Evaluasi Serangan Tikus Sawah ( Rattus argentiventer Robb & Kloss) Sebagai Dampak Keberadaan Burung Hantu ( Tyto alba ) di Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara

TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Padi
Klasifikasi tanaman padi adalah sebagai berikut :
Kingdom

: Plantae

Divisi

:Spermatophyta

Subdivisi

:Angiospermae

Kelas

: Monocotyledoneae

Family


:Gramineae

Genus

: Oryza

Spesies

: Oryza sativa L. (Grist, 1960).
Akar-akar serabut pertama muncul pada hari ke lima atau ke enam setelah

padi berkecambah. Akar serabut juga mulai berkembang dengan sangat lebat
ketika batang bertunas (hari ke-15).

Tumbuhnya akar-akar serabut tersebut

membuat akar tunggang yang tumbuh di bawah pada awal perkecambahan tidak
tampak. Selain akar serabut, tanaman padi juga memiliki akar yang berwujud
mirip rambut yang lebih halus. Keduanya mempunyai fungsi yang sama yaitu
sebagai organ untuk mengambil nutrisi dalam tanah (Ahira, 2010).

Batang padi tersusun dari rangkaian ruas-ruas dan antara ruas yang satu
dengan yang lainnya dipisah oleh sesuatu buku. Tinggi tanaman adalah suatu sifat
baku (keturunan). Adanya perbedaan tinggi dari suatu varietas disebabkan oleh
suatu pengaruh keadaan lingkungan. Bila syarat-syarat tumbuh baik, maka tinggi
tanaman padi sawah biasanya 80-120 cm. Pada buku-buku yang terletak paling

Universitas Sumatera Utara

bawah mata-mata ketiak yang terdapat antara ruas batang-batang dan upih daun,
tumbuh menjadi batang-batang sekunder yang serupa dengan batang primer.
Batang-batang sekunder ini pada gilirannya nanti menghasilkan batang-batang
tersier dan seterusnya (Norsalis, 2011).
Satu tangkai malai yang terdiri atas banyak spikelet, secara internal akan
terjadi kompetisi dalam menarik fotosintat. Spikelet yang terletak pada ujung
malai akan keluar terlebih dahulu dan tumbuh lebih vigour, sehingga cenderung
mendominasi dalam menarik fotosintat. Sementara spikelet yang terletak pada
pangkal malai akan keluar terakhir dan pertumbuhannya cenderung lemah,
sehingga kalah berkompetisi dalam menarik fotosintat. Akibatnya pengisian biji
tidak penuh dan spikelet tidak bernas (steril) yang pada akhirnya akan
menghasilkan gabah hampa (Sumardi et al, 2007).

Bulir-bulir padi terletak pada cabang pertama dan cabang kedua,
sedangkan sumbu utama malai adalah ruas buku yang terakhir pada batang.
Panjang malai tergantung varietas padi yang ditanam dan cara bercocok tanam.
Jumlah cabang pada setiap malai berkisar antara 15-20 buah, yang paling rendah
7 buah cabang, dan yang terbanyak mencapai 30 buah cabang (Rahayu, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 1. Fase pertumbuhan padi
(sumber: Arafah, 2008)

Syarat Tumbuh
Iklim
Padi memerlukan air sepanjang pertumbuhannya dan kebutuhan air
tersebut hanya mengandalkan curah hujan. Tanaman dapat tumbuh pada daerah
mulai dari daratan rendah sampai daratan tinggi.

Tumbuh di daerah

tropis/subtropis pada 45 0LU sampai 45 0LS dengan cuaca panas dan kelembaban

tinggi. Rata-rata curah hujan yang baik adalah 200 mm/bulan selama 3 bulan
berturut-turut atau 1500-2000 mm/tahun (Norsalis, 2011).
Temperatur sangat mempengaruhi pengisian biji padi.

