Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Feminis dalam Buku 13 Perempuan Karya Yonathan Rahardjo T1 362008078 BAB V
33 BAB V
REPRESENTASI FEMINIS DALAM BUKU 13 PEREMPUAN KARYA YONATHAN RAHARDJO
Pada bab ini diuraikan analisis dan pembahasan penelitian. Penelitian ini menggunakan analisis wacana kritis Sara Mills. Titik perhatian Mills adalah wacana feminisme, yakni bagaimana perempuan ditampilkan dalam teks, baik dalam cerpen, gambar, foto, maupun media. Fokus perhatian analisis ini adalah menunjukkan bagaimana teks bias gender dalam menampilkan perempuan. Sara Mills lebih melihat pada bagaimana posisi-posisi aktor ditampilkan dalam teks, posisi tersebut pada akhirnya menentukan bentuk teks yang hadir ditengah khalayak. Dalam artian siapa yang menjadi subjek penceritaan dan siapa yang menjadi objek penceritaan akan diperlakukan dalam teks secara keseluruhan. Wacana media bukanlah sarana yang netral, tetapi cenderung menampilkan aktor Selain posisi aktor, Sara Mills juga memusatkan perhatian pada bagaimana posisi pembaca dalam teks. Menurut Mills, teks adalah suatu hasil negosiasi antara penulis dan pembaca, oleh karena itu, pembaca tidak semata sebagai pihak yang menerima teks, tetapi juga ikut melakukan transaksi sebagaimana akan terlihat dalam teks.
Tabel 5.1.
Model Analisis Sara Mills
TINGKAT YANG INGIN DILIHAT
Posisi Subjek-Objek
Bagaimana peristiwa dilihat, dari kacamata siapa peristiwa itu dilihat. Siapa yang diposisikan sebagai pencerita (subjek) dan siapa yang menjadi objek yang diceritakan. Apakah masing-masing aktor dan kelompok sosial mempunyai kesempatan untuk menampilkan dirinya sendiri,ataukah kehadirannya, gagasannya ditampilkan oleh orang atau kelompok lain
(2)
34 Posisi
Penulis-Pembaca
Bagaimana posisi pembaca ditampilkan dalam teks. Bagaimana pembaca memposisikan dirinya dalam teks yang ditampilkan. Kepada kelompok manakah pembaca mengidentifikasi dirinya.
Sumber: Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS. hlm 211
Melalui analisis posisi subjek objek dan posisi pembaca berusaha dilihat bagaimana pengarang menghadirkan kembali gambaran perempuan dalam karyanya, sehingga bisa diketahui bagaimana representasi feminis dalam 13 Perempuan karya Yonathan Rahardjo.
Untuk mengetahui bagaimana representasi feminis, peneliti akan mekolaborasinya teknik analisis dari Sara Mills yaitu posisi subjek objek dan posisi pembaca dengan teori representasi dari John Fiske.
Tabel 5.2.
Tahap Representasi Menurut John Fiske Pertama Realitas
Dalam televisi seperti pakaian, make up, perilaku, gerak-gerik, ucapan, suara. Dalam bahasa tulis seperti dokumen, wawancara, transkip dan sebagainya.
Kedua Representasi
Elemen-elemen di atas ditandakan secara teknis. Dalam bahasa tulis seperti kata, kalimat, proposisi, foto dan sebagainya. Elemen-elemen tersebut ditransmisikan ke dalam kode representasional yang memasukan di antaranya bagaimana objek digambarkan: karakter, narasi, setting, dialog, dan sebagainya
Ketiga Ideologi
Semua elemen diorganisasikan dalam koherensi dan kode-kode ideologi seperti individualisme, liberalisme, sosialisme, patriaki, ras, kelas, materialism, kapitalisme dan sebagainya
Sumber: Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS. hlm 115
(3)
35 5.1. CERPEN 1
5.1.1. Sinopsis Cerpen 1: Cerita Perempuan
Cerita pertama dalam kumpulan cerpen ini berkisah tentang seorang perempuan yang menerima tamu lelaki di rumahnya. Tamu lelakinya aktif menanyakan cerita pribadi perempuan itu. Dan dengan terbuka tokoh perempuan ini menceritakan kisahnya kepada tamu lelaki tersebut.
Pertama, perempuan bercerita kisah pribadinya yang dimuat di tabloid wanita. Setelah beritanya dipublikasi, lelaki yang diceritakan dalam tabloid tersebut mencarinya karena malu namanya dicemarkan, tetapi juga tetap menaruh iba pada perempuan ini. Melalui peristiwa ini, tokoh perempuan dalam cerpen ini mengalami perubahan sikap dan perilaku. Bila dulu ia penurut dan lemah, kini dia adalah perempuan yang mandiri dan tegar. Merasa tertarik dengan kisah hidup perempuan, lelaki menyarankan agar kisah tersebut ditulis. Dan perempuan meminta tamu lelaki ini untuk menulis kisah hidupnya. Oleh karena itu, perempuan kembali menceritakan dengan lengkap cerita kedua. Yaitu mengenai perselingkuhan perempuan ini dengan suami sahabatnya. Merasa sangat bersalah, perempuan ini bertobat hingga naik haji. Setiap kali permasalahan terjadi selalu membawa perubahan pada perempuan ini.
Tamu lelaki yang diminta menuliskan cerita perempuan tersebut, di akhir cerita justru membunuh perempuan itu dan dirinya sendiri. Kisah kematian mereka berdua kemudian terpublikasi di koran-koran.
5.1.2. Interpretasi Cerpen ”Cerita Perempuan”
Dalam cerpen ini, pengarang menunjukan sosok perempuan yang ingin menampilkan eksistensinya dalam lingkungan sosial. Akan tetapi ada beberapa hal yang harus dialami oleh perempuan saat ia ingin mengekspresikan dirinya. Hal pertama yang peneliti temukan adalah, soal ambiguitas dalam diri tokoh
"Supaya bila ada orang yang bertanya tentang kasusku itu, aku tidak perlu banyak bicara lagi. Langsung kutunjukan tabloid itu biar dibaca, sehingga mudah menjelaskan permasalahanku."
(4)
36
perempuan. Perempuan ingin tampil, tapi juga dia ingin bersembunyi. Perempuan tersebut ingin orang lain tahu bagaimana cerita dirinya, namun dia justru menyembunyikan identitasnya untuk tidak diungkap oleh media massa. Tidak hanya identitas diri perempua n itu, tetapi juga identitas orang yang terlibat.
Kedua, masalah utama ‘Cerita Perempuan’ terletak pada tabloid wanita yang mempublikasikan ceritanya. Tabloid ini menuliskan kisah perempuan secara vulgar, sehingga lelaki yang terlibat tersebut merasa bahwa itu dia. Kemudian lelaki itu menelpon wartawan dan diberitahu bahwa orang dalam cerpen itu dia, sementara tokoh utamanya adalah perempuan itu. Media massa yang seharusnya netral dalam menuliskan suatu kisah, justru melebih-lebihkannya. Tidak hanya itu, perempuan ini menghendaki agar tokoh dalam kisah tersebut disembunyikan identitasnya. Namun yang terjadi adalah media membongkar identitas narasumber kepada lelaki yang terlibat dalam cerita itu. Dalam hal ini perempuan tentu tidak mendapat haknya sebagai narasumber yang harus dijaga identitasnya oleh pihak media massa. Hal ini sesuai dengan kode etik jurnalistik pasal 7 :
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.
a. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya. Penafsiran
b. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber
c. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.
d. “Off the record” adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan. 1
Sementara itu, bukannya menyalahkan media, tamu laki-laki itu seolah menyalahkan perempuan atas perbuatannya. Bagi tamu laki-laki itu, perempuan hendaknya berhati-hati ketika dia menceritakan kisah pribadinya ke orang lain,
1
PERATURAN DEWAN PERS Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008
(5)
37
apalagi itu melibatkan orang lain, bahkan hingga dimuat di media massa. Hal tersebut dapat mencemarkan nama orang yang terlibat.
Perempuan cenderung disalahkan manakala ia menceritakan kisah pribadinya kepada orang lain bahkan hingga mempublikasikannya di media massa. Meskipun perempuan telah menyembunyikan orang yang terlibat, namun tetap ditampilkan bahwa hal tersebut tidak semestinya dilakukan oleh tokoh perempuan. Meski demikian, dapat diketahui pula bahwa perempuan dalam tokoh ini diberikan kesempatan untuk mengutarakan perasaan dan pendapatnya.
Cerita pendek ini mengisahkan cerita perempuan ini. Apa yang dialami dan seperti apa cerita dari perempuan tersebut, ditandakan dengan dialog antara perempuan dan tokoh laki-laki. Tokoh perempuan secara aktif menceritakan bagaimana masalah pribadinya kepada tokoh laki ini. Sementara tokoh laki-laki meskipun awalnya cenderung pasif, namun dia-lah yang membuat dialog diantara keduanya kian hidup melalui pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya. Tokoh lelaki juga dapat dikatakan yang menentukan alur cerita dan juga memberi penilaian atas apa yang telah dilakukan perempuan.
Cerpen “Cerita Perempuan” menempatkan tokoh lelaki, sebagai subjek pencerita. Di awal cerpen, tokoh lelaki lebih banyak terdiam dan mendengarkan saat perempuan bercerita. Dalam diam tanpa ucap, lelaki ini merespon dengan ekspresi non verbalnya.
Lelaki “Kok kamu begitu? Menceritakan kehidupan pribadi kalian pada orang bahkan mempublikasikannya?”
Perempuan: “Itu kan kenyataan hidupku sendiri.” Lelaki: “Kisahmu melibatkan orang lain. Dengan
mempublikasikan lalu membuatnya tahu dan bertanya pada penulisnya, berarti ada indikasi kamu mencemarkan nama baiknya.”
Perempuan: “Tidak. Aku menyembunyikan namanya” Lelaki: “Tapi orang kan bisa menerka”
"Aku di Lembaga Peduli Lingkungan paling lama hanya dua minggu. Di sana aku sangat suka memetik daun labu, sampai lima kilo, untuk ku makan hanya dengan cabai dan garam. Pulang-pulang kulitku gosong terbakar matahari.”
Si lelaki tersenyum mendengar uraian si perempuan, sambil membayangkan suasana yang sama juga ia rasakan ketika ia bergabung dengan lembaga itu, bahkan lebih lama
(6)
38
Melalui responnya yang diam dan hanya tersenyum mendengar uraian si perempuan, dapat diketahui pada bagian ini ingin dikatakan bahwa pengalaman perempuan ini secara kuantitas ditampilkan masih kurang dibanding lelaki di cerita ini pun yang memiliki pengalaman sama yang lebih lama. Hanya dengan diam dan tersenyum, lelaki ini memberikan penilaian atas apa yang dilakukan perempuan, yang ternyata tidak lebih banyak dari pengalamannya. Namun pada bagian selanjutnya, teks memberikan bukti lebih kuat bagaimana lelaki yang semula lebih banyak diam ini ternyata adalah pencerita.
Dari cuplikan dialog diatas dapat diketahui, lelaki, tamu dari perempuan tampil sebagai teman bercerita yang aktif bertanya dan memberi tanggapan. Tokoh perempuan digiring untuk terus menceritakan kisah hidupnya. Walaupun perempuan ini menceritakan kisah hidupnya kepada lelaki, tidak lantas perempuan ini menjadi subjek pencerita. Bagaimana cerita ini bergulir ditentukan oleh kontrol tokoh lelaki dalam bertanya dan memberikan penilaian atas apa yang dilakukan perempuan. Hal ini terwujud pada saat lelaki menunjukan ketidaksetujuannya saat perempuan mempublikasikan ceritanya ke media massa. Perempuan telah menyembunyikan orang yang terlibat, namun tetap ditampilkan bahwa hal tersebut tidak semestinya dilakukan oleh tokoh perempuan. Pengarang lebih menonjolkan pandangan tamu lelaki ini dalam penceritaan. Lelaki ini tampil sebagai subjek pencerita, yang menentukan bagaimana cerita ini bergulir dan juga memberikan penilaian atas apa yang dilakukan oleh perempuan.
"Kok kamu begitu? Menceritakan kehidupan pribadi kalian pada orang bahkan mempublikasikannya?"
“Itu kan kenyataan hidupku sendiri.”
"Kisahmu melibatkan orang lain. Dengan mempublikasikan lalu membuatnya tahu dan bertanya pada penulisnya, berarti ada indikasi kamu mencemarkan nama baiknya."
"Tidak. Aku menyembunyikan namanya." “Tapi kan orang bisa menerka.”
“Itu kan kisah hidupku sendiri. Dokumen pribadiku, walau menyangkut dia.” “Kamu publikasikan juga cerita yang menyangkut laki-laki itu. Kekeliruanmu, sebelumnya kamu tidak memberitahu dia.”
“Setelah ia menghubungiku, ia berkata, seandainya sebelumnya aku memberitahu, tentu ada yang bisa ia lakukan untuk menolong problemaku. “Nah...”
