DIAH ANTARYAMI HARUM PAWITRI R 1208505041

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS UDAYANA

2016

OPTIMASI KONSENTRASI NaOH, WAKTU

EKSTRAKSI DAN WAKTU PRESIPITASI PADA

ycus alvarezii

MENGGUNAKAN DESAIN PERCOBAAN

PANDE MADE DIAH ANTARYAMI HARUM PAWITRI RIMBAWAN


(3)

ii Lembar Pengesahan

OPTIMASI KONSENTRASI NaOH, WAKTU

EKSTRAKSI DAN WAKTU PRESIPITASI PADA

ISOLASI CARRAGEENAN DARI Kappaphycus alvarezii

Doty. MENGGUNAKAN DESAIN PERCOBAAN

FAKTORIAL

Skripsi

Skripsi ini diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana farmasi (S.Farm.) di Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana

Oleh

PANDE MADE DIAH ANTARYAMI HARUM PAWITRI RIMBAWAN NIM. 1208505041

Menyetujui:

Mengesahkan: Ketua Jurusan Farmasi

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Dr. rer. Nat. I Made Agus Gelgel Wirasuta, M.Si., Apt. NIP. 196804201994021001

Pembimbing II

I G. N. A. Dewantara P., S.Farm., M.Sc., Apt. NIP. 198203232009121002

Pembimbing I

Ni Pt. A. Dewi Wijayanti, S. Farm., M. Si., Apt. NIP. 198607272012122002


(4)

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan berkat dan rahmat-Nya sehingga penyusunan skripsi yang berjudul “Optimasi Konsentrasi NaOH, Waktu Ekstraksi dan Waktu Presipitasi pada Isolasi Carrageenan dari Kappaphycus alvarezii Doty. Menggunakan Desain Percobaan Faktorial”dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.

Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan, saran, dan bimbingan dari berbagai pihak. Maka dari itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Drs. Ida Bagus Made Suaskara, M.Si., selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana.

2. Dr. rer. nat. I Made Agus Gelgel Wirasuta, M.Si., Apt., selaku Ketua Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana.

3. Ni Putu Ayu Dewi Wijayanti, S.Farm., M.Si., Apt., selaku dosen pembimbing I yang dengan penuh perhatian telah memberikan waktu, motivasi, semangat, bimbingan dan saran dengan sabar selama penulis mengikuti pendidikan di Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana, khususnya dalam penyusunan skripsi ini.

4. I G. N. A. Dewantara P., S.Farm., M.Sc., Apt., selaku dosen pembimbing II yang dengan penuh perhatian telah memberikan waktu, pengarahan,


(5)

iv

kritik, masukan dan semangat selama penulis mengikuti pendidikan di Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana, khususnya dalam penyusunan skripsi ini.

5. Ni Putu Linda Laksmiani, S.Farm., M.Sc., Apt., selaku dosen penguji terimakasih atas saran dan arahannya.

6. Ketut Widyani Astuti, S.Si., M. Biomed., Apt., selaku dosen penguji terimakasih atas saran dan arahannya.

7. Putu Oka Samirana, S.Farm., M.Sc., Apt., selaku dosen penguji terimakasih atas saran dan arahannya.

8. Seluruh dosen yang telah memberikan ilmu selama penulis menempuh pendidikan di Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana.

9. Staf laboratorium, Kak Pasek, Kak Anggi dan Mbok Dwi, dan staf pegawai yang banyak membantu dan memberikan semangat kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

10.Orang tua yang sangat penulis cintai dan hormati, Ir. I Made Gede Setia Rimbawan, M.Si., Dra. Ni Made Harini, dan kakak terbaik dr. Pande Putu Gede Krisna Bayu Pramana R., S. Ked., sebagai kado terindah Tuhan, terimakasih untuk segalanya, pengertian, dukungan, doa, kasih, tawa, dan teguran yang selalu kalian berikan.

11.Sahabat GMC, Wiwik, Nia, Desak, Risma, Eny, Ratih, Claudia, Sonia, terimakasih atas doa, kasih sayang, perhatian, dan semangat yang tiada henti diberikan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.


(6)

v

12.Tim seperjuangan penulis: Dyah Tantri, Ferianta, Shaine, Meci, Anom, Efit, terimakasih atas dukungan, semangat, kerjasama, dan hari-hari bersama di ujung kebersamaan ini.

13.Seluruh rekan mahasiswa Jurusan Farmasi angkatan 2012 “Dioscuri Hygeia” atas suka duka yang kita alami bersama. Semoga semuanya dapat menjadi bagian kecil dari kenangan hidup kita.

14.Semua pihak yang terlibat dan telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun sehingga di masa yang akan datang dapat menjadi lebih baik. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.

Bukit Jimbaran, Juni 2016

Penulis


(7)

vi DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH ... xv

ABSTRAK ... xvii

ABSTRACT ... xviii

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 5

1.3Tujuan Penelitian ... 5

1.4Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1Rumput Laut ... 6

2.1.1 Deskripsi Rumput Laut ... 6

2.1.2 Jenis Rumput Laut ... 6

2.2Kappaphycus alvarezii Doty. ... 8


(8)

vii

2.3.1Definisi Carrageenan ... 11

2.3.2Jenis Carrageenan ... 11

2.3.3Sifat Carrageenan ... 13

2.4Isolasi Carrageenan ... 15

2.5Karakteristik Carrageenan... 19

2.5.1Rendemen Carrageenan ... 19

2.5.2Viskositas ... 20

2.5.3Melting temperature dan gelling temperature ... 21

2.5.4Kekuatan Gel ... 22

2.5.5Kadar Sulfat ... 22

2.5.6Kadar Abu ... 23

2.6 Standar Mutu Carrageenan ... 23

2.7 Desain Percobaan Faktorial ... 25

BAB III METODE PENELITIAN 3.1Rancangan Penelitian ... 27

3.2Lokasi dan Waktu Penelitian ... 28

3.3Alat dan Bahan ... 28

3.3.1Alat ... 28

3.3.2Bahan... 29

3.4Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 29

3.4.1Variabel Penelitian ... 29

3.4.2Definisi Operasional... 29


(9)

viii

3.5.1Penentuan Formula Optimasi Metode Isolasi Carrageenan . 31

3.5.2Tahap Isolasi Carrageenan ... 32

3.5.3Evaluasi ... 34

3.5.4Analisis Data dan Penafsiran ... 37

3.6 Skema Penelitian ... 39

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengumpulan dan Determinasi Kappaphycus alvarezii Doty. ... 40

4.2 Pengolahan Sampel ... 41

4.3 Proses Optimasi Metode Isolasi Carrageenan ... 42

4.4 Penetapan Kadar Air Carrageenan Hasil Optimasi Metode Isolasi ... 44

4.5 Evaluasi Karakteristik Fisika dan Kimia Carrageenan ... 44

4.5.1 Organoleptis ... 47

4.5.2 Rendemen ... 48

4.5.3 Viskositas ... 52

4.5.4 Melting temperature ... 54

4.5.5 Gelling temperature ... 57

4.5.6 Kekuatan Gel ... 60

4.5.7 Kadar Sulfat ... 62

4.5.8 Kadar Abu ... 65

4.6 Penentuan Metode Isolasi Carrageenan Optimum dari rumput laut Kappaphycus alvarezii Doty. ... 69


(10)

ix

5.1 Kesimpulan ... 71

5.2 Saran ... 71

DAFTAR PUSTAKA ... 72


(11)

x

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Komposisi Nilai Nutrisi Kappaphycus alvarezii Doty. ... 9

Tabel 2.2 Perbedaan Kappa, Iota dan Lambda Carrageenan. ... 12

Tabel 2.3 Spesifikasi Carrageenan menurut Pharmaceutical Excipients ... 23

Tabel 2.4 Standar Mutu Carrageenan Komersial dan FAO ... 24

Tabel 2.5 Standar Mutu Produk CarragenanPharmaceutical Grade ... 24

Tabel 3.1 Faktor dengan Level Tertinggi dan Terendah ... 31

Tabel 3.2 Formula Optimasi Metode Isolasi berdasarkan Design Expert Version 7.0.0 ... 31

Tabel 4.1 Standar Mutu Carageenan ... 45

Tabel 4.2 Rangkuman Hasil Analysis of Varian (ANOVA) one-way ... 46

Tabel 4.3 Hasil Pengujian Organoleptis terhadap Carrageenan dari Kappaphycus alvarezii Doty. ... 47


(12)

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1 Alga Kappaphycus alvarezii Doty ... 8 Gambar 3.1 Skema Penelitian secara Umum ... 39 Gambar 4.1 Nilai Rendemen (%) pada Setiap Metode Optimasi dengan

Waktu Ekstraksi dan Waktu Presipitasi Tetap serta

Variasi Konsentrasi NaOH. ... 49 Gambar 4.2 Nilai Rendemen (%) pada Setiap Metode Optimasi dengan

