T2 752011044 BAB III

BAB III
LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA

3.1. Pendahuluan
Istilah Liturgi Gereja Kristen Jawa (GKJ) di dalam Bab I telah
dijelaskan sebagai tatanan dalam ibadah yang dimiliki oleh GKJ dengan
berbagai unsur pokok beserta dengan susunan dan pengertiannya sebagai
suatu rumusan yang berlaku. Adapun GKJ itu sendiri adalah merupakan
kehidupan bersama religius yang berpusat pada penyelamatan Allah di
dalam Yesus Kristus Tuhan yang ada di suatu tempat tertentu, yang
dipimpin oleh majelis gereja, dan yang telah mampu mengatur diri sendiri,
mengembangkan diri sendiri, serta membiayai diri sendiri berdasarkan
Alkitab, Pokok-Pokok Ajaran dan Tata Gereja serta Tata Laksana yang
disusunnya.
Sehubungan dengan tujuan kajian pada tulisan ini, ada berbagai sisi
yang dapat dicermati dari rumusan tata peribadahan GKJ. Selain mengungkapkan isi maupun susunan yang terdapat di dalamnya, awal mula
keberadaan liturgi GKJ dengan berbagai latar belakang dan tindakantindakan pengembangan di waktu kemudian di tengah tantangan dan
pergumulan kebutuhan jaman, juga merupakan sisi penting lain yang perlu
dikemukakan. Karena itu dalam bagian kajian data ini akan disampaikan
berturut-turut tentang gambaran liturgi umat Kristen Jawa sebelum GKJ,
97


kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ, beserta
tantangan dan pegumulan di dalam pengembangannya.

3.2. Liturgi Umat Kristen Jawa Pra-GKJ
Yang dimaksudkan dengan Umat Kristen Jawa Pra-GKJ di sini adalah
umat Kristen yang sebelum menjadi GKJ sebagai buah asuhan GKN
(Gerefor-meerde Kerken in Nederland) pernah menjadi umat Kristen di
bawah asuhan penginjil bernama Sadrach. Dalam tulisan Sigit Heru
Soekotjo, sang penginjil itu memberi nama jemaat asuhannya dengan
sebutan Gôlôngane Wông Kristên Kang Mārdikâ (Ind. Golongannya Orang
Kristen Yang Merdeka).142
Alasan penting untuk mengungkap gambaran liturgi umat Kristen
Jawa pada masa waktu sebelum keberadaan GKJ di bagian ini adalah karena
meskipun intinya mengarah pada tujuan keselamatan atas iman yang sama
di dalam Yesus Kristus Tuhan, tetapi bentuk pengungkapannya berbeda
dengan liturgi GKJ yang dikenal pada masa kini. Dalam tulisan sejarah yang
disusun oleh Soekotjo tadi, sewaktu kumpulan umat Kristen Jawa di daerah
Jawa Tengah (bahkan ada juga yang di wilayah Yogyakarta) dikelola oleh
pendiri yang sekaligus seorang penginjil pribumi yang bernama Sadrach,

ibadah mereka menampakkan adanya nuansa sentuhan kebudayaan Jawa
yang cukup kuat. Bukan hanya penggunaan bahasa Jawa, pakaian adat,

142

S. H. Soekotjo, Sejarah Gereja-Gereja Kristen Jawa Jilid 1: Di Bawah BayangBayang Zending 1858-1948 (Salatiga, Yogyakarta: LSP GKJ, TPK, 2009), 179, 184, 204205.

98

ataupun bangunan peribadahan berbentuk joglo dengan puncak atap terpasang senjata anak panah dan senjata cakra yang lekat dengan lambang
filosofi kepercayaan hidup orang Jawa, tetapi ada sisi perilaku maupun sisi
seni Jawanya pula.
Gambaran yang demikian itu jelas di dalam keterangan lanjut dari
Soekotjo yang digali dari versi Pendeta Heyting dan Pendeta Adriaanse.
Menurut versi pertama, pada waktu ibadah umat duduk lesehan beralas
klâsâ (tikar pandan) maupun blékêtepe (anyaman daun kelapa). Kaum
wanita mengenakan kerudung dan duduknya terpisah dengan kaum lakilaki. Saat pelayan ibadah datang menempatkan diri, para laki-laki berdiri.
Selanjutnya umat mengucapkan Doa Bapa Kami yang diteruskan dengan
doa syukur oleh imam. Setelah itu dilantunkan kidûng pujian bersama, dan
setelah itu dibacakan Alkitab serta dilayankan khotbah atau disaksian.

Akhirnya, ibadah ditutup dengan kidûng pula. Adapun versi kedua yang
ditulis 15 tahun kemudian, dinyatakan bahwa sebelum ibadah dimulai umat
duduk-duduk sambil menikmati hidangan minum di pêndâpâ. Selanjutnya
ketika ibadah akan dimulai mereka berdiri di depan pintu sambil mengucapkan doa pendek secara pelan, dan berjalan ke arah mimbar yang disusul
persembahan serta doa syukur. Setelah itu mereka kemudian mengambil
tempat duduk. Berikutnya umat melakukan doa pribadi atau pelayanan Doa
Bapa Kami yang dibacakan oleh imam, diteruskan nyanyian jemaat dan
pembacaan Sepuluh Hukum Tuhan atau ringkasannya, pengucapan

99

Pengakuan Iman Rasuli, pembacaan Alkitab dan khotbah, doa syukur, dan
penyampaian berkat.143
Formasi duduk umat pada peibadahan itu pun mirip dengan pola
padepôkan (sekolahan ala Jawa). Seperti diungkapkan oleh Soetarman
Soediman Partanadi, dalam peribadahan itu umat duduk dengan formasi
setengah lingkaran di depan pengkotbah atau sang pemimpin ibadah yang
menghadap Alkitab di atas meja kecil sebagai mimbar.144 Dari penjelasannya pula, nuansa Jawa dalam liturgi para pengikut Sadrach itu terlihat jelas
dengan adanya nyanyian yang disebut sêkar (têmbang atau kidûng) yang
dilantunkan tidak hanya sebagai pujian kepada Tuhan, tetapi juga untuk doa

maupun pengakuan iman mereka. Nyanyian-nyanyian itu dikenal dengan
istilah “Rêrêpénìng Tiyang Kristên” (Nyanyiannya Orang Kristen), yang
meliputi Sêkar Kinanthi Pêpakên Sādâsâ Prākawìs (Nyanyian Kinanthi
Sepuluh Hukum), Sêkar Sinôm Pāngakênìng Pitadôs Rasuli (Nyanyian
Sinom Pengakuan Iman Rasuli), Sêkar Pucûng Dongâ Râmâ Kawulâ
(Nyanyian Pucung Doa Bapa Kami), Sêkar Dhandhang Gulâ Pandongâ
Badhe Nampéni Piwulang (Nyanyian Dhandhang Gula Doa Hendak
Menerima Pengajaran), Sêkar Mas Kumambang Rêrêpén Pandongâ Íng
Wanci Enjang (Nyanyian Mas Kumambang Lantunan Doa Di Waktu Pagi),
Sêkar Mijìl Rêrêpén Pandongâ Badhe Nêdhâ (Nyanyian Mijil Lantunan

143

Soekotjo, Sejarah Gereja-Gereja Kristen Jawa Jilid 1, 226-229.
Soetarman Soedirman Partonadi, Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstual:
Suatu Eskpresi Kekristenan Jawa pada Abad XIX (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 151-162.
144