(7)
39
Selain itu, melalui pembacaan dominan, pembaca digiring untuk mengidentifikasikan dirinya seperti tokoh lelaki hingga pembaca pun sepakat dengan pandangan tokoh laki-laki. Hal ini menguntungkan bagi lelaki. Jika demikian yang terjadi, pandangan tokoh laki-laki yang tampil tersebut kian melanggengkan ideologi patriakhi. Meski memang harus diakui gambaran perempuan dalam tokoh ini positif, perempuan yang dengan berani menghadapi masalah-masalah tersebut, karena kemudian dia menyadari bahwa di balik masalah tersebut menciptakan perubahan positif pada dirinya. Berbeda dengan karakter lelaki ini, sebagai lelaki dia adalah seorang yang tidak berani mengambil resiko atas apa yang menjadi keputusannya, sehingga akhirnya dia memutuskan mengakhiri hidup supaya akibat-akibat yang terjadi atas hubungannya dengan perempuan ini tidak lagi ia tanggung.
5.1.3. Ideologi Patriakhi
Pemosisian aktor-aktor dalam cerita menghasilkan satu pemahaman ideologi apa yang diangkat oleh pengarang dalam cerpennya ini. Penempatan tokoh laki-laki sebagai pencerita dan juga posisi pembaca sebagai tokoh laki-laki menjadikan narasi ini menguntungkan bagi laki-laki, karena pandangannya yang tampil. Akhirnya dapat diketahui bahwa ideologi yang nampak dalam cerpen ini masih ideologi patriakhi.
Gambaran perempuan yang mengalami ketidakadilan dan tekanan batin dari lingkungan sosialnya kian meneguhkan ideologi patriakhi yang hendak disampaikan pengarang. Perempuan dalam cerpen ini mengalami dua hal masalah. Pertama, sebagai perempuan dan juga manusia, dia tidak mendapatkan haknya sebagai narasumber, media menghilangkan hak ini dengan melebih-lebihkan cerita dirinya dan membongkar identitas dirinya. Kedua, ketika perempuan ini ingin menceritakan kisah hidupnya melalui media massa, ia justru disalahkan, karena dianggap mencemarkan nama baik orang lain yang terlibat. Masalah lain yang tampil dalam cerpen ini adalah mengenai perselingkuhan perempuan dengan suami temannya. Dia merasa begitu menyesal, karena dia melakukannya dengan suami orang, tidak dengan sesama lajang.
(8)
40
Mengenai perselingkuhan ini, penyesalan yang terjadi pun tidak datang dari mulut orang lain, tapi lahir dari pemikiran perempuan sendiri. Penyesalan yang dialami perempuan ini masih dipengaruhi oleh stereotipe gender yang berkembang dalam masyarakat. Dalam masyarakat patriakhi, hal ini wajar terjadi pada perempuan. Dan tidak terjadi dengan lelaki. Menurut Suryakusuma (dalam Sastriyani, 2009: 484), laki-laki dianggap dominan dorongan seksualnya, perempuan lebih pasif dan reseptif sehingga laki-laki dianggap poligam, sedang perempuan dianggap monogram. Oleh karena itu penyelewengan yang dilakukan oleh laki-laki dianggap sebagai hal yang wajar, tetapi kalau yang menyeleweng perempuan, dianggap hal yang tidak wajar dan merupakan aib. Hal ini mengakibatkan perempuan memiliki perasaan yang bersalah yang berlebihan karena melakukan penyelewengan. Selain itu, hal utama yang disesalkan oleh tokoh perempuan ini adalah soal keperawanan. Keperawaanan sangat diagung-agungkan dalam masyarakat patriakhi. Menurut Kweldju (dalam Sastriyani , 2009: 480) Pandangan masyarakat tentang kesucian atau keperawanan merupakan sesuatu yang normatif. Bahkan terdapat ungkapan yang menyatakan bahwa harta yang paling berharga bagi perempuan yang belum menikah adalah keperawannan. Kehilangan keperawanan adalah kehilangan kehormatan. Keperawanan selanjutnya menjadi ideologi yang memuat kepentingan laki-laki dan mencerminkan dominasi laki-laki atas perempuan. Oleh karena kuatnya dominasi tersebut, ideologi ini telah disosialisasikan dan diinternalisasikan dari generasi ke generasi, bukan hanya oleh kaum laki-laki tetapi juga kaum perempuan sendiri. Keperawanan merupakan persembahan seorang perempuan kepada suami (laki-laki) yang telah disahkan oleh lembaga perkawinan. Perempuan harus menjaga keperawanannya yang cuma satu dan tidak boleh diberikan pada laki-laki sebelum menikah. Ideologi ini bahkan terinternalisasi dalam diri perempua n sendiri. Sehingga bentuk tekanan itu tidak hanya datang dari lingkungan, tapi dari perempuan sendiri.
Tampilan-tampilan pandangan patriakhi memang nampak dalam cerita ini. Akan tetapi di tengah gambaran stereotipe gender, ada gambaran yang berbeda dari perempuan. Di balik masalah yang dialami perempuan dalam cerpen ini, dia
(9)
41
dianggap melakukan kesalahan, dan dia juga mengalami penyesalan, akan tetapi perempuan dalam cerpen ini bukanlah seorang perempuan yang lemah dan tidak berpendidikan. Perempuan yang bekerja di lembaga peduli lingkungan ini, ditampilkan sebagai seorang memiliki pendapatnya sendiri. Contohnya, ketika dia mempublikasikan cerita di tabloid wanita, dia tahu alasan kenapa melakukannya.
Selain itu, dia juga tidak takut menghadapi masalah-masalah yang menimpannya, karena dia tahu bahwa masalah yang dihadapinya akan memberikan perubahan positif bagi kehidupannya. Sehingga dia menjadi mandiri dan lebih tegar.
Di akhir cerita, tamu lelaki yang datang ke rumahnya tersebut memutuskan untuk membunuh perempuan dan dirinya sendiri agar bila kisah perempuan ini dimuat, tidak akan terjadi masalah antara keduanya. Nampak keegoisan tokoh lelaki, yang mengganggap bahwa kematian adalah solusi atas permasalahan yang terjadi. Meski tidak ditampilkan perlawanan perempuan atas pembunuhan dirinya, namun dapat diketahui bahwa karakter lelaki ini adalah seorang yang tidak berani mengambil resiko atas apa yang menjadi keputusannya, sehingga akhirnya dia memutuskan mengakhiri hidup supaya akibat-akibat yang terjadi atas hubungannya dengan perempuan ini tidak lagi ia tanggung. Berbeda dengan perempuan yang dengan berani menghadapi masalah-masalah tersebut, karena kemudian dia menyadari bahwa di balik masalah tersebut menciptakan perubahan positif pada dirinya.
Menjadi sebuah pertanyaan kemudian adalah, apa maksud dari pengarang dengan menampilkan gambaran perempuan secara positif, namun di sisi lain
"supaya bila ada orang yang bertanya tentang kasusku itu, aku tidak perlu banyak bicara lagi. Langsung kutunjukan tabloid itu biar dibaca, sehingga mudah menjelaskan permasalahanku."
"Semua itu justru membentuk sikapku jadi tegar saat menghadapi masa-masa sulit serupa itu. Sikap tegar ini tidak dimiliki oleh para pelaku yang banyak kutemui pada cerita lain. Mereka wanita yang suka mengalah dan kalah dalam menghadapi problem semacam."
(10)
42
menjadikan tokoh laki-laki sebagai pencerita, yang muncul dengan pandangan patriakhinya dan penilaian yang cenderung menghakimi perempuan tersebut?
Ideologi patriakhi muncul dipengaruhi oleh diri lelaki dari pengarang itu sendiri. Dalam wawancara dengan pengarang, dirinya mengaku untuk berusaha untuk mendalami perannya sebagai perempuan, akan tetapi diri kelelakiannya bagaimanapun tetap akan mempengaruhi bagaimana dia memilih fakta dan menuliskan fakta tersebut sehingga menghadirkan kembali realitas itu dalam wujud cerita pendek ‘Cerita Perempuan’. Karena patut digarisbawahi pemikiran dari Eriyanto (2001: 116,118) bahwa realitas yang sama dapat menciptakan ‘realitas’ yang berbeda kalau ia didefinisikan dan dipahami dengan cara yang berbeda. Dengan memilih fakta tertenu dan membuang fakta yang lain, realitas hadir dengan cara ‘bentukan’ tertentu kepada khalayak.
Di tengah tampilnya ideologi patriakhi, pengarang menunjukan bahwa dirinya bukanlah seseorang yang kolot. Pengarang berusaha menjadi seorang pribadi yang lebih egaliter, memandang perempuan sebagai sesamanya yang sederejat (dapat diketahui melalui hasil wawancara dengan pengarang, yang tersaji pada Bab 4). Itulah mengapa pengarang menampilkan gambaran yang positif tentang perempuan berbeda dengan banyak narasi lain cenderung yang menampilkan perempuan penurut, pasif dan lemah.
Tabel 5.1.3.
Representasi Feminis Cerpen ‘Cerita Perempuan’ Pertama Realitas
Cerita perempuan yang mempublikasikan kisahnya di koran dan identitasnya dibongkar oleh pihak media. Selain itu, perempuan ini juga bercerita mengenai penyesalannya telah berselingkuh dengan suami temannya.
(11)
43 Kedua Representasi
Melalui dialog antara perempuan dan tamu laki-laki, dapat diketahui bagaimana karakter tokoh tersebut. Hal tersebut juga menunjukan bagaimana posisi subjek objek dan posisi pembacanya. Dalam cerpen ini, tamu laki-laki adalah subjek pencerita, sementara perempuan adalah objeknya. Untuk posisi pembaca, pembaca digiring untuk mengidentifikasikan dirinya seperti tokoh lelaki hingga pembaca pun sepakat dengan pandangan tokoh laki-laki. Ketiga Ideologi
Kisah perempuan yang ditandakan melalui penceritaan tokoh laki-laki pembaca digiring untuk menjadikan pandangan tokoh laki-laki yang tampil. Hal ini tentu kian melanggengkan ideologi patriakhi.
5.2. CERPEN 2
5.2.1. Sinopsis Cerpen 2: Tanya Tukang Cuci
Atin dan ibunya adalah tukang cuci sebuah keluarga dan anak-anak kos yang tinggal di tempat keluarga itu. Diantara semua anak kos, hanya satu anak kos, lelaki pegawai perusahaan yang tidak menyerahkan pakaian untuk dicuci dan setrika oleh Atin dan Ibunya. Hal ini membuat Atin bertanya keheranan perihal satu anak kos ini, ’kenapa untuk ongkos cuci yang tidak seberapa, murah, anak kos ini enggan berbagi dengan Atin’.
Masalah memuncak ketika pemilik kos memberitahukan bahwa pembayaran mencuci sebenarnya belum bisa diberikan. Hal ini membuat ibu Atin tertegun. Membayangkan beratnya membayar kebutuhan pokok sehari-hari. Namun ternyata hal itu adalah kejutan dari Bapak Kos, karena pembayaran Rp.200.000 tetap bisa dibayarkan kepada Atin dan Ibunya, berkat satu anak kos tersebut, yang membayar tepat waktu. Anak kos yang semula cukup membuat Atin jengkel, kemudian tampil sebagai penyelamat bagi Atin dan Ibunya.
(12)
44
Bulan berikut nya hal itu terjadi lagi, Atin dan Ibunya sangat berterima kasih pada anak kost itu. Atin tidak lagi peduli siapa anak kos itu dan apa pekerjaannya, meski pakaian anak kos tersebut tetap kucal dan tidak disetrika. 5.2.2. Interpretasi Cerpen ”Tanya Tukang Cuci”
Cerpen ini bercerita mengenai perjuangan seorang anak dan ibu yang bekerja sebagai tukang cuci demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam lika-liku perjuangannya bekerja, Atin, sebagai tokoh utama tampil sebagai seorang perempuan muda yang berprasangka terhadap anak kost yang tidak menyerahkan pakaiannya. Hal tersebut terjadi karena tidak adanya alasan dari anak kos, mengapa ia seperti itu.
Cerpen “Tanya Tukang Cuci” menempatkan Atin sebagai subjek pencerita. Sebagai tokoh utama, selain mendominasi narasi cerpen, Atin jugalah
Sikap ‘diam’ dari orang lain bagi perempuan dimaknai manakala seseorang tersinggung dengan perbuatannya atau tidak mempercayainya lagi. Dan jika seseorang bersikap diam, perempuan pun cenderung beranggapan buruk terhadap orang itu. Karena bagi perempuan, komunikasi adalah untuk menjalin hubungan. Lain halnya dengan laki-laki, bentukan budaya membuat mereka susah untuk berkomunikasi. Laki-laki hanya akan bicara seperlunya dan dengan terus terang (Pease, 2005:142). Atas dasar ini pula, Atin digambarkan sebagai seorang yang suka berprasangka, sementara anak kos ditampilkan sebagai sosok laki-laki yang hanya akan bicara seperlunya. Kuatnya penggambaran tokoh laki-laki ini tentu mendapat pengaruh dari kelelakian pengarang cerpen ini di tengah stereotipe gender yang berkembang di masyarakat ia tinggal, yakni di Jawa, tepatnya Jawa Timur.
