Pengaruh Merokok Terhadap Konversi Sputum Pada Penderita Tb Paru Kategori I Di Kota Medan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (M. tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru tetapi
dapat juga menyerang organ lain (Ditjen PP&PL, 2012) dan perjalanan
penyakitnya secara menahun dengan karakteristik adanya granuloma (Clinical
Practice Guidline in the SNHS, 2010).

2.2 Etiologi
Tuberkulosis disebabkan oleh M. tuberculosis, merupakan kuman aerob,
gram positif, immobile, dan tidak berspora (Clinical Practice Guidline in the
SNHS, 2010, Knechel, 2009). Mycobacterium tuberculosis berukuran 0,5 µm-3
µm, yang diklasifikasikan sebagai basil tahan asam dan mempunyai struktur
dinding sel yang unik untuk pertahanan tubuhnya (Knechel, 2009). Struktur ini
menurunkan permeabilitas dinding sel sehingga mengurangi efektivitas terhadap
antibiotik (Wijaya, 2012). Dinding sel berisi asam lemak, asam mikolat, dengan
arabinogalaktan dan peptidoglikan di bawahnya, sebagai barrier (Knechel, 2009;
Wijaya, 2012) yang berguna untuk perubahan fisiologi karakteristik tuberkulosis
termasuk resistensi OAT (Knechel, 2009).

Lipoarabinomannan suatu molekul lain dalam dinding sel mycobacteria
berperan dalam interaksi antara inang dan patogen menjadikan M. tuberculosis
dapat bertahan hidup di dalam makrofag. Mycobacteria dapat diberi pewarnaan
seperti bakteri lainnya misalnya dengan pewarnaan Gram. Namun sekali diberi
warna oleh pewarnaan Gram, maka warna tersebut tidak dapat dihilangkan dengan
asam sehingga disebut Basil Tahan Asam (Wijaya, 2012).

5

6

2.3 Epidemiologi
Pada tahun 1990-an, situasi TB di dunia semakin memburuk, jumlah kasus
TB meningkat dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan terutama pada negara
yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah besar TB atau high burden
countries termasuk Indonesia (Ditjen PP & PL, 2012). World Health Organization
memprediksi bahwa setiap tahun ada 9 juta kasus baru TB di dunia dan 1,8 juta
orang meninggal akibat TB, sesudah Human Immunodeficiency Virus/Acquired
Immuno Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) (Kumar et al, 2010). Kasus TB
ditemukan di seluruh propinsi yang ada di Indonesia dengan Papua, DKI Jakarta,

dan Banten adalah 3 propinsi dengan jumlah kasus TB terbesar di Indonesia.
Estimasi prevalensi TB semua kasus di Indonesia adalah sebesar 660.000 dan
estimasi insidensi berjumlah 430.000 kasus baru pertahun. Jumlah kematian
akibat TB diperkirakan 61.000 kematian pertahunnya (Ditjen PP & PL, 2011).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa progresifitas penyakit TB
umumnya terjadi pada wanita dengan usia 25-34 tahun, dan laki-laki dengan usia
diatas 40 tahun (Babamahmoodi et al, 2015). Penelitian yang dilakukan Ajagbe et
al (2014) menunjukkan bahwa penderita TB lebih banyak pada laki-laki 66,2%
dibandingkan dengan perempuan (66,2%: 33,8%), hal ini dikarenakan gaya hidup
laki-laki seperti merokok, minum alkohol, dan lain-lain. Tujuh puluh lima persen
tuberkulosis juga lebih banyak diderita pada usia produktif yaitu pada usia 15-45
tahun (Kumar et al, 2010). Faktor resiko terjadinya TB yaitu usia, jenis kelamin,
infeksi HIV, merokok, asma, dan riwayat kontak dengan penderita TB.
Kemiskinan, peperangan, perpindahan penduduk, gangguan sosial, dan tuna
wisma merupakan hal penting yang berperan sebagi penyebaran TB
(Babamahmoodi et al, 2015).

2.4 Transmisi
Sumber penularan tuberkulosis adalah pasien TB paru dengan BTA positif
(Wijaya, 2012) yaitu M. tuberculosis menyebar melalui droplet (percikan ludah)

yang infeksius ke udara pada saat batuk (sekitar 3.000 droplet), bersin (sekitar 1
juta droplet), berbicara atau bernyanyi oleh orang dengan TB (Knechel, 2009;
Ditjen PP & PL, 2012; Wijaya, 2012). Droplet tersebut dengan cepat menjadi

7

kering dan menjadi partikel yang sangat halus di udara. Ukuran diameter droplet
yang infeksius tersebut hanya sekitar 1-5 milimikron (Ditjen PP & PL, 2012).
Droplet tersebut dapat bertahan hidup selama beberapa menit sampai beberapa
jam (Knechel, 2009; Wijaya, 2012). Pada keadaan gelap dan lembab kuman TB
dalam droplet dapat hidup lebih lama sedangkan jika terpapar sinar matahari
langsung maka kuman TB tersebut akan cepat mati (Ditjen PP & PL, 2012).
Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran
pernafasan dan daya tahan tubuh seseorang dalam keadaan lemah (Wijaya, 2013).
Transmisi TB dipengaruhi oleh jumlah basil dalam droplet, virulensi basil,
paparan basil terhadap sinar ultraviolet, konsentrasi basil di udara yang ditentukan
oleh volume ruangan dan ventilasi, serta lama waktu pajanan menghirup udara
(aerosol) yang tercemar (Knechel, 2009). Pasien TB paru dengan BTA positif
memberikan kemungkinan resiko penularan lebih besar dibandingkan dengan
pasien TB paru BTA negatif (Wijaya, 2013).


