Revitalisasi Identitas Nasional dalam Si

Revitalisasi Identitas Nasional dalam Sistem Hukum Indonesia
H. Muammar Arafat Yusmad
(Dosen Fakultas Syariah IAIN Palopo)
E-mail: muammar.arafat@yahoo.co.id

Kata Kunci: Revitalisasi, Identitas Nasional, Sistem Hukum
Sejarah membuktikan bahwa para pendiri bangsa telah membuat sebuah konsesus
nasional tentang tujuan negara yang hingga saat ini masih diabadikan dalam Pembukaan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yaitu:
Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Perjalanan NKRI yang telah
berusia 70 tahun ini penuh dinamika dan pencapaian tujuan negara sebagaimana amanat
konstitusi masih jauh dari harapan. Hal ini membuktikan bahwa terjadi disparitas yang
begitu lebar antara usia negara dan tujuan negara yang hendak dicapai. Lalu, apa sebabnya,
di mana kesalahannya dan apa kekurangannya?
Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang majemuk dengan keragaman suku,
agama, budaya dan bahasanya yang dipersatukan dengan sebuah simbol Bhineka Tunggal
Ika (walapun berbeda-beda tetapi tetap satu). Terpaan keras arus globalisasi yang melanda
dunia termasuk Indonesia melalui perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern
telah mengakibatkan terjadinya perubahan sosial di tengah masyarakat yang pada

gilirannya akan memengaruhi cara pandang masyarakat tentang hukum nasional. Oleh
karenanya, penting untuk dilakukan otentisitas nilai-nilai keindonesiaan melalui revitalisasi
identitas nasional yaitu gotong royong, toleransi dalam keragaman, demokrasi Pancasila
dan kekeluargaan dan kekerabatan ke dalam sistem hukum nasional. Tujuannya adalah agar
sistem hukum nasional benar-benar merupakan cerminan “jiwa” dari bangsa Indonesia.
Tulisan ini mencoba menjawab fenomena perubahan sosial sebagai dampak dari
globalisasi dengan kesiapan Pemerintah dalam mengantisipasinya melalui penguatan sistem
hukum nasional yang benar-benar Indonesia. Sebagai media analisis, penulis menggunakan
teori hukum kritis oleh Roberto M Unger. Tercapainya nilai-nilai keadilan (fairness
values), kemanfaatan dan kepastian hukum adalah dambaan seluruh masyarakat. Saatnya
untuk menegakkan sistem hukum Indonesia yang bermartabat.

Pendahuluan
Momentum peringatan Sumpah Pemuda ke-87 baru saja dirayakan oleh segenap
elemen bangsa. Ikrar untuk senantiasa bertanah air satu, berbangsa satu dan berbahasa satu
baru saja dikumandangkan kembali oleh putra-putri Ibu Pertiwi. Di tengah hiruk pikuk
kegaduhan politik dan penegakan hukum, para pemuda meneguhkan kembali tekadnya
untuk melakukan perubahan. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928

meluaskan arah


perjuangan bangsa dari yang dulunya bersifat kedaerahan menjadi sebuah perjuangan
kolektif dan nasional untuk sebuah cita-cita bersama mewujudkan Indonesia yang merdeka.
Sejatinya, semangat Sumpah Pemuda inilah yang mendasari penulis melakukan otentifikasi
nilai-nilai keindonesiaan untuk sebuah ikhtiar menggagas pembaruan Sistem Hukum
Nasional yang mencerminkan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 diproklamirkan kemerdekaan Indonesia dan sehari
setelahnya Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI
1945) resmi menjadi konstitusi negara yang meneguhkan kedudukan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) sebagai Negara Hukum dan tidak berdasarkan negara
kekuasaan. Negara hukum Indonesia telah berusia lebih dari tujuh puluh tahun. Suatu usia
yang tidak lagi muda untuk ukuran manusia, namun bagi sebuah negara besar, usia tersebut
belumlah seberapa dalam upaya mewujudkan sebuah negara hukum yang menyejahterakan
rakyatnya.
Secara formal, kedudukan NKRI sebagai negara hukum memang sudah tercapai,
namun substansi perjalanan NKRI menjadi negara hukum masih jauh apalagi untuk
mencapai sebuah negara kesejahteraan (welfare state). Perjalanan NKRI yang telah berusia
70 tahun ini penuh dinamika dan pencapaian tujuan negara untuk melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan

perdamaian abadi dan keadilan sosial sebagaimana amanat konstitusi masih jauh dari
harapan. Kenyataan ini membuktikan bahwa terjadi disparitas yang begitu lebar antara usia
negara dan tujuan negara yang hendak dicapai.

Kembali ke persoalan negara hukum, ternyata menjalankan NKRI sebagai negara
hukum tidaklah mudah, apalagi fakta sejarah menunjukkan bahwa bangunan sistem hukum
Indonesia saat ini adalah bentuk dari internalisasi sistem-sistem hukum yang telah terlebih
dahulu ada di belahan bumi lain ditambah pengaruh sistem hukum adat yang umumnya
merupakan hukum tak tertulis (ius non scripta ) berbentuk kebiasaan-kebiasaan. Padahal
belum tentu karakteristik sistem hukum dari suatu negara dapat diadopsi menjadi sistem
hukum di negara lain. Menurut Otje Salman “Hukum Indonesia yang berlaku saat ini
adalah sebuah proses imperialisme sekularistik, yang hidup melalui transplantasi dari
pemikiran-pemikiran Barat dan diterima begitu saja (take for granted) tanpa menyaringnya
terlebih dahulu”. (Otje Salman, 2012: 79). Akibatnya keberlakuan hukum dalam rangkaian
sistem hukum tidak mencerminkan jiwa dari bangsa Indonesia. Tercapainya tujuan-tujuan
bernegara tentunya tak lepas dari kedudukan NKRI sebagai negara hukum. Kedudukan
NKRI sebagai negara hukum secara konstitusional seharusnya dibarengi dengan upaya
untuk membangun sebuah sistem hukum nasional yang berciri khas dan tercermin dalam
identitas nasional dengan nilai-nilai keindonesiaan sebagai jati diri bangsa.
Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang majemuk dengan keragaman suku,

agama dan kepercayaan, budaya dan bahasanya.

Pluralitas telah menjadi bagian dari

keseharian bangsa. Pluralitas kebangsaan inilah yang kemudian menjadi faktor pembentuk
identitas nasional bangsa Indonesia. Dimensi pluralitas bangsa Indonesia dipersatukan oleh
sebuah semboyan Bhineka Tunggal Ika (walapun berbeda-beda tetapi tetap satu). Identitas
nasional berarti ciri-ciri atau tanda-tanda yang melekat pada suatu bangsa dan merupakan
ke-khasan bangsa yang membedakannya dengan bangsa lainnya. Unsur-unsur pembentuk
identitas nasional adalah: Sejarah, budaya, suku bangsa, agama dan bahasa. Hakikat
Identitas Nasional adalah manifestasi dari nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang
dalam aspek kehidupan suatu bangsa. Identitas nasional inilah yang kemudian
memunculkan sikap dan tindakan kolektif masyarakat yang menjadi ciri suatu bangsa.
Sejak dahulu bangsa Indonesia dikenal ke-khasan kebangsaan yaitu gemar
bergotong royong, bersikap toleran atas segala bentuk keragaman, berdemokrasi Pancasila
yang dimanifestasikan dalam bentuk semangat “musyawarah untuk mufakat” dan kental

akan nilai-nilai kekeluargaan dan kekerabatan. Ciri khas tersebut yang kemudian menjadi
Identitas Nasional bangsa Indonesia yang membedakannya dengan bangsa-bangsa lainnya
di dunia.


