Uni Eropa dalam Ujian Baru

Uni Eropa dalam Ujian Baru
Aspin Nur Arifin Rivai
Selebrasi globalisasi ditandai oleh pendalaman dan perluasan regionalisme. Salah satu
model regionalisme paling unggul diantara yang lain ialah Uni Eropa. Di hadapan
masyarakat internasional, kehadiran Uni Eropa disebut-sebut sebagai kekuatan yang amat
dahsyat pasca perang dingin. Keanggotaan yang telah mencapai 28 negara, yang hampir
kesemuanya memiliki kapabilitas dan postur ekonomi tinggi. Di tengah kemampuannya
membentuk “dunia baru” – yang hampir lagi menihilkan kedaulatan negara, kali ini Uni
Eropa menemukan fase sulit.
Saat ini, UE telah dilanda oleh berbagai ancaman yang turut mengusik semangat
regionalisme yang tengah terbangun. Hal tersebut menyangkut penurunan nilai
perdagangan kawasan, persoalan imigran, isu identitas dan kedaulatan, krisis hutang
Yunani, dsb. Persoalan yang bermunculan dipandang sebagai peristiwa “Perfect Strom”.
Tidak berhenti disitu saja, tahun 2016 lalu Inggris telah menarik diri dalam keanggotaan Uni
Eropa yang dikenal sebagai peristiwa “Brexit”., kemudian memanaskan sumbu populisme
yang digiring oleh faksi politik untuk keluar dari UE. Peristiwa demi peristiwa telah
menjadi episode yang mengarah pada kekhawatiran regionalism yang mengarah pada
kerapuhan (fragile regionalism).
Tulisan ini pada mulanya memproblematisasi Uni Eropa paskah krisis finansial, kemudian
memahami implikasi ekonomi-politik maupun sosial. Dua implikasi lambat laun
mempertaruhkan tatanan regionalisme yang telah terbangun.

Kondisi Ekonomi Regional
Krisis utang di wilayah eropa telah membawa babak baru pada penanganan krisis. Pada
mulanya UE disebut sebagai kekuatan dan penyeimbang yang turut mempengarahi
struktur ekonomi global, justru terseok dalam mengobati krisis yang berlangsung. Krisis ini
dianggap sebagai disparitas pertumbuhan ekonomi dianatara negara anggota yang
memiliki gap besar antara klasifikasi negara maju dan negara berkembang – seperti Yunani.
Tidak menunggu waktu lama, Yunani mengalami kredit macet yang kemudian berdampak
luas bagi negara-negara lainnya. Di tengah rundungan krisis yang ada, solidaritas diantara
negara-negara anggota memperlihatkan kondisi yang sibuk mengurusi rumah tangganya
masing-masing. Watak regionalisme masih saja sulit menutup jangkauan peran negara.
Perbedaan kepentingan nasional terus bermunculan diantara negara-negara superior seperti
Perancis, Jerman, dan Inggris kala itu.
Turbulensi ekonomi regional di tahun 2008 hingga saat ini belum memperlihatkan
kestabilan penuh. Luka yang ada justru semakin membesar dan terus dikhwatirkan oleh
berbagai negara anggota maupun masyarakat global. Matthew Lynn seorang kolumnis
Blomberg dalam buku Bust Greece, the Euro, and the Sovereign Debt Crisis menyebut bahwa
kelambatan penyelesaian krisis di zona eropa akibat terlambatnya terlambatnya para
petinggi-petinggi di UE dalam menyadari kondisi keuangan Yunani yang sudah tidak
Dinamika Ekonomi Politik Internasional


