Majalah Kiblat Muharram Jadi

SALAM

Bismillah...
Umat Islam masih saja dibuat
bingung oleh oknum sebagian dai
yang tiba-tiba melabeli Jokowi yang
memenangkan pemilu 2014 sebagai
ulil amri yang wajib ditaati.
Ulil amri adalah istilah Islam yang
memiliki definisi dan konsekuensi
yang telah definitif. Menyematkan
ulil amri kepada orang yang tidak
berhak adalah kezaliman dan
penyesatan yang nyata bagi umat
sekaligus orang yang dilabeli. Bila
ada orang munafik dilabeli sebagai
orang yang jujur, maka ia akan
bangga dengan kemunafikannya
dan semakin jauh dari pertobatan.
Bagi umat Islam sendiri yang dalam
doktrin agamanya ilmu merupakan

dasar utama dalam segala hal,
maka memahami ulil amri secara
komprehensif, mulai dari definisi
sampai keluar dari ketaatan kepada
penguasa akan menjadi bekal
sekaligus benteng dari kemungkinan
oknum-oknum nyleneh pada
masa mendatang sampai sistem
demokrasi lenyap dari muka bumi
dengan izin Allah.

Redaktur Ahli : Abu Zahrah, Abu
Abdurrahman Pimpinan Redaksi :
Tony Syarqi Redaksi : Agus Abdullah,
Fahruddin, Dhani el-Ashimi, Bashirudin R,
Miftahul Ihsan
MAJALAH DIGITAL KIBLAT adalah
salah satu konten dari situs berita Islam
www.kiblat.net. Dapat diunduh dan
sebarluaskan secara cuma-cuma.


Selamat membaca!
Email : kiblatmedia@gmail.com
Donasi: BCA 7735072587 BNI Syariah
0298526555 BNI Syariah atas nama Muh
Bashirudin Rosyed.

kiblat

muharram 1436 h

2

ISI

17

Menyelamatkan Bahtera
Tak Hanya
dengan

“Empat Mata”

27

Pemerintah
Sekuler Bukan
Ulil Amri

40
44

Penguasa
Berhati Setan

48

Syaikh Bin Baz
Mengkafirkan Penguasa
Meskipun
Shalat


70

Penguasa
Saleh Rakyat
pun Saleh

Polemik Ulil Amri
di Pusaran Pesta
Demokrasi

Melawan Penguasa
Tidak Selalu Khawarij

Indonesia
Bukan Negara
Islam

4


34

SEJARAH
HITAM
MURJIAH

52

Menjual Agama
Demi Penguasa

62

Hubungan
Rakyat dan
Penguasa

kiblat

muharram 1436 h


3

polemik ulil amri
di pusaran pesta
demokrasi

S

ecara umum aktivis Islam penerus
manhaj dakwah salafus saleh
tidak sepakat dengan sistem
demokrasi. Saat pemilu presiden
berlangsung pilihannya adalah tidak
mencoblos (golput) atau memilih calon
yang menurut pertimbangan maslahat
lebih ringan dampak buruknya bagi
dakwah Islam.

Definisi Ulil Amri


Ibnu Mandzur dalam Lisanul Arab, uli
bermakna memiliki. Kata ini dalam
bahasa Arab tidak bisa berdiri sendiri.
Sedangkan al-amr, Ibnu Mandzur
mengatakan, “Seseorang memimpin
pemerintahan, bila ia menjadi amir
bagi mereka. Amir adalah penguasa
mengimpementaskan perintahnya di
Anehnya, siapa pun pemenang pemilu antara rakyatnya.”
langsung dilabeli ulil amri yang
Menurut Istilah, Ulil Amri adalah para
wajib ditaati, tidak boleh dikritik.
pemilik otoritas dalam urusan umat.
Kalau ada yang mengritik langsung
Mereka adalah orang-orang yang
disebut khawarij. Penguasa yang tidak
memegang kendali semua urusan. (Almewujudkan tujuan kepemimpinan
Mufradat, 25).
(maqashidul

imamah)
seolah-olah
manusia suci, sedangkan aktivis Islam Ulil Amri Menurut Para Ulama
dituding sebagai anjing-anjing neraka.
Ulil Amri menurut Imam Asy-Syaukani
Memahami secara komprehensif apa adalah:
dan siapa sejatinya ulil amri dalam
 
  
konsep Islam akan menjawab pantaskah 
   
   
   
penguasa itu layak disebut ulil amri.
kiblat

muharram 1436 h

4


 
 
 
     
    
  
Ulil amri adalah para imam, penguasa,
hakim dan semua orang yang memiliki
kekuasaan yang syar’i, bukan kekuasaan
thaghut.” (Fathul Qadir, Asy-Syaukani,
1/556).
Syaikhul
Islam
Ibnu
Taimiyyah
menjelaskan
menjelaskan
dengan
ungkapan:


 
 
 

         
     

       
   
      
               



      
 
    
    

    


        
  

 
   
  
 

   
 

        
   

   
  


    
 

“Ulil amri adalah pemegang dan pemilik
kekuasaan. Mereka adalah orang-orang
yang memerintah manusia. Perintah
tersebut didukung oleh orang-orang
yang memiliki kekuatan (ahli qudrah) dan
ahli ilmu. Karena itulah, ulil amri terdiri
atas dua kelompok manusia: ulama dan
umara. Bila mereka baik, manusia pun
baik. Bila mereka buruk, manusia pun
buruk. Hal ini seperti jawaban Abu Bakar
Ash-Shiddiq kepada wanita dari bani
Ahmas saat bertanya kepadanya, ‘Apa
hal yang menjamin kami akan senantiasa
berada di atas perkara (yang baik yang
Allah datangkan setelah masa jahiliah)

ini?’ Abu Bakar Ash-Shiddiq menjawab,
‘Kalian akan senantiasa di atas kebaikan
(Islam) tersebut selama para pemimpin
kalian bertindak lurus.” (HR Al-Bukhari)
(Majmu’ Al-Fatawa, 28/170)
Sejalan dengan Ibnu Taimiyyah, Syaikh
Utsaimin mengatakan, “Ulil Amri kaum
muslimin itu ada dua kelompok. Pertama
dan yang utama dari keduanya adalah
para ulama yang menjelaskan apa yang
diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya
Muhammad n. Mereka adalah orangorang yang mengatakan sesuai dengan
perkataan Allah dan Rasul-Nya.
Kedua adalah umara (para penguasa).
Dalam dunia nyata, mereka adalah
orang-orang yang menerapkan perintah
Allah dan Rasul-Nya. Yakni perintah yang
telah disampaikan oleh ulil ilmi (ulama).”
Syaikh Shalih Al-Fauzan mengatakan,
“Mereka (para ulama) adalah ulil amri
dari sudut pandang bahwa mereka
membawa syariat dan menyampaikannya
kepada manusia, baik perintah maupun
larangan.” Beliau menambahkan, ulama
memegang otoritas syariat, sedangkan
umara memegang otoritas politik.
Karena kekuasaan berada di tangan
umara. Umara adalah ujung tombak ulil
amri dalam kewenangan eksekutif.
Syaikh Mahmas Al-Jal’ud dalam kitab
Al-Muwalah wal Mu’adah fi Syari’atil
Islamiyyah (II/206) setelah nyebutkan
hadis-hadits
tentang
wajibnya
taat kepada penguasa yang zalim,