2.5 Patofisiologi TB
Seseorang akan terinfeksi kuman TB jika menghirup droplet yang
mengandung kuman TB yang masih hidup dan kuman tersebut mencapai alveoli
paru dan dapat tanpa gejala/asimptomatik. Sekali kuman tersebut mencapai paru
maka kuman ini akan ditangkap oleh makrofag dan selanjutnya dapat menyebar
ke seluruh tubuh (Ditjen PP & PL, 2012). Setelah terpapar kuman TB ada empat
keadaan yang bisa terjadi yaitu pertama tidak terjadi infeksi (ditandai dengan tes
tuberkulin negatif), kedua terjadi infeksi kemudian menjadi TB yang aktif (TB
primer), ketiga menjadi TB laten dimana mekanisme imun mencegah
progresivitas penyakit menjadi TB aktif dan keempat menjadi TB laten tetapi
kemudian terjadi reaktivasi dan berkembang menjadi TB aktif dalam beberapa
bulan sampai beberapa tahun kemudian (Marin dan Hasibuan, 2010).
Partikel yang terinfeksi terhirup, hanya bagian terkecil yang menjauhi
pertahanan di permukaan saluran pernafasan dan mencapai alveolus, di paru-paru,
kemudian makrofag berhasil menelan basil melaui proses fagositosis. Basil
memperbanyak diri di dalam makrofag dan sekali dihancurkan dan kuman berada

8


di ekstaselular, di saluran limf menuju mediastinal limfnodes dan darah ke sistem
tubuh (Clinical Practice Guidline in the SNHS, 2010).
Menurut Kumar et al dalam Widjaja et al (2010) saat ini para ahli
menduga adanya gangguan sistem imun pada penderita TB. Sel T helper-1 (Th 1)
sangat berperan pada sistem pertahanan tubuh terutama dalam menghadapi infeksi
bakteri intraseluler. Salah satu sitokin yang diproduksi sel Th 1 adalah interferon
gama yang berperan penting dalam mengeliminasi kuman TB dengan
memperkuat potensi fagosit dari makrofag yang terinfeksi kuman TB dan
menstimulasi pembentukan radikal bebas untuk menghancurkan komponen
bakteri M. tuberculosis yaitu dinding sel bakteri dan deoxyribonucleic acid
(DNA). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Widjaja et al (2010) menunjukkan
bahwa pada penderita TB terjadi penurunan kadar interferon gamma pada
penderita TB.

2.6 Gejala Klinis
Gejala klinis TB paru tidak spesifik, tanda dan gejalanya tergantung lokasi
dan kadang terlambat diketahui sehingga pada beberapa pasien telah terjadi
infeksi (Clinical Practice Guidline in the SNHS, 2010). Laporan Thorson et al
dalam Feng et al (2012) menunjukkan bahwa gambaran radiologis wanita
umumnya lebih berat oleh karena wanita hanya sedikit menunjukkan gejala klinis

TB sehingga terlambat berobat. Penelitian penderita TB patut dicurigai bila pasien
gejala demam tanpa sebab atau batuk produktif lebih dari 3 minggu, khususnya
bila batuk berdarah (Clinical Practice Guidline in the SNHS, 2010).
Gejala utama TB adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih.
Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk
darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, malaise, berkeringat
malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari 1 bulan (Sudoyo,
2009; Wijaya, 2013, Zumla, 2013). Gejala ini semakin lama semakin berat dan
hilang timbul secara tidak teratur (Sudoyo, 2009; Zumla et al, 2013). Penelitian
yang dilakukan Sanmuganathan (2015) di Malaysia menunjukkan bahwa gejala
klinis yang paling sering ditemui adalah batuk lama dan penurunan berat badan
(27,5%) diikuti dengan batuk lama dengan sputum, penurunan berat badan,

9

demam dan berkeringat pada malam hari dengan 15%. Penelitian yang dilakukan
oleh Feng et al (2012) di Taiwan menunjukkan bahwa batuk lebih dari 3 minggu
berhubungan dengan rendahnya mortalitas. Menurut Law dalam Feng et al (2012)
gejala respiratorik khususnya batuk kronis, merupakan indikator penting bagi
dokter adanya kemungkinan TB paru di daerah endemik, sebaliknya penderita TB

paru tanpa gejala respiratorik kemungkinan karena terlambatnya diagnosa yang
berakibat terhadap terlambatnya pengobatan dan outcome pengobatan yang lebih
buruk

