Korelasi Antara Skor Child- Pugh Dengan Gastropati Hipertensi Portal Pada Penderita Sirosis Hati

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sirosis Hati
2.1.1 Definisi
Sirosis hati adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium
akhir fibrosis hati yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi
arsitektur hati dan pembentukan nodulus regeneratif.Gambaran ini terjadi akibat
nekrosis hepatoselular. Jaringan-jaringan retikulin kolaps disertai deposit jaringan
ikat, distorsi jaringan vaskular dan regenerasi nodularis parenkim hati
(Heidelbaugh J 2006, Nurdjanah S 2009)
2.1.2 Epidemiologi
Di negara maju, sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga
setelah penyakit kardiovaskular dan kanker.Di seluruh dunia sirosis menempati
urutan ketujuh penyebab kematian.Sirosis hati merupakan penyakit hati yang
paling banyak ditemukan dalam ruang perawatan bagian penyakit dalam (Cheney
CP 2004, Sutadi SM, 2003).Di Amerika serikat, sirosis hati menyebabkan 25000
kematian per tahun (Choudury J 2006). Sebagai akibat adanya epidemi hepatitis
C, diperkirakan pada tahun 2020 proporsi pasien sirosis hati akibat hepatitis C
akan berlipat ganda dari 16% menjadi 32% (Herrera JL 2008).
Di Indonesia data prevalensi sirosis hati belum ada, hanya laporan dari
beberapa pusat pendidikan saja.Di RS dr Sardjito Yogyakarta jumlah pasien

sirosis hati berkisar 4.1% dari pasien yang dirawat di bagian penyakit dalam
dalam kurun waktu 1 tahun (2004). Di Medan, dalam kurun waktu 4 tahun
dijumpai pasien sirosis hati sebanyak 819 (4%) pasien dari seluruh pasien di
bagian penyakit dalam. (Nurdjanah S 2009)
2.1.3 Klasifikasi dan Etiologi
Sirosis secara konvensional diklasifikasikan sebagai makronodular (besar
nodul > 3mm) atau mikronodular ( besar nodul < 3 mm) atau campuran mikro dan
makronodular (Choudury J 2006, Nurdjanah 2009). Etiologi dari sirosis hati
disajikan dalam Tabel 1.Di negara barat yang tersering adalah akibat alkoholik
sedangkan di Indonesia terutama akibat infeksi virus hepatitis B maupun C.

Tabel 2.1 Penyebab utama sirosis hati (idikutip darBataller 2008)
Main causes of cirrhosis
Viral diseases
Hepatitis B (with or without hep. D) and Hepatitis C
Autoimmune diseases
Autoimmune hepatitis
Primary biliary cirrhosis
Hepatotoxic agents
Alcohol abuse

Drugs : methotrexate, α-methyldopa,amiodarone,other
Acquired metabolic disease
Non-alcoholic fatty liver disease and steatohepatitis
Vascular diseases
Chronic right-sided heart failure
Budd-chiari syndrome (hepatic vein thrombosis)
Genetic diseases
Wilson disease
Hemochromatosis
Type-IV glycogen storage disease
Tyrosinemia
α1-antitripsin deficiency
Miscellaneous

2.1.4 GEJALA KLINIS
Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada
waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena penyakit
lain.gejala awal sirosis (kompensata) meliputi perasaan mudah lelah dan lemas,
selera makan berkurang,perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun,
pada laki-laki dapat timbul impotensi, testis mengecil, buah dada membesar,

hilangnya dorongan seksualitas. Bila sudah lanjut (dekompensata), gejala-gejala
lebih menonjol teutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi
porta, meliputi hilangnya rambut badan, gangguan tidur, dan demam yang tidak
begitu tinggi. Mungkin disertai adanya gangguan pembekuan darah, perdarahan
gusi, epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih berwarna seperti
teh pekat, muntah darah dan/atau melena, serta perubahan mental, meliputi mudah
lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi sampai koma (Bissel D 1996, Erlingen S
1999,Nurdjanah S 2009).
Pada sirosis hati, terdapat dua gejala klinis utama yang dapat ditemukan,
yaitu kegagalan fungsi hati dan hipertensi portal (Erlingen S 1999, Sutadi SM
2003, Choudury J 2006) :
1. Kegagalan fungsi hati, dengan manifestasi klinis berupa :

a. edema
b. ikterus
c. koma
d. spider nevi
e. alopesia pectoralis
f. ginekomastia
g. kerusakan hati

h. asites
i. rambut pubis rontok
j. eritema palmaris
k. atropi testi
l. kelainan darah (anemia,hematon/mudah terjadi perdarahan)

2. Hipertensi portal, dengan manifestasi klinis berupa :
a. varises oesophagus
b. splenomegali
c. gastropati hipertensi portal
d. perubahan sum-sum tulang
e. caput meduse
f. asites
g. collateral veinhemorrhoid
h. kelainan sel darah tepi (anemia, leukopeni dan trombositopeni)

Sesuai dengan konsensus baveno IV, sirosis hati dapat diklasifikasikan
menjadi empat stadium klinis berdasarkan ada tidaknya varises, asites dan
perdarahan varises : stadium 1 (tidak ada varises, tidak ada asites), stadium 2 ( ada
varises tanpa asites), stadium 3 (asites dengan atau tanpa varises), dan stadium 4

(perdarahan dengan atau tanpa asites). Stadium 1 dan 2 dimasukkan dalam
kelompok sirosis kompensata, sementara stadium 3 dan 4 dalam kelompok sirosis
dekompensata ( de Franchis R 2005).