Identitas Nasional
Terpaan keras arus globalisasi yang melanda dunia termasuk Indonesia melalui
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern telah mengakibatkan terjadinya
perubahan sosial di tengah masyarakat yang pada gilirannya akan memengaruhi cara
pandang masyarakat tentang hukum nasional. Cara pandang masyarakat tentang hukum
inilah yang disebut budaya hukum (legal culture) sebagai bagian dari sistem hukum.
Lawrence M Friedman mengatakan “Budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum
dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Dengan kata lain,
bagian dari budaya umum itulah yang menyangkut sistem hukum”(Friedman, 2001: 8).
Identitas nasional adalah kumpulan nilai-nilai budaya yang hidup dan berkembang
di masyarakat dan terhimpun menjadi budaya bangsa dengan Bhineka Tunggal Ika sebagai
simbol pemersatu bangsa. Unsur-unsur pembentuk identitas nasional antara lain: Sejarah,
agama, kebudayaan, suku bangsa dan bahasa. Dari sekian banyak identitas nasional yang
ada di Indonesia, penulis mengemukakan empat aspek kekhasan Indonsesia (tanpa
mengurangi nilai-nilai identitas nasional lainnya) yang menonjol dan telah lama hidup dan
berkembang di masyarakat. Keempat identitas nasional dimaksud adalah:
1. Gotong Royong. Semangat bergotong royong adalah nilai luhur bangsa
Indonesia yang telah diwariskan secara turun temurun. Gotong royong adalah
usaha untuk menyelesaikan suatu pekerjaan secara bersama-sama. Dengan

semboyan “berat sama dipikul ringan sama dijinjing” maka gotong royong
menjadi jati diri bangsa yang membedakan bangsa Indonesia dengan bangsabangsa lain;
2. Toleransi atas Keragaman. Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang
majemuk dengan keragaman suku, agama dan kepercayaan, budaya dan

bahasanya. Pluralitas telah menjadi bagian dari keseharian bangsa Indonesia.
Sikap toleransi atau memahami setiap perbedaan yang ada menjadi ciri khas dan
menjadi identitas nasional bangsa Indonesia;
3. Demokrasi Pancasila.

Demokrasi Pancasila adalah semangat berdemokrasi

yang dalam pelaksanaannya mengutamakan asas musyawarah untuk mufakat
demi kepentingan bersama. Pancasila adalah cita hukum tertinggi bangsa
Indonesia sehingga setiap sila dari Pancasila wajib untuk diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat; dan
4. Kekeluargaan

dan


Kekerabatan.

Hubungan

kekeluargaan

merupakan

hubungan tiap entitas yang memiliki asal-usul silsilah yang sama, baik melalui
keturunan biologis, sosial, maupun budaya. Hubungan kekerabatan adalah salah
satu prinsip mendasar untuk mengelompokkan tiap orang ke dalam kelompok
sosial, peran, kategori dan silsilah.1

Keempat identitas nasional di atas adalah budaya unggul yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia yang lahir dari proses adat dan kebiasaan masyarakat yang dilakukan secara
berkesinambungan sehingga menjelma menjadi sikap hidup umum bangsa Indonesia.
Persoalannya adalah, bangsa Indonesia sebagai bagian dari tata pergaulan masyarakat
internasional tentu tak luput dari pengaruh-pengaruh budaya dari luar seiring dengan
globalisasi yang yang melanda dunia.
Aplikasi identitas nasional dalam kehidupan sehari-hari yang meliputi semangat

gotong royong mulai memudar dan berganti dengan sikap individualistik. Semangat
toleransi dalam keragaman khususnya dalam bidang keagamaan juga masih terus teruji
dengan munculnya sejumlah kasus sikap intoleransi yang diperlihatkan oleh sejumlah
masyarakat pemeluk agama tertentu seperti kasus intoleransi agama di Tolikara Papua dan
di Aceh Singkil Provinsi NAD. Demikian pula dengan semangat berdemokrasi Pancasila
yang mulai meninggalkan asas musyawarah untuk mufakat. Sikap dan budaya
1

https://Id.wikipedia.org/wiki/hubungan_kekeluargaan_kekerabatan. Akses 27 Oktober 2015

kekeluargaan dan kekerabatan juga teruji apalagi dengan hajatan politik di daerah dalam
bentuk pemilihan kepala daerah dan kepala desa yang tak jarang justru membuat hubungan
kekeluargaan dan kekerabatan menjadi renggang.