Tanaman padi

dapat tumbuh dengan baik pada suhu 23 0C ke atas. Temperatur yang rendah dan
kelembaban yang tinggi pada waktu pembungaan akan mengganggu proses
pembuahan yang mengakibatkan gabah menjadi hampa. Hal ini terjadi akibat
tidak membukanya bakal biji. Temperatur yang rendah pada waktu pengisian biji
juga dapat menyebabkan rusaknya pollen (Luh, 1991).
Angin akan berpengaruh terhadap proses penyerbukan bunga padi, karena
angin akan mempermudah terjadinya penyerbukan, karena itu lokasi sawah harus
terbuka dan tidak terhalang sehingga angin dapat bertiup dengan bebas. Air harus
tersedia setiap saat

mencukupi untuk

menggenangi tanah persawahan.


Kekurangan dan kelebihan air juga akan mengurangi produksi sehingga
diperlukan saluran irigasi ( Rahayu, 2009).
Tanah

Universitas Sumatera Utara

Padi sawah ditanam di tanah berlempung yang berat atau tanah yang
memiliki lapisan keras 30 cm di bawah permukaan tanah.

Padi sawah juga

menghendaki tanah lumpur yang subur dengan ketebalan sekitar 18-22 cm Padi
sawah juga menghendaki ketersediaan air yang cukup banyak (Rahayu, 2009).
Padi sawah menghendaki keasaman tanah antara pH 4,0 -7,0. Pada padi
sawah, penggenangan akan mengubah pH tanam menjadi netral (7,0).

Pada

prinsipnya tanah berkapur dengan pH 8,1-8,2 tidak merusak tanaman padi.
Karena mengalami penggenangan, tanah sawah memiliki lapisan reduksi yang

tidak mengandung oksigen dan pH tanah sawah biasanya mendekati netral. Untuk
mendapatkan tanah sawah yang memenuhi syarat diperlukan pengolahan tanah
yang khusus (Norsalis, 2011).
Biologi dan Ekologi Tikus sawah
Klasifikasi tikus sawah menurut Murakami,et al. (1992) adalah sebagai berikut :
Kingdom

: Animalia

Filum

: Chordata

Sub phylum

: Vertebrata

Kelas

: Mamalia


Ordo

: Rodentia

Family

: Muridae

Genus

: Rattus

Spesies

: Rattus argentiventer (Rob & Kloss)
Tikus sawah dapat dikenali dengan ciri-ciri morfologinya, yaitu berat

badan 100-230 gram, panjang kepala-badan antara 70-208 mm, panjang tungkai
belakang 32-39 mm dan panjang telinga 20-22 mm (Murakami, et al. 1992). Ekor


Universitas Sumatera Utara

biasanya lebih pendek dari panjang kepala-badan. Tubuh bagian dorsal berwarna
coklat dengan bercak hitam pada rambut-rambutnya, sehingga memberi kesan
seperti berwarna abu-abu.

Daerah tenggorokan, abdominal, dan inguinal

berwarna putih, dan sisa bagian bawahnya dan sisa bagian bawah lainnya putih
keperakan atau putih keabu-abuan. Warna permukaan atas kaki sama dengan
warna badan dan banyak yang berwana coklat gelap pada bagian karpal dan tarsal.
Ekor berwarna gelap pada bagian atas dan bawah (Aplin et al, 2003).
Rambut pelindung hitam/gelap dan pendek. Rumbai bulu roma di bagian
depan telinga berwarna jingga pada yang muda. Ini merupakan karakteristik
selama stadia pradewasa dan dewasa muda. Daerah tenggorokan, perut, dan
inguinal berwarna putih dan sisa pada bagian bawah berwarna keperakan atau
putih keabu-abuan. Di bagian thorax dengan abdomen biasanya berwarna gelap.
Warna pada permukaan atas kaki sama dengan warna badan, dan banyak yang
mempunyai warna coklat gelap pada bagian karpal dan tarsal. Ekor berwarna

bagian atas dan bawah (Deptan, 2008)
Indera penciuman berkembang dengan baik. Tikus sawah dapat mengenal
pakan, sesama tikus, dan predator melalui penciumannya dengan menggerakkan
kepala naik turun dan mengendus. Ketajaman penciuman ini juga digunakan
untuk mengetahui sekresi genitalia betina yang aktif bereproduksi, jejak tikus
kelompoknya dan batas teritorialnya (Rohman et al, 2005).
Indera perasa tikus sawah sangat peka. Tikus dapat menilai makanan yang
aman dan menolak makanan yang tidak disukainya (beracun). Indera peraba
berupa kumis (misae) dan juga modifikasinya yang berupa rambut kasar
(vibrissae) diantara bulu-bulu halus. Deteksi dilakukan dengan menyentuhkan