kiblat

muharram 1436 h

5

mengatakan,
“Haditshadits tadi tidak berarti
membolehkan
sepakat
dengan penguasa dalam
kezaliman dan kebatilan
mereka. Atau boleh tidak
mengingkari
kejahatan
yang mereka lakukan,
atau taat kepada mereka
dalam kemaksiatan.
Hadits-hadits itu justru
menunjukkan
bahwa
siapa yang membenci
kemungkaran maka ia
telah lepas dari dosa
dan akibatnyaa. Dalam
hal ini, orang yang
mampu
mengingkari
k e m u n g k a r a n
dengan lisannya, dan
mengingkaarinya, ia lepas
dari dosa bila memang
tidak mampu mengingkari
dengan tangan. Orang
yang
tidak
mampu
membasmi kemungkaran
(dengan lisan dan tangan)
tidaklah berdosa dengan
sekedar diam.”
Lebih
lanjut,
Syaikh
Utsaimin,
menjelaskan
bahwa dua kelompok
itulah uli amri kaum
muslimin. Allah telah
memerintahkan
agar
umat
Islam
menaati
mereka. Namun ketaatan
ketaatan ini menyesuaikan
ketaatan kepada Allah
dan Rasul-Nya.”
Allah

tidak

“Taatilah Allah, taatilah
Rasul, dan taatilah ulil
amri,” hal ini karena
ketaatan kepada ulil amri
bukanlah
independen,
melainkan
mengikuti
ketaatan kepada Allah dan
Rasul-Nya. Karena itulah,
bila ulil amri memberikan
perintah yang menyelisihi
perintah Allah dan RasulNya, maka tidak ada
ketaatan bagi mereka
dalam perintah tersebut.
Selama mereka muslim,
kesalahan yang dilakukan
oleh ulil amri tidak lantas
menjadi
pintu
untuk
menjelek-jelekkan mereka
di depan umum. Ini akan

menyebabkan
rakyat
benci kepada mereka
dan setiap pekerjaan
yang dilakukan meskipun
benar. Selain itu juga akan
menyebabkan
rakyat
menentang dan tidak
taat. Ini bisa berakibat
kehancuran masyarakat
serta
kekacauan
dan
kerusakan.
Namun, kata ulama yang
pendapatnya
sering
menjadi rujukan umat
Muslim Indonesia ini, hal
itu tidak berarti bahwa kita
harus
mendiamkannya
tanpa menasihati (bila
melakukan
kesalahan).

Ulil amri yang melakukan kezaliman
terhadap rakyat tidak sampai kepada
kekafiran yang nyata. Yakni tidak
sampai mengingkari syariat, tidak
menolak berhukum dengannya, dan tidak
meninggalkan kewajiban menegakkan
Dien. Zalim yang dilakukan adalah
kezaliman yang bersifat duniawi. Dalam
hal ini rakyat tidak boleh merebut
kekuasaannya.

berfirman,
kiblat

muharram 1436 h

6

Sebab menasihati mereka adalah wajib.
Mengingatkan ulil amri adalah bagian
dari agama Allah.
“Agama ini nasihat,” sabda Nabi
sampai tiga kali.

n

“Bagi siapa wahai Rasulullah?” tanya
para sahabat.
“Allah, Kitab-Nya,
pemimpin
kaum
masyarakat umum.”

Rasul-Nya,
muslimin,

para
dan

Syaikh Utsaimin menafsirkan, “Nabi
mendahulukan nasihat untuk para
pemimpin sebelum nasihat untuk rakyat,
karena para pemimpin itu bila baik,
maka baik pula rakyatnya.”
Maksud taat kepada mereka adalah taat
dalam perintah dan menjauhi larangan
selama tidak maksiat.” (Fathul Qadir,
Asy-Syaukani, 1/556).

Ulil Amri yang ditaati
Banyak nash yang memerintahkan
ketaatan kepada ulil amri dengan
batasan menegakkan Dien. Rasulullah
bersabda:

  
  
       

      

  
  
    

   

“Jika kalian dipimpin oleh seorang
hamba hitam berambut keriting, yang
memimpin kalian dengan kitab Allah,
maka taatlah kepadanya.” (HR Muslim).

    
    
    

  





      

“Sesungguhnya
urusan
ini
(kepemimpinan kaum muslimin) adalah
milik Quraisy. Tidak ada seorang pun
yang menentangnya kecuali akan
ditelungkupkan oleh Allah dengan
wajahnya di neraka selama menegakkan
dien.” (Al-Bukhari).
Syaikh Hamid bin Abdullah Al-Ali, ulama
Kuwait lulusan Universitas Madinah,
menjelaskan, “Hadits-hadits tersebut dan
lainnya menjelaskan bahwa ulil amri yang
melakukan kezaliman terhadap rakyat
tidak sampai kepada kekafiran yang
nyata. Yakni tidak sampai mengingkari
syariat, tidak menolak berhukum
dengannya, dan tidak meninggalkan
kewajiban menegakkan dien. Zalim yang
dilakukan adalah kezaliman yang bersifat
duniawi. Dalam hal ini rakyat tidak boleh
merebut kekuasaannya. Karena ini akan
meruntuhkan kesatuan umat. Menjaga
persatuan umat lebih utama daripada
melawan kezaliman penguasa.
Hal itu seperti disebutkan dalam hadis
shahih riwayat Muslim dari Junadah bin
Abu Umayyah yang berkata, ‘Kami masuk
ke tempat Ubadah bin Shamit saat ia
sedang sakit. Kami berkata, ‘Semoga
Allah menyembuhkanmu, ceritakanlah
kepada kamu satu hadis yang dengan
itu Allah memberi manfaat kepada
kami. Hadits yang engkau dengar dari
Rasulullah
n. Ubadah menjawab,
“Rasulullah memanggil kami, lalu kami
membaiat beliau. Maka di antara syarat
yang diambil dari kami adalah kami
berbaiat untuk mendengar dan taat
dalam suka maupun benci; sulit maupun
mudah; dan meskipun menelantarkan
hak kami. Kami tidak akan merebut

kiblat

muharram 1436 h

7

kekuasaan dari pemiliknya.’ Rasul n
bersabda, “Kecuali kalian melihat
kekafiran yang nyata, yang dengan itu
kalian memiliki alasan di hadapan Allah.”






