Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Metanol, Etil Asetat dan n-Heksan Daun Ketapang (Terminalia catappa L)

6

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. TUMBUHAN KETAPANG (Terminalia catappa L)
2.1.1. Klasifikasi Tumbuhan Jamblang
Berdasarkan taksonomi, klasifikasi daun ketapang, hasil identifikasi
tumbuhan ketapang dilaboratorium Herbarium Medanense (MEDA) Universitas
Sumatera Utara adalah sebagai berikut :
Kingdom

: Plantae

Divisi

: Spermatophyta

Class

: Dicotyledoneae


Ordo

: Myrtales

Family

: Combretaceae

Genus

: Terminalia

Spesies

: Terminalia catappa L.

Nama Lokal

: Ketapang


(a)

(Herbarium Medanense, 2016)

(b)

Gambar 2.1 (a) Pohon Ketapang (b) Daun Ketapang

Universitas Sumatera Utara

7

2.1.2. Morfologi Tumbuhan Ketapang
Tumbuhan ketapang (Terminalia catappa L ) merupakan tanaman asli dari
Asia Tenggara yang sangat banyak tumbuh di Indonesia. Pohon Ketapang dapat
tumbuh pada dataran rendah maupun dataran tinggi, di hutan primer maupun
sekunder, di sepanjang sungai ataupun di daerah tepi pantai, dengan ketinggian
mencapai 25 m dan diameter batang sampai 1,5 m yang tumbuh subur di daerah
tropis dan subtropis.

Lemmens dan Soetjipto (1999), mendiskripsikan Tanaman Ketapang (T cattapa
L. ) yaitu batangnya memiliki cabang panjang dan mendatar. Daunnya berbentuk
bundar telur atau menjorong. Bunga dengan ukuran kecil, berwarna putih dan
tidak bermahkota. Buah berbentuk bulat telur, waktu muda berwarna hijau dan
setelah matang berwarna merah.

2.1.3.Manfaat Tumbuhan Ketapang
Pohon ketapang tidak hanya digunakan sebagai pohon peneduh
memiliki banyak
ketapang

sering

manfaat

lain

melainkan

terutama pada bagian daunnya. Tanaman


digunakan untuk ramuan tradisional. Diantaranya dapat

dipergunakan untuk mengobati diare, gangguan usus , hipertensi, rematik sendi ,
disentri,
khususnya

lepra, kudis dan penyakit kulit lainnya. Bagian tumbuhan ketapang
daun

selain

untuk obat kulit, dapat dimanfaatkan

juga

untuk

menurunkan pH air tawar dan menyerap zat - zat kimia yang terdapat pada air
tawar tersebut.

Menurut Pauly, (2011) daun Ketapang memiliki berbagai manfaat

untuk

kesehatan sebagai obat luar yaitu untuk mengobati sakit pinggang, bisul, gatal-gatal
dan mempercepat pengeringan luka. Sedangkan obat dalam, daun ketapang berguna
untuk mengobati diare menurunkan tekanan darah tinggi, insomnia dan selain itu
ekstrak daun ketapang digunakan dalam bidang kosmetik karena memiliki
aktivitas anti UV dan anti aging (penuaan dini) . Daun

Ketapang

memiliki

kandungan antimikroba lebih banyak dibandingkan kulit batang dan buah. Daun
ketapang memiliki kandungan flavonoid, tannin, saponin dan triterpenoid. Sedangkan

Universitas Sumatera Utara

8


kulit batang hanya mengandung flavonoid dan saponin, pada buah hanya tanin
dan steroid ( Ugwu, et al 2015)
Daun ketapang dapat digunakan sebagai antijamur dan antibakteri karena
senyawa-senyawa kimia yang terkandung dalam daun ketapang tersebut merupakan
senyawa

yang dapat menghambat pertumbuhan maupun mematikan bakteri

pathogen.