Konsentrasi NaOH dan Waktu Presipitasi Tetap serta

Variasi Waktu Ekstraksi ... 51 Gambar 4.3 Nilai Rendemen (%) pada Setiap Metode Optimasi dengan

Konsentrasi NaOH dan Waktu Ekstraksi Tetap serta

Variasi Waktu Presipitasi ... 52 Gambar 4.4 Nilai Viskositas (Cp) pada setiap Metode Optimasi dengan

Waktu Ekstraksi dan Waktu Presipitasi Tetap serta

Variasi Konsentrasi NaOH. ... 53 Gambar 4.5 Nilai Melting Temperature (oC) pada Setiap Metode Optimasi

dengan Waktu Ekstraksi dan Waktu Presipitasi Tetap serta

Variasi Konsentrasi NaOH ... 55 Gambar 4.6 Nilai Melting Temperature (oC) pada Setiap Metode Optimasi

dengan Konsentrasi NaOH dan Waktu Presipitasi Tetap serta Variasi Waktu Ekstraksi ... 56


(13)

xii

Gambar 4.7 Nilai Melting Temperature (oC) pada Setiap Metode Optimasi dengan Konsentrasi NaOH dan Waktu Ekstraksi Tetap serta Variasi Waktu Presipitasi ... 57 Gambar 4.8 Nilai Gelling Temperature (oC) pada Setiap Metode Optimasi

dengan Waktu Ekstraksi dan Waktu Presipitasi Tetap serta

Variasi Konsentrasi NaOH ... 58 Gambar 4.9 Nilai Gelling Temperature (oC) pada Setiap Metode Optimasi

dengan Konsentrasi NaOH dan Waktu Presipitasi Tetap serta Variasi Waktu Ekstraksi ... 58 Gambar 4.10 Nilai Kekuatan Gel (g/cm2) pada Setiap Metode Optimasi

dengan Waktu Ekstraksi dan Waktu Presipitasi Tetap serta

Variasi Konsentrasi NaOH ... 62 Gambar 4.11 Nilai Kadar Sulfat (%) pada Setiap Metode Optimasi dengan

Waktu Ekstraksi dan Waktu Presipitasi Tetap serta

Variasi Konsentrasi NaOH ... 64 Gambar 4.12 Nilai Kadar Abu (%) pada Setiap Metode Optimasi dengan

Waktu Ekstraksi dan Waktu Presipitasi Tetap serta

Variasi Konsentrasi NaOH ... 67 Gambar 4.13 Nilai Kadar Abu (%) pada Setiap Metode Optimasi dengan

Konsentrasi NaOH dan Waktu Presipitasi Tetap serta

Variasi Waktu Ekstraksi ... 68 Gambar 4.14 Nilai Kadar Abu (%) pada Setiap Metode Optimasi dengan


(14)

xiii


(15)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Tahapan Pengolahan Data dalam Design ExpertVersion

7.0.0 ... 80 Lampiran 2. Skema Optimasi Metode Isolasi Carrageenan ... 85 Lampiran 3. Hasil Determinasi Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Doty. ... 87 Lampiran 4. Gambar Proses Isolasi Carrageenan dari Kappaphycus alvarezii

Doty. ... 88 Lampiran 5. Output Uji Normalitas Menggunakan Normal Plot of Residuals

pada Program Design Expert ... 93 Lampiran 6. Output Uji Varians Menggunakan Cook’s Distance pada Program

Design Expert ... 97 Lampiran 7. Hasil Evaluasi Optimasi Metode Isolasi Carrageenan dari

Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Doty. ... 101 Lampiran 8. Output ANOVA One Way pada Program Design Expert 7.0.0

untuk Hasil Evaluasi Optimasi Metode Isolasi Carrageenan. .... 104 Lampiran 9. Output ANOVA One way pada Program Design Expert 7.0.0

untuk Penentuan Metode Isolasi Carrageenan Optimum. ... 108 Lampiran 10. Hasil Analisis Verifikasi Metode Isolasi Optimum dengan


(16)

xv

DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH

Agarofit : Rumput laut penghasil agar Alginofit : Rumput laut penghasil alginat Cartilogineus : Lunak seperti tulang rawan

Cp : Centipoise

Depolimerisasi : Proses memisahkan senyawa makromolekuler dengan berbagai cara menjadi senyawa yang relatif lebih sederhana.

Ekstrak : Hasil proses menyari simplisia

Fotosintesis : Proses pembuatan energi atau zat makanan yang terjadi pada tumbuhan hijau dengan bantuan sinar matahari dan enzim-enzim

Gelling agent : Bahan pembentuk gel

Gelling temperature : Suhu dimana carrageenan dalam konsentrasi tertentu mulai membentuk gel

Hidrokoloid : Suatu polimer larut dalam air, yang mampu membentuk koloid, dan mampu mengentalkan larutan atau membentuk gel dari larutan tersebut

Hidrolisis : Proses pemecahan suatu molekul menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana dengan bantuan molekul air


(17)

xvi

Karaginofit : Rumput laut penghasil carrageenan

Melting temperature : Suhu dimana carrageenan mencair dengan konsentrasi tertentu.

NaOH : Natrium hidroksida

Polielektrolit : Bagian dari polimer khusus yang dapat terionisasi dan mempunyai kemampuan untuk membuat terjadinya suatu flokulasi dalam medium cair

Ppm : Part per million

Presipitasi : Reaksi pembentukan padatan dalam larutan atau di dalam padatan lain selama reaksi kimia.

Simplisia : Bagian tanaman yang belum mengalami proses pengolahan apapun kecuali pengeringan

Sineresis : Proses keluarnya cairan dari dalam gel

Talus : Tumbuhan yang tidak mempunyai akar, batang, dan daun sejati

Thermoreversible : Gel dapat mencair pada saat pemanasan dan membentuk gel kembali pada saat pendinginan


(18)

xvii ABSTRAK

Kappaphycus alvarezii Doty. merupakan salah satu jenis alga merah (Rhodophyceae) penghasil kappa carrageenan. Carrageenan memiliki nilai jual tinggi karena mampu membentuk gel secara thermoreversible. Kualitas carrageenan yang dihasilkan sangat ditentukan oleh metode isolasi carrageenan yang meliputi beberapa tahapan, yaitu perendaman, ekstraksi, pemurnian, dan pengeringan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan metode isolasi carrageenan yang optimum dari rumput laut Kappaphycus alvarezii Doty. menggunakan desain percobaan faktorial program Design Expert Version.7.0.0.

Rumput laut diperoleh dari perairan Nusa Lembongan, Bali. Metode isolasi carrageenan dioptimasi dengan memvariasikan 3 faktor yaitu konsentrasi NaOH (4% dan 8%), waktu ekstraksi (0,5 jam dan 3 jam), dan waktu presipitasi (0,25 jam dan 0,5 jam) sehingga diperoleh 8 formula dan diuji karakteristik fisika dan kimia carrageenan. Karakteristik fisika dan kimia yang meliputi rendemen, viskositas, melting temperature, gelling temperature, kekuatan gel, kadar sulfat, dan kadar abu, diolah kembali menggunakan program Design Expert Version 7.0.0.untuk menentukan metode isolasi optimum.

Hasil analisis menunjukkan metode isolasi carrageenan optimum adalah F3 (Formula 3) dengan desirability 0,906 yaitu konsentrasi NaOH 4%, waktu ekstraksi 3 jam, dan waktu presipitasi 0,25 jam. Karakteristik fisika dan kimia carrageenan dari metode isolasi optimum menunjukkan nilai rendemen sebesar 31,135±1,604%, viskositas 10,293±0,086 cP, melting temperature 64,63±1,4l9oC, gelling temperature 46,892±1,169oC, kekuatan gel 397,200±3,058 g/cm2, kadar sulfat 30,390±0,925% dan kadar abu 26,767±0,983%.

Kata kunci: carrageenan, Kappaphycuz alvarezii Doty., metode isolasi, desain percobaan faktorial.


(19)

xviii ABSTRACT

Kappaphycus alvarezii Doty. is one type of red algae (Rhodophyceae) producing kappa carrageenan. Carrageenan has a higher trading value because it has an ability to form gels thermoreversibly. The quality of the resulting carrageenan is determined by the method of insulation covering carrageenan, such as soaking, extraction, purification, and drying. This study aims to obtain optimum carrageenan isolation method from seaweed Kappaphycus alvarezii Doty. using factorial experimental in program of Design Expert Version 7.0.0.

Carrageenan isolation method is optimized by varying three factors, including the concentration of NaOH (4% and 8%), extraction time (0,5 hours and 3 hours), and precipitation time (0,25 hours and 0,5 hours) in order to obtain 8 formulas and tested on physical and chemical characteristics. Physical and chemical characteristics such as yield, viscosity, melting temperature, gelling temperature, gel strength, sulfate content, and ash content, reprocessed again using Design Expert Version 7.0.0 program to determine the optimum method of isolation.