“Aneh, ada orang sepelit pegawai kos ini. Uang yang tidak seberapa, mengapa ia enggan berbagi dengan kami, mempercayakan pakaiannya untuk kami cuci. Bukankah kini adiknya tidak numpang di kamarnya lagi, sehingga uangnya bisa digunakan untuk membayar cucian? Bukankah dengan mempercayakan pakaiannya kami cuci, berarti ia menghemat waktu, menambah nilai penampilannya, sekaligus membantu meringankan kebutuhan hidup kami yang kekurangan?”
(13)
45
mendefinisi bagaimana karakter lelaki, anak kos yang tidak turut menyerahkan baju untuk dicucikan. Mulai dari prasangka Atin mengenai sosok anak kos tersebut hingga jawaban atas tanya itu, semua dipaparkan oleh Atin.
Sementara anak kos, menjadi topik pembicaraan dari cerita pendek ini maka disebut dia adalah objek pencerita. Sebagai objek pencerita, karakter dari tokoh anak kos ini secara keseluruhan dipaparkan oleh Atin. Pada awal cerita gambaran karakternya adalah hanya dugaan dari Atin, di akhir cerita Atin juga yang memberikan penjelasan sebenarnya atas dugaan terhadap anak kos itu.
Anak kos ini sendiri tidak menjelaskan bagaimana dirinya, sekedar melalui tanda non verbal, tertawa. Yang mana tanda non verbal ini pun tidak lagi menjadi perhatian Atin karena dugaan-dugaan Atin telah terjawab melalui tindakan yang dilakukan oleh anak laki-laki ini.
Sebagai pencerita, Atin tidak hanya mendefinisikan sosok anak kos yang membuatnya penasaran. Perempuan muda ini pun juga memberikan pemikiran kritisnya melalui kisahnya sebagai pencuci pakaian.
“Apakah sebetulnya yang ada dalam benaknya, setiap bangun pagi melihat kami berdua bahu membahu mencuci dan menyetrika pakaian-pakaian ini? Apakah perasaannya tidak tersentuh melihat perempuan seperti ibuku menghidupi kami berdua dengan menjadi tukang cuci baju, dan jelas, aku yang masih sekolah harus membantu? Juga di sisinya, selain berbagi rezeki, ia juga mendapatkan keuntungan dengan pakaian yang bersih dan rapi. Ah dasar pelit!”
Bulan berikutnya, hal itu terjadi lagi. Anak kos yang kuanggap pelit itulah kata bapak kos, yang menyelamatkan pembayaran ongkos mencuci bulanan kami. Bagi kami jelas sudah, anak kos ini tidak turut menyerahkan pakaiannya untuk kami cuci, agar ia dapat membayar uang kos kamar secara tepat waktu.”
Lelaki itu hanya tertawa. Pakaiannya tetap kucal tak tersetrika, sedangkan pakaian kotornya menggunung di depan kamarnya. Aku tak lagi mempersoalkan. Aku juga tak lagi mempermasalahkan siapa dia dan apa pekerjaannya.
Terhadap anak-anak kos yang lain aku semakin bertanya-tanya, sebetulnya apakah pekerjaan masing-masing mereka. Mereka, anak-anak kos yang pembayaran uang kos dan cucian selalu terlambat, namun tetap saja pakaian mereka licin dan rapi. Kami yang mencuci dan melicinkan pakaian mereka. Berarti, anak-anak kos ini setiap hari menikmati hasil kerja keras kami membanting tulang dan memeras keringat secara semena-mena. Satu hal yang tidak dilakukan mas tadi.
(14)
46
Kasus yang diangkat penulis begitu ringan, namun menjadi menarik untuk dikritisi karena masalah cuci pakaian kemudian dikaitkan dengan citra dan status diri seseorang. Melalui pemikiran kritis tersebut, pekerjaan rumah tangga tampil sebagai pekerjaan yang bukan sembarangan.
Di saat Atin dan Ibunya terancam tidak mendapatkan upah, satu anak kos yang tidak menyerahkan pakaian tersebut tampil sebagai pahlawan yang menyelamatkan upah kerja Atin dan ibunya. Perubahan karakter tokoh lelaki, anak kost ini kemudian juga mematahkan prasangka Atin akan laki-laki ini. Inilah inti yang ingin disampaikan oleh pengarang.
Dominasi Atin dalam narasi cerpen ini, menempatkan pembaca sebagai diri Atin. Pembaca diajak untuk menyelesaikan alur cerita melalui tanya tukang cuci.
Pembaca yang diposisikan sebagai Atin, akhirnya turut menjadi tokoh Atin yang mengubah pandangannya terhadap anak kost itu. Hingga di akhir cerita pesan dari cerita ini dapat ditangkap oleh pembaca, bahwa hendaknya kita tidak cepat-cepat menaruh prasangka terhadap sikap seseorang. Selain itu, pembaca juga turut dibuat mengagumi anak kos, dengan sikap pahlawannya.
5.2.3. Heroisme Laki-Laki
‘Tanya Tukang Cuci’ menampilkan perjuangan perempuan dalam bekerja, memenuhi kebutuhannya. Perempuan sebagai pencari nafkah utama bagi
“Lelaki itu hanya tertawa. Pakaiannya tetap kucal tak tersetrika, sedangkan pakaian kotornya menggunung di depan kamarnya. Aku tak lagi mempersoalkan. Aku juga tak lagi mempermasalahkan siapa dia dan apa pekerjaannya”
“Terhadap anak-anak kos yang lain aku semakin bertanya-tanya, sebetulnya apakah pekerjaan masing-masing mereka. Mereka, anak-anak kos yang pembayaran uang kos dan cucian selalu terlambat, namun tetap saja pakaian mereka licin dan rapi. Kami yang mencuci dan melicinkan pakaian merea. Berarti, anak-anak kos ini setiap hari menikmati hasil kerja keras kami membanting tulang dan memeras keringat secara semena-mena. Satu hal yang tidak dilakukan mas tadi.”
(15)
47
keluarganya. Bahkan Atin, gadis ini sudah berjuang sejak mudanya demi membantu keluarganya.
Tidak hanya upah yang kecil, Atin dan Ibunya harus menderita karena upahnya terlambat dibayarkan. Penderitaan yang dialami mereka ditampilkan melalui penceritaan yang dilakukan oleh Atin. Sebagai subjek cerita, Atin memaparkan apa yang dirasakan dan dialaminya sebagai tukang cuci. Persoalan yang dihadapi oleh Atin dan Ibunya memang terbilang telah banyak dialami para perempuan. Ideologi gender mempunyai pengaruh langsung atas jenis dan nilai pekerjaan yang dilakukan perempuan. Kaum perempuan diposisikan sebagai pekerja utama sektor domestik dan laki-laki di sektor publik. Sekalipun perempuan memasuki industri publik, ia cenderung untuk melakukan pekerjaan perempuan seperti merawat, memasak, mencuci atau menjahit. Alat produksi yang dimiliki oleh perempuan miskin pada umumnya hanya tenaga. (Ridjal,1993:161). Majikan mempunyai monopoli terhadap alat produksi. Karena itu, pekerja harus memilih antara diekspolitasi atau tidak mempunyai pekerjaan sama sekali. Agar perempuan terbebas dari penderitaan ini, perempuan pun harus bergerak dan berjuang untuk memiliki kapital/modal, inilah solusi yang ditawarkan. Ini adalah poin dari perjuangan feminis marxis.
Di tengah pengaruh stereotipe gender masih kuat, pengarang menunjukan perjuangan seorang ibu, sebagai pencari nafkah utama bagi keluarganya. Perjuangan perempuan juga semakin nyata melalui penceritaan yang dilakukan oleh tokoh yang bersangkutan.
Penyebab dari penderitaan itu sendiri adalah karena bapak kos dan anak-anak kos yang terlambar membayar kost. Diskriminasi gender dilakukan oleh para laki-laki, tetapi disatu sisi penyelamatnya juga laki-laki, yaitu anak kos yang tidak menyerahkan pakaian.
Apakah perasaannya tidak tersentuh melihat perempuan seperti ibuku menghidupi kami berdua dengan menjadi tukang cuci baju, dan jelas, aku yang masih sekolah harus membantu? Juga di sisinya, selain berbagi rezeki, ia juga mendapatkan keuntungan dengan pakaian yang bersih dan rapi.
(16)
48
Diantara tokoh-tokoh laki-laki tersebut, pengarang cenderung untuk pro dengan anak laki yang tidak menyerahkan pakaian. Penggambaran anak laki-laki di awal cerita sengaja dibuat penuh penasaran melalui tanya tukang cuci, Atin. Sehingga di akhir cerita, terasa kejutannya. Hal ini seperti apa yang dikatakan oleh Soe Tjen Marching, seorang komponis dan Doktor Studi Perempuan-Perempuan Indonesia Monash University, Australia bahwa heroisme laki-laki masih kuat dalam beberapa tulisan, termasuk cerpen kedua ini. 2 Di satu sisi lelaki ditampilkan tidak bisa membantu bahkan yang menyebabkan penderitaan, namun ada lelaki lain yang memahami perjuangan perempuan dan membantu perjuangan perempuan itu.
Tabel 5.2.3.
Pengarang ingin menunjukan bahwa ada laki-laki yang peduli terhadap perempuan sebagai sesamanya yang sederajat. Unsur heroisme yang tampil ini menyebabkan cerita pendek ini bias. Walaupun menunjukan isu-isu yang menjadi fokus feminis Marxis, buah perjuangan dari perempuan ini bukan dari dirinya sendiri, tapi atas pertolongan anak kos. Hal ini dilakukan pengarang guna memperbaiki citra laki-laki yang biasa di-cap sebagai penyebab penderitaan perempuan.
Representasi Feminis dalam cerpen ‘Tanya Tukang Cuci’ Pertama Realitas
Penderitaan yang dialami perempuan tukang cuci karena upah kerja yang terlambat dibayarkan.
Kedua Representasi
Penceritaan tunggal yang dilakukan oleh Atin menjadikan dirinya sebagai subjek pencerita. Penempatan Atin sebagai pencerita dan pembaca sebagai Atin, menjadikan realitas teks ini hadir sebagaimana
2
Dalam endorsement buku 13 Perempuan karya Yonathan Rahardjo
Bulan berikutnya, hal itu terjadi lagi. Anak kos yang kuanggap pelit itulah kata bapak kos, yang menyelamatkan pembayaran ongkos mencuci bulanan kami. Bagi kami jelas sudah, anak kos ini tidak turut menyerahkan pakaiannya untuk kami cuci, agar ia dapat membayar uang kos kamar secara tepat waktu.”
(17)
49
adanya. Karena pesan dari cerpen ini disampaikan oleh tokoh yang bersangkutan, yaitu Atin.
Ketiga Ideologi
Kisah perempuan yang ditandakan melalui penceritaan perempuan ini sendiri. Penderitaan dan perjuangan yang dialami keluar dari tokoh yang bersangkutan yaitu perempuan. Namun, adanya unsur heroisme di akhir cerita yang ditunjukan oleh tindakan anak kos, menjadikan teks ini bias. Meski begitu, dapat diketahui bahwa ideolog pengarang adalah memperbaiki citra laki-laki yang biasa di-cap sebagai penyebab penderitaan perempuan
5.3. CERPEN 3
5.3.1. Sinopsis Cerpen 3: ”Masuknya Lelaki Itu”
Kisah seorang TKW yang sedang melakukan perjalanan dari Cilacap menuju Jakarta dengan menggunakan bis umum. Dia bersama seorang temannya hanya mendapat tempat cadangan di belakang bangku yang wajarnya tempat itu adalah tempat barang.
Perempuan TKW ini pun harus berbagi tempat dan berdesak-desakan dengan seorang teman perempuannya dan seorang penumpang lelaki. Lelaki itu mengajak berkenalan, menanyakan banyak hal pribadi tentang perempuan ini, bahkan memeluk hingga berlaku lebih dari itu. Sementara perempuan ini hanya cenderung diam dan pasif, menjawab dengan singkat ketika ditanya.
Setibanya di Jakarta, perempun lalu menuju rumah kakaknya untuk meminta kunci rumah penampung TKW. Meskipun telah bebas dari rumah penampungan TKW, perempuan ini tidak tahu kenapa harus kembali ke tempat itu. Tidak seperti kehadiran lelaki yang dengan mudah masuk dalam tubuh dan hidupnya. Hingga di Jakarta pun, lelaki ini terus mengikut i perempuan menuju rumah kakak tokoh perempuan.
(18)
50
Di rumah itu, Suami kakaknya tanpa curiga--sama dengan sikap perempuan-- memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan lelaki mengenai kehidupan pribadi mereka. Lelaki ini mengorek banyak informasi kehidupan perempuan. Tidak ada ketakutan akan celaka dalam diri perempuan saat menceritakan kehidupannya pada lelaki itu. Lelaki ini pulang mendapatkan sesuatu, tanpa perempuan tahu siapakah lelaki itu sebenarnya.