       

      

 
Syaikh Hamid bin Abdullah Al-Ali

Bila kekafiran yang nyata telah muncul
dalam sebuah kekuasaan, maka ini
merupakan kekuasaan kafir yang tidak
ditaati. Ia wajib dimusnahkan dengan
kekuatan. Bila kaum muslimin tidak
mampu melakukannya, mereka wajib
melakukan persiapan (i’dad). Allah
berfirman, ‘Seandainya mereka ingin
keluar (untuk berjihad) mereka tentu
melakukan persiapan.’ (At-Taubah: 47).
Di antara persiapan yang dilakukan
adalah mengembalikan kaum muslimin
kepada agama mereka dengan dakwah
Islam; melatih para pemimpin Islam
yang mengendalikan urusan umat agar
eksistensi politiknya yang merealisasikan
kemenangan agama mereka di bumi,
syariat Islam tegak, dan mengantarkan
kepada dunia dengan jihad. Di antara
persiapan bekal adalah mengarahkan
umat ke medan-medan jihad.” (http://
ar.islamway.net/fatwa/3746/ 3746/ - ‫ي‬-‫ أ‬- ‫ ي س‬- ‫ي‬-‫ جت‬-‫) تع ط‬
Syaikh Bin Baz menjelaskan apa yang
harus dilakukan oleh kaum muslimin
ketika melihat kekafiran yang nyata
pada penguasa:



٨

“Kecuali bila kaum muslimin melihat
kekafiran yang nyata, mereka memiliki
hujjah di hadapan Allah, maka tidak
masalah bagi mereka melawan penguasa
ini, untuk menggulingkannya. Yakni bila
mereka mampu. Adapun bila mereka
belum memiliki kekuatan, mereka tidak
boleh melawan. Atau bila melawan
malah menyebabkan keburukan yang
lebih banyak, mereka tidak boleh
melawan, demi menjaga kemaslahatan
umum. Ada kaidah syar’i yang disepakati
‘Memberantas keburukan tidak boleh
dilakukan dengan keburukan yang lebih
besar darinya.’” (Al-Fatawa, VIII/203).
Tentang keluar dari penguasa, beliau
mengatakan:



   




 

“Bila kita mampu menyingkirkannya,

kiblat

muharram 1436 h

8

maka saat itu kita harus melawan
penguasa itu. Bila kita tidak mampu,
maka kita tidak melawan. Sebab
semua kewajiban syariat memiliki
syarat
adanya
kemampuan
(bagi yang diwajibkan).” (Babul
Maftuh, III/126, Pertemuan ke-51,
Pertanyaan ke-1222).
Syaikh Shalih Al-Fauzan juga
mengatakan hal yang sama:

      

     
     

     




bila kemungkaran yang wajib diingkari
merupakan perkara yang sangat berbahaya
dan buruk bagi umat, Tidak terbatas pada
penguasa saja yang bermaksiat. Bila

Lebih jelas lagi, bagi kaum
muslimin yang tinggal di
wilayah penguasa kafir da
belum memiliki kemampuan

demikian, semua orang yang melakukannya
harus diingatkan. Demikian pula orang



Adapun hubungan dengan
penguasa
kafir,
hal
ini
berbeda-beda
mengikuti
kondisi. Bila kaum muslimin
memiliki
kekuatan
dan
mampu
memerangi
dan
menggulingkannya
dari
kekuasaan,
serta
bisa
mewujudkan
penguasa
muslim, maka wajib bagi
mereka melakukannya. Ini
adalah jihad fi sabilillah.”

yang masih ragu tentang perkara yang
buruk itu. Misalnya riba.

untuk menggulingkan
Taimiyyah mengatakan:

penguasa,

Ibnu




 
“Maka bagi kaum beriman di suatu negeri
kiblat

muharram 1436 h

9

dalam keadaan lemah,
atau pada saat itu ia
lemah,
hendaknya
ia
mengamalkan ayat sabar
dan memaafkan orang
yang menyakiti Allah dan
Rasul-Nya dari kalangan
ahli kitab dan musyrikin.”
(Ash-Sharim
Al-Maslul,
II/413).
Dari
uraian
para
ulama tersebut dapat
disimpulkan
bahwa
melawan penguasa kafir
adalah wajib. Namun
pelaksanaan
kewajiban
tersebut
berkaitan
dengan
kemampuan
sebagai syaratnya. Ketika
kaum muslimin belum
mampu, i’dad wajib bagi
ereka sampai memenuhi
syarat
tersebut.
Ibnu
Taimiyyah mengatakan:

  


     

“(Kaum muslimin) wajib
melakukan
persiapan
(i’dad)
jihad
dengan
menyiapkan
kekuatan
dan menambatkan kuda
ketika jihad tidak bisa
dilaksanakan
karena

lemah. Sebab, kewajiban
yang tidak bisa sempurna
dengan
sesuatu
maka
sesuatu itu menjadi wajib.”
(Al-Fatawa, 28/259).

Amar Makruf Nahi Mungkar terhadap Penguasa
Syaikh Dr. Ahmad bin Abdul
Karim Najib menjelaskan
dengan baik syarat dan
kondisi untuk mengingkari
kezaliman
penguasa
secara rahasia maupun
terang-terangan.
Kami
mengutipnya secara ringkas
berikut ini:
Pertama: Ada perbedaan
antara
mengingkari
kemungkaran dan keluar

dari
penguasa.
Sebab
tidak semua orang yang
mengingkari kemungkaran
yang dilakukan seorang
penguasa yang memiliki
otoritas
(baik
syar’i
maupun tidak) keluar dari
ketaatan hanya sekedar
mengingkari, apalagi keluar
dari manhaj, pemikiran
dan
mazhab,
seperti
digambarkan oleh sebagian
orang. Karena sepanjang
sejarah, umat tidak lepas
dari pengingkaran kepada
para penguasanya, baik
secara rahasia maupun
terang-terangan,
sesuai
kemampuan dan tuntutan
keadaan. Namun sejarah
kita yang panjang tidak

kiblat

muharram 1436 h

10

menunjukkan bahwa mereka dituduh telah
keluar dari ketaatan atau dituduh keluar
dari penguasa sama sekali. Apalagi dituduh
sebagai khawarij (dalam makna sekte)
hanya karena mengingkari kemungkaran
secara terang-terangan kepada penguasa.
Atau menyeru penguasa agar berbuat adil,
mengembalikan hak-hak yang dizalimi serta
menegakkan kebenaran.
Persoalan ini dikuatkan oleh Imam Muslim
dengan membuat judul Bab di kitab
Sahihnya: Bab wajibnya mengingkari para
penguasa dalam hal yang menyelisihi syariat
dan tidak memerangi mereka.
Ibnu Majah meriwayatkan dengan sanad
sahih dari Abu Said Al-Khudri, bahwa
Rasulullah bersabda, “Jihad yang paling
utama adalah perkataan yang adil di depan
penguasa yang jahat.”
Seandainya
mengingkari
kemungkaran
yang dilakukan penguasa yang jahat adalah
tindakan yang keliru, tentu melakukannya
tidak disebut sebagai jihad yang paling
utama di jalan Allah! Ya, tidak mungkin pula
orang yang terbunuh karena melakukan itu
berada dalam peringkat pemimpin syuhada.
Seperti disebutkan dalam hadits sahih dari
Nabi n “Pemimpin syuhada adalah Hamzah
bin Abdul Muthallib dan seorang yang
berdiri di depan penguasa yang jahat, lalu