2.2. Metabolit Sekunder
Metabolit sekunder merupakan sekelompok senyawa kimia yang dijumpai
diseluruh tanaman dan memiliki cirri khas untuk setiap tanaman tertentu (Manito,
1981).

Senyawa

metabolit


sekunder umumnya

mempunyai

kemampuan

bioaktifitas dan berfungsi sebagai pelindung tumbuhan tersebut dari gangguan
hama penyakit untuk tumbuhan itu sendiri dan lingkungannya. Secara umum
metabolit sekunder dalam bahan hayati dikelompokkan berdasarkan sifat dan
reaksi khas suatu metabolit sekunder dengan pereaksi tertentu. Metabolit sekunder
dapat dikelompokkan sebagai alkaloida, terpenoida, flavonoida, tanin, saponin dan
glikosida (Harbone, 1987) Senyawa-senyawa inilah yang digunakan oleh manusia
sebagai obat. Metabolisme tersebut tidak digunakan bagi pertumbuhan tanaman, akan
tetapi salah satu fungsinya yaitu sebagai pertahanan terhadap mikroorganisme
patogen dan juga terhadap herbivora maupun omnivora (Heldt, 1997).
Sifat-sifat utama senyawa sekunder pada tumbuhan adalah merupakan hasil
proses yang kompleks dan diatur dalam jaringan tertentu pada tingkatan
perkembangan tertentu.
1. Produknya dapat berbeda antar spesies, bahkan diantara organ yang
berbeda

2. Sangat spesifik
3. Tidak selalu merupakan produk akhir yang lembam, tetapi sering dapat
digunakan pada proses metabolismenya (Gunawan, 1991).

Universitas Sumatera Utara

9

2.2.1 Alkaloid
Alkaloida adalah suatu golongan senyawa organik yang terbanyak ditemukan
dialam. Hampir seluruh senyawa alkaloida berasal dari tumbuh-tumbuhan dan
tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuhan. Senyawa alkaloida mengandung paling
sedikit satu atom nitrogen yang biasanya bersifat basa dan dalam sebagian besar
atom nitrogen ini merupakan bagian dari cincin heterosiklik. Kebanyakan alkaloid
yang telah diisolasi berupa padatan Kristal dengan titik lebur yang tertentu atau
mempunyai kisaran dekomposisi. Sedikit alkaloid yang berbentuk amorf dan
beberapa seperti nikotin dan koniin berupa cairan. Kebanyakan alkaloid berwarna
tetapi

beberapa


senyawa

yang

kompleks,

spesies

aromatik

berwarna

( Sastrohamidjojo, 1996).

2.2.2 Flavonoid
Senyawa flavonoid sebenarnya terdapat pada semua bagian tumbuhan
termasuk daun, akar, kayu, kulit, tepung sari, bunga, buah, dan biji. Kebanyakan
flavonoid ini berada didalam tumbuh-tumbuhan, kecuali alga. Namun ada juga
flavonoid yang terdapat pada hewan, misalnya dalam kelenjar bau berang-berang dan

sekresi lebah. Dalam sayap kupu-kupu dengan anggapan bahwa flavonoid berasal
dari tumbuh-tumbuhan yang menjadi makanan hewan tersebut dan tidak dibiosintesis
didalam tubuh mereka. Penyebaran jenis flavonoid pada golongan tumbuhan yang
tersebar yaitu angiospermae, klorofita, fungi, briofita (Markham,1988).
Senyawa-senyawa flavonoid adalah senyawa-senyawa polifenol yang
mempunyai 15 atom karbon, terdiridari dua cincin benzene yang dihubungkan
menjadi satu oleh rantai linier yang terdiri dari tiga atom karbon. Senyawa-senyawa
flavonoid adalah senyawa 1,3 diaril propane, senyawa isoflavonoid adalah senyawa
1,2 diaril propane, sedangkan senyawa-senyawa neoflavonoid adalah 1,1 diaril
propane.
Flavonoida dapat bersifat sebagai antioksidan dengan cara menangkap radikal
bebas, sehingga sangat penting dalam mempertahankan keseimbangan antara oksidan
dengan antioksidan didalam tubuh.