The analysis revealed optimum method for carrageenan isolation is F3 (Formula 3) with the desirability 0,906 which is 4% NaOH concentration, extraction time 3 hours and precipitation time 0,25 hours. Physical and chemical characteristics of this study indicate the yield was 31,135±1,604%, the viscosity was 10,293±0,086 cP, melting temperature was 64,63±1,499oC, gelling temperature was 46,892±1,169oC, gel strength was 397,200±3,058 g/cm2, sulfate content was 30,390±0,925% and ash content was 26,767±0,983%.

Keywords: carrageenan, Kappaphycuz alvarezii Doty., isolation method, factorial experimental design.


(20)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Carrageenan merupakan senyawa polisakarida galaktosa yang terdapat dalam dinding sel rumput laut atau matriks intraseluler dan merupakan bagian penyusun terbesar dari berat kering rumput laut (Hellebust dan Cragie, 1978). Winarno dkk. (1996) membagi carrageenan menjadi 3 fraksi berdasarkan unit penyusunnya, yaitu kappa, iota, dan lambda carrageenan. Jenis kappa carrageenan dihasilkan oleh rumput laut Kappaphycus alvarezii Doty. Rumput laut ini banyak dibudidayakan di Indonesia, salah satunya yaitu di Desa Lembongan, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Bali (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, 2008). Kappaphycus alvarezii Doty. memiliki umur tanam yang relatif pendek, mudah dibudidayakan dengan investasi relatif kecil, dan memberikan penghasilan yang memadai (Utomo, 2011).

Carrageenan memiliki kemampuan untuk membentuk gel secara

thermoreversible, sehingga banyak digunakan sebagai gelling agent, pengental, dan bahan penstabil di berbagai industri seperti pangan, farmasi, kosmetik, percetakan dan tekstil (Rowe et al., 2009). Namun, dalam memenuhi kebutuhan carrageenan dalam negeri, hingga saat ini masih harus mengandalkan impor. Pemanfaatan rumput laut di Indonesia hanya terbatas pada pengolahan rumput laut kering dan produk makanan dan minuman lokal (Hakim dkk., 2011; Harun dkk., 2013). Menurut Arthajaya dalam Desiana dan Hendrawati (2015), sebagia


(21)

2

besar rumput laut Indonesia diekspor dalam keadaan kering dan baru sekitar 20% yang dapat diolah oleh industri dalam negeri. Indonesia hingga saat ini masih mengimpor produk olahan rumput laut. Sepanjang 2011, impor carrageenan mencapai 1.380 ton atau sekitar 70% dari total kebutuhan dalam negeri.

Problematika utama dalam industri rumput laut adalah metode isolasi

carrageenan yang cukup rumit, membutuhkan waktu yang lama sehingga relatif

menghabiskan energi yang cukup besar. Hal tersebut menyebabkan pengembangan industri carrageenan Indonesia menjadi terhambat. Penelitian tentang metode isolasi carrageenan yang optimum masih perlu dilakukan khususnya terhadap waktu ekstraksi yang lebih singkat (Anggadireja dkk., 2006; Hoffmann dkk., 1995). Secara umum, metode isolasi carrageenan dari rumput laut membutuhkan beberapa tahapan, yaitu proses perendaman, ekstraksi, pemisahan carrageenan dengan pelarutnya, kemudian pengeringan carrageenan (Winarno dkk., 1996).

Carrageenan dapat diekstraksi menggunakan air atau larutan alkali (Winarno dkk., 1996). Alkali yang sering digunakan untuk ekstraksi adalah kalium hidroksida (KOH), natrium hidroksida (NaOH), dan kalsium hidroksida (Ca(OH)2). Towle (1973) menyatakan bahwa larutan alkali mempunyai dua fungsi yaitu membantu ekstraksi polisakarida dari rumput laut dan berfungsi untuk mengkatalisis hilangnya gugus 6-sulfat dari unit monomernya dengan membentuk 3,6-anhidrogalaktosa sehingga mengakibatkan kekuatan gel menjadi meningkat. Disamping itu alkali berfungsi untuk mencegah terjadinya hidrolisis carrageenan


(22)

3

(Guiseley et al., 1980). Rendemen carrageenan dan kekuatan gel akan meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi alkali (Yasita dan Rachmawati, 2009).

Sebagai alkali, NaOH lebih banyak dipilih, sebab selain efektif, bahan ini juga relatif murah dan mudah didapatkan (Rochima, 2014). Selain itu, jenis natrium umumnya lebih mudah larut bila dibandingkan dengan jenis kalium yang lebih sukar larut dalam air dingin, sehingga diperlukan panas untuk mengubahnya menjadi larutan (Syamsuar, 2006). Sheng Yao et al. (1986) menyatakan bahwa ekstraksi dengan NaOH 2% menghasilkan kekuatan gel 3–5 kali lebih kuat jika dibandingkan dengan air.

Karakteristik carrageenan yang dihasilkan dipengaruhi oleh waktu ekstraksi. Semakin lama rumput laut kontak dengan panas maupun dengan larutan pengekstrak, maka semakin banyak carrageenan yang terekstraksi dari dinding sel dan menyebabkan rendemen semakin tinggi. Namun, peningkatan waktu ekstraksi akan mendegradasi carrageenan sehingga kekuatan gel menjadi rendah (Luthfy, 1998). Menurut Distantina dkk. (2009), waktu ekstraksi selama 30 menit dengan NaOH 0,2 N merupakan waktu ekstraksi optimum dengan nilai rendemen carrageenan sebesar 22%. Namun, nilai rendemen ini belum memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Departemen Perdagangan yaitu minimal 25%.

Pemisahan carrageenan dengan pelarutnya dapat dilakukan dengan cara presipitasi carrageenan menggunakan larutan KCl. Penggunaan larutan KCl sebagai bahan presipitasi hanya dapat digunakan pada kappa carrageenan. Hal ini disebabkan karena kappa carrageenan sensitif terhadap ion kalium dan membentuk gel yang kuat dengan adanya garam kalium (Glicksman, 1983).


(23)

4

Distantina dkk. (2009) melakukan isolasi carrageenan dengan menggunakan etanol sebagai bahan presipitasi. Berdasarkan penelitian, semakin lama waktu rendemen carrageenan semakin meningkat, namun pada menit ke-30 rendemen mulai menurun. Penelitian mengenai optimasi waktu presipitasi menggunakan KCl belum dilakukan, sehingga diperlukan optimasi waktu presipitasi dengan KCl sebagai bahan presipitasi.

Optimasi metode isolasi carrageenan dilakukan dengan memvariasikan 3 faktor yaitu konsentrasi NaOH, waktu ekstraksi, dan waktu presipitasi, sehingga digunakan rancangan penelitian desain percobaan faktorial program Design Expert Version 7.0.0. Data hasil evaluasi carrageenan dianalisis menggunakan ANOVA One Way untuk mengetahui pengaruh mana yang siginifikan antara konsentrasi NaOH, waktu ekstraksi, waktu presipitasi dan interaksi ketiganya dalam menentukan respon karakteristik fisika dan kimia carrageenan. Selanjutnya, desain percobaan faktorial menganalisa dan memilih kondisi optimum dengan cara mencari metode isolasi yang memiliki nilai desirability mendekati 1. Kelebihan dari metode ini adalah dapat menghemat waktu, energi dan biaya dibandingkan melakukan penelitian tunggal untuk mendapatkan ketelitian yang sama (Bolton & Bon, 2004; Kothari, 2004).

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan metode isolasi carrageenan yang optimum dari rumput laut Kappaphycus alvarezii Doty. menggunakan desain percobaan faktorial program Design Expert Version.7.0.0.


(24)

5

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana metode isolasi carrageenan yang optimum dari rumput laut

Kappaphycus alvarezii Doty. menggunakan desain percobaan faktorial

program Design Expert Version.7.0.0?

1.2.2 Bagaimana karakteristik fisika dan kimia carrageenan dari rumput laut Kappaphycus alvarezii Doty. menggunakan metode isolasi yang optimum berdasarkan desain percobaan faktorial program Design Expert Version.7.0.0?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Untuk mengetahui metode isolasi carrageenan yang optimum dari rumput laut Kappaphycus alvarezii Doty. menggunakan desain percobaan faktorial program Design ExpertVersion.7.0.0.

1.3.2 Untuk mengetahui karakteristik fisika dan kimia carrageenan dari rumput laut Kappaphycus alvarezii Doty. menggunakan metode isolasi yang optimum berdasarkan desain percobaan faktorial program Design Expert Version.7.0.0.

1.4 Manfaat Penelitian

Sebagai sumber informasi mengenai metode isolasi carrageenan yang optimum dari rumput laut Kappaphycus alvarezii Doty. menggunakan desain percobaan faktorial program Design Expert Version 7.0.0, sehingga menghasilkan carrageenan dengan rendemen tinggi dan karakteristik yang baik.


(25)

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rumput Laut

2.1.1 Deskripsi Rumput Laut

Rumput laut (sea weed) adalah tumbuhan talus berklorofil yang berukuran

makroskopik dan secara ilmiah dikenal dengan istilah alga. Istilah talus digunakan bagi tubuh rumput laut yang mirip tumbuhan tetapi tidak memiliki akar, batang, dan daun sejati. Bentuk talus rumput laut bermacam-macam antara lain, bulat seperti tabung, pipih, gepeng, dan bulat seperti kantong, rambut dan sebagainya (Aslan, 1998).

