Perbandingan Outcome Anterior Circulation Stroke Dan Posterior Circulation Stroke Pada Penderita Stroke Akut

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1.

STROKE

II.1.1. Definisi
Stroke adalah suatu episode disfungsi neurologi akut disebabkan oleh
iskemik atau pendarahan berlangsung 24 jam atau meninggal, tapi tidak
memiliki bukti yang cukup untuk diklasifikasikan (Sacco dkk, 2013).
Stroke iskemik adalah episode disfungsi neurologis disebabkan infark
fokal serebral, spinal dan infark retinal. Dimana infark susunan saraf pusat
adalah kematian sel pada otak, medula spinalis, atau sel retina akibat iskemia,
berdasarkan
-

Patologi, imaging atau bukti objektif dari focal injury iskemik pada serebral,
medula spinalis atau retina pada suatu distribusi vaskular tertentu.

-


Atau bukti klinis dari focal injury iskemik pada serebral, medula spinalis
atau retina berdasarkan simptom yang bertahan ≥ 24 jam atau meninggal
dan etiologi lainnya telah dieksklusikan (Sacco dkk, 2013).
Stroke hemoragik adalah disfungsi neurologis yang berkembang dengan

cepat yang disebabkan oleh pendarahan di parenkim otak atau sistem
ventrikel yang tidak disebabkan oleh trauma (Sacco dkk, 2013).
II.1.2. Epidemiologi
Data di Indonesia menunjukkan kecenderungan peningkatan status
stroke baik dalam hal kematian, kejadian maupun kecacatan. Angka kematian

Universitas Sumatera Utara

berdasarkan umur adalah : sebesar 15,9% (umur 45-55 tahun) dan 26,8%
(umur 55-64 tahun) dan 23,5% (umur > 65 tahun). Kejadian stroke (insiden)
sebesar 51,6/100.000 penduduk. Penderita laki –laki lebih banyak dari
perempuan dan profil usia yaitu sebesar 11,8% (< 45 tahun) 54,2% (usia 4564 tahun) dan 33,5% (> 65 tahun) (Misbach dkk, 2011).
Dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga di Indonesia dilaporkan
bahwa proporsi stroke di rumah sakit antara tahun 1984 sampai dengan tahun

1986 meningkat yaitu 0,72 per 100 penderita pada tahun 1984 dan naik
menjadi 0,89 per 100 penderita pada tahun 1985 dan 0,96 per 100 penderita
pada tahun 1986. Sedangkan di Jogyakarta pada penelitian Lamsudin dkk
(1988) dilaporkan bahwa proporsi morbiditas stroke di rumah sakit di
Jogyakarta tahun 1991 menunjukkan kecenderungan meningkat hampir 2 kali
lipat (1,79 per 100 penderita) dibandingkan dengan laporan penelitian
sebelumnya pada tahun 1989 (0,96 per 100 penderita) (Sjahrir, 2003).
Studi dari World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa
dibandingkan dengan etnis Kaukasia, etnis Asia memiliki prevalensi stroke
yang relatif tinggi. Insiden stroke di Asia sekitar 182 – 342 per 100.000
populasi. Kejadian stroke di Asia juga diprediksi akan meningkat dari tahun ke
tahun disebabkan karena adanya perubahan gaya hidup dan peningkatan usia
harapan hidup (Taqui dkk, 2007).
Dari berbagai penelitian ditemukan bahwa prevalensi ACS lebih banyak
dibandingkan dengan PCS. Seperti halnya dengan penelitian Osmani dkk.
ditemukan 79 sampel untuk kelompok ACS dan 30 sampel untuk kelompok

Universitas Sumatera Utara

PCS. Pada penelitian Tao dkk. ditemukan 872 sampel untuk ACS dan 302

sampel untuk PCS. Dan pada penelitian Vallapil ditemukan 222 sampel untuk
kelompok ACS dan 81 sampel untuk kelompok PCS (Osmani dkk, 200, Tao
dkk, 2012 dan Vallapil dkk, 2013)

II.1.3. Klassifikasi Stroke
Dasar klassifikasi yang berbeda – beda diperlukan, sebab setiap jenis
stroke mempunyai cara pengobatan, preventif dan prognosis yang berbeda,
walaupun patogenesisnya serupa (Misbach dkk, 2011).
I.

Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya
1. Stroke Iskemik
a. Transient Ischemic Attack (TIA)
b. Trombosis serebri
c. Emboli serebri
2. Stroke Hemoragik
a. Pendarahan intraserebral
b. Pendarahan subaraknoid

II.