Seorang dai
yang jujur harus
mengutamakan
ketaatan
kepada Allah
daripada
diam dan
tunduk kepada
penguasa.
kiblat

muharram 1436 h

11

ia men
nas
a ihatinya, lalu ia dibunuh.” (HR
Hakim)
kiim .
Kedu
Kedu
d a, me
emb
ba
attassi bentukk pengi
en
ngi
g ngkaran
deng
de
ngan
an tera
errang-te
t rangan atau rahasia
te
ad
da
allah
ah uru
rusa
sa
an ya
ya g diatu
yang
turr se
tu
s suai tuj
ujuan
j
syar
sy
aria
ar
ria
i t. Ada bat
ata
asan-b
bat
ata
asannyya da
dan
dan
perl
pe
rlu
u di
d pe
perhat
atiikan keb
e ai
aikan (ma
m slahat))
y ng
ya
g mungk
gkin
g
diirrai
raiih de
dengan
den
ngan
n mel
e akkukkan
a
iitu.
Demikian pula keburukan (mafsadat)
yang
kemungkinan
timbul
bila
ditinggalkan. Hal ini berbeda-beda
sesuai perkara yang diingkari, kondisi
orang yang mengingkari, orang yang
diingkari, dan cara mengingkari. Karena
itulah, kita melihat para tokoh salaf
mengingkari para penguasa kadangkadang secara terang-terangan dan
rahasia, tanpa menimbulkan kesempitan
atau membuat orang menggerutu
terhadap pendapatnya.
Salah satu contoh pengingkaran secara
rahasia dilakukan oleh Usamah bi Zaid
kepada Utsman bin Affan. Diriwayatkan
dari Usamah bin Zaid, bahwa dikatakan
kepadanya, “Mengapa engkau tidak
menemui laki-laki ini dan berbicara
kepadanya?”
Maksudnya
adalah
Utsman. Usamah menjawab, “Apakah
kalian
menyangka
bahwa
setiap
aku berbicara kepadanya, aku harus

memperdengarkan kepada kalian?! Aku
telah berbicara kepadanya ketika hanya
berdua dengannya saja, tanpa membuka
satu perkara yang aku tidak suka untuk
membukanya pertama kali.”
Qadhi Iyadh mengatakan, “Maksud
Usamah bahwa ia tidak membuka pintu
pengingkaran secara terang-terangan
kepada Imam karena takut akibatnya. Ia
memilih bersikap lembut dan menasihati
secara rahasia. Ini lebih mungkin diterima.”
(Fathul Bari, 13/57).
Ini adalah cara membebaskan diri
dari beban dosa bagi orang yang bisa
mendatangi pemimpin dan berdiri di
depannya untuk menyampaikan kebenaran
dan melarangnya dari tindakan yang keliru.
Maka sangat aneh, bagaimana orang bisa
lepas dari beban dosa bila mengingkari
kejahatan hanya dari balik dinding, tanpa
berupaya sekuat tenaga untuk mengatakan
yang
benar
dan
mengamalkannya
walaupun dari jauh?

kiblat

muharram 1436 h

12

Mengingkari perbuatan zalim penguasa
muslim secara rahasia adalah aturan dasar
yang berlaku, selama ini sudah cukup dan
merealisasikan kebenaran, dan mencegah
kemungkaran.
Adapun bila itu tidak mungkin dilakukan,
sedangkan kemungkaran bisa menyebar luas
maka hukum dasar tersebut tidak berlaku.
Peringatan secara terang-terangan harus
disampaikan dalam beberapa kondisi:
Pertama: Bila dunia telah menyaksikan
terjadinya kemungkaran maka harus ini
diingkari dan tidak boleh ditunda-tunda lagi.
Contohnya adalah pengingkaran Abu Sa’id
Al-Kudri a dan lainnya terhadap Marwan
bin Al-Hakam yang mendahulukan khutbah
Ied daripada shalatnya. Hal ini menyelisihi
sunnah yang sudah tetap dari Nabi n .
Muslim meriwayatkan dari Thariq bin Syihab
dan ini adalah hadits Abu Bakar, “Orang
pertama yang berkhutbah pada Hari Raya
sebelum shalat Ied didirikan ialah Marwan.
Lalu seorang lelaki berdiri dan berkata
kepadanya, “Shalat Hari Raya hendaklah
dilakukan sebelum membaca khut-bah.”
Marwan menjawab, “Sungguh, apa yang ada
dalam khutbah sudah banyak ditinggalkan.”
Kemudian Abu Said berkata, “Sungguh,
orang ini telah merealisasikan apa yang
pernah aku dengar dari Rasulullah n yang
bersabda, ‘Barang siapa di antara kalian
melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah
kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak
mampu, hendaklah mencegahnya dengan
lisan. Jika tidak mampu juga, hendaklah
ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah
selemah-lemah iman.’”

para pengusungnya, menghadapi
setiap
orang
yang
menyuruh
kepada kebaikan dan melarang
dari kemungkaran dengan pedang
dan kekuatan, maka sebaiknya
pengingkaran
kemungkaran
dilakukan dengan cara lain yang
lebih mudah, sekurang-kurangnya
mengingatkan
manusia
dari
kemungkaran yang didukung oleh
penguasa.
Ibnu
Majah
meriwayatkan
hadits dengan sanad hasan dari
Hudzaifah,
Rasulullah
bersabda,
“Tidak selayaknya seorang muslim
menghinakan dirinya.” Para sahabat
bertanya, “Bagaimana ia menghinakan
dirinya?”
Beliau
menjawab,

Utusan Khalifah Al-Walid
mendatangi Abdullah
bin Mas’ud dan berkata,
“Amir berkata kepadamu,
tinggalkanlah kata-kata yang
sering engkau ucapkan’.”
“Kalimat apa? Kalimat-kalimat
ini?”
Abdullah terus
mengulangnya, lalu utusan itu
berkata, “Perkataanmu: Setiap
hal yang baru adalah bid’ah.”
“Saya tidak akan
meninggalkannya.”
“Kalau begitu, baginda
memerintahkan agar engkau
pergi.”
“Ya, saya akan keluar.”
Maka Abdullah akhirnya pergi
ke Madinah.”