Tabel 2.2 Manifestasi klinis dan laboratorium pada sirosis hati (dikutip dari
Choudury 2006)

2.1.5 Patogenesis
Pada kondisi normal, hati merupakan sistem filtrasi darah yang menerima
darah dari vena mesenterika, lambung, limfe, dan pankreas masuk melalui arteri
hepatika dan vena porta.Darah masuk ke hati melalui triad porta yang terdiri dari
cabang vena porta, arteri hepatika, dan saluran empedu, kemudian masuk kedalam
ruang sinusoid lobulus hati. Darah yang sudah difilter masuk ke dalam vena
sentral kemudian masuk ke dalam vena hepatik yang lebih besar menuju ke vena
cava inferior (Heidelbaugh 2006, Herrera 2008, Sofwanhadi R 2007).
Hati memiliki sinusoidal yang terdiri dari sel sel endotelial, pits cells,
kupffer dan Hepatic Stellate Cells (HSC). Sel kupffer dan sel HSC berperan
penting dalam proses fibrogenesis hati. Sel sel endotelial membatasi sinusoidsinusoid dan memiliki fenestra yang memungkinkan terjadinya pertukaran zat
antara hepatosit dan sel endotel.Antara hepatosit dan sel endotelial terdapat ruang
Disse (subendotel) yang merupakan tempat dimana HSC berada.Sel kupffer

melekat pada sel endotel dan merupakan derivad sel monosit. Fungsi sel kupffer

adalah memfagosit sel hepatosit tua, debris sel, benda asing, sel tumor dan
berbagai mikroorganisme (Bataller 2005).
Transformasi sel normal menjadi sel yang fibrotik merupakan proses yang
sangat rumit. Terdapat interaksi antara HSC dengan sel-sel parenkimal, sitokin,
growth factor, berbagai protease matriks beserta inhibitornya dan MES.
.

Faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya fibrosis hati antara lain :
1. Cedera hati
2. Inflamasi yang ditandai oleh

a.

Infiltrasi dan aktivasi dari berbagai sel seperti : netrofil, limfosit, trombosit

dan sel-sel endotelial, termasuk sel kupffer.
b.


Pelepasan berbagai mediator, sitokin, growth factor, proteinase berikut

inhibitornya dan beberapa jenis substansi toksik seperti reactive oxygen spesies
(ROS) dan peroksida lipid.
3. Aktivasi dan migrasi sel HSC ke daerah yang mengalami cedera.
4.Perubahan jumlah dan komposisi MES akibat pengaruh HSC serta
pengaruh berbagai sel, mediator dan growth factor.
5. Inaktivasi HSC, apoptosis serta hambatan apoptosis oleh berbagai
komponen yang terlibat dalam perubahan MES.
Fibrosis hati adalah terbentuknya jaringan ikat yang terjadi sebagai respon
terhadap cedera hati, diawali oleh cedera hati kronis yang dapat disebabkan oleh
infeksi virus, ketergantungan alkohol, nonalkoholik steatohepatitis dan penyebab
lainnya.

Gambar 2.1 Perubahan arsitektur hati pada keadaan fibrosis. (Dikutip dari Bataller
R, Brenner D A, modified from Science & Medicine, 2005)

Terjadinya fibrosis pada hati dapat melalui beberapa tahap. Saat sel
hepatosit yang rusak mati, maka enzim lisosom akan bocor dan mengeluarkan
sitokin dari matriks ekstrasel hati (Silbernagl S 2000). Sitokin dan debris-debris

sel yang mati akan mengaktifkan sel Kupffer di sinusoid hati dan menarik sel-sel
inflamasi ( granulosit, limfosit dan monosit). Sebagai akibatnya akan terbentuk
growth factor dan sitokin-sitokin yang akan mengubah monosit menjadi makrofag
aktif dan memicu proliferasi fibroblas.
Aksi kemotaktik dari transforming growth factor β (TGF-β) dan monocyte
chemotactic protein 1 (MCP-1) akan memperkuat proses di atas. Sebagai akibat
berbagai interaksi kimiawi kompleks yang belum sepenuhnya difahami, produksi
matriks ekstraselular akan ditingkatkan oleh myofibroblas dan fibroblas, sehingga
akan