Universitas Sumatera Utara

10

2.2.3 Tanin
Tanin merupakan senyawa kompleks biasanya campuran polifenol tidak

mengkristal (tannin extracts). Tanin membentuk warna kehitaman dengan beberapa
ion logam misalnya ion besi, kalsium, tembaga dan magnesium. Senyawa tanin tidak
larut dalam pelarut non polar seperti eter, kloroform dan benzene tetapi mudah larut
dalam air, dioksan aseton dan alkohol serta sedikit larut dalam etil asetat.
Secara struktural tanin adalah suatu senyawa fenol yang memiliki berat
molekul besar yang terdiri dari gugus hidroksi dan beberapa gugus yang
bersangkutan seperti karboksil untuk membentuk kompleks kuat yang efektif dengan
protein dan beberapa makromolekul (Horvart, 1981). Tanin ditemukan hampir di
setiap bagian dari tanaman; kulit kayu, daun, buah, dan akar (Hagerman et.al., 1998).
Tanin dibentuk dengan kondensasi turunan flavon yang ditransportasikan ke
jaringan kayu dari tanaman, tanin juga dibentuk dengan polimerisasi unit kuinon
(Anonymous, 2005).
Secara kimia terdapat dua jenis utama tanin yang tersebar tidak merata dalam
dunia tumbuhan. Tanin terkondensasi hapir terdapaat didalam paku-pakuan dan
gimnospermae, serta tersebar luas dalam angiospermae, terutama pada jenis
tumbuhan berkayu. Sebaliknya, tanin yang terhidrolisiskan penyebarannya terbatas
pada tumbuhan berkeping dua (Harborne, 1987).
Secara kimia terdapat 2 jenis utama tanin yaitu :
1. Tanin terhidrolisis
Tanin ini biasanya berikatan dengan karbohidrat dengan membentuk jembatan
oksigen, maka dari itu tanin ini dapat dihidrolisis dengan menggunakan asam 11
sulfat atau asam klorida (Hagerman, 2002). Tanin terhidrolisis adalah turunan dari
asam galat. Asam galat merupakan hasil sekunder yang terbentuk pada hidrolisis
beberapa tanin yang seseungguhnya merupakan ester asam heksa oksidi fenat.
Tanin ini larut pula dalam pelarut organic yang polar, tetapi tidak larut dalam pelarut
organic yang polar. (Tanner et.al., 1999).

Universitas Sumatera Utara

11

2. Tanin Terkondensasi
Tanin terkondensasi secara biosintesis dapat dianggap terbentuk dengan cara
kondensasi katekin tunggal (galokatekin) yang membentuk senyawa dimer dan
kemudian oligomer yang lebih tinggi. Tanin jenis ini biasanya tidak dapat
dihidrolisis. Tanin jenis ini kebanyakan terdiri dari polimer flavonoid yang
merupakan

senyawa fenol.

Nama

lain dari tanin ini adalah proantosianidin.

Proantosianidin adalah polimer dari flavonoid (Tanner et.al., 1999). Senyawa
jika

dikondensasi

maka

ini

akan menghasilkan flavonoid jenis flavan dengan

bantuan nukleofil berupa floroglusinol (Hagerman, 2002). Tanin

terkondensasi

banyak terdapat dalam paku-pakuan, gymnospermae, dan tersebar luas dalam
angiospermae, terutama

pada jenis tumbuhan berkayu (Robinson, 1991 dalam

Sa’adah 2010).
2.2.4 Terpenoid
Kata terpenoid mencakup sejumlah besar senyawa tumbuhan, dan istilah ini
digunakan untuk menunjukkan bahwa secara biosintesis semua senyawa tumbuhan
itu berasal dari senyawa yang sama. Kebanyakan senyawa terpenoida terdapat bebas
dalam jaringan tanaman, tidak terikat dengan senyawa-senyawa yang lain, tetapi
banyak diantara mereka yang terdapat glikosida, ester dari asam organik dan dalam
beberapa hal terikat dengan protein (Sastrohamidjo, 1996) Terpenoida terdiri atas
beberapa