2.7 Diagnosa
Berdasarkan pada Pedoman Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru, maka
diagnosis tuberkulosis paru ditegakkan berdasarkan gejala/pemeriksaan klinis,
radiologis dan laboratorium (Soetikno dan Derry, 2011). Diagnosa TB di negara
berkembang dengan menggunakan apusan dahak, kemudian dikonfirmasi dengan
kultur bakteri dan uji kepekaan obat. Sesuai dengan rekomendasi WHO, maka
diagnosis TB paru berdasarkan pemeriksaan sputum secara mikroskopis,oleh
karena pemeriksaan ini efisien, mudah, murah, dan cukup cepat (hanya 2 hari)
(Srikanth et al, 2009; Zumla et al, 2013). Pemeriksaan sputum bertujuan untuk
menilai kemajuan pengobatan dan menentukan tingkat penularan. American
Tuberculosis Association menyatakan bahwa diagnosis pasti tuberkulosis paru
adalah dengan menemukan kuman M. tuberculosis dalam sputum atau jaringan
paru secara biakan (Srikanth et al, 2009; Soetikno dan Derry, 2011).
Pada negara dengan kejadian TB tinggi, pengendalian TB dengan cara
penemuan kasus secara pasif yaitu pasien yang datang ke fasilitas kesehatan,
diikuti dengan diagnosa lain berdasarkan gejala klinik atau pemeriksaan

laboratorium menggunakan apusan dahak secara mikroskopik yaitu sputum
sewaktu pagi sewaktu (SPS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir 85%
kasus TB dideteksi spesimen dahak pertama, 11,9% dengan spesimen dahak
kedua dan 3,1% dengan spesimen yang ketiga jika spesimen dahak yang kedua
hasilnya negatif (Parson et al, 2011).
Foto toraks merupakan pemeriksaan penunjang pertama yang membantu
untuk menegakkan diagnosis TB paru, memonitor respon pengobatan, dan

10

membantu dalam menghambat penyebaran penyakit, memberikan gambaran
radiologis TB paru pada TB dengan BTA negatif maupun BTA positif. Foto
toraks dapat sebagai penyokong untuk menegakkan diagnosis TB paru (Soetikno
dan Derry, 2011; Srikanth et al, 2009). Pemeriksaan interferon-gamma release
dan tuberkulin tes tidak digunakan untuk mendiagnoasa penyakit aktif (Zumla et
al, 2013). Diagnosa dini TB paru sangat berguna untuk mencegah penyebaran
penyakit bahkan untuk mencegah kematian pada penderita (Babamahmoodi et al,
2015).
Pemeriksaan lain untuk menegakkan diagnosa TB paru dengan rapid test
yang telah dianjurkan oleh WHO yaitu GeneXpert MTB/RIF yang dapat

digunakan untuk mendiagnosa TB dan resistensi rifampisin (WHO, 2013).

2.8 Multidrug Resistant Tuberculosis (MDR TB/TB MDR) dan GeneXpert
MTB/RIF
Multidrug resistant tuberculosis yaitu tuberkulosis yang resisten terhadap
rifampisin dan isoniazid dengan atau tanpa OAT lainnya (WHO, 2013) dan
merupakan suatu man made phenomenon atau fenomena buatan manusia,
disebabkan karena pengobatan pasien TB yang tidak adekuat maupun penularan
dari pasien TB resistensi OAT (Ditjen PP&PL, 2013), pengobatan yang terputus
ataupun tidak sesuai dengan standar Directly Observed Treatment, Short-Course
(DOTS) juga dapat berakibat pada munculnya kasus TB MDR (Sarwani, 2012).
Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP
dan PL) tahun 2013 menyebutkan bahwa suspek TB resisten obat adalah semua
orang yang mempunyai gejala TB yang memenuhi satu atau lebih kriteria suspek
di bawah ini:
1. Pasien TB kronik.
2. Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah 3 bulan
pengobatan.
3. Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak standar serta
menggunakan kuinolon atau obat injeksi lini kedua minimal selama 1 bulan.

4. Pasien TB kategori 1 yang gagal.

11

5. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tetap positif setelah 3 bulan
pengobatan.
6. Pasien TB kasus kambuh (relaps) kategori 1 dan kategori 2.
7. Pasien TB kasus kambuh setelah loss to follow-up (lalai berobat/default).
8. Suspek TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB MDR.
9. Pasien koinfeksi TB-HIV yang tidak respon terhadap pemberian OAT.