menyebabkan

terjadinya

penumpukan

kolagen,

proteoglikan,


dan

glikoprotein. Penumpukan ini menyebabkan terjadinya fibrosis hati, yang akan
menggganggu aliran darah di hati dan meningkatkan tahanan aliran darah di
sinusoid.
Matriks ekstraselular yang berlebihan pada awalnya dapat dipecah
(misalnya oleh enzim metalloprotease) dan hepatosit dapat mengalami
regenerasi.Jika nekrosis hanya terbatas pada bagian tengah lobulus hati, maka
struktur hati masih mungkin pulih sepenuhnya. Namun jika nekrosis telah terjadi
sampai ke parenkim lobulus hati, maka akan terbentuk septa jaringan ikat.
Akibatnya, regenerasi sepenuhnya tidak dapat terjadi dan akan terbentuk nodulnodul di hati. Keadaan inilah yang disebut sebagai sirosis hati, yang akan
mengakibatkan

kolestasis,

hati(Silbernagl S 2000).

hipertensi

portal


dan

kegagalan

metabolik

Gambar 2.2 Patogenesis fibrosis dan sirosis hati (Silbernagl S 2000)

2.2 HIPERTENSI PORTAL
Hipertensi portal adalah peninggian tekanan dari sistem porta, dapat
dakibatkan oleh penyebab sirotik atau non-sirotik. Pada awal diagnosa sirosis hati,
hipertensi portal terdapat pada 60% pasien sirosis dekompensata dan pada 40%
pasien sirosis kompensata. Sirosis hati adalah penyebab paling banyak dari
hipertensi portal, dan mencakup 95% dari selurush kasus hipertensi portal yang
ditemui di klinik (Choudury J 2006).
Darah vena dari lambung, usus, limpa, pankreas dan kandung empedu
mengalir melalui vena porta menuju ke hati, di mana pada sinusoid hati akan

bercampur dengan darah dari arteri hepatik yang kaya oksigen, dan akan

mengalami kontak dengan hepatosit. Sistem porta adalah semua sistem vena yang
mengalirkan darah menuju hati yang berasal dari saluran cerna di rongga
abdomen, limpa, dan kandung empedu. Vena porta masuk ke hati melalui porta
hepatic, yang membagi menjadi dua bagian yang

masing-masing membagi

menuju tiap lobus. Vena porta merupakan penyatuan dari vena mesenterika
superior dan lienalis.Vena porta terletak di anterior kaput pankreas setinggi
vertebra lumbal 2, sedikit sebalah kanan garis tengah.Di dalam hati vena porta
membentuk cabang yang mengaliri hati yang berjalan seiring dengan arteri
hepatica.Vena mesenterika superior merupakan muara dari aliran darah vena yang
berasal dari intestinal, kolon dan kaput pankreas dan kadang dari lambung melalui
vena gastroepiploika kanan.Sedangkan vena lienalis merupakan muara 5-15
cabang dari vena di hilus limpa dan dari beberapa vena gastrika breves yang
bermuara di sepanjang vena lienalis yang terletak di ekor dan badan
pankreas.Vena menampung darah dari kaput pankreas dan vena gastroepiploika
kiri yang bermuara di dekat limpa, dan darah dari mesenterika inferior yang
berasal dari kolon kiri dan rectum. Kecepatan aliran vena porta mencapai 10001200 ml/menit dan memasok 72% kebutuhan oksigen total.

Gambar 2.3 Anatomi sirkulasi portal normal (dikutip dari Burroughs AK 2011)

Peningkatan tekanan porta dapat terjadi akibat beberapa hal berikut :
1. Prehepatik : portal vein thrombosis
2. Posthepatic : gagal jantung kanan, perikarditis konstriktif, dll
3. Intrahepatik :
a. Presinusoid : hepatitis kronik, primary biliary cirrhosis, granuloma
in schistosomiasis, tuberculosis, leukemia, dll
b. Sinusoidal : hepatitis akut, kerusakan akibat alkohol ( fatty liver,
sirosis), toksin, amiloidosis, dll
c. Postsinusoid : venous occlusive disease of the venules and small
veins, Budd-chiari syndrome (obstruksi vena hati yang besar)
Apabila terdapat sumbatan aliran pada sistem portal, baik sumbatan intra
maupun ekstrahepatik maka akan tampak sirkulasi kolateral, sebagai upaya
konsekunsi mengalihkan aliran porta ke dalam vena hepatika.

Gambar 2.4 Sirkulasi kolateral pada hipertensi portal (dikutip dari Shah VH 2010)

Tekanan vena porta berbanding lurus dengan jumlah aliran darah vena
yang masuk dan tahanan aliran darah yang keluar dari sistem vena porta.Pada
sirosis, hipertensi portal terjadi karena adanya peningkatan tahanan aliran darah
pada sinusoid hati . Hal ini terjadi karena gabungan komponen statik ( akibat
gangguan arsitektur hati dan fibrosis) dan komponen dinamik (akibat konstriksi
sinusoid hati).

