Implementasi Prinsip Subrogasi dalam Ber
Implementasi Prinsip Subrogasi dalam Berbagai Perjanjian
Internasional antara Indonesia dengan Negara Kawasan Asia Tenggara
Nama Kelompok :
1. Aldiansyah
2. M. Priyambodo
Dosen
: 8111416327
: 8111416348
: Ridwan Ariffin, S.H., LI.M.
Fakultas Hukum
Universitas Negeri Semarang
2017
1
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA
sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga
mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki
bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami
yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami
sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
2
DAFTAR ISI
BAB 1…………………………………………………………………4
a. Latar Belakang......................................................4
b. Rumusan Masalah.................................................4
c. Metode Penulisan................................................4
BAB II PEMBAHASAN.....................................................5
A. Prinsip Subrogasi di Indonesia.................................5
B. Pengaturan prinsip subrogasi di indonesia
dan perbandingan dengan negara lain..................10
BAB III.........................................................................14
A. Kesimpulan............................................................14
B. Saran.....................................................................14
3
BAB I
a. Latar Belakang
Prinsip indemnitas dan subrogasi merupakan prinsip utama dalam asuransi,
terutama asuransi kerugian, yang harus dipegang teguh agar asuransi dapat
berjalan sesuai dengan tujuannya, yaitu ganti rugi. Salah satu jenis asuransi
kerugian yang berkembang pesat seiring meningkatnya jumlah kendaraan
bermotor dan risiko atasnya adalah asuransi kendaraan bermotor. Sebagian
besar kendaraan bermotor ternyata tidak dibeli secara tunai tetapi dengan
menggunakan fasilitas pembiayaan, seperti perjanjian pembiayaan konsumen
(PPK), yang tidak dapat dipisahkan dari perjanjian asuransi kendaraan
bermotor. Makalah ini akan membahas pengaturan prinsip indemnitas dan
subrogasi di Indonesia, (termasuk perbandingannya dengan beberapa negara
lain),
serta
penerapannya
dalam
putusan
Pengadilan
Negeri
No.
176/Pdt.G/2011/Jkt.Ut yaitu putusan atas gugatan ganti rugi kepada pihak
ketiga atas sebuah mobil, yang masih berada dalam masa PPK dan
pertanggungan. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif, dimana
penulis menggunakan tiga pendekatan yaitu undang-undang, konseptual dan
studi kasus. Selain itu, penulis menggunakan metode analisis kualitatif. Setelah
melakukan perbandingan dan analisis, ternyata pengaturan prinsip indemnitas
dan subrogasi masih belum baik dan Majelis Hakim pada kasus tersebut, belum
memahami dan menerapkan kedua prinsip tersebut. Agar dapat dilaksanakan
dengan baik, maka pengaturan kedua prinsip tersebut harus diperbaharui,
diatur
lebih
lanjut
atau
diperjanjikan
secara
jelas
dalam
polis,
serta
pengetahuan hakim dalam bidang hukum asuransi harus terus ditingkatkan.
b. Rumusan Masalah
1. Apakah prinsip subrogasi di Indonesia?
2. Bagaimana pengaturan prinsip subrogasi di Indonesia dan
perbandingan dengan negara lainnya?
c. Metode Penulisan
1. Sumber dan Jenis Data
4
Data-data yang dipergunakan dalam penyusunan karya tulis
ini berasaldari berbagai literatur kepustakaan yang berkaitan
dengan permasalahan yang dibahas. Beberapa jenis referensi
utama yang digunakan adalah buku pelajaran, jurnal imiah
edisi cetaak. Jenis data yang diperoleh variatif, bersifat
kualitatif maupun kuantitatif.
2. Pengumpulan Data
Metode
penulisan
bersifat
studi
pustaka.
Informasi
didapatkan dariberbagai literatur dan disusun berdasarkan
hasil
studi
diupayakan
dari
saling
informasi
terkait
yangdiperoleh.
antar
satu
sama
Penulisan
lain
dan
sesuaidengan topik yang dibahas.
3. Analisis Data
Data yang terkumpul diseleksi dan diurutkan sesuai dengan
topik kajian.Kemudian dilakukan penyusunan karya tulis
berdasarkan data yang telahdipersiapkan secara logis dan
sistematis.
Teknik
analisis
data
bersifat
deskriptif argumentatif.
BAB II PEMBAHASAN
A. Prinsip Subrogasi di Indonesia
Subrogasi secara umum dapat diartikan sebagai penggantian hakhak kreditur oleh seorang pihak ketiga, yang membayar kepada kreditur
tersebut. Dari pengertian tersebut jelas bahwa subrogasi muncul sebagai
akibat pembayaran yang dilakukan oleh pihak ketiga kepada kreditur. Di
dalam asuransi, yang dimaksud kreditur adalah tertanggung, debitur
adalah pihak ketiga yang menyebabkan kerugian dan hak-hak yang
beralih adalah hak-hak menuntut ganti kerugian dari pihak ketiga.
Subrogasi diatur dalam 1400-1403 KUHPer dan 284 KUHD. Namun,
pengaturan di dalam KUHPer berlaku untuk perjanjian pada umumnya,
sedangkan pengaturan untuk asuransi mengacu kepada pengaturan di
5
KUHD.
Karena
pengaturan subrogasi pada
pasal
284
KUHD lah,
penanggung dapat melakukan subrogasi, meskipun hal tersebut tidak
diperjanjikan dalam perjanjian asuransi dan dicantumkan dalam polis.
Beberapa
penulis
seperti
Abdulkadir
Muhammad,
dan
Wirjono
Prodjodikoro menyatakan akibat pengaturan yang khusus ini, pengaturan
umum didalam KUHPer sudah tidak berlaku lagi untuk perjanjian
asuransi. Subrogasi pada asuransi muncul sebagai konsekuensi logis
prinsip indemnitas, yaitu agar prinsip indemnitas dapat terlaksana
dengan baik, dan untuk menghindari adanya ketidakadilan-ketidakadilan
yang mungkin timbul dengan adanya penggantian kerugian oleh asuransi
dan pihak ketiga, yaitu saat kerugian yang dipertanggungkan diakibatkan
oleh
pihak
ketiga.
Jika
kerugian
yang
diderita
oleh
tertanggung
diakibatkan oleh pihak ketiga, maka tertanggung memiliki dua sumber
ganti kerugian yaitu penanggung dan pihak ketiga yang menyebabkan
kerugian. Jika hal tersebut terjadi, maka ada kemungkinan tertanggung
akan diuntungkan, dan hal ini tentunya bertentangan dengan prinsip
indemnitas. Namun jika pihak ketiga dibebaskan begitu saja hal tersebut
juga dirasakan tidak adil. Untuk menghindari ketidakadilan-ketidakadilan
tersebut munculah pengaturan subrogasi dalam asuransi.
Munculnya hak subrogasi
Subrogasi
muncul
akibat
adanya
pembayaran,
namun
berdasarkan pengaturan pada pasal 284 KUHD terdapat dua
syarat lain yang harus terpenuhi agar subrogasi dalam
pertanggungan dapat berlaku.
Tertanggung mempunyai hak terhadap penanggung terhadap
pihak ketiga
Adanya hak tersebut karena timbulnya kerugian sebagai
akibat dari perbuatan pihak ketiga.