Sistem Hukum Indonesia
Fakta sejarah menunjukkan bahwa bangunan Sistem Hukum Indonesia dipengaruhi
oleh sistem-sistem hukum yang telah lebih dahulu tumbuh dan berkembang di belahan
bumi yang lain. Sistem hukum nasional terbentuk dari hasil integrasi antara sistem hukum
Eropa, sistem hukum agama (Islam) dan sistem hukum adat. Pengaruh sistem hukum Eropa
berdasar pada aspek sejarah bahwa Indonesia adalah wilayah jajahan Belanda yang

memberi nama negeri jajahannya Hindia Belanda (Nederlandsche Indie). Beberapa
ketentuan hukum warisan kolonial yang masih berlaku hingga saat ini antara lain:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van strafrecht);
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Bugerlijk wetboek);
3. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van koophandel).
Namun demikian, ketiga kodifikasi hukum produk kolonial di atas telah mengalami
sejumlah perubahan signifikan dengan terbitnya Undang-Undang Republik Indonesia yang
kemudian menggugurkan keberlakuan sejumlah ketentuan dalam ketiga kodifikasi hukum
tersebut.
Hukum Islam menjadi dasar terbentuknya sistem hukum nasional oleh karena
sebagian besar penduduk Indonesia beragama Islam, sehingga hukum Islam berkontribusi
besar bagi pembentukan hukum Indonesia terutama pada hukum perkawinan, hukum
kekeluargaan dan hukum kewarisan. Beberapa ketentuan hukum nasional yang bersumber
dari hukum Islam antara lain:
1. UURI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
2. UURI No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UURI No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama;
3. UURI No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; dan

4. Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.


Sistem hukum adat juga menyerap dan menjadi bagian dari sistem hukum nasional.
Salah satu sumber pembentukan hukum adalah “Kebiasaan” yang dalam konteks Indonesia
berarti adat istiadat. Hukum adat tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan
peradaban masyarakat. Hukum adat yang lazimnya berbentuk hukum tak tertulis (ius non
scripta ) menjelma menjadi “the living law” tempat di mana masyarakat dan para penegak

hukum khususnya Hakim menggali nilai-nilai dasar hukum berdasarkan kultur warisan
nenek moyang mereka. Akar dari hukum adat bersumber dari tata nilai, pandangan hidup,
kebijaksanaan dan kearifan lokal yang tertanam dan diikuti oleh masyarakatnya.
Hingga saat ini eksistensi hukum adat masih diakui dan dihormati oleh negara.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberi bukti pengakuan
negara terhadap hukum adat. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang.2 Selain itu negara memajukan kebudayaan nasional di tengah
peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan
mengembangkan nilai-nilai budayanya.3 Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional
dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.4
Beberapa ketentuan hukum nasional yang bersumber dari hukum Adat antara lain:

1. UURI No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria;
2. UURI No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan; dan
3. UURI No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Ketentuan-ketentuan hukum di atas memuat substansi tentang pengakuan tentang
eksistensi hukum adat di Indonesia yang meliputi kelembagaan, pranata dan perangkatperangkat hukum adat, wilayah hukum adat yang jelas dan paguyuban masyarakat hukum
2

Ketentuan Pasal 18 ayat (2) UUD NRI 1945
Ketentuan Pasal 32 ayat (1) UUD NRI 1945
4
Ketentuan Pasal 28 I ayat (3) UUD NRI 1945
3

adat (rechtsgenonschap ). Mahkamah Konstitusi (MK) juga menguatkan pengakuan
terhadap hukum adat dalam putusan MK yang mengabulkan gugatan uji materiil sebagian
dari UURI No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dengan amar putusan antara lain
menghapuskan frasa “negara” dan menyatakan bahwa hutan adat bukan hutan negara, dan
hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah hukum adat.