Kedua: bila kemungkinan besar penguasa
akan bertindak arogan kepada kebenaran dan
kiblat

muharram 1436 h

13

“Menantang rintangan yang ia sendiri bisikan itu tidak berpengaruh apa pun,
tidak mampu menghadapinya.”
serta kaum muslimin tidak terjaga dari
pengaruh untuk melakukannya.
Ketiga,
bila
kemungkaran
yang
wajib diingkari perkara yang sangat Tidak hanya diam, penguasa harus
berbahaya dan buruk bagi umat. Tidak diingatkan secara terang-terangan,
terbatas pada penguasa saja yang dijelaskan dampak buruk dan bahayanya
bermaksiat. Bila demikian, semua orang di depan publik. Agar jelas siapa yang
yang melakukannya harus diingatkan. hancur oleh penjelasan dan siapa yang
Demikian pula orang yang masih menjadi baik dengannya.
ragu tentang perkara yang buruk itu
meriwayatkan
bahwa
atau orang yang terkena dampaknya. Al-Hakim
Misalnya meniadakan jihad pada kondisi pemimpin Kuffah memanggil tukang
fardhu ain atas kaum muslimin seperti sihir untuk menunjukkan permainannya
situasi hari ini di Baitul Maqdis dan di hadapan publik. Hal ini terdengar
lingkungannya. Bila ternyata penguasa oleh Jundub. Maka ia datang dengan
menghentikan perang melawan musuh, menghunus pedang dan meletakkan
Ketika Jundub
tidak membela kehormatan, negeri di atas pundaknya.
dan tempat-tempat suci, maka ia telah melihat tukang sihir itu, ia memukulkan
melakukan kemungkaran besar yang pedangnya. Orang-orang pun menyingkir. Ia berkata, “Wahai manusia, jangan
wajib diingatkan.
takut, saya hanya menginginkan tukang
Contohnya mengingatkan penguasa sihir ini.” Maka Gubernur menarik dan
dari kemungkaran yang menyebar luas, menahannya. Hal ini terdengar juga
seperti muamalah dalam riba, perzinaan oleh Salman. Maka ia berkata, “Betapa
yang meluas dan kemaksiatan lainnya buruk apa yang dilakukan keduanya. Ia
yang umum terjadi. Kita tidak boleh (gubernur) tidak pantas melakukannya.
diam terhadap orang yang terlibat di Karena ia seorang imam yang dipercaya
dalamnya.
tetapi malah memanggil tukang sihir
agar bermain di depannya. Namun orang
Keburukan yang paling berbahaya ini juga tidak sebaiknya mengancam
adalah yang disebarluaskan melalui amirnya dengan pedang.”
media serta kriminalitas yangg merusak
akal, perilaku dan moralitas. Orang yang Ini adalah ijtihad Jundub karena
mampu harus mengingatkan penguasa fitnah telah muncul secara nyata di
yang melegalkan hal-hal seperti ini. depan publik. Salman tidak setuju
Rakyat harus diingatkan apa bahayanya. atas tindakannya mengancam dengan
Karena dien ini adalah nasihat bagi Allah, pedang. Namun ia tidak mengingkari
rasul-Nya, kaum muslimin, dan para tindakannya
dalam
mengingatkan
pemimpin mereka. Orang yang mampu penguasa (dan tidak pula menuduhnya
tidak akan lepas dari dosa hanya dengan sebagai khawarij).
bisik-bisik di telinga penguasa, namun
semua kejahatan itu tetap berjalan. Dan Keempat, bila seseorang mendengar

kiblat

muharram 1436 h

14

penguasa memutuskan perkara dengan
menyelisihi Kitab Allah dan Sunnah RasulNya, maka ia wajib mengingkarinya saat
itu pula. Bila ia mendegarnya dari orang
yang tepercaya, maka harus segera
dijelaskan kepada umat sebab tidak halal
mengakhirkan penjelasan saat dibutuhkan.
Terutama bila ia seorang yang berilmu dan
banyak pengikutnya; seorang panutan dan
teladan dalam ilmu.

Tidak berbeda jauh, adalah sebagian
penguasa hari ini yang mengubah kurikulum
pendidikan, yang bertujuan menjauhkan
dari hukum-hukum Islam, menyembunyikan
sebagian, atau mempersempit sebagian
hukum had dan aturannya, terutama terkait
wala wal bara’, i’dad dan isti’dad, dan keluar
di jalan Allah untuk berjihad.
Keenam:
jika
penguasa
melakukan
kejahatan atau kezaliman disebabkan
oleh fatwa yang diinterpretasikan bukan
semestinya dari ulama yang tsiqah, maka
orang yang tahu wajib mengingkari dan
menyelamatkan orang yang dizalimi.

Kelima,
bila
penguasa
melarang
penyampaian kebenaran atau upaya
menghidupkan sunah atau membasmi
bid’ah. Dalam hal ini, seorang dai yang
jujur harus mengutamakan ketaatan kepada
Allah daripada diam dan tunduk kepada Diriwayatkan oleh Abu Bakar Khallal dalam
Amar Makruf Nahi Mungkar dari Abu Bakar
penguasa.
Al-Marudzi, ia berkata, “Saya mendengar
Abdurrazzaq
meriwayatkan
dalam Abu Abdullah bin Syarik berkata, Saya
Mushannafnya dari Asy-Sya’bi, dari Qais mendengar Ahmad bin Yunus berkata,
bin Abd, yang berkata, “Aku sering bertemu “Saya shalat Isya’ akhir di Maqom dan
Abdullah bin Mas’ud selama satu tahun. ... Sufyan Ast-Tsauri berada di situ. Maka ada
Ketika kami sedang berada di tempatnya seorang wanita datang, lalu berhenti di
pada suatu malam, ia datang. Lalu depannya dan berkata, “Wahai Sufyan, apa
dikatakan kepadanya, ‘Ini adalah utusan yang telah engkau halalkan hingga anakku
Al-Walid.’ Abdullah berkata, ‘Matikan dipenjara karena dirimu?” .... Ahmad bin
lampunya.’ Utusan itu masuk lalu berkata, Yunus berkata, “Saya melihat Sufyan telah
‘Amir (penguasa) berkata kepadamu, berdiri ke Maqom dan ternyata Amir kaum
tinggalkanlah kata-kata yang sering engkau muslimin berada di depannya. Sufyan
ucapkan.’
berkata, “Mengapa engkau memenjarakan
orang karena diriku?” Sang penguasa
‘Kalimat apa?’
(menyadari kekeliruannya) dan menjawab,
‘Kalimat-kalimat ini?’
“Malam ini, pintu penjara terkunci.” “Saya
Abdullah terus mengulangnya, lalu utusan
tidak akan beranjak dari tempat ini sampai
itu berkata, ‘Perkataanmu: Setiap hal yang
engkau membebaskannya.” Maka amir itu
baru adalah bid’ah.’
mengutus seseorang agar mengambil kunci
‘Saya tidak akan meninggalkannya.’
dan membuka penjara. Anak perempuan
‘Kalau begitu, baginda memerintahkan itu pun dibebaskan dan diserahkan
agar engkau pergi.’
kepadanya.” [Agus Abdullah]
‘Ya, saya akan keluar.’
Maka Abdullah akhirnya pergi ke Madinah.”