Universitas Sumatera Utara

sensor peraba pada permukaan benda sehingga tikus dapat menentukan arah dan
mengetahui ada tidaknya rintangan. Apabila merasa aman, tikus akan bergerak
diantara padi melalui jalan khusus yang selalu diulang (Priyambodo,1995).
Tikus berkembang biak dengan cepat, tikus menjadi dewasa dalam arti
dapat kawin mulai umur 3 bulan, masa bunting tikus betina sangat singkat,
kira-kira 3 minggu.


Jumlah anak yang dihasilkan setiap kelahiran berkisar

antara 4-12 ekor (rata-rata 6 ekor) tergantung dari jenis dan keadaan makanan di
lapangan. Dan setelah 2-3 hari setelah melahirkan tikus-tikus tersebut sudah siap
untuk kawin lagi (Sudarmaji et al, 2007).
Tikus betina mempunyai puting susu berjumlah dua belas buah. Ukuran
dan berat badan tikus jantan dan betina tidak terdapat perbedaan yang mencolok.
Tikus jantan dewasa lebih mudah dikenali dengan melihat perkembangan
testisnya. Tikus dapat menjadi dewasa dan siap kawin setelah mencapai umur 5-9
minggu (Sudarmaji et al, 2007). Tikus betina bunting selama 21 hari, tikus
mampu bunting dan menyusui dalam waktu bersamaan dan tikus tersebut kawin
lagi dalam waktu 48 jam setelah melahirkan (Sudarmaji, 2004).
Tikus sawah pada umumnya menyukai habitat pematang sawah atau
tanggul irigasi yang tinggi dan lebar. Pematang sawah dianjurkan dibuat rendah
kira-kira tinggi kurang dari 30 cm, agar pematang tersebut tidak digunakan tikus
bersarang dan berkembangbiak (Lam, 1983). Sanitasi dan manipulasi habitat
akan menyebabkan tikus kehilangan tempat persembunyian dan sumber pakan
alternatif terutama pada periode bera, sehingga secara tidak langsung dapat
menurunkan populasi tikus di daerah tersebut (Sudarmaji, 2007).


Universitas Sumatera Utara

Gambar 2. Siklus hidup tikus sawah
(Sumber: Cipto et al., 2009)

Perilaku tikus sawah
Tikus sawah tergolong cerdik dalam mengeksplorasi lingkungan karena
memiliki otak yang berkembang sempurna (Meehan 1984; Priyambodo 2003).
Rochman et al (2005) menambahkan bahwa kemampuan inderawi tikus sawah
berfungsi optimal dalam menunjang kehidupannya, terutama sebagai hewan yang
aktif pada malam hari (nokturnal). Secara rutin, aktifitas harian dimulai senja hari
hingga menjelang fajar. Selama periode tersebut, tikus sawah mengeksplorasi
sumber pakan dan air, tempat berlindung, serta mengenali pasangan dan individu
dari ke- lompok lain. Siang hari dilalui dengan bersembunyi dalam lubang, semak
belukar, atau petakan sawah ketika kanopi tanaman padi telah rimbun. Selama
terdapat tanaman padi, ruang gerak (home range) berkisar 30-200 m dan teritorial 0,25-1,10 ha. Ketika padi telah dipanen (bera pascapanen) yang berakibat
ketersediaan pakan mulai terbatas, sebagian besar tikus sawah berangsur pindah
ke tempat tersedia pakan hingga 0,7-1,0 km atau lebih, seperti pemukiman,
gudang benih, penggilingan. Pada awal musim tanam, tikus sawah yang berhasil
ber- tahan hidup kembali ke persawahan (Brown et al. 2003; Nolte et al. 2002).
Beberapa kemampuan tikus sawah antara lain mengerat (gnawing),
menggali (digging), berlari, melompat dan meloncat (jumping), memanjat