5.3.2. Interpretasi Cerpen ”Masuknya Lelaki Itu”
Cerpen ‘Masuknya Lelaki Itu’ mengangkat sebuah realitas perempuan TKW yang dilemma menghadapi lelaki yang dijumpainya di dalam bis. Dilemma karena ia sendiri berhasil melarikan diri dari rumah penampungan TKW, tetapi saat berhadapan dengan lelaki itu dan diperlakukan tidak senonoh, perempuan ini tidak melakukan perlawanan. Bahkan perempuan ini pun begitu percaya dengan nalurinya bahwa laki-laki adalah seorang yang baik.
Pada waktu mengalami perlakuan tidak senonoh dari lelaki itu, perempuan ini justru hanya diam, dan berharap perbuatan itu tidak diketahui penumpang lain. Hal ini bisa disebabkan karena dua hal. Pertama, karena munculnya rasa ketertarikan perempuan ini pada lelaki tersebut. Sehingga dia tidak berani, dan cenderung menjaga jarak, supaya tidak terlalu jauh mencinta. Sebaliknya, bila perempuan ini tidak tertarik, merasa tidak nyaman dia akan teriak di bis dan banyak orang akan memergoki lelaki tersebut. Namun rasa ketertarikan ini tidak digambarkan cukup gamblang oleh pengarang dalam cerpen ini. Hal ini karena pengarangnya adalah laki-laki, meskipun ia adalah pengarang adalah seorang “Lelaki itu mulai mengajak berkenalan dengan bertanya tujuan kami. Aku merasa ia lelaki yang baik. Pada saat bis berhenti di persinggahan rumah makan, ia menawari kami untuk bersama minum, aku tidak menolak, karena percaya pada naluriku. Aku sendiri lebih banyak diam, jaga jarak hati dan lebih banyak pasif. Namun selanjutnya, di atas tempat duduk darurat yang membuat kami seperti pindang itu, kubiarkan lelaki yang berbaring bersama di antara dua perempuan (aku dan temanku), memelukku saat bis melaju melalui kota demi kota. Bahkan ku biarkan ia berlaku lebih dari itu, sambil sesekali memperhatikan sesama penumpang bis, jangan-jangan mereka memperhatikan gerak-gerik polah kami.”
(19)
51
penulis omniscient, penulis serba tahu dan menggunakan sudut pandang orang pertama ‘aku’, seperti dua cerpen sebelumnya, namun karena dirinya sendiri bukanlah perempuan, maka urusan romantika mengenai perempuan dalam cerpen ini pun tidak ditampilkan dengan jelas. Meskipun pengarang menjadi seolah-seolah seperti tokoh perempuan, namun tidak bisa seratus persen perempuan karena dirinya adalah laki-laki. Pengarang hanya menjelaskan dengan “jaga jarak dan lebih banyak pasif. Dia tidak bisa mendeskripsikan perasan perempuan ini lebih lanjut. Hal kedua, mengapa perempuan TKW membiarkan lelaki itu menjamah tubuhnya, disebabkan atas dasar stereotipe TKW di masyarakat, yang mana adalah perempuan tidak berdaya, yang seringkali dengan mudah menjadi korban pelecehan seksual.
Cerpen ketiga ini menempatkan perempuan sebagai subjek pencerita. Dia banyak mengutarakan perasaan dan pikirannya, bahkan kegalauan dan dilemma yang ia alami. Cerpen ini menampilkan curahan hati perempuan ini saat menghadapi lelaki yang masuk dalam hidupnya. Sementara, laki-laki dalam cerpen ini diposisikan sebagai objek pencerita. Sebagai objek, dirinya tidak diberikan tempat untuk menyampaikan pendapatnya mengenai perbuatannya pada perempuan TKW. Secara keseluruhan, tokoh perempuanlah yang memberikan komentar atas perbuatan lelaki ini. Hal ini dilakukan oleh pengarang karena cerita pendek ini ingin berfokus menceritakan kegalauan dan kebingungan yang dialami oleh perempuan ini.
Penggunaan kata ganti ‘aku’ membuat kesan kedekatan dengan pembaca. Ditambah pula dominasi narasi oleh tokoh perempuan, membuat pembaca fokus pada sosok perempuan ini. Pembaca pun diajak untuk kritis terhadap sikap perempuan melalui pertanyaan refleksi dari tokoh perempuan ini. Dikatakan
“Aku sendiri tidak tahu mengapa aku harus kembali ke tempat itu, sedangkan kunci kebebasan sudah dalam genggaman tanganku. Mengapa aku tidak mencontoh kehadiran lelaki dalam perjalanan panjangku dari Cilacap ke tempat ini? Lelaki itu dengan mudah masuk dalam tubuh dan hidup kami, mengorek informasi tentang kami tanpa takut celaka, meski pada akhir kebersamaan kami, aku tak lagi menunjukkan kedekatan terhadapnya yang pulang dengan tatapan mata lekat kepadaku.”
(20)
52
pertanyaan refleksi karena pertanyaan diatas adalah suatu hal yang menjadi pergumulan atas dilemma dan kegalauan yang dialami oleh perempuan, keberaniannya untuk kabur, tidak lantas membuatnya berani pula menghadapi lelaki itu.
5.3.3. Perempuan TKW
Seperti cerpen sebelumnya, harus tetap diakui bahwa gambaran perempuan dalam cerpen ini berbeda dengan stereotipe perempuan dalam masyarakat patriakhi. Perempuan TKW ini adalah sosok yang mandiri dan berani. Karena masalah perjumpaan dengan lelaki di bis, membuat ia antara dilemma dan galau. Perempuan ini berani menghadapi hidup tapi tidak berani menghadapi cinta. Perempuan ini justru lebih banyak pasif dan jaga jarak hati. Kebungkaman merupakan kekeliruan paling besar di pihak wanita. Pembebasan wanita dari penindasan laki-laki “hanya mungkin terjadi apabila perempuan berbicara, menampilkan sudut pandang mereka sendiri mengenai kehidupan perempuan harus berjuang untuk dirinya sendiri kalau ingin lepas dari penindasan (Satriyani,2009:518-519). Maka seharusnya pun, perempuan ini berani mengutarakan yang sebenarnya kepada lelaki itu secara jelas. Kisah perempuan yang diceritakan oleh perempuan langsung memberi dampak pada penceritaannya dengan lebih nyata. Penempatan pembaca sebagai tokoh perempuan juga kian membuat maksud penceritaan ini tersampaikan. Kelemahannya adalah karena pengarangnya laki-laki, dia tidak bisa sepenuhnya secara lengkap menggambarkan perasaan perempuan saat berhadapan dengan laki-laki, sehingga menyebabkan makna ganda.
Dalam cerpen ketiga ini, belum ditunjukan bagaimana perjuangan perempuan menghadapi masalahnya. Dia, perempuan yang masih dirundung kebingungan. Bahkan saat kebebasan dari penampungan TKW telah diraihnya, ia justru kembali ke penampungan itu, menunggu giliran diberangkatkan ke luar negeri.
“Mengapa aku tidak mencontoh kehadiran lelaki dalam perjalanan panjangku dari Cilacap ke tempat ini? Lelaki itu dengan mudah masuk dalam tubuh dan hidup kami”
(21)
53
Pengarang memaparkan sikap yang tidak jelas dari perempuan ini sebenarnya untuk menunjukan bahwa perempuan ini belum memiliki kualitas diri yang tinggi. Sebagai orang yang baru saja bertemu, perbuatan dari lelaki itu tidak seharusnya dilakukan. Karena itu adalah perbuatan tercela. Bagaimanapun perbuatan ini harus dihentikan. Di samping itu, bila dia memang berani, hal itu juga nampak pada aspek lain dalam dirinya.
Kritik pengarang terhadap kualitas diri perempuan yang rendah ditandakan melalui pertanyaan refleksi dalam cuplikan dialog di atas yang disampaikan sendiri oleh perempuan. Dengan disampaikan sendiri oleh perempuan, memberikan kesan bahwa perempuan memang memiliki kesadaran akan hal itu. Selain itu, kritik pengarang juga ditunjukan melalui penekanan latarbelakang pekerjaan sebagai TKW. Pekerja TKW seringkali dilabelkan sebagai orang dengan tingkat pendidikan rendah. Rendahnya tingkat pendidikan memberikan pengaruh pada kualitas diri seseorang. Dalam hal ini nampak kepedulian pengarang terhadap kasus-kasus mengenai tenaga kerja wanita. Meskipun tidak disampaikan dalam teks, tapi secara implisit dapat diketahui bahwa menurut pengarang, solusi atas penindasan dan penderitaan yang dialami oleh pekerjaan rumah tangga ini adalah akses pendidikan. Agar tidak hanya tenaga mereka yang dimanfaatkan, tapi mereka juga memiliki kemampuan intelektual dan spiritual yang mumpuni.
Tabel 5.3.3.
Representasi Feminis dalam Cerpen ‘Masuknya Lelaki Itu’ Pertama Realitas
Perempuan TKW yang dilemma menghadapi lelaki yang dijumpainya di dalam bis. Dilemma karena ia sendiri berhasil melarikan diri dari rumah penampungan TKW, tetapi saat berhadapan dengan lelaki itu dan diperlakukan tidak senonoh, perempuan ini tidak melakukan perlawanan.
(22)
54
Perempuan menjadi pencerita langsung memberi dampak pada penceritaannya dengan lebih nyata. Penempatan pembaca sebagai tokoh perempuan juga kian membuat maksud penceritaan ini tersampaikan.
Ketiga Ideologi
Pengarang memaparkan sikap yang tidak jelas dari perempuan ini sebenarnya untuk menunjukan bahwa perempuan ini belum memiliki kualitas diri yang tinggi. Bukan mengkritik, pengarang justru menunjukan kepeduliannya terhadap kasus-kasus mengenai tenaga kerja wanita, khususnya pengembangan SDM Tenaga kerja.
5.4. CERPEN 4
5.4.1. Sinopsis Cerpen 4: Kekuatanku
‘Kekuatanku’ bercerita mengenai perempuan, seorang single parent dengan satu anak, bekerja sebagai penjual makanan di depan sebuah kios pinjaman haji tuan tanah bersaudara. Pak Haji pertama memberikan izin kepada perempuan ini untuk berdagang lele di kios keluarga mereka. Hal berbeda terjadi pada Pak Haji yang kedua, dengan mengatasnamakan keluarganya, dia tidak membolehkan perempuan itu berdagang lele, alasannya karena kios bengkel bila digunakan perempuan berjualan pecel lele tersebut berisiko terhadap kebakaran. Tidak hanya karena itu, Pak Haji kedua ini mempersepsi bahwa perempuan ini adalah seorang lacur, didasarkan pada fakta bahwa perempuan tersebut memiliki anak tapi tidak bersuami. Dan juga ia bekerja di depan kios tepi jalan pada malam hari.
Tidak kurang cara, perempuan ini mendapatkan ganti tempatnya, sama-sama di depan kios bengkel, tapi pemiliknya mengizinkan untuk digunakan berjualan pecel lele. Warung perempuan ini selalu laris oleh pembeli. Namun tidak berlangsung lama, tidak diketahui kenapa akhirnya pemiliknya tidak lagi mengizinkan penggunaan tempat itu. Peristiwa ini membuat perempuan kecewa.
(23)
55
Perempuan terus berjuang untuk tetap mendapatkan penghasilan. Ia pun pindah kontrakan. Atas bantuan seorang marinir, ia berhasil mendapatkan tempat berdagang yang baru. Perempuan pun menjadi puas, terlebih pula karena sejak kepindahannya rumah kontrakannya yang dulu tidak laku, lahan bekas berjualannya dulu pun kosong. Warung barunya yang kini menciptakan keramaian.
5.4.2. Interpretasi Cerpen “Kekuatanku”
Pada cerpen ini, pengarang menunjukan perjuangan perempuan melawan penindasan yang terjadi pada dirinya. Penindasan yang dialami oleh perempuan dalam cerpen ini adalah dihalangi kesempatan bekerjanya. Dia dihalangi untuk membuka warungnya karena dirinya yang single parent, dianggap sebagai pelacur. Atas dasar hal tersebut, secara implisit, Pak Haji ke-2 yang ingin menjaga nama baiknya dengan tidak memberikan izin kepada perempuan untuk berjual.
Pengarang sengaja tidak menamai kedua haji dalam cerpen ini agar pembaca kritis terhadap tokoh masyarakat yang diceritakan cerita pendek ini. Pengarang memperkuat gambaran Pak Haji bersaudara ini melalui perbandingan perilaku keduanya. Haji yang pertama, memberikan izin kepada perempuan ini untuk berdagang. Dikatakan bahwa Pak Haji pertama telah mengetahui bagaimana memperlakukan manusia sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Tidak demikian dengan Pak Haji kedua.
Pengarang mengangkat realitas sosial ini, dengan maksud supaya pembaca menyoroti perihal kedua tokoh masyarakat ini, bahwa demikianlah tokoh
”Apa lacur, pada suatu hari ia mendatangi rumah kontrakanku dan mengutarakan keberatan saudaranya kalau aku terus berjualan di situ.”