Rumput laut di alam umumnya hidup melekat pada substrat di dasar perairan yang berupa karang batu mati, karang batu hidup, batu gamping, atau

cangkang moluska pada daerah pasang surut (intertidal) atau pada daerah yang

selalu terendam air (subtidal). Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan rumput

laut diantaranya adalah faktor kedalaman perairan, cahaya, substrat, dan gerakan air. Rumput laut tumbuh berkelompok dengan jenis rumput laut lainnya (Aslan, 1998).

2.1.2 Jenis Rumput Laut

Jenis-jenis rumput laut yang dibudidayakan di Indonesia, yaitu rumput laut

atau alga yang tergolong dalam divisi Thallophyta.Thallophyta adalah jenis

tumbuhan bertalus yang terdiri dari 4 kelas, yaitu alga hijau (Chlorophyceae), alga


(26)

7

(Myxophyceae). Pembagian ini didasarkan atas pigmen yang dikandungnya (Kordi dan Ghurfan, 2011).

a. Alga Merah

Alga merah (Rhodophyceae) merupakan kelas dengan spesies yang

memiliki nilai ekonomis dan paling banyak dimanfaatkan. Tumbuhan jenis ini dapat hidup di dalam dasar laut dengan menancapkan dirinya pada substrat lumpur, pasir, karang hidup, karang mati, cangkang moluska, batu vulkanik ataupun kayu. Habitat atau tempat hidup umum tumbuhan jenis ini adalah terumbu karang. Tumbuhan jenis ini hidup pada kedalaman mulai dari garis pasang surut terendah sampai sekitar 40 meter. Di Indonesia alga merah terdiri dari 17 marga dan 34 jenis serta 31 jenis diantaranya telah banyak dimanfaatkan. Jenis rumput laut yang termasuk dalam kelas alga merah

sebagai penghasil carrageenan (karaginofit) adalah Kappaphycus dan

Hypnea, sedangkan yang mengandung agar-agar (agarofit) adalah Gracilaria dan Gelidium (Kordi dan Ghurfan, 2011).

b. Alga Hijau

Alga hijau (Chlorophyceae) dapat ditemukan pada kedalaman hingga 10

meter atau lebih di daerah yang memiliki penyinaran yang cukup. Rumput laut jenis ini tumbuh melekat pada substrat seperti batu, batu karang mati, cangkang moluska, dan ada juga yang tumbuh di atas pasir. Di Indonesia rumput laut jenis ini terdapat sekitar 12 marga. Terdapat sekitar 14 jenis telah dimanfaatkan sebagai bahan konsumsi dan obat (Kordi dan Ghurfan, 2011).


(27)

8

c. Alga Coklat

Pada perairan Indonesia terdapat sekitar 8 marga kelas alga coklat

(Phaeophyceae). Tumbuhan jenis ini merupakan kelompok alga laut

penghasil algin (alginofit). Jenis rumput laut coklat sebagai penghasil algin

adalah Sargassum sp. dan Turbinaria sp. Alga coklat memiliki ukuran besar

dan membentuk padang alga di laut lepas (Kordi dan Ghurfan, 2011).

2.2 Kappaphycus alvarezii Doty.

Klasifikasi Kappaphycus alvarezii Doty. menurut Aslan (1998) adalah

sebagai berikut:

Kingdom : Plantae Divisio : Rhodophyta

Kelas : Rhodophyceae

Ordo : Gigartinales

Famili : Solieraceae

Genus : Kappaphycus

Spesies : Kappaphycus alvarezii Doty. (Eucheuma cottonii Doty.)

Gambar 2.1 Alga Kappaphycus alvarezii Doty. (Rompas dkk., 2015)

Kappaphycus alvarezii Doty. merupakan salah satu jenis alga merah (Rhodophyceae) penghasil kappa carrageenan. Kappaphycus alvarezii Doty.


(28)

9

memiliki ciri-ciri fisik seperti talus silindris, permukaan licin, dan cartilogineus.

Penampakan talus alga jenis ini bervariasi, mulai dari bentuk sederhana sampai kompleks. Duri-duri pada talus runcing memanjang, agak jarang-jarang dan tidak bersusun melingkari talus. Percabangan ke berbagai arah dengan batang-batang utama keluar saling berdekatan ke daerah basal (pangkal) (Anggadiredja dkk., 2006).

Tabel 2.1 Komposisi Nilai Nutrisi Kappaphycus alvarezii Doty.

Komponen Jumlah

Kadar air (%) 13,90

Protein (%) 2,69

Lemak (%) 0,37

Serat kasar (%) 0,95

Abu (%) 17,09

Mineral: Ca (ppm) 22,39

Fe (ppm) 0,0121

Cu (ppm) 2,763

Pb (ppm) 0,04

Vitamin B1 (Thiamin) (mg/100 g) 0,14

Vitamin B2 (Riboflavin) (mg/100 g) 2,7

Vitamin C (mg/100 g) 12

Carrageenan (%) 61,52

Sumber: Istini et al. (1986)

Warna merah dari Kappaphycus alvarezii Doty. timbul karena adanya

kandungan pigmen phycoerythrin dan pigmen phycocyanin. Phycoerythrin adalah

pigmen yang berwarna merah cerah dan memancarkan warna oranye, sedangkan

phycocyanin berwarna biru dan memancarkan warna merah tua (Atmadja, 2007).

Keadaan warna tidak selalu tetap, kadang-kadang berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah. Perubahan warna sering terjadi karena faktor lingkungan. Kejadian ini merupakan suatu proses adaptasi kromatik yaitu penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai kualitas pencahayaan (Aslan, 1998). Warna


(29)

10

talus juga dipengaruhi oleh kedalaman air (hampir hitam pada laut dalam, merah cerah pada kedalaman sedang, dan menjadi kehijauan pada air yang sangat

dangkal karena lebih sedikit phycoerythrin yang menutupi warna hijau klorofil

(Campbell dkk., 2003).

Umumnya Kappaphycus alvarezii Doty. tumbuh dengan baik di daerah

pantai terumbu karena tempat ini mempunyai persyaratan untuk pertumbuhan, yaitu faktor kedalaman, suhu, cahaya, substrat dan gerakan air. Habitat khasnya adalah daerah yang memperoleh aliran air laut yang tetap, variasi suhu harian

yang kecil dan substrat batu karang mati (Atmadja, 1996). Kappaphycus alvarezii

Doty. memerlukan sinar matahari untuk proses fotosintesis. Oleh karena itu, rumput laut jenis ini hanya mungkin dapat hidup pada lapisan fotik, yaitu pada kedalaman sejauh sinar matahari masih mampu mencapainya. Pertumbuhan cabang-cabang rumput laut ini membentuk rumpun yang rimbun dengan ciri khas mengarah ke arah datangnya sinar matahari (Anggadiredja dkk., 2006).

Rumput laut Kappaphycus alvarezii Doty. dalam dunia perdagangan

nasional maupun internasional lebih dikenal dengan nama Eucheuma cottonii.

Eucheuma cottonii secara taksonomi disebut Kappaphycus alvarezii Doty. karena carrageenan yang dihasilkan termasuk fraksi kappa carrageenan. Kadar carrageenan dalam spesies ini berkisar antara 54-73% tergantung pada jenis dan lokasi tumbuhnya. Jenis rumput laut ini berasal dari perairan Sabah (Malaysia) dan Kepulauan Sulu (Filipina) (Syamsuar, 2006).

Kappaphycus alvarezii Doty. merupakan jenis rumput laut yang banyak ditemui di Kecamatan Nusa Penida. Pantai di sebelah utara Kecamatan Nusa


(30)

11

Penida merupakan pantai landai sehingga pantai tersebut cocok digunakan untuk budidaya rumput laut. Secara geografis, Kecamatan Nusa Penida memiliki keunggulan komparatif, dengan luas lokasi penanaman rumput laut sebesar 290 hektar dan jumlah petani rumput laut sebesar 1.782. Dari luas area tersebut, pengembangan budidaya rumput laut mencapai 45% dari luas areal pantai. Produksi rumput laut perbulan adalah 130 sampai 225 per ton (Badan Pusat Statistik Kabupaten Klungkung, 2012).

2.3 Carrageenan

2.3.1 Definisi Carrageenan

Carrageenan merupakan senyawa hidrokoloid tersusun atas polisakarida rantai panjang. Polisakarida tersebut tersusun dari sejumlah unit galaktosa dengan ikatan α-(1,3)-D-galaktosa dan β-(1,4)-3,6-anhidrogalaktosa secara bergantian pada polimer heksosanya (Glicksman, 1983).