kiblat

muharram 1436 h

15

Ingin Beriklan
di Majalah Kiblat?
Hubungi:
kiblatmedia@gmail.com
cp: 082134777734

kiblat

muharram 1436 h

16

Menyelamatkan
Bahtera
Tak Hanya dengan
“Empat Mata”
”Tiada seorang nabi pun yang diutus sebelumku, kecuali mempunyai
beberapa hawari (pengikut setia) dan sahabat dari umatnya yang selalu memegang sunnahnya dan melaksanakan perintahnya. Kemudian
setelah mereka muncul beberapa generasi pengganti, mereka mengatakan sesuatu yang tidak diamalkan dan mengamalkan apa yang
tidak diperintahkan. Maka barang siapa berjihad melawan mereka dengan tangannya ia beriman, barang siapa yang berjihad melawan mereka dengan lisannya ia beriman dan barang siapa berjihad melawan
mereka dengan hatinya ia beriman, dan setelah itu tidak ada iman lagi
walau sebesar biji sawi.”
kiblat

muharram 1436 h

17

M

uatan atau penumpang
berlebih bukan satu-satunya sebab kapal menjadi
karam. Jika ada seseorang
melubangi kapal, tentu saja bisa menyebabkan kapal itu tenggelam. Hal ini
manakala tidak seorang pun mencegah
perbuatannya. Begitu juga dengan sebuah negeri, tidak lantas karena banyaknya penduduk, negeri tersebut akan
hancur dan kelaparan. Namun, saat ada
seorang yang merusak kondisi negeri
tersebut – dengan hal apapun—tentu
saja dapat mengakibatkan kehancuran.

Tindakan pencegahan (baca: amar
ma’ruf nahi munkar) bukan hak dan
kewajiban kalangan tertentu. Tidak
terbatas pada satu golongan yang lebih
tinggi dibanding yang lebih rendah,
begitu pula sebaliknya. Setiap person
atau golongan – ketika ia mampu—
hendaknya
dapat
merealisasikan
tindakan pencegahan. Tentu saja, hal ini
dalam rangka mencapai kemaslahatan
bersama dan menghindari timbulnya
kemadharatan.
Ada hal-hal yang perlu diperhatikan,
berkaitan dengan dua pihak yang saling
terkait, yaitu si pencegah dan yang
dicegah. Dari sini perlu ada sebuah
batasan-batasan yang perlu dijaga.
Si pencegah bukan asal mencegah
dengan bertindak semaunya, di sisi lain
yang dicegah hendaknya sadar kalau
memang benar-benar bertindak salah.
Keduanya harus sama-sama jujur akan
tindakan yang diperbuatnya, karena
hal itu dapat mempengaruhi hasil dari
tindakan pencegahan.

Maka dari itu, tindakan pencegahan
sesegera mungkin harus dilaksanakan.
Jangan sampai nasi menjadi bubur,
saat negeri sudah hancur, barulah
penduduk
negeri
bangun
tidur.
Tindakan pencegahan ini di dalam Islam
terkait dengan sebuah ibadah, yaitu
amar ma’ruf nahi munkar. Maknanya
adalah menganjurkan kebaikan dan
melakukan perbaikan, serta mencegah
dari kemungkaran dan menahan
pengrusakan. Inilah yang seharusnya
Dalam satu sekup misalnya, terkait
dilakukan
demi
mempertahankan
sebuah negara atau wilayah kekuasaan,
keutuhan sebuah negeri.
subjek pencegahan bisa jadi bergantian,
begitu
pula
dengan
objeknya.

Siapa
Basyar Asad?

Terkadang penguasa negeri melakukan
tindak pencegahan terhadap rakyatnya,
sebaliknya rakyat pun juga berhak
melakukan tindak pencegahan terhadap
penguasa. Dalam hal ini posisi keduanya
sama, saling mengemban kewajiban dan
masing-masing memperoleh hak.
Penguasa yang melakukan tindakan
pencegahan terhadap rakyatnya, dapat
dipastikan ‘bebas’ menggunakan cara
apapun. Ini karena penguasa memiliki
kiblat

muharram 1436 h

18

kemampuan dan kuasa
untuk bertindak. Lantas
bagaimanakah dengan
rakyat – di mana
secara strata posisinya
di bawah dan lemah –
ketika mereka dapati
bahwa
penguasanya
melakukan hal yang
dapat
menyebabkan
“karamnya
kapal”.
Tindakan apa yang
seharusnya dilakukan?
Bolehkah
dengan
sembarang cara atau
dalam bentuk apapun?
Tentu
ini
menjadi
sebuah
masalah
tersendiri.
Rakyat
tentu
saja
memiliki
hak
dan
kewajiban sama. Ketika
penguasa melakukan
tindak kesalahan yang
dapat menghancurkan
sebuah negara, rakyat
harus
bergerak,
mencegah
sekuat
tenaga agar hal itu
tidak terjadi. Tindakan
tersebut
dapat
dilakukan dengan cara
apapun, asalkan sesuai
jalur syariat dan dapat
diharapkan
hasilnya.

Rakyat boleh melakukan
tindak pencegahan apa
saja, selama dimampui dan
sesuai kondisi.
Satu
contoh
tindakan
pencegahan
adalah
sebagaimana
paparan
hadits riwayat Imam Ahmad.

“Barang siapa yang
hendak
menasihati
penguasa
dengan
sebuah perkara, maka
janganlah ditampakkan,
tetapi ambillah tangannya lalu bawalah ke
tempat yang kosong.
Jika ia menerima, maka
itulah yang didapat, jika
tidak, maka engkau telah
melakukan kewajibanmu
kepadanya.” (HR. Ahmad
dalam Musnadnya 3/403
dan Ibnu Abi Ashim
dalam As Sunnah hal.
507 dan dishahihkan
Syaikh Al Albani dalam
Zhilalul Jannah: 1096)
Imam Ahmad menceritakan sebuah kejadian
ketika
meriwayatkan
hadits di atas. Secara
lengkap
disebutkan
sebagai berikut:


    
Di dalamnya menjelaskan
pola hubungan vertikal,
antara bawahan (rakyat)
dengan atasan (penguasa).
Rasulullah n bersabda:


   
    


              

          
    
        

      
   
    

    
kiblat

muharram 1436 h

19










      



    

Diriwayatkan oleh Ahmad
dan Ibnu Abi Ashim dan
Ibnu Adi melalui jalur
Shafwan bahwa ia berkata,
telah
menceritakan
kepadaku
Syuraih
bin
Ubaid Al Hadlrami bahwa ia
berkata, “Iyadl bin Ghanam
pernah
mencambuk
penduduk Darya ketika
sudah ditaklukkan. Maka
Hisyam bin Hakim pun
berkata keras kepadanya
sehingga Iyadh pun marah.

