IMPLEMENTASI PROGRAM WAJIB BELAJAR .docx

IMPLEMENTASI PROGRAM WAJIB BELAJAR SEMBILAN (9) TAHUN PADA
LEMBAGA PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH DI MANDAILING NATAL

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan salah satu hal sangat penting dan tidak bisa dilepaskan
dari kehidupan. Dengan adanya pendidikan bisa memajukan kebudayaan dan
mengangkat derajat bangsa di mata dunia internasional. Pemikiran masyarakat yang
maju akan membentuk Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas (baik dari segi
spiritual, intelegensi dan skill) tinggi. Untuk itu, perlu diusahakan peningkatan mutu
pendidikan, supaya bangsa kita tidak tergantung pada status bangsa yang sedang
berkembang tetapi bisa menyandang predikat bangsa yang maju dan tidak kalah
bersaing dengan bangsa eropa. Peningkatan sumber daya manusia yang dilakukan
lewat pendidikan menghadapi beberapa kendala diantaranya faktor lingkungan fisik
maupun non fisik. Penuntasan keberhasilan wajib belajar 9 tahun dapat dipengaruhi
oleh dua faktor yaitu faktor internal (dalam diri) dan faktor eksternal (luar diri) siswa.
Faktor internal, meliputi: kemampuan, minat, motivasi, nilai-nilai dan sikap,
ekspektasi (harapan), dan persepsi siswa tentang sekolah. Faktor eksternal, meliputi:
latar belakang ekonomi orang tua, persepsi orang tua tentang pendidikan, jarak
sekolah dari rumah, hubungan guru-murid, usaha yang dilakukan pemerintah.
Banyaknya siswa yang tidak berhasil dalam belajar, termasuk banyaknya anak-anak
yang tidak sekolah bisa dilihat dari kedua aspek tersebut. Pendidikan sangat penting

bagi masyarakat, maka dari itu peneliti tergugah untuk mengadakan penelitian
mengenai pendidikan pada suatu tempat. Fenomena yang terjadi di Kabupaten
Mandailing Natal adalah APK pada jenjang SMP belum sesuai dengan target
pemerintah, selain itu masih terdapat anak usia 7-15 tahun yang belum memperoleh
pendidikan. Dari penjelasan tersebut, maka peneliti memilih judul “Implementasi
Program Wajib Belajar Sembilan (9) Tahun pada Lembaga Pendidikan
Muhammadiyah di Kabupaten Mandailing Natal”. Tujuan utama yang ingin
dicapai adalah implementasi program wajib belajar sembilan tahun.

B. Kajian Teori
Pasal 3 UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
menyebutkan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, sakap, kreatif, mandri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa jalur
pendidikan terdiri dari atas pendidikan formal, pendidikan informal, dan pendidikan
nonfromal


yang

dapat

saling

melengkapi

dan

memperkaya.

Pendidikan

diselenggrakan dengan sistem terbuka melalui tatap muka dan atau melalui jarak jauh.
C. Hasil Pembahasan
“Implementasi Program Wajib Belajar Sembilan (9) Tahun pada
Lembaga Pendidikan Muhammadiyah di Kabupaten Mandailing Natal” kondisi
tersebut apabila dilihat dari sisi pengembangan kualitas SDM secara umum cukup

menggembirakan karena tujuan negara ini mengacu ke arah tersebut. Kecenderungan
bahwa pelaksanaan wajib belajar 9 tahun di Kecamatan Kotanopan khusus di
Muhammadiyah 10 Kotanopan berjalan dengan baik dan sukses. Walaupun masih
mengalami hambatan-hambatan, tetapi dalam perjalanan pelaksanaannya tetap
dilakukan berbagai upaya-upaya yang inovatif.
Hakekatnya BOS bertujuan utnuk menyukseskan program wajib belajar 9
tahun, dengan harapan tidak ada lagi anak yang tidak sekolah dengan dalih tidak
punya biaya. Pesan inti program BOS adalah membebaskan biaya pendidikan bagi
siswa tidak mampu dan meringankan siswa lain yang mampu, agar merka
memperoleh layanan pendidikan dasar bermutu sampai tamat, selama sembilan tahun.
Maka, target program BOS adalah menjamin lulusan SD/MI untuk melangsungkan
pendidikannya hingga tingkat SMP/MTs. Tidak boleh ada siswa miskin yang tidak
mampu melanjutkan ke SMP/MTs hanya karena mahalnya biaya sekolah. Pelaksanaan
progrtam wajib belajar 9 tahun di Kecamatan Kotanopan Kabupaten Mandailing