Jika kedua faktor tersebut terpenuhi dan penanggung telah
membayar ganti rugi kepada tertanggung maka saat itu subrogasi
muncul. Namun, menurut Penulis penjelasan mengenai kedua faktor
tersebut belum memadai khususnya mengenai perbuatan pihak ketiga
yang merugikan tertanggung. Seperti yang kita tahu, dalam hukum acara
perdata gugatan ganti rugi dapat dilakukan berdasarkan wanprestasi
6
maupun perbuatan melawan hukum. Berkaitan dengan pengaturan
subrogasi pada pasal 284 KUHD tidak dijelaskan ruang lingkup perbuatan
pihak ketiga yang seperti apakah yang menyebabkan penanggung
memiliki hak subrogasi, apakah wanprestasi atau perbuatan melawan
hukum atau keduanya? Didalam buku-buku mengenai asuransi di
Indonesia, contoh dari kerugian yang diakibatkan oleh pihak ketiga yang
disebutkan seringkali adalah yang disebabkan oleh perbuatan melawan
hukum, seperti dalam ‘Pokok-Pokok Hukum Pertanggungan yang ditulis
oleh Abdul Kadir Muhammad, dan Hukum Asuransi yang ditulis oleh
Kornelius Simanjuntak, Brian Amy Prastyo dan Myra R.B. Setiawan. Dilain
pihak, Ignatius menyatakan bahwa subrogasi dapat timbul karena empat
sebab, yaitu karena perbuatan melawan hukum, wanprestasi, undangundang dan karena menjadi pokok pertanggungan. Berdasarkan hasil
wawancara dengan beberapa praktisi di bidang hukum asuransi, Penulis
menyimpulkan bahwa di Indonesia pun, hak subrogasi penanggung
terhadap pihak ketiga tetap ada, meskipun perbuatan pihak ketiga
tersebut bukanlah PMH, tetapi wanprestasi. Meskipun pada prakteknya
demikian, menurut Penulis, kurangnya penjelasan mengenai hal ini dapat
menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian hukum.
Pada negara-negara common law, penanggung memiliki hak
subrogasi
untuk
menuntut
ganti
rugi
kepada
pihak
ketiga
yang
menyebabkan kerugian tidak hanya dalam bidang tort law (perbuatan
melawan
hukum)
namun
juga
dalam
bidang
hukum
kontrak
(wanprestasi). Hal ini sebagaimana disebutkan oleh John F. Dobbyn dalam
bukunya Insurance Law dan Poh Chu Chai dalam bukunya Law of
Insurance.
Subrogasi yang Terbatas
Subrogasi merupakan suatu hak yang diberikan demi
kepentingan
penanggung
dan
menjaga
agar
asuransi
dimanfaatkan sesuai dengan tujuannya. Namun ternayata
dalam
pelaksanaan
pembatasan.
subrogasi
Contohnya
dalam
ini,
terdapat
beberapa
hal
penanggung
hanya
membayar sebagian kerugian tertanggung, menurut Emmy
Pangaribuan penanggung hanya bisa mensubrogasi sebagian
7
kerugian yang telah dibayarkannya tersebut dari pihak
ketiga, sedangkan untuk hak-hak selebihnya tetap berada
pada tertanggung. Bentuk pembatasan lain dari subrogasi
adalah mengenai hak yang bisa diambil oleh penanggung,
terbatas pada hak-hak dari tertanggung terhadap pihak
ketiga yang ada hubungannya dengan kerugian yang dijamin.
Keberlakuan Prinsip subrogasi
Karena prinsip subrogasi merupakan konsekuensi logis
dari prinsip indemnitas, maka pada umumnya ahli hukum
berpendapat bahwa prinsip subrogasi hanya berlaku untuk
jenis asuransi kerugian. Dorhout Mess menyatakan bahwa
terdapat
dua
alasan
mengapa
kebanyakan
orang
berpendapat bahwa prinsip ini tidak berlaku untuk asuransi
sejumlah uang yaitu Karena tertanggung dalam asuransi jiwa
mendapatkan
pembayaran
sejumlah
uang
yang
tidak
didasarkan pada suatu kerugian tertentu, maka tidak menjadi
soal apakah si tertanggung akan mendapat lebih dari
kerugiannya
Dalam asuransi jiwa tidak terjadi kerugian pada suatu barang
yang dijamin seperti yang disebutkan dalam pasal 284 KUHD.
Namun, Dourhout Mess berpendapat bahwa tidak dapat
secara umum Pasal 284 dinyatakan tidak berlaku bagi
asuransi sejumlah uang, tetapi perlu diteliti asuransi per
asuransi,
apakah
dengan
pembayaran
sejumlah
uang
asuransi, Penanggung benar-benar mengganti suatu kerugian
yang nyata. Dalam prakteknya, ternyata pelaksanaan prinsip
subrogasi ini tidaklah mudah. Beberapa masalah yang
mungkin ditemui penanggung berkaitan dengan subrogasi.
Perbuatan dari Tertanggung yang Merugikan Penanggung
Meskipun telah dilarang oleh Pasal 284 KUHD pada
bagian akhir, pada prakteknya tertanggung masih sering
melakukan
perbuatan-perbuatan
penanggung.
Contohnya,
yang
tertanggung
merugikan
meminta
ganti
kerugian dua kali kepada pihak ketiga, maupun penanggung.
8
Beberapa kemungkinan yang mungkin terjadi dan hal yang
dapat dilakukan oleh penanggung untuk mengatasinya.
Dalam hal pihak ketiga telah memberikan ganti rugi,
namun pihak ketiga sadar bahwa penanggung memiliki hak
subrogasi, maka hak subrogasi penanggung tidak hapus
dengan
adanya
pembayaran
ganti
rugi
tersebut
dan
penanggung masih dapat menuntut ganti rugi kepada pihak
ketiga. Ketidakjujuran tersebut akan dilihat oleh penanggung
untuk menentukan apakah asuransi akan dilanjutkan atau
tidak. Hal ini akan dipertimbangkan oleh penanggung, dan
sangat bergantung pada ada atau tidaknya itikad baik dari
tertanggung. Yang dimaksud itikad baik disini adalah bahwa
ketidakjujuran
tertanggung
adalah
karena
ketidakmengertiannya, bukan karena ingin mendapatkan
keuntungan secara melawan hak.
Kesulitan dalam Melacak Indentitas atau Data Pihak Ketiga
yang Menyebabkan Kerugian
Hal
ini
sering
terjadi,
contohnya
pada
asuransi
kendaraan bermotor, dimana banyak sering terjadi peristiwa
tabrak lari. Pada kasus seperti ini pihak ketiga yang
menyebabkan
kerugian
lolos
dari
kewajibannya
untuk
membayar ganti rugi. Mau tidak mau, penanggung harus
memberikan ganti rugi kepada tertanggung tanpa bisa
melaksanakan hak subrogasinya.
Jumlah Klaim yang Kecil
Seringkali jumlah klaim dan ganti rugi yang diberikan
penanggung kecil, dan dilihat dari pertimbangan ekonomis,
tuntutan ganti rugi kepada pihak ketiga tidak layak dilakukan.
Hal ini karena biasanya biaya yang harus dikeluarkan oleh
penanggung dalam menuntut ganti rugi kepada pihak ketiga
akan lebih besar daripada jumlah klaim atau ganti rugi yang
telah diberikan oleh penanggung.
Proses Pengadilan
9
Hambatan
ini
terjadi
karena
proses
pengadilan
seringkali memakan waktu yang sangat lama, ditambah lagi
biaya pengacara yang tidak murah. Akibatnya, seringkali
penanggung
sangat
selektif
dalam
menggunakan
hak
subrogasinya ini. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara yang
telah penulis lakukan dengan Bapak Krisdianto, Country Head
of Legal– General Counseldari AIG Indonesia. Menurutnya,
dalam melakukan hak subrogasi untuk recovery tersebut,
perusahaan asuransi sangat jarang mengupayakan ganti rugi
dari
pihak
ketiga,
apalagi
sampai
membawanya
ke
pengadilan. Hal ini dikarenakan kemungkinan besar ganti
rugi yang didapatkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk
menuntut ganti rugi di pengadilan tidak sebanding, dimana
biaya yang harus dikeluarkan lebih besar.