Carrageenan terdapat dalam dinding sel rumput laut atau matriks intraseluler dan merupakan bagian penyusun terbesar dari berat kering rumput laut

(Hellebust dan Cragie, 1978). Carrageenan berupa serbuk kasar berserat hingga

halus, berwarna kuning coklat hingga putih, tidak berasa dan tidak berbau. Berat

molekul carrageenan adalah 400-600 kDa (Velde dan Ruiter, 2005).

2.3.2 Jenis Carrageenan

Doty (1987) membedakan carrageenan berdasarkan kadar sulfatnya

menjadi dua fraksi, yaitu kappa carrageenan yang mengandung sulfat kurang dari


(31)

12

membagi carrageenan menjadi 3 fraksi berdasarkan unit penyusunnya yaitu

kappa, iota dan lambda carrageenan.

Tabel 2.2 Perbedaan Kappa, Iota dan Lambda Carrageenan.

Tipe

Carrageenan Struktur Kandungan

Kappa

carrageenan

(Gail Fisher, 2009)

Mengandung 25-30% ester sulfat dan 28-35% 3,6-anhidrogalaktosa (Barbeyron et al., 2000).

Iota

carrageenan

(Gail Fisher, 2009)

Mengandung 28-38% ester sulfat dan 25-30% 3,6-anhidrogalaktosa (Barbeyron et al., 2000).

Lambda

carrageenan

(Gail Fisher, 2009)

Mengandung 32-39% ester sulfat dan tidak mengandung 3,6-anhidrogalaktosa

(Barbeyron et al., 2000).

a. Kappa Carrageenan

Kappa carrageenan merupakan jenis yang paling banyak terdapat di alam,

membentuk gel yang kuat dan rigid, thermoreversible, meskipun sangat

rentan mengalami sineresis. Kappa carrageenan terdapat pada Kappaphycus

alvarezii Doty., dan Eucheuma striatum (Aslan, 1998; Setiawati, 2007).

Kappa carrageenan terdiri dari unit D-galaktosa-4-sulfat dan

3,6-anhidro-D-galaktosa. Carrageenan juga sering mengandung D-galaktosa-6-sulfat

ester dan 3,6-anhidro-D-galaktosa-2-sulfat ester. Adanya gugusan 6-sulfat


(32)

13

alkali mampu menyebabkan transeliminasi gugus 6-sulfat, sehingga menghasilkan bentuk 3,6-anhidro-D-galaktosa. Dengan demikian derajat keseragaman molekul meningkat dan daya gelasinya juga bertambah (Winarno, 1996).

b. Iota Carrageenan

Iota carrageenan merupakan jenis yang paling sedikit jumlahnya di alam,

membentuk gel lembut, fleksibel, lunak, dengan sineresis yang terbatas. Iota carrageenan terdapat pada Eucheuma spinosum, Eucheuma isiforme, dan Eucheuma uncinatum (Aslan, 1998; Setiawati, 2007).

c. Lambda Carrageenan

Lambda carrageenan merupakan jenis carrageenan kedua terbanyak di

alam, tidak dapat mebentuk gel, namun berbentuk cairan kental. Lambda carrageenan terdapat pada Chondrus crispus (Setiawati, 2007; Winarno dkk., 1996).

2.3.3 Sifat Carrageenan

a. Kelarutan

Karakteristik daya larut carrageenan dipengaruhi oleh bentuk garam

dari gugus ester sulfatnya. Jenis natrium umumnya lebih mudah larut, sementara jenis potasium lebih sukar larut. Hal ini menyebabkan kappa carrageenan dalam bentuk garam potasium lebih sulit larut dalam air dingin dan diperlukan panas untuk mengubahnya menjadi larutan, sedangkan dalam bentuk garam natrium lebih mudah larut (Syamsuar, 2006). Gugus


(33)

14

3,6-anhidro-D-galaktosa lebih hidrofobik. Kappa carrageenan bersifat

kurang hidrofilik karena lebih banyak memiliki gugus 3,6-anhidro-D-galaktosa (Towle, 1973).

b. Viskositas

Viskositas adalah daya aliran molekul dalam sistem larutan. Viskositas

suatu hidrokoloid dipengaruhi oleh konsentrasi carrageenan, temperatur,

jenis carrageenan, berat molekul dan adanya molekul-molekul lain (Towle,

1973). Moirano (1977) mengemukakan bahwa semakin kecil kadar sulfat, maka viskositasnya juga semakin kecil, tetapi kekuatan gelnya semakin

meningkat. Viskositas larutan carrageenan akan menurun seiring dengan

peningkatan suhu sehingga terjadi depolimerisasi yang kemudian

dilanjutkan dengan degradasi carrageenan (Towle, 1973).

c. Stabilitas pH

Carrageenan dalam larutan memiliki stabilitas maksimum pada pH 9 dan akan terhidrolisis pada pH dibawah 3,5. Hidrolisis dipercepat oleh panas pada pH rendah. Penurunan pH menyebabkan terjadinya hidrolisis dari ikatan glikosidik yang mengakibatkan hilangnya viskositas dan

menurunkan pembentukan gel. Hal ini disebabkan oleh ion H+ yang

membantu proses hidrolisis ikatan glikosidik pada molekul carrageenan

(Towle, 1973). Pada pH 6 atau lebih umumnya larutan carrageenan dapat


(34)

15

d. Pembentukan gel

Carrageenan mempunyai sifat pembentuk gel. Kemampuan

membentuk gel adalah sifat terpenting dari kappa carrageenan.

Kemampuan pembentukan gel pada kappa carrageenan terjadi pada saat

larutan panas yang dibiarkan menjadi dingin karena kappa carrageenan

memiliki gugus sulfat yang paling sedikit sehingga mudah membentuk gel (Doty, 1987).

Kappa carrageenan merupakan fraksi yang mampu membentuk gel

dalam air dan bersifat thermoreversible yaitu meleleh jika dipanaskan dan

membentuk gel kembali jika didinginkan. Proses pemanasan dengan suhu yang lebih tinggi dari suhu pembentukan gel akan mengakibatkan polimer

carrageenan dalam larutan menjadi random oil (acak). Bila suhu

diturunkan, maka polimer akan membentuk struktur double helix dan

apabila penurunan suhu terus dilanjutkan, polimer-polimer ini akan saling terikat silang secara kuat dan dengan makin bertambahnya bentuk heliks akan terbentuk agregat yang bertanggung jawab terhadap pembentukan gel yang kuat (Syamsuar, 2006).

2.4 Isolasi Carrageenan

Carrageenan merupakan ekstrak yang diperoleh dari hasil ekstraksi rumput laut (alga merah) dengan menggunakan air panas atau larutan alkali pada

temperatur tinggi (Glicksman, 1983). Isolasi carrageenan dari rumput laut


(35)

16

perendaman, ekstraksi, pemisahan carrageenan dengan pelarutnya, kemudian

pengeringan carrageenan (Winarno dkk., 1996).

Pada ekstraksi rumput laut, selain terjadi peristiwa pelarutan carrageenan

juga terjadi peristiwa reaksi. Beberapa peneliti menyatakan bahwa perlakuan

alkali pada ekstraksi carrageenan dapat meningkatkan sifat gel. Peningkatan sifat

gel ini disebabkan adanya reaksi pembentukan anhidrogalaktosa yang merupakan gugus pembentuk gel. Reaksi pembentukan gugus anhidrogalaktosa juga dapat

diindikasi berdasarkan adanya pengurangan kadar sulfat dalam carrageenan yang

dihasilkan. Secara alami, gugus 3,6-anhidro-D-galaktosa dibentuk secara

enzimatis dari prekursornya yaitu sulfohydrolase. Reaksi ini dikenal sebagai

reaksi siklisasi atau desulfatasi (Ciancia dkk., 1997; Campo dkk., 2009).

Reaksi yang terjadi pada saat ekstraksi dengan alkali yaitu transformasi

gugus sulfat yang terikat dalam gugus galaktosa oleh ion Na+ dengan membentuk

garam Na2SO4 di larutan serta dehidrasi membentuk polimer anhidrogalaktosa,

dimana ion H+ dari larutan alkali bereaksi dengan ikatan bergugus H membentuk

kappa carrageenan dan air (Distantina dkk., 2009)

Distantina dkk. (2012) melakukan ekstraksi Kappaphycus alvarezii Doty.

menggunakan pelarut alkali dan air. Berdasarkan penelitian, ekstraksi menggunakan pelarut air menghasilkan rendemen lebih tinggi dibandingkan pelarut alkali. Namun, meskipun pelarut air suling menghasilkan rendemen

tertinggi (46,43%), tetapi pada konsentrasi larutan carrageenan 1,5% (b/v) tidak


(36)

17

Towle (1973) menyatakan bahwa larutan alkali mempunyai dua fungsi yaitu membantu ekstraksi polisakarida dari rumput laut dan berfungsi untuk mengkatalisis hilangnya gugus 6-sulfat dari unit monomernya dengan membentuk 3,6-anhidrogalaktosa sehingga meningkatkan kekuatan gel. Hal ini didukung oleh

hasil penelitian Sheng Yao et al. (1986) ekstraksi yang dilakukan dengan NaOH

2% menghasilkan gel 3–5 kali lebih kuat jika dibanding dengan air. Disamping itu

alkali berfungsi untuk mencegah terjadinya hidrolisis carrageenan (Guiseley et

al., 1980).