Gambar 5.Patofisiologi hipertensi portal (Choudury J 2006)
2.2. 1 Pengukuran tekanan porta
Tekanan

porta

dapat

diukur

secara

langsung

maupun

tidak

langsung.Pengukuran tekanan porta secara langsung adalah metode invasif yang
jarang digunakan (Pomier-Layrargues G 2005).Metode yang paling sering
digunakan untuk mengukur tekanan porta adalah dengan menentukan hepatic vein
pressure gradient (HVPG), yang merupakan metode tidak langsung.
Untuk mengukur HVPG, kateter dimasukkan melalui vena femoralis atau
jugularis ke

vena hepatika kanan dengan panduan fluoroskopi. FVHP (Free

Hepatic Venous Pressure) diperoleh dengan mengukur tekanan vena saat kateter
berada bebas di dalam lumen vena. Untuk mengukur WHVP(Wedged Hepatic
Venous Pressure), balon kateter dikembangkan sehingga mendesak/menjepit
lumen vena (Kumar A 2010).HVPG diperoleh dengan mengukur WHVP atau
pengukuran tekanan sinusoid hepar dan dikurangi dengan FVHP atau tekanan
bebas vena hepatika,di mana nilai normalnya adalah 3-5 mmHg (Minano C 2010,
Shah VH 2010).

Gambar 2.6Pengukuran HVPG (dikutip dari Pomier-Layrargues 2005)

Metode tidak langsung lain yang dapat digunakan untuk mengukur
tekanan porta adalah dengan splenoportografi, di mana dilakukan penusukan ke
limpa secara transkutaneus dengan menggunakan needle catheter, kemudian
dilakukan pengukuran tekanan intralimpa.Tekanan intralimpa ini hampir identik
dengan tekanan vena porta.Tetapi, teknik ini memiliki resiko perdarahan limpa
dan teknik ini sekarang tidak lagi digunakan untuk manusia, namun masih
digunakan untuk hewan percobaan.
Pengukuran tekanan vena porta secara langsung jarang dilakukan karena
kurang aman.Menentukan tekanan vena porta secara langsung dapat dilakukan
secara

percutaneous

transhepatic

cathetherization,

secara

transhepatic

venography, atau intraoperatif (tetapi penggunaan obat-obatan anestesi dapat
mempengaruhi

tekanan

porta).Percutaneous

transhepatic

cathetherization

dilakukan dengan memasukkan kateter dengan guidewire ke dalam vena porta
utama untuk mengukur secara langsung tekanan porta. Pengukuran tekanan porta
secara langsung dilakukan jika HVPG tidak dapat dilaksanakan, misalnya pada
pasien dengan vena hepatik yang mengalami oklusi (Budd-Chiari syndrome), atau

pada pasien hipertensi portal intrahepatic presinusoid , misalnya idiopathic portal
hypertension, di mana HVPG mungkin normal.
Selain mengukur tekanan vena porta, penilaian adanya hipertensi portal
juga dapat dilakukan dengan menggunakan ultrasonografi. Pada USG, dapat
ditemukan pelebaran vena portal, asites atau splenomegali.Diameter vena porta
yang normal biasanya tidak melebihi 13 mm pada kondisi istirahat dan bernapas
biasa.Pada hipertensi portal, diameter vena porta meningkat sehingga vena porta
terlihat mengalami dilatasi (Bates JA 2004).Dengan USG doppler, ditemukan
berkurangnya pulsatilitas pada vena hepatik dan menyempitnya vena hepatika.
Baik et al (2006) menunjukkan bahwa monophasic hepatic venous flow memiliki
hubungan dengan hipertensi portal berat (HVPG>15mmHg)

Gambar 2.7 Contoh USG yang menunjukkan dilatasi vena porta (2.75cm)pada
pasien dengan hipertensi portal (dikutip dari Cokkinos D 2009)
Beberapa tahun belakangan, transient elastography (Fibroscan) semakin
meningkat penggunaannya sebagai alat non-invasif untuk menilai derajat fibrosis
hati. Beberapa studi telah meneliti hubungan fibroscan dengan hipertensi portal, di
mana ditemukan bahwa fibroscan dapat secara tidak langsung memprediksi
adanya hipertensi portal (Sporea I 2011) . Bureau C (2008) menilai korelasi antara
HVPG dan derajat fibrosis hati menggunakan fibroscan untuk mendiagnosa
hipertensi portal pada 150 pasien, di mana ditemukan cut-off point 21 kPA dapat
memprediksi secara akurat keberadaan hipertensi portal pada 92% pasien.

2.3 GASTROPATI HIPERTENSI PORTAL (GHP)
Definisi
GHP adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan tampilan
endoskopis mukosa lambung, dengan karakteristik mosaic-like pattern (sering

diistilahkan dengan snake-skin appearance) dengan atau tanpa red spots, pada
pasien dengan hipertensi portal sirotik atau nonsirotik

Gambar 2.8 Tampilan endoskopik GHP (dikutip dari Cubillas 2010)

2.3.2 Diagnosis dan klasifikasi
Belum ada konsensus umum yang menyepakati klasifikasi endoskopis
GHP. Yang paling banyak dipakai adalah klasifikasi McCormack, karena
memiliki kesesuaian intra- dan inter-observer yang relatif lebih tinggi. Gold
standard untuk diagnosis GHP adalah secara endoskopi (Kim MY 2010, Cubillas
2010).