Adanya Perjanjian Knock for Knock Agreement
Berdasarkan perjanjian Knock for Knock Agreementatau
ketentuan saling pikul yang ditetapkan oleh Dewan Asuransi
Indonesia
(DAI),
jika
terjadi
tabrakan
yang
dipertanggungkan
Asuransi
Anggota
DAI,
kerusakan/kerugian
maka
kepada
akibat
Perusahaan
perusahaan
tersebut
bertanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh masingmasing nasabahnya, tidak melihat siapa yang bersalah.
Akibat perjanjian ini hak subrogasi hapus. Perjanjian ini
berlaku hanya untuk anggota DAI.
Pengaturan yang Sudah Usang dan Tidak Rinci
Berdasarkan hasil wawancara dengan Krisdianto Cahyo
Nugroho, S.H., LL.M. Country Head of Legal– General
Counseldari AIG dan Bapak Aulya Rachman, Coorporate Legal
Division
Staffdari
menyimpulkan
Asuransi
bahwa
Central
pengaturan
Asia,
asuransi,
Penulis
khususnya
mengenai prinsip-prinsip dasar, termasuk subrogasi, saat ini
sudah usang, tidak rinci, tidak ada pengaturan yang lebih
lanjut dan terlalu umum. Pengaturan yang sangat minim
10
tersebut dapat menimbulkan adanya multi interpretasi.
Indonesia, sebagai negara civil law yang sumber hukum
utamanya
adalah
memerlukan
peraturan
pengaturan
perundang-undangan,
pada
peraturan
perundang-
undangan yang jelas dan rinci agar tidak terjadi multi tafsir
dan kepastian hukum terjamin. Jika hal tersebut masih sulit
untuk dilakukan dalam waktu dekat, satu-satunya hal yang
dapat dilakukan adalah mengatur hal tersebut di dalam polis
secara rinci. Dengan demikian kemungkinan adanya multi
tafsir
terkait
subrogasi
diantara
para
pihak
dalam
pertanggungan dapat diminimalkan.
B. Pengaturan prinsip subrogasi di indonesia dan perbandingan dengan
negara lain
Pengaturan prinsip indemnitas dan subrogasi di negara-negara lain
sudah lebih lengkap dan jelas. Secara singkat, perbandingan pengaturan
prinsip indemnitas dan subrogasi di Indonesia dengan negara lain dapat
digambarkan dengan tabel dibawah ini. Berdasarkan tabel tersebut
terlihat bahwa pengaturan prinsip indemnitas dan subrogasi di Indonesia
masih belum lengkap, dan pada akhirnya dilengkapi oleh berbagai
pendapat dari ahli hukum dan penulis. Indemnitas Indonesia Negara Lain
PengaturannyaTersirat di dalam KUHD Belanda : secara tegas
disebutkan dalam NBW, yaitu pasal 960 NBW. Subrogasi:Indonesia
Negara Lain Pengalihan Hak Menuntut Ganti Kerugian Diatur secara tegas
dalam pasal 284 KUHD Diatur di Kanada, Thailand dan Belanda. Namun
di Kanada, pada beberapa provinsi yaituQuebec, tidak ada hak subrogasi
dan di Ontario di berlakukan secara terbatas TerbatasTidak diatur dalam
KUHD, tetapi dapat ditemukan dalam tulisan Emmy PangaribuanThailand:
Diatur didalam Civil and Commercial Codenya, yaitu dalam pasal 880(2)
Pengaturan terkait jika ganti rugi baru sebagian Tidak diatur didalam
KUHD, namun dapat ditemukan pada tulisan Emmy Pangaribuan. Hak
subrogasi tetap ada, tetapi terbatas pada jumlah ganti rugi yang
penanggung
berikan
kepada
tertanggung.
Thailand
dan
Kanada:
Subrogasi belum ada jika ganti rugi barusebagian. Kanada: Kecuali
11
Asuransi Kendaraan Bermotor + Kebakaran Sistem Pembagian Ganti
Kerugian Tidak diatur dalam KUHD, menurut pendapat Wirjono P & Djoko
P) harus dibagi secara Prorata Kanada, pada salah satu provinsinya, yaitu
Alberta dibagi secara prorata (diatur dalam Section 546 (2) Alberta’s
Insurance Act) Pengaturan tentang pihak-pihak yang dikecualikan Tidak
diatur dalam KUHD Belanda: diatur dalam salah satu pasal di NBW, yaitu
pasal 962(3) Dilakukan atas nama Penanggung sendiri Thailand &
Belanda : Penanggung, Kanada: Tertanggung Perbuatan Pihak Ketiga
Umumnya PMH, ada juga yang berpendapat PMH & Wanprestasi Kanada:
PMH & Wanprestasi Pengaturan Khusus untuk Tiap-Tiap Jenis Asuransi
Tidak diatur dalam KUHD Diatur di Kanada, contohnya pengaturan
khusus di Provinsi Quebec dan Ontario mengenai subrogasi.
Studi
Kasus
Putusan
Pengadilan
Negeri
No.
176/Pdt.G/2011/Jkt.Ut.
Kasus Posisi
Penggugat ( PT. Warna Warni Perdana / Pembeli /
Tertanggung/ Debitur) membeli satu unit mobil dari Tergugat (PT.
Dipo Angkasa Motor / Penjual/ Dealer) dengan fasilitas Perjanjian
Pembiayaan Konsumen (PPK). PT. BCA Finance merupakan
perusahaan pembiayaan yang membiayai pembelian mobil
tersebut (BCAF/ Kreditur). Pihak asuransi juga dilibatkan dalam
PPK tersebut yaitu untuk menutup risiko atas objek PPK.
Perusahaan asuransi yang digunakan adalah PT. ACA (Asuransi/
Penanggung) yang merupakan partner dari BCAF. Lima bulan
setelah pembelian, saat sedang dikemudikan tiba-tiba mobil
mengeluarkan asap dan api yang berasal dari bawah kemudi
mobil dan pada akhirnya mobil terbakar habis. Penggugat
kemudian mengirimkan somasi kepara Tergugat menuntut
pertanggungjawaban.
diabaikan
oleh
Menurut
Tergugat
Penggugat
sehingga
somasi
akhirnya
tersebut
Penggugat
membawa perkara tersebut ke pengadilan. Gugatan Penggugat
didasarkan atas PMH. Pada akhirnya Majelis Hakim mengabulkan
ganti rugi sebesar harga pembelian mobil. Didalam pengadilan
terungkap fakta bahwa ternyata mobil tersebut belum lunas,
12
dan Penggugat masih memiliki kewajiban pelunasan kepada PT.
BCA Finance sebagai kreditur. BCA Finance telah mendapatkan
ganti kerugian dari asuransi.
Analisis
Perjanjian Pembiayaan Konsumen dan Para Pihaknya
Pada
kasus
ini,
Penggugat
membeli
mobil
dengan
menggunakan perjanjian pembiayaan konsumen (PPK). PPK
adalah
kegiatan
berdasarkan
pembiayaan
kebutuhan
untuk
konsumen
pengadaan
dengan
barang
pembayaran
secara angsuran. Pada PPK terdapat tiga pihak yang terikat
yaitu pembeli atau debitur, perusahaan pembiayaan sebagai
kreditur
dan
supplier.
Hubungan
diantara
para
pihak
didasarkan pada perjanjian jual beli bersyarat dan perjanjian
pinjam pakai habis atau kredit. Karena didasarkan pada
perjanjian jual beli dan kredit, pembeli atau debitur sudah
berstatus
sebagai pemilik
dari objek
PPK
saat terjadi
penyerahan. Namun, biasanya objek PPK dijadikan jaminan
fidusia, sehingga seluruh dokumen terkait kepemilikan masih
dipegang oleh kreditur. Hal ini dilakukan untuk menjamin
pelunasan hutang debitur kepada kreditur. Di dalam PPK
Finance pengaturan mengenai fidusia diatur dalam pasal 7.