Universitas Sumatera Utara

(climbing), berenang (swimming), dan menyelam (diving). Mengerat merupakan
aktivitas yang harus dilakukan untuk mengurangi pertumbuhan gigi seri. Tikus
sawah tidak memiliki gigi taring, sehingga antara gigi seri dan geraham terdapat
celah yang disebut diastema, yang berfungsi untuk membuang sampah yang
terbawa makanan. Aktivitas mengerat mengakibatkan kerusakan pada tanaman
padi yang lebih berat dibandingkan aktivitas makannya ( Priyambodo,2003).
Ciri Sarang Tikus Aktif
Sarang yang dibuat biasanya mempunyai lebih dari satu pintu, pintu utama
untuk jalan keluar dan masuk setiap hari, pintu darurat yang digunakan pada saat
membahayakan, misalnya pada saat dikejar oleh predator ataupun pada saat
gropyokan, dan pintu yang menuju ke sumber air sebagai minumnya. Pintu
darurat ini disamarkan dengan cara ditutupi dengan daun-daunan.

Selain itu

sarang tikus juga terdiri dari lorong yang berkelok-kelok, semakin banyak anggota
keluarga tikus maka akan semakin panjang lorong yang dibentuk. Sarang tikus
juga dilengkapi dengan kamar yang difungsikan untuk beranak dan kamar gudang
untuk menyimpan makanan (Sudarmaji dan Herawati, 2004).
Keberadaan sarang tikus aktif dapat dilihat dari bentuk maupun keadaan
pintu masuk yang terlihat. Pintu masuk sarangakan terlihat bersih (tanpa rumput)
yang berarti masih sering dilalui oleh tikus tersebut. Dinding sarang tikus akan
tampak bersih dan beraturan, hal ini menunjukkan aktivitas yang masih
berlangsung di sekitar sarang tikus (Siahaan et al., 2014).
Salah satu tehnik yang dapat dilakukan untuk mengetahui sarang tikus
aktif tikus sawah adalah dengan mengamati setiap lubang tikus yang ada pada
bedengan sawah dan menutupnya dengan lumpur pada sore hari, kemudian

Universitas Sumatera Utara

diamati pada hari berikutnya. Jika ditemukan lubang yang masih tertutup seperti
keadaan sebelumnya, maka lubang tersebut bukanlah sarang tikus aktif (sudah
ditinggalkan, tetapi jika lubang tersebut telah terbuka kembali (lumpur yang
dibuat telah tergali), maka lubang tersebut adalah sarang tikus aktif yang ditandi
dengan galian tikus pada malam harinya (Siahaan et al., 2014 ).

(a)

(b)

Gambar 3. sarang tikus tidak aktif (a) dan srang tikus aktif (b)
(Sumber: Siahaan et al ., 2014)

Gejala Serangan
Tikus dapat menyerang tanaman padi pada berbagai fase. Pada fase
vegetatif, tikus akan memutuskan batang padi sehingga tampak berserakan, tikus
akan menggigit lebih dari jumlah yang dibutuhkan untuk makan. Kerusakan yang
ditimbulkan oleh tikus bersifat khas, yaitu ditengah-tengah petakan sawah tampak
gundul, sedangkan bagian tepi biasanya tidak diserang.

Tikus sawah juga

menyerang bedengan persemaian dengan memakan benih-benih yang disebar atau
mencabut tanaman yang tumbuh ( Harahap dan Tjahjono, 2003).
Walaupun demikian tikus paling senang memakan malai atau bulir padi
pada stadia generatif. Pada stadia ini tikus akan memotong pangkal batang untuk
memakan bagian malai atau bulirnya (Priyambodo, 2003).