Berdasarkan stadium / pertimbangan waktu
1. Transient Ischemic Attack (TIA)
2. Stroke in evolution
3. Completed Stroke

III.

Berdasarkan jenis tipe pembuluh darah
1. Sistem Karotis

Universitas Sumatera Utara

2. Sistem vertebro-basiler
IV.

Berdasarkan tipe infark (Sjahrir, 2003)
1. Total Anterior Circulation Infarction (TACI)
Infark tipe TACI ini penyebabnya adalah emboli kardiak atau trombus
arteri ke arteri. Gambaran klinisnya berupa : hemiparesis dengan atau

tanpa

gangguan

sensorik

(kontralateral

sisi

lesi),

hemianopia

(kontralateral sisi lesi) dan gangguan fungsi luhur (disfasia, gangguan
visuo-spatial, hemineglek, agnosia, apraksia)
2. Partial Anterior Circulation Infarction (PACI)
Gejala lebih terbatas pada daerah yang lebih kecil dari sirkulasi
serebral pada sistem karotis yaitu : defisit motorik / sensorik dan
hemianopia, defisit motorik / sensorik disertai gejala fungsi luhur, gejala

fungsi luhur dan hemianopia, defisit motorik / sensorik murni yang
kurang ekstensif dibanding infark lakunar (hanya monoparesis –
monosensorik), gangguan fungsi luhur saja.
3. Posterior Circulation Infarction (POCI)
Oklusi yang terjadi pada batang otak dan atau lobus oksipitalis, dengan
gejala klinis berupa disfungsi saraf otak, satu atau lebih sisi ipsilateral
dan gangguan motorik / sensorik kontralateral, gangguan motorik /
sensorik bilateral, gangguan gerakan konjugat mata (horizontal atau
vertikal), disfungsi serebellar, isolated hemianopia atau buta kortikal.
4. Lacunar Infarction

Universitas Sumatera Utara

Disebabkan infark pada arteri kecil di dalam otak (small deep infarct),
dengan tanda - tanda klinis : tidak ada defisit visual, gangguan fungsi
luhur dan gangguan fungsi batang otak, adanya defisit maksimum pada
satu cabang arteri kecil ; dengan gejala dapat berupa : pure motor
stroke, pure sensory stroke dan ataksik hemiparesis (termasuk ataksia
dan paresis unilateral, dysarthria-hand syndrome)
V.


Berdasarkan kriteria kelompok peneliti TOAST (Sjahrir, 2003)
1. Ateroskerosis arteri besar (Embolus / Trombosis)
Gejala klinik dan penemuan imejing otak yang signifikan (> 50%)
stenosis atau oklusi arteri besar di otak atau cabang arteri di korteks
disebabkan oleh proses aterosklerosis. Gambaran CT sken otak, MRI
menunjukkan adanya infark di kortikal, serebellum, batang otak atau
subkortikal yang berdiameter lebih dari 1,5 mm dan potensinya berasal
dari aterosklerosis arteri besar.
2. Kardioembolisme (Resiko Tinggi / Resiko Sedang)
Oklusi arteri disebabkan oleh embolus dari jantung. Sumber embolus
dari jantung terdiri dari :
a. Resiko tinggi
- Prostetik katub mekanik
- Mitral stenosis dengan atrial fibrilasi
- Fibrilasi atrial
- Atrial kiri / atrial appendage thrombus
- Sick sinus syndrome

Universitas Sumatera Utara


- Infark miokard baru (< 4 minggu)
- Trombus ventrikel kiri
- Kardiomiopati dilatasi
- Segmen ventricular kiri akinetik
- Atrial myxoma
- Infeksi endokarditis
b. Resiko sedang
- Prolapsus katup mitral
- kalsifikasi annulus mitral
- Mitral stenosis tanpa fibrilasi atrial
- Turbulensi atrial kiri
- Aneurisma septal atrial
- Paten foramen ovale
- Atrial Flutter
- Lone atrial fibrillation
- Katup kardiak bioprostetik

- Trombotik endokarditis non bacterial
- Gagal jantung kongestif

- segmen ventrikuler kiri hipokinetik
- Infark miokard (> 4 minggu, < 6 bulan)
3. Oklusi pembuluh darah kecil (Lakunar)