Mekanisme Resistensi M. tuberculosisTerhadap OAT
Secara mikrobiologi resistensi disebabkan oleh mutasi genetik dan terjadi
secara spontan serta berdiri sendiri menghasilkan resistensi OAT (Hanafi dan
Prasenohadi, 2010). Populasi basil TB awalnya berkurang ketika diobati dengan 1
jenis obat karena membunuh populasi TB yang sensitif dan pada sputum smear
(apusan dahak) sering memberikan hasil yang negatif (menunjukkan bahwa
organisme hanya sedikit). Organisme yang bertahan pada fase awal adalah mutan
yang resisten obat, kemudian berproliferasi dan akhirnya menyebabkan seluruh
populasi basil menjadi resisten obat dan terus menerus melakukan proliferasi

sampai jumlah basil yang resisten obat cukup untuk menyebabkan gejala dan pada
sputum smear memberikan hasil positif, inilah yang disebut dengan “fall and rise
phenomenon” (Patel et al, 2012).
Kasus baru resisten OAT yaitu terdapat galur M. tuberculosis pada pasien
baru yang didiagnosis TB dan sebelumnya tidak pernah diobati dengan OAT atau
mendapat OAT kurang dari 1 bulan kemudian terinfeksi galur M. tuberculosis
yang resisten OAT disebut resistensi primer. Tuberkulosis resisten OAT terjadi
karena pada awalnya terinfeksi galur M. tuberculosis yang masih sensitif obat
tetapi selama pengobatan timbul resistensi obat atau disebut dengan resistensi obat
didapat atau resistensi sekunder (Hanafi dan Prasenohadi, 2010).
Resistensi obat intrinsik M. tuberculosis terjadi karena adanya struktur
asam mikolat yang terkandung dalam dinding sel sehingga permeabilitas bakteri
rendah terhadap berbagai jenis bahan seperti antibiotik dan obat kemoterapi
lainnya. Resistensi obat didapat M. Tuberculosis disebabkan karena mutasi
spontan gen kromosomal dan menghasilkan seleksi strain M. tuberculosis resisten
selama pemakaian obat yang kurang optimal (Da Silva dan Palomino, 2011).

12

Resistensi terhadap isoniazid merupakan proses yang rumit karena terjadi mutasi
pada beberapa gen termasuk katG, ahpC, inhA, kasA dan ndh (Da Silva dan
Palomino, 2011). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bahwa penyebab
utama resistensi isoniazid yaitu mutasi pada katG dan mutasi pada inhA atau
lebih, dalam region promoter (Zhang dan Yew, 2009; Da Silva dan Palomino,
2011).
Resistensi rifampisin terjadi karena mutasi gen rpoB yang dikode βsubunit RNA polymerase. Mutasi pada hot spot region pada 81 base phare (bp)
dari rpoB telah ditemukan pada sekitar 96% M. tuberculosis yang resisten
rifampisin (Da Silva dan Palomino, 2011). Beberapa penelitian melaporkan
adanya mutasi di luar hot spot region rpoB dari M. tuberculosis resisten
rifampisin yang diisolasi (Minh et al, 2012). Beberapa penelitian juga melaporkan
bahwa semua strain M. tuberculosis yang resisten rifampisin juga menunjukkan
resisten terhadap obat lain, khususnya isoniazid. Resistensi pirazinamid terjadi
karena mutasi pada pncA. Perubahan terbanyak terjadi pada region 561 bp atau
pada region 82 bp putative promoter (Da Silva dan Palomino, 2011). Resistensi
streptomisin disebabkan oleh mutasi pada S12 protein yang dikode oleh gen rpsL
dan 16S rRNA yang dikode gen rrs (Zhang dan Yew, 2009). Penelitian isolate M.
tuberculosis resisten etambutol, menunjukkan bahwa hampir 50% terjadi mutasi
pada kodon 306 embB. Penelitian lebih lanjut yang dilakukan Sreevatsan et al
menunjukkan adanya hubungan embB dengan resistensi terhadap etambutol (Da
Silva dan Palomino, 2011).
Diagnosis TB resisten obat dipastikan berdasarkan uji kepekaan M.
tuberculosis baik secara metode konvensional maupun rapid test atau metode
cepat (Ditjen PP dan PL, 2013). Metode konvensional yaitu dengan uji kepekaan
obat yang merupakan gold standar atau baku emas, dengan sensitivitas tinggi
yang dapat mengidentifikasi M. tuberculosis dan membedakan antara obat yang
sensitif dengan obat yang resisten. Tetapi kultur M. tuberculosis mempunyai
banyak keterbatasan, memerlukan waktu lama, menghambat dokter untuk
membuat keputusan pengobatan dan kultur juga membutuhkan biosafety
infrastruktur yang tidak dapat dilaksanakan dengan mudah pada keadaan dengan
sumber daya yang terbatas(Van Rie et al, 2010).

13

Metode cepat yang telah disetujui oleh WHO yaitu GeneXpert MTB/RIF
yang merupakan suatu alat uji yang menggunakan catridge berdasarkan Nucleic
Acid Amplification Test (NAAT) secara automatis untuk mendeteksi kasus TB dan
resistensi rifampisin. Sistem GeneXpert terdiri dari alat GeneXpert, komputer dan
disposible catridge (Boehme, 2009). Uji GeneXpert MTB/RIF berdasarkan
prinsip multipleks, semi-nested quantitative real-time Polymerase Chain Reaction
(PCR) dengan amplifikasi gen target rpoB (Boehme, 2009; Blakemore et al,
2010). GeneXpert MTB/RIF dapat mengidentifikasi target asam nukleat dalam
gen M. tuberculosis dan memberikan hasil dari sampel sputum yang tidak perlu
diproses hanya dalam waktu kurang lebih 2 jam (WHO, 2013). Adanya semua
lima sinyal fluoresensi menunjukkan rifampisin sensitif terhadap DNA M.
tuberculosis, jika 2- 10 tahun.
d. Berdasarkan cara menghisap rokok dapat dibedakan menjadi:
1. Begitu menghisap langsung dihembuskan (secara dangkal)
2. Ditelan sampai ke dalam mulut (di mulut saja)
3. Ditelan sampai di kerongkongan (isapan dalam)

