Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Feminis dalam Buku 13 Perempuan Karya Yonathan Rahardjo T1 362008078 BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Perbedaan laki-laki dan perempuan sesungguhnya tidak menjadi
persoalan sepanjang tidak mengalami ketidakadilan gender. Namun, fakta
menunjukkan sebaliknya. Kenyataan tentang ketidakadilan gender itulah yang
kemudian melahirkan gerakan feminisme.
Feminisme adalah gerakan kaum perempuan untuk menolak segala
sesuatu yang dimarjinalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh
kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan
sosial lainnya. 1 Feminisme adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut
emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Gerakan ini lahir dari
sebuah ide yang diantaranya berupaya melakukan pembongkaran terhadap
ideologi penindasan atas nama gender, pencarian akar ketertindasan perempuan,
sampai upaya penciptaan pembebasan perempuan.
Di Indonesia, gerakan perempuan baru dimulai pada permulaan abad ke20, tatkala perempuan-perempuan muda terlibat dalam perjuangan bersenjata
melawan penjajah. Awalnya sebatas membantu suami, tetapi kemudian sungguhsungguh menjadi pemimpin pasukannya. Cut Nyak Dhien dan Cut Meutia, Martha
Christina Tiahahu, Emmy Saelan yang mendampingi Monginsidi, Roro Gusik
bersama Surapati, Nyi Ageng Serang adalah contoh pejuang perempuan ketika itu.
Namun perjuangan mereka belum dilandasi gagasan kesetaraan gender dan sama
sekali belum menjadi kesadaran.
2
1
dalam Pemilia, Kartika. Kritik Terhadap Konstruksi Feminisme dalam Novel ‘Perempuan
Berkalung Sorban’ (On line)
http://inpasonline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=148:kritik-terhadapkonstruksi-feminisme-dalam-novel-perempuan-berkalung-sorban&catid=32:gender&Itemid=100
diunduh pada 22 November 2011pukul 13.15 WIB
2
Annelies. Sejarah Gerakan Perempuan Indonesia Sebelum Kemerdekaan (pdf) diunduh pada 2
Desember 2011 pukul 13.00 WIB
1
Perkembangan kedua, pada waktu dikembangkannya Politik Etis
Belanda. Gerakan perempuan Indonesia waktu itu masih bersifat non politis, baru
dalam batas kedaerahan, juga untuk mempertinggi kedudukan sosial. Tujuan
gerakan pada umumnya untuk mengangkat kaum perempuan dari keterbelakangan
pendidikan, dan membebaskan kaumnya dari kungkungan tradisi yang menindas
terutama
masalah perkawinan dan perceraian.
Pejuang-pejuang
tersebut
diantaranya Kartini, Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika dan Nyai Achmad
Dahlan (Firdausie, 2007:7-8).
Kongres Perempuan Pertama pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta
menandai gerakan feminis di Indonesia sebelum masa kemerdekaan. Penggagas
kongres tersebut adalah Nyi Hadjar Dewantoro, RA Soekonto, dan Soejatin.
Kongres perempuan ini merupakan wadah bagi para perempuan membangun
kesadaran tentang persamaan hak mereka dengan kaum lelaki. Tidak bisa
dipungkiri, pengaruh gerakan feminis barat menjadi latar belakang adanya
kongres ini.
Di masa kemerdekaan dan masa Orde Lama, gerakan perempuan
terbilang cukup dinamis. Namun kondisi semacam ini mulai tumbang sejak Orde
Baru berkuasa. Pemerintahan Orba diidentikkan dengan peraturan yang otoriter,
yang tersentralisasi dari militer dan tidak dikutsertakannya partisipasi efektif
partai-partai politik dalam proses pembuatan keputusan. Rezim ORBA
mengkonstruksikan sebuah ideologi gender yang berlandas pada ‘ibuisme’,
sebuah paham yang melihat kegiatan ekonomi perempuan sebagai bagian dari
peranannya sebagai ibu dan tidak adanya partisipasi perempuan dalam politik.
Politik gender ini termanifestasikan dalam dokumen-dokumen negara, seperti
GBHN, UU Perkawinan No. 1/1974 dan Panca Dharma Wanita.