Jika debitur wanprestasi, maka objek PPK akan disita oleh
kreditur sebagai bentuk pelunasan hutang debitur.
Namun dalam hal terjadi total lost, dimana penyitaan
objek PPK untuk pelunasan tidak mungkin dilakukan, maka
biasanya kreditur akan menggunakan uang ganti rugi dari
asuransi untuk pelunasan hutang debitur tersebut. Disini kita
dapat melihat betapa pentingnya peran asuransi kendaraan
bermotor untuk menutup kerugian atas risiko yang mungkin
terjadi pada kendaraan bermotor yang masih menjadi objek
PPK. Pada objek PPK tersebut, tidak hanya ada kepentingan
debitur, namun juga masih ada kepentingan kreditur atau
perusahaan pembiayaan. Jika debitur tidak mengasuransikan
objek PPK tersebut, maka ia tetap harus membayar sisa
13
angsuran meskipun barangnya sudah musnah. Berdasarkan
ketentuan perjanjian pembiayaan konsumen dari BCAF,
dalam hal terjadi total lost, BCAF berhak menerima ganti
kerugian dari asuransi terlebih dahulu, dan jika ada sisa baru
akan dikembalikan kepada debitur. Pengaturan seperti ini
telah dimasukan ke dalam salah pasal PPK BCAF yaitu dalam
pasal 8 ayat (1) huruf b. Karena ACA merupakan rekanan dari
BCAF maka Penulis mengasumsikan bahwa pengaturan
tersebut telah disebutkan didalam polisnya. Klausula tersebut
di
dalam
dunia
perasuransian
sering
disebut
sebagai
banker’s clause atau klausula kreditur. Ilustrasi PPK antara
Penggugat dengan BCAF dan penggantian kerugian dari ACA
dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut. Angkaangka dibawah ini merupakaan perkiraan dan bukan angka
yang sebenarnya. Besarnya DP, uang muka dan angsuran
perbulan
didapatkan
berdasarkan
simulasi
kredit
pada
website resmi BCAF.
Prinsip Indemnitas
Berdasarkan PPK BCAF dan dengan asumsi bahwa
pengaturan yang serupa telah dicantumkan dalam polis
asuransi ACA, jelas bahwa yang berhak menerima ganti
kerugian terlebih dahulu adalah BCAF sebagai perusahaan
pembiayaan/kreditur
dan
jika
ada
sisa,
yaitu
setelah
Pengaturan diperhitungkan dengan sisa kewajiban debitur,
Penggugat sebagai debitur baru akan mendapatkan sisa
pembayaran
terungkap
klaim.
fakta
Pada
bahwa
pembuktian
ACA
telah
di
pengadilan
menyelesaikan
pembayaran klaim kepada BCAF. Karena ACA merupakan
rekanan
dari
BCAF,
Penulis
mengasumsikan
bahwa
pertanggungan ditutup secara penuh, yaitu sebesar harga
pembelian. Jika ada kerugian, ACA sebagai penanggung akan
membayarkan ganti kerugian secara penuh, sesuai prinsip
indemnitas, yaitu sebesar kerugian aktual yang diderita.
Uang tersebut pasti menutup sisa kewajiban debitur dan
14
pasti akan ada sisa uang klaim yang harus diberikan oleh
BCAF kepada debitur .
Prinsip Subrogasi
Pada pertimbangannya, hakim menyatakan bahwa
asuransi tidak perlu dilibatkan lagi karena antara ganti rugi
asuransi dan tuntutan ganti rugi penggugat tidak ada
hubungannya. Hal ini jelas salah, karena jelas-jelas ada
hubungan diantara keduanya, yaitu pada kerugian. Kerugian
yang menyebabkan asuransi
kepada
BCAF
untuk
membayar ganti kerugian
selanjutnya
diserahkan
kepada
Penggugat, dan kerugian yang menyebabkan Penggugat
menggugat ganti kerugian kepada BCAF adalah kerugian
yang sama, yaitu kerugian atas terbakarnya mobil Objek
PPK/pertanggungan. Atas kerugian yang diakibatkan oleh
terbakarnya mobil, Penggugat mendapatkan ganti kerugian
dua kali, yaitu dari ACA yang telah dibayarkan melalui BCAF
dan dari pihak ketiga/dealer. Berdasarkan pertimbangannya
tersebut, hakim telah jelas-jelas mengenyampingkan hak
subrogasi
yang
dimiliki
asuransi.
Karena,
berdasarkan
lembaga subrogasi, jika ACA telah melakukan pembayaran
ganti kerugian, (dimana hal ini telah dilakukan, sesuai
dengan pembuktian yang ada di pengadilan) yang berhak
menuntut ganti kerugian adalah ACA yaitu berdasarkan
lembaga subrogasi. Hak itu telah ada, meskipun kerugian
yang dibayarkan baru sebagian. Berdasarkan hal tersebut,
jelas
bahwa
Majelis
Hakim
belum
memhami
prinsip
subrogasi, dan karenanya belum bisa menerapkan prinsip
subrogasi dengan baik pada putusannya.
BAB III
A. Kesimpulan
1. Prinsip Subrogasi adalah prinsip yang memungkinkan tertanggung
mendapatkan ganti kerugian atas kerugian yang terjadi, tidak lebih.
Prinsip Subrogasi adalah prinsip yang memungkinkan penanggung
mendapatkan
hak-hak
tertanggung
kepada
pihak
ketiga
yang
15
menyebabkan kerugian. Pengaturan kedua prinsip tersebut masih
mengacu kepada KUHD. Pengaturan Prinsip Indemnitas masih belum
diatur secara tegas (tersirat) sedangkan pengaturan mengenai prinsip
subrogasi perlu diberikan pengaturan lebih lanjut dan rinci, karena
pengaturannya di dalam KUHD masih belum lengkap.
2. Majelis Hakim belum memahami Prinsip Indemnitas dan Subrogasi
dengan baik, dan karenanya belum bisa menerapkan prinsip utama
asuransi tersebut dalam putusan ini.
B. Saran
1. Saran untuk Pemerintah: Perlunya dibentuk pengaturan baru dan/atau
lebih lanjut terkait prinsip-prinsip utama asuransi, termasuk indemnitas
dan subrogasi. Jika pengaturan saat ini masih ingin dipertahankan,
pengaturan
lebih
lanjut
terkait
indemnitas
dan
subrogasi
harus
diperjanjikan dan diatur secara rinci di dalam polis. Hal ini demi
menjamin kepastian hukum dan agar asuransi dapat berjalan sesuai
dengan fungsinya dan tujuan dari perjanjian asuransi dapat tercapai.
2. Saran untuk Penanggung: Penanggung harus memberikan penjelasan
mengenai polis dan memastikan bahwa Tertanggung telah benar-benar
mengerti tentang isi polis sebelum perjanjian asuransi di tandatangani.
Hal ini menurut Penulis memang merupakan kewajiban dari Penanggung
sebagai penyedia jasa asuransi, apalagi biasanya perjanjian asuransi
dibuat secara sepihak oleh Penanggung.
DAFTAR PUSTAKA
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet. 3. Jakarta: UI-Press.
1986.
Sunaryo. Hukum Lembaga Pembiyaaan. Cet. 1. Jakarta: Sinar Grafika. 2008.
16
Fuady, Munir. Hukum tentang Pembiyaan dalam Teori dan Praktek. Bandung:
Citra Aditya Bakti. 1995.
Hartono, Sri Rejeki. Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi. Cet. 4.
Jakarta: Sinar Grafika. 2008.