2.10.2 Pengaruh Rokok terhadap Pertahanan Respirasi
Merokok merupakan masalah kesehatan utama yang memerlukan
pencegahan untuk mengurangi resiko kematian dini. Penelitian dengan metode
case control yang dilakukan Jha et al di India pada tahun 2008 menemukan
bahwa terdapat 1,1 juta kematian akibat TB, 1,7 kali lebih tinggi pada penderita
yang perokok dibandingkan yang tidak perokok (Sinh et al, 2013). Paru
merupakan organ yang menderita kerusakan paling parah akibat merokok
(Wijaya, 2012). Merokok menyebabkan beberapa patofisiologi berubah di sistem
pernapasan termasuk sistem kekebalan tubuh dan menurunkan kemampuan untuk
membersihan patogen yang terinhalasi (Feng et al, 2011).
Trakea, bronkus dan bronkiolus yang membentuk saluran udara yang
memasok udara ke paru memberikan garis pertahanan pertama dengan mencegah
kuman TB untuk mencapai alveoli (Wijaya, 2012). Merokok menyebabkan

18

terjadinya mekanisme 1) ketidak seimbangan fungsi mukosiliar; 2) kerusakan
epitel saluran pernafasan bawah dan inflamasi; 3) konstriksi alveolar; 4)
meningkatnya jumlah sirkulasi makrofag alveoar (sel target oleh tuberkulosis); 5)
terjadinya kolaps di bronkiolus (Singh et al, 2013).
Epitel pernapasan merupakan pertahanan pertama melawan agen
lingkungan yang merugikan dan melindungi dengan cara menyapu partikel keluar
dalam lapisan mukus, memfagositosis juga merekrut sel imun lain. Merokok
secara

langsung

membahayakan

integritas

barier

fisik,

meningkatkan

permeabilitas epitel pernapasan dan mengganggu bersihan mukosilier. Pajanan
asap rokok akut mengakibatkan supresi epitel pernapasan dan secara kronik dapat
mengakibatkan inflamasi dan kerusakan sehingga menyebabkan perubahan
bentuk sel epitel (Wijaya, 2012).
Asap rokok memiliki efek di paru-paru baik proinflamasi maupun
imunosupresif pada sistem kekebalan tubuh. Banyak zat yang bersifat
karsinogenik dan beracun terhadap sel namun tar dan nikotin telah terbukti
imunosupresif dengan mempengaruhi respons kekebalan tubuh bawaan dari
pejamu dan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Makrofag mempunyai
peran yang strategis di alveolar. Makrofag alveolar mempunyai peran kunci dalam
merusak dan mengeliminasi agen mikrobial pada saat awal bila ada infeksi.
Rokok meningkatkan jumlah makrofag alveolar juga sel epitelial dan
mengaktivasinya untuk menghasilkan mediator proinflamasi mikro sirkulasi paru,
Reactive Oxygen Species (ROS) dan enzim proteolitik dengan demikian
memberikan mekanisme seluler yang menghubungkan rokok dengan inflamasi
dan kerusakan jaringan (Wijaya, 2012). Rokok juga mengganggu mekanisme
pertahanan alamiah yang dimediasi oleh makrofag, sel epitel, sel dendritik, dan sel
natural killer (NK) sehingga meningkatkan risiko, keparahan, dan durasi infeksi.
Pengaruh rokok dalam hubungannya dengan peningkatan penyakit hinggá
menjadi lebih berat ditandai dengan gangguan kemampuan makrofag untuk
membunuh bakteri atau virus dan hilangnya kemampuan untuk membersihkan
sel-sel mati. Hilangnya pertahanan mukosa dapat mengakibatkan kolonisasi
bakteri (Stampfli, 2009).

19

2.10.3 Merokok dan Tuberkulosis
Hubungan antara merokok dan TB pertamakali dilaporkan pada awal abad
ke-20. Mekanisme yang pasti belum sepenuhnya diketahui namun telah banyak
penelitian mengenai hubungan antara merokok danTB (Wijaya, 2012). Adanya
hubungan antara merokok dengan tuberkulosis telah diperkuat dengan adanya
bukti histopatologi kerusakan paru-paru perokok dan meningkatkan terjadinya
infeksi paru-paru yang lebih luas (Singh et al, 2013). Beberapa hasil penelitian
menunjukkan adanya hubungan antara merokok dan tuberkulosis (Nijenbandring
et al, 2014) dan hubungan meningkatnya resiko kematian penderita TB yang
merokok (Reed et al, 2013). Menurut Bates et al dalam Singh (2013) resiko
terjadinya TB pada perokok umunya pada dewasa (pekerja di bidang kesehatan,
pengungsi, pasien, orang tua, narapidana).
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa merokok berhubungan
dengan tuberkulosis. Resiko merokok 2,3-2,7 kali menderita TB dibandingkan
dengan yang tidak merokok (Narasimhan et al, 2013). Hubungan ini bisa
dijelaskan bahwa dengan racun yang dibawanya, rokok merusak mekanisme
pertahanan paru-paru. Bulu getar dan alat lain dalam paru-paru yang berfungsi
menahan infeksi rusak akibat asap rokok. Asap rokok meningkatkan tahanan
pelan napas (airway resistance). Akibatnya, pembuluh darah di paru mudah bocor
dan merusak sel pemakan bakteri pengganggu dan menurunkan respon terhadap
antigen, sehingga bila benda asing masuk ke dalam paru-paru, tidak ada
pendeteksinya (PPTI, 2011). Merokok tembakau merupakan faktor penting yang
dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga dapat mempengaruhi kesembuhan
pengobatan penderita TB paru (Leung, 2010).