Dalam usaha untuk memperkuat politik gender tersebut, pemerintah Orba
merevitalisasi dan mengelompokkan organisasi-organisasi perempuan yang
berafiliasi dengan departemen pemerintah pada tahun 1974. Organisasi-organisasi
ini (Dharma Wanita, Dharma Pertiwi dan PKK) membantu pemerintah
menyebarluaskan ideologi gender ala ORBA. Di bawah rezim otoriter, implikasi
politik gender ini ternyata sangat jauh, tidak sekedar mendomestikasi perempuan,
2
pemisahan dan depolitisasi perempuan, tetapi juga telah menggunakan tubuh
perempuan sebagai instrumen-instrumen untuk tujuan ekonomi politik. Ini
nampak pada program KB yang dipaksakan, karena biayanya yang tinggi
sehingga memberatkan perempuan kalangan bawah di pedesaan.
Bila sistem pemerintahan yang semakin demokratis dianggap paling
kondusif bagi pemberdayaan perempuan, maka di era reformasi ini pemberdayaan
perempuan
di
Indonesia
semakin
menemukan
bentuknya.
Di
bidang
pemerintahan, secara kualitatif, peran perempuan semakin diperhitungkan juga di
pos-pos strategis, seperti yang tampak pada komposisi kabinet kita sekarang. Ini
dapat digunakan untuk menjustifikasi, bahwa mungkin saja kualitas perempuan
Indonesia semakin baik. 3 Hanya saja harus tetap diakui bahwa angka-angka
peranan perempuan di sektor strategis tersebut tidak
secara otomatis
menggambarkan kondisi perempuan di seluruh tanah air. Bukti nyata adalah
angka kekerasan terhadap perempuan masih sangat tinggi.
Gerakan perempuan-perempuan Indonesia ke ranah publik, tidak hanya di
bidang pemerintahan. Di bidang sastra, muncul fenomena pemberontakan
perempuan. Karya sastra merupakan bentuk komunikasi antara sastrawan dan
pembacanya. Apa yang ditulis sastrawan di dalam karya sastranya adalah apa
yang ingin diungkapkan sastrawan kepada pembacanya. Selanjutnya, sastrawan
dalam menyampaikan idenya tidak bisa dipisahkan dari latar belakangnya dan
lingkungannya. Sastra menghasilkan representasi mengenai perbedaan gender
yang memberi sumbangan pada pandangan sosial bahwa laki-laki dan perempuan
memiliki nilai yang berbeda. (Humm, dalam Jackson, Stevi dan Jacki Jones:
2009:332).
Perempuan dalam karya satra Indonesia, sering muncul sebagai simbol
kehalusan dan sesuatu yang bergerak lamban. Sebagaimana digambarkan oleh
Herliany yang dikutip oleh Sobur (2001:37), perempuan begitu dekat dengan
idiom-idiom seperti keterpurukan, ketertindasan bahkan pada ‘konsep’ yang
3
Bafagih, Hikmah.Sejarah Gerakan Perempuan. (on line)
http://www.averroes.or.id/thought/sejarah-gerakan-perempuan.html diunduh pada 2 Desember
2011 pukul 13.15 WIB
3
diterima dalam kultur masyarakat kita bahwa mereka adalah objek dengan
subjeknya adalah kaum laki-laki. Namun, dalam dekade terakhir terjadi banyak
perubahan dalam dunia sastra di Indonesia. Yaitu lahirnya para penulis perempuan
dengan karya-karya yang menawarkan hal-hal baru, laris dipasaran dan
emansipatoris. Sederetan nama penulis perempuan seperti Ayu Utami, Fira
Basuki, Djenar Maesa Ayu dan Dewi Lestari, mengembangkan taktik penulisan
tersendiri untuk menciptakan sosok pribadi yang mereka inginkan. Para penulis
ini mengangkat isu-isu gender, dominasi, dan kekuasaan. Mereka berusaha
mendobrak tatanan dalam struktur tulisan novel yang ada selama ini seperti cara
penuturannya menggunakan bahasa yang lebih lugas dan bebas.