100


Doa Hendak Makan), Sêkar Gambûh Rêrêpén Pamuji Íng Wanci Sôntên
(Nyanyian Gambuh Lantunan Pujian Di Waktu Sore atau Petang).145
Data di atas memiliki kesesuaian dengan penuturan Petrus dan
Soegeng Soegiarto yang merupakan para generasi penerus Jotham
Martoredjo, satu-satunya pewaris Sadrach. Dalam wawancara dengan
mereka, jalannya peribadahan umat Kristen Jawa pada waktu itu, dijelaskan
sebagai berikut:
“Sewaktu warga Gereja memasuki gerbang yang ada di sebelah
Utara itu, kemudian duduk istirahat bersama beberapa saat sambil
berbincang di pendapa sini. Lalu ketika hendak masuk ke Gereja
atau dulu yang disebut masjid, semua membasuh diri bersama. ...
Ada padasan dekat gerbang sebelah dalam sana untuk berbasuh.
... Setelah itu bersama menuju pintu Gereja dengan tenang.
Sampai di depan pintu itu kemudian membungkung, berjalan
masuk dengan jongkok dan tertunduk, hingga duduk dengan
batin hening. ... Semua tidak boleh ngobrol lagi dan harus berdoa
dalam hati. ... Karena di dalam semuanya harus sudah siap menghadap Tuhan. ... Formasi yang bersama duduk tersebut berkeliling di depan dan di kiri kanan pengajar duduk. ... Ketika
pendeta atau pengajar telah duduk dan siap di depan meja
mimbar kecil untuk menempatkan Alkitab, kebaktian dimulai
dengan mengajak warga persembahan bersama. ... setelah

terkumpul, persembahan dihaturkan dengan doa. ... Disertai juga
Doa Bapa Kami. Tetapi Doa Bapa Kaminya berupa nyanyian,
seperti pengakuan Sahadat Rasuli setelah Doa Bapa Kami
tersebut. ... Membaca Alkitab dan khotbah dilakukan setelah
sahadat. ... Terkadang khotbahnya uraian, tetapi ada juga
145

Soetarman, Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstual, 159-163, 295-302.

101

nyanyian yang isinya petunjuk. ... Selesai khotbah diteruskan doa
maupun pujian dengan nyanyian. ... akhirnya, sebelum ditutup
dan dibubarkan, pendeta atau pengajar menghantarkan berkat.”146
Disayangkan bahwa liturgi peribadahan Gôlôngane Wông Kristên
Kang Mārdikâ di atas hanya untuk Ibadah Hari Minggu biasa. Untuk
pelaksanaan Sakramen Perjamuan yang menjadi pusat atau inti peribadahan
Kristen itu sendiri tidak mereka singgung. Dimungkinkan hanyalah C.
Guillot yang menyinggungnya, dan hal itu pun singkat sekali. Dinyatakannya bahwa pada tanggal 30 April 1899, untuk pertama kalinya di Gereja
Karangjoso, Sadrach menyelenggarakan ekaristi.147 Selain pernyataan itu,

tidak ada penjelasan lain secara khusus ataupun lanjutan. Artinya seperti apa
wujud sakramen tersebut tidak jelas. Unsur-unsur pokok apa saja yang
menjadi susunannya, piranti apa saja yang dipergunakan, dan bagaimana
tatacara pelaksanaan serta maknanya, semuanya itu belum dapat diketahui.
Yang pasti, secara umum liturgi peribadahan yang dilaksanakan umat
Kristen Jawa pra-GKJ itu punya perbedaan khas. Sebagaimana telah
diungkapkan, bila awalnya memiliki wujud yang kental dengan nuansa
budaya pribumi, maka ketika telah menjadi GKJ wujudnya cenderung
menonjol dalam nuansa budaya Eropa yang khas dengan gaya resmi ala
sidang pengadilan pemerintah Hindia-Belanda. Misalnya dari segi penampilan seperti pakaian, cara penyampaian ajaran, kebiasaan persiapan masuk

146

Lampiran 6.
C. Guillot, Kyai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di Jawa (Jakarta: Grafiti Pers,
1985), 166.
147

102


peribadahan, formasi tempat duduk, dan lain sebagainya. Selain penampilan
ada juga sisi dari dalam dasar pemikiran dan makna yang dapat dirumuskan
dari apa yang ada pada sisi kelihatan itu. Misalnya gagasan teologis sebagai
dasar ajaran maupun tradisi gereja yang lebih banyak dipengaruhi
pandangan luar, yaitu ajaran Calvinis dari GKN yang pada tahun 1933
menjadi Gereja mitra resmi semenjak penerus Sadrach, yaitu Jotham
Martoredjo membuat pendekatan terbuka bagi kehidupan jemaat terhadap
kenyataan suasana perkembangan dan kemajuan yang terus berlanjut hingga
sekarang sebagai GKJ.148
Tentunya bukan hanya hubungan pengaruh langsung dari sejarah
ajaran itu saja sehingga bisa dibedakan wujud liturgi peribadahan umat
Kristen Jawa di masa lalu dengan sekarang yang disebut GKJ. Ada sisi
penting lain yang ikut mewarnai perkembangan dan perbedaan liturgi GKJ
dengan masa sebelumnya, yaitu berbagai perubahan kehidupan masyarakat
Jawa dalam kesatuan Negera Republik Indonesia, seperti berikut ini.

3.3. Kelahiran Liturgi GKJ
Keberadaan liturgi GKJ tidak lepas dari status kedewasaannya yang
ditandai dengan wadah kesatuan gereja-gereja seasas dalam ikatan sinode
pada tanggal 17 Februari 1931 di Kebumen. Dilihat dari waktu kedewasaan

tersebut liturgi yang berlaku secara umum di tengah umat GKJ memang
dapat dikatakan unik. Sebab, liturgi GKJ yang masih berlaku hingga hari ini
148

Soekotjo, Sejarah Gereja-Gereja Kristen Jawa Jilid 1, 238-252.

103

adalah liturgi awal yang secara resmi ada pada tahun 1961.149 Padahal, bila
dilihat dari rumusan ajaran iman (dogma) yang dimiliki GKJ sendiri sebagai
sumber untuk merumuskan liturginya, baru ada pada tahun 1996.
Dalam artikel 65, Akta Sinode VII Gredja-Gredja Kristen Djawa, butir
1-4 dinyatakan bahwa: “Setelah mendengarkan laporan Seksi III mengenai
Laporan Deputat Liturgie yang ditambah penjelasan lisan oleh Mr. Dr. D.
C. Mulder tentang Liturgi Persekutuan Ibadah Pagi 150: (1) Menerima
Susunan Liturgi Ibadah Pagi secara utuh setelah diadakan perubahanperubahan secukupnya. (2) Pelaksanaan liturgi ini direncanakan besuk Hari
Raya Pentakosta, tanggal 21 Mei 1961. (3) Sebelum liturgi ini dilaksanakan/
dimulai, jemaat-jemaat berkenan mempelajari terlebih dulu rancangan tata
peribadatan tadi. (4) Menugasi Deputat Liturgie memperbanyak susunan
liturgi dengan keterangannya dan menyebarluaskan kepada jemaat-jemaat

secepatnya.”151
Meskipun liturgi GKJ yang berlaku umum di tengah umatnya muncul
tigapuluh tahun semenjak kelahirannya sebagai gereja dewasa, bukan berarti
bahwa sebelum masa itu tidak ada liturgi di dalam kehidupan peribadatan
mereka. Kenyataan ini nampak tersirat dengan jelas dalam bahan percakapan sidang sinode GKJ nomor 33 pada tahun 1938, di kota Kebumen.
149

Acta Synode VII Gredja-Gredja Kristen Djawa, tanggal 20-24 Februari 1961 ing
Magelang.
150
Ibadah Pagi yang dimaksud adalah Ibadah Minggu. Disebut Ibadah Pagi, karena
Peribadahan umat GKJ pada hari Minggu pada waktu itu memang diselenggarakan hanya
satu kali dengan waktu pagi hari. Adapun kegiatan persekutuan umat di gedung Gereja
pada waktu sore harinya tidak dimaksudkan peribadatan tetapi menjadi kesempatan untuk
mengadakan pelayanan pengajaran (katekisasi) bagi para warga anggota majelis dan warga
persiapan baptis maupun sidhi.
151
Acta Synode VII Geredja-Geredja Kristen Djawa Artikel 65.