2.11 Konversi
Kejadian konversi merupakan perubahan yang terjadi pada penderita TB
paru BTA positif menjadi BTA negatif setelah 2 bulan pengobatan (Kurniati,
2010). Konversi BTA sputum dari BTA (+) menjadi BTA (-) biasanya dinilai
pada akhir pengobatan fase intensif (Oktia et al, 2014). Pemeriksaan ulang dahak,
terutama bulan kedua setelah menjalani masa pengobatan yang intensif, akan
menentukan dosis obat untuk pengobatan yang selanjutnya. Pemeriksaan ulang

20

dahak secara mikroskopik bersifat spesifik dan cukup sensitif dalam mengikuti
kemajuan pengobatan (Kurniati, 2010). Standar WHO pada progran nasional TB
menyebutkan bahwa rata-rata konversi sputum paling sedikit 75% diantara kasus
baru TB Paru BTA positif (Kayigamba et al, 2012).
Menurut Nainggolan (2013) ada dua faktor yang mempengaruhi konversi
pada pasien TB paru yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
adalah faktor yang berhubungan dengan karakteristik dan perilaku pasien itu
sendiri seperti umur, pendidikan, perilaku merokok. Faktor eksternal adalah faktor
lingkungan atau faktor sosial yang berada di sekitar pasien, seperti kondisi rumah,
peran pengawas minum obat, peran petugas kesehatan, kepatuhan minum obat dan
lain-lain. Keberhasilan angka konversi tergantung pada keteratuan minum obat,
pada fase awal dan pengawasan pengobatan, serta dosis obat yang diminum.
Angka konversi yang tinggi akan diikuti dengan angka kesembuhan yang tinggi
pula (Kurniati, 2010).
Apusan sputum positif pada akhir fase intensif mengindikasikan
rendahnya supervisi pada pengobatan fase intensif, rendahnya kepatuhan pasien,
rendahnya kualitas OAT, dosis OAT tidak sesuai standar, lambatnya perubahan
disebabkan karena kavitasi di paru-paru dan bacillary load tinggi, adanya penyakit
komorbid yang mempengaruhi penyakit TB, keberadaan TB MDR (Babalik et al,
2012). Hasil penelitian menunjukkan beberapa faktor resiko terhadap konversi
sputum penderita TB diantaranya yaitu: pengobatan tanpa strategi DOTS, usia,
tingkat kepositifan sputum (smear grading), jenis kelamin, penyakit komorbid
(diabetes melitus dan HIV/AIDS), nutrisi, adanya kavitasi (pemeriksaan radiologi)
dan jumlah kuman BTA, TB MDR (reistensi rifampisin), dan merokok (Su et al,
2011).
Penelitian Kuaban et al dalam Bouti et al (2013) menunjukkan bahwa usia
≥40 tahun sebagai prediktor independent gagal konversi. Penelitian lain
menunjukkan bahwa pasien usia >60 tahun mempunyai 6 kali resiko gagal
konversi dibandingkan dengan usia 21-40 tahun, sementara usia 41-60 tahun
mempunyai resiko 2 kali terjadi gagal konversi tetapi alasan mengapa usia tua
mempunyai resiko lebih tinggi terjadi gagal konversi belum diketahui. Penelitian
yang dilakukan oleh Kigozi et al (2014) di Afrika Selatan menunjukkan bahwa

21

laki-laki dengan kelompok usia 48-57 tahun mempunyai hubungan yang
signifikan dengan gagalnya konversi dibandingkan dengan kelompok usia lain
(18-27 tahun, 28-37 tahun, 38-47 tahun).
Tingkat kepositifan apusan sputum merupakan pengukuran langsung
jumlah basil dalam apusan dahak dan menilai beratnya penyakit yang
mempengaruhi konversi sputum dan outcome pengobatan. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa pentingnya penilaian tingkat kepositifan apusan dahak dan
semakin tinggi tingkat kepositifannya menyebabkan konversi sputum lama karena
outcome pengobatan tidak bagus (Tiwari et al, 2012).
Penelitan yang dilakukan Behnaz et al (2015) menunjukkan tidak ada
hubungan antara jenis kelamin dengan konversi sputum. Berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Feng et al (2012) di Taiwan yang menunjukkan
bahwa ada hubungan antara jenis kelamin dengan konversi sputum dan kultur
konversi. Konversi sputum lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan dengan
laki-laki (84,2%: 73,6%). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena laki-laki
lebih banyak mempunyai kebiasaan merokok dibandingkan dengan wanita.
Penelitian Janele et al dalam Feng et al (2012) adanya perbedaan hormon antara
laki-laki dengan wanita juga dapat sebagai pertimbangan terjadinya konversi
sputum. Penelitian secara in-vitro mengevaluasi dampak sex hormon terhadap
respon kekebalan tubuh. Estrogen dapat meningkatkan sekresi interferon gama
(IF-γ) dan aktivasi makrofag sedangkan