Muhammad, Abdulkadir. Pokok-Pokok Hukum Pertanggungan. Bandung:
Alumni. 1983
17
Internasional antara Indonesia dengan Negara Kawasan Asia Tenggara
Nama Kelompok :
1. Aldiansyah
2. M. Priyambodo
Dosen
: 8111416327
: 8111416348
: Ridwan Ariffin, S.H., LI.M.
Fakultas Hukum
Universitas Negeri Semarang
2017
1
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA
sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga
mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki
bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami
yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami
sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
2
DAFTAR ISI
BAB 1…………………………………………………………………4
a. Latar Belakang......................................................4
b. Rumusan Masalah.................................................4
c. Metode Penulisan................................................4
BAB II PEMBAHASAN.....................................................5
A. Prinsip Subrogasi di Indonesia.................................5
B. Pengaturan prinsip subrogasi di indonesia
dan perbandingan dengan negara lain..................10
BAB III.........................................................................14
A. Kesimpulan............................................................14
B. Saran.....................................................................14
3
BAB I
a. Latar Belakang
Prinsip indemnitas dan subrogasi merupakan prinsip utama dalam asuransi,
terutama asuransi kerugian, yang harus dipegang teguh agar asuransi dapat
berjalan sesuai dengan tujuannya, yaitu ganti rugi. Salah satu jenis asuransi
kerugian yang berkembang pesat seiring meningkatnya jumlah kendaraan
bermotor dan risiko atasnya adalah asuransi kendaraan bermotor. Sebagian
besar kendaraan bermotor ternyata tidak dibeli secara tunai tetapi dengan
menggunakan fasilitas pembiayaan, seperti perjanjian pembiayaan konsumen
(PPK), yang tidak dapat dipisahkan dari perjanjian asuransi kendaraan
bermotor. Makalah ini akan membahas pengaturan prinsip indemnitas dan
subrogasi di Indonesia, (termasuk perbandingannya dengan beberapa negara
lain),
serta
penerapannya
dalam
putusan
Pengadilan
Negeri
No.
176/Pdt.G/2011/Jkt.Ut yaitu putusan atas gugatan ganti rugi kepada pihak
ketiga atas sebuah mobil, yang masih berada dalam masa PPK dan
pertanggungan. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif, dimana
penulis menggunakan tiga pendekatan yaitu undang-undang, konseptual dan
studi kasus. Selain itu, penulis menggunakan metode analisis kualitatif. Setelah
melakukan perbandingan dan analisis, ternyata pengaturan prinsip indemnitas
dan subrogasi masih belum baik dan Majelis Hakim pada kasus tersebut, belum
memahami dan menerapkan kedua prinsip tersebut. Agar dapat dilaksanakan
dengan baik, maka pengaturan kedua prinsip tersebut harus diperbaharui,
diatur
lebih
lanjut
atau
diperjanjikan
secara
jelas
dalam
polis,
serta
pengetahuan hakim dalam bidang hukum asuransi harus terus ditingkatkan.
b. Rumusan Masalah
1. Apakah prinsip subrogasi di Indonesia?
2. Bagaimana pengaturan prinsip subrogasi di Indonesia dan
perbandingan dengan negara lainnya?
c. Metode Penulisan
1. Sumber dan Jenis Data
4
Data-data yang dipergunakan dalam penyusunan karya tulis
ini berasaldari berbagai literatur kepustakaan yang berkaitan
dengan permasalahan yang dibahas. Beberapa jenis referensi
utama yang digunakan adalah buku pelajaran, jurnal imiah
edisi cetaak. Jenis data yang diperoleh variatif, bersifat
kualitatif maupun kuantitatif.
2. Pengumpulan Data
Metode
penulisan
bersifat
studi
pustaka.
Informasi
didapatkan dariberbagai literatur dan disusun berdasarkan
hasil
studi
diupayakan
dari
saling
informasi
terkait
yangdiperoleh.
antar
satu
sama
Penulisan
lain
dan
sesuaidengan topik yang dibahas.
3. Analisis Data
Data yang terkumpul diseleksi dan diurutkan sesuai dengan
topik kajian.Kemudian dilakukan penyusunan karya tulis
berdasarkan data yang telahdipersiapkan secara logis dan
sistematis.
Teknik
analisis
data
bersifat
deskriptif argumentatif.
BAB II PEMBAHASAN
A. Prinsip Subrogasi di Indonesia
Subrogasi secara umum dapat diartikan sebagai penggantian hakhak kreditur oleh seorang pihak ketiga, yang membayar kepada kreditur
tersebut. Dari pengertian tersebut jelas bahwa subrogasi muncul sebagai
akibat pembayaran yang dilakukan oleh pihak ketiga kepada kreditur. Di
dalam asuransi, yang dimaksud kreditur adalah tertanggung, debitur
adalah pihak ketiga yang menyebabkan kerugian dan hak-hak yang
beralih adalah hak-hak menuntut ganti kerugian dari pihak ketiga.
Subrogasi diatur dalam 1400-1403 KUHPer dan 284 KUHD. Namun,
pengaturan di dalam KUHPer berlaku untuk perjanjian pada umumnya,
sedangkan pengaturan untuk asuransi mengacu kepada pengaturan di
5
KUHD.
Karena
pengaturan subrogasi pada
pasal
284
KUHD lah,
penanggung dapat melakukan subrogasi, meskipun hal tersebut tidak
diperjanjikan dalam perjanjian asuransi dan dicantumkan dalam polis.
Beberapa
penulis
seperti
Abdulkadir
Muhammad,
dan
Wirjono
Prodjodikoro menyatakan akibat pengaturan yang khusus ini, pengaturan
umum didalam KUHPer sudah tidak berlaku lagi untuk perjanjian
asuransi. Subrogasi pada asuransi muncul sebagai konsekuensi logis
prinsip indemnitas, yaitu agar prinsip indemnitas dapat terlaksana
dengan baik, dan untuk menghindari adanya ketidakadilan-ketidakadilan
yang mungkin timbul dengan adanya penggantian kerugian oleh asuransi
dan pihak ketiga, yaitu saat kerugian yang dipertanggungkan diakibatkan
oleh
pihak
ketiga.
Jika
kerugian
yang
diderita
oleh
tertanggung
diakibatkan oleh pihak ketiga, maka tertanggung memiliki dua sumber
ganti kerugian yaitu penanggung dan pihak ketiga yang menyebabkan
kerugian. Jika hal tersebut terjadi, maka ada kemungkinan tertanggung
akan diuntungkan, dan hal ini tentunya bertentangan dengan prinsip
indemnitas. Namun jika pihak ketiga dibebaskan begitu saja hal tersebut
juga dirasakan tidak adil. Untuk menghindari ketidakadilan-ketidakadilan
tersebut munculah pengaturan subrogasi dalam asuransi.
Munculnya hak subrogasi
Subrogasi
muncul
akibat
adanya
pembayaran,
namun
berdasarkan pengaturan pada pasal 284 KUHD terdapat dua
syarat lain yang harus terpenuhi agar subrogasi dalam
pertanggungan dapat berlaku.
Tertanggung mempunyai hak terhadap penanggung terhadap
pihak ketiga
Adanya hak tersebut karena timbulnya kerugian sebagai
akibat dari perbuatan pihak ketiga.