Natal, jarak tempuh waktu siswa dari rumah ke sekolah 3-5 jam dengan jarak tempuh
15-20 km.
D. Saran Peneliti
Solusi yang diberikan peneliti menyediakan rumah singgah sangat jitu untuk
menuntaskan program wajib belajar 9 tahun yang dirancang oleh pemerintah untuk

daerah yang berkebutuhan khusus seperti jarak tempuh dari rumah ke sekolah.

Urgensi Waktu Belajar dalam Pendidikan Karakter di SD/MI: Studi Analisis Isi
terhadap Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017

A. Latar Belakang
Isu peningkatan, perbaikan, dan pemerataan mutu pendidikan di Indonesia masih
menjadi persoalan yang rumit dan belum terselesaikan secara tuntas hingga saat ini. Salah
satu persoalan yang sering mengemuka di dalamnya yaitu menyangkut peran pendidikan
formal, yaitu di sekolah dan madrasah, dalam penanaman karakter peserta didik yang
belum berjalan sesuai harapan.
Melihat kondisi yang memprihatinkan tersebut, urgen kiranya dilakukan evaluasi
dan perbaikan terhadap fungsi, peran, dan kinerja pendidikan formal di sekolah dan
madrasah dalam menanamkan karakter anak, terutama pada jenjang SD dan MI. Hal ini
tidak bisa dilepaskan dari peran pendidikan formal pada jenjang SD dan MI yang lebih
menekankan pada ranah afektif ataupun sikap. Gayung bersambut, pemerintah
sebenarnya sudah berupaya untuk memperbaiki pendidikan karakter di sekolah dan
madrasah. Salah satunya melalui penerbitan kebijakan lima hari sekolah yang tertuang
dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2013 tentang
“Hari Sekolah”.

Persoalan durasi lama waktu belajar di sekolah untuk proses pendidikan formal
masih menjadi perdebatan di dunia. Terbukti bahwa fakta di lapangan menunjukkan jika
negara-negara yang dikenal memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia belum memiliki
durasi waktu (jam belajar) sekolah yang sama. Seperti ditulis Taylor (2017), jenjang SD
di Finlandia memiliki durasi jam sekolah antara 4-5 jam sehari, lalu Korea Selatan dari
pukul 08.00 – 13.00, Jepang mulai pukul 08.30 – 13.00, sedangkan di Inggris dari pukul
09.00 – 15.00. dari penjelasan tersebut, maka peneliti memilih judul “Urgensi Waktu
Belajar dalam Pendidikan Karakter di SD/MI: Studi Analisis Isi terhadap
Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017”.
B. Landasan Teori
1. Teori siklus perhatian yang dikemukakan oleh Eric Jensen. Dalam penjelasan Jensen
diungkapkan bahwa setiap manusia memiliki tinggi rendahnya perhatian sepanjang

hari. Salah satu dari siklus penting otak manusia adalah sekitar 90 menit. Ini artinya,
manusia memiliki sekitar 16 siklus periode tiap periode 24 jam. Ketika siklus
biokognitif tinggi atau rendah selama 90 menit ini mengubah aliran darah dan
pernapasan, otak beralih antara kemampuan pengolahan spasial yang lebih efisien dan
pengelolaan yang lebih efisien.
2. Teori kedua yaitu ritme ultradian. Ritme ultradian atau siklus B-R-A-C (basic-restactivity), berhubungan dengan keadaan gerakan-cepat-mata (REM: rapid-eyemovement) seseorang saat tidur. Mengutip pendapat Orlock, Jensen mengemukakan
bahwa ritme ultradian manusia terjadi bersamaan dengan pelepasan periodic atas