macam

senyawa

mulai

monoterprnoida dan siskuiterpenoida

dari komponen
yang

mudah

minyak atsiri, yaitu

menguap

(C10 dan C15)

diterpenoida yang lebih sukar menguap (C20), sampai senyawa yang tidak menguap
yaitu triterpenoida dan sterol (C30) serta pigmen kaotenoida (C40) (Harbone, 1987)

2.2.5 Saponin
Saponin berasal dari kata sapo yang berarti sabun, karena sifatnya menyerupai
sabun. Saponin adalah glikosida triterpenoid. Saponin merupakan senyawa yang
berasa pahit, berbusa dalam air serta larut dalam air dan alkohol tetapi tidak larut

Universitas Sumatera Utara

12

dalam eter. Saponin paling cocok diekstraksi dengan menggunakan metanol dan
etanol (Robinson, 1995).
Saponin dapat digunakan sebagai racun dan antimikroba (jamur, bakteri, dan
virus). Saponi terdiri dari 2, yaitu saponin steroid dan saponin triterpenoid. Saponin
memberikan hasil yang lebih baik sebagai antibakteri jika mengunakan pelarut polar
seperti etanol 70%. Pada konsentrasi rendah saponin menyebabkan hemolisis sel
darah merah sehingga berfungsi sebagai antibakteri (Harborne, 1987).

2.3. Ekstraksi
Ekstraksi merupakan kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan menggunakan pelarut
cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke
dalam golongan minyak atsiri,

alkaloida, flavonoida dan lain-lain. Dengan

diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan
pelarut dengan cara yang tepat (Depkes RI, 2000)
Berdasarkan

prinsipnya proses ekstraksi dapat berlangsung bila terdapat

kesamaan dalam sifat kepolaran antara senyawa yang diekstraksi dengan senyawa
pelarut. Suatu zat memiliki kemampuan terlarut yang berbeda dalam pelarut yang
berbeda. Hal ini menunjukkan adanya interaksi antara zat pelarut. Senyawa polar
akan larut dalam pelarut polar. Begitu juga sebaliknya. Sifat penting yang harus
diperhatikan

dalam

pemilihan

pelarut adalah selektivitas, kemampuan untuk

mengekstrak, toksisitas kemudahan untuk diuapkan dan harga (Harbone, 1987)
Suatu metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat digunakan
dengan cara Maserasi. Maserat merupakan hasil penarikan simplisia dengan cara
maserasi sedangkan maserasi adalah cara penarikan simplisia dengan merendam
simplisia tersebut dalam cairan penyari dengan beberapa kali pengocokan atau
pengadukan pada temperatur kamar, sedangkan remaserasi merupakan pengulangan
penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan dan seterusnya (Depkes RI.
2000)

Universitas Sumatera Utara

13

2.4. Partisi
Metode pemisahan yang mungkin paling sederhana adalah partisi, yang banyak
digunakan sebagai tahap awal pemurnian esktrak. Partisi menggunakan dua pelarut
tak bercampur yang ditambahkan kedalam ekstrak tersebut , hal ini dapat dilakukan
secara terus menerus dengan menggunakan dua pelarut yang tak bercampur yang
kepolarannya meningkat. Partisi biasanya dilakukan melalui 2 tahap yaitu :
1.