Revitalisasi Identitas Nasional dan Otentisitas Nilai-nilai Keindonesiaan
Menurut Jimly Ashsiddiqie, “Konsep negara hukum modern di Eropa Kontinental
dikembangkan dengan menggunakan istilah Jerman yaitu “rechtsstaat” antara lain oleh
Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte. Sedangkan dalam tradisi Anglo
Amerika, konsep negara hukum dikembangkan dengan sebutan “The Rule of Law” yang
dipelopori oleh A.V. Dicey” (Jimly, 2006: 148).
Lebih lanjut Jimly mengatakan:
Konsep hukum “rechtsstaat” menurut Stahl mencakup empat elemen penting
yaitu:
1. Perlindungan hak asasi manusia (HAM);
2. Pembagian kekuasaan;
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang;

4. Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). (Jimly, 2004: 122)
Selanjutnya Jimly menulis:
A.V. Dicey menyebutkan negara hukum di Anglo Amerika yang dikenal
dengan sebutan “The Rule of Law”memiliki tiga ciri penting yaitu:
1. Supremacy of Law;
2. Equality before the Law;
3. Due Process of Law. (Jimly, 2006: 148)

Identitas nasional bangsa Indonesia yang tercermin dari sikap kolektif gotong
royong, toleransi atas keragaman, demokrasi Pancasila dan kekeluargaan dan kekerabatan

menjadi penyokong dari terbentuknya Sistem Hukum Indonesia yang benar-benar lahir dari
bawah (bottom up) dan merupakan cerminan jiwa masyarakat. Sistem hukum nasional yang
bernilai “Indonesia” terbentuk melalui proses otentisitas nilai-nilai keindonesiaan yang
tumbuh dan berkembang di masyarakat sebagai “living law”. Dengan hadirnya sistem
hukum Indonesia, maka keberlakuan hukum melalui peraturan perundang-undangan akan
tergambar dari kekuatan berlakunya peraturan perundang-undangan itu. Peraturan
perundang-undangan telah memiliki kekuatan mengikat sejak disahkan dan dimuat dalam
lembaran negara.
Sudikno Mertokusumo mengemukakan tiga macam kekuatan keberlakuan
suatu peraturan perundang-undangan:
1. Kekuatan berlaku Yuridis (juritische geltung). Setiap peraturan
perundang-undangan secara langsung memiliki kekuatan berlaku secara
yuridis jika seluruh persyaratan formal bagi terbentuknya suatu
peraturan perundang-undangan telah terpenuhi;
2. Kekuatan berlaku Sosiologis (sociologische geltung). Suatu peraturan
perundang-undangan memiliki kekuatan berlaku secara sosiologis
apabila

peraturan

perundang-undangan

tersebut

telah

menjadi

kenyataan di dalam masyarakat;
3. Kekuatan berlaku Filosofis (philosophische geltung). Suatu peraturan
perundang-undangan barulah mempunyai kekuatan berlaku secara
filosofis jika kaidah hukum yang tercantum di dalam undang-undang
sesuai dengan cita-cita hukum (rechtsidee) sebagai nilai positif yang
tertinggi (uberpositiven werte) yang di Indonesia adalah Pancasila serta
cita-cita menuju masyarakat yang adil dan makmur. (Achmad Ali,
1996: 126)
Sistem hukum nasional yang merupakan “jiwa” Indonesia akan menjadi sistem
hukum yang sesuai dengan cita-cita hukum masyarakat. Peraturan perundang-undangan
yang dibuat dan disahkan bersama oleh Pemerintah dan badan legislatif akan memiliki

kekuatan keberlakuan secara filosofis atau kekuatan keberlakuan dengan tingkatan tertinggi
menuju cita negara hukum Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur.
Otentisitas nilai-nilai keindonesiaan tercermin dalam Pancasila sebagai pandangan
hidup bangsa Indonesia. Darji Darmodihardjo mengungkapkan bahwa dalam Pancasila
terkandung prinsip-prinsip demokrasi yang bersumber pada kepribadian dan falsafah hidup
bangsa Indonesia yang perwujudannya seperti dalam Pembukaan UUD NRI 1945.
Demokrasi Pancasila bercirikan Kekeluargaan dan gotong royong, menghargai HAM,
pengambilan keputusan berasaskan musyawarah untuk mencapai mufakat, dan bersendikan
negara hukum.
Menurut Charles Himawan:
Di negara berkembang, baik yang sudah tergolong dalam kelompok Newly
Industrialized Countries atau NIC maupun yang masih tergolong sebagai
Less Developed Countries atau LDC, hubungan antara HAM dan wibawa

