Ki Bagus Hadikusuma Ketua PP Muhammadiyah dengan Nama Asli Indonesia

Ki Bagus Hadikusuma Ketua PP Muhammadiyah dengan Nama Asli Indonesia
Ki Bagus Hadikusuma adalah Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang kelima. Kalau
galibnya Ketua PP Muhammadiyah namanya berbau Arab, nama Ki Bagus Hadikusuma tidak
satupun berbau Arab atau ada kata-kata Arabnya. Nama tersebut nama asli Jawa, tetapi
sebagaimana anjuran Rasulullah untuk nama yang baik. Nama Bagus Hadikusuma adalah betul
nama yang baik. Bagus sendiri sudah berarti orang laki-laki yang baik rupa (juga berarti baik
budi pekerti), sedang Hadikusuma artinya bunga yang sangat indah. Sebagaimana arti namanya,
Ki Bagus Hadikusuma betul-betul seorang laki-laki yang menjadi bunga yang indah, menjadi
bunga bangsa dengan pikiran dan gerakannya yang tercatat dalam sejarah Bangsa Indonesia.
Masuknya Ki Bagus Hadikusuma dalam deretan pucuk pimpinan Muhammadiyah ini
menandakan Muhammadiyah terbuka bagi siapa saja, baik itu orang dengan nama berbau Arab
atau nama Indonesia asli. Untuk menjadi Ketua pun boleh denagan nama asli Indonesia, apalagi
untuk menjadi anggota. Bisa saja jika sudah mulai dengan keikhlasan sejak dini pada suatu saat
nanti Ketua PP Muhammadiyah dipimpin oleh seseorang dengan nama asli dari Pulau
Kalimantan atau daerah-daerah lain. Hanya yang perlu dibuktikan adalah ketokohannya dan
kesungguhannya dalam Muhammadiyah.
Ki Bagus Hadikusuma sendiri dilahirkan di Kampung Kauman Yogyakarta dengan nama R
Hidayat pada 11 Rabi’ul Akhir 1308 Hijriyah. Ia putra ketiga dari lima bersaudara Raden Kaji
Lurah Hasyim, seorang abdi dalem putihan (pejabat agama Islam) di Kraton Ngayogyakarta
Hadiningrat. Seperti umumnya keluarga santri, Ki Bagus mulai memperoleh pendidikan agama
dari orang tuanya dan beberapa Kiai di Kauman.

Selain belajar agama, ia juga belajar di sekolah umum. Ia belajar di Sekolah Ongko Loro
(setingkat sekolah dasar tetapi hanya berlangsung selama tiga tahun) Setelah tamat dari “Sekolah
Ongko Loro”, Ki Bagus belajar di Pondok Pesantren Tradisional Wonokromo di Bantul
Yogyakarta. Di Pesantren ini ia mulai banyak mengkaji kitab-kitab fiqh dan tasawuf. Suatu
kajian yang berani pada saat itu, karena ada yang menganggap bahwa pelajaran fiqh dan tasawuf
adalah pelajaran yang bertolak belakang. Tetapi inilah yang membekali ia bekal lahir dan batin
dalam hidupnya.
Dalam usia 20 tahun Ki Bagus menikah dengan Siti Fatmah (putri Raden Kaji Suhud) dan
memperoleh enam anak. Salah seorang diantaranya ialah Djarnawi Hadikusuma, tokoh
Muhammadiyah dan pernah menjadi orang nomor satu di Parmusi. Setelah Fatmah meninggal, ia
menikah lagi dengan seorang wanita pengusaha dari Yogyakarta bernama Mursilah.Ia dikaruniai
anak tiga orang anak. Ki Bagus kemudian menikah lagi dengan Siti Fatimah (juga seorang
pengusaha) setelah isteri keduanya meninggal. Dari isterinya yang ketiga ini ia memperoleh lima
anak.
Sekolahnya tidak lebih dari sekolah rakyat (sekarang SD) ditambah mengaji dan besar di
pesantren, tetapi berkat kerajinan dan ketekunan mempelajari kitab-kitab terkenal akhirnya ia
menjadi orang alim, mubaligh dan pemimpin ummat. Ia merupakan pemimpin Muhammadiyah
yang besar andilnya dalam penyusunan Muqadimah UUD 1945, karena ia termasuk dalam
anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Ki Bagus Hadikusuma sangat besar
peranannya dalam perumusan Muqadimah UUD 1945 dengan memberikan landasan Ketuhanan,

Kemanusiaan, Keberadaban, dan Keadilan. Pokok-pokok pikirannya dengan memberikan
landasan-landasan itu dalam Muqadimah UUD 1945 itu disetujui oleh semua anggota PPKI.
Secara formal, di samping kegiatan tabligh, Ki Bagus pernah menjadi Ketua Majelis Tabligh
(1922), Ketua Majelis Tarjih, Anggota Komisi MPM Hoofdbestuur Muhammadiyah (1926), dan

Ketua PP Muhammadiyah (1942-1953). Pokok-pokok pikiran Ahmad Dahlan berhasil ia
rumuskan sedemikian rupa sehingga dapat menjiwai dan mengarahkan gerak langkah serta
perjuangan Muhammadiyah. Bahkan pokok-pokok pikiran itu menjadi Muqadimah Anggaran
Dasar Muhammadiyah. Muqadimah yang merupakan dasar ideology Muhammadiyah ini
menginspirasi sejumlah tokoh Muhammadiyah lainnya. HAMKA, misalnya, mendapatkan
inspirasi dari muqaddimah tersebut untuk merumuskan dua landasan idiil Muhammadimah, yaitu
Matan Kepribadian Muhammadiyah dan Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup
Muhammadiyah.
Ki Bagus juga sangat produktif untuk menuliskan buah pikirannya. Buku karyanya antara lain
ialah Islam sebagai Dasar Negara dan Achlaq Pemimpin, Risalah Katresnan Djati (1935),
Poestaka Hadi (1936), Poestaka Islam (1940), Poestaka Ichsan (1941), dan Poestaka Iman
(1954). Dari buku-buku karyanya tersebut tercermin komitmennya terhadap etika dan bahkan
juga syariat Islam. Dari komitmen tersebut, Ki Bagus adalah termasuk seorang tokoh yang
memiliki kecenderungan kuat untuk menginstitusionalisasikan Islam. Bagi Ki Bagus
pelembagaan Islam menjadi sangat penting untuk alasan-alasan ideology, politis dan juga

intelektual. Ini nampak dalam upayanya memperkokoh eksistensi hokum Islam di Indonesia
ketika ia dan beberapa ulama lainnya terlibat dalam kepanitiaan yang bertugas memperbaiki
peradilan agama (priesterraden commisse). Hasil penting sidang-sidang komisi ini ialah
kesepakatan untuk memberlakukan hokum Islam. Akan tetapi Ki Bagus dikecewakan oleh sikap
politik Pemerintah Kolonial yang didukung oleh para ahli hukum adat yang membatalkan
seluruh keputusan penting tentang diberlakukannya hokum Islam untuk kemudian diganti dengan
hokum adat melalui penetapan ordonansi 1931. Kekecewaannya ia ungkap kembali saat
menyampaikan pidato di depan sidang BPUPKI.(lut).
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 17 2004