Tabel 2.3. Klasifikasi GHP (dikutip dari Thuluvath PJ 2002)
McCormack et al
Mild
Fine pink speckling
(scarlatina-type rash)
Superficial reddening
Mosaic pattern
Severe
Discrete red spots
Diffuse hemorrhagic lesion

Tanoue et al
Grade I
Mild reddening
Congestive mucosa

NIEC
Mild
Mosaic Pattern

Grade II
Severe redness and a fine
reticular pattern separating
the areas of raised edematous
Grade III
Point bleeding + grade II

Severe
Red marks lesion (cherry red
spots and brown spots)

Sejak pertama dideskripsikan oleh McCormack (1985), spektrum lesi pada
lambung yang konsisten dengan GHP mencakup : mosaic like-pattern, red point
lesion, cherry red spot, scarlatina type-rash, brown spot, dan petechiae.

Gambar 2.9 Gambaran endoskopi yang menunjukkan karakteristik utama GHP
(dikutip dari Perini RF 2009)

Dalam beberapa tahun belakangan metode diagnostk yang lainyang kurang
invasif seperti capsule endoscopy yang bisa memvisualisasikan mukosa lambung
dengan baik juga mulai digunakan untuk diagnostik GHP. Walaupun demikian,
akurasi capsule endoscopy sebagai metode diagnostik GHP masih belum
divalidasi(Cubillas 2010). Beberapa metode pencitraan seperti dynamic CT scan
dan upper gastrointestinal (GI) series with barium pernah juga dilakukan pada
beberapa penelitian kecil (Chang D 2000, Ishihara 2004).

Tabel 2.4 Karakteristik temuan endoskopis pada GHP (dikutip dari Perini RF
2009)

Biopsi pada GHP jarang dilakukan, dan pada biopsi ditemukan gambaran
dilatasi pembuluh kapiler dan irregularitas vena pada mukosa dan submukosa
lambung, tanpa adanya infiltrat sel inflamasi atau erosi mukosa lambung
(Eleftheriadis E 2001). Studi Curvelo LA (2009) membandingkan metode
diagnosis GHP secara endoskopi dan secara biopsi, dan menemukan bahwa pada
kedua metode ditemukan prevalensi GHP yang cukup tinggi: 93.4% (endoskopi)
dan 76.1% (biopsi).
Differensial diagnosa endoskopis untuk PH salah satunya adalah gastric
antral vascular ectasia (GAVE) atau sering disebut watermelon stomach. GAVE
ditandai dengan adanya garis-garis linear yang dipisahkan oleh mukosa normal ,
sehingga terlihat seperti kulit buah semangka, dan sering dijumpai pada bagian
antrum atau proksimal lambung. GAVE dapat dijumpai pada pasien sirosis,
penyakit autoimun, penyakit jaringan ikat seperti gastritis atopik, skleroderma,
sclerodactily, anemia perisiosa (Cubillas 2010).

Tabel 2.5 Perbandingan antara GHP dengan GAVE

Beberapa kondisi lain juga dapat menjadi differensial diagnosis GHP.
Gastritis akut (akibat obat-obatan NSAID) juga dapat memiliki gambaran
endoskopis mosaic-like pattern, tetapi ciri utamanya adalah terdapatnya banyak
infiltrat sel-sel inflamasi, pembuluh darah tidak berdilatasi dan hanya mengenai
mukosa. Polisitemia, gastric purpura dan penyakit Osler Weber Randu juga dapat
menyerupai GHP namun sangat jarang ditemukan.
2.3.3 Prevalensi
Beberapa studi melaporkan prevalensi severe GHP berkisar 9% - 46% dan
mild GHP berkisar 29% - 67%.Prevalensi GHP secara keseluruhan adalah sekitar
51%-98%.(Thuluvath 2002, Merli M 2004) Besarnya variasi GHP yang
ditemukan pada berbagai studi sebelumnya kemungkinan berhubungan dengan
perbedaan dalam pemilihan pasien, tidak dipakainya kriteria dan klasifikasi yang
seragam dan adanya perbedaan antar- dan intra-pengamatdalam menilai lesi yang
ditemukan pada endoskopi (Sarin SK 2000, LO G 2009).
Terjadinya GHP dilaporkan memiliki korelasi dengan durasi dan
keparahan penyakit hati, adanya varises esophagus, besar varises esophagus, dan
riwayat eradikasi varises sebelumnya. Namun penelitian-penelitian yang ada
belum secara konklusif menyimpulkan variabel dan faktor resiko apa saja yang
dapat memprediksi adanya GHP (Cubillas 2010). Walaupun GHP pada umumnya