“Pak Haji yang di depanku memang bijak, ia tahu nilai-nilai kemanusiaan,' perasaanku mekar bunga. Begitu berdiri kakiku terasa ringan. "Terima kasih sekali, Pak Haji," aku menyerongkan badan, wajah yang disinari sedikit rasa senang mulai berpijar.”
(24)
56
masyarakat yang ada disekitar kita yang kadang menekan orang lain, tetapi ada juga yang paham bagaimana memperlakukan orang lain.
Tidak hanya dilarang oleh Pak Haji, perempuan ini pun kembali tidak diizinkan berdagang oleh pemilik bengkel. Meski putus asa, tapi perempuan ini tetap memiliki motivasi kuat untuk berusaha. Pengarang menampilkan sosok perempuan yang tidak kenal menyerah.
Seperti cerpen sebelumnya, tokoh perempuan di cerpen ‘Kekuatanku’ mendominasi penceritaan. Perempuan berlaku sebagai subjek, yang menceritakan perjuangan hidupnya dalam mendapatkan tempat berjualan. Perempuan diberikan tempat utama oleh pengarang untuk mengutarakan perasaan serta semangatnya perjuangannya. Sehingga judul “Kekuatanku” benar-benar nyata tercermin pada dialog dan narasi yang disampaikan oleh tokoh perempuan ini sendiri.
Sedangkan objek pencerita dalam cerpen ini adalah Pak Haji Kedua. Penilaian atas tindakannya Pak Haji ini dituturkan oleh tokoh perempuan. Hal ini semakin ditegaskan oleh subjek pencerita melalui perbandingan sosok Pak haji bersaudara ini.
Penyebutan “Pak Haji yang di depanku” jelas diketahui bahwa tokoh perempuan memberikan penekanan bahwa Pak Haji pertama ini berbeda dengan yang lain, bahkan berbeda dengan saudaranya, yang juga berstatus Pak Haji.
“Aku putus asa dan tak peduli alasannya mengusirku secara halus. Sudahlah aku lebih baik pergi dari tempat itu, cari usaha di tempat lain.”
“Pak Haji yang di depanku memang bijak, ia tahu nilai-nilai kemanusiaan,' perasaanku mekar bunga. Begitu berdiri kakiku terasa ringan. "Terima kasih sekali, Pak Haji," aku menyerongkan badan, wajah yang disinari sedikit rasa senang mulai berpijar.”
Aku dekati pemiliknya melalui seorang marinir yang kukenal dan kuberi upeti… Berhasil! Pemiliknya luluh hati menyerahkan hak guna lahan itu untuk usaha dagangku di malam hari. Terimakasih, Marinir! Peduli setan dengan kau, Haji tuan tanah!
Sudahlah aku lebih baik pergi dari tempat itu, cari usaha di tempat lain.
(25)
57
Selain memberikan komentar mengenai Pak Haji bersaudara, tokoh perempuan sebagai subjek penceritaan, berkisah sendiri mengenai perjuangan hidupnya dan keberhasilannya. Hal ini memberikan kesan kuat pada cerita pendek berjudul “Kekuatanku” karena perempuan ditampilkan oleh dirinya sendiri sebagai pribadi yang kuat dan gigih berjuang.
Hambatan dan usaha perempuan yang dipaparkan satu per satu dalam cerita ini membuat pembaca turut merasakan perjuangan hidup perempuan ini. Pembaca diajak untuk memposisikan dirinya sebagai perempuan dalam tokoh ini.
Sudut pandang orang pertama ‘aku’ membantu penempatan posisi pembaca sebagai tokoh perempuan. Pengarang melakukan hal ini dalam proses kreatifnya dalam rangka penghayatan peran sebagai tokoh perempuan. Di sisi lain, hal ini pun memposisikan pembaca sebagai tokoh perempuan, dengan penindasan dan kegigihan perempuan ini.
5.4.3. Feminis Sosialis
Kekuatan tak kenal menyerah yang berbalut dendam membuat perempuan ini gigih memperjuangkan haknya untuk bekerja. Hak untuk mendapatkan penghasilannya. Karena terdesak kebutuhan, kekuatan perempuan ini pun tumbuh kembali. Tidak henti-hentinya dia berjuang. Kesemuanya tersebut diceritakan sendiri dari pihak perempuan menjadikannya realitas yang tampil utuh dan apa adanya. Lebih jauh, hal tersebut menunjukan ideologi yang digunakan dalam cerpen ini.
Aku hanya menyimpan satu denda, aku pasti bisa berdagang di seberang trotoar itu. Di seberang jalannya ada lahan kosong, aku harus mendapatkan tempat itu. Aku dekati pemiliknya melalui seorang marinir yang kukenal dan kuberi upeti… Berhasil! Pemiliknya luluh hati menyerahkan hak guna lahan itu untuk usaha dagangku di malam hari. Terimakasih, Marinir! Peduli setan dengan kau, Haji tuan tanah!
Sekarang keramaian malam pindah ke seberang. Rejeki pindah ke warung tendaku yang baru.
(26)
58
Seperti pendapat feminis sosialis, bahwa tidak hanya kapitalisme yang membuat perempuan menderita, tapi juga patriakhi. Jadi baik kapitalisme dan patriakhi adalah musuh yang harus dihancurkan. Demikian juga yang terjadi pada perempuan dalam cerpen ini. Pak Haji kedua menjadi cerminan sosok patriakhi, yang menghalangi kesempatan bekerja bagi perempuan ini. Hal itu dilakukannya karena perempuan ini dianggap sebagai perempuan yang tidak baik ‘pelacur’ atau pekerja malam.
Tampak kepasrahan muncul dalam sikap perempuan ini. Sikap pasrah perempuan ini bisa disebut kepasrahan positif (adversity quotion), yaitu kemampuan seseorang untuk menghadapi kesulitan hidup dengan tetap melakukan hal positif. Sikap pasrah menjadi negatif saat diekspresikan berlebihan dengan malas berusaha, bekerja dan berpikir. Kemalasan bukan kepasrahan (Roqib, 2007:178). Dia menunjukan buah dari perjuangannya. Hingga di akhir cerita dapat diketahui bagaimana perempuan ini berhasil mendapatkan tempat yang baru.
Bila pada cerpen sebelumnya, ideologi patriakhi masih tampil, dalam cerpen keempat ini berhasil menampilkan ideologi feminisme sosialis. Kode-kode representasi yang dilakukan melalui penempatan perempuan sebagai subjek pencerita dan pembaca yang ditempatkan sebagai tokoh perempuan, berhasil menyajikan realitas yang utuh dan apa adanya mengenai penindasan dan perjuangan perempuan. Komunikator dalam hal ini berhasil merepresentasikan dirinya sebagai feminis sosialis.
Tabel 5.4.3.
Representasi Feminis dalam Cerpen ‘Kekuatanku’ Pertama Realitas
Peristiwa dihalanginya kesempatan bekerja ditandakan melalui perbedaan pendapat Pak haji bersaudara yang diterima oleh perempuan tokoh utama dan perjuangan “Aku putus asa dan tak peduli alasannya mengusirku
secara halus. Sudahlah aku lebih baik pergi dari tempat itu, cari usaha di tempat lain.”
(27)
59
perempuan tanpa henti demi mendapat tempat bekerja. Kedua Representasi
Realitas tersebut digambarkan melalui sudut penceritaan dari perempuan, sementara Pak Haji kedua sebagai objek yang diceritakan. Penindasan dan perjuangan yang dialami perempuan kemudian diceritakan sendiri oleh dirinya, membuat realitas ini tampil utuh dan apa adanya. Penempatan pembaca sebagai tokoh perempuan juga kian membuat maksud penceritaan ini tersampaikan. Ketiga Ideologi
Kode-kode representasi yang dilakukan melalui penempatan perempuan sebagai subjek pencerita dan pembaca yang ditempatkan sebagai tokoh perempuan, berhasil menyajikan realitas yang utuh dan apa adanya mengenai penindasan dan perjuangan perempuan. Ideologi yang muncul adalah feminisme sosialis.
5.5. CERPEN 5
5.5.1. Sinopsis Cerpen 5: “Cermin Peninggalan”
Cermin Peninggalan menceritakan kisah seorang perempuan tua yang akan menutup usianya. Menjelang kematiannya, dia merindukan kehadiran dan perjumpaan dengan anak perempuan yang justru satu-satunya, bukan anak lelakinya yang banyak.
Kedekatan dengan anak perempuannya membuat ibu ini sering mengingat dan merindukan anak perempuannya yang kini telah merantau dan menjadi pendeta. Selain karena kedekatan, kebanggaan akan anak perempuannya membuat kerinduan ibu ini kian bertambah. Bangga karena satu anak perempuan inilah yang tetap berpegang teguh pada iman yang diajarkan dan diwariskan suaminya. Bahkan ia satu-satunya anak perempuan yang justru menjadi pemimpin iman, tidak seperti anak –anak lelakinya.
(28)
60
Di akhir cerita, dikisahkan secara singkat bagaimana kematian perempuan ini membawanya pada pertemuan dengan suaminya. Kerinduan dan pertemuan dengan anak perempuannya tidak lagi menjadi masalah, karena ia telah bertemu dengan suaminya, sosok yang dicerminkan oleh anak perempuannya.
5.5.2. Interpretasi Cerpen “Cermin Peninggalan”
Cerita pendek tersebut di atas ingin mengisahkan perempuan tua yang rindu bertemu dengan anak perempuan satu-satunya. Kedekatan yang lebih intens semenjak kecil, membuat perempuan tua ini lebih rindu dengan anak perempuannya dibanding dengan anak-anak lelakinya.
Sejak kanak-kanak hingga dewasa, anak perempuan ini lebih sering berinteraksi dengan ibunya, sebagai sesama perempuan. Bisa terjadi demikian karena dari masa dikandung, dilahirkan dan dirawat, semua dilakukan oleh ibu. Secara psikologi hal ini tentu mempengaruhi kedekatan dengan ibu. Bahkan sejumlah ahli pun mengatakan bahwa hubungan ibu dan anak perempuan cenderung memiliki suatu kedekatan khusus, suatu hubungan yang paling dekat dan paling penting dalam interaksi dengan keluarga. Menurut Psikolog, Lesley Miles, sang ibu terkadang memiliki kesulitan untuk membedakan apa yang harus dilakukannya untuk anak laki-laki dan perempuannya. Biasanya hubungan ibu dan anak perempuan bisa saling mengidentifikasi secara kuat dengan menjadikannya inspirasi satu sama lain, dan hubungan ini lebih sering diisi dengan ikatan emosional yang lebih dalam. Proximity dan kesamaan yang terjadi pada keduanya jelas memperkuat interaksi dan komunikasi bagi keduanya.
Selain karena kedekatan yang telah terjalin lama, kebanggaan pada anak putrinya ini kian membuat perempuan tua ini begitu merindukan anak perempuan.
Dulu ia dengan tubuhnya yang telah mendewasa masih saja tidur seranjang denganku. ‘Anakku… semenjak kulahirkan, kau tidak pernah jauh dariku. Pasti kau sangat mengenal aku.’
(29)
61
Karena dari beberapa anaknya, hanya dialah satu-satunya yang berpegang teguh pada imannya dan bahkan menjadi pemimpin sebuah agama. Bila dirunut dari sejarah agama dunia, perempuan yang menjadi pemimpin agama terjadi dalam sejarah Kristen. Perempuan memainkan peran kepemimpinan dalam komunitas Kristiani. Suatu kemajuan yang dialami perempuan. Hal ini pula yang membuat perempuan tua begitu bangga dan rindu kepada anak perempuannya.
Detail penceritaan cerpen ini disampaikan oleh perempuan tua, maka subjek pencerita dalam cerpen ini adalah perempuan tua tersebut. Dari awal penceritaan, perempuan tualah yang menceritakan bagaimana kisah hidup pribadinya. Hingga akhir cerita semua diceritakan oleh perempuan tua ini. Beberapa cuplikan berikut menjadi bukti bagaimana perempuan ini menjadi pencerita.
Sebagai subjek cerita, dia mendapat tempat leluasa untuk menceritakan kisah tentang anak perempuannya dengan ia mengenang suaminya, kebanggaan
"Anehnya,suamiku,,, aku merasa dekat denganmu bukan karena teringat anak-anak lelaki kita yang begitu banyak. Akan tetapi oleh karena mengingat ia, satu-satunya anak perempuan kita. Tahukah kau, suamiku, mengapa? Mengapa demikian?
"Ya betul suamiku… Sebab dialah satu-satunya anak kita yang lebih dari berpegang teguh pada keimanan yang telah kau bimbingkan kepada kami, keluargamu. Keimanan yang kamu pegang hingga kepergianmu meninggalkan kami. Dan kini ia satu-satunya anak perempuan kita, justru telah menjadi pemimpin iman bagi umat.
"Aku adalah perempuan muda, yang suka berjalan kaki menyusuri jalan demi jalan, dari kampung ke kampung, desa ke desa. Dipunggungku keranjang berisi sayu-mayur, kebaya dan kain panjang menutup tubuhku serta kain panjang pengikat panjang.