Padi yang terserang

tikus dari jauh terlihat menguning tetapi kuningnya tidak sama dengan kondisi

Universitas Sumatera Utara

padi siap panen. Dari dekat hanya terlihat kulit padi sedangkan isinya sudah
habis, selain itu banyak batang padi yang tumbang akibat dikerat (Edy, 2003).
Kerusakan yang ditimbulkan oleh tikus sawah pada tanaman padi terjadi
mulai dari persemaian hingga padi menjelang panen. Pada persemaian padi
berumur dua hari, satu ekor tikus mampu merusak rata-rata 283 bibit padi dalam
satu malam. Pada stadium padi anakan (vegetatif) merusak anakan padi rata-rata
79 batang, dan pada stadium padi bunting 103 batang, serta pada stadium padi
bermalai 12 batang per malam (Rochman, 1992). Tikus sawah diketahui lebih
suka menyerang tanaman padi yang sedang bunting, sehingga pada umumnya
padi stadium bunting akan mengalami kerusakan yang paling besar. Kebutuhan
pakan tikus setiap hari hanya seberat kurang lebih 10% dari bobot tubuhnya,
sedangkan daya rusaknya terhadap malai padi lima kali lebih besar dari bobot
malai padi yang dikonsumsi (Sudarmaji dan Anggara, 2006).
Tingkat kerusakan tanaman padi oleh tikus meningkat mulai saat
primordial sampai dengan keluar malai (Sudarmaji 2004; Singleton et al. 2010).
Pada saat primordial kemungkinan tanaman padi mengeluarkan senyawa-senyawa
tertentu, misalnya saja adalah senyawa yang mudah menguap atau berupa gas
(volatil) yang menarik bagi tikus yang dikeluarkan oleh tanaman padi saat
primordia perlu dikaji (Solikhin dan Purnomo, 2008).
Pengendalian Tikus sawah
Pengendalian secara kultur teknis dengan membuat lingkungan yang tidak
menguntungkan atau tidak mendukung bagi kehidupan dan perkembangan
populasi tikus. Dengan cara pengaturan pola tanam, pengaturan waktu tanam, dan
pengaturan jarak tanam (Priyambodo, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Secara fisik dan mekanis pengendalian tikus sawah menurut Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara (2009) antara lain
membunuh tikus dengan bantuan alat seperti senapan angin dan perangkap. Juga
melakukan gropyok massal yang rutin dan dilakukan terus menerus.
Pengendalian hayati dilakukan dengan memanfaatkan musuh alami seperti
kucing, anjing, ular sawah, elang dan burung hantu. Pemanfaatan musuh alami
harus diupayakan juga dengan memberikan lingkungan yang nyaman untuk
pemangsa tersebut. Namun pada kenyataannya populasi predator di lapangan
tidak mencukupi untuk mengendalikan tikus sawah (Deptan, 2006).
Biologi Burung Hantu
Klasifikasi burung hantu adalah :
Kingdom

: Animalia

Phylum

: Chordata

Sub phylum

: Craniata

Kelas

: Aves

Ordo

: Strigiformes

Family

: Tytonidae

Genus

:Tyto

Spesies

: Tyto alba javanica Gmel. (Indriyani dan isnani).

;

Morfologi Burung hantu Tyto alba javanica Gmel.
Burung hantu memiliki wajah melebar berbentuk hati berwarna putih
halus dengan sorot mata yang tajam menonjol. Bulu dada putih kotor karena
adanya bintik-bintik cokelat/kehitaman.

Bulu dada betina didominasi warna

Universitas Sumatera Utara

putih kecokelatan, sedangkan jantan sedikit keputihan dengan jumlah bintik hitam
yang lebih sedikit dibandingkan dengan burung betina (Setiawan, 2004).
Bulu sayap atas dan punggung burung hantu berwarna abu-abu
kekuningan, sayap bawah dan bagian dada/ perut berwarna putih dengan bintikbintik hitam. Perbedaan antara betina dan jantan terletak pada warna bulu di
bagian leher depan.

Pada Tyto alba betina berwarna putih dan bintik-bintik

hitam, sedangkan jantan berwarna kuning kecoklatan dan berbintik hitam.
Ukuran tubuh antara jantan dan betina hampir sama, namun pada umumnya
ukuran tubuh betina lebih besar ( Indriyani dan Isnani, 2013).
Mata burung hantu sangat peka sehingga dapat melihat di kegelapan. Bola
mata burung hantu diketahui memiliki kedudukan tetap pada tempatnya,
menghadap kedepan dan memberikan penglihatan yang bersifat binokuler dan
stereoskopik. Kedudukan mata ini menyebabkan burung hantu memiliki
kelemahan dalam mendeteksi lingkungan, namun burung hantu memiliki leher
yang fleksibel sehingga kepala burung hantu dapat berputar 2700 dalam empat
arah. Mata burung hantu memiliki daya adaptasi yang baik pada intensitas cahaya
yang rendah. Hal ini ditandai dengan pupil yang sangat besar dan retina yang
tersusun dari sel-sel yang sangat sensitif terhadap cahaya yang memberikan efek
monokromatik. Kemampuan melihat dalam gelap mencapai 3-4 kali kemampuan
manusia. Bola mata dilengkapi membran yang dapat dibuka dan ditutup untuk
membersihkan bola mata dari kotoran (Indriyani dan Isnani, 2013).
Letak lubang telinga Tyto alba tidak simetris dan tidak sama tinggi dan
sudut yang berbeda.