Air/ petroleum eter ringan (heksana) untuk menghasilkan fraksi non polar
lapisan organik

2. Air/ diklorometan atau air/kloroform atau air/etil asetat untuk membuat fraksi
agak polar dilapisan organik. Ini merupakan metode pemisahan yang mudah dan
mengandalkan kelarutan bahan alam dan bukan interaksi fisik dengan medium
lain (Heinrich et al, 2010)

2.5. Bakteri
Bakteri merupakan organisme yang sangat kecil (berukuran mikroskopis). Bakteri
rata-rata berukuran o,5-1 µm dan panhang hingga 10 µm (1 mikron = 103 mm). Itu
berarti pula bahwa jasad renik ini tipis sekali sehingga tembus cahaya. Akibatnya
pada mikroskop tidak tampak jelas dan sukar untuk melihat bagian-bagiannya. Untuk
melihat bakteri dengan jelas, tubuhnya perlu diisi dengan zat warna, pewarnaan ini
disebut pengecatan warna (Irianto, 2006)
Walaupun terdapat berbagai jenis bakteri, tetapi hanya beberapa karakteristik bentuk
sel yang ditemukan yaitu :
1. Bentuk bulat atau cocci (tunggal = coccus)
2. Bentuk batang atau bacilli (tunggal = bacillus )
3. Bentuk spiral atau spirilli (tunggal = spirillum)
4. Bentuk koma atau vibrous (tunggal = vibrio)
Sel-sel ini dapat dijumpai dalam keadaan tunggal, berpasangan, kelompok kecil,
gerombolan atau rantai (Buckle, et al.2009)
Berdasarkan komposisi dinding sel dan sifat pewarnaannya, bakteri dibedakan
menjadi 2 jenis yaitu :

Universitas Sumatera Utara

14

1. Bakteri Gram positif
Bakteri gram positif pada dinding selnya mendandung polisakarida yang disebut
asam teikhoat yang berperan pada proses transportasi ion-ion dari dalam maupun ke
luar sel (Dzen dkk., 2013). Bakteri gram positif lebih sensitif terhadap penisilin,
tetapi lebih tahan terhadap perlakuan fisik dibandingkan bakteri gram negatif. Bakteri
gram positif sering berubah sifat pewarnaanya sehingga menunjukkan reaksi gram
variabel. Sebagai contoh, kultur bakteri gram positif

yang

sudah tua dapat

kehilangan kemampuannya untuk menyerap pewarna violet kristal sehingga dapat
berwarna merah seperti bakteri gram negatif. Perubahan tersebut dapat juga
disebabkan oleh perubahan kondisi lingkungan atau modifikasi teknik pewarnaan
(Fardiaz, 1992) Bakteri gram positif mempunyai struktur dinding sel yang tebal (1580 µm) dikarenakan sel bakteri gram positif tersusun atas beberapa lapisan
peptidoglikan, dan strukturnya tebal dan keras. Dinding selnya juga tersusun atas
teichonic acid yang mengandung alkohol (seperti gliserol) dan posfat (Tortora, 2001)
2.

Bakteri Gram Negatif

Bakteri gram negatif memiliki dinding sel yang tersusun atas satu lapisan
peptidoglikan dan membran luar. Bakteri gram negatif mempunyai struktur dinding
sel yang tipis (10-15µm) Kandungan peptidoglikan pada dinding selnya lebih sedikit
sehingga bakteri gram negatif peka terhadap pengaruh mekanik. Dinding sel bakteri
gram negatif juga mengandung lipopolisakarida, fosfolipid, lipoprotein yang
berperan

dalam

proses

masuknya

bahan-bahan

luar sel ke dalam sel serta

menentukan sifat pewarnaan cara gram. Selain itu, lipolisakarida tersebut juga akan
menghalangi terjadinya proses fagositosis dan juga bersifat toksik. Bahan toksik
dari dinding sel bakteri gram negatif disebut endotoksin yang akan dilepas bila
bakteri tersebut selnya rusak atau bakteri tersebut mati (Dzen dkk., 2003)
2.5.1. Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus (S. aureus) adalah bakteri gram positif yang
menghasilkan pigmen kuning, bersifat aerob fakultatif, tidak menghasilkan spora dan
tidak motil, umumnya tumbuh berpasangan maupun berkelompok, dengan diameter
sekitar 0,8-1,0 µm. S. aureus tumbuh dengan optimum pada suhu 370C dengan