dapat ditemukan pada pasien sirosis dengan varises esofagus atau varises
lambung, namun korelasi langsung antara GHP dengan hipertensi portal masih
kontroversial. Sedikit sekali yang diketahui mengenai hubungan antara GHP
dengan prognosis pada pasien-pasien sirosis hati.
2.3.4 Patogenesis GHP
Patogenesis GHP kompleks dan memiliki banyak kontroversi.Berbagai
faktor seperti aliran darah sphlanknikus, faktor humoral, gangguan lokal pada
tonus pembuluh darah, dan tekanan portal telah diteliti untuk mengetahui
mekanisme yang mendasari GHP.GHP diyakini sebagai kelainan vaskuler, dan
berhubungan erat dengan gangguan aliran darah splanknikus. Walaupun
demikian, perfusi mukosa lambung yang dideteksi dengan Doppler laser
menunjukkan hasil yang berfluktuasi .Diusulkan bahwa GHP timbul karena
kongesti yang diakibatkan oleh hambatan drainase darah lambung.Perubahan
mukosa lambung juga dapat diakibatkan oleh peningkatan permeabilitas
pembuluh darah mikro lambung yang disebabkan oleh endothelin 1, keterlibatan
prostaglandin dan kelebihan nitrit oxide synthase.GHP tidak berkaitan dengan
infeksi H pylori.GHP jarang terbentuk pada pasien yang memiliki varises fundus,
mungkin karena adanya aliran darah kolateral yang lebih banyak (Simanjuntak LJ
2004).
Mekanisme terjadinya GHP masih belum terlalu jelas, tetapi GHPdapat
terjadi akibat resistensi vaskular, peningkatan tekanan pada sistem porta, dan
keterlibatan berbagai faktor humoral.Bagaimana aliran darah pada mukosa
lambung GHP masih kontroversial. Beberapa penelitian menemukan adanya
hubungan antara besar varises esophagus dengan HPVG dan insidens GHP..Iwao
et al menyatakan GHP disebabkan oleh peningkatan tekanan porta dan penurunan
aliran darah hepatik.Toyonaga (1998) menemukan bahwa semakin tinggi tekanan
porta maka semakin tinggi derajat keparahan GHP. Namun tidak semua pasien
dengan hipertensi portal mengalami GHP , sehingga kemungkinan terdapat juga
faktor-faktor lain yang mempengaruhi terjadinya GHPTerdapat beberapa
penelitian yang menunjukkan bahwa GHP lebih sering terjadi pada pasien sirotik
daripada non-sirotik, dan bahwa derajat kerusakan hai berkorelasi dengan derajat
keparahan GHP pada pasien sirosis hati (Eleftheriadis 2001).

Kontroversi juga terdapat pada beberapa penelitian tentang aliran darah
pada mukosa lambung.Kebanyakan penelitian melaporkan adanya penurunan
aliran darah mukosa lambung karena kongesti, namun ada juga beberapa
penelitian melaporkan terdapatnya peningkatan aliran darah mukosa lambung
pada GHP.Penelitian eksperimental oleh Imanishi menggunakan tikus sebagai
model hewan menunjukkan bahwa perubahan hemodinamik karena GHP dapat
menyebabkan penipisan lapisan mukus pada mukosa lambung (Eleftheriadis E
2001, Chapman RW 2007).
Sekresi asam lambung berkurang karena kerusakan terhadap ‘gastric
mucosal barrier’ yang akan menyebabkan perubahan hemodinamik lokal, sehinga
terjadi kongesti dan hiperemi mukosa lambung. Faktor humoral berperan dalam
GHP dengan menurunkan fungsi metabolik mukosa, menurunkan respons
terhadap pentagastrin, menurunkan glikoprotein mukosa, menurunkan kadar
prostaglandin E2 (PGE2) dan meningkatkan sintesis nitrit oxide (NO). seluruh hal
tersebut akan menurunkan asam lambung luminal dan menyebabkan penurunan
respons faktor-faktor defensive terhadap stimulasi intraluminal seperti diffuse ion
H, asam empedu dan penggunaan NSAID (Simanjuntak LJ 2004, Shah VH 2010).

Gambar 2.10 Patogenesis terjadinya GHP (dikutip dari Simanjuntak LJ,2004)

2.3.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis GHP adalah perdarahan saluran cerna bagian atas akut
atau kronik. Perdarahan ini lebih banyak terjadi pada pasien sirosis hati dengan