Romenda dkk. (2013) melakukan penelitian mengenai perbedaan jenis dan

konsentrasi larutan alkali terhadap kekuatan gel dan viskositas carrageenan dari

Kappaphycus alvarezii Doty. Jenis alkali yang digunakan yaitu KOH dan NaOH

dengan konsentrasi 4%, 6%, dan 8%. Berdasarkan penelitian, viskositas yang memberikan pengaruh tertinggi adalah NaOH 8% dan jenis pelarut yang menghasilkan kekuatan gel tertinggi adalah KOH 6%.

Pemisahan carrageenan dari bahan pengekstrak dilakukan dengan cara

penyaringan dan pengendapan setelah proses ekstraksi. Pengendapan carrageenan

dapat dilakukan dengan 3 metode, yaitu freeze thaw, alcohol precipitation, dan

KCl precipitation. Pada metode freeze thaw, larutan carrageenan dibuat menjadi

gel dengan penambahan garam, kemudian gel dibekukan. Selama proses thawing

(pencairan), kandungan air dihilangkan dan dihasilkan carrageenan dan garam

(Rowe et al., 2009).

Pada metode alcohol precipitation, sejumlah larutan carrageenan direndam


(37)

18

larutan (Rowe et al., 2009). Alkohol yang dapat digunakan yaitu metanol, etanol

dan isopropil alkohol. Umumnya isopropil alkohol digunakan sebagai bahan pengendap karena hasilnya lebih murni dan pekat/kental. Namun isopropil alkohol memiliki harga yang lebih mahal dibanding metanol dan etanol.

KCl dapat digunakan sebagai bahan alternatif untuk mengendapkan

carrageenan. Menurut Dea (1979) apabila garam KCl dilarutkan dalam air akan

terionisasi menjadi K+ dan Cl-. Penurunan kelarutan carrageenan dengan

penambahan garam disebabkan oleh kation K+ yang berfungsi untuk

meningkatkan kekuatan ionik dalam rantai polimer carrageenan sehingga terjadi

penurunan tolakan elektrostatik diantara rantai polimer. Pada konsentrasi garam yang rendah kapiler elektrik dapat menjadi kecil, sedangkan pada konsentrasi yang lebih tinggi menyebabkan koloid tersebut akan melepaskan air sehingga terjadi pengendapan.

Penggunaan larutan KCl atau alkohol untuk proses presipitasi dapat

dilakukan pada kappa carrageenan, sedangkan pada iota carrageenan hanya

menggunakan alkohol. Larutan KCl hanya dapat digunakan pada kappa carrageenan. Hal ini disebabkan karena kappa carrageenan sensitif terhadap ion kalium dan membentuk gel yang kuat dengan adanya garam kalium, sedangkan

iota carrageenan akan membentuk gel kuat dan stabil bila terdapat ion Ca2+

(Glicksman, 1983).

Menurut Murdinah et al. (1994) pemisahan carrageenan menggunakan

KCl berpengaruh terhadap kenaikan rendemen dan kadar abu, sedangkan kadar air, kadar sulfat dan viskositas cenderung menurun. Penggunaan KCl sebagai


(38)

19

bahan presipitasi carrageenan telah dilakukan oleh Ningsih (2014) dengan variasi

konsentrasi KCl yaitu 1%, 5%, dan 10%. Konsentrasi KCl yang menghasilkan

mutu carrageenan yang baik yaitu KCl 5%. Hal ini dapat dilihat dari nilai

rendemen (52%), kekuatan gel (293,42 g/cm2), dan viskositas (38,89 cP) yang

dihasilkan. Penggunaan KCl pada larutan alkali KOH cenderung menurunkan

nilai rendemen carrageenan, tetapi pada larutan alkali NaOH cenderung

meningkatkan nilai rendemen carrageenan.

2.5 Karakteristik Carrageenan

Karakteristik fisika carrageenan meliputi rendemen, viskositas, melting

temperature dan gelling temperature, serta kekuatan gel. Karakteristik kimia carrageenan meliputi kadar sulfat, dan kadar abu.

2.5.1 Rendemen Carrageenan

Rendemen merupakan salah satu parameter penting dalam menilai efektif

tidaknya proses isolasi carrageenan. Perhitungan rendemen dilakukan untuk

mengetahui persentase carrageenan yang dihasilkan dari rumput laut kering yang

digunakan berdasarkan umur panen, konsentrasi pelarut alkali dan waktu ekstraksi

(Syamsuar, 2006). Rendemen carrageenan sebagai hasil ekstraksi dihitung

berdasarkan rasio antara berat carrageenan yang dihasilkan dengan berat rumput

laut kering yang digunakan (FMC Corp., 1977). Standar minimum rendemen

carrageenan yang ditetapkan oleh Departemen Perdagangan (1989) dalam


(39)

20

Konsentrasi pelarut alkali sangat mempengaruhi rendemen carrageenan

yang dihasilkan. Hal ini diduga karena semakin tinggi konsentrasi alkali, menyebabkan pH larutan semakin tinggi sehingga kemampuan alkali dalam mengekstrak semakin besar. Perlakuan pelarut alkali membantu ekstraksi polisakarida menjadi sempurna dan mempercepat terbentuknya 3,6 anhidrogalaktosa selama proses ekstraksi berlangsung (Yasita dan Rachmawati, 2009). Yasita dan Rachmawati (2009) menyatakan bahwa semakin tinggi

konsentrasi NaOH yang digunakan sebagai pelarut dalam ekstraksi carrageenan

rumput laut maka semakin tinggi rendemen yang dihasilkan.

Menurut Basmal (2009), rendemen carrageenan lebih banyak dipengaruhi

oleh perlakuan suhu dan waktu ekstraksi. Semakin lama waktu ekstraksi akan

meningkatkan rendemen carrageenan. Hal ini disebabkan karena semakin lama

rumput laut kontak dengan panas maupun dengan larutan pengekstrak, maka

semakin banyak carrageenan yang terekstraksi dari dinding sel dan menyebabkan

rendemen carrageenan semakin tinggi (Yasita dan Rachmawati, 2009).

2.5.2 Viskositas

Menurut penelitian Moraino (1977), viskositas carrageenan terutama

disebabkan oleh sifat carrageenan sebagai polielektrolit. Gaya tolakan antara

muatan-muatan negatif sepanjang rantai polimer yaitu gugus sulfat mengakibatkan rantai molekul menegang. Karena sifat hidrofiliknya, polimer tersebut diselimuti molekul air yang terimobilisasi, sehingga larutan menjadi kental (viskositas larutan tinggi). Semakin tinggi kadar sulfat maka viskositasnya akan semakin tinggi.


(40)

21

Suryaningrum et al. (1991), melaporkan bahwa peningkatan kekuatan gel

menyebabkan nilai viskositas carrageenan semakin kecil. Parwata dan Oviantara

(2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa semakin tinggi kadar air dalam

bahan baku rumput laut, maka semakin rendah viskositas carrageenan yang

dihasilkan. Pada kadar air yang tinggi akan menghasilkan carrageenan dengan

tingkat rendemen besar, karena masih mengandung banyak pengotor atau komponen-komponen lain dari rumput laut tersebut yang berdampak pada berat carrageenan yang dihasilkan. Viskositas yang memenuhi standar FAO adalah minimal 5 cP (FAO, 2007).

2.5.3 Melting temperature dan Gelling temperature

Melting temperature adalah suhu gel carrageenan mencair dalam

konsentrasi tertentu, sedangkan gelling temperature adalah kebalikan dari melting

temperature, yaitu suhu dimana larutan carrageenan dalam konsentrasi tertentu

mulai membentuk gel. Semakin tinggi gelling temperature, semakin tinggi pula

melting temperature (Syamsuar, 2006). Friedlander dan Zalokovitch (1984)

menyatakan bahwa gelling temperature dan melting temperature berbanding lurus

dengan kandungan 3,6-anhidrogalaktosa dan berbanding terbalik dengan kadar sulfatnya. Reen (1986) menyatakan bahwa adanya sulfat cenderung menyebabkan

polimer terdapat dalam bentuk sol, sehingga gelling temperature sulit terbentuk.

Menurut Syamsuar (2006), gelling temperature kappa carrageenan (tanpa

penambahan ion) berada pada kisaran suhu 33,06-34,10oC, sedangkan melting

temperature kappa carrageenan berkisar antara 10-15oC di atas gelling temperature.


(41)

22

2.5.4 Kekuatan Gel

Kekuatan gel merupakan karakteristik fisik carrageenan yang utama, karena

menunjukkan kemampuan carrageenan dalam pembentukan gel. Kemampuan

inilah yang menyebabkan carrageenan sangat luas penggunaannya, baik dalam

bidang pangan maupun nonpangan (Utomo, 2011). Menurut Fardiaz (1989), pembentukan gel adalah suatu fenomena penggabungan atau pengikatan silang rantai-rantai polimer sehingga terbentuk suatu jala tiga dimensi bersambungan. Selanjutnya jala ini menangkap atau mengimobilisasikan air di dalamnya dan membentuk struktur yang kuat dan kaku.