"Hari demi hari begitu… Hingga ia menjadi ayah anak-anakku, hingga anak paling bungsu, anak perempuan kami satu-satunya, yang mengingatkanku padanya, satu-satunya lelaki suamiku yang kini telah menjadi tanah… meninggalkanku sudah begitu lama, ketika anak perempuanku masih bersamaku di rumah peninggalannya ini.
“Aku kadang merasa kosong karenanya suamiku… suamiku. Namun aku tiba-tiba merasa terisi”
(30)
62
pada anak perempuannya serta kerinduannya karena anak perempuannya ini cerminan.
Sementara objek dalam cerita ini adalah anak perempuan. Gaya bercerita monolog oleh perempuan tua, tidak memberikan tempat bagi objek untuk mengidentifikasikan dirinya. Hal-hal mengenai dirinya disampaikan oleh subjek cerita.
Perempuan tua, yang adalah ibu anak perempuan inilah yang memberikan gambaran pada pembaca tentang anak perempuannya. Gambaran satu-satunya anak perempuan yang berbeda dengan saudara-saudaranya.
Dalam pembacaan cerita pendek ini dapat diketahui bahwa Yonathan Rahardjo sebagai pengarang menempatkan pembacanya sebagai tokoh perempuan tua ini. Detail penceritaan yang disampaikan oleh perempuan tua ini mengenai kerinduan dan kebanggaan pada anak perempuannya membawa pembaca untuk turut merasakan perasaan rindu dan bungah yang dialami perempuan tua ini. Melalui hal inilah apa yang dimaksud oleh pengarang diharapkan sampai pada pemahaman pembaca. Yaitu bahwa meskipun hanya seorang anak perempuan dan satu-satunya terbukti memberikan kebanggaan pada ibunya.
5.5.3. Feminis Liberal
Kebanggan perempuan tua terhadap anak perempuannya memang patut diapresiasi. Karena apa yang dicapai anak perempuan ini merupakan salah satu bukti sebuah kebangkitan bagi sejarah gereja dunia. Pada saat sebagian besar
"Ya betul suamiku… Sebab dialah satu-satunya anak kita yang lebih dari berpegang teguh pada keimanan yang telah kau bimbingkan kepada kami, keluargamu. Keimanan yang kamu pegang hingga kepergianmu meninggalkan kami.
“Dan kini ia satu-satunya anak perempuan kita, justru telah menjadi pemimpin iman bagi umat.”
“Tidak seperti rata-rata anak-anak lelaki kita, anak perempuan kita memang lain.”
“Ya suamiku, aku sungguh rindu padanya. Suamiku. ”Maka biarkan aku memelukmu dan kau memelukku.”
(31)
63
tradisi agama dunia memberikan peran sekunder dan subordinat, sejarah Kristen memberikan peran kepemimpinan komunitasnya bagi perempuan.
Gelombang tuntutan terhadap penahbisan perempuan Kristen yang berembus kencang sejak paro pertama abad ke-20, dan mencapai hasilnya ketika Gereja-Gereja Protestan dan Presbyterian mulai menahbiskan perempuan sejak 1970-an. Luther, sebagai pelopor hal ini menyatakan “tetapi imam-imam itu merupakan pelayan yang dipilih diantara kira, yang melakukan segala sesuatu aras nama kita” Dengan menekankan ungkapan “dipilih dari antara kira, Luther bermaksud mengatakan secara tidak langsung bahwa pandangan hierarkis tradisional tentang gereja harus ditinggalkan. Semua orang Kristen adalah imam, semua perempuan adalah imam perempuan, muda atau tua, tuan atau budak, nyonya atau pembantu, terpelajar atau tidak. Disini tidak ada perbedaan (Urban, 2006:441).
Pandangan Luther pun kian kuat dipengaruh oleh Concordet, seorang humanis Prancis, menunjukan bahwa perempuan seperti laki-laki adalah makhluk dengan ketajaman perasaan, akal budi dan moral. Concordet menambahkan dengan memiliki kualitas-kualitas yang sama, tentu perempuan memiliki hak-hak yang sama. Tak satu individu pun di antara umat manusia yang mempunyai hak-hak yang ia miliki sejak awal, semua orang memiliki hak-hak yang sama ; dan barangsiapa memilih untuk melawan hak-hak orang lain, apapun agama, warna kulit atau jenis kelaminnya, mulai sekarang telah menyangkali haknya sendiri. (Urban, 2006: 488).
Sepakat dengan gerakan liberal ini, kaum feminis Kristen pun meneliti kembali ayat alkitab mereka dan tiba pada kesimpulan bahwa tradisi dan sejarah telah menumbangkan potensi perempuan dan menggunakan agama untuk menekan perempuan, mereka menemukan fakta bahwa agamanya menawarkan kemungkinan pembebasan dan perbaikan dalam posisi perempuan (Mosse, 2007: 85-86). Surat Rasul Paulus menjadi landasan gerakan mereka. Paulus dan penulis surat Timotius pertama melarang perempuan untuk berbicara dalam gereja. Namun situasinya lebih kabur daripada yang ditampakkan oleh rujukan-rujukan alkitabiah ini. Awalnya dalam surat Korintus yang Pertama pasal 11:4-5 Paulus
(32)
64
mengomentari apa yang jelas merupakan praktik dari gereja di Korintus mengenai perempuan yang berdoa dan bernubuat dalam pelayanan ibadah. Ia tidak mengkritik perempuan oleh karena praktik ini, tetapi semata-mata karena tidak memakai kerudung ketika mereka melakukanya. Kemudian dalam surat Galatia, Paulus mengatakan bahwa di dalam Kristus, “tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tida ada hamba orang mereka, tidak ada laki-laki atau perempuan. Paulus muncul sebagai figur yang sangat penting dalam transisi ini.
Kemajuan yang luar biasa ini memang patut menjadi kebanggaan. Terutama bagi seorang ibu terhadap anaknya sendiri. Kebanggaan dan kerinduan ibu terhadap anak perempuan satu-satunya ditandakan dengan menempatkan ibu sebagai pencerita, tentu hal ini tepat dilakukan. Sehingga realitas yang dihadirkan kembali pun apa adanya, karena penceritaan dilakukan melalui suara tokoh yang mengalami. Lebih jauh, hal tersebut memunculkan ideologi dari pengarang, yang nampakknya pengarang dalam cerpen ini kembali menampilkan gagasan feminismenya. Ia tampil sebagai seorang pengarang feminis dengan aliran liberal.
Tabel 5.5.3.
Representasi Feminis dalam Cerpen ‘Cermin Peninggalan’ Pertama Realitas
Kebanggaan dan kerinduan ibu terhadap anak perempuan satu-satunya ditandakan melalui monolog yang dilakukan ibu. Mulai dari kehidupan masa mudanya, pernikahan dan kekosongannya, hingga dirinya kembali terisi akibat kenangannya bersama anak perempuan yang dirindukannya—semua dipaparkan oleh tokoh ibu.
Kedua Representasi
Realitas yang diceritakan secara monolog oleh ibu, menjadikan dirinya sebagai pencerita, sedang anak perempuannya sebagai objek yang diceritakan. Realitas yang dihadirkan kembali pun apa adanya, karena penceritaan dilakukan melalui suara tokoh yang
(33)
65 mengalami Ketiga Ideologi
Hal tersebut memunculkan ideologi dari pengarang, yang nampaknya pengarang dalam cerpen ini kembali menampilkan gagasan feminismenya aliran liberal.
5.6. CERPEN 6
5.6.1. Sinopsis Cerpen 6: “Rumah Warisan”
Pada saat kematian ibunya, Ragil, bungsu yang merupakan anak perempuan satunya-satunya, tidak mendapatkan kesempatan melepaskan ibunya untuk terakhir kali. Kakak-kakaknya ingin segera memakamkan karena menuruti adat kebiasaan yang mereka kenal, padahal menurut keimanan, pemakaman ibunya tidak harus dilangsungkan segera.
Meskipun demikian, Ragil mendapat kesempatan lain yaitu mengalami pertemuan dengan ibunya melalui mimpi, dalam keadaanya yang pingsan di pekuburan ibunya. Dalam pertemuan itu, terjadi percakapan antara Ragil dan Ibunya, terutama mengenai tindakan saudara-saudaranya yang tidak memberikan kesempatan Ragil untuk melihat ibunya terakhir kali.
Puncak masalah dalam cerpen ini adalah dalam waktu tengah berduka itu, kakak-kakak Ragil memulai pembicaraan rumah warisan bapak dan ibu. Ragil yang merasa kesal, memprotes dan coba menghentikan kakaknya untuk tidak membahas itu. Tapi kakaknya justru kian berceloteh. Bentuk respon Ragil adalah diam dan dia tidak pernah datang mengunjungi rumah orang tuanya itu. Sementara kakaknya mendapat cibiran dari masyarakat.
5.6.2. Interpretasi Cerpen “Rumah Warisan”
Cerpen ini nampak seperti sekuel dari cerpen sebelumnya yaitu ‘Cermin Peninggalan’. Diletakkan pada halaman setelah cerpen ‘Cermin Peninggalan’, membuat pembaca tetap terjaga pada kasus dan situasi yang hampir sama. Hanya saja, pada cerpen ‘Rumah Warisan’ ini, pengarang telah menamai anak
(34)
66
perempuan, dengan nama Ragil. ‘Rumah Warisan’ berkisah mengenai kakak beradik yang baru saja ditinggal mati ibunya memperdebatkan rumah warisan milik orang tua mereka.
Masa duka dipandang sebagai waktu tidak tepat untuk membahas pembagian rumah warisan, sebuah ketidaketisan dalam cerpen ini, adalah poin yang ingin dimaksudkan oleh pengarang. Hal ini disampaikan melalui sosok Ragil yang menentang kakak-kakaknya. Dapat diketahui bahwa subjek pencerita dalam cerpen ini adalah Ragil. Sementara objeknya adalah kakak-kakak lelaki Ragil.
Dalam cerpen ini, subjek dan objek diberikan porsi yang sama untuk menyatakan pandangannya mengenai rumah warisan. Yang menjadi berbeda adalah pendapat dan pandangan siapa yang menang dalam cerita ini dan siapa yang dikucilkan
Sebagai subjek, kehadiran dan pendapat Ragil tidak mendapat perhatian saudara-saudaranya. Ragil dikucilkan dalam diskusi keluarga itu. Pendapat Ragil yang dikatakan lebih bijaksana, karena ia memahami nilai-nilai sosial dalam masyarakatnya, sebenarnya bukan hendak memuji Ragil, tapi justru
"Sudah!Sudah! Ngaco, kalian semua! Ngomong tidak berperasaan!" Isak tangis dari Ragil, adik perempuan mereka, menampar setiap mulut sehingga langsung terdiam.
"Ragil, aku tahu kamu tidak memikirkan soal duniawi ini, karena kamu memang menjadi pemimpin umat bersama suamimu. Begitu juga aku. Selain berhasil menjalankan ibadah tertinggi dalam agamaku, aku tetap mengimbangi dengan sukses duniawi seperti usahaku jadi jadal sapi yang sukses bersama mbakyumu, istriku! Tapi kakak-kakakmu? Lihat, bisa apa mereka? Mencari nafkah saja dengan membesarkan betis... " “Rumah ini adalah rumah Emak dan Bapak, cermin kehadiran beliau berdua. Pasti beliau berdua pun membagi rumah ini bagi kita berenam,” tiba-tiba Tri, anak nomor tiga, berkata dengan suara keras.
“Apa maksudmu Tri?”
“Kita masih dalam suasana duka” ……..
“Karena aku yang paling mampu, maka aku yang akan membeli rumah ini.”
(35)
67
menyindir Ragil untuk tidak terlalu ketat terhadap nilai-nilai tersebut. Hal ini terbukti dari pendapat kakak-kakaknya.
Tidak hanya dikucilkan, dari awal penceritaan, sebelum perdebatan mengenai rumah warisan, pengarang memperlihatkan kepada pembaca bagaimana kakak-kakak Ragil memperlakukan Ragil secara berbeda.
Selain tidak jujur pada Ragil, mereka juga menguburkan ibunya berdasar atas adat kebiasaan yang mereka anut, bukan iman keyakinan mereka. Tampak diabaikannya posisi Ragil sebagai pemimpin agama. Dasar dari perlakuan yang dialami Ragil ini adalah karena dia anak bungsu, perempuan pula.
Walaupun dikucilkan, Ragil bukanlah seorang yang kalah. Objek yang diceritakan, mereka lelaki kuat dan kakak-kakak yang penuh kuasa, namun di akhir cerita mereka mengalami kekalahan. Suatu kekalahan besar, bukan kalah karena harta, tapi kehilangan reputasi baik di mata masyarakat. Hal ini karena dalam berpikir logis, seringkali mereka mengabaikan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat.
"Catur sebentar lagi tiba."
"Apa Ragil sudah dalam perjalanan?" tanya anak lelaki ketiga yang paling percaya diri menjadi pemimpin perkabungan. "Sudah. Namun, ia hanya dikabari bahwa Emak dalam kondisi kritis."
"Itu bukan kemauanku, anakku. Saudara-saudaramu yang menginginkan jasad Emakmu ini segera dimakamkan sebelum petang."