severe GHP dibandingkan mild GHP. Penelitian Sarin et al (2000) melaporkan
bahwa perdarahan akibat GHP terjadi pada 10 dari 86 penderita GHP (11.6%)
yang dipantau selama 25 bulan. Pada studi lain, ditemukan bahwa pada pasien
penyakit hati kronis, GHP dapat menyebabkan perdarahan pada 4% dari seluruh
kasus perdarahan akut dan 8% dari kasus perdarahan nonvarises (Cubillas 2010).
Perdarahan mukosa lambung kronis dan anemia defisiensi besi yang
berulang yang terkadang sampai membutuhkan transfusi darah adalah manifestasi
klinis yang paling sering dijumpai pada penderita GHP.Perdarahan akibat GHP
dapat menyebabkan kematian, tetapi GHP tidak merupakan faktor resiko
independen terhadap survival pasien sirosis hati.Walaupun begitu, episode
perdarahan berulang akibat GHP dapat memberikan kontribusi terhadap
perburukan fungsi hati (Eleftheriadis 2001).
2.3.6 Progresi/Regresi GHP
Pada kebanyakan kasus (30-60%), kondisi GHP dijumpai tetap
stabil.Namun demikian, pada beberapa kasus GHP dapat bersifat fluktuatif, di
mana hal ini menunjukkan GHP merupakan suatu penyakit yang bersifat dinamis.
Beberapa laporan menyatakan bahwa GHP dapat berprogresi dari mild menjadi
severe pada 30% kasus, dan GHP dapat juga mengalami regresi atau bahkan
menghilang pada 20% kasus (Cubillas 2010). Ligasi varises esofagus memiliki
hubungan dengan progresifitas perburukan GHP yang lebih cepat, tetapi
perburuan ini biasanya bersifat sementara dan dapat mengalami regresi kembali
pada 44% kasus setelah ligasi varises esofagus. Studi lain menemukan bahwa
hanya skor Child-Pugh yang tinggi yang memiliki hubungan dengan progresivitas
GHP.
2.3.7 Penatalaksanaan dan Pencegahan GHP
Perdarahan akut atau kronis adalah manifestasi klinis paling penting dari
GHP.Pada perdarahan kronis, pasien dapat diberikan suplementasi besi oral
maupun intravena.Terapi pengganti besi diberikan untuk menghindarkan deplesi
dari simpanan Fe.Ada beberapa penelitian kecil tanpa kontrol yang mengevaluasi
penatalaksanaan perdarahan pada GHP seperti yang terlihat pada tabel
5.Propanolol, suatu penghambat beta non selektif dengan dosis 24-480 mg/hari
adalah terapi farmakologis untuk GHP yang ditujukan untuk mengurangi tekanan

portal dan aliran darah lambung.Kebanyakan pasien memuai terapi propanolol
dengan dosis 20 mg dua kali sehari kemudian dosis ditingkatkan secara bertahap
dengan mempertahankan denyut jantung sekitar 50-55 x/menit.Penelitian Hosking
S (1987) mengevaluasi 14 pasien severe GHP yang mengalami perdarahan
gastrointestinal akut dan diberikan terapi propanolol, di mana perdarahan berhenti
pada 93% pasien setelah 3 hari. Ocreotide, suatu somatostatin analog (dosis 100
µg bolus dilanjutkan dengan infus 25µg/jam selama 48 jam) dilaporkan memiliki
efektivitas yang tinggi (100%) untuk mengatasi perdarahan akut akibat GHP. Jika
diberikan sendiri-sendiri, vasoperessin memiliki efektivitas 64% sedangkan
omeprazole 59% untu mengendalikan perdarahan, tetapi jika vasopressin dan
omeprazole diberikan bersama-sama, efektivitasnya adalah 88%. Belum ada
penelitian yang membandingkan antara penghambat beta dengan ocreotide.
Tindakan

endoskopi

memiliki

peranan

kecil

dalam

penatalaksanaanperdarahan akibat GHP, karena perdarahan biasanya bersifat
difus. Anti oksidan mungkin memiliki peran dalam penatalaksanaan GHP, di
mana pada suatu penelitian eksperimental terhadap tikus, pemberian vitamin E
oral dapat memperbaiki keadaan mukosa lambung. Transjugular intrahepatic
portosystemic shunt (TIPS) dan terapi bedah (shunt surgery) tidak rutin dilakukan
karena bersifat invasif namun dapat mengurangi keparahan derajat GHP.
Resiko perdarahan pada mild GHP adalah rendah, karena itu pada umumnya tidak
memerlukan profilaksis primer.Namun pada pasien dengan mild GHP dan juga
varises esofagus, sebaiknya diberikan propanolol sebagai profilaksis pencegahan
perdarahan.Pada pasien dengan severe GHP, sebaiknya juga diberikan
penghambat beta non selektif sebagai profilaksis perdarahan.

Tabel 2.6 Penatalaksanaan dan pencegahan GHP (Cubillas 2010)

2.4 SKOR CHILD PUGH
Skor Child yang pertama, skor Child-Turcotte, melibatkan 5 variabel
(bilirubin, albumin, asites, ensefalopati, dan status nutrisi) dikategorikan menjadi
3 grup dengan tingkatan keparahan penyakit (Guha 2007).
Tabel 2.7 Skor Child-Turcotte (dikutip dari Guha,2007)
Bilirubin
serum
(mg/dl)
Albumin serum (gr/dl)
Asites
Gangguan neurologi
Nutrisi

A
3

>3.5
Sangat baik

3-3.5
Mudah dikontrol
Minimal
baik

2.3
Derajat III-IV

Child A skor 5-6; Child B skor 7-9; Child C skor 10-15
Harapan hidup 2 tahun : Child A (85%). Child B (60%), Child C (35%)

Penggunaan skor Child Pugh terutama untuk mengklasifikasikan atau
memilih pasien untuk analisis prognostik, untuk penilaian retrospektif dari
pemberian terapi atau untuk penelitian klinis acak (randomized clinical trial). Skor
Child Pugh secara klinis digunakan secara luas sebagai indikator prognostik.