testoteron kemungkinan dapat

menghambat respon imun.
Penelitian yang dilakukan Behnaz et al (2015) menunjukkan bahwa ada
hubungan antara diabetes melitus (DM) dengan gagal konversi. Hal ini
kemungkinan disebabkan karena menurunnya sistem kekebalan tubuh pada
penderita TB dengan DM, termasuk berkurangnya aktivitas makrofag alveolar dan
produksi interleukin. Penelitian lain dengan jumlah penderita menunjukkan
gagalnya konversi karena menurunnya absorsi obat pada penderita TB dengan
DM disebabkan

terjadinya gastroparesis. Penelitian yang dilakukan oleh

Sengkoro et al di Tanzania (2010) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
konversi antar penderita TB

HIV positif dengan penderita TB HIV negatif.

22

Kepatuhan dalam meminum obat ARV (Anti Retroviral) dan OAT yang
menentukan terjadinya konversi sputum (Kwange dan Budambula, 2010).
Kekurangan mikronutrien sering terjadi pada pasien TB. Beberapa
mikronutrien yang penting untuk sistem imun yaitu vitamin A yang terdapat di
plasma sebagai retinol, zinc sebagai mineral yang penting di dalam sel untuk
sistem imun dan mobilisasi vitamin A dari hati ke plasma (Pakasi et al, 2010), dan
vitamin D sebagai imunitas innate serta sebagai imunosuppresor pada imunitas
adaptif dengan menekan INF gama, TNF alpha sebagai interleukin inflamasi
(Siswanto et al, 2009). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa zinc dan vitamin
A berguna untuk terjadinya percepatan konversi sputum tetapi ada penelitian lain
yang menyebutkan bahwa suplement zinc tidak menambah respon imun penderita
TB dengan HIV (Pakasi et al, 2009). Penelitian yang dilakukan Nursyam dalam
Siswanto et al (2009) yang memberikan vitamin D atau placebo dengan OAT
selama 6 minggu menunjukkan bahwa terjadi konversi sputum sebesar 76,7% (p
value 0,002). Hal ini menunjukkan bahwa vitamin D bisa mempercepat konversi
sputum.
Laporan Singla et al dalam Bouti et al (2013) menyebutkan bahwa jumlah
basil yang banyak pada pemeriksaan apusan sputum sebelum pengobatan beresiko
6 kali gagal konversi dibandingkan dengan jumlah basil yang sedikit. Laporan
Lienhardt et dalam Bouti et al (2013) menyebutkan bahwa konversi pada akhir
fase intensif dengan apusan sputum sebelumnya 1+, 2+, dan 3+ menjadi 96,2%,
85,8%, dan 81,8%.

2.12 Merokok dan Konversi Sputum
Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh merokok dengan
konversi selama pengobatan (Nijenbandring et al, 2014). Efek merokok terhadap
gagalnya konversi menyebabkan infeksi yang berkelanjutan dan meningkatkan
resiko transmisi kepada yang lain. Gagalnya konversi setelah 2 bulan pengobatan
dapat sebagai prediksi relapse setelah keberhasilan pengobatan (Wallis et al,
2010). Hanya sedikit data yang menunjukkan bahwa hubungan rokok dengan
terlambat, gagal, dan lama konversi (Babalik et al, 2012). Hasil penelitian Su et al
di Taiwan dalam Pefura-Yone et al (2014) menunjukkan bahwa faktor utama