hormon-hormon ke dalam aliran darah, dan meregulasi tentang kelaparan dan
perhatian seseorang. Sensitivitas terhadap rasa sakit, selera makan, dan pembelajaran
bervariasi dengan siklus tersebut. Pergantian dominasi hemisfer, yang juga terjadi
setiap 90 menit, tampaknya berdampak pada pemikiran, penalaran, dan hasil tes
keterampilan spasial. Ada yang menegaskan bahwa siklus 90 menit ini bisa
memberikan peluang yang sempurna untuk sugesti dan afirmasi.
C. Pembahasan
Waktu merupakan komponen penting dalam pembelajaran karakter di SD/MI.
Waktu belajar yang cukup dan instruksi yang tepat, secara bersamaan, sangat
memengaruhi hasil belajar peserta didik. Perbedaan lama hari sekolah dan tahun ajaran
hanya mempunyai dampak kecil pada pencapaian peserta didik, karena hal yang lebih
penting dalam kaitannya dengan waktu dalam pembelajaran adalah bagaimana waktu
yang digunakan di kelas yaitu waktu sibuk (engaged time) atau waktu penugasan (on task
time) dan yang berada dalam pengandalian langsung oleh guru. Dalam konteks
pendidikan karakter di SD/MI, karena prosesnya ditekankan pada penanaman kebiasaan
(habituation) tentang hal yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (domain
kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu meraskaan (domain afektif) nilai
yang baik dan biasa melakukannya (domain perilaku), maka pendidikan karakter di
SD/MI pada dasarnya menyangkut kegiatan akademik dan nonakademik yang hendaknya
dilakukan dengan memperhatikan siklus perhatian peserta didik, siklus 90 menit, rtime

ultradian, siklus sirkadian, dan juga memanfaatkan seluruh indera peserta didik sehingga
jalur multi memori diaktifkan. Sementara itu, keteladanan (role model) dan budaya
sekolah yang positif menjadi faktor penting yang harus dijaga secara konsisten serta

berkelanjutan untuk tercapainya proses pendidikan karakter yang efektif. Semakin lama
pembiasaan dan budaya positif tersebut diberikan atau dipaparkan ke peserta didik
SD/MI, yang masih dalam kondisi hipnosis (alfa), maka semakin besar pengaruhnya bagi
penanaman pendidikan karakter di SD/MI.
Penerbitan kebijakan “Hari Sekolah” dalam Permendikbud RI No. 23/2017 untuk
penguatan pendidikan karakter di SD/MI pada dasarnya sesuatu yang urgen. Hal tersebut
disebabkan karena proses pendidikan karakter yang selama ini telah didesain sejak 2010,
tetapi hasilnya hingga tahun 2016 masih belum sebagaimana yang diharapkan.
Ketidakberhasilan itu terlihat dari sejumlah kasus anak atau pelajar yang terlibat tindakan
asusila, kekerasan, tawuran, narkotika, dan tindak kriminalitas lainnya yang ditangani
oleh KPAI dari tahun 2011 sampai 2016 cenderung meningkat, bukan mengalami
penurunan. Ini artinya, lingkungan sosial masyarakat cenderung semakin kurang
mendukung (kondusif) bagi tumbuh kembang dan proses pendidikan karakter bagi peserta
didik SD/MI. Dengan kata lain, ketentuan jam belajar sekurang-kurangnya 8 jam dalam 1
hari pada Permendikbud No. 23 Tahun 2017 untuk SD/MI adalah salah satu solusi yang
tepat dan relevan. Adapun urgensi kebijakan “Hari Sekolah” dalam proses pendidikan

karakter di SD/MI meliputi dua aspek, yaitu aspek pendidik dan aspek peserta didik. Dari
aspek pendidik, urgensi kebijakan tersebut adalah guru menjadi: (1) memiliki lebih
banyak waktu dan kegiatan untuk memenuhi beban kerja guru di sekolah atau madrasah,
tanpa harus mencari jam tambahan di sekolah/madrasah yang lain; (2) memiliki lebih
banyak waktu untuk memberikan keteladanan bagi peserta didik, membina, melatih,
mengawasi dan menilai perkembangan peserta didik; (3) memiliki sistem dan regulasi
yang menjamin pengawasan terhadap berbagai kegiatan peserta didik di lembaga
keagamaan meupun lembaga pendidikan lainnya di luar sekolah sehingga inline (sejalan)
dengan upaya pencapaian tujuan pendidikan di sekolah dan madrasah dan atau nasional.