104


Dalam bahan tersebut dinyatakan bahwa, Klasis Ngayogyakarta usul supaya
ada panitia untuk meneliti dan mengumpulkan serta mengkaji tentang tata
peribadatan yang ada di tengah Jemaat Kristen Jawa.152
Dari akta sidang tersebut menunjukkan bahwa dalam kehidupan
peribadatan umatnya, di lingkup GKJ ada jemaat-jemaat yang telah mempunyai dan menggunakan liturgi milik mereka masing-masing. Pengertian
itu sekaligus menunjukkan pula bahwa liturgi yang dimiliki oleh masingmasing jemaat dilingkup GKJ dimungkinkan berbeda-beda. Formula liturgi
yang dimiliki oleh jemaat GKJ yang satu berbeda dengan formula liturgi
jemaat GKJ yang lainnya. Karena kemungkinan itulah, liturgi mereka
pandang penting untuk diangkat menjadi percakapan bersama di lingkup
sinode pada usia tujuh tahun setelah lahir menjadi Gereja dewasa.
Adapun percakapan-percakapan lain berkaitan dengan tata peribadatan
umat di dalam persidangan-persidangan sinode sebelum maupun sesudah
tahun 1938 tersebut lebih mengarah pada persoalan perlengkapan maupun
pengembangan yang dibutuhkan untuk peristiwa-peristiwa penting gerejawi.
Misalnya, seperti nyanyian-nyanyian jemaat, musik untuk peribadatan,
Baptisan dan Perjamuan Kudus beserta dengan rumusan yang digunakan
dalam peribadatan maupun surat keterangan pelayanan baptis, pengakuan
iman GKJ, tata cara atau teknis pelaksanaan liturgi, dan lain sebagainya.153

152

Acta Kakantjingan-Kakantjingan lan Kapoetoesanipoen PasamoewanPasamoewan Christen Djawi ing Djawi Tengah Kidoel, kala tanggal 4-7 Juli 1938, Wonten
ing Keboemen, no. 33.
153
Lih., Akta persidangan Sinode GKJ tahun 1931-1936, 1964, dan seterusnya.

105

Seperti dijelaskan dalam petunjuk pelaksanaan liturgi yang dicontohkan dari hasil penelitian yang terdapat pada akta persidangan berikutnya154
setelah tahun 1938, persidangan sinode GKJ pada tahun 1940 di Magelang,
Jawa Tengah, disampaikan sebagai berikut:155 “(1) Gereja diharapkan ketenangannya. (2) Masuknya warga jemaat ke gereja jangan terlambat.
Sebab, persekutuan pada waktu itu tadi hendak menghadap kepada Tuhan
yang diharap-harapkan berkatnya. (3) Selama duduk menanti keluarnya
pendeta, bersama-sama perlu keheningan supaya khidmat. Sewaktu pendeta
tampak keluar, jemaat bersama-sama berdiri, layaknya seperti orang menghormati datangnya utusannya raja yang menjunjung perintah, yang akan
dicurahkan. Berdirinya jemaat tadi hingga sampai selesainya pendeta
mencurahkan berkat pembukaan persekutuan (Ibadah). (4) Pendeta keluar
dari ruang belakang diiring anggota majelis. Pendeta naik mimbar, anggota
majelis dan jemaat berdoa pribadi sesaat. Pendeta kemudian mengajak
jemaat dengan kalimat, “Marilah kita berbuat dalam hati demikian.
Pertolonganku itu berasal dari kuasa Nama TUHAN yang menciptakan

154

Acta Kakantjingan-Kakantjingan Rembag-Rembag Synode (Rapat Agoeng)
Pasamoewan-Pasamoewan Christen Djawi ing Djawi Tengah Kidoel kala tanggal 29-31
Juli 1940 ing Magelang Artikel 9, menyatakan: “Panitia telah membuat rancangan liturgi
sementara, tetapi hanya memberikan satu Tata Ibadah Minggu ini. Percakapan tentang isi
dan urutannya telah disepakati semua. Namun karena tempatnya berbeda-beda, maka
membuat keputusan: Diserahkan kepada jemaat-jemaat supaya kemudian dicoba, kelak
kemudian bisa melihat kekurangannya, sehingga kemudian bisa membuat tatanan yang
baku, dengan mengingat penerapan dan tempat.” (Terjemahan).
155
Acta Kakantjingan-Kakantjingan Rembag-Rembag Synode (Rapat Agoeng)
Pasamoewan-Pasamoewan Christen Djawi ing Djawi Tengah Kidoel, kala tanggal 29-31
Juli 1940 ing Magelang, Artikel 9.

106

langit dan bumi. Amin.” (5) Setelah mengucapkan votum156 tadi, pendeta
kemudian berkata kepada jemaat dengan kalimat, “Saudara-saudara, silakan
saudara terima berkat Tuhan Allah. Kasih karunia dan damai sejahtera dari
Allah, Bapa kita dan Tuhan Yesus Kristus kiranya ada pada saudara. Amin.”
(6) Setelah bersama-sama menyanyi, pendeta kemudian berkata kepada
jemaat dengan kalimat, “Saudara-saudara. Silakan saudara terima hukum
perintahnya Tuhan Allah.” Dengan suara lantang dan pelan, “Akulah
TUHAN, Allahmu ...,” seterusnya hingga sampai hukum yang kesepuluh.
Sehabis pembacaan hukum-hukum, anggota majelis (yang duduk di depan)
membaca nyanyian yang dipakai untuk memberikan jawabannya jemaat
terhadap perintah tadi, kemudian mengajak jemaat menyanyikan nyanyian
tadi. (7) Apabila pendeta mengambil pengakuan iman, demikian, “Marilah
bersama-sama mengakui iman kita di tengah dunia. Aku ...,” seterusnya.
Sehabis pengakuan iman, dilanjutkan menyanyi nyanyian yang berhubungan dengan kepercayaan iman. (8) Setelah menyanyi, pendeta membaca ayat Alkitab. Kemudian mengajak jemaat berdoa. Sebelum berdoa,
kalau perlu, pendeta menyatakan ringkasan yang akan diberikan di dalam
doa tadi. (9) Setelah berdoa, jemaat diajak menyanyi. Selama jemaat
menyanyi, kantong persembahan diedarkan. (10) Sehabis itu, pedeta mulai
khotbah. Setelah khotbah, pendeta menutup ajaran dengan Doa Bapa Kami
atau doa lainnya. Setelah berdoa, jemaat diajak menyanyi penutup.
156

Votum, artinya janji yang khidmat atau ikrar., Sinode GKJ, Liturgi GKJ,
(Salatiga: Percetakan Sinode GKJ, 1994), hal. 10. Bnd., Dr. J. L. Ch. Abineno, UnsurUnsur Liturgia yang Dipakai Gereja-Gereja di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2011), 2-6.

107

(11) Selesai menyanyi, jemaat diajak berdiri kembali untuk menerima
berkat. Kalimatnya pendeta, “Saudara-saudara. Saudara terimalah berkat
Tuhan Allah. Kasih karunia dari Tuhan Yesus Kristus dan kasih Allah, dan
persekutuan Roh Kudus kiranya ada pada saudara sekalian. Amin. (12)
Bubarnya para anggota jemaat menunggu turunnya pendeta dari mimbar.”
Dari uraian kelahiran liturgi GKJ di atas ada persoalan menarik.
Sewaktu rancangan liturgi peribadahan GKJ hendak disahkan, selain
laporan dari Deputat Liturgie yang beranggotakan para teolog Jawa ada
sebuah sumber lain yang berkaitan dengan keputusan itu, yaitu penjelasan
lisan dari D. C. Mulder yang ditugaskan GKN untuk berpelayanan di GKJ.
Nampaknya pembentukan liturgi GKJ belum memiliki hubungan dengan
konteks Jawa sebagai kebudayaan tradisi maupun masyarakat yang berkembang di tengah perubahan kehidupan sosial, politik, dan ekonomi
nasional, melainkan terdapat pengaruh konteks Belanda sebagai bangsa
yang berbudaya Barat.
Persoalan tersebut dapat dibandingkan dengan liturgi umat Kristen
pra-GKJ yang menurut keterangan dari Soetarman157 dan Soekotjo158 bukan
saja dirumuskan oleh Sadrach karena dirinya beserta umat asuhannya adalah
orang Jawa, tetapi juga dikarenakan adanya kepentingan penyetaraan jati
diri budaya dan pribadi masyarakatnya terhadap berbagai pengaruh asing,
khususnya budaya bangsa Arab melalui Islam dan budaya bangsa Eropa
melalui Belanda.
157
158

Soetarman, Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya, 252-254,
Soekotjo, Sejarah Gereja-Gereja Kristen Jawa Jilid 1, 204-206.