Universitas Sumatera Utara

15

waktu pembelahan 0,47 jam. S. aureus merupakan mikroflora normal manusia.
Bakteri ini biasanya terdapat pada saluran pernapasan atas dan kulit. Keberadaan S.
aureus pada saluran pernapasan atas dan kulit pada individu jarang menyebabkan
penyakit, individu sehat biasanya hanya berperan sebagai karier. Infeksi serius akan
terjadi ketika resistensi inang melemah karena adanya perubahan hormon; adanya
penyakit, luka, atau perlakuan menggunakan steroid atau obat lain yang memengaruhi
imunitas sehingga terjadi pelemahan inang.
Infeksi S.aureus diasosiasikan dengan beberapa kondisi patologi, diantaranya
bisul, jerawat, pneumonia, meningitis, dan arthritits. Sebagian besar penyakit yang
disebabkan oleh bakteri ini memproduksi nanah, oleh karena itu bakteri ini disebut
piogenik. S. aureus juga menghasilkan katalase, yaitu enzim yang mengkonversi
H2O2 menjadi H2O dan O2, dan koagulase, enzim yang

menyebabkan fibrin

berkoagulasi dan menggumpan. Koagulasi diasosiasikan dengan patogenitas karena
penggumpalan fibrin yang disebabkan oleh enzim ini terakumulasi di sekitar bakteri
sehingga agen pelindung inang kesulitan mencapai bakteri dan fagositosis terhambat.

Gambar 2.2 Bakteri Staphylococcus aureus (Nasution M, 2014)

2.5.2. Salmonella typhi
Salmonella typhi (S. Typi) merupakan bakteri gram negatif, bersifat motil
(bergerak),

bakteri anaerob fakultatif.

Berbentuk batang pendek berderetseperti

rantai. S typhi tidak dapat menfermentasi glukosa dan lactose , tidak menghasilkan
asam dan gas dari glukosa. S typhi dapat tumbuh baik pada media dimana akan

Universitas Sumatera Utara

16

membentuk koloni yang tidak berwarna. Bakteri ini tumbuh secara optimal pada
suhu sekitar 35-370C. S typhi biasanya ditemukan pada

jaringan

limfa saluran

pencernaan kemudian masuk ke dalam nodus limfa dan aliran darah. S typhi dapat
menyebabkan penyakit demam tifoid (Dwidjoseputro, 1987)

Gambar 2.3. Bakteri Salmonella typhi (Pelczar, dkk, 2005)

2.5.3. Streptococcus mutan
Golongan Streptococcus mempunyai beberapa strain, tetapi yang dominan
dan banyak ditemukan dalam rongga mulut manusia adalah jenis Streptococcus
mutan (S. mutan). Mikroorganisme fakultatif ini dapat memetabolisme karbohidrat
dan dianggap sebagai agen etiologi terjadinya karies. Sifat karsiogenik bakteri ini
terkait dengan berbagai faktor termasuk produksi konsentrasi tinggi asam dalam
pembentukan plak dan glukosil transferase (GTF). S mutan merupakan bakteri
gram positif, bersifat nonmotil (tidak bergerak). Memiliki bentuk kokus berbentuk
bulat atau bulat telur dan tersusun dalam rantai. Bakteri ini tumbuh secara optimal
pada suhu sekitar 18 ˚ - 40˚C. S mutan termasuk alfa hemolitik.
Berdasarkan penelitian longitudinal terbukti bahwa S mutan stabil dalam
jumlah besar yang diasosiasikan dengan pengembangan lesi karies pada email. S
mutan merupakan bakteri yang berkembang dalam plak. S mutan memiliki suatu
enzim yang disebut glukosil transferase (GTF) yang dapat menyebabkan polimerisasi
glukosa pada sukrosa dengan pelepasan dari fruktosa, sehingga dapat mensintesa
molekul glukosa yang membantu mengikat organisme enamel dengan satu sama lain.