Universitas Sumatera Utara

Sering disebut juga infark lakunar, dimana pasien harus mempunyai
satu gejala klinis sindrom lakunar dan tidak mempunyai gejala
gangguan disfungsi kortikal serebral. Pasien biasanya mempunyai
gambaran Computed Tomography (CT) Sken / MRI otak normal atau
infark lakunar dengan diameter < 1,5 mm di daerah batang otak atau
subkortikal.
4. Stroke akibat dari penyebab lain yang menentukan
a. Non aterosklerosis vaskulopati
- Non inflamasi
- Inflamasi non infeksi
- Infeksi
b. Kelainan hematologi atau koagulasi
5. Stroke akibat dari penyebab lain yang tak dapat ditentukan :
a. Dua atau lebih penyebab teridentifikasi

b. Tidak ada evaluasi
c. Evaluasi tidak lengkap

II.1.4. Faktor Resiko
Penelitian prospektif stroke telah mengidentifikasi berbagai faktor –
faktor yang dipertimbangkan sebagai resiko yang kuat terhadap timbulnya
stroke. Faktor resiko timbulnya stroke (Sjahrir, 2003)
1. Non modifiable risk factors
a. Usia

Universitas Sumatera Utara

b. Jenis kelamin
c. Keturunan / genetik

2. Modifiable risk factors
a. Behavioral risk factors
- Merokok
- Unhealthy Diet : lemak, garam berlebihan, asam urat, koleterol,
kurang buah

- Alkoholik
-Obat–obatan : narkoba (kokain), antikoagulansia, antiplatelet,
obat kontrasepsi
- Aktivitas yang rendah
b. Physiological risk factors
- Penyakit hipertensi
- Penyakit jantung
- Diabetes melitus
- Infeksi / Lues, arthritis, traumatic, AIDS, lupus
- Gangguan ginjal
- Kegemukan (obesitas)
- Polisitemia, viskositas darah yang meninggi & penyakit
pendarahan
- Kelainan anatomi pembuluh darah
- Stenosis karotis asimtomatik

Universitas Sumatera Utara

II.1.5. Patogenesis
II.1.5.1. Stroke Iskemik
Secara umum daerah regional otak yang iskemik terdiri dari bagian inti
(core) dengan tingkat iskemia terberat dan berlokasi di sentral. Daerah ini
akan menjadi nekrotik dalam waktu singkat jika tidak ada reperfusi. Di luar
daerah core iskemik terdapat daerah penumbra iskemik. Sel – sel otak dan
jaringan pendukungnya belum mati akan tetapi sangat berkurang fungsi –
fungsinya dan menyebabkan juga defisit neurologis. Tingkat iskemiknya makin
ke perifer makin ringan. Daerah penumbra iskemik inilah yang menjadi
sasaran terapi stroke iskemik akut supaya dapat direperfusi dan sel – sel otak
berfungsi kembali. Reversibilitas tergantung pada faktor waktu dan jika tidak
terjadi reperfusi, daerah penumbra dapat berangsur – angsur mengalami
kematian (Misbach, 2007).
Iskemik otak mengakibatkan perubahan dari sel neuron otak secara
bertahap, yaitu (Sjahrir, 2003) :
Tahap 1 :
a. Penurunan aliran darah. Cerebral Blood Flow (CBF) normal adalah
50 ml/100 gr otak/menit. Jika aliran darah 20 ml/100 gr/menit,
gambaran aktivitas elektroensefalogram (EEG) akan terganggu.
Cerebral Metabolic Rate for Oxygen (CMRO2) mulai turun jika CBF

Universitas Sumatera Utara

turun dibawah 20 ml/100 gr/menit. Sel membran dan fungsi sel
akan terganggu sangat parah bila CBF turun dibawah 10 ml/100
gr/menit.
b. Pengurangan O2. Cerebral Metabolic Rate for Oxygen normal
adalah

3,5

cc/100

gr

otak/menit.

Keadaan

hipoksia

akan

mengakibatkan produksi molekul oksigen tanpa pasangan elektron.
Keadaan ini disebut oxygen-free radicals. Radikal bebas ini
menyebabkan oksidasi asam lemak dalam organella sel dan
plasma yang mengakibatkan disfungsi sel.
c. Kegagalan energi. Otak hanya menggunakan glukosa sebagai
substrat

dasar

metabolismenya.

Metabolisme

glukosa

menghasilkan adenosin triphospate (ATP) dari adenosin diphospate
(ADP).