1

mampu membayar jatuh tempo atas beban hutang (Lynn, 2011). Sementara itu, negaranegara superior justru tidak memperlihatkan solidaritasnya, seperti Inggris dan Perancis
terhadap kondisi yang berlangsung . Kolektifitas regional dalam ruang idealitas mengalami
kehilangan, akibat realita telah membuka sikap penihilan dari solidaritas.
UE sedang berada pada konsolidasi totalitas regional yang bukan hanya berkutat pada
legitimasi membentuk penyatuan ekonomi kawasan, tetapi telah berusaha merawat
optimisme political union. Celakanya, imaji tersebut harus berhadapan pada nilai kolektifitas
sosial dan politiknya yang melampaui nilai ekonomi. Artinya, nilai sosial-politik sangat
immaterial, sedangkan nilai kedua bersifat material. Solidaritas mengalami penihilan akibat
paradoks definisi negara dalam bingkai regional. Krugmann menyebut memburuknya
perekonomian di kawasan UE yakni hilangnya kemampuan negara untuk menentukan
kebijakan ekonomi yang tepat dalam momen krisis sehingga Yunani terus terjerembap
dalam kubangan luka yang mendalam. Penjelasan ini menggambarkan peristiwa negara
dalam regionalisme ada pada sikap mengembalikan negara atau tidak. Sama halnya dengan
AS yang sangat dikenal sebagai pengembang poros kapitalisme global yang dimana
penihilan negara dalam proses ekonomi, namun saat krisis 2008 justru AS diam-diam
melakukan intervensi yang dikenal “bail out”.
Dalam sudut kompetensi fiscal di UE mengalami kekurangan yang pada akhirnya krisis
finansial terus mengalami perpanjangan. De Grauwe memandang bahwa keengganan

negara-negara anggota menyerahkan kompetensi nasional dalam hal kebijakan fiscal
mengimplementasikan bahwa UE dikonstruksi diatas sebuah idealitas kesatuan moneter
(monetary union) (Grauwe, 2013). Artinya, regionalism ekonomi sendiri mengalami sedikit
friksi. Selain itu, UE sendiri memeliki kekeliruan dengan tidak menghiraukan kebijakan
fiscal kawasan. Terdapat alasan menjawab asumsi tadi yaitu kurangnya keselarasan antara
kebijakan ekonomi dan kebijakan fiscal, jelasnya perekonomian dikawasan ini menemukan
jurang pembeda yaitu keinginan menjaga fleksibilitas kebijakan nasional, sedangkan pada
saat yang bersamaan kebutuhan menjaga kordinasi dan kedisiplinan fiscal kawasan.
Problema penyatuan sistem moneter telah disebut oleh Joseph Stiglitz sebagai jalan menuju
ancaman di hari esok. Melalui bukunya Stiglitz menjatuhkan kritik yang menilai UE hanya
sekedar proyek politik ketimbang proyek ekonomi (Stiglitz, 2017). Asumsi Stiglitz memang
bersikap pesimis, tanpa ragu-ragu melihat krisis euro hanyalah soal waktu. Episode kedepan
UE akan menghadapi krisis-kiris baru. Pandangan Stiglitz boleh jadi alaram bahwa
regionalisme dengan dasar “penyatuan” ekonomi ditunggangi oleh orientasi politik akan
cacat dihari esok.
De-regionalisasi?
Setelah badai krisis berangsur pulih, tetapi tidak signifikan , UE harus berjibaku kembali
dalam krisis politik. Ketidak-signifikan muncul dari fakta yaitu hanya Jerman semata yang
dinilai suskses dalam keluar dari efek domino krisis finansial, akan tetapi kebijakan
fiskalnya cenderung tidak cukup fleksibel dalam menghadapi keadaan buruk. Semenjak

tahun 2007, ekonomi jerman hanya tumbuh 6.8% yang berarti pertumbuhan selang krisis

Dinamika Ekonomi Politik Internasional

2

hanya 0.8%. Di sampig itu, berbagai muncul gerakan resisten yang menyuarakan kembali
identitas kolektif yang selama ini terdiam dalam ruang regionalism.
Narasi krisis 2008 secara sistemik membongkar optimisme UE. Antagonisme politik
berusaha menyembunyikan dirinya demi impian keuntungan ekonomi. Kali ini, pasca krisis
menampakkan wajah politik yang menunggangi keadaan diatas ekonomi. Integrasi
ekonomi hanya akan relevan pada integrasi politik jika integrasi ekonomi tersebut sukses
dan memberi keuntungan bagi seluruh anggota-angota. Jika yang terjadi sebaliknya, maka
integrasi tersebut hanya menimbulkan krisis politik dikarenakan berbagai sikap domestik
(negara) yang berbeda menjadi subjek dari tekanan politik yang berbeda-beda dan akhirnya
menciptakan sebuah konflik politik.
Momentum persilangan skeptisme regionalism untuk faksi tersebut terjadi dengan
menunggu momen atau membentuk peristiwa sebagai agenda politik. Keinginan UE dalam
mengintegrasikan ekonomi-politik secara penuh terlihat ada pada pendisiplinan orientasi
ekonomi regional yang harus bertabrakan dengan kepentingan domestik negara anggota.