108

3.4. Penyebab Lahirnya Liturgi GKJ
Sesuai dengan pilahan dokumen liturgi yang terekam pada akta-akta
persidangan sinode GKJ sejak awal hingga sekarang, ada dua butir
penyebab penting yang dapat ditemukan secara langsung dalam kelahiran
liturgi GKJ.

3.4.1. Penyebab pertama: dorongan dari semangat kedewasaan di
dalam diri GKJ sendiri
Tujuh tahun setelah lahir menjadi Gereja dewasa, semangat yang
nampak pada persidangan sinode GKJ tahun 1938 memperlihatkan adanya
kesadaran bersama tentang kebutuhan liturgi yang penting di dalam
peribadatan umatnya. Karena itu pada persidangan sinode tahun 1938 ini
dicetuskan gagasan untuk mengadakan penelitian, penghimpunan, serta
pengkajian aneka liturgi yang sebelumnya telah ada dan digunakan oleh
beberapa jemaat GKJ pada waktu itu (misalnya: Ngayogyakarta, Kebumen,
Kedu). Artinya, upaya yang dilakukan melalui persidangan sinode oleh GKJ
pada waktu itu menunjukkan adanya semangat kemandirian di dalam ikatan
kehidupan bersama mereka sebagai Gereja yang merasa memiliki jati diri.
Dorongan itu tercermin pula dalam percakapan-percakapan persidangan sinode yang dilakukan oleh GKJ sejak awal pada tahun 1931,
terkait dengan perlengkapan penting di dalam peribadatan. Contohnya, salah
satu perlengkapan penting yang dibutuhkan pada peribadatan waktu itu
adalah nyanyian yang digunakan oleh jemaat. Walaupun tidak bisa seketika

109

terwujud, namun upaya mandiri berikutnya untuk memenuhi kebutuhan itu
dinyatakan secara jelas dengan serangkaian tindakan secara bertahap untuk
menyusun Nyanyian Mazmur 150 dan Nyanyian Kidung dalam bahasa Jawa
maupun bahasa Indonesia, serta Nyanyian Pelengkap (Kidung Suplemen).
Bahkan, dikemudian waktu berkembang juga wacana untuk nyanyiannyanyian rohani populer.159

3.4.2. Penyebab kedua: dorongan dari semangat kesatuan para jemaat
(oikumene) di kalangan GKJ itu sendiri
Terlepas dari bentuk kepemimpinan GKJ yang bersifat presbiterial
sinodal, atau yang akhirnya ditegaskan hanya presbiterial saja, keinginan
untuk memiliki satu liturgi yang sama dan berlaku untuk semua umat di
kalangan jemaat-jemaat GKJ terasa begitu kuat. Kenyataan ini nampak dari
kecenderungan bahan percakapan maupun keputusan yang diambil dalam
percakapan-percakapan persidangan sinode oleh GKJ itu sendiri sejak awal
kelahirannya sebagai Gereja dewasa hingga waktu-waktu selanjutnya.
Acta Kakantjingan-Kakantjingan lan Kapoetosanipoen RembagRembaging Synodenipoen Pasamoewan-Pasamoewan Christen Djawi ing
Djawi Tengah Kidoel tahun 1939 di Kebumen, nomor 33, dalam hal ini
menjadi pijakan untuk dilakukannya perumusan satu liturgi yang sama dan
159

Lih., Akta sidang: Synode Keboemen 1931, Synode Ngajogjokarta 1932, Synode
Soerakarta 1934, Synode Magelang 1935, Synode Poerwakerta 1936, Synode Keboemen
1938, Synode Magelang 1940, Synode Poerworedja 1942, Synode Ngajogjakarta 1946,
Synode Magelang 1948, Sinode GKD III 1951, Sinode GKD IV 1954, Sinode GKD V
1956, Sinode GKD VI 1958, Sinode GKD X 1967, Sinode GKD XI 1969, Sinode GKJ XIII
1974, Sinode GKJ XIV 1975, Sinode GKJ XV 1978, Sinode GKJ XVI 1981, Sinode GKJ
XVII 1984, Sinode GKJ XIX 1989, Sinode GKJ XX 1991, Sinode GKJ XXII 1998, Sinode
GKJ XIII 2002, Sinode GKJ Antara 2004, Sinode GKJ XXIV 2006, Sinode XXV 2009.

110

berlaku untuk semua umat di kalangan jemaat-jemaat GKJ.160 Sebab akta ini
kemudian ditindaklanjuti dengan munculnya susunan liturgi sementara
untuk peribadatan hari Minggu pada persidangan sinode oleh GKJ pada
tahun 1940 di Kebumen, dengan pokok-pokok bagian liturgi yang berurutan
sebagai berikut: (1) Pendeta keluar dari ruang belakang diiringi oleh warga
majelis. (2) Pendeta berdiri di mimbar, berdoa pribadi, mengucapkan votum
dan membagi berkat. (3) Bernyanyi bersama. (4) Pembacaan hukum-hukum,
atau mengucapkan pengakuan iman rasuli 12. (5) Bernyanyi bersama.
(6) Pendeta membacakan ayat Alkitab. (8) Bernyanyi bersama bersamaan
beredarnya kantong persembahan. (9) Khotbah. (10) Doa Bapa Kami, atau
yang lainnya. (11) Bernyanyi bersama. (12) Membagikan berkat.
Supaya liturgi sementara untuk hari Minggu ini dapat dijalankan
secara seragam oleh semua umat di kalangan jemaat-jemaat GKJ, maka
susunan liturgi yang sudah tersusun dengan pokok-pokok bagian di atas
juga diberikan penjelasan tentang petunjuk pelaksanaannya pula.161 Bahkan
pada persidangan sinodenya yang dilakukan kembali di Magelang pada
tahun 1948, petunjuk pelaksanaan liturgi GKJ ini semakin ditekankan dalam
artikel 48 nomor 4, butir a-h. Dalam artikel tersebut dinyatakan usulan
160

Isi dari Acta Kakantjingan-Kakantjingan lan Kapoetoesanipoen PasamoewanPasamoewan Christen Djawi ing Djawi Tengah Kidoel, kala tanggal 4-7 Juli 1938, di
Kebumen, no 33 adalah: “Klasis Ngayogyakarta usul supaya ada panitia untuk meneliti
dan mengumpulkan serta mengkaji tentang tata peribadatan yang ada di tengah-tengah
Jemaat Kristen Jawa. Utusan kepada persidangan Majelis Zending menambahkan penjelasan bahwa di dalam persidangan Majelis Zending yang baru terlaksana juga membahas
persoalan ini dan sekarang belum ada penyelesaiannya. Putusan: Sinode menugasi Majelis
Gereja Kristen Jawa di Gandakusuman Ngayogyakarta supaya meneliti dan mengkaji, serta
menghimpun tentang adanya tata peribadatan di tengah Jemaat Kristen Jawa, serta mempertimbangkan persoalan ini dengan sebaik-baiknya.” (Terjemahan).
161
Lih., bagian lahirnya liturgi GKJ.