Suplai

produksi

ATP

yang

konstan

penting

untuk

mempertahankan integritas neuron dan untuk mempertahankan ion
kalsium dan natrium (kation ekstraseluler yang utama) di luar sel
dan kation intraseluler (kalium) di dalam sel. Produksi ATP sangat
efisien dengan adanya O2. Otak normal membutuhkan 500 cc O2
dan 75 – 100 mg glukosa tiap menitnya, total 125 gram glukosa tiap
harinya. Jika suplai O2 berkurang (hipoksia), proses glikolisis
anaerob akan terjadi dalam pembentukan ATP dan laktat sehingga
akhirnya produksi energi menjadi kecil dan terjadi penumpukan
asam laktat, baik di dalam sel saraf maupun di luar sel saraf (lactic
acidosis). Akibatnya fungsi metabolisme sel saraf terganggu.

Universitas Sumatera Utara

d. Terminal depolarisasi dan kegagalan hemostasis ion. Jika neuron
iskemik, terjadi beberapa perubahan kimiawi yang berpotensi dan
memacu peningkatan kematian sel, kalium akan bergerak pindah
menembus sel membran ke ekstraseluler, dan kalsium akan
bergerak ke dalam sel. Pada keadaan normal, sel membran
mampu mengontrol keseimbangan ion intra dan ekstra sel.
Tahap 2
a. Eksitoksitas dan kegagalan hemostasis ion. Pada keadaan iskemik,
aktivitas neurotransmitter eksitatori (glutamat, aspartat, asam
kainat) meninggi di daerah iskemik tersebut. Keadaan hipoksia,
hipoglikemia dan iskemik berkontribusi dalam menurunkan energi
dan meninggikan pelepasan glutamat dan penurunan uptake
glutamat. Peninggian pelepasan glutamat berakibat neuron lebih
peka untuk rusak karena sifat toksik glutamat mengakibatkan
kematian sel.
b. Spreading depression. Derajat keparahan iskemik yang disebabkan
blokade arteri bervariasi dalam zona yang berbeda di daerah yang
disuplai oleh arteri tersebut. Pada pusat zona tersebut aliran darah
sangat rendah (0 – 10 ml/ 100 gr/ menit) dan kerusakan iskemik
sangat parah sehingga dapat menyebabkan nekrosis. Proses ini
disebut core of infarct. Di daerah pinggir zona tersebut aliran darah
agak lebih besar , sekitar 10 – 20 ml/ 100 gr/ menit karena adanya
aliran kolateral sekitarnya, sehingga menyebabkan kegagalan

Universitas Sumatera Utara

elektrik tanpa disertai kematian sel permanen. Daerah ini disebut
iskemik penumbra, keadaan antara hidup dan mati, sel neuron
keadaan paralisis / disfungsi menunggu aliran darah oksigen yang
adekuat untuk suatu restorasi. Di sebelah luar daerah penumbra
ada daerah yang disebut oligemia.
Tahap 3

: Inflamasi

Respon inflamatorik pada stroke iskemik akut mempunyai pengaruh
buruk yang memperberat bagi perkembangan infark serebri.
Berbagai penelitian menunjukkan adanya perubahan kadar sitokin
pada penderita stroke iskemik akut. Mikroglia merupakan makrofag
serebral yang merupakan sumber sitokin utama di serebral. Sitokin
adalah mediator peptida molekuler, merupakan protein atau
glikoprotein yang dikeluarkan oleh suatu sel dan mempengaruhi sel
lain dalam suatu proses inflamasi, contohnya limfokin dan
interleukin (IL-1 beta, IL-6, IL-8, TNF-α) yang merupakan sitokin
pro-inflamatorik. Adanya IL-8 tersebut merupakan diskriminator
terkuat yang membedakan kasus stroke dengan non stroke.
Produksi

sitokin

yang

berlebih

mengakibatkan

plugging

mikrovaskuler serebral dan pelepasan mediator vasokonstruktif
endothelin sehingga memperberat penurunan aliran darah, juga
mengakibatkan eksaserbasi kerusakan blood brain barier dan
parenkim melalui pelepasan enzim hidrolitik, proteolitik dan
produksi radikal bebas yang akan menambah neuron yang mati.