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM WAJIB BELAJAR PENDIDIKAN
DASAR 9 TAHUN PADA PONDOK PESANTREN SALAFIYAH DI KABUPATEN
KUBU RAYA

A. Latar Belakang
Pondok pesantren sabagai lembaga pendidikan Islam pada umumnya tergambar
ciri khas yang dimilikinya, yaitu adanya pengasuh Pondok Pesantren (Kyai/Ajengan/Tuan
Guru/Buya) yang mengajar, adanya santri yang belajar, adanya masjid/mushalla sebagai
tempat ibadah dan kegiatan belajar mengajar, adanya asrama/pondok tempat tinggal
santri. Pondok Pesantren Salafiyah adalah tipe pondok pesantren yang masih tetap

mempertahankan sistem pendidikan khas pesantren, baik kurikulumnya maupun metode
pembelajarannya. Pada umumnya bahan pelajarannya meliputi ilmu-ilmu Agama Islam
dan bahasa Arab dengan menggunakan kitab-kitab klasik berbahasa Arab dan sangat
sedikit diajarkan mata pelajaran umum. Para santri tidak diikutsertakan dalam ujian yang
diselenggarakan oleh pemerintah secara nasional, sehingga tidak memiliki kesempatan
untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi pada lembaga pendidikan sekolah, dan
tidak berhak untuk mendapat kesempatan bekerja yang mensyaratkan adnya ijazah.
Melihat permasalahan yang timbul maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian
tentang Implementasi Kebijakan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun, guna
melihat sejauh mana program tersebut berjalan dengan prosedur dan tujuan yang
diharapkan.
B. Landasan Teori
Dalam penelitian ini penulis cenderung mengacu pada teori implementasi dari
George C. Edward III karena lebih fokus pada efektifitas implementasi kebijakan serta
tujuan dari penelitian ini adlah mengkaji implementasi program wajib belajar pendidikan
dasar 9 tahun dengan fokus kepada variabel komunikasi dan variabel sumber daya
manusia (ustad/ustadzah) yang mengajar mata pelajaran umum.
Teori Merille S. Grindle lebih menitikberatkan pada konteks implementasi
kebijakan dan strategi implementasi serta efisiensi, khususnya yang menyangkut dengan
implementor, sasaran dan arena konflik yang mungkin terjadi di antara para aktor

implementasi serta kondisi-kondisi sumber daya implementasi yang diperlukan,

sedangkan teori Van Meter dan Van Horn lebih spesifik menekankan kepada kinerja
kebijakan.
C. Pembahasan
Adapaun rekomendasi yang diberikan untuk mengatasi beberapa persoalan yang
dihadapi oleh Pondok Pesantren Salafiyah penyelenggara program wajib belajar
pendidikan dasar 9 tahun, adalah sebagai berikut: a) dalam melaksanakan program wajib
belajar pendidikan dasar 9 tahun, hendaknya Pondok Pesantren Salafiyah lebih giat dalam
mengkomunikasikan dalam bentuk sosialisasi program wajib belajar kepada desa-desa
terpencil, yang belum terakses pendidikan agar kedepannya tidak ada lagi anak usia
sekolah yang tidak sekolah dan b) Alangkah lebih baiknya apabila dana-dana bantuan
langsung digunakan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui bentuk
pendidikan, pelatihan dan pendidikan, serta workshop bahkan sampai pada pemberian
beasiswa bagi guru Pondok Pesantren Salafiyah, baik untuk meneruskan studi strata satu
(S1) maupun program strata dua (S2) di perguruan tinggi terbaik. c) Pemerintah pusat dan
daerah hendaknya memberi dukungan baik moril maupun materiil yang lebih terhadap
penyelenggaran program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun ini, agar ke depannya
menjadi inti (core) dari penuntasan wajib belajar pendidikan dasar dan meningkatkan
angka partisipasi sekolah (APS), guna menyukseskan proses program wajib belajar

pendidikan dasar 9 tahun pada Pondok Pesantren. d) perlu diselenggarakan pelatihanpelatihan yang diperkirakan bermanfaat bagi kemajuan program wajib belajar pendidikan
dasar 9 tahun pada Pondok Pesantren Salafiyah