111

bahwa, sinode menentukan liturgi untuk daerah yang masuk dalam lingkup
Sinode Jawa Tengah sebelah Selatan. Keputusannya, Sinode menerima
usulan ini. Sedang alasannya, karena setelah Sinode 1940 hingga sekarang
tata peribadatan berjalan belum sama dan berulang-ulang selalu menimbulkan kekisruhan,162 maka Sinode XII memutuskan menentukan pelaksanaannya seperti di berikut ini: “(a) Yang membuka pintu ialah penatua yang
memimpin doa. (b) Sebelum pendeta naik mimbar, diadakan acara mengangguk. (c) Di dalam menerima hukum, umat duduk. (d) Kemudian diterima
dengan menyanyi bersama dengan berdiri atas ajakan salah satu penatua.
(e) Bila menyatakan pengakuan iman, umat berdiri. (f) Nyanyian setelah
pengakuan iman dinyanyikan dengan berdiri atas ajakan pendeta. (g) Persembahan dihaturkan setelah khotbah bersama dengan bernyanyi. (h) Pengumuman warta jemaat dilakukan setelah tata peribadatan oleh salah seorang
penatua.”
Upaya untuk kesamaan tata cara pelaksanaan liturgi itu pun ternyata
belum selesai. Sebab Dalam persidangan sinode berikutnya pada tahun
1950, kembali muncul penambahan-penambahan aturan, khususnya yang
terkait tindakan yang dilakukan oleh pendeta dan yang bukan pendeta.
Dalam Akta Sinode GKD II 1950 artikel 52 dinyatakan bahwa, setelah
membahas dan mengadakan perubahan secukupnya, uruturutan liturgi
menjadi seperti yang disebutkan di bawah (berikut) ini.163 “(1) Votum
(krama). (2) Berkat; Bunyi-nya seperti II Korintus 1:2. Apabila yang
162
163

Lih., Akta Synode Poerworedja 1942, Synode Ngajogjakarta 1946 no. 34.
Akta Sinode GKD 1950 Artikel 52.

112

mengucapkan bukan pendeta, bunyi berkat lalu, “... ada pada kita sekalian.”
(3) Memuji. (4) Pembacaan hukum atau pengucapan pengakuan iman.
(5) Memuji sesuai dengan no. 4. (6) Pembacaan Alkitab. (7) Berdoa.
(8) Memuji dan menghaturkan persembahan. (9) Khotbah. (10) Berdoa.
(11) Memuji. (12) Kepyakan. (13) Berkat; Apabila bukan pendeta,
bunyinya, “... kita sekalian.” Liturgi ini sebagai contoh yang disarankan oleh
Sinode.”
Kedua penyebab penting lahirnya liturgi GKJ itu selalu memberi
warna dalam perkembangan yang ada hingga sekarang. Selain tampak
dalam nyanyian pujian umat maupun tata aturan dalam petunjuk pelaksanaan liturgi, kenyataan ini tampak pula dalam persoalan pengakuan
iman yang terkait dengan meningkatnya kesadaran akan keberadaan dan jati
diri GKJ dalam pergumulan di tengah ladang dunianya, 164 pelayanan Baptis
dan Perjamuan Kudus dengan piranti dan rumusan-rumusannya,165 penumpangan tangan,166 pakaian liturgi dan simbol-simbol liturgi,167 bahasa
Indonesia sebagai pengantar pelayanan peribadatan ataupun dalam liturgi,168
dan lain sebagainya.

164

Lih., Synode Keboemen 1931, Synode Ngajogjakarta 1945, Sinode GKD II 1950,
Sinode GKJ XVIII 1987 Artikel 137, Sinode GKJ XIX 1989 Artikel 148.
165
Lih., Synode Magelang 1935 no. 22., Sinode GKD IV 1954 Artikel 101., Sinode
GKD VII 1961 Artikel 66.
166
Akta Sinode GKD VI 1958 Artikel 103.
167
Akta Sinode GKJ XXIV 2006 Artikel 26.
168
Akta Sinode GKD IX 1964 Artikel 69, Akta Sinode GKD XI 1969 Artikel 133.

113

Kesadaran oikumenis dalam berjemaat maupun sebagai gereja dewasa
yang ingin tidak tergantung pihak lain di dalam memiliki liturgi peribadahan
umat merupakan kewajaran yang baik. Namun, gagasan liturgi GKJ yang
oikumenis itu bukan tidak ada persoalan bila di dalam pelaksanaannya tidak
berakar pada konteks kehidupan umat. Demikian pula dengan ketidaktergantungan pada pihak lain untuk melengkapi pelaksanaan liturgi peribadahan yang masih hanya sebatas bisa membuat sendiri barang-barang
yang sama dengan pihak lain namun dengan gagasan dan pola-pola mereka
tentu belum menuntaskan masalah. Sebab untuk kepentingan kemandirian
maupun kebersamaan yang berdaya guna bagi umat harus berpijak pada
gagasan dan pola-pola dari konteksnya sendiri.
Perbandingan terhadap masalah di atas dapat disandingkan dengan
liturgi umat Kristen pra-GKJ dalam peribadahan beserta tata cara maupun
nyanyian-nyanyian pujian mereka sendiri yang didasarkan pada gagasangagasan serta pola-pola yang mengakar pada kehidupan mereka sebagai
orang Jawa sehingga dapat berdaya guna dalam perkembangan kehidupan
umat karena mudah diterima dan dihayati secara lebih sesuai.

3.5. Pokok-Pokok Bagian Liturgi GKJ
Bentuk liturgi GKJ yang disahkan pada tahun 1961 untuk berlaku
umum di kalangan umat GKJ itu tersusun dari pokok-pokok bagian,
sebagaimana berikut ini:

114

Pokok bagian yang pertama adalah adiutorium169 dan salam. Pada
bagian adiutorium digunakan rumusan kalimat yang diambil dari Kitab
Mazmur 124:8, yaitu: Pertolongan kita ada di dalam nama TUHAN, yang
menciptakan langit dan bumi. Sedangkan untuk salam, digunakan rumusan
kalimat yang diambil dari Kitab Surat I Korintus 1:3 ataupun Kitab Wahyu
1:4b-5a, yang demikian: Kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah,
Bapa kita dan Tuhan Yesus Kristus kiranya ada pada saudara. Setelah
duduk, dilanjutkan dengan pokok bagian yang kedua, yaitu nyanyian pujian
yang dilakukan oleh umat secara bersama-sama.
Setelah umat menyanyikan pujian, pokok bagian yang ketiga adalah
perintah-perintah menurut ringkasan Kitab Injil Matius 22:37-40. Pada
bagian ini, umat melakukan pengakuan dosa dengan nyanyian, yang
kemudian disusul dengan berita anugerah dan petunjuk hidup baru yang
dibacakan dari ayat-ayat Alkitab yang dirujuk. Bacaan-bacaan tersebut
kemudian disanggupi oleh umat melalui nyanyian.
Usai umat menyanyikan nyanyian kesanggupan kemudian diteruskan
dengan pokok bagian yang keempat, yaitu pelayanan doa. Pelayanan doa ini
terdiri dari ucapan syukur dan syafaat. Setelah selesai, pokok bagian
keempat ini disambung dengan pokok bagian yang kelima, yaitu pelayanan
per-sembahan. Pelayanan persembahan ini diawali dengan pembacaan ayatayat Alkitab yang memberikan ajakan kepada umat untuk mengumpulkan
persembahan beserta dengan tujuannya. Ketika persembahan telah dilaku169

Adiutorium, artinya pertolongan. Lih., Sinode GKJ, Liturgi GKJ, 10. Bnd.,
Abineno, Unsur-Unsur Liturgia yang Dipakai Gereja-Gereja di Indonesia, 1-2.