Jika kedua faktor tersebut terpenuhi dan penanggung telah
membayar ganti rugi kepada tertanggung maka saat itu subrogasi
muncul. Namun, menurut Penulis penjelasan mengenai kedua faktor
tersebut belum memadai khususnya mengenai perbuatan pihak ketiga
yang merugikan tertanggung. Seperti yang kita tahu, dalam hukum acara
perdata gugatan ganti rugi dapat dilakukan berdasarkan wanprestasi
6
maupun perbuatan melawan hukum. Berkaitan dengan pengaturan
subrogasi pada pasal 284 KUHD tidak dijelaskan ruang lingkup perbuatan
pihak ketiga yang seperti apakah yang menyebabkan penanggung
memiliki hak subrogasi, apakah wanprestasi atau perbuatan melawan
hukum atau keduanya? Didalam buku-buku mengenai asuransi di
Indonesia, contoh dari kerugian yang diakibatkan oleh pihak ketiga yang
disebutkan seringkali adalah yang disebabkan oleh perbuatan melawan
hukum, seperti dalam ‘Pokok-Pokok Hukum Pertanggungan yang ditulis
oleh Abdul Kadir Muhammad, dan Hukum Asuransi yang ditulis oleh
Kornelius Simanjuntak, Brian Amy Prastyo dan Myra R.B. Setiawan. Dilain
pihak, Ignatius menyatakan bahwa subrogasi dapat timbul karena empat
sebab, yaitu karena perbuatan melawan hukum, wanprestasi, undangundang dan karena menjadi pokok pertanggungan. Berdasarkan hasil
wawancara dengan beberapa praktisi di bidang hukum asuransi, Penulis
menyimpulkan bahwa di Indonesia pun, hak subrogasi penanggung
terhadap pihak ketiga tetap ada, meskipun perbuatan pihak ketiga
tersebut bukanlah PMH, tetapi wanprestasi. Meskipun pada prakteknya
demikian, menurut Penulis, kurangnya penjelasan mengenai hal ini dapat
menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian hukum.
Pada negara-negara common law, penanggung memiliki hak
subrogasi
untuk
menuntut
ganti
rugi
kepada
pihak
ketiga
yang
menyebabkan kerugian tidak hanya dalam bidang tort law (perbuatan
melawan
hukum)
namun
juga
dalam
bidang
hukum
kontrak
(wanprestasi). Hal ini sebagaimana disebutkan oleh John F. Dobbyn dalam
bukunya Insurance Law dan Poh Chu Chai dalam bukunya Law of
Insurance.
Subrogasi yang Terbatas
Subrogasi merupakan suatu hak yang diberikan demi
kepentingan
penanggung
dan
menjaga
agar
asuransi
dimanfaatkan sesuai dengan tujuannya. Namun ternayata
dalam
pelaksanaan
pembatasan.
subrogasi
Contohnya
dalam
ini,
terdapat
beberapa
hal
penanggung
hanya
membayar sebagian kerugian tertanggung, menurut Emmy
Pangaribuan penanggung hanya bisa mensubrogasi sebagian
7
kerugian yang telah dibayarkannya tersebut dari pihak
ketiga, sedangkan untuk hak-hak selebihnya tetap berada
pada tertanggung. Bentuk pembatasan lain dari subrogasi
adalah mengenai hak yang bisa diambil oleh penanggung,
terbatas pada hak-hak dari tertanggung terhadap pihak
ketiga yang ada hubungannya dengan kerugian yang dijamin.
Keberlakuan Prinsip subrogasi
Karena prinsip subrogasi merupakan konsekuensi logis
dari prinsip indemnitas, maka pada umumnya ahli hukum
berpendapat bahwa prinsip subrogasi hanya berlaku untuk
jenis asuransi kerugian. Dorhout Mess menyatakan bahwa
terdapat
dua
alasan
mengapa
kebanyakan
orang
berpendapat bahwa prinsip ini tidak berlaku untuk asuransi
sejumlah uang yaitu Karena tertanggung dalam asuransi jiwa
mendapatkan
pembayaran
sejumlah
uang
yang
tidak
didasarkan pada suatu kerugian tertentu, maka tidak menjadi
soal apakah si tertanggung akan mendapat lebih dari
kerugiannya
Dalam asuransi jiwa tidak terjadi kerugian pada suatu barang
yang dijamin seperti yang disebutkan dalam pasal 284 KUHD.
Namun, Dourhout Mess berpendapat bahwa tidak dapat
secara umum Pasal 284 dinyatakan tidak berlaku bagi
asuransi sejumlah uang, tetapi perlu diteliti asuransi per
asuransi,
apakah
dengan
pembayaran
sejumlah
uang
asuransi, Penanggung benar-benar mengganti suatu kerugian
yang nyata. Dalam prakteknya, ternyata pelaksanaan prinsip
subrogasi ini tidaklah mudah. Beberapa masalah yang
mungkin ditemui penanggung berkaitan dengan subrogasi.
Perbuatan dari Tertanggung yang Merugikan Penanggung
Meskipun telah dilarang oleh Pasal 284 KUHD pada
bagian akhir, pada prakteknya tertanggung masih sering
melakukan
perbuatan-perbuatan
penanggung.
Contohnya,
yang
tertanggung
merugikan
meminta
ganti
kerugian dua kali kepada pihak ketiga, maupun penanggung.
8
Beberapa kemungkinan yang mungkin terjadi dan hal yang
dapat dilakukan oleh penanggung untuk mengatasinya.
Dalam hal pihak ketiga telah memberikan ganti rugi,
namun pihak ketiga sadar bahwa penanggung memiliki hak
subrogasi, maka hak subrogasi penanggung tidak hapus
dengan
adanya
pembayaran
ganti
rugi
tersebut
dan
penanggung masih dapat menuntut ganti rugi kepada pihak
ketiga. Ketidakjujuran tersebut akan dilihat oleh penanggung
untuk menentukan apakah asuransi akan dilanjutkan atau
tidak. Hal ini akan dipertimbangkan oleh penanggung, dan
sangat bergantung pada ada atau tidaknya itikad baik dari
tertanggung. Yang dimaksud itikad baik disini adalah bahwa
ketidakjujuran
tertanggung
adalah
karena
ketidakmengertiannya, bukan karena ingin mendapatkan
keuntungan secara melawan hak.
Kesulitan dalam Melacak Indentitas atau Data Pihak Ketiga
yang Menyebabkan Kerugian
Hal
ini
sering
terjadi,
contohnya
pada
asuransi
kendaraan bermotor, dimana banyak sering terjadi peristiwa
tabrak lari. Pada kasus seperti ini pihak ketiga yang
menyebabkan
kerugian
lolos
dari
kewajibannya
untuk
membayar ganti rugi. Mau tidak mau, penanggung harus
memberikan ganti rugi kepada tertanggung tanpa bisa
melaksanakan hak subrogasinya.
Jumlah Klaim yang Kecil
Seringkali jumlah klaim dan ganti rugi yang diberikan
penanggung kecil, dan dilihat dari pertimbangan ekonomis,
tuntutan ganti rugi kepada pihak ketiga tidak layak dilakukan.
Hal ini karena biasanya biaya yang harus dikeluarkan oleh
penanggung dalam menuntut ganti rugi kepada pihak ketiga
akan lebih besar daripada jumlah klaim atau ganti rugi yang
telah diberikan oleh penanggung.
Proses Pengadilan
9
Hambatan
ini
terjadi
karena
proses
pengadilan
seringkali memakan waktu yang sangat lama, ditambah lagi
biaya pengacara yang tidak murah. Akibatnya, seringkali
penanggung
sangat
selektif
dalam
menggunakan
hak
subrogasinya ini. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara yang
telah penulis lakukan dengan Bapak Krisdianto, Country Head
of Legal– General Counseldari AIG Indonesia. Menurutnya,
dalam melakukan hak subrogasi untuk recovery tersebut,
perusahaan asuransi sangat jarang mengupayakan ganti rugi
dari
pihak
ketiga,
apalagi
sampai
membawanya
ke
pengadilan. Hal ini dikarenakan kemungkinan besar ganti
rugi yang didapatkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk
menuntut ganti rugi di pengadilan tidak sebanding, dimana
biaya yang harus dikeluarkan lebih besar.