Lubang telinga diselubungi oleh lapisan fleksibel yang

tersusun atas bulu-bulu yang menyelimuti lingkar mukanya. Lapisan tersebut

Universitas Sumatera Utara

berfungsi sebagai keping pemantul suara. Kelengkapan pendengaran tersebut
menyebabkan pendengaran burung hantu sangat peka dan bersifat mengarah
terhadap sumber bunyi, sehingga burung hantu mampu mendeteksi lokasi mangsa
secara tepat meskipun dalam gelap (Indriyani dan Isnani, 2013).
Paruh besar, melengkung dengan ujung runcing dan tajam.paruh yag
kokoh berfungsi untuk membunuh dan membawa mangsa pada saat terbang, serta
merobek-robek tubuh mangsa sebelum ditelan atau disuapkan ke anaknya. Paruh
tertutupi bulu sehingga terlihat kecil. Pada saat dibuka untuk menelan mangsa,
paruh terlihat sangat besar, cukup untu menelan seekor mamalia secara
langsung (Siahaan et al, 2014). Paruh mendominasi wajah, namun dalam keadaan
diam nampak seperti tertekuk ke dalam. Sayapnya didominasi warna kelabu,
sawo matang dan berwarna putih sebelah dalam. Kaki panjang dan kelihatan
sangat kokoh serta mempunyai daya cengkeram yang kuat.

Mangsanya

dicengkeram dengan jari-jari yang tajam sampai mati. Panjang mulai kepala
sampai ekor kira-kira 25-34 cm dengan berat badan berkisar antara 450-600 gr.
Bentangan sayapnya mencapai 24-26 cm (Setiawan, 2004).
Ekologi Burung Hantu Tyto alba javanica Gmel.
Pada sudut pandang yang sempit, burung hantu tidak membangun sarang
seperti burung penyanyi. Mereka merupakan pemakai sarang oportunis,
menggunakan sarang yang sudah ada atau mengambil alih sarang yang
ditinggalkan burung lain.

Burung hantu umumnya bersifat teritorial, suatu

kenyataan yang nampak pada saat musim berbiak. Mereka dengan sekuat tenaga
mempertahankan sarang dan teritori makan yang sangat jelas, dari individu lain
atau jenis burung lain, yang menjadi pesaing untuk sumberdaya yang sama. Jika

Universitas Sumatera Utara

burung bersifat menyebar, sifat teritorial berakhir sampai musim berbiak.
Apabila jumlah makanan berlimpah atau cukup banyak, maka dapat dijumpai
adanya koloni sarang pada area yang sama (Simatupang, 2004).
Rumah burung hantu (rubuha) sering juga disebut dengan pagupon. Jarak
antar pagupon tergantung pada topografi hamparan, jenis tanaman serta tingkat
serangan hama tikus yang terjadi.

Pagupon bisa dipasang pada batang atau

rantingpohon. Namun yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai tertutupi
oleh ranting atau daun-daun yang dapat mengganggu burung hantu mengintai
mangsanya. Jarak antar pagupon adalah antara 200-500m (Setiawan, 2004).
Rubuha dibentuk dari papan kayu yang di desain berteras untuk mempermudah
burung hantu mendarat kembali (Haryadi et al., 2014).
Kehidupan burung hantu erat sekali dengan gudang-gudang atau bangunan
yang digunakan sebagai tempat penyimpanan.Dari pengalaman petani, burung
hantu menempati gedung sekolahan yang atapnya rusak serta menempati gedunggedung tinggi yang jarang di tempati seperti di Gereja, karena di atap tersebut
banyak dijumpai kotoran bangkai tikus yang tinggal bulu dan tulangnya dan
sering ditemukan telur maupun anakan burung hantu (Setiawan, 2004).