115

kan, kemudian menghaturkannya kepada Tuhan dengan doa, sekaligus
pemanjatan doa untuk pelayanan Sabda Tuhan itu.
Pokok bagian yang keenam adalah pelayanan Sabda Tuhan. Pelayanan
Sabda Tuhan di sini terdiri dari pembacaan Alkitab dan nats, kemudian
khot-bah. Selesai pelayanan Sabda Tuhan, kemudian dilanjutkan dengan
pokok bagian ketujuh, yaitu doa dan nyanyian penutup. Dan sebelum ibadah
ber-akhir, ada pokok bagian yang kedelapan, yaitu pengakuan iman yang
dilaku-kan oleh umat secara bersama-sama. Pada akhirnya, ibadah ditutup
dengan pokok bagian yang kesembilan, yaitu berkat. Di dalam pokok bagian
ini dipergunakan rumusan kalimat yang diambil dari Kitab Bilangan 6:2426, atau Kitab Surat II Korintus 13:13. “TUHAN memberkati saudara dan
melindungi saudara. TUHAN menyinari saudara dengan wajahNya dan
memberi saudara kasih karunia. TUHAN menghadapkan wajahNya kepada
saudara dan memberi saudara damai sejahtera”. Atau, “Kasih karunia
Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus
menyertai saudara”.
Yang penting di dalam tata peribadatan tersebut, keutuhan liturgi GKJ
bukan hanya persoalan terlaksananya seluruh urut-urutan pokok-pokok
bagian yang telah disebutkan tadi. Di dalam peribadatan GKJ, yang disebut
dengan liturgi juga mencakup tindakan penting pada bagian awal dan pada
bagian akhir peribadatan. Tindakan yang dianggap penting itu adalah
penyerahan Alkitab oleh pejabat penatua kepada pejabat pendeta atau
pemimpin yang akan mengajar dan menuntun seluruh jalannya peribadatan
116

sebelum adiutorium; demikian pula sebaliknya, ketika pejabat pendeta atau
pemimpin peribadatan hendak undur dari tempat peribadatan setelah
berkat.170 Inilah liturgi formula I, atau liturgi baku awal yang berlaku di
kalangan umat GKJ.

3.6. Tantangan-Tantangan Terhadap Pelaksanaan Liturgi GKJ
Keberadaan liturgi formula I yang berlaku bagi seluruh umat di
kalangan jemaat GKJ tersebut nampaknya secara umum diterima dengan
baik. Hanya saja, di dalam perjalanan liturgi tersebut di waktu-waktu
kemudian bukannya tidak ada masalah. Paling tidak, adanya masalah di
dalam perjalanan liturgi formula I dari tahun 1961 itu diberlakukan adalah
nampak dengan adanya pengembangan yang dilakukan di kemudian hari,
hingga akhirnya muncullah liturgi-liturgi variatif yang diterbitkan pada
tahun 1993.171
Berdasarkan penggalian data yang tercatat pada dokumen akta-akta
persidangan sinode yang dilakukan semenjak tahun 1961 hingga sekarang,
ada beberapa persoalan yang dapat diistilahkan sebagai tantangan dari
dalam maupun tantangan dari luar.

170

Artikel 65, Acta Synode VII Gredja-Gredja Kristen Djawa (Terjemahan).
Liturgi-liturgi variatif ini merupakan sebutan untuk Liturgi Kebaktian Minggu II
dan Liturgi Kebaktian Minggu III.
171

117

3.6.1. Tantangan Liturgi GKJ dari dalam
Pada awalnya, tantangan dari dalam atas liturgi formula I adalah berkaitan dengan persoalan keterlibatan umat untuk mengambil bagian di
dalam liturgi dipandang kurang, karena hanya diterima sebatas pemahanan
lahiriah saja. Sementara para petugas yang memimpin peibadatan juga
dipandang belum memberi penjelasan liturgi maupun tata cara pelaksanaannya. Karena itu di dalam butir-butir keputusan yang terdapat pada artikel 69
akta persidangan sinode GKJ IX tahun 1964, dinyatakan bahwa supaya
jemaat berpartisipasi di dalam liturgi dan tidak menerima liturgi sebagai tata
cara lahiriah saja, dan para liturgos (yang memimpin ibadah) supaya
memberi keterangan dalam melakukan liturgi.
Persoalan selanjutnya di waktu-waktu awal berlakunya liturgi formula
I tersebut adalah kejenuhan. Untuk itu, dalam artikel yang sama terdapat
butir keempat yang isinya menyatakan keputusan bahwa persidangan
menyetujui liturgi tambahan sebagai variasi yang dapat digunakan bergantiganti. Adapun pokok-pokok bagian di dalam liturgi variasi tersebut adalah
sebagai berikut: (a) Votum/Salam Berkat. (b) Njanjian. (c) Sahadat.
(d) Sepuluh Hukum Tuhan (atau ringkasannja). (e) Njanjian Pengakuan
Dosa. (f) Berita Anugerah. (g) Persembahan. (h) Pembacaan Kitab Suci.
(i) Doa Sjafaat. (j) Khotbah. (k) Saat Teduh. (l) Doa Penutup. (m) Berkat.

118

Persoalan kejenuhan ini semakin menonjol, karena beberapa waktu
kemudian, di dalam kesempatan sidang berikutnya kembali diangkat.172
Puncak pergumulan terhadap persoalan ini muncul usulan agar ada ibadah
atau liturgi Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR). Kenyataan ini nampak
tersirat dengan jelas dalam pernyataan Artikel 86 Akta Sidang Sinode GKJ
XVIII 1987. Dalam pembahasan usul dari Sinode Wilayah II tentang
Kebaktian Kebangunan Rohani, dan nampaknya ada gejala kejenuhan di
kalangan Warga Gereja mengenai penyelenggaraan liturgi GKJ, sidang
memutuskan menugasi Deputat Studi untuk meninjau ulang liturgi yang
sudah dibakukan dengan mencari kemungkinan bentuk liturgi yang bersifat
variatif. Pada akhirnya, tanggapan GKJ tentang KKR ini, dalam Sidang
Sinode GKJ Antara yang dilaksanakan pada tahun 1992 cukup sederhana.
Dalam persidangan tersebut, keputusan dari usulan Deputat Kesaksian
Pelayanan dan Pembinaan tentang KKR versi GKJ adalah bahwa KKR tidak
perlu ada. Untuk melaksanakan KKR sebagai sarana menampung aspirasi
anggota gereja, tetap dapat memberlakukan Akta XVIII GKJ artikel 95.
Selaras dengan persoalan kejenuhan di atas, terdapat persoalan lain
yang terkait dengan keberadaan pemuda di kalangan umat GKJ. Keterkaitan
ini terletak pada keinginan akan kebutuhan bahasa pengantar yang mudah
dimengerti penggunaannya atau praktis di dalam liturgi.173 Kecenderungan
akan kebutuhan bahasa pengantar yang dipandang mudah bagi pemuda di

172

Lih., Akta Sidang Sinode GKJ XV tahun 1978 Artikel 81
Sejak awal, penggunaan bahasa pengantar liturgi yang berlaku di tengah jemaatjemaat kalangan umat GKJ adalah bahasa Jawa.
173

119

kalangan umat GKJ itu adalah bahasa Indonesia. Petunjuk adanya permasalahan pemuda di kalangan umat GKJ tersebut tersirat secara langsung
dalam usulan-usulan adanya KKR seperti keterangan di atas, dan penterjemahan nyanyian pujian yang telah dimiliki GKJ ke dalam bahasa
Indonesia,174 sekaligus pengadaan pujian populer berbahasa Indonesia pula
untuk petemuan-pertemuan kaum pemuda dan kaum lainnya dalam akta
persidangan-persidangan sinode GKJ hingga saat ini.
Untuk permasalahan itu, pada tahun 1964 terdapat artikel persidangan
sinode dari GKJ yang menyatakan bahwa: “(d) ... di mana mungkin dan
perlu supaja diadakan ibadah dalam bahasa Indonesia, di samping bahasa
daerah. Maka djemaat-djemaat di kota-kota besar diandjurkan untuk
menjelenggarakan ibadah dalam bahasa Indonesia. (e) Memberi tugas
kepada Deputat jang bersangkutan untuk selekas mungkin menjalin
formulir-formulir dan liturgi dalam bahasa Indonesia, supaja salinan-salinan
tersebut diperbanjak dan dikirimkan kepada djemaat-djemaat jang
membutuhkannja. ...”175
Hanya saja, kebutuhan nyanyian pujian milik GKJ berbahasa Indonesia maupun nyanyian populer yang diwacanakan dan diusulkan di atas
dipandang masih berat dalam pelaksanaan liturgi GKJ. Seperti dalam artikel
yang sama dengan di atas, pada butir selanjutnya dinyatakan: “(f) bahwa
Njanjian Mazmur/Rohani didjadikan njanjian resmi dalam ibadah dalam

174

Nyanyian pujian yang dimiliki oleh GKJ yaitu Mazmur 150 dan Kidung Pujian
dalam bahasa Jawa.
175
Akta sidang Sinode GKD IX 1964 Artikel 72 butir d-e.