23

yang berhubungan dengan tidak terjadinya konversi pada akhir fase intensif
adalah pengobatan yang tidak adekuat atau tidak sesuai DOT dan adanya
resistensi rifampisin.
Empat hal utama yang ditemukan pada penelitian Pefura-Yone et al (2014)
pada pasien yang gagal konversi adalah 1) lebih dari separuh pasien dengan gagal
konversi mempunyai hasil positif M. tuberculosis pada saat dikultur; 2) perokok
aktif dan hemoptysis merupakan hal utama terjadinya gagal konversi; 3) lebih
kurang 4% pasien dengan gagal konversi merupakan TB MDR; 4) pengobatan
yang gagal paling banyak terjadi pada pasien dengan kultur positif dibandingkan
dengan hasil kultur negatif.
Penelitian yang dilakukan oleh Su dalam Pefura-Yone et al (2014)
menemukan bahwa dari 113 pasien yang gagal konversi pada fase intensif, 56%
juga mempunyai hasil kultur yang positif M. tuberculosis. Petunjuk dari WHO
untuk memperpanjang pengobatan fase intensif pada pasien gagal konversi
dengan regimen yang berisi rifampisin (WHO, 2009). Rekomendasi ini penting
berdasarkan fakta bahwa hasil apusan dahak positif pada pemeriksaan dahak
langsung setelah fase intensif OAT merupakan indikator yang tidak bagus bagi
outcome pengobatan TB. Hal ini yang menjadi dasar perlu adanya kultur sputum
dan uji kepekaan obat pada semua pasien gagal konversi pada akhir fase intensif
dan pada akhir 3 bulan pengobatan (Pefura-Yone et al, 2014). Tidak ada
hubungan antara foto thorax atau gambaran bakteri dengan gagal konversi fase
intensif pada penderita TB (Pefura-Yone et al, 2014).
Penelitian di Taiwan melaporkan adanya kavitasi atau konsolidasi pada
hasil foto thorax, sama halnya dengan tidak memakai DOT, berhubungan dengan
gagal konversi (Su et al, 2010). Bacillary load yang tinggi ≥( 2+) mempunyai
hubungan dengan terjadinya gagal konversi (Fitzwater et al, 2010). Hasil
penelitian oleh Pefura-Yone et al (2014) menunjukkan bahwa adanya hemoptisis
mempunyai hubungan yang signifikan dengan gagal konversi. Hasil penelitian
Pefira Yone et al (2014) menunjukkan bahwa merokok berhubungan dengan
gagal konversi. Hal ini dikaitkan dengan adanya penurunan fungsi pertahanan di
paru-paru akibat rokok yang menyebabkan iritasi menetap. Penelitian di Kamerun
menunjukkan lebih kurang 6-13% pasien TB dengan hasil apusan dahak positif

24

TB tetap positif setelah pengobatan fase intensif lengkap (Pefura-Yone et al,
2014).
Hasil penelian Nijenbandring et al (2014) di RS Brazil menunjukkan
adanya hubungan antara merokok dengan hasil kultur posistif M. tuberculosis
setelah fase intensif. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkn adanya hubungan
dosis dengan jumlah rokok yang dihisap perhari. Hal ini didukung oleh hipotesis
bahwa sistem imun berubah menyebabkan merokok mempengaruhi pengobatan
TB. Dua hal yang berhubungan dengan hipotesa tersebut menjelaskan gagalnya
konversi diantara para perokok yaitu:1) kemungkinan karena adanya aktivitas
nitric oxide (NO) yang merupakan molekul efektor dalam pertahanan melawan
organisme intraselular. Aktivasi makrofag mempunyai kemampuan menekan
multiplikasi atau membunuh, M. tuberculosis melepas nitric oxide synthase
(NOS) yang penting untuk produksi NO, merupakan aktifitas antimikroba hilang
ketika inhibitor NOS ada; 2) Hipotesis yang lain adalah berubahnya iron di alveoli
makrofag, ketika jumlah iron berlebih, interaksi NO dengan iron-sulfur dalam
enzim untuk mengeluarkan radikal bebas dapat menyebabkan kerusakan protein
intraselular yang menyebabkan hilangnya fungsi aktivasi makrofag termasuk
kontrol pertumbuhan M. tuberculosis (Nijenbandring et al, 2014).
Laporan oleh Thompson dalam Nijenbandring et al (2014) merokok 1
bungkus perhari mengandung 1,12 µg iron. Metabolisme iron memerlukan NO
sehingga jika rokok menurunkan pertahanan tubuh dengan cara menginhibisi
produksi NO dan produksi radikal beracun, kemungkinan merokok dapat
menyebabkan terjadinya gagal konversi (Nijenbandring et al, 2014).
Berhenti merokok memiliki manfaat bagi perokok jauh melampaui
mengurang

resiko

TB,

tetapi

pengendalian

tembakau

yang

baik

dapatmempengaruhi tingkat kematian TB dan mengurangi beban kesehatan
masyarakat dan dengan berhenti merokok bisa mengurangi hampir sepertiga dari
kematian akibat TB. Resiko TB dapat dikurangi dengan hampir dua pertiga jika
seseorang berhenti merokok adalah bukti kuat dalam peran penting dari merokok
dalam penanggulangan TB (Wijaya, 2012).

25

2.13 Kerangka Teori Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah dan tinjauan pustaka, maka kerangka
teori penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Suspek TB
Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan BTA
(Sputum SPS)

Pemeriksaan
Radiologi

Pemeriksaan
GeneXpert MTB/RIF

Diagnosa

BTA Positif/TB Paru

BTA Negatif

Pengobatan

Pengobatan

Kategori II

Kategori I

Kategori III
-

Anamnesa

Bukan perokok

Kebiasaan merokok: lama,
jumlah, dan jenis rokok
Faktor
demografi:
usia,
pendidikan,
pekerjaan,
penghasilan
Status Gizi berdasarkan IMT

Perokok

BTA Minggu ke 8

Konversi

Gagal Konversi

Gambar 2.2 Kerangka Teori

Pemeriksaan
GeneXpert MTB/RIF