Peningkatan kekuatan gel berbanding lurus dengan 3,6-anhidrogalaktosa dan berbanding terbalik dengan kadar sulfatnya. Semakin kecil kadar sulfat maka semakin kecil pula viskositasnya, tetapi kekuatan gel semakin meningkat (Yasita dan Rachmawati, 2009).

2.5.5 Kadar Sulfat

Kadar sulfat adalah parameter yang digunakan untuk berbagai polisakarida

yang terdapat dalam alga merah (Winarno dkk., 1996). Menurut Guiseley et al.,

(1980), kadar sulfat yang tinggi menyebabkan lebih banyak gaya tolak-menolak antara gugus sulfat yang bermuatan negatif sehingga rantai polimer kaku dan

tertarik kencang. Basmal et al. (2002) menyatakan bahwa kadar sulfat dalam

kappa carrageenan sangat berperan dalam pembentukan 3,6 anhidrogalaktosa.

Kadar sulfat yang rendah akan meningkatkan kandungan 3,6 anhidrogalaktosa dan


(42)

23

Distantina dkk. (2012) menyatakan bahwa konsentrasi alkali yang semakin

besar akan menyebabkan kadar sulfat dalam carrageenan semakin sedikit. Kadar

sulfat yang semakin sedikit menunjukkan kadar 3,6-anhidrogalaktosa semakin

banyak, sehingga fraksi gugus pembentuk gel dalam carrageenan semakin banyak

dengan konsentrasi alkali tinggi.

2.5.6 Kadar Abu

Kadar abu menunjukkan besarnya kandungan mineral pada rumput laut yang tidak terbakar pada saat pengabuan (Bidwel, 1974). Besarnya kadar abu dalam suatu bahan pangan menunjukkan tingginya kandungan mineral dalam bahan pangan tersebut. Kadar abu juga ditunjukkan dengan adanya unsur logam yang tidak larut dalam air terutama Ca yang menempel pada bahan (rumput laut)

(Sudarmadji, 1984). Standar kadar abu carrageenan yang ditetapkan oleh FAO

yaitu sekitar 15-40% (FAO, 2007).

2.6 Standar Mutu Carrageenan

Spesifikasi carrageenan menurut Pharmaceutical Excipients (Rowe dkk.,

2009) dapat dilihat pada tabel 2.3.

Tabel 2.3 Spesifikasi Carrageenan menurut Pharmaceutical Excipients

Parameter USP

Viskositas larutan (75oC) Min. 5

Kadar air (%) ≤ 12,5

Total abu (%) ≤ 35

Bahan asam (%) ≤ 2

Arsenik (ppm) ≤ 3

Logam berat (%) ≤ 0,004

Timah (%) ≤ 0,001

Batas cemaran mikroba (cfu/g) ≤ 200


(43)

24

Di Indonesia sampai saat ini belum ada standar mutu carrageenan. Standar

mutu carrageenan yang telah diakui dikeluarkan oleh Food Agriculture

Organization (FAO), Food Chemicals Codex (FCC), dan European Economic Community (EEC). Standar mutu carrageenan dapat dilihat pada tabel 2.4.

Tabel 2.4 Standar Mutu Carrageenan Komersial dan FAO

Parameter Carrageenankomersial standar FAO Carrageenan

Viskositas larutan 1,5% (cP) - Min. 5

Melting temperature (oC) 50,21±1,05 -

Gelling temperature (oC) 34,10±1,86 -

Kekuatan gel (g/cm2) 685,5024±13,43 -

Kadar air (%) 14,24±0,25 Maks. 12

Kadar sulfat (%) - 15-40

Kadar abu (%) 18,60±0,22 15-40

Sumber: A/S Kobenhvas Pektifabrik (1978) dalam Yasita dan Rachmawati (2010)

Penggunaan bahan baku dalam industri farmasi umumnya memenuhi

standar kefarmasian atau dikenal dengan kelompok spesifikasi Pharmaceutical

grade. Pharmaceutical grade adalah bahan yang mempunyai kemurnian tinggi

dan kualitas farmasi (BPOM, 2013). Produk carrageenan komersial yang

diproduksi oleh Henan Aowei International Trading terklaim sebagai produk

pharmaceutical grade. Standar mutu berdasarkan produk carrageenan komersial

terklaim pharmaceutical grade dapat dilihat pada tabel 2.5.

Tabel 2.5 Standar Mutu Produk CarragenanPharmaceutical Grade

Parameter Carrageenan komersial

Viskositas larutan 1,5% (cP) Min. 5

Melting temperature (oC) -

Gelling temperature (oC) -

Kekuatan gel (1,5%b/b, 0,2% KCl, 25oC, g/cm2) Min. 1400

Kadar air (%) Maks. 12

Kadar sulfat (%) 15-40

Kadar abu (%) -


(44)

25

Jika dibandingkan antara standar mutu yang ditetapkan oleh FAO dengan

standar mutu dari produk carragenan komersial terklaim pharmaceutical grade,

tidak terdapat perbedaan yang signifikan, sehingga dalam hal ini FAO dapat

dijadikan acuan sebagai standar mutu carrageenan yang dihasilkan dari isolasi

rumput laut Kappaphycus alvarezii Doty.

2.7 Desain Percobaan Faktorial

Salah satu metode untuk melakukan analisis data adalah dengan desain percobaan faktorial. Salah satu program yang menggunakan rancangan penelitian

desain percobaan faktorial adalah Design Expert Version7.0.0. Desain percobaan

faktorial dapat memberikan formula optimum dengan melihat nilai desirability

mendekati 1 pada program Design Expert Version 7.0.0. Fungsi desirability merupakan suatu transformasi dari variabel respon ke skala 0 sampai 1, dengan desirability 0 yang menyatakan nilai respon yang tidak diinginkan atau nilai

responnya berada di luar batas spesifikasi. Sedangkan desirability 1 menyatakan

nilai respon yang ideal (Fariz dan Wardhani, 2013).

Desain faktorial mengandung beberapa pengertian yaitu faktor, level, efek, dan respon. Faktor merupakan setiap besaran yang mempengaruhi respon (Voight, 1994). Level merupakan nilai atau tetapan untuk faktor. Efek adalah perubahan respon yang disebabkan variasi tingkat dari faktor. Efek faktor atau interaksi merupakan rata-rata respon pada level tinggi dikurangi rata-rata respon pada level rendah. Respon merupakan sifat atau hasil percobaan yang diamati. Respon yang diamati harus dikuantitatifkan (Bolton, 1997).


(45)

26

Jumlah percobaan dalam desain faktorial adalah 2n, dimana 2 menunjukkan

level dan n menunjukkan jumlah faktor. Langkah untuk percobaan faktorial terdiri dari kombinasi semua level dari faktor. Desain percobaan faktorial yang

melibatkan dua level dan tiga faktor diperlukan delapan formulasi (23=8, dengan 2

menunjukkan level dan 3 menunjukkan jumlah faktor) (Bolton, 1997).

Keuntungan metode ini adalah informasi yang diberikan cukup valid, dapat mengidentifikasi ada tidaknya interaksi antara faktor yang diteliti, serta dapat

menghemat waktu (Koraksianiti et al., 2000). Penggunaan desain percobaan

faktorial juga dapat menghemat biaya dibandingkan melakukan penelitian tunggal untuk mendapat tingkat ketelitian yang sama, dapat menentukan efek utama dari dua faktor dengan hanya satu penelitian tunggal, memiliki efesiensi maksimum dalam memperkirakan efek utama jika tidak ada interaksi, hasil kesimpulan dari penelitian dapat digunakan dalam berbagai kondisi (Bolton & Bon, 2004; Kothari, 2004).


(1)

Suryaningrum et al. (1991), melaporkan bahwa peningkatan kekuatan gel menyebabkan nilai viskositas carrageenan semakin kecil. Parwata dan Oviantara (2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa semakin tinggi kadar air dalam bahan baku rumput laut, maka semakin rendah viskositas carrageenan yang dihasilkan. Pada kadar air yang tinggi akan menghasilkan carrageenan dengan tingkat rendemen besar, karena masih mengandung banyak pengotor atau komponen-komponen lain dari rumput laut tersebut yang berdampak pada berat carrageenan yang dihasilkan. Viskositas yang memenuhi standar FAO adalah minimal 5 cP (FAO, 2007).