120

bahasa Indonesia.” Selanjutnya, dalam Artikel 133 Akta Sidang Sinode
GKD XI 1969 nampak bahwa ada usul dari Klasis Surakarta Timur untuk
menterjemahkan Kidung Pasamuwan Kristen Djawi dalam bahasa Indonesia
yang ditanggapi dengan keputusan: “(a) Terdjemahan tersebut di atas
dipandang tidak perlu. (b) Mengandjurkan kepada djemaat-djemaat agar
untuk sementara menggunakan buku Njanjian Mazmur dan Njanjian Rohani
dari Perbendaharaan Djemaat Segala Abad—karangan I. L. Kijne, terbitan
Stichting Geestelijke Liederen uit de Schat van de Kerk der eeuwen—
s’Gravenhage.” Masalah penterjemahan itu nampak berat untuk piranti
kelengkapan peribadatan dengan bahasa Indonesia, apalagi dengan wacana
pengadaan nyanyian populer untuk kebutuhan pemuda GKJ itu sendiri. Dari
Artikel 56 Akta Sidang Sinode XXII 2002, keputusan atas usulan dari
Klasis Salatiga terhadap hasil studi Deputat Pembinaan Warga Gereja
(PWG) tentang identitas dan lagu-lagu pujian populer yang digunakan kaum
pemuda Gereja, dinyatakan bahwa: “(1) Klasis-Klasis melakukan kajiankajian nyanyian pemuda sesuai kebutuhannya. (2) Menugasi Deputat PWG
untuk membentuk Tim Musik dan Liturgi, yang bertugas mengkaji nyanyian
populer pemuda.”
Persoalan terakhir yang menjadi tantangan yang berasal dari dalam
atas liturgi formula I itu sendiri adalah tekat kemauan yang sungguhsungguh para jemaat di kalangan umat GKJ secara menyeluruh untuk
mempergunakan liturgi formula I tersebut di dalam peribadatan umat.
Ternyata seiring dengan wacana liturgi variasi maupun KKR di atas terdapat
121

pula jemaat-jemaat yang tidak, ataupun yang masih belum menggunakan
liturgi yang sudah ditetapkan serta diberlakukan bagi umat di kalangan GKJ.
Seperti ditemukan dalam Artikel 136 Akta Sidang Sinode GKJ XII tahun
1974 yang membahas adanya pemakaian liturgi yang tidak seragam dengan
liturgi hasil keputusan sidang Sinode. Keputusan artikel sidang tersebut
menyatakan: “(1) Menganjurkan kepada jemaat-jemaat GKJ untuk tetap
menggunakan liturgie yang telah diputuskan Sinode, demi memelihara persekutuan. (2) Hanya dalam kebaktian-kebaktian istimewa dapat dipergunakan liturgie lain.”

3.6.2. Tantangan Liturgi GKJ dari luar
Sebagai bahasa pengantar percakapan yang mudah dimengerti penggunaannya, pengaruh bahasa Indonesia ke dalam tata kebiasaan percakapan
di kalangan umat GKJ telah merasuk ke dalam kehidupan Gereja. Secara
sederhana, kenyataan itu dapat dikenali melalui pembahasan di dalam
sidang sinode GKJ tahun 1964 tentang penggunaan bahasa Indonesia. Pada
artikel 72 Akta Sidang GKD IX 1964 dinyatakan: “(1) Bahwa untuk
melajani Pemerintah dan masjarakat perlu mempergunakan bahasa resmi,
jalah bahasa Indonesia. (2) Bahwa dalam lapangan kebudajaan bahasa
Indonesia mendjadi media jang utama. (3) Bahwa gerakan oikumenis
mendorong Gredja-Gredja kita membuka pintu bagi saudara-saudara Kristen
dari suku lain, lagi pula mengingat pembentukan Gredja-Gredja Kristen
Indonesia Jang Esa j.a.d., maka penggunaan bahasa Indonesia merupakan
122

media jang penting sekali. (4) Bahwa dipandang dari sudut praktis, banjak
para pemuda jang makin hari makin biasa mempergunakan bahasa Indonesia, sehingga khotbah dalam bahasa tersebut lebih mudah diterimanja.”
Dengan diterimanya bahasa Indonesia sebagai sarana percakapan yang
praktis di kalangan umat GKJ, maka Artinya pada dirinya menjadi terbuka
terhadap berbagai hal, dan dimungkinkan pula bisa berdampak pada
berbagai tata jalinan dan pola-pola kehidupan yang dimiliki; termasuk di
dalamnya adalah liturgi sebagai bagian dari kehidupan peribadatan umatnya.
Dari sudut pengalaman lapangan, tantangan liturgi GKJ dari luar di
sini adalah adanya gerakan kharismatik. Kenyataan adanya gerakan
kharismatik yang menjadi tantangan liturgi GKJ tersebut diungkapkan
dalam persidangan Sinode GKJ pada tahun 1984. Dalam persidangan
tersebut dinyatakan bahwa, “Menanggapi usulan Sinode Wilayah II tentang
perlunya GKJ mengambil sikap terhadap Gerakan Kharismatik, sidang
memutuskan: (1) Menganjurkan agar Gereja-Gereja mengambil sikap hatihati terhadap Gerakan Kharismatik. (2) Agar Gereja-Gereja meningkatkan
penggembalaannya kepada warga gerejanya dan meningkatkan kegiatankegiatan yang dapat menampung aspirasi warga, sehingga warga tidak terpengaruh untuk memasuki Gerakan Kharismatik.”176
Sebagai pengaruh dari luar, nampaknya gerakan kharismatik tersebut
cukup kuat sehingga memunculkan penegasan sikap, seperti yang dinyatakan dalam Artikel 9 Akta Sidang Sinode GKJ Kontrakta 1992:
176

Akta Sidang Sinode GKJ XVII 1984 Artikel 42.

123

“Menanggapi usulan Deputat Kesaksian, Pelayanan, dan Pembinaan Sinode
GKJ XIX tentang penentuan sikap GKJ terhadap kelompok kharismatik,
sidang memutuskan, (1) GKJ tidak perlu bersikap konfrontatif terhadap
kelompok kharismatik, tetapi hati-hati dan bijaksana, namun tegas.
(2) Gereja perlu meningkatkan pembinaan dan penggembalaan anggota
gerejanya agar tidak terpengaruh akibat negatif kelompok kharismatik,
bahkan kalau perlu diberlakukan pamerdi.”
Kedua keputusan di atas memiliki keselarasan dengan persoalan yang
menjadi tantangan dari dalam terhadap liturgi GKJ, seperti telah diungkapkan pada bagian di atas. Keselarasan itu adalah mengenai kejenuhan yang
pada akhirnya memunculkan usul maupun wacana adanya liturgi variatif
serta KKR. Tujuan usulan dan wacana diadakannya liturgi variatif maupun
KKR tersebut adalah untuk menampung aspirasi warga gereja. Karena itu,
di dalam serangkaian upaya untuk pengembangan hingga terwujudnya
liturgi yang ada sekarang ini, tantangan-tantangan berbagai persoalan di atas
menjadi bagian sumber pergumulan yang penting. Seperti dinyatakan oleh
Novembri Choeldahono, salah seorang pendeta GKJ yang ditunjuk Deputat
Studi dan Penelitian Sinode XX GKJ, menyatakan:
“Jadi kebutuhan awalnya itu bukan dari tantangan realitas dan
transformasi kultural. Tantangannya adalah ... dari kehidupan
internal; kejenuhan, kejenuhan liturgi! Maka Cuma ditambahkan