Adanya Perjanjian Knock for Knock Agreement
Berdasarkan perjanjian Knock for Knock Agreementatau
ketentuan saling pikul yang ditetapkan oleh Dewan Asuransi
Indonesia
(DAI),
jika
terjadi
tabrakan
yang
dipertanggungkan
Asuransi
Anggota
DAI,
kerusakan/kerugian
maka
kepada
akibat
Perusahaan
perusahaan
tersebut
bertanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh masingmasing nasabahnya, tidak melihat siapa yang bersalah.
Akibat perjanjian ini hak subrogasi hapus. Perjanjian ini
berlaku hanya untuk anggota DAI.
Pengaturan yang Sudah Usang dan Tidak Rinci
Berdasarkan hasil wawancara dengan Krisdianto Cahyo
Nugroho, S.H., LL.M. Country Head of Legal– General
Counseldari AIG dan Bapak Aulya Rachman, Coorporate Legal
Division
Staffdari
menyimpulkan
Asuransi
bahwa
Central
pengaturan
Asia,
asuransi,
Penulis
khususnya
mengenai prinsip-prinsip dasar, termasuk subrogasi, saat ini
sudah usang, tidak rinci, tidak ada pengaturan yang lebih
lanjut dan terlalu umum. Pengaturan yang sangat minim
10
tersebut dapat menimbulkan adanya multi interpretasi.
Indonesia, sebagai negara civil law yang sumber hukum
utamanya
adalah
memerlukan
peraturan
pengaturan
perundang-undangan,
pada
peraturan
perundang-
undangan yang jelas dan rinci agar tidak terjadi multi tafsir
dan kepastian hukum terjamin. Jika hal tersebut masih sulit
untuk dilakukan dalam waktu dekat, satu-satunya hal yang
dapat dilakukan adalah mengatur hal tersebut di dalam polis
secara rinci. Dengan demikian kemungkinan adanya multi
tafsir
terkait
subrogasi
diantara
para
pihak
dalam
pertanggungan dapat diminimalkan.
B. Pengaturan prinsip subrogasi di indonesia dan perbandingan dengan
negara lain
Pengaturan prinsip indemnitas dan subrogasi di negara-negara lain
sudah lebih lengkap dan jelas. Secara singkat, perbandingan pengaturan
prinsip indemnitas dan subrogasi di Indonesia dengan negara lain dapat
digambarkan dengan tabel dibawah ini. Berdasarkan tabel tersebut
terlihat bahwa pengaturan prinsip indemnitas dan subrogasi di Indonesia
masih belum lengkap, dan pada akhirnya dilengkapi oleh berbagai
pendapat dari ahli hukum dan penulis. Indemnitas Indonesia Negara Lain
PengaturannyaTersirat di dalam KUHD Belanda : secara tegas
disebutkan dalam NBW, yaitu pasal 960 NBW. Subrogasi:Indonesia
Negara Lain Pengalihan Hak Menuntut Ganti Kerugian Diatur secara tegas
dalam pasal 284 KUHD Diatur di Kanada, Thailand dan Belanda. Namun
di Kanada, pada beberapa provinsi yaituQuebec, tidak ada hak subrogasi
dan di Ontario di berlakukan secara terbatas TerbatasTidak diatur dalam
KUHD, tetapi dapat ditemukan dalam tulisan Emmy PangaribuanThailand:
Diatur didalam Civil and Commercial Codenya, yaitu dalam pasal 880(2)
Pengaturan terkait jika ganti rugi baru sebagian Tidak diatur didalam
KUHD, namun dapat ditemukan pada tulisan Emmy Pangaribuan. Hak
subrogasi tetap ada, tetapi terbatas pada jumlah ganti rugi yang
penanggung
berikan
kepada
tertanggung.
Thailand
dan
Kanada:
Subrogasi belum ada jika ganti rugi barusebagian. Kanada: Kecuali
11
Asuransi Kendaraan Bermotor + Kebakaran Sistem Pembagian Ganti
Kerugian Tidak diatur dalam KUHD, menurut pendapat Wirjono P & Djoko
P) harus dibagi secara Prorata Kanada, pada salah satu provinsinya, yaitu
Alberta dibagi secara prorata (diatur dalam Section 546 (2) Alberta’s
Insurance Act) Pengaturan tentang pihak-pihak yang dikecualikan Tidak
diatur dalam KUHD Belanda: diatur dalam salah satu pasal di NBW, yaitu
pasal 962(3) Dilakukan atas nama Penanggung sendiri Thailand &
Belanda : Penanggung, Kanada: Tertanggung Perbuatan Pihak Ketiga
Umumnya PMH, ada juga yang berpendapat PMH & Wanprestasi Kanada:
PMH & Wanprestasi Pengaturan Khusus untuk Tiap-Tiap Jenis Asuransi
Tidak diatur dalam KUHD Diatur di Kanada, contohnya pengaturan
khusus di Provinsi Quebec dan Ontario mengenai subrogasi.
Studi
Kasus
Putusan
Pengadilan
Negeri
No.
176/Pdt.G/2011/Jkt.Ut.
Kasus Posisi
Penggugat ( PT. Warna Warni Perdana / Pembeli /
Tertanggung/ Debitur) membeli satu unit mobil dari Tergugat (PT.
Dipo Angkasa Motor / Penjual/ Dealer) dengan fasilitas Perjanjian
Pembiayaan Konsumen (PPK). PT. BCA Finance merupakan
perusahaan pembiayaan yang membiayai pembelian mobil
tersebut (BCAF/ Kreditur). Pihak asuransi juga dilibatkan dalam
PPK tersebut yaitu untuk menutup risiko atas objek PPK.
Perusahaan asuransi yang digunakan adalah PT. ACA (Asuransi/
Penanggung) yang merupakan partner dari BCAF. Lima bulan
setelah pembelian, saat sedang dikemudikan tiba-tiba mobil
mengeluarkan asap dan api yang berasal dari bawah kemudi
mobil dan pada akhirnya mobil terbakar habis. Penggugat
kemudian mengirimkan somasi kepara Tergugat menuntut
pertanggungjawaban.
diabaikan
oleh
Menurut
Tergugat
Penggugat
sehingga
somasi
akhirnya
tersebut
Penggugat
membawa perkara tersebut ke pengadilan. Gugatan Penggugat
didasarkan atas PMH. Pada akhirnya Majelis Hakim mengabulkan
ganti rugi sebesar harga pembelian mobil. Didalam pengadilan
terungkap fakta bahwa ternyata mobil tersebut belum lunas,
12
dan Penggugat masih memiliki kewajiban pelunasan kepada PT.
BCA Finance sebagai kreditur. BCA Finance telah mendapatkan
ganti kerugian dari asuransi.
Analisis
Perjanjian Pembiayaan Konsumen dan Para Pihaknya
Pada
kasus
ini,
Penggugat
membeli
mobil
dengan
menggunakan perjanjian pembiayaan konsumen (PPK). PPK
adalah
kegiatan
berdasarkan
pembiayaan
kebutuhan
untuk
konsumen
pengadaan
dengan
barang
pembayaran
secara angsuran. Pada PPK terdapat tiga pihak yang terikat
yaitu pembeli atau debitur, perusahaan pembiayaan sebagai
kreditur
dan
supplier.
Hubungan
diantara
para
pihak
didasarkan pada perjanjian jual beli bersyarat dan perjanjian
pinjam pakai habis atau kredit. Karena didasarkan pada
perjanjian jual beli dan kredit, pembeli atau debitur sudah
berstatus
sebagai pemilik
dari objek
PPK
saat terjadi
penyerahan. Namun, biasanya objek PPK dijadikan jaminan
fidusia, sehingga seluruh dokumen terkait kepemilikan masih
dipegang oleh kreditur. Hal ini dilakukan untuk menjamin
pelunasan hutang debitur kepada kreditur. Di dalam PPK
Finance pengaturan mengenai fidusia diatur dalam pasal 7.