"Bukankah Emak masih bisa disemayamkan malamnya diiringi doa-doa penghiburan dan baru dimakamkan esok ahrinya, ketika aku sudah pasti tiba?"
"Ragil, Emak tak kuasa menahan kakak-kakakmu. Sedang mereka bersiteguh dengan adat kebiasaan yang mereka kenal.
Sejak saat itu, sekembalinya ke kota tempat tinggalnya, Ragil tidak pernah lagi berkunjung ke rumah yang baru saja ditinggalkan emaknya. Sedang kakak-kakaknya, Eko, Tri, Catur tersekat tenggorokannya. Tri yang mengumbar hasrat sebelum waktunya itu, meneguk ludah sendiri wajahnya merah, menanggung cibiran dan sorotan mata menghina dari siapapun yang terhitung keluarga dan para tetangga.
(36)
68
Hasil akhir ini ditampilkan oleh pengarang, agar pembaca menilai sendiri seperti apa sebenarnya kakak-kakaknya yang laki-laki ini memperlakukan adik bungsunya, yang adalah perempuan beserta akibat yang diterima. Pengarang menempatkan pembaca sebagai pihak yang pro dengan Ragil.
Selain itu, cuplikan narasi ini semakin memperkuat pemosisian pembaca sebagai Ragil. Posisi pengarang sebagai narator memperlihatkan posisinya yang cenderung mendukung Ragil. Pembaca tidak hanya diajak untuk merasakan perlakuan yang tidak adil yang dialami Ragil, tetapi pengarang sebagai narrator juga mengajak pembaca untuk tidak ragu mendukung Ragil lewat apa yang disampaikan narrator.
5.6.3. Feminis Liberal
Gambaran perempuan ditampilkan kontras dalam cerpen ini. Ragil, sebagai perempuan pemimpin umat, tidak mendapat tempat dalam keluarganya. Dia tidak diberi kesempatan oleh saudara-saudaranya untuk mengantarkan pengkuburan ibunya.
Tidak hanya itu, dalam perdebatan mengenai rumah warisan pun, pendapat Ragil diabaikan. Posisinya sebagai pendeta, justru dijadikan alasan oleh kakak-kakaknya untuk menyangkal pendapat Ragil dalam pembicaraan rumah warisan. Menjadi bungsu dan seorang perempuan memang membuat pendapat Ragil tidak dihargai dan dikucilkan. Di Asia, perempuan umumnya dilihat sebagai pelengkap laki-laki dan dihormati sebagai ibu. Perempuan kurang berhak atas warisan dan kedudukan sangat lemah (Frommel, 2006:19).
Mereka merasa masih melihat kehadiran kedua orangtua terkasih di antara wajah-wajah mereka dalam cermin. Darah yang mengalir dalam tubuh mereka adalah darah orang tua yang sama. Tapi mengapa harus ada perasaan aneh itu?
"Ragil, aku tahu kamu tidak memikirkan soal duniawi ini, karena kamu memang menjadi pemimpin umat bersama suamimu. Begitu juga aku. Selain berhasil menjalankan ibadah tertinggi dalam agamaku, aku tetap mengimbangi dengan sukses duniawi seperti usahaku jadi jadal sapi yang sukses bersama mbakyumu, istriku! Tapi kakak-kakakmu? Lihat, bisa apa mereka? Mencari nafkah saja dengan membesarkan betis... "
(37)
69
Pengarang ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa laki-laki dalam cerpen ini adalah sosok yang ‘mau gampangnya’ yang selalu mengandalkan pikiran logis. Berkumpulnya semua keluarga adalah pilihan waktu yang masuk akal untuk membicarakan rumah warisan, faktanya kedua orang tua pun telah meninggal, siapa yang akan menempati dan memilikinya. Sementara Ragil ditampilkan sebagai anak yang sayang orang tuanya. Bagi Ragil persaudaraan harus tetap dipertahankan tanpa berebut soal warisan. Bahwa di sini kembali diungkapan bahwa perempuan lebih memakai perasan dan menghayati suatu kehidupan, menghayati mengenai bagaimana hubungan mereka dengan yang lain.
Walaupun ditemukan stereotip gender bahwa pria cenderung berpikir logis perempuan menggunakan perasaannya. Akan tetapi dalam cerpen ini ditemukan hal yang berbeda, sejurus dengan pandangan feminis liberal, pengarang ingin menunjukan bahwa setiap manusia punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Jika perempuan mendapat pendidikan yang sama maka perempuan juga mampu bersikap seperti lak-laki. Ragil, sebagai pendeta, ia adalah seorang intelektual dan spiritualis, apa yang dilakukan perempuan sebenarnya bukan hanya karena dia menggunakan perasaan, tapi karena kesadarannya akan realita dalam masyarakat, norma yang berlaku yang harus dipatuhi sehingga tidak membuat keluarga ini dikucilkan oleh lingkungan sosial. Karena di akhir cerita, ditunjukan akibat atas ketidakpedulian kakak-kakaknya, yang hanya mengandalkan kelogisan pikiran, tanpa memerhatikan norma sosial.
"Sudah!Sudah! Ngaco, kalian semua! Ngomong tidak berperasaan!" Isak tangis dari Ragil, adik perempuan mereka, menampar setiap mulut sehingga langsung terdiam.
Sedang kakak-kakaknya, Eko, Tri, Catur dan ponco tersekat tenggorokannya. Tri, yang mengumbar hasrat sebelum waktunya itu, meneguk ludah sendiri. Wajahnya merah menanggung cibiran dan sorotan mata menghinda dari siapapun yang terhitung keluarga dan para tetangga.
“Kuburan orang tua masih basah, sudah ribut soal warisan…” celoteh mereka.
(38)
70
Perempuan dalam cerpen ini meskipun tidak mendapat tempat dalam keluarganya, namun ia tampil sebagai seorang perempuan yang memiliki kedudukan tinggi sebagai pendeta dan berani berpendapat. Kekesalan terhadap sikap saudara-saudaranya pun membuatnya bertindak tegas dengan tidak pernah kembali ke rumah warisan orang tuanya.
Penempatan Ragil sebagai subjek mengandung muatan ideologis tertentu. Meski ditulis oleh laki-laki, tapi pengarang justru mengangkat realitas ini dengan sudut penceritaan Ragil. Kelelakian pengarang tidak lantas membuatnya sepakat atas dominasi kakak-kakak lelaki Ragil. Karena dominasi kakak-kakak itu tidak menghargai Ragil, sebagai saudara kandungnya. Dan dibalik alasan logis kakak-kakak memperebutkan rumah warisan, pengarang melihat hal ini adalah ketidaketisan. Atas alasan itu, maka pengarang menampilkan dampak dari perbuatan kakak-kakak Ragil.
Tabel 5.6.3
Represetasi Feminis dalam Cerpen ‘Rumah Warisan’ Pertama Realitas
Perdebatan rumah warisan antar saudara ditandakan melalui dialog antar saudara. Realitas ini menampilkan sosok Ragil yang tidak dihargai dan dikucilkan oleh saudaranya yang semua laki-laki. Namun kekalahan justru terjadi di pihak kakak-kakaknya.
Kedua Representasi
Realitas tersebut digambarkan melalui penempatan Ragil sebagai subjek pencerita. Dan kakak-kakak Ragil sebagai objek yang diceritakan
Ketiga Ideologi
Hal tersebut mengandung ideologis tertentu. Kelelakian pengarang tidak lantas membuatnya sepakat atas dominasi kakak-kakak lelaki Ragil. Bukan karena Ragil
(39)
71
terlalu berperasaan, tapi kemampuan intelektual dan spiritual Ragil justru lebih jeli melihat norma sosial di masyarakat dibanding kakak-kakaknya. Sehingga dapat diketahui ideologi pengarang mencerminkan pandangan feminis liberal.
5.7. CERPEN 7
5.7.1. Sinopsis Cerpen 7: “Ingat Pesan Sarni”
Kisah perjuangan Tiyan yang bertahan dari tekanan paman-pamannya demi memperjuangkan haknya untuk tinggal di rumah warisan kakeknya. Sepeninggalan ayahnya, Tiyan tidak lagi mendapat tempat dalam silsilah keluarga ayahnya. Sarni, Bude Tiyan lah yang banyak membantu Tiyan, memberikan semangat kepada Tiyan dan melakukan pembelaan kepada paman-paman Tiyan yang bersikap penuh kuasa kepada Tiyan.
Tiyan banyak mendapat tekanan dari paman-pamannya. Paman Patmo sering membawa istri simpanannya ke rumah Tiyan. Ia menekan Tiyan untuk tidak melaporkan itu pada Ina, istri Patmo. Namun hal ini kemudian diketahui oleh Ina, dan yang disalahkan justru Tiyan, karena dituduh menyembunyikan hal ini. Tekanan yang lain juga datang dari Paman Winar, yang merusak lantai masih basah dengan memasukan drum minyak tanahnya.
Merasa memiliki hak yang sama atas rumah tersebut, Tiyan yang kesal, memprotes pamannya. Tetapi ancaman agar Tiyan segera meninggalkan rumah tersebut kerap datang dari Paman Suko, yang justru sudah punya beberapa rumah besar. Tiyan tetap diam dan tidak mencipta masalah, karena saudara-saudaranya tersebut pasti memiliki banyak alasan untuk membuat Tiyan meninggalkan rumah itu. Tapi Tiyan tidak berhenti berjuang, ia tetap ingat pesan Sarni untuk memperjuangkan hak yang sama atas rumah itu.
(40)
72
5.7.2. Interpretasi Cerpen “Ingat Pesan Sarni”
Topik yang diangkat dalam cerpen ketujuh ini tidak jauh berbeda dengan cerpen keenam, masih terkait dengan permasalahan rumah warisan. Yang menjadi berbeda adalah dalam cerpen ini, adalah tekanan yang dialami Tiyan atas rumah kakek yang ditempatinya. Kematian ayahnya, membuat posisi Tiyan lemah di hadapan paman-pamannya, padahal Tiyan pun memiliki hak atas rumah tersebut.
‘Ingat Pesan Sarni’ menyiratkan perjuangan perempuan untuk mendapatkan haknya atas rumah warisan keluarga besarnya. Salah satu yang membuat dia bertahan dari tekanan-tekanan pamannya adalah dukungan dan pesan dari budenya, Sarni.
Dalam cerpen ini dapat diketahui bahwa pengarang adalah narrator the third person omniscient, pengarang hadir dalam cerita yang dibuatnya sebagai pelaku ketiga yang serba tahu. Dalam hal ini pengarang masih mungkin menyebutkan namanya sendiri, seperti saya atau aku.
Tidak hanya sebagai narrator, pengarang juga menempatkan dirinya sebagai sosok Tiyan. Kecenderungan pengarang terhadap tokoh Tiyan akhirnya menempatkan perempuan ini sebagai subjek pencerita sementara paman-paman Tiyan sebagai objek yang diceritakan. Sebagai subjek cerita, Tiyan menceritakan
Bude Sarni, bagi Tiyan adalah pembela hidupnya. Tiyan yang tinggal di rumah warisan kakeknya, Mbah Karso, mendapat tekanan dari paman-pamannya sejak ayahnya meninggal.
Tiyan yang tidak punya rumah sendiri, menempati rumah warisan kakek itu dengan duka. "Kamu harus membangun kamar mandi sebagai ganti pembayaran kontrak rumah ini," perintah saudara ayahnya lagi.. "Kamu harus membayar pajak atas rumah ini," ujar mereka.
Tiyan bernadzar, "Aku tidak mau Bude meninggal. Bude harus hidup dan sembuh. Meski Bude sakit-sakitan memkai kursi roda, Bude harus hidup dan menjadi orang pertama yang duduk di rumah baruku jika aku punya nanti."
Bude Sarni, bagi Tiyan adalah pembela hidupnya. Tiyan yang tinggal di rumah warisan kakeknya, Mbah Karso, mendapat tekanan dari paman-pamannya sejak ayahnya meninggal.
(41)
73
kepada pembaca bagaimana sosok dirinya yang lemah dan tidak berdaya harus berjuang dan bertahan dari tekanan paman-pamannya.
Agar perjuangan Tiyan dan penindasan yang dialaminya menyentuh afektif pembaca, di dalam narasi cerita, pengarang, sebagai narrator membawa pembaca untuk fokus pada sosok Tiyan melalui ditunjukannya gambaran paman-pamannya yang berkuasa. Pengarang ingin mengajak pembaca bersama-sama melihat dan juga bersimpati mendukung tokoh Tiyan yang mendapat tekanan dari paman-pamannya.
Pihak otoriter menekan yang lemah memang kerap tampil dalam teks-teks. Tema-tema semacam ini memang menjadi suatu hal yang menarik. Pembaca seolah diajak untuk merefleksikan bagaimana pihak yang berkuasa ini cenderung menggunakan kekuasaannya dengan semena-mena. Sementara mereka yang ditindas adalah mereka yang lemah tidak berdaya. Ini terjadi pula dalam cerpen ‘Ingat Pesan Sarni’. Pengarang ingin pembacanya tidak menutup mata terhadap mereka yang lemah dan kritis terhadap pemilik kekuasaan.