Munculnya novelis-novelis perempuan dalam sastra Indonesia modern
antara lain menunjukkan kerinduan dan semangat perempuan untuk menggarap
dan mengkritisi realitas dari sudut pandang mereka. Ada muatan filosofi yang
ingin diungkapkan lewat karya imajinatif mereka. 4
Di tengah gencarnya gerakan feminis yang dilakukan oleh para penulis
perempuan, tampil Yonathan Rahardjo menyajikan sebuah kumpulan cerita
pendek mengenai perempuan, berjudul ’13 Perempuan’. Kisah mengenai
perempuan yang diangkat oleh Yonathan Rahardjo seperti mengulang dekade
Pramudya Ananta Toer. Pramudya sendiri dalam karyanya banyak membingkai
para perempuan menjadi perkasa akibat ketertindasan dan menjadikannya sebuah
potret abadi agar terus dapat dimaknai para penerusnya. Para perempuan perkasa
itu muncul sebagai Nyi Ontosoroh dalam Bumi Manusia, Midah dalam Midah Si
Manis Bergigi Emas, atau si produk feodal Ken Dedes dan produk masyarakat
Ken Umang dalam Arok Dedes. Pramudya hampir selalu menempatkan tokoh
perempuan dengan kebebasan berpikirnya dan bukan hanya sekadar pemanis atau
sosok yang membuat cerita tampak lebih bergairah saja. Meskipun tokoh-tokoh
4
Engky,Prass. Perempuan dan Kebebasan memaknai hidup:mengais hikmah filosofis di balik
novel Genesis (on line) http://ratihkumala.com/blog/perempuan-dan-kebebasan-memaknai-hidupmengais-hikmah-filosofis-di-balik-novel-genesis-110.php?nomobile diunduh pada 20 November
2011 pukul 16.10 WIB
4
perempuan dalam buku-buku karya Pramudya jarang ada yang menang atau ratarata kalah, tetapi menampilkan proses perlawanan yang luar biasa. Bahkan
sejumlah buku Pramudya yang maskulin, misalnya Perburuan (yang tiga
tokohnya adalah laki-laki), justru pada akhir cerita sengaja meruntuhkan
maskulinitas. Ini bukti keberpihakan dan kuatnya sisi feminin Pramudya dengan
kerap menggunakan perempuan sebagai sudut pandang untuk menyampaikan
pesannya.
Jika tokoh-tokoh perempuan dalam buku-buku karya Pramudya
menampilkan proses perlawanan yang luar biasa – meskipun jarang ada yang
menang – tidak demikian dengan tokoh perempuan dalam buku 13 Perempuan
karya Yonathan Rahardjo. Tokoh-tokoh dalam kumpulan cerpen itu menyiratkan
berbagai kehalusan perasaan seorang perempuan namun sifat kepahlawanan lelaki
memang masih kuat pada beberapa tulisan di dalamnya. Hal inilah yang perlu
mendapatkan perhatian, karena sebenarnya 13 Perempuan bukanlah karya
pertama Yonathan Rahardjo. Sejak tahun 1983, puisi, cerpen, esai, opini dan
tulisan jurnalistiknya telah diterbitkan di berbagai buku dan media massa. Sampai
kini, ia telah menerbitkan tiga buku. Pada tahun 2008, terbit novelnya yang
berjudul Lanang—berkisah tentang dunia kedokteran khususnya kesehatan
hewan—berhasil menang dalam Lomba Novel Dewan Kesenian Jakarta. Pada
Mei 2011, terbit Taman Api berkisah tentang kehidupan waria dan homoseksual.
Pada Juli di tahun yang sama, terbit 13 Perempuan yang menyuguhkan cerita 13
perempuan dengan masalah dan perjuangannya. Apakah dengan menciptakan
suatu karya yang menyiratkan perjuangan seorang perempuan, lantas Yonathan
Rahardjo bisa dikatakan sebagai male feminist atau pro feminist?