Kemudian ia pun menginap
beberapa malam. Hisyam
kemudian mendatanginya
dan memberi tahu alasan
perkataannya
tersebut.
Hisyam
pun
berkata
kepada Iyadh, ‘Tidakkah
engkau mendengar sabda

sabda
Rasulullah
saw
(Barang
siapa
yang
hendak
menasehati
penguasa dengan sebuah
perkara, maka janganlah
ditampakkan,
tetapi
ambillah tangannya lalu
bawalah ke tempat yang
kosong. Jika ia menerima,
maka
itulah
yang
didapat, jika tidak, maka
engkau telah melakukan
kewajibanmu kepadanya).
Dan bahwasanya engkau
wahai Hisyam, engkau
benar-benar
berani
karena
telah
berani
kepada penguasa Allah,
apakah
engkau
tidak
takut
jika
penguasa
itu membunuhmu, lalu
engkau menjadi orang
yang dibunuh penguasa
Allah ta’ala.’.”
Dalam hadits di atas, poin
penting yang dijadikan
satu landasan tindakan
pencegahan
adalah,
larangan untuk mencegah
tindakan buruk secara
terang-terangan.
Tidak
boleh seseorang menegur
tindakan yang salah dari
orang
yang
berkuasa
di
hadapan
khalayak.
Hendaknya hal tersebut
dilakukan secara diamdiam.

Nabi n (Sesungguhnya
manusia yang paling keras
adzabnya adalah mereka
yang paling keras adzabnya
kepada manusia di dunia).’
Iyadh bin Ghanam pun
berkata, ‘Wahai Hisyam,
kita telah mendengar apa
yang engkau dengar dan
melihat apa yang engkau
lihat,
tapi
bukankah Lantas, seperti itukah yang
engkau engkau mendengar seharusnya
dilakukan?

kiblat

muharram 1436 h

20

Apa
hanya
thariqah
seperti
inilah
yang
boleh dikerjakan untuk
menegur
pihak
yang
lebih berkuasa? Apakah
cara-cara lain tertutup,
sehingga kesalahan tetap
saja dibiarkan?
Hadits tersebut memang
terdapat
kontroversi
tentang derajat keshahihannya. Syaikh Al-Albani
memang
menyatakan
riwayat tersebut shahih –
berdasarkan metode ilmu
hadits
yang
dijadikan
acuan. Namun, jika dilihat
dari jalur-jalur periwayatan
dan sanadnya, hadits ini
lemah/dha’if.
Jalur sanad hadits di atas
ada beberapa koreksi,
yaitu tidak bertemunya
Syuraih dan Iyadl. Karena
tidak bertemu, otomatis
jalurnya terputus. Selain

itu, Ibnu Hajar menilai
Syuraih sebagai orang
yang banyak meriwayatkan
hadits mursal.

Al Miqdam. Riwayatnya
dari Abu Malik Al Asy’ari
adalah mursal. (Al Marasil,
Ibnu Abi Hatim: 1/90)

Muhammad
bin
Auf
perrnah ditanya: Apakah
Syuraih bin Ubaid pernah
mendengar
dari
Abu
Darda?
Ia
menjawab,
“Tidak, belum pernah.”
Dikatakan
kembali
kepadanya, “Dia pernah
mendengar dari salah
seorang sahabat Nabi?”
Dijawab,
“Aku
tidak
berpikir demikian. Dia
belum pernah mengatakan
‘(sami’tu)
aku
telah
mendengar padahal ia
tsiqah.’.” (Tahdzibul Kamal:
22/447)

Abu Umamah wafat tahun
86 H, Miqdam bin Ma’ad
dekat dengannya, yaitu 87
H. Lantas bagaimana bisa
ia berjumpa dengan Iyadh
yang wafat tahun 20 H?

Perkataan Syaikh Al Albani
dalam takhrijnya atas Kitab
Sunnah milik Ibnu Abi
‘Ashim –bahwa sanadnya
adalah shahih dan rijalnya
tsiqah—
adalah
tidak
benar. Para perawi yang
ada dalam Kitab Sunnah
Ibnu Abi ‘Ashim di antara
mereka ada Baqiyah bin
Al-Walid,
kata-katanya
Abu Hatim Ar Razi pernah memang diketahui tapi
memutuskan
bahwa sanadnya terputus dan
Syuraih
tidak
pernah tidak baik.
kenal Abu Umamah dan
Harits bin Al Harits serta Menurut Ibnu Abi ‘Ashim,
disebutkan bahwa ada
“perantara”
antara
Syuraih dan kejadian yang
dialami Iyadh. Ia berkata,
“Muhammad
bin
‘Auf
Menceritakan kepadaku,
Muhammad bin Ismail –
Ibnu Iyasy— telah bercerita
kepadaku, ayahku telah
bercerita kepadaku dari
Dhamdham bin Zur’ah
dari Syuraih bin Ubaid
yang berkata bahwa Jubair
bin Nufair mengatakan
bahwa Iyadl bin Ghanam

kiblat

muharram 1436 h

21

berkata kepada Hisyam
bin Hakim.......Al hadits
Sanad di atas adalah
lemah sekali. Terdapat
beberapa cacat pada
perawi di dalamnya.
1. Muhammad bin Ismail bin Iyasy.
Abu Dawud berkata
tentangnya, “Dia belum pernah melakukan
–periwayatan
tersebut—dari ayahnya”
Abu
Hatim
dalam Al Jarh wa AtTa’dil 7/190 berkata,
“Dia belum pernah
mendengar apapun
dari ayahnya.”

ia meriwayatkan dari
seorang penduduk
negerinya. Oleh karena itu, lepas sudah
ikatannya.
3. Dhamdham
bin
Zur’ah. Yahya bin
Ma’in berkata bahwa ia tsiqah. Ibnu
Hibban juga pernah menyebutnya
dalam kitabnya “Ats
Tsiqaat”. Ibnu Hajar
berkata, “Dia orang
yang jujur.”

Abu Hatim mengatakan
bahwa ia lemah. Dapat
dimaklumi bahwa Abu
Hatim termasuk keras
ketika
menghukumi
Dalam kitab Alberkaitan masalah rijal.
Ishabah (4/510) AlSebutan yang paling
Hafizh Ibnu Hajar
dekat –kebenarannya—
sempat
menyebut
Dhamdham
riwayatnya, kemudi- terhadap
an melemahkannya insya Allah bahwa ia
dengan pernyataan, orang yang jujur.
”Tapi
Muhammad
Maka
yang
tersisa
bin Ismail ini dha’if
adalah Muhammad bin
jiddan
(sangat
lemah).” Hal ini se- Ismail. Ia sungguh telah
bagaimana yang di- menyelisihi orang-orang
hukumi Abu Dawud yang tsiqah dalam hadits
terhadapnya,
“Dia ini dengan menyebut
seorang yang lemah Jubair bin Nufair antara
dan pemalsu hadits.” Syuraih dan kejadian
Iyadh. Ini adalah riwayat
2. Ismail bin Iyasy
Dia adalah seorang yang munkar lagi cacat
yang lemah ketika –tidak ada perbedaan
periwayatan
meriwayatkan dari teknik
penduduk negerin- antara ahli mushtalah
ya. Padahal di sini, hadits terdahulu dengan