Gambar 4. Rubuha (sangkar burung hantu (Tyto alba))

Universitas Sumatera Utara

Mekanisme Predasi Burung Hantu sebagai Predator Tikus Sawah
Burung hantu adalah predator yang cukup ganas yang dapat mengejutkan
mangsanya. Burung hantu mampu mendeteksi mangsa dari jarak jauh, mampu
terbang cepat, mempunyai kemampuan untuk menyergap dengan cepat tanpa
suara, memiliki pendengaran sangat tajam dan mampu mendengar suara tikus dari
jarak 500 meter. Sifatnya yang noctunal membuatnya menjadi predator ideal
untuk hama tikus. Kelebihan lain dari burung hantu ini adalah ukuran tubuh yang
relatif lebih besar, memiliki kemampuan membunuh dan memangsa tikus
cukup

baik,

mudah

beradaptasi

dengan

lingkungan

baru

dan

cepat

berkembang biak (Agustini, 2013).
Dengan gerakan yang cepat, tangkas tanpa menimbulkan suara, burung
hantu menangkap mangsanya. Burung hantu tidak pernah memangsa tikus berit
karena mengeluarkan bau busuk. Dari analisis terhadap kotorannya, diketahui
bahwa 99% terdiri atas tikus, sedangkan sisanya adalah serangga. Tikus adalah
salah satu makanan spesifik burung hantu. Burung hantu dapat memangsa tikus
sebanyak 2-5 ekor tikus setiap harinya (Setiawan, 2004).
Burung hantu mempunyai cara makan yang unik yaitu bagian lemak dan
daging dicerna, sedangkan tulang dan kulit serta rambut/bulu dipisahkan
kemudian dikeluarkan dalam bentuk gumpalan (pelet) melalui mulut yang
dijatuhkan di sekitar sarang. Awalnya, burung ini akan memotong leher tikus
menggunakan paruhnya yang tajam setelah tiba di sarang. Sasaran utama yang
menjadi santapan adalah kepala tikus yang akan ditelan bersama-sama kulit serta
bulunya. Tahap berikutnya, burung hantu akan membuka isi perut tikus dan
langsung memakannya. Bila induk sedang mengasuh anak-anaknya, maka isi

Universitas Sumatera Utara

perut tikus ini akan diberikan kepada anak-anaknya.
mencabik-cabik atau memotong-motong daging.

Tahap akhir adalah

Setelah dicerna, seluruh

makanan tersebut menjadi gumpalan yang disebut pelet. Lalu, sekitar 6 jam,
secara biologis akan terjadi proses pemuntahan kembali sisa makanan yang tidak
dicerna. Hasil muntahan ini berbentuk bulat yang direkatkan oleh semacam lem.
Bila muntahan (pelet) ini dibuka, maka di dalamnya akan terlihat tulang yang
dibalut oleh bulu-bulu tikus. Kotoran seperti ini banyak terdapat di pagupon
maupun di sekitarnya terutama pada pagupon yang ditempati untuk menetap dan
berkembang biak (Setiawan, 2004).
Burung hantu jantan sering kali membawa hasil buruan untuk betina dan
anak-anaknya sehingga aktivitas berburu jantan lebih tinggi dari yang betina.
Burung hantu jantan bertanggung jawab untuk memberikan asupan nutrisi pada
burung hantu betina dan anak-anaknya. Sebelum burung hantu jantan memberikan
hasil buruan kepada burung hantu betina, burung hantu jantan bertengger pada
atap sekitar sarang untuk memindah mangsa yang dibawa dengan cakarnya dari
tempat buruan ke paruh baru diberikan pada betina (Hadi, 2008).
Di perkebunan kelapa sawit burung hantu dapat menurunkan serangan
tikus dari 20–30% menjadi 5%.

Karena sepasang burung hantu mampu

memangsa 3650 ekor tikus per tahun, dan seekor burung hantu mampu memangsa
tikus 2–5 ekor per hari dengan jangkauan terbang hingga 12 km (Erik, 2008).
Penelitian menunjukkan bahwa kotoran burung hantu Tyto alba 