Download Buletin Kiblat Edisi 2 Kiblat

Edisi 2, Dzul Hijjah 1434 | www.kiblat.net |

Ustadz Abu Bakar Baasyir Titip Pesan
untuk Mujahidin Suriah

H

idup meringkuk dalam
penjara tidak membuat
seorang pejuang tak acuh
terhadap dunia luar. Begitu pula yang
dialami oleh Ustadz Abu Bakar
Baasyir.
Dalam pertemuan dengan keluarga
dan Tim Pengacara Muslim yang
diikuti oleh wartawan Kiblat.net pada
Kamis, 10 Oktober 2013 siang ini,
Ustadz ABB menitipkan pesan untuk
mujahidin Suriah.
“Saya berharap mereka terus
istiqomah berjihad fi sabilillah. Jangan

tergoda oleh tujuan-tujuan duniawi,”
tegas ulama kharismatik berusia 75
tahun itu.
Pernyataan tersebut juga dibenarkan
oleh Abdurrahim Baasyir, putra
Ustadz Abu Bakar Baasyir. “Benar,

Ustadz sempat menitipkan pesan
tersebut untuk mujahidin Suriah
sebelum kita pamitan,” ujarnya
kepada Kiblat.net.
Pesan dan nasihat adalah hal rutin
yang selalu beliau sampaikan kepada
rombongan penjenguknya. Di luar itu
semua, Ustadz Abu Bakar Baasyir
sangat perhatian terhadap
perkembangan jihad di bumi Syam
tersebut.
Sebelumnya, Ustadz yang dijerat
pasal anti-terorisme gara-gara

mendukung program I’dadul
quwwah di Aceh tersebut
mengeluarkan statemen larangan
shalat di belakang ulama atau siapa
pun yang tidak tegas terhadap
kekafiran Basyar Asad, presiden
Suriah saat ini. [hamdan]

Hukum Menjual Kulit Hewan Kurban
Mayoritas ulama tidak memperbolehkan menjual
sesuatu darinya baik berupa kulit, tanduk, bulu
atau yang lain.[1] Hal ini berdasarkan hadist Ali
Radiyallahu ‘anhu.

Imam Syafi’i ketika ditanya mengapa Anda
memakruhkan penjualan kulit dan daging sedang
Anda tidak memakruhkan untuk dimakan dan
disimpan? Beliau menjawab, “Berkurban adalah
ibadah yang sudah ditetapakan Allah terhadap
binatang. Sedang asal dari apa yang dikeluarkan

untuk Allah tidak bisa kembali dimiliki kecuali
atas izin Allah atau Rasul-Nya.”[2]

Ali beliau berkata: Rasulullah Shallalahu ‘alaihi
wasallam memerintahkan aku untuk
menyelesaikan prosesi kurban, beliau
memerintah untuk menyedekahkan dari daging,
kulit dan punuknya serta tidak memberi sesuatu
apapun dari binatang kurban kepada tukang
sembelih. Ali berkata : kami yang memberi upah
tukang jagal” ( HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu
Majah, dan Syaikhani ).

Adapun riwayat yang menyebutkan menjual
daging kurban sama dengan tidak berkurban
tidaklah benar karena dalam sanadnya terdapat
perawi lemah yang bernama Abdullah Bin
Ayyas.[3] Hadist yang dimaksud berbunyi :

Menurut Imam Ahmad dan Abu Yusuf, menjual

kulit tidak boleh, bahkan menurut Imam Malik
dan Syafi’i haram hukumnya.

“Dari Abu Hurairah Radliyallahu Anhu Nabi saw
bersabda, “Barang siapa yang menjual kulit
binatang kurban maka bagi tidak ada kurban

baginya” (HR. Al Hakim)
Menurut pendapat Abu Hanifah, Ishaq, Ibnu
Umar, Al Hasan diperbolehkan menjual kulit
dengan catatan hasilnya dimanfaatkan
sebagaimana daging kurban atau disedekahkan
namun tidak boleh dimanfaatkan untuk orang
yang berkurban atau keluarganya.[4] Akan tetapi
pendapat ini menurut pengarang AlMajmu’
adalah salah dan menyelisihi sunnah.[5]
_________________
[1] Al Majmu’: 8/382, Al As’ilah Wal Ajwibah Al
Fiqhiyah 3/20, AL Kafi fi Fiqhi Ahmad Bin Hambal
: 1/474, Al Mughni : 13/378, Ibanatul Ahkam :