2.5.3 Melting temperature dan Gelling temperature

Melting temperature adalah suhu gel carrageenan mencair dalam konsentrasi tertentu, sedangkan gelling temperature adalah kebalikan dari melting temperature, yaitu suhu dimana larutan carrageenan dalam konsentrasi tertentu mulai membentuk gel. Semakin tinggi gelling temperature, semakin tinggi pula melting temperature (Syamsuar, 2006). Friedlander dan Zalokovitch (1984) menyatakan bahwa gelling temperature dan melting temperature berbanding lurus dengan kandungan 3,6-anhidrogalaktosa dan berbanding terbalik dengan kadar sulfatnya. Reen (1986) menyatakan bahwa adanya sulfat cenderung menyebabkan polimer terdapat dalam bentuk sol, sehingga gelling temperature sulit terbentuk.

Menurut Syamsuar (2006), gelling temperature kappa carrageenan (tanpa penambahan ion) berada pada kisaran suhu 33,06-34,10oC, sedangkan melting temperature kappa carrageenan berkisar antara 10-15oC di atas gelling temperature.


(2)

2.5.4 Kekuatan Gel

Kekuatan gel merupakan karakteristik fisik carrageenan yang utama, karena menunjukkan kemampuan carrageenan dalam pembentukan gel. Kemampuan inilah yang menyebabkan carrageenan sangat luas penggunaannya, baik dalam bidang pangan maupun nonpangan (Utomo, 2011). Menurut Fardiaz (1989), pembentukan gel adalah suatu fenomena penggabungan atau pengikatan silang rantai-rantai polimer sehingga terbentuk suatu jala tiga dimensi bersambungan. Selanjutnya jala ini menangkap atau mengimobilisasikan air di dalamnya dan membentuk struktur yang kuat dan kaku.

Peningkatan kekuatan gel berbanding lurus dengan 3,6-anhidrogalaktosa dan berbanding terbalik dengan kadar sulfatnya. Semakin kecil kadar sulfat maka semakin kecil pula viskositasnya, tetapi kekuatan gel semakin meningkat (Yasita dan Rachmawati, 2009).

2.5.5 Kadar Sulfat

Kadar sulfat adalah parameter yang digunakan untuk berbagai polisakarida yang terdapat dalam alga merah (Winarno dkk., 1996). Menurut Guiseley et al., (1980), kadar sulfat yang tinggi menyebabkan lebih banyak gaya tolak-menolak antara gugus sulfat yang bermuatan negatif sehingga rantai polimer kaku dan tertarik kencang. Basmal et al. (2002) menyatakan bahwa kadar sulfat dalam kappa carrageenan sangat berperan dalam pembentukan 3,6 anhidrogalaktosa. Kadar sulfat yang rendah akan meningkatkan kandungan 3,6 anhidrogalaktosa dan sebagai akibatnya kekuatan gel kappa carrageenan akan meningkat.


(3)

Distantina dkk. (2012) menyatakan bahwa konsentrasi alkali yang semakin besar akan menyebabkan kadar sulfat dalam carrageenan semakin sedikit. Kadar sulfat yang semakin sedikit menunjukkan kadar 3,6-anhidrogalaktosa semakin banyak, sehingga fraksi gugus pembentuk gel dalam carrageenan semakin banyak dengan konsentrasi alkali tinggi.

2.5.6 Kadar Abu

Kadar abu menunjukkan besarnya kandungan mineral pada rumput laut yang tidak terbakar pada saat pengabuan (Bidwel, 1974). Besarnya kadar abu dalam suatu bahan pangan menunjukkan tingginya kandungan mineral dalam bahan pangan tersebut. Kadar abu juga ditunjukkan dengan adanya unsur logam yang tidak larut dalam air terutama Ca yang menempel pada bahan (rumput laut) (Sudarmadji, 1984). Standar kadar abu carrageenan yang ditetapkan oleh FAO yaitu sekitar 15-40% (FAO, 2007).

2.6 Standar Mutu Carrageenan

Spesifikasi carrageenan menurut Pharmaceutical Excipients (Rowe dkk., 2009) dapat dilihat pada tabel 2.3.

Tabel 2.3 Spesifikasi Carrageenan menurut Pharmaceutical Excipients

Parameter USP

Viskositas larutan (75oC) Min. 5

Kadar air (%) ≤ 12,5

Total abu (%) ≤ 35

Bahan asam (%) ≤ 2

Arsenik (ppm) ≤ 3

Logam berat (%) ≤ 0,004

Timah (%) ≤ 0,001

Batas cemaran mikroba (cfu/g) ≤ 200


(4)

Di Indonesia sampai saat ini belum ada standar mutu carrageenan. Standar mutu carrageenan yang telah diakui dikeluarkan oleh Food Agriculture Organization (FAO), Food Chemicals Codex (FCC), dan European Economic Community (EEC). Standar mutu carrageenan dapat dilihat pada tabel 2.4.

Tabel 2.4 Standar Mutu Carrageenan Komersial dan FAO

Parameter Carrageenankomersial standar FAO Carrageenan

Viskositas larutan 1,5% (cP) - Min. 5

Melting temperature (oC) 50,21±1,05 -

Gelling temperature (oC) 34,10±1,86 -

Kekuatan gel (g/cm2) 685,5024±13,43 -

Kadar air (%) 14,24±0,25 Maks. 12

Kadar sulfat (%) - 15-40

Kadar abu (%) 18,60±0,22 15-40

Sumber: A/S Kobenhvas Pektifabrik (1978) dalam Yasita dan Rachmawati (2010)

Penggunaan bahan baku dalam industri farmasi umumnya memenuhi standar kefarmasian atau dikenal dengan kelompok spesifikasi Pharmaceutical grade. Pharmaceutical grade adalah bahan yang mempunyai kemurnian tinggi dan kualitas farmasi (BPOM, 2013). Produk carrageenan komersial yang diproduksi oleh Henan Aowei International Trading terklaim sebagai produk pharmaceutical grade. Standar mutu berdasarkan produk carrageenan komersial terklaim pharmaceutical grade dapat dilihat pada tabel 2.5.

Tabel 2.5 Standar Mutu Produk Carragenan Pharmaceutical Grade

Parameter Carrageenan komersial

Viskositas larutan 1,5% (cP) Min. 5

Melting temperature (oC) -

Gelling temperature (oC) -

Kekuatan gel (1,5%b/b, 0,2% KCl, 25oC, g/cm2) Min. 1400

Kadar air (%) Maks. 12

Kadar sulfat (%) 15-40

Kadar abu (%) -


(5)

Jika dibandingkan antara standar mutu yang ditetapkan oleh FAO dengan standar mutu dari produk carragenan komersial terklaim pharmaceutical grade, tidak terdapat perbedaan yang signifikan, sehingga dalam hal ini FAO dapat dijadikan acuan sebagai standar mutu carrageenan yang dihasilkan dari isolasi rumput laut Kappaphycus alvarezii Doty.

2.7 Desain Percobaan Faktorial

Salah satu metode untuk melakukan analisis data adalah dengan desain percobaan faktorial. Salah satu program yang menggunakan rancangan penelitian desain percobaan faktorial adalah Design Expert Version 7.0.0. Desain percobaan faktorial dapat memberikan formula optimum dengan melihat nilai desirability mendekati 1 pada program Design Expert Version 7.0.0. Fungsi desirability merupakan suatu transformasi dari variabel respon ke skala 0 sampai 1, dengan desirability 0 yang menyatakan nilai respon yang tidak diinginkan atau nilai responnya berada di luar batas spesifikasi. Sedangkan desirability 1 menyatakan nilai respon yang ideal (Fariz dan Wardhani, 2013).

Desain faktorial mengandung beberapa pengertian yaitu faktor, level, efek, dan respon. Faktor merupakan setiap besaran yang mempengaruhi respon (Voight, 1994). Level merupakan nilai atau tetapan untuk faktor. Efek adalah perubahan respon yang disebabkan variasi tingkat dari faktor. Efek faktor atau interaksi merupakan rata-rata respon pada level tinggi dikurangi rata-rata respon pada level rendah. Respon merupakan sifat atau hasil percobaan yang diamati. Respon yang diamati harus dikuantitatifkan (Bolton, 1997).


(6)

Jumlah percobaan dalam desain faktorial adalah 2n, dimana 2 menunjukkan level dan n menunjukkan jumlah faktor. Langkah untuk percobaan faktorial terdiri dari kombinasi semua level dari faktor. Desain percobaan faktorial yang melibatkan dua level dan tiga faktor diperlukan delapan formulasi (23=8, dengan 2 menunjukkan level dan 3 menunjukkan jumlah faktor) (Bolton, 1997).

Keuntungan metode ini adalah informasi yang diberikan cukup valid, dapat mengidentifikasi ada tidaknya interaksi antara faktor yang diteliti, serta dapat menghemat waktu (Koraksianiti et al., 2000). Penggunaan desain percobaan faktorial juga dapat menghemat biaya dibandingkan melakukan penelitian tunggal untuk mendapat tingkat ketelitian yang sama, dapat menentukan efek utama dari dua faktor dengan hanya satu penelitian tunggal, memiliki efesiensi maksimum dalam memperkirakan efek utama jika tidak ada interaksi, hasil kesimpulan dari penelitian dapat digunakan dalam berbagai kondisi (Bolton & Bon, 2004; Kothari, 2004).