Dengan posisi Tiyan yang lemah karena tidak ada ayah pelindungnya, terhadap Patmo ini pun Tiyan tidak berkuasa menolak kehadiran mereka ……
Suami yang berselingkuh itu menekan Tiyan, "Awas kalau kamu laporkan Mbak Ina, kalian harus angkat kaki dari rumah ini!"
Tiyan merasa, “Aku tidak mampu menolak kehadiran mereka karena De Patmo-lah yang merasa lebih berhak atas rumah ini daripada aku.”
"Jangan macam-macam, kamu. Kulaporkan Lik Suko, nanti kamu diusir! ketus Winar. Selalu disebut-sebut untuk mengusir Tiyan adalah Suko, saudara paman-paman itu dan saudara almarhum ayah Tiyan yang paling kaya, yang punya rumah besar-besar.
“Rumah dan tanah ini akan kuagrariakan. Separuh akan kujual dan separuh akan kuberikan Tiyan!”kata Suko, adik Parto, almarhum ayah Tiyan.
“Lha Tiyan, Eyi, Kerti dan Diman bagaimana?” “Biar mereka keluar dari rumah ini,”jawab Suko tanpa perasaan.
(1)
102
bagaimanapun caranya. Doanya semakin tekun ketika keadaan semakin menegang karena perang.
5.13.2. Interpretasi Cerpen “Di Balik Gunung”
Di Balik Gunung merupakan kisah asmara dan rindu Galuh Candra Kirana kepada Inu Kertapati. Cerpen ini diceritakan oleh pencerita tunggal Galuh Candra Kirana. Semua narasi dan dialog adalah dominasi dari pencerita tunggal.
Dalam cerpen ini, pengarang kembali menjadi seorang omnicienst, pengarang serba tahu. Pengarang benar-benar mendalami peran sebagai Galuh Candra Kirana. Sebagai pencerita tunggal, Galuh Candra Kirana digambarkan bersama perasaan galau akan cinta dan rindunya pada Inu Kertapati. Menjadi pencerita membuat Galuh Candra Kirana memaparkan semua perasaannya itu secara lengkap oleh dirinya sendiri, tidak diwakili oleh suara orang lain.
Subjek cerita memaparkan secara jelas bagaimana hasratnya untuk bertemu seorang yang dikasihinya. Inu kertapati sebagai yang diceritakan, tidak ditemukan mengungkapkan bagaimana dengan dirinya. Hal ini dilakukan oleh pengarang, karena memang ingin menonjolkan sisi Galuh Candra Kirana. Gambaran perempuan yang menaruh harapan pada cintanya bahkan di saat perang melanda.
"Kakanda Inu Kertapati… di mana, Kau, Kanda? Banyak anak sungai di Jenggala, namun ku tahu pasti hanya induk sungai Brantas yang bakal menyatukan kita. Haruskah kususuri sungai induk ini ke arah hulu untuk bertemu denganmu? Atau, kemarilah Kanda, berjalanlah mengikuti alirannya, ke sini, kepadaku," katanya dengan mata berbuah berkaca-kaca.
"Ayolah berenang menyeberangi air bermerah darah pejuang. Di sini aku menanti dengan memegang bunga perdamaian. Akan ku sambut erat jemari tanganmu. Kita berjalan bersisian. Tapak kaki kita menjejak lembut, mengubah pasir bibir kali menjadi bibir lompatan rahasia kita mencipta perdamaian abadi Jenggala dan Panjalu," bisik lembut putri Galuh Candra Kirana dengan perantaraan angin.
(2)
103
Dalam pembacaan dominan, pembaca diposisikan sebagai Galuh Candra Kirana. Cara seperti ini baik dilakukan karena sesuai dengan maksud penceritaan yaitu mengisahkan kegalauan hati Galuh Candra Kirana. Disampaikan melalui dirinya sendiri, membuat pembaca akhirnya mendapatkan ungkapan rasa yang sesungguhnya yang disampaikan oleh tokoh yang mengalami langsung.
5.13.3. Perempuan yang Tekun dalam Pengharapan
Penempatan Galuh Candra Kirana sebagai pencerita, menampilkan realitas tentang kerinduan dan harapan Galuh Canda Kirana pada pujaan hatinya, Inu Kertapati.
Galuh Candra Kirana berusaha untuk bertemu dengan Inu Kertapati. Tapi karena dirinya perempuan, dia tidak mendapatkan akses itu. Dirinya cukup beruntung atas statusnya sebagai putri raja, setidaknya dirinya bisa pergi keluar,
'Meski seandainya pun aku rakyat biasa, bukankah seorang gadis sepertiku juga tidak dapat bepergian ke mana suka? Bukankah hanya para lelaki yang bebas pergi ke mana pun ingin?'
' Hanya karena aku putri raja, maka aku dapat berkunjung ke tempat-tempat penting di Jenggala, meski dengan pengawalan ketat balatentara kerajaan,' renungnya dengan kepala
menunduk.
"Aku harus turut menanggung akibat peperangan yang tak henti antara kerajaan Jenggala, dimana ayahanda Mapanji Garasakan yang berkuasa, berperang melawan kerajaan Panjalu di mana pamanda Sri Samarawijaya, ayahanda Kakanda Inu berkuasa, sesal Galuh Candra Kirana menundukkan kepala.
Rasanya debar dada Galuh Candra Kirana ada kaitannya dengan tempat itu. Ya, rasanya ada kaitannya dengan tempat paling selatan dari wilayah kerajaan Jenggala. Ya. Karena, di balik Gunung Pawitra itu, "Pastilah Kakanda Inu Kertapati berada,"kata Galuh Candra Kirana lalu mengigit bibir, dengan dada bergetar kencang. Di balik Pawitra, salah satu sisinya adalah wilayah kerajaan Panjalu, di mana Inu Kertapati menjadi putra mahkota.
……….."Tolonglah hamba Sang Hyang Wenang…"lanjutnya, "Pertemukanlah hamba dengannya, apapun caranya, lewat jalan di Pawitra, maupun menyusuri arah berlawanan aliran Brantas menuju tempat kami berada……
(3)
104
berkunjung ke tempat-tempat penting. Kekhususan yang dimiliki Galuh Candra Kirana sebagai perempuan, tidak membuat dirinya berjuang lebih keras untuk bertemu dengan Inu Kertapati. Apa yang dilakukan oleh Galuh Candra Kirana dengan senantiasa berdoa memang hal yang luar biasa. Berdoa memang menjadi kekuatan setiap umat manusia. Namun, manusia juga tetap perlu bergerak. Kekuatan doa menjadikan kita bergerak dengan tidak mengandalkan kekuatan manusia semata. Berdasarkan fakta yang dipaparkan ini, tidak menunjukan gagasan pengarang mengenai perjuangan seorang perempuan. Hanya terdapat gambaran pengharapan perempuan akan orang yang dicintainya. Bisa jadi mungkin hal ini disengaja, karena pengarang hanya ingin mengangkat realitas mengenai betapa Galuh Candra Kirana menyimpan hasrat rindu dan cintanya. Mengingat pula ciri khas cerita pendek hanya memaparkan satu pokok masalah.
Tabel 5.13.3
Representasi Feminis dalam Cerpen “Di Balik Gunung” Pertama Realitas
Di Balik Gunung merupakan kisah asmara dan rindu Galuh Candra Kirana kepada Inu Kertapati. Cerpen ini diceritakan oleh pencerita tunggal Galuh Candra Kirana, dengan dominasi pada semua narasi dan dialognya. Kedua Representasi
Sebagai pencerita, Galuh Candra Kirana memaparkan semua perasaannya itu sendiri, tidak diwakili oleh suara orang lain. Gambaran perempuan yang tampil dalam cerpen ini adalag perempuanyang menaruh harapan pada cintanya bahkan di saat perang melanda.
Ketiga Ideologi
Berdasarkan fakta yang dipaparkan ini, tidak menunjukan gagasan pengarang mengenai perjuangan seorang perempuan. Hanya terdapat gambaran pengharapan perempuan akan orang yang dicintainya.
(4)
105
5.14.Ringkasan Representasi Feminis Dalam Cerpen 13 Perempuan Karya Yonathan Rahardjo
Tabel 5.14.
Ringkasan Ringkasan Representasi Feminis Dalam Cerpen 13 Perempuan Karya Yonathan Rahardjo
No Judul Cerpen Ideologi Pengarang
1
”Cerita Perempuan”
Kisah perempuan yang ditandakan melalui penceritaan tokoh laki-laki menggiring pembaca untuk menjadikan pandangan tokoh laki-laki yang tampil. Hal ini tentu kian melanggengkan ideologi patriakhi. Namun pengarang berusaha menjadi seorang pribadi yang lebih egaliter, memandang perempuan sebagai sesamanya yang sederajat dengan menampilkan gambaran perempuan lebih positif.
2
”Tanya Tukang Cuci”
Kisah perempuan yang ditandakan melalui penceritaan perempuan ini sendiri. Penderitaan dan perjuangan yang dialami keluar dari tokoh yang bersangkutan yaitu perempuan. Namun, adanya unsur heroisme di akhir cerita yang ditunjukan oleh tindakan anak kos, menjadikan teks ini bias. Hal ini mencerminkan ideologi pengarang yaitu gagasan untuk memperbaiki citra laki-laki yang biasa di-cap sebagai penyebab penderitaan perempuan
3
”Masuknya Lelaki Itu”
Pengarang memaparkan sikap yang tidak jelas dari perempuan ini sebenarnya untuk menunjukan bahwa perempuan ini belum memiliki kualitas diri yang tinggi. Bukan mengkritik, pengarang justru menunjukan kepeduliannya terhadap kasus-kasus mengenai tenaga kerja wanita, khususnya pengembangan SDM Tenaga kerja.
(5)
106 4 ”Kekuatanku”
Kode-kode representasi yang dilakukan melalui penempatan perempuan sebagai subjek pencerita dan pembaca yang ditempatkan sebagai tokoh perempuan, berhasil menyajikan realitas yang utuh dan apa adanya mengenai penindasan dan perjuangan perempuan. Ideologi yang muncul adalah feminisme sosialis.
5
”Cermin Peninggalan”
Kebanggaan ibu yang diceritakan oleh aktornya langsung, menjadikan realitas tampil apa adanya. Dan memunculkan ideologi pengarang tetang perjuangan perempuan dengan aliran liberal.
6
”Rumah Warisan”
Kelelakian pengarang tidak lantas membuatnya sepakat atas dominasi kakak-kakak lelaki Ragil. Pengarang justru menampilkan gagasan kesetaran gender dengan aliran liberal.
7
”Ingat Pesan Sarni”
Realitas perjuangan hak atas rumah warisan tersebut menggambarkan pemikiran feminis sosialis dari pengarang. Pengarang dalam cerpen ingin menunjukan kepeduliannya terhadap mereka yang dihilangkan haknya, terutama perempuan yang kerap kali dianggap lemah tak berdaya sehingga menjadi korban kekuasaan.
8
”Tetangga Nenek”
Penempatan tamu sebagai pencerita akhirnya memunculkan ideologi familiasme, yang justru kian menyudutkan posisi perempuan. Ideologi ini mengkontruksi perempuan sebagai istri yang baik, melayani dan setia kepada suami. Pemikiran pengarang ini tentu dipengaruhi secara langsung dengan kelelakian pengarang.
9
”Korban Banjir”
Penempatan perempuan sebagai pencerita dan gambaran perempuan yang berbeda mewakili gagasan pengarang bahwa perempuan juga dapat berpikir rasional, bahkan perempuan juga bijak. Gagasan ini merupakan cerminan dari poin perjuangan kaum feminis liberal.
(6)
107 10
”Banjir Bik Sarti”
Pengarang ingin menumbangkan ideologi patriakhi yang banyak muncul pada teks-teks. Melalui realitas yang dibangunnya, pengarang menampilkan kenyataan baru bahwa penderitaan yang dialami perempuan sebenarnya tidak hanya disebabkan oleh sosok patriakhi tetapi juga oleh perempuan itu sendiri, dalam konteks cerpen ini adalah tokoh ibu. Menariknya, konflik antar perempuan terselesaikan oleh perempuan itu sendiri
11
”Hubungan Abadi”
Melalui penempatan Ragil sebagai subjek dan penggambaran Ragil yang bebas dan pribadi yang intelek menghasilkan sebuah wacana yang terhindar dari misrepresentasi. Seluruh elemen tersebut diorganisasikan, hingga dapat diketahui dalam cerpen ini pengarang menampilkan ideologi feminisnya, dengan aliran liberal.
12
”Anak Walikota”
Penggambaran perempuan dan sajian realitas yang ditandakan melalui penceritaan perempuan dapat diketahui bahwa pengarang hanya ingin menampilkan gagasan mengenai citra perempuan yang berbeda, belum sampai ideologi perjuangan gender
13
”Di Balik Gunung”
Melalui kode representasional, tidak menunjukan gagasan pengarang mengenai perjuangan seorang perempuan. Hanya terdapat gambaran pengharapan perempuan akan orang yang dicintainya.