Universitas Sumatera Utara

Tahap 4

: Apoptosis

II.1.5.2. Stroke Hemoragik
Pecahnya pembuluh darah di otak dibedakan menurut anatominya
yaitu pendarahan intraserebral dan subaraknoid, sedangkan berdasarkan
penyebabnya,
intraserebral

pendarahan
primer

dan

intraserebral
sekunder.

dibagi

menjadi

Pendarahan

pendarahan

intraserebral

primer

(hipertensif) disebabkan oleh hipertensi kronik yang menyebabkan vaskulopati
serebral dengan akibat pecahnya pembuluh darah otak. Sedangkan
pendarahan intraserebral sekunder (bukan hipertensi) terjadi antara lain
akibat anomali vaskular kongenital, koagulopati, obat anti koagulan (Misbach
dkk, 2011).
Diperkirakan hampir 50% penyebab pendarahan intraserebral adalah
hipertensi kronik , 25% karena anomali kongenital dan sisanya penyebab lain.
Pada pendarahan intraserebral, pembuluh darah yang pecah terdapat di
dalam otak atau massa pada otak, sedangkan pada pendarahan subaraknoid,
pembuluh yang pecah

terdapat di ruang subaraknoid, di sekitar sirkulus

arteriosus Willisi (Misbach dkk, 2011).

II.2.

ANATOMI VASKULAR
Sekitar 18 % dari total volume darah dalam tubuh bersirkulasi di dalam

otak, yaitu sekitar 2 % dari berat badan. Darah membawa oksigen dan

Universitas Sumatera Utara

substansi lainnya yang penting bagi otak dalam menjalankan fungsinya serta
membawa keluar sisa hasil metabolisme. Penurunan kesadaran dapat terjadi
kurang 15 detik setelah terjadinya penghentian aliran darah ke otak.
Kerusakan jaringan otak setelah 5 menit tidak dapat diperbaiki lagi. Penyakit
serebrovaskular atau stroke terjadi sebagai akibat gangguan aliran darah atau
pendarahan, dan merupakan salah satu penyebab disabilitas neurologi yang
paling sering ditemukan. Hampir 50 % dari seluruh penyakit neurologi yang
dirawat, penyebabnya adalah stroke (Waxman, 2010)
Pada setiap sistem vaskularisasi otak terdapat 3 komponen yaitu :
arteri – arteri ekstrakranial, arteri – arteri intrakranial berdiameter besar dan
arteri – arteri perforantes berdiameter kecil, komponen – komponen arteri ini
mempunyai struktur dan fungsi yang berbeda.
1. Pembuluh darah ektrakranial, misalnya arteri karotis komunis
mempunyai struktur trilaminar (tunica intima, media dan adventisia)
dan berperan sebagai pembuluh darah kapasitan. Pada pembuluh
darah ini mempunyai anastomosis yang terbatas.
2. Arteri – arteri intrakranial yang besar (misalnya arteri serebri media)
secara bermakna mempunyai hubungan anastomosis di permukaan
piameter otak dan basis kranium melalui Sirkulus Willisi dan sirkulasi
koroid. Tunika adventisia pembuluh darah ini lebih tipis daripada
pembuluh darah ekstrakranial dan mengandung jaringan elastik yang
lebih sedikit. Selain itu dengan diameter yang sama pembuluh darah
intrakranial ini lebih kaku daripada pembuluh darah ekstrakranial.

Universitas Sumatera Utara

3. Arteri – arteri perforantes yang berdiameter kecil yang terletak
superfisial maupun profunda, secara dominan merupakan end-artery
dengan anastomosis yang sangat terbatas, merupakan pembuluh
darah yang resisten (Gofir, 2009).
Terdapat 4 pembuluh darah besar yang memberi suplai darah ke otak
yaitu : arteri karotis interna kanan dan kiri dan arteri vertebralis kanan dan kiri.
Struktur fossa kranialis anterior dan media mendapatkan suplai darah yang
utama dari arteri karotis interna (sehingga disebut sirkulasi anterior)
sedangkan fossa kranialis posterior dan hemisfer serebri bagian posterior
mendapatkan suplai darah yang utama dari arteri vertebralis (sehingga
disebut sirkulasi posterior) (Baer dkk, 2005).
Sirkulus Willisi (diambil dari nama ahli neuroanatomi Inggris, Sir
Thomas Willis) merupakan suatu bentuk heksagon yang terdiri dari pembuluh
darah yang memperdarahi otak. Sirkulus ini diperdarahi oleh arteri karotis
interna dan arteri basiler. Pada sirkulus ini terdapat juga arteri komunikans
anterior dan posterior. Sirkulus Willisi ini bervariasi pada masing – masing
individu (Waxman, 2010). (Gambar 1)
Darah arterial untuk suplai otak masuk ke dalam rongga kranial melalui
2 pasang pembuluh darah yang besar yaitu arteri karotis interna, yang
merupakan cabang dari common carotid dan arteri vertebralis yang berasal
dari arteri subklavian (Waxman, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 1. Sirkulus Willisi
Dikutip dari : Peron S. 2010. Vascular Ultrasound. Available from :
www.vacularultrasound.net
Sistem arteri vertebralis memberi suplai darah ke batang otak,
serebellum, lobus oksipital, sebagian thalamus. Arteri karotis memberi suplai
seluruh bagian serebri. Arteri karotis menghubungkan arteri serebri anterior
dan arteri komunikans anterior, juga menghubungkan arteri serebri posterior
dengan arteri komunikans posterior, yang merupakan bagian dari sirkulus
Willisi (Waxman, 2010). (Gambar 2)