hukum seringkali dilupakan. Mungkin ini salah satu sebab amnesti
internasional menempatkan fair trial atau pengadilan yang adil sebagai
objek kerjanya. (Charles, 2003: 184).

Demokrasi Pancasila memiliki makna filosofis yaitu membangun kemanusiaan
dengan cara-cara yang adil dan beradab. Pemerintahan harus bersih dan demokratis (good,
clean and democratic governance), penghormatan terhadap HAM sangat diperhatikan dan

Pengadilan di Indonesia wajib untuk menjunjung tinggi HAM demi tegaknya wibawa
hukum.

Bagan Pikir Otentisitas Nilai-nilai Keindonesiaan dalam Sistem Hukum Nasional

Sistem
Hukum
Eropa

Sistem
Hukum
Islam

Sistem
Hukum
Adat

Sistem Hukum
INDONESIA

Otentisitas Nilai2
Keindonesiaan
Revitalisasi Identitas Nasional
(Semangat Demokrasi Pancasila)

Tujuan Negara
(alinea IV)
Pembukaan UUD
1945

Sistem Hukum
(cer i a jiwa bangsa)
INDONESIA

Konsep Sistem Hukum Indonesia
Otentisitas nilai-nilai keindonesiaan melalui revitalisasi identitas nasional yaitu
gotong royong, toleransi dalam keragaman, demokrasi Pancasila dan kekeluargaan dan
kekerabatan, menawarkan sebuah gagasan tentang sistem hukum nasional yang diharapkan
benar-benar merupakan cerminan “jiwa” dari bangsa Indonesia. Roberto M. Unger
menjelaskan tentang persoalan tatanan sosial (social order ) dengan membahas hubungan

antara bentuk hukum dan bentuk masyarakat. Menurut Unger “Doktrin tentang tatanan
sosial mencakup pandangan terhadap bentuk dan penggunaan peraturan. Apabila tiap-tiap
doktrin paling cocok untuk satu jenis masyarakat tertentu, maka diharapkan akan diketahui
bahwa karakter hukum mengalami perubahan dari satu bentuk kehidupan sosial ke bentuk
kehidupan sosial yang lain” (Unger, 2008: 61).
Selanjutnya Unger mengemukakan:
Dalam pengertian yang lebih luas, hukum adalah setiap setiap pola
interaksi yang muncul secara berulang di antara banyak individu dan
kelompok, diikuti pengakuan yang relatif eksplisit bahwa pola-pola
interaksi demikian memunculkan ekspektasi perilaku timbal balik yang
harus dipenuhi. Roberto Unger menyebutnya “hukum adat” (customary
law) atau hukum interaksional (interactional law). Ada dua sisi dalam

konsep hukum (adat) sebagai interaksi. Sisi yang satu adalah keseragaman
yang tampak nyata dalam berperilaku dan sisi yang lain bersifat normatif:
sentimen akan kewajiban dan hak, atau kecenderungan untuk menyamakan
bentuk-bentuk perilaku yang sudah mapan dengan gagasan mengenai
tatanan yang benar di masyarakat dan di dunia secara umum. (Unger,
2008: 63).
Menurut hemat penulis, Unger menghendaki adanya keserasian antara bentuk
hukum (sistem hukum) dan bentuk masyarakat agar terlihat karakter hukum (bentuk
hukum) dalam kehidupan sosial (bentuk masyarakat). Menariknya, Roberto Unger
menganggap bahwa hukum adat lebih bersifat interaksional karena terdapat sisi interaktif
dalam berperilaku dan sisi interaktif yang lain secara normatif tentang pemenuhan
kewajiban dan hak dalam sebuah tatanan di masyarakat dan di dunia.
Sesungguhnya doktrin Roberto Unger ini mengisyaratkan bahwa perkembangan
kehidupan masyarakat yang semakin maju dan modern tidak boleh melunturkan semangat
interaksi sosial dan interaksi pemenuhan hak dan kewajiban secara normatif. Masyarakat
tidak boleh melupakan identitasnya sebagai mahluk sosial. Bentuk sistem hukum harus
sesuai dengan masyarakatnya yang jelasnya berarti bentuk sistem hukum harus sesuai