Peristiwa besar muncul dari kewajiban penghematan besar, seperti pemotongan berbagai
macam tunjangan kesejahtraan. Diskursus welfare state yang menjanjikan jaminan sosial
yang mahal, akhirnya memanjakan banyak masyarakat kawasan dengan segala kemudahan,
namun ketika pemberlakuan penghematan, masyarakat menjadi reaktif. Akibatnya,
sentimen nasional memunculkan resistensi untuk mengembalikan peran negara. Hanya
negara yang mampu memberi privilege atas apa yang diminta oleh tuntutan yang ada. Di
tengah resistensi yang ada, nyatanya dimanfaatkan oleh faksi kanan tengah dalam memuat
permintaan mereka. Uniknya, faksi ini dikenal sebagai agenda politik yang tidak hirau pada
program jaminan sosial, namun politik tetap bertahan kepada kesempatan pengejaran
kekuasaan. Maka, kepentingan faksi mendaulat permintaan mereka dengan mengambil
resiko yaitu “penguatan negara”.
Gerakan populisme turut melengkapi kemandegan UE pasca krisis. Simptom populisme
yang menghampiri negara-negara superior dalam UE ditandai dengan momen “faksi kanan
baru” menerobos suara-suara sumbang seperti anti-imigran, problema dunia kerja,
kerapuhan ekonomi, dsb kemudian digunakan untuk mengisi kantong suara dalam proses
pemilu. Tahun 2016 hingga saat ini, gelombang populisme menjangkiti di beberapa wilayah
barat. Inggris baru-baru saja keluar dari institusi regionalisme. Tidak menunggu waktu
lama, momen pemilu di beberapa negara Uni Eropa seperti Jerman, Perancis, dan Belanda
ditandai oleh menguatnya suara-suara populisme konservatif/kanan Bahkan gelombang
faksi tersebut mulai menguasai mayoritas perlemen di enam negara Eropa, yakni Italia,

Yunani, Hongaria, Polandia, Swiss, dan Slowakia. Meskipun persaingan antara faksi
ekstrimis kanan di Perancis seperti Marine Le Pen mengalami kekalahan yang tadinya
dikenal figure yang menawarkan keluarnya Perancis di UE. Setidaknya, momen ini masih
akan terus panas dan meluas diberbagai negara untuk tetap mendaulat negara sebagai
entitatas penting kondisi sekarang, bukan dengan regionalisme.
Isu identitas menjadi biaya yang harus ditampung untuk membayar agenda politik yang
ada. Fareed Zakaria (2016) baru-baru ini menuliskan idenya di majalah Foreign Affairs

Dinamika Ekonomi Politik Internasional

3

mengenai fenomena populisme di belahan Barat. Zakaria menyebut populisme telah
mengalami proses pendefenisian ulang bagi individu yang merasa dilupakan atau
tersingkirkan dan memandang dirinya sebagai suara patriotisme sejati (Zakaria, 2016).
Pandangannya amat jelas menilai kemunculan populisme baru ini diangkat sebagai
perlawanan identitas baru (return-on of nationalism). Tidak bisa dipungkiri peningkatan
populisme sosial yang bertransformasi pada populisme politik telah menghawatirkan UE
menuju “deregionalisasi”.


Bibliography
Grauwe, P. D. (2013). Design Failures in the Eurozone: Can They be Fixed? LSE Europe in
Question, No. 57, 1-35.
Lynn, M. (2011). Bust : Greece, the euro, and the sovereign debt crisis. Hoboken: Bloomberg
Press.
Stiglitz, J. E. (2017). The Euro and Its Threat to the Future of Europe. London: Penguin Books.
Zakaria, F. (2016). Populism on the March: Why the West in Trouble. Foreign Affairs.

Dinamika Ekonomi Politik Internasional

4