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2. Sistem Karotis dan Vertebrobasiler.
Dikutip dari : Matthew R. 2004. Peripheral Vascular Disease. Available
from : www.rjmatthewsmd.com
Arteri karotis internal melewati kanal karotis tulang tengkorak dan
durameter membentuk carotid siphon sebelum mencapai otak. Percabangan
yang pertama adalah arteri ophtalmika dan kemudian bercabang menjadi
arteri serebri media dan arteri serebri anterior. Setelah melewati foramen
magnum pada dasar tengkorak, kedua arteri vertebralis membentuk arteri
basilaris. Pembuluh darah ini berakhir di bifurkasio arteri serebri posterior kiri
dan kanan (Waxman, 2010). (Gambar 3)

Universitas Sumatera Utara

Gambar 3. Percabangan Arteri Karotis Interna.
Dikutip dari : Caplan LR. 2009. Stroke A Clinical Approach. 4th ed.
Elsevier.p.22-63.

II.3.

TERITORI VASKULAR
Penyakit serebrovaskular, dengan anatominya yang kompleks, dan

adanya iskemik pada bagian otak yang berbeda dapat menimbulkan defisit
neurologis yang sama. (Tao dkk, 2012)

Universitas Sumatera Utara

Gambar 4. Vaskularisasi Otak
Dikutip dari : Jichici D., Lutsep H. 2013. Anterior Circulation Stroke.
Medscape. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/1159900

Universitas Sumatera Utara

Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa manifestasi klinis untuk
infark di teritori anterior dan posterior hampir sama. Terdapat berbagai
manifestasi klinis yang tidak spesifik antara ACI dan PCI. Manifestasi klinis
yang paling sering ditemukan adalah defisit motorik / sensorik, parese nervus
okulomotor, gangguan lapangan pandang dan sindrom Horner (Tao dkk,
2012).
Untuk keputusan yang penting seperti revaskularisasi, biasanya
didasarkan pada hubungan antara gejala dan stenosis yang terjadi pada
teritori vaskular yang spesifik, sehingga seorang klinisi harus yakin dengan
letak lesi.

Apabila dalam penentuan lokasi stroke, seorang

klinisi hanya

berpatokan pada gejala klinis saja, maka hasil yang didapatkan tidak akurat.
Pemeriksaan neuroimaging sangat penting dalam penentuan lokasi (Tao dkk,
2012).
Anatomi vaskular otak dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu anterior
(sistem karotis) dan posterior (sistem vertebrobasiler) (Gofir dkk, 2009 dan
Jichici dkk, 2013). (Gambar 4)

II.3.1. Anterior Circulation Stroke
Anterior Circulation Stroke adalah stroke iskemik ataupun hemoragik
yang terjadi pada sistem karotis. Sistem karotis adalah sistem yang
divaskularisasi oleh arteri karotis interna dan percabangannya. Arteri karotis
interna bagian intrakranial masuk ke otak melalui kanalis karotikus, berjalan
dalam sinus kavernosus mempercabangkan arteri ophtalmika kemudian

Universitas Sumatera Utara

bercabang menjadi arteri koroidal anterior selanjutnya bercabang menjadi
arteri serebri anterior dan arteri serebri media. Arteri serebri anterior dan
media bertanggung jawab memvaskularisasi lobus frontalis, parietal dan
sebagian temporal. Sedangkan arteri koroidal anterior memvaskularisasi
pleksus koroid juga memberikan cabangnya ke globus palidus, hipokampus
anterior, unkus, kapsula interna bagian posterior serta mesensefalon bagian
anterior (Gofir dkk, 2009).
Oklusi arteri serebri media atau percabangannya merupakan bentuk
yang paling sering ditemukan pada ACI, sekitar 90% dari seluruh ACI. Oklusi
arteri serebri anterior jarang terjadi, sekitar 2 % dari keseluruhan ACI
sedangkan oklusi arteri khoroidal anterior hanya sekitar 1 % dari seluruh
kejadian ACI (Jichici dkk, 2013).