4/228, Al Aziz Syarhul Wajiz : 12/113, Majmu’
Fatawa : 26/309, Al Kafi : 1/474, Shohih Muslim :
13/112, Fathul Bari : 11/141, Manarus Sabil :
Oktober 2013

1/355, Kitabul Al Ifshah ‘Ala Masailil Idhah : 335
[2] Al Umm: 2/224
[3] Ad Dinul Khalis 5/38
[4] Ibid 5/39
[5] Al Majmu Syarhul Muhadzab 8/420

Hadis-Hadis Amal Setara Haji dan Umrah;
yang Dhaif dan Palsu
Di edisi sebelumnya, kita telah mengulas hadis-hadis shahih terkait amal
yang pahalanya setara haji dan umrah. Pada edisi ini, kita akan mempelajari
hadis-hadis terkait tetapi tidak shahih.

 “Siapa yang menziarahi kubur kedua orang tuanya atau salah satunya

 “Shalat wajib di masjid jami' (pahalanya) menyamai kewajiban haji yang


 “Siapa yang shalat Dhuha dan istiqamah menjaganya, maka itu bagaikan

mabrur, sedangkan shalat sunah di dalamnya bagaikan haji yang
diterima (oleh Allah). Shalat di masjid jami' lebih utama daripada masjid
lainnya sebanyak lima ratus shalat.” (Dhaif Jiddan; Dhaif Al-Jami', 3568).
 “Tiada seorang muslim yang berwudhu dengan baik, lalu shalat wajib

kecuali mendapatkan pahala seperti pahala haji. Bila shalat sunnah ia
mendapatkan pahala umrah.” (Dhaif Jiddan; Tabrani di Al-Kabir).
 “Dua rakaat shalat Dhuha di sisi Allah menyamai haji dan umrah yang

diterima.” (Dhaif; Dhaif Al-Jami', 3132).
 Siapa yang keluar (rumah) dalam keadaan suci, tiada yang diinginkan

kecuali ke masjidku (Nabawi) ini untuk shalat di dalamnya maka itu
menyamai haji.” [Dhaif Jiddan; Dhaif At-Targhib, 762).
 “Siapa yang berziarah ke kubur ibunya maka itu bagaikan umrah.” [Tidak

ada asal-usulnya; Al-Majruhin).

 “Umrah pada bulan Ramadhan bagaikan umrah bersamaku (Rasulullah

saw).” (Dhaif; Al-Kamil fi Adh-Dhuafa').
 Siapa yang beriktikaf sepuluh hari pada bulan Ramadhan maka itu

bagaikan dua kali haji dan umrah.” [Maudhu/Palsu; Dhaif Al-Jami', 5451).
 “Siapa yang shalat Subuh para hari Jumat lalu menauhidkan Alah di

tempat duduknya hingga matahari terbit, Allah mengampuni dosanya
yang telah lalu dan Allah memberikan pahala haji dan umrah....” [Munkar
Al-Kamil fi Adh-Dhuafa', I/549).
 “Siapa yang menyapu masjid atau menyemprot dengan air maka itu

bagaikan haji 400 kali, berperang 400 kali, puasa 400 hari, dan
memerdekakan 400 budak.” [Munkar sekali; Mizanul I'tidal, II/206).
 “Sungguh, berperang di jalan Allah lebih baik daripada haji empat puluh

kali.” (Dhaif; Dhaif Al-Jami', 4697).
 “Sungguh, safar di jalan Allah lebih baik daripada haji lima puluh kali.”