Universitas Sumatera Utara

17

Keadaan ini mendukung pertumbuhan bakteri asidurik yang lain dan melarutkan
enamel dan berperan penting pada pembentukan karies.

Gambar 2.4. Bakteri Streptococcus mutan (Jaweetz, dkk, 2001)

2.6. Uji Akivitas Antibakteri
Antibakteri adalah zat yang dapat mengganggu pertumbuhan atau bahkan
mematikan bakteri dengan cara mengganggu metabolisme bakteri. Antibakteri hanya
dapat digunakan jika mempunyai sifat toksik selektif, artinya dapat membunuh
bakteri yang menyebabkan penyakit tetapi tidak beracun bagi penderitanya.
Faktor - faktor yang berpengaruh pada aktivitas zat antibakteri adalah pH, Suhu
stabilitas

senyawa,

jumlah

bakteri yang ada, lamanya inkubasi dan aktivitas

metabolisme bakteri (Bakhriansyah, 2008)
Aktivitas (potensi)

antibakteri dapat ditunjukkan pada kondisi yang

sesuai dengan efek daya hambatnya terhadap bakteri. Ada dua metode umum
yang dapat digunakan yaitu Metode difusi dan Metode dilusi (Bakhriansyah,
2008) Metode difusi untuk menentukan aktifitas agen antimikroba. Piringan yang
berisi agen antimikroba diletakkan

pada

media

agar

yang

telah

ditanami

mikroorganisme

yang akan berdifusi pada media agar tersebut. Area jernih

mengindikasikan

adanya

hambatan

pertumbuhan mikroorganisme oleh agen

antimikroba pada permukaan media agar (Bakhriansyah, 2008).
Metode dilusi terdiri menjadi dua tahap. Tahap awal disebut metode
dilusi cair / broth dilution test. Metode ini mengukur MIC (minimum inhibitory

Universitas Sumatera Utara

18

concentration

atau

kadar hambat minimum,

KHM)

dan

MBC

(minimum

bactericidal concentration atau kadar bunuh minimum, KBM). Cara yang
dilakukan adalah dengan membuat seri pengenceran agen anti mikroba pada
medium

cair

yang

ditambahkan

dengan mikroba uji. Larutan uji agen

antimikroba pada kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan
mikroba uji ditetapkan sebagai KHM. Larutan yang ditetapkan sebagai KHM
tersebut selanjutnya dikultur ulang pada media cair tanpa penambahan mikroba
uji ataupun agen antimikroba dan diinkubasi selama 18-24 jam. Media cair
yang tetap terlihat jernih setelah inkubasi ditetapkan sebagai KBM. Tahap
selanjutnya disebut metode dilusi padat / solid dilution test. Metode ini serupa
dengan metode dilusi cair namun menggunakan media padat (solid). Keuntungan
metode ini adalah satu konsentrasi agen mikroba yang diuji dapat digunakan
untuk menguji beberapa mikroba uji (Bakhriansyah, 2008)
Antibakteri adalah zat yang dapat mengganggu pertumbuhan atau bahkan
mematikan bakteri dengan cara mengganggu metabolisme mikroba yang merugikan
atau menghambat aktivitas mikroorganisme. Antibakteri hanya dapat digunakan jika
mempunyai sifat toksik selektif, artinya dapat membunuh bakteri yang menyebabkan
penyakit tetapi tidak beracun bagi penderitanya. Mekanisme kerja dari senyawa
antibakteri diantaranya yaitu:
1. Merusak dinding sel
2. Mengganggu permeabilitas sel
3. Menghambat aktivitas enzim
4. Menghambat sintesa asam nukleat dan protein
Berdasarkan aktivitasnya zat antibakteri dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu
bakteriostatik (zat antibakteri yang memiliki aktivitas menghambat pertumbuhan
bakteri, namun tidak mematikannya) dan bakterisida (zat antibakteri yang
aktivitasnya membunuh bakteri) (Fardiaz , 2011).

Universitas Sumatera Utara