124

liturgi alternatif I, II, III; Minggu Pertama, Minggu Kedua,
Minggu Ketiga, dan lebih partisipatif. Begitu, itu saja!”177
Pernyataan Novembri itu diperkuat oleh Siman Widyatmanta, salah
seorang pendeta GKJ yang ditunjuk sebelumnya oleh Deputat Studi dan
Penelitian Sinode XVIII GKJ. Dalam wawancara dengan beliau, diungkapkan bahwa:
“... tetapi sejak pemuda merasa bosan dengan liturgi yang selama
ini berjalan—coba itu dari ’61 sampai ... hampir’ 2000, itu
liturgi-nya itu-itu saja. Lalu Sinode membentuk komisi liturgi
variasi, muncul liturgi variasi Minggu Pertama, Minggu Kedua,
Minggu Keempat (maksudnya: Ketiga). Tetapi itu sifatnya
fakultatif. Artinya, bagi yang merasa bosan bisa mengunakan
variasi itu, bagi yang lain itu ya mânggâ, terserah. ..., liturgi ini
dalam kebaktian hari Minggu. ...”178
Singkatnya, berbagai tantangan terhadap pelaksanaan liturgi GKJ di
atas dapat dikatakan masih bersifat subjektif. Kurangnya penjelasan dan
petunjuk pelaksanaan liturgi di tengah peribadahan umat GKJ memungkinkan terjadinya penggunaan yang kurang bersungguh-sungguh, maupun
pengertian akan keterlibatan warga jemaat yang kurang, bahkan menimbulkan kejenuhan; walaupun kejenuhan atas liturgi GKJ di sini dimungkinkan
pula terkait adanya pengaruh gerakan kharismatik yang menggejala.
Sementara kejelasan persoalan, khususnya terkait dengan budaya yang dapat
menjadi objek penting pembentuk jati diri umat di dalam berliturgi baru

177
178

Lampiran 7.
Lampiran 8.

125

nampak melalui sisi bahasa yang itu pun terbatas sebagai kebutuhan praktis
berkomunikasi.

3.7. Upaya Pengembangan Liturgi GKJ
Penanganan atas berbagai persoalan yang menjadi tantangan-tantangan
liturgi GKJ tersebut, sejak semula ada tindak lanjutnya, yaitu upaya untuk
pengembangan liturgi GKJ itu sendiri. Dasar dari langkah tindak lanjut itu
tersurat di dalam artikel-artikel akta persidangan sinode yang telah dilakukan. Seperti telah disebutkan dalam paparan data di atas, paling tidak
terdapat dua buah persoalan penting yang menjadi dasar tindak lanjut
pengembangan liturgi GKJ. Pertama adalah keinginan warga gereja supaya
bisa ikut berperan serta di dalam jalannya pelaksanaan liturgi. Kedua adalah
gerakan kharismatik yang perlu ditanggulangi dalam kehidupan peribadatan
umat GKJ.179
Kesempatan langkah tindak lanjut yang tegas mengenai upaya
pengembangan liturgi GKJ tersebut terjadi pada Sidang Sinode GKJ
Kontrakta tahun 1992. Dalam artikel 13 dinyatakan: “Setelah sidang membahas konsep Deputat Ketenagaan dan Studi Sinode GKJ XIX tentang
liturgi/tata ibadah GKJ, dengan mempertimbangkan usul klasis-klasis dan
pokok-pokok pikiran peserta sidang, sidang memutuskan: (1) Secara
prinsipial menyetujui liturgi GKJ. (2) Penyempurnaan secara redaksional
diserahkan kepada tim, ... (3) Jika penyempurnaan secara redaksional telah
179

Akta Sidang Sinode GKJ XVII 1984 Artikel 42.

126

selesai dan dicetak, Aktuarius harap memberitahukan kepada gereja-gereja
tentang pemberlakuannya. (4) Liturgi yang diterima secara prinsipial
tersebut tidak dilampirkan dalam akta ini, demi efisiensi akan langsung
dibukukan dalam bentuk jadi setelah dikerjakan.”
Keputusan tentang liturgi dalam persidangan tersebut tidak terlepas
dari liturgi GKJ yang telah dihasilkan sebelumnya, yaitu liturgi baku yang
diresmikan pada tahun 1961, dan contoh liturgi tambahan sebagai variasi
yang dapat digunakan secara bergantian, seperti yang telah dijelaskan dalam
bagian tantangan dari dalam mengenai kejenuhan warga gereja dengan
liturgi GKJ dan upaya menanggulanginya. Artinya, bahwa langkah tindak
lanjut persidangan sinode tahun 1992 tersebut menjadi perangkum dari hasil
kerja beberapa tim penyempurna liturgi sebelumnya setelah pemberlakuan
liturgi baku tahun 1961 itu, yaitu: tim pertama yang bentuk di dalam Sidang
Sinode GKJ XVIII 1987, tim kedua yang dibentuk dalam Sidang Sinode
GKJ XIX 1989, dan tim ketiga yang dibentuk dalam Sidang Sinode GKJ
XX 1991.180
Usaha tentang penyempurnaan atau pengembangan liturgi GKJ itu
pada akhirnya menghasilkan buku liturgi yang diterbitkan pada tahun 1993,
dengan isi yang dapat dibilang memadahi dibandingkan dengan terbitan
liturgi tahun-tahun sebelumnya. Buku liturgi terbitan tahun 1993 itu berisi:
(1) Pengantar. (2) Penjelasan liturgi secara umum. (3) Penjelasan khusus
mengenai liturgi GKJ (4) Tata urutan pokok-pokok bagian liturgi (ibadah
180

Sinode GKJ, Liturgi GKJ, i-ii.

127

Minggu) yang berlaku bagi kalangan umat GKJ dalam bahasa daerah (Jawa)
maupun bahasa nasional (Indonesia), (5) Liturgi khusus untuk: sakramen
penjamuan, sakramen baptis, mengakuan percaya (sidhi), peneguhan dan
pemberkatan nikah, peneguhan dan pelerehan majelis gereja, pentahbisan
pendeta, pendewasaan jemaat, peresmian gedung gereja, bahkan untuk
penerimaan kembali (warga yang dikucilkan).
Isi buku liturgi GKJ di atas terdapat beberapa pokok penting dalam
perkembangan liturgi GKJ. Pokok-pokok penting yang tercakup dalam buku
liturgi GKJ itu adalah sebagai berikut.

3.7.1. Penjelasan Pandangan GKJ tentang Liturgi181
3.7.1.1. Tata Ibadah
Menurut GKJ, liturgi adalah tata ibadah dan bahkan ibadah itu sendiri.
Karena, ibadah dengan tata ibadah itu menjadi satu. Di sini yang hidup dan
berdaulat adalah ibadah. Tata ibadah itu keluar atau timbul dari ibadah, dan
bukan sebaliknya; jangan sampai “tata” yang mati menguasai “ibadah” yang
hidup. Tatanya sangat tergantung kepada ibadahnya. Karena tata itu merupakan pernyataan atau perwujudan ibadah. Tidak dapat mengadakan tata
lebih dahulu untuk mengatur ibadah, tetapi ibadah ada dulu lalu diwujudkan
dalam tata cara. Ibadah yang diwujudnyatakan tentu harus teratur (I Korintus 14:40). Ibadah pribadi juga dilaksanakan dengan teratur, demikian juga

181

Sinode GKJ, Liturgi GKJ, 1-9.

128

ibadah keluarga. Apalagi ibadah dalam perkumpulan jemaat. Oleh karena
yang utama adalah ibadah, maka perlu diterangkan dulu tentang ibadah.

3.7.1.2. Arti Liturgi
Penjelasan tentang arti kata liturgi pada buku liturgi GKJ ini merunut
etimologi di dalam penggunaannya yang berasal dari p