Ki Bagus Hadikusuma Ketua PP Muhammadiyah di Masa Perjuangan

Ki Bagus Hadikusuma Ketua PP Muhammadiyah di Masa Perjuangan
Ki Bagus Hadikusuma nampaknya ditakdirkan untuk memimpin Muhammadiyah di masa-masa
genting, di masa-masa perjuangan, di masa menjelang dan awal Kemerdekaan Republik
Indonesia. Sebagai suatu musim-musim yang sulit bagi kehidupan organisasi dakwah amar
ma’ruf nahi munkar seperti Muhammadiyah. Tetapi ternyata Ki Bagus Hadikusuma dapat
melaluinya dengan selamat.
Padahal pada kepemimpinan Muhammadiyah periode sebelumnya, Ki Bagus Hadikusuma sudah
diminta menjadi Ketua PP Muhammadiyah untuk memberikan peran pada kaum muda di
Muhammadiyah. Tetapi pada saat itu, Ki Bagus Hadikusuma menolaknya dan kemudian Kongres
akhirnya memilih KH Mas Mansur dari Surabaya untuk memimpin Muhammadiyah.
Ki Bagus sendiri menjadi Ketua PP Muhammadiyah setelah diserahi oleh Ketua PP
Muhammadiyah sebelumnya, KH Mas Mansur. Karena KH Mas Mansur harus ke Jakarta untuk
bergabung dengan tokoh-tokoh pimpinan lainnya memimpin PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat)
bentukan Pemerintahan Dai Nippon Jepang yang menjajah Indonesia pada waktu itu. Dalam
memimpin PUTERA ini, KH Mas Mansur bersama-sama dengan Ir Soekarno, Drs Mohammad
Hatta dan Ki Hadjar Dewantara. Keempat orang ini diberi julukan Empat Serangkai.
Penunjukan Ki Bagus oleh KH Mas Mansur ini sangatlah tepat, karena pada masa itu dibutuhkan
Ketua PP Muhammadiyah yang berani dan tidak mengenal kompromi dengan kemusyrikkan. Ki
Bagus mempunyai kualifikasi yang demikian.
Munculnya Ki Bagus Hadikusuma sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah adalah pada
saat terjadi pergolakan politik internasional, yaitu pecahnya perang dunia II. Kendatipun Ki

Bagus Hadikusuma menyatakan ketidaksediannya sebagai Wakil Ketua Pengurus Besar
Muhammadiyah ketika diminta oleh Mas Mansur pada Kongres ke-26 tahun 1937 di Yogyakarta.
Ia tetap tidak bisa mengelak memenuhi panggilan tugas untuk menjadi Ketua Pengurus Besar
Muhammadiyah ketika Mas Mansur dipaksa menjadi anggota Pengurus Pusat Tenaga Rakyat
(PUTERA) di Jakarta pada tahun 1942. Apalagi dalam situasi di bawah penjajahan Jepang,
Muhammadiyah memerlukan tokoh kuat dan patriotik. Ki Bagus Hadikusuma berani menentang
perintah pimpinan tentara Dai Nippon yang terkenal ganas dan kejam untuk memerintahkan
ummat Islam dan warga Muhammadiyah melakukan upacara kebaktian tiap pagi sebagai
penghormatan kepada Dewa Matahari.
Posisi ini memang sulit, untuk menghidupkan dan mengendalikan Muhammadiyah di seluruh
Indonesia sangatlah tidak mungkin. Ini karena hubungan antar kepulauan di Indonesia sangat
sulit, terlebih untuk gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar, pemerintah Jepang terus
berusaha memotongnya. Karenanya, pada saat itu Pengurus Besar Muhammadiyah menunjuk
Buya AR Sutan Mansur untuk mengendalikan Muhammadiyah di Pulau Sumatera.
Untuk menggerakkan Muhammadiyah di Jawa sendiri, meski dilakukan kucing-kucingan dengan
pemerintah Dai Nippon, dilakukan sendiri oleh Ki Bagus Hadikusuma. Pada saat itu, Ki Bagus
Hadikusuma segera mengadakan Muktamar Darurat. Muktamar Muhammadiyah Darurat
(pertama kali istilah Muktamar digunakan untuk nama Permusyawaratan tertinggi di
Muhammadiyah) dilaksanakan di Yogyakarta pada tahun 1944. Muktamirin pada saat itu
mengukuhkan penunjukan KH Mas Mansur kepada Ki Bagus Hadikusuma. Ki Bagus

Hadikusuma terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah.
Mestipun tetap sulit bergerak pada awal kemerdekaan, karena pimpinan dan warga
Muhammadiyah juga harus melawan penjajah Belanda yang tidak mengakui kemerdekaan
Indonesia. Muhammadiyah tetap saja harus eksis.Untuk menggerakkan Muhammadiyah,

Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengadakan Silaturahmi Muhammadiyah se Jawa yang
melibatkan Cabang dan Ranting Muhammadiyah yang ada di Jawa, Pertemuan yang
menggantikan Muktamar ini berlangsung di Yogyakarta tahun 1946. Pertemuan yang terbatas ini
karena sangat sulitnya mendatangkan pimpinan Muhammadiyah dari seluruh Indonesia.
Pertemuan ini kembali mengukuhkan Ki Bagus Hadikusuma menjadi Ketua Pimpinan Pusat
Muhammadiyah.
Awal tahun 50an, kondisi Indonesia sudah mulai normal. Belanda sudah mengakui kemerdekaan
Indonesia kecuali untuk tanah Papua. Papua masih diduduki Belanda hingga tahun 60an.
Karenanya, Pengurus Pusat Muhammadiyah kemudian berusaha menyelenggarakan pertemuan
resmi yang berskala nasional (Muktamar). Tempatnya dipilih di Yogyakarta pada tahun 1950.
Muktamar Muhammadiyah ke 31 yang berlangsung 21-26 Desember 1950 (kala itu dinamakan
Kongres XXXI atau Muktamar I lalu dikemudian hari disesuaikan dengan Muktamar ke-31) di
Yogyakarta. Muktamar yang berlangsung di kota kelahiran Muhammadiyah ini mendapat
sambutan luar biasa dari tokoh-tokoh Muhammadiyah. Ini karena selama 10 tahun mereka
hampir tidak pernah bertemu di forum resmi yang berskala nasional. Hadir dalam Muktamar kali

ini 83 csbsng dsn 97 ranting. Muktamar inipun menetapkan kembali Ki Bagus Hadikusuma
menjadi Ketua PP Muhammadiyah.
Keputusan penting lainnya dalam Muktamar kali ini adalah: Mendorong dan bekerjasama
dengan pemerintah untuk memperbaiki kerusakan akhlak; Bekerjasama dengan Pemerintah
untuk memperbaiki dan meningkatkan kesehatan rakyat; Membentuk kapal haji dalam organisasi
Muhammadiyah; Menyediakan studiefonds untuk membiayai para pelajar yang sekolah di luar
negeri; dan Mendirikan Universitas Muhammadiyah.
Selain itu, Muktamar juga memutuskan: Mengajukan usul kepada Badan Kongres Muslimin
Indonesia dan Pemerintah supaya mengadakan Kongres Umat Islam se dunia dan Persyarikatan
Blok-blok Islam; Mendesak Pemerintah Indonesia supaya mengembalikan harta wakaf yang
dirampas Jepang yang masih dipakai oleh pemerintah; Menghormati organisasi lain yang bukan
Islam selama tidak merugikan dan bersedia bekerjasama; Menghormati dan bekerjasama dengan
organisasi Islam yang satu dengan lainnya agar tidak terjadi salah paham yang dapat merugikan
perjuangan pokok Islam.
Sedangkan keputusan mengenai keanggotaan adalah: Anggota Muhammadiyah yang menjadi
anggota partai politik yang bukan Islam supaya dibiarkan jika menguntungkan cita-cita Islam
dan Muhammadiyah serta diusahakan saling pengertian agar tetap membawakan aspirasi
Muhammadiyah; Apabila merugikan cita-cita Islam, anggota tersebut akan ditarik; dan
Muhammadiyah, baik sebagai organisasi maipun perorangan diperkenankan menjadi anggota
DPR.

Dengan terselengaranya Muktamar Muhammadiyah yang pertama pasca Kemerdekaan Repblik
Indonesia tersebut, berarti Ki Bagus Hadikusuma bisa mengantarkan perahu Muhammadiyah di
medan yang sempit dan penuh tantangan. Di samping kegiatannya memimpin Muhammadiyah,
sebagai anggota Bangsa Indonesia yang sedang memperjuangkan Kemerdekaan RI, Ki Bagus
Hadikusuma tidak melupakan untuk ikut berjuang di dalamnya.
Sebagai seorang tokoh yang disegani, Ki Bagus Hadikusuma duduk di dalam Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Di dalam PPKI ini digodog sejumlah materi yang merupakan
prasyarat bagi sebuah negara yang ingin merdeka. Salah satunya adalah Undang-undang Dasar
sebagai sebuah landasan suatu negara dan rakyatnya dalam berkehidupan berbangsa dan
bernegara.

Salah satu hal yang riskan dalam sidang-sidang PPKI tersebut adalah mengenai muqadimah
Undang-undang Dasar 45. Muqadimah yang diambil dari Piagam Jakarta tersebut diprotes oleh
tokoh-tokoh dari Indonesia Timur karena adanya kata “Kewajiban Melaksanakan Syariat Islam
bagi para pemeluk-pemeluknya.” Karenanya, kata-kata tersebut harus dihapus. Tetapi harus ada
tarik ulur, akhirnya berdasarkan usulan Ki Bagus untuk menggantikannya dengan Yang Maha
Esa atau lengkapnya menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, barulah persoalan ini mencair.
Usulan kata Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan sila pertama dari Pancasila ini, adalah
merupakan pencerminan pribadi beliau yang mengedepankan prinsip-prinsip ketauhidan di
dalam agama Islam yang dipeluknya, meski bisa diartikan lain bagi pemeluk agama lain.

Ki Bagus Hadikusuma sendiri menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah selama 11 tahun
(1942-1953) dan wafat pada usia 64 tahun. Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya
sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan Nasional Indonesia karena jasa-jasanya di dalam ikut
sertakan mempersiapkan Kemerdekaan Republik Indonesia. (lut).
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 17 2004