Jika debitur wanprestasi, maka objek PPK akan disita oleh
kreditur sebagai bentuk pelunasan hutang debitur.
Namun dalam hal terjadi total lost, dimana penyitaan
objek PPK untuk pelunasan tidak mungkin dilakukan, maka
biasanya kreditur akan menggunakan uang ganti rugi dari
asuransi untuk pelunasan hutang debitur tersebut. Disini kita
dapat melihat betapa pentingnya peran asuransi kendaraan
bermotor untuk menutup kerugian atas risiko yang mungkin
terjadi pada kendaraan bermotor yang masih menjadi objek
PPK. Pada objek PPK tersebut, tidak hanya ada kepentingan
debitur, namun juga masih ada kepentingan kreditur atau
perusahaan pembiayaan. Jika debitur tidak mengasuransikan
objek PPK tersebut, maka ia tetap harus membayar sisa
13
angsuran meskipun barangnya sudah musnah. Berdasarkan
ketentuan perjanjian pembiayaan konsumen dari BCAF,
dalam hal terjadi total lost, BCAF berhak menerima ganti
kerugian dari asuransi terlebih dahulu, dan jika ada sisa baru
akan dikembalikan kepada debitur. Pengaturan seperti ini
telah dimasukan ke dalam salah pasal PPK BCAF yaitu dalam
pasal 8 ayat (1) huruf b. Karena ACA merupakan rekanan dari
BCAF maka Penulis mengasumsikan bahwa pengaturan
tersebut telah disebutkan didalam polisnya. Klausula tersebut
di
dalam
dunia
perasuransian
sering
disebut
sebagai
banker’s clause atau klausula kreditur. Ilustrasi PPK antara
Penggugat dengan BCAF dan penggantian kerugian dari ACA
dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut. Angkaangka dibawah ini merupakaan perkiraan dan bukan angka
yang sebenarnya. Besarnya DP, uang muka dan angsuran
perbulan
didapatkan
berdasarkan
simulasi
kredit
pada
website resmi BCAF.
Prinsip Indemnitas
Berdasarkan PPK BCAF dan dengan asumsi bahwa
pengaturan yang serupa telah dicantumkan dalam polis
asuransi ACA, jelas bahwa yang berhak menerima ganti
kerugian terlebih dahulu adalah BCAF sebagai perusahaan
pembiayaan/kreditur
dan
jika
ada
sisa,
yaitu
setelah
Pengaturan diperhitungkan dengan sisa kewajiban debitur,
Penggugat sebagai debitur baru akan mendapatkan sisa
pembayaran
terungkap
klaim.
fakta
Pada
bahwa
pembuktian
ACA
telah
di
pengadilan
menyelesaikan
pembayaran klaim kepada BCAF. Karena ACA merupakan
rekanan
dari
BCAF,
Penulis
mengasumsikan
bahwa
pertanggungan ditutup secara penuh, yaitu sebesar harga
pembelian. Jika ada kerugian, ACA sebagai penanggung akan
membayarkan ganti kerugian secara penuh, sesuai prinsip
indemnitas, yaitu sebesar kerugian aktual yang diderita.
Uang tersebut pasti menutup sisa kewajiban debitur dan
14
pasti akan ada sisa uang klaim yang harus diberikan oleh
BCAF kepada debitur .
Prinsip Subrogasi
Pada pertimbangannya, hakim menyatakan bahwa
asuransi tidak perlu dilibatkan lagi karena antara ganti rugi
asuransi dan tuntutan ganti rugi penggugat tidak ada
hubungannya. Hal ini jelas salah, karena jelas-jelas ada
hubungan diantara keduanya, yaitu pada kerugian. Kerugian
yang menyebabkan asuransi
kepada
BCAF
untuk
membayar ganti kerugian
selanjutnya
diserahkan
kepada
Penggugat, dan kerugian yang menyebabkan Penggugat
menggugat ganti kerugian kepada BCAF adalah kerugian
yang sama, yaitu kerugian atas terbakarnya mobil Objek
PPK/pertanggungan. Atas kerugian yang diakibatkan oleh
terbakarnya mobil, Penggugat mendapatkan ganti kerugian
dua kali, yaitu dari ACA yang telah dibayarkan melalui BCAF
dan dari pihak ketiga/dealer. Berdasarkan pertimbangannya
tersebut, hakim telah jelas-jelas mengenyampingkan hak
subrogasi
yang
dimiliki
asuransi.
Karena,
berdasarkan
lembaga subrogasi, jika ACA telah melakukan pembayaran
ganti kerugian, (dimana hal ini telah dilakukan, sesuai
dengan pembuktian yang ada di pengadilan) yang berhak
menuntut ganti kerugian adalah ACA yaitu berdasarkan
lembaga subrogasi. Hak itu telah ada, meskipun kerugian
yang dibayarkan baru sebagian. Berdasarkan hal tersebut,
jelas
bahwa
Majelis
Hakim
belum
memhami
prinsip
subrogasi, dan karenanya belum bisa menerapkan prinsip
subrogasi dengan baik pada putusannya.
BAB III
A. Kesimpulan
1. Prinsip Subrogasi adalah prinsip yang memungkinkan tertanggung
mendapatkan ganti kerugian atas kerugian yang terjadi, tidak lebih.
Prinsip Subrogasi adalah prinsip yang memungkinkan penanggung
mendapatkan
hak-hak
tertanggung
kepada
pihak
ketiga
yang
15
menyebabkan kerugian. Pengaturan kedua prinsip tersebut masih
mengacu kepada KUHD. Pengaturan Prinsip Indemnitas masih belum
diatur secara tegas (tersirat) sedangkan pengaturan mengenai prinsip
subrogasi perlu diberikan pengaturan lebih lanjut dan rinci, karena
pengaturannya di dalam KUHD masih belum lengkap.
2. Majelis Hakim belum memahami Prinsip Indemnitas dan Subrogasi
dengan baik, dan karenanya belum bisa menerapkan prinsip utama
asuransi tersebut dalam putusan ini.
B. Saran
1. Saran untuk Pemerintah: Perlunya dibentuk pengaturan baru dan/atau
lebih lanjut terkait prinsip-prinsip utama asuransi, termasuk indemnitas
dan subrogasi. Jika pengaturan saat ini masih ingin dipertahankan,
pengaturan
lebih
lanjut
terkait
indemnitas
dan
subrogasi
harus
diperjanjikan dan diatur secara rinci di dalam polis. Hal ini demi
menjamin kepastian hukum dan agar asuransi dapat berjalan sesuai
dengan fungsinya dan tujuan dari perjanjian asuransi dapat tercapai.
2. Saran untuk Penanggung: Penanggung harus memberikan penjelasan
mengenai polis dan memastikan bahwa Tertanggung telah benar-benar
mengerti tentang isi polis sebelum perjanjian asuransi di tandatangani.
Hal ini menurut Penulis memang merupakan kewajiban dari Penanggung
sebagai penyedia jasa asuransi, apalagi biasanya perjanjian asuransi
dibuat secara sepihak oleh Penanggung.
DAFTAR PUSTAKA
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet. 3. Jakarta: UI-Press.
1986.
Sunaryo. Hukum Lembaga Pembiyaaan. Cet. 1. Jakarta: Sinar Grafika. 2008.
16
Fuady, Munir. Hukum tentang Pembiyaan dalam Teori dan Praktek. Bandung:
Citra Aditya Bakti. 1995.
Hartono, Sri Rejeki. Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi. Cet. 4.
Jakarta: Sinar Grafika. 2008.
Muhammad, Abdulkadir. Pokok-Pokok Hukum Pertanggungan. Bandung:
Alumni. 1983
17