II.3.2. Posterior Circulation Stroke
Posterior Circulation Stroke merupakan suatu sindrom klinis iskemik
ataupun hemoragik pada sisitem vertebrobasiler. Sistem vertebrobasiler
berasal dari arteri basilar yang dibentuk oleh arteri vertebralis kanan dan kiri.
Arteri basilaris berjalan menuju dasar kranium melalui kanalis tranversalis di
kolumna vertebralis servikalis, kemudian masuk ke rongga kranium melalui
foramen magnum dan mempercabangkan sepasang arteri serebelli inferior.
Arteri basilaris pada bagian akhir akan menjadi sepasang cabang arteri
serebri posterior yang memvaskularisasi lobus oksipital dan temporal bagian
medial (Gofir dkk, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Arteri yang memvaskularisasi serebellum terdiri dari arteri serebellaris
superior, arteri serebellaris inferior anterior dan arteri serebellaris inferior
posterior. Permukaan atas serebellum divaskularisasi oleh arteri serebellaris
superior yang dipercabangkan oleh arteri basilaris tepat sebelum bercabang
menjadi

arteri

serebri

posterior.

Arteri

serebellaris

inferior

anterior

memvaskularisasi permukaan anterior dipercabangkan oleh arteri basilaris
bagian proksimal, tepat setelah dibentuk oleh arteri vertebralis kanan dan kiri.
Arteri serebellaris inferior posterior memvaskularisasi permukaan inferior,
dipercabangkan oleh arteri vertebralis tepat sebelum bergabung menjadi arteri
basilaris (Gofir dkk, 2009).
Posterior

Circulation

Infarction

berhubungan

dengan

stenosis,

trombosis atau oklusi pada sirkulasi arteri posterior, yaitu arteri vertebralis,
arteri basiler dan arteri serebri posterior serta percabangannya. Bagian yang
mengalami oklusi menimbulkan suatu bentuk karakteristik dan sindrom klinis
seperti vertigo, ataksia, gangguan penglihatan, gangguan kesadaran dan
gejala lainnya seperti yang terdapat pada tabel 1 dan tabel 2 (Mehndiratta dkk,
2012 dan Merwick dkk, 2014).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 1. Gejala Klinis Posterior Circulation Ischaemic

Dikutip dari : Merwick A., Werring D. 2014. Posterior Circulation
Ischaemic Stroke. BMJ;38:3175.
Tabel 2. Gambaran Klinis Posterior Circulation Ischaemic Sesuai Lokasi
Anatomi dan Vaskularisasi

Universitas Sumatera Utara

Dikutip dari : Merwick A., Werring D. 2014. Posterior Circulation
Ischaemic Stroke. BMJ;38:3175.
II.4. OUTCOME STROKE
Memberikan prediksi outcome pada masing – masing individu berbeda
cukup sulit. Hal ini diakibatkan prognostik seseorang berhubungan dengan
tanda dan gejala klinis, waktu dan terapi yang diberikan serta saat
dilakukannya penilaian outcome. Salah satu tugas penting seorang dokter
adalah dapat memberikan prognosis yang akurat baik angka harapan hidup
penderita maupun kualitas hidup penderita (Stone dkk, 2000).
Sejak Rankin memperkenalkan penelitiannya tentang prediksi outcome
stroke, maka hal itu mempermudah seorang dokter dalam memberikan
penilaian outcome. Pada penelitian Rankin ditemukan bahwa pada 3 minggu
pertama terdapat pemulihan yang cepat atau sebaliknya merupakan periode
dimana kematian paling sering terjadi. Pemulihan yang signifikan terjadi
setelah 3 bulan pertama meskipun hal ini tidak signifikan secara statistik
namun signifikan secara klinis (Stone dkk, 2000).
Tabel 3. Outcome Stroke Berdasarkan SubtipeStroke

Dikutip dari : Stone SP., Alider SJ., Gladman JR. 2000. Predicting
Outcome in Acute Stroke. British Medical Bulletin;56(2):486-494.