yang sekarang.
Selain
dua
jalur
periwayatan
di
atas,
ada satu jalur lagi
dari Fudhail Fadhalah.
Namun, sanad ini juga
nilainya lemah. Ibnu
Hajar berkata tentang
Fudhail bin Fadhalah,
“Ia bisa diterima, bila
mutabi’ (bersekutu atau
ada kesesuaian dengan
periwayatan dari perawi
lain yang lebih populer
dalam
meriwayatkan),
bila tidak maka statusnya
layyin (perawi yang cacat
tetapi tidak gugur dari
tahap keadilan [‘adalah]),
tetapi telah memursalkan
sesuatu.
Ibnu Aidz adalah AtsTsimali.
Imam
Adz
Dzahabi
berkata
tentang dirinya, “AlAzdi
mendhaifkannya
dan namun An-Nasa’i
menguatkannya.
Ia
banyak
meriwayatkan
hadits
mursal.
Ibnu
Hatim
juga
berkata
bahwa hadits-haditsnya
mursal.
Imam
Adz
Dzahabi
bergantung pada perkataan ini dengan mengatakan,
“Sebagaimana
kembalinya orang-orang
Syam,
sesungguhnya
mereka
keras
dalam

kiblat

muharram 1436 h

22

masalah sanad di mana satu dengan lainnya. cenderung menilai bahwa
Imam
Az-Zuhri
dan Padahal ketiganya adalah riwayat tambahan ini
sama-sama dhaif.
lainnya tinggal di sana.”
syadz karena menyelisihi
riwayat yang shahih dari
Menurut Abu Qatadah Hal lain yang menjadi jalur Urwah yang ada
Al-Filasthini,
Ibnu saksi akan kedhaifan dalam Shahih Muslim.
Aidz di sini tidak jelas hadits ini adalah sanadnya Dalam
halaman
164
pendengarannya.
Oleh menyelisihi sanad shahih dikatakan, (cetakan Darul
diriwayatkan Aatsaar, Shan’a`): (sumber:
karena itu, sanad ini yang
Imam
Muslim. h t t p : / / k a w a l i t a r e n g .
menjadi dha’if karena oleh
Yaitu bahwa Nabi saw blogspot.com/2013/11/
terdapat 2 cacat:
1. Terputusnya Fudhail bersabda (Sesungguhnya
kelemahan-hadits-iyadhdan Ibnu Aidz
Allah mengadzab orang- bin-ghanm.html)
2. Terputusnya Ibnu Aidz orang yang mengadzab
dan Jubair bin Nufair
ketika di dunia), tanpa Selain
karena
jalur
tambahan ini.
periwayatan
yang
Dari paparan di atas,
bermasalah,
dari
sisi
Imam
Muslim
dapat diketahui bahwa
lafadz hadits tersebut
hadits tersebut dhaif meriwayatkan hadits ini dinilai
munkar.
Hal
karena sanad-sanadnya dalam shahihnya di Kitab tersebut dapat dilihat
telah disepakati akan Al birru wash Shillah wal dari keterangan di bawah
kedhaifannya.
Dalam Adab melalui jalur Hisyam ini:
bentuk seperti ini, salah bin hakim bin Hizam,
Iyad
bin
satu (sanad) tidak bisa bahwa ia berkata, “Telah Perkataan
menjadi
syahid
bagi lewat di Syam di antara Ghanam kepada Hisyam
manusia dan mereka (Apakah engkau tidak
lainnya.
berdiri di bawah terik takut kalau penguasa itu
Hal
ini
menegaskan matahari,
dituangkan membunuhmu, sehingga
kesalahan
Syaikh
Al- di atas kepala-kepala engkau menjadi orang
Albani saat memberikan mereka minyak. Maka yang dibunuh penguasa
ta’liq atas hadits itu, yang ia berkata, ‘Apa ini?’ Allah tabaraka wa ta’ala).
mana ia mengatakan Dikatakan,
‘Mereka Perkataan dari Iyadh ini
tentang sanad kedua disiksa karena tidak mau salah dilihat dari dua
untuk
menguatkan membayar kharaj.’ Maka sisi
–selaras
dengan
sanad pertama. Untuk itu ia berkata: Adapun aku kesalahan atas kedhaifan
nilainya dhaif. Dia juga mendengar
Rasulullah hadits ini sebagaimana
berusaha
menguatkan saw ............ Al Hadits
telah dijelaskan:
dengan jalur sebelumnya
1. P e r k a t a a n n y a
dan jalur lain setelahnya. Dari sinilah Syaikh Muqbil
(Maka engkau akan
bin
Hadi
Al-Wadi’i
dalam
Yaitu ketika menjadikan
menjadi
orang
kitabnya
Tuhfatul
Mujib
yang dibunuh oleh
ketiga sanad ini berbeda

kiblat

muharram 1436 h

23

penguasa Allah). Ini adalah menyelisihi hadits-hadits yang menunjukkan fadhilah-fadhilah ketika dibunuh oleh penguasa lantaran
menasehatinya.
2. Perkataan (penguasa Allah) adalah lafadz yang
tidak shahih bahwa hadits ini berasal dari Rasulullah. Setiap apa yang dishahihkan Syaikh
Albani atas hal ini maka nilainya adalah tidak
shahih alias dhaif
Terlepas dari itu semua,
seandainya hadits ini
pada akhirnya bernilai
lemah, dalam hal-hal
kemaslahatan
hadits
tersebut tetap dapat
dijadikan
acuan.
Minimal menjadi satu
metode
dalam
hal
pencegahan.
Dalam upaya
pencegahan, apa
yang menjadi poin
dalam hadits di
atas sebenarnya
bukan satu-satunya
cara. Upaya diamdiam memang bisa
diterapkan dalam
satu kondisi. Namun,
upaya tersebut tidak
lantas menutup

Salah satu upaca pemakaman
tentara Hizbullah Lebanon yang
tewas di Suriah

Abu Syahid Komandan Brigade Abu
Fadl Al-Abbas Irak di Suriah, memberi
hormat kepada foto Basyar Asad sebelum
bertempur [foto: Abna.co]

jalan-jalan pencegahan
yang lain, semisal secara
terang-terangan. Terlebih
ketika keburukan tersebut
membahayakan dan
berkaitan dengan hajat
hidup orang banyak.
Tindakan buruk tetap harus
dikoreksi baik secara diamdiam ataupun terangterangan, tentu saja harus
sesuai kondisi dan dengan
cara yang bijak, bukan
dengan mengungkap aib

dan kemaksiatan pribadi
yang sudah ada upaya untuk
ditutupi.
Upaya pencegahan secara
terang-terangan tersebut
bukan lantas tanpa
landasan. Generasi salaf
dalam beberapa kasus
pernah melakukan hal
itu. Di antaranya adalah
Marwan (Amir Madinah)
ketika itu yang dikoreksi
oleh Abu Said Al-Khudri
a secara terang-terangan
saat shalat ‘Ied, seperti
disebutkan sebelumnya.
Said bin Musayyaf bahkan
sering dicambuki oleh
para penguasa agar
ia berhenti mengkritik
mereka. Dalam suatu
kisah, Penguasa zamannya
berkata, “Apakah Said jera
sejak kami cambuk?” Ada
yang menjawab, “Demi
Allah ia justru lebih keras
berbicara sejak engkau
mencambuknya. Cukuplah
menghukum orang itu.”
(Ath