dengan asal-usul dari masyarakat itu sendiri. Bukan berarti suatu sistem hukum menolak
pengaruh-pengaruh dari sistem hukum lain, akan tetapi pengaruh-pengaruh integrasi sistem
hukum tersebut tidak boleh menghilangkan identitas masyarakat yang menjadi jati diri
sebuah bangsa.
Bangsa Indonesia yang sejak dahulu dikenal sebagai bangsa yang pluralis, tidak
boleh kehilangan kultur dengan tetap menjaga identitas nasionalnya. Pembaruan sistem
hukum Indonesia yang merupakan jiwa dari bangsa Indonesia adalah dengan
mengoptimalisasi nilai-nilai keindonesiaan yang berakar dari hukum adat. Karakteristik
hukum adat tercermin dalam identitas nasional bangsa Indonesia yaitu semangat bergotong
royong, toleransi atas keragaman, berdemokrasi Pancasila dan kental akan semangat
kekeluargaan dan kekerabatan. Mewujudkan masa depan hukum Indonesia (ius
constituendum) dilakukan dengan merancang pembentukan hukum nasional melalui

rancangan peraturan perundang-undangan yang berasal dari cita-cita masyarakat dan bukan
“given” dari penguasa. Dengan demikian peraturan perundang-undangan yang dihasilkan
akan memiliki kekuatan keberlakuan secara filosofis karena memang lahirnya peraturan
tersebut bagaikan harapan yang menjadi kenyataan “dream comes true”. Sistem Hukum
Indonesia dengan Negara Hukum “Pancasila” inilah yang diharapkan akan membawa
negara Indonesia bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Konsep Sistem Hukum Nasional dan Negara Hukum “Pancasila”

NEGARA HUKUM
Pa casila

Identitas Nasional

Pengadilan yg
Adil (fair trial)

Perlindungan

HAM

Gotong Royong
dan
Kekeluargaan

Pemerintahan
yg baik dan
demokratis

SISTEM HUKUM
NASIONAL

Tercapainya Tujuan Negara
dan Indonesia bersatu, berdaulat, adil
dan makmur

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum. Chandra Pratama, Jakarta. 1996.
Asshiddiqie, Jimly. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Konstitusi Press,
Jakarta. 2006.
Friedman, Lawrence. Wisnu Basuki (ed). American Law An Introduction. Tatanusa,
Jakarta. 2001.
Himawan, Charles. Hukum Sebagai Panglima. Kompas Media Nusantara, Jakarta.
2003.
Kuncorowati, Puji Wulandari. Menurunnya Tingkat Kesadaran Hukum Masyarakat
Indonesia. Jurnal Civics, Vol. 6 No. 1 Juni 2009.
Rahardjo, Satjipto. Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya. Genta
Publishing Yogyakarta. 2009.
Ruhpina, Lalu Said. Kedaulatan Rakyat sebagai Het Absolute Ideel Indonesia. UB
Press. 2010.
Salman, Otje. Filsafat Hukum (Perkembangan dan Dinamika Masalah). Refika
Aditama Bandung. 2012.
Peraturan Perundang-undangan:

1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Bugerlijke wetboek);
2. Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel);
3. UU No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
4. UURI No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria;
5. UURI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
6. UURI No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan;
7. UURI No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah;
8. UURI No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UURI No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama;
9. UURI No. 6 Tahun 2014 tentang Desa;
10. Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.