Universitas Sumatera Utara

Pada penelitian Oxford dan Copanhagen ditemukan bahwa dalam 6
bulan pertama sekitar 20% penderita stroke mengalami kematian, 50%
penderita dapat mandiri dan 30 % tergantung pada orang lain. Oxford
Community Stroke Projects melaporkan outcome stroke iskemik pada 6 bulan
pertama berdasarkan klassifikasi neuro-anatomi LACI, TACI, PACI dan POCI
serta penelitian Copanhagen yang mengklassifikasikan stroke menjadi mild,
moderate, severe dan very severe menemukan bahwa 80 % pasien stroke
mengalami perbaikan berturut turut pada minggu ke 3, 7, 12 dan 13 (Stone
dkk, 2000).
Pada beberapa penelitian terdapat hasil yang berbeda dalam menilai
outcome antara anterior circulation stroke dan posterior circulation stroke.
Pada penelitian Boone dkk, ditemukan bahwa PCI memiliki outcome yang
lebih buruk dibandingkan ACI. Dimana pada penelitiannya ditemukan bahwa
pada pasien dengan PCI mempunyai skor NIHSS yang lebih tinggi serta
disertai dengan komplikasi neurologis dan medis lainnya (Boone dkk, 2012).
Pada penelitian Vallapil dkk, Marchis dkk, serta Osmani dkk, ditemukan
bahwa ACS memiliki outcome yang lebih buruk dibandingkan PCS. Pada
penelitian Vallapil dkk ditemukan bahwa outcome setelah 3 bulan, dengan
nilai mRS 0-2, pada ACS 66% sedangkan pada PCS 70%. Pada penelitian
Marchis dkk, ditemukan bahwa nilai median NIHSS ACS lebih tinggi yaitu 8
sedangkan pada PCS adalah 4. Pada penelitian Osmani dkk, 2010 ditemukan
bahwa jumlah kematian ACS pada bulan pertama, ke 3 dan ke 6 meningkat

Universitas Sumatera Utara

secara signifikan dibandingkan dengan PCS (Vallapil ddk, 2013, Marchis dkk,
2011 dan Osmani dkk, 2010).
Modified Rankin Scale (mRS) merupakan suatu alat pengukuran
keterbatasan fungsional pasca stroke. Alat ukur ini lebih global bila
dibandingkan dengan Barthel Index (BI) dan mempunyai reliabilitas dan
validitas yang cukup baik. Penilaiannya meliputi aspek kehidupan pribadi
sehari – hari yaitu eating, toilet, daily higiene, walking, prepare meal,
household expenses, local travel, local shopping dan kehidupan sosial yaitu
bekerja, tanggung jawab keluarga, aktivitas sosial dan hiburan (Soertidewi,
2011).
Modified Rankin Scale memiliki realibilitas yang kuat dalam melakukan
penilaian outcome. Berbagai penelitian menemukan bahwa validitas mRS
berhubungan dengan berbagai indikator fisiologis seperti tipe stroke, lokasi
lesi dan gangguan neurologi. Analisa saat ini ditemukan bahwa untuk
penelitian terapi stroke akut yang dihubungkan dengan penilaian mRS
membutuhkan jumlah sampel yang lebih kecil dibandingkan apabila
menggunakan penilaian Barthel Index (BI) (Banks dkk, 2007).
Modified Rankin Scale mempunyai rentang total nilai mulai dari nilai 0
(tidak ada gangguan) sampai dengan 5 (hanya terbaring di tempat tidur
dengan perawatan menetap) dan 6 (meninggal/fatal). Nilai mRS 1-2
dikategorikan outcome baik, 3-6 dikategorikan outcome buruk (Osmani dkk,
2010).

Universitas Sumatera Utara

Barthel Index diperkenalkan oleh Mahoney dan Barthel tahun 1965
untuk memeriksa status fungsional dan kemampuan pergerakan otot /
ekstremitas pada pasien penyakit kronik di rumah sakit Maryland. Indeks ini
direkomendasikan sebagai salah satu instrumen yang sering dipakai untuk
menilai

keterbatasan

kegiatan

keseharian

kehidupan.

Keunggulan

BI

mempunyai reliabilitas dan validitas yang tinggi, mudah dan cukup sensitif
untuk mengukur perubahan fungsi serta keberhasilan rehabilitasi. Terdapat 2
versi yaitu Wade dan Collin (1988) dan Granger (1982). Versi Wade dan Collin
memuat 10 penilaian dengan rentang nilai 0 – 100. Sedangkan versi Granger
terdapat 15 penilaian dengan rentang nilai 0 – 100 juga. Namun yang
terbanyak dipakai karena cukup sederhana adalah versi Wade dan Collin
(Soertidewi, 2011).
Pada penelitian Lees dkk, tentang peranan neuroproteksi terhadap
outcome stroke digunakan BI sebagai indeks penilaian outcome. Dan outcome
dikategorikan atas outcome baik (BI 95–100), sedang (60–90), dan buruk (0 –