Keterbatasan pertama dari skor Child Pugh berhubungan dengan fakta
bahwa 5 komponen dasar dari skor Child-Pugh telah dipilih secara empirik.
Variabel-variabelnya tidak semua memiliki pengaruh independen, seperti albumin
dan faktor koagulasi keduanya disintesis di hati dan keduanya saling berhubungan
dengan kuat. Keterbatasan kedua mengenai nilai ambang batas dari variabel
kuantitas yang belum ada bukti batasan tersebut berhubungan dengan mortalitas.
Keterbatasan ketiga adalah karena pada kenyataannya faktor prognostik yang
penting tidak diperhitungkan seperti adanya keterlibatan fungsi ginjal dan
hipertensi portal. Terakhir Child Pugh tidak memperhitungkan penyebab sirosis,
kemungkinan koeksistensi beberapa faktor dan proses kerusakan yang menetap
seperti penyalahgunaan alkohol, replikasi virus hepatitis B atau C yang sedang
berlangsung atau aktivitas peradangan dari hepatitis autoimun. Namun walaupun
dengan berbagai keterbatasan seperti itu, skor Child Pugh masih merupakan
prediktor prognosis yang kuat (Durand 2005).

2.5 Hubungan GHP dengan Sirosis Hati
Peningkatan tekanan portal dan disfungsi hati adalah penting dalam
menyebabkan terjadinya GHP pada pasien sirosis hatiWalaupun hipertensi porta
berperan penting dalam patogenesis GHP, tetapi peningkatan tekanan porta bukan
merupakan satu-satunya faktor yang menentukan terjadinya GHP (Eleftheriadis
2010). Penelitian Sarin et al (1992) menyatakan bahwa tidak semua penderita
hipertensi portal akan mangalami GHP.
Selain hipertensi portal, ada faktor-faktor lain yang berkontribusi terhadap
pembentukan GHP.Terdapat beberapa bukti bahwa GHP terjadi jauh lebih sering
pada pasien sirosis hati daripada non-sirosis hati (Toyonaga 1998).Tidak ada
konsensus yang menyepakati hubungan antara hubungan fungsi hati pada pasien
sirosis dengan GHP, namun beberapa penelitian terbaru menunjukkan bahwa
insidens dan perkembangan GHP memiliki hubungan dengan fungsi hati.
Penelitian Dong L (2003) menemukan bahwa terdapat GHP pada 68%
pasien sirosis hati, di mana terdapat hubungan yang signifikan antara derajat
kerusakan hati dengan terjadinya GHP. Penelitian Kamath PS (2000) juga
menemukan bahwa derajat disfungsi hati memiliki korelasi dengan derajat

keparahan GHP. Ahmed S (2010) meneliti 360 pasien sirosis hati dan
mendapatkan skor Child, skor MELD, platelet/spleen ratio dan adanya varises
esofagus merupakan faktor independen pada pasien dengan severe GHP, dan
dapat digunakan untuk memprediksi terjadinya severe GHP. Namun pada
penelitian Nashaat E (2010), ditemukan bahwa skor Child Pugh memiliki korelasi
positif dengan terjadinya varises esofagus, tetapi tidak dengan GHP. Di sisi lain,
Ehab et al (2010) menunjukkan bahwa prevalensi GHP meningkat sesuai dengan
derajat keparahan penyakit hati, di mana 90% pasien-pasien sirosis hati dengan
skor Child Pugh C dan memiliki GHP akan meninggal dalam waktu 12 bulan.
Pengaruh derajat kerusakan hati terhadap terjadinya GHP berhubungan
dengan beberapa faktor. Pertama, inflamasi hepatoselular akan menyebabkan
kongesti hati, menyumbat pembuluh darah dan vena porta, lalu menyebabkan
kongesti dan edema pada mukosa lambung. Kedua, semakin parah kerusakan
hepatosit, maka akan semakin berat kerusakan metabolisme beberapa metabolit
aktif yang akan menyebabkan ketidakseimbangan faktor vasodilator dan
vasokonstriktor, sehingga akan menyebabkan dilatasi kapiler mukosa dan
submukosa, dan memperberat derajat GHP. Ketiga, pasien dengan kerusakan hati
yang signifikan misalnya pada pasien dengan Child Pugh B atau C, biasanya
mengalami asites, di mana asites ini akan meningkatkan tekanan intraabdomen,
dan akan menekan vena porta sehingga memperberat terjadinya kongesti (Dong L
2003).