pada hari Jumat maka itu bagaikan ibadah haji.” (Maudhu; Takhrij
Ahadits Kitab Akhbar Ashbahan).
haji dan umrah.” (Dhaif; Tarikh Wasith).
 “Tiada seorang pun yang memandang wajah kedua orang tuanya

dengan pandangan sayang kecuali ditulis baginya pahala haji yang
maqbul mabrur....” (Maudhu/Palsu; As-Silsilah Adh-Dhaifah, 207).
 “Siapa yang berziarah ke kubur ahli baitku (Nabi saw) maka Allah menulis

pahala tujuh puluh kali haji baginya.” (Batil, tidak adalah asal-usulnya;
Fatawa Nur Alad Darbi).
 “Hari yang paling utama ialah hari Arafah. Bila hari itu bertepatan dengan

hari Jumat maka ia lebih utama daripada tujuh puluh kali haji selain hari
Jumat.” (Batil, tidak ada asal-usulnya; As-Silsilah Adh-Dhaifah, 207).
 “Sesaat di jalan Allah lebih baik daripada tujuh puluh kali haji.” (Dhaif; As-

Silsilah Adh-Dhaifah, 3682).
 “Siapa yang membaca surah Al-Hajj diberikan kepadanya pahala haji dan


umrah, yang dilakukan oleh sejumlah orang yang haji dan umrah yang
telah lalu dan yang akan datang.” (Maudhu/Palsu; As-Suraj Al-Munir).
 “Siapa yang shalat Isya' berjamaah maka baginya pahala orang yang haji

dan umrah. Siapa yang shalat 'atsmah (sepertiga malam pertama)
berjamaah maka pahalanya sama dengan shalat malam.” (Dhaif; AlKamil fi Adh-Dhuafa').
Itulah beberapa hadis yang menjelaskan amal berpahala setara haji dan
umrah, namun tidak shahih. Masih ada beberapa hadis lain dalam masalah
ini.
Perlu diperhatikan, jumhur ulama hadis dan peneliti hadis, termasuk Imam
Nawawi dan Ibnu Hajar, hadis-hadis dhaif bisa diamalkan dalam fadhilah
amal saja, dan tidak dipakai untuk menetapkan persoalan hukum, halal
haram, dan akidah. Kebolehan mengamalkan itu pun ada beberapa syarat,
yaitu:

(Dhaif; Dhaif Al-Jami', 4676).

 Tidak dhaif sekali.


“Siapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya semuslim, ia
mendapatkan pahala seperti haji dan umrah.” (Maudhu/Palsu; Dhaif AlJami', 5791).

 Bersifat wajar (ada sumbernya) dan bukan reka-rekaan yang tidak ada

 “Siapa yang shalat Subuh bermajaah, maka ia bagaikan haji lima puluh

kali bersama Nabi Adam.” (Maudhu/Palsu; Lisanul Mizan).
 “Siapa yang shalat dua rakaat pada malam Idul Adha dan mengingat apa

yang ia baca di dua rakaat itu ... maka setiap huruf dan ayat yang
dibacanya ditulis untuknya pahala haji dan umrah. Ia juga bagai
membebaskan 60 budak.” (Maudhu/Palsu; Tartib Al-Maudu'at, 164).
 “Siapa yang wafat dalam perjalanan haji, ditulis baginya haji mabrur

setiap tahun.” (Tidak memiliki sanad; Risalah Lathifah fi Ahadits
Mutafariqah Dhaifah, 28).
 “Haji untuk orang yang sudah mati ada tiga pahala: pahala haji untuk

yang dihajikan, pahala haji bagi yang melakukan itu sendiri, dan pahala

haji bagi yang berwasiat.” (Dhaif; Dhaif At-Targhib, 832).
Oktober 2013

asal-usulnya.
 Tidak meyakini pahala mutlak atau merupakan sunah ketika

mengamalkannya.
 Hanya dalam fadhilah amal saja
 Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih shahih.
 Tidak memopulerkannya, sehingga orang awam akan mengira itu suatu

sunah yang tetap dan shahih.
Perlu dicatat bahwa shahih dan dhaif dalam bahasan ini hanya dalam kaitan
amal setara pahala haji dan umrah. Perhatikanlah bahwa beberapa amal
merupakan amal utama yang sudah jelas hukumnya, misalnya jihad, shalat
Subuh berjamah, dan memenuhi kebutuhan sesama muslim. Ini jelas amal
yang sudah jelas sunahnya.[]