Istilah male feminist di Indonesia masih tergolong baru. Menurut Kris
Budiman (2008), laki-laki feminis menolak segala bentuk kekerasan terhadap
perempuan, termasuk pemerkosaan, pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah
tangga (baik secara fisik maupun psikologis), menentang pencitraan negatif
perempuan baik di dalam media maupun budaya. Batasan laki-laki feminis ini
adalah orang yang berjenis kelamin laki-laki namun meyakini nilai-nilai
feminisme pada umumnya. Pada titik ini, definisi feminis akhirnya tidak merujuk
5
pada jenis kelamin, akan tetapi lebih kepada pengikatan terhadap nilai-nilai
feminisme.
Dengan mengacu pada pengertian tersebut, apakah Yonathan Rahardjo,
penulis kumpulan cerpen 13 Perempuan itu bisa digolongkan sebagai seorang
feminist (male feminist). Dengan kata lain, apakah penokohan perempuan yang
disajikan oleh Yonathan Rahardjo dalam kumpulan cerita pendek 13 Perempuan
itu merepresentasikan perjuangan kaum feminis? Persoalan ini yang ingin dikaji
oleh peneliti dengan bertolak dari sudut pandang ilmu komunikasi, yaitu
pemahaman tentang teks sastra sebagai proses penyampaian ide dan gagasan
sastrawan kepada pembaca melalui media berupa karya sastra.
1.2.
Rumusan Masalah
Bagaimana representasi feminis dalam buku 13 Perempuan karya Yonathan
Rahardjo?
1.3.
Tujuan Penelitian
Menggambarkan representasi feminis dalam buku 13 Perempuan karya
Yonathan Rahardjo
1.4.
Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Memberikan sumbangan pengetahuan dan menambah referensi
kepustakaan tentang analisis wacana terhadap karya sastra.
b. Manfaat Praktis
-
Menambah wawasan peneliti mengenai kajian media, khususnya
repesentasi feminis yang terdapat dalam buku kumpulan cerita
pendek 13 Perempuan.
-
Memberikan tambahan pengetahuan pembaca pada umumnya dan
mahasiswa FISKOM terhadap pesan yang disampaikan dalam
buku ini, agar para pembaca bersikap kritis terhadap isi media,
mengingat isi media selalu digantungi oleh kepentingan pihak yang
dominan.
6
1.5.
Konsep-konsep yang Digunakan
a. Representasi
Penggunaan istilah representasi berangkat dari kesadaran bahwa apa
yang tersaji di media seringkali tidak selalu persis dengan apa yang ada
di realitas empirik. Istilah representasi itu sendiri menunjuk pada
bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu
ditampilkan dalam produk media. Pertama, apakah seseorang atau
kelompok atau gagasan tersebut ditampilkan sebagaimana mestinya.
Kata semestinya ini mengacu pada apakah seseorang atau kelompok itu
diberitakan apa adanya, ataukah menjadi lebih buruk. Penggambaran
yang tampil bisa jadi adalah penggambaran yang buruk, dan cenderung
memarjinalkan seseorang atau kelompok tertentu. Kedua, bagaimanakah
representasi itu ditampilkan. Dengan kata, kalimat, aksentuasi, kelompok
atau gagasan tersebut ditampilkan dalam pemberitaan kepada khalayak.
Persoalan utama dalam representasi adalah bagaimana realitas, atau
objek tersebut ditampilkan (Eriyanto, 2005: 113).
b. Feminis
Secara
etimologis
feminis
berasal
dari
bahasa
Prancis,
yaitu femme (woman) berarti perempuan (tunggal) yang berjuang untuk
memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas
sosial. Dalam pengertian yang paling luas, feminis adalah gerakan kaum
perempuan untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan,
disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik
dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada
umumnya. Dalam ilmu sosial kontemporer lebih dikenal sebagai gerakan
kesetaraan gender. (Ratna, 2004:184)
c. Cerita Pendek (Cerpen)
Menurut Sumardjo (1999:19) mengemukakan bahwa cerpen adalah
cerita yang membatasi diri dalam membahas salah satu unsur
7
fisiknya dalam obyek terkecil. Sehingga arti pendek bukan terletak
pada pendek atau panjang halamannya tetapi pada lingkup
masalahnya. Karena bentuknya yang pendek, maka yang ditampilkan
oleh cerpen hanyalah sebagian saja dari kehidupan yang dialami oleh
tokoh cerita.
8
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Perbedaan laki-laki dan perempuan sesungguhnya tidak menjadi
persoalan sepanjang tidak mengalami ketidakadilan gender. Namun, fakta
menunjukkan sebaliknya. Kenyataan tentang ketidakadilan gender itulah yang
kemudian melahirkan gerakan feminisme.
Feminisme adalah gerakan kaum perempuan untuk menolak segala
sesuatu yang dimarjinalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh
kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan
sosial lainnya. 1 Feminisme adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut
emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Gerakan ini lahir dari
sebuah ide yang diantaranya berupaya melakukan pembongkaran terhadap
ideologi penindasan atas nama gender, pencarian akar ketertindasan perempuan,
sampai upaya penciptaan pembebasan perempuan.
Di Indonesia, gerakan perempuan baru dimulai pada permulaan abad ke20, tatkala perempuan-perempuan muda terlibat dalam perjuangan bersenjata
melawan penjajah. Awalnya sebatas membantu suami, tetapi kemudian sungguhsungguh menjadi pemimpin pasukannya. Cut Nyak Dhien dan Cut Meutia, Martha
Christina Tiahahu, Emmy Saelan yang mendampingi Monginsidi, Roro Gusik
bersama Surapati, Nyi Ageng Serang adalah contoh pejuang perempuan ketika itu.
Namun perjuangan mereka belum dilandasi gagasan kesetaraan gender dan sama
sekali belum menjadi kesadaran.
2
1
dalam Pemilia, Kartika. Kritik Terhadap Konstruksi Feminisme dalam Novel ‘Perempuan
Berkalung Sorban’ (On line)
http://inpasonline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=148:kritik-terhadapkonstruksi-feminisme-dalam-novel-perempuan-berkalung-sorban&catid=32:gender&Itemid=100
diunduh pada 22 November 2011pukul 13.15 WIB
2
Annelies. Sejarah Gerakan Perempuan Indonesia Sebelum Kemerdekaan (pdf) diunduh pada 2
Desember 2011 pukul 13.00 WIB
1
Perkembangan kedua, pada waktu dikembangkannya Politik Etis
Belanda. Gerakan perempuan Indonesia waktu itu masih bersifat non politis, baru
dalam batas kedaerahan, juga untuk mempertinggi kedudukan sosial. Tujuan
gerakan pada umumnya untuk mengangkat kaum perempuan dari keterbelakangan
pendidikan, dan membebaskan kaumnya dari kungkungan tradisi yang menindas
terutama
masalah perkawinan dan perceraian.
Pejuang-pejuang
tersebut
diantaranya Kartini, Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika dan Nyai Achmad
Dahlan (Firdausie, 2007:7-8).
Kongres Perempuan Pertama pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta
menandai gerakan feminis di Indonesia sebelum masa kemerdekaan. Penggagas
kongres tersebut adalah Nyi Hadjar Dewantoro, RA Soekonto, dan Soejatin.
Kongres perempuan ini merupakan wadah bagi para perempuan membangun
kesadaran tentang persamaan hak mereka dengan kaum lelaki. Tidak bisa
dipungkiri, pengaruh gerakan feminis barat menjadi latar belakang adanya
kongres ini.
Di masa kemerdekaan dan masa Orde Lama, gerakan perempuan
terbilang cukup dinamis. Namun kondisi semacam ini mulai tumbang sejak Orde
Baru berkuasa. Pemerintahan Orba diidentikkan dengan peraturan yang otoriter,
yang tersentralisasi dari militer dan tidak dikutsertakannya partisipasi efektif
partai-partai politik dalam proses pembuatan keputusan. Rezim ORBA
mengkonstruksikan sebuah ideologi gender yang berlandas pada ‘ibuisme’,
sebuah paham yang melihat kegiatan ekonomi perempuan sebagai bagian dari
peranannya sebagai ibu dan tidak adanya partisipasi perempuan dalam politik.
Politik gender ini termanifestasikan dalam dokumen-dokumen negara, seperti
GBHN, UU Perkawinan No. 1/1974 dan Panca Dharma Wanita.
Dalam usaha untuk memperkuat politik gender tersebut, pemerintah Orba
merevitalisasi dan mengelompokkan organisasi-organisasi perempuan yang
berafiliasi dengan departemen pemerintah pada tahun 1974. Organisasi-organisasi
ini (Dharma Wanita, Dharma Pertiwi dan PKK) membantu pemerintah
menyebarluaskan ideologi gender ala ORBA. Di bawah rezim otoriter, implikasi
politik gender ini ternyata sangat jauh, tidak sekedar mendomestikasi perempuan,
2
pemisahan dan depolitisasi perempuan, tetapi juga telah menggunakan tubuh
perempuan sebagai instrumen-instrumen untuk tujuan ekonomi politik. Ini
nampak pada program KB yang dipaksakan, karena biayanya yang tinggi
sehingga memberatkan perempuan kalangan bawah di pedesaan.
Bila sistem pemerintahan yang semakin demokratis dianggap paling
kondusif bagi pemberdayaan perempuan, maka di era reformasi ini pemberdayaan
perempuan
di
Indonesia
semakin
menemukan
bentuknya.
Di
bidang
pemerintahan, secara kualitatif, peran perempuan semakin diperhitungkan juga di
pos-pos strategis, seperti yang tampak pada komposisi kabinet kita sekarang. Ini
dapat digunakan untuk menjustifikasi, bahwa mungkin saja kualitas perempuan
Indonesia semakin baik. 3 Hanya saja harus tetap diakui bahwa angka-angka
peranan perempuan di sektor strategis tersebut tidak
secara otomatis
menggambarkan kondisi perempuan di seluruh tanah air. Bukti nyata adalah
angka kekerasan terhadap perempuan masih sangat tinggi.
Gerakan perempuan-perempuan Indonesia ke ranah publik, tidak hanya di
bidang pemerintahan. Di bidang sastra, muncul fenomena pemberontakan
perempuan. Karya sastra merupakan bentuk komunikasi antara sastrawan dan
pembacanya. Apa yang ditulis sastrawan di dalam karya sastranya adalah apa
yang ingin diungkapkan sastrawan kepada pembacanya. Selanjutnya, sastrawan
dalam menyampaikan idenya tidak bisa dipisahkan dari latar belakangnya dan
lingkungannya. Sastra menghasilkan representasi mengenai perbedaan gender
yang memberi sumbangan pada pandangan sosial bahwa laki-laki dan perempuan
memiliki nilai yang berbeda. (Humm, dalam Jackson, Stevi dan Jacki Jones:
2009:332).
Perempuan dalam karya satra Indonesia, sering muncul sebagai simbol
kehalusan dan sesuatu yang bergerak lamban. Sebagaimana digambarkan oleh
Herliany yang dikutip oleh Sobur (2001:37), perempuan begitu dekat dengan
idiom-idiom seperti keterpurukan, ketertindasan bahkan pada ‘konsep’ yang
3
Bafagih, Hikmah.Sejarah Gerakan Perempuan. (on line)
http://www.averroes.or.id/thought/sejarah-gerakan-perempuan.html diunduh pada 2 Desember
2011 pukul 13.15 WIB
3
diterima dalam kultur masyarakat kita bahwa mereka adalah objek dengan
subjeknya adalah kaum laki-laki. Namun, dalam dekade terakhir terjadi banyak
perubahan dalam dunia sastra di Indonesia. Yaitu lahirnya para penulis perempuan
dengan karya-karya yang menawarkan hal-hal baru, laris dipasaran dan
emansipatoris. Sederetan nama penulis perempuan seperti Ayu Utami, Fira
Basuki, Djenar Maesa Ayu dan Dewi Lestari, mengembangkan taktik penulisan
tersendiri untuk menciptakan sosok pribadi yang mereka inginkan. Para penulis
ini mengangkat isu-isu gender, dominasi, dan kekuasaan. Mereka berusaha
mendobrak tatanan dalam struktur tulisan novel yang ada selama ini seperti cara
penuturannya menggunakan bahasa yang lebih lugas dan bebas.
Munculnya novelis-novelis perempuan dalam sastra Indonesia modern
antara lain menunjukkan kerinduan dan semangat perempuan untuk menggarap
dan mengkritisi realitas dari sudut pandang mereka. Ada muatan filosofi yang
ingin diungkapkan lewat karya imajinatif mereka. 4
Di tengah gencarnya gerakan feminis yang dilakukan oleh para penulis
perempuan, tampil Yonathan Rahardjo menyajikan sebuah kumpulan cerita
pendek mengenai perempuan, berjudul ’13 Perempuan’. Kisah mengenai
perempuan yang diangkat oleh Yonathan Rahardjo seperti mengulang dekade
Pramudya Ananta Toer. Pramudya sendiri dalam karyanya banyak membingkai
para perempuan menjadi perkasa akibat ketertindasan dan menjadikannya sebuah
potret abadi agar terus dapat dimaknai para penerusnya. Para perempuan perkasa
itu muncul sebagai Nyi Ontosoroh dalam Bumi Manusia, Midah dalam Midah Si
Manis Bergigi Emas, atau si produk feodal Ken Dedes dan produk masyarakat
Ken Umang dalam Arok Dedes. Pramudya hampir selalu menempatkan tokoh
perempuan dengan kebebasan berpikirnya dan bukan hanya sekadar pemanis atau
sosok yang membuat cerita tampak lebih bergairah saja. Meskipun tokoh-tokoh
4
Engky,Prass. Perempuan dan Kebebasan memaknai hidup:mengais hikmah filosofis di balik
novel Genesis (on line) http://ratihkumala.com/blog/perempuan-dan-kebebasan-memaknai-hidupmengais-hikmah-filosofis-di-balik-novel-genesis-110.php?nomobile diunduh pada 20 November
2011 pukul 16.10 WIB
4
perempuan dalam buku-buku karya Pramudya jarang ada yang menang atau ratarata kalah, tetapi menampilkan proses perlawanan yang luar biasa. Bahkan
sejumlah buku Pramudya yang maskulin, misalnya Perburuan (yang tiga
tokohnya adalah laki-laki), justru pada akhir cerita sengaja meruntuhkan
maskulinitas. Ini bukti keberpihakan dan kuatnya sisi feminin Pramudya dengan
kerap menggunakan perempuan sebagai sudut pandang untuk menyampaikan
pesannya.
Jika tokoh-tokoh perempuan dalam buku-buku karya Pramudya
menampilkan proses perlawanan yang luar biasa – meskipun jarang ada yang
menang – tidak demikian dengan tokoh perempuan dalam buku 13 Perempuan
karya Yonathan Rahardjo. Tokoh-tokoh dalam kumpulan cerpen itu menyiratkan
berbagai kehalusan perasaan seorang perempuan namun sifat kepahlawanan lelaki
memang masih kuat pada beberapa tulisan di dalamnya. Hal inilah yang perlu
mendapatkan perhatian, karena sebenarnya 13 Perempuan bukanlah karya
pertama Yonathan Rahardjo. Sejak tahun 1983, puisi, cerpen, esai, opini dan
tulisan jurnalistiknya telah diterbitkan di berbagai buku dan media massa. Sampai
kini, ia telah menerbitkan tiga buku. Pada tahun 2008, terbit novelnya yang
berjudul Lanang—berkisah tentang dunia kedokteran khususnya kesehatan
hewan—berhasil menang dalam Lomba Novel Dewan Kesenian Jakarta. Pada
Mei 2011, terbit Taman Api berkisah tentang kehidupan waria dan homoseksual.
Pada Juli di tahun yang sama, terbit 13 Perempuan yang menyuguhkan cerita 13
perempuan dengan masalah dan perjuangannya. Apakah dengan menciptakan
suatu karya yang menyiratkan perjuangan seorang perempuan, lantas Yonathan
Rahardjo bisa dikatakan sebagai male feminist atau pro feminist?
Istilah male feminist di Indonesia masih tergolong baru. Menurut Kris
Budiman (2008), laki-laki feminis menolak segala bentuk kekerasan terhadap
perempuan, termasuk pemerkosaan, pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah
tangga (baik secara fisik maupun psikologis), menentang pencitraan negatif
perempuan baik di dalam media maupun budaya. Batasan laki-laki feminis ini
adalah orang yang berjenis kelamin laki-laki namun meyakini nilai-nilai
feminisme pada umumnya. Pada titik ini, definisi feminis akhirnya tidak merujuk
5
pada jenis kelamin, akan tetapi lebih kepada pengikatan terhadap nilai-nilai
feminisme.
Dengan mengacu pada pengertian tersebut, apakah Yonathan Rahardjo,
penulis kumpulan cerpen 13 Perempuan itu bisa digolongkan sebagai seorang
feminist (male feminist). Dengan kata lain, apakah penokohan perempuan yang
disajikan oleh Yonathan Rahardjo dalam kumpulan cerita pendek 13 Perempuan
itu merepresentasikan perjuangan kaum feminis? Persoalan ini yang ingin dikaji
oleh peneliti dengan bertolak dari sudut pandang ilmu komunikasi, yaitu
pemahaman tentang teks sastra sebagai proses penyampaian ide dan gagasan
sastrawan kepada pembaca melalui media berupa karya sastra.
1.2.
Rumusan Masalah
Bagaimana representasi feminis dalam buku 13 Perempuan karya Yonathan
Rahardjo?
1.3.
Tujuan Penelitian
Menggambarkan representasi feminis dalam buku 13 Perempuan karya
Yonathan Rahardjo
1.4.
Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Memberikan sumbangan pengetahuan dan menambah referensi
kepustakaan tentang analisis wacana terhadap karya sastra.
b. Manfaat Praktis
-
Menambah wawasan peneliti mengenai kajian media, khususnya
repesentasi feminis yang terdapat dalam buku kumpulan cerita
pendek 13 Perempuan.
-
Memberikan tambahan pengetahuan pembaca pada umumnya dan
mahasiswa FISKOM terhadap pesan yang disampaikan dalam
buku ini, agar para pembaca bersikap kritis terhadap isi media,
mengingat isi media selalu digantungi oleh kepentingan pihak yang
dominan.
6
1.5.
Konsep-konsep yang Digunakan
a. Representasi
Penggunaan istilah representasi berangkat dari kesadaran bahwa apa
yang tersaji di media seringkali tidak selalu persis dengan apa yang ada
di realitas empirik. Istilah representasi itu sendiri menunjuk pada
bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu
ditampilkan dalam produk media. Pertama, apakah seseorang atau
kelompok atau gagasan tersebut ditampilkan sebagaimana mestinya.
Kata semestinya ini mengacu pada apakah seseorang atau kelompok itu
diberitakan apa adanya, ataukah menjadi lebih buruk. Penggambaran
yang tampil bisa jadi adalah penggambaran yang buruk, dan cenderung
memarjinalkan seseorang atau kelompok tertentu. Kedua, bagaimanakah
representasi itu ditampilkan. Dengan kata, kalimat, aksentuasi, kelompok
atau gagasan tersebut ditampilkan dalam pemberitaan kepada khalayak.
Persoalan utama dalam representasi adalah bagaimana realitas, atau
objek tersebut ditampilkan (Eriyanto, 2005: 113).
b. Feminis
Secara
etimologis
feminis
berasal
dari
bahasa
Prancis,
yaitu femme (woman) berarti perempuan (tunggal) yang berjuang untuk
memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas
sosial. Dalam pengertian yang paling luas, feminis adalah gerakan kaum
perempuan untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan,
disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik
dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada
umumnya. Dalam ilmu sosial kontemporer lebih dikenal sebagai gerakan
kesetaraan gender. (Ratna, 2004:184)
c. Cerita Pendek (Cerpen)
Menurut Sumardjo (1999:19) mengemukakan bahwa cerpen adalah
cerita yang membatasi diri dalam membahas salah satu unsur
7
fisiknya dalam obyek terkecil. Sehingga arti pendek bukan terletak
pada pendek atau panjang halamannya tetapi pada lingkup
masalahnya. Karena bentuknya yang pendek, maka yang ditampilkan
oleh cerpen hanyalah sebagian saja dari kehidupan yang dialami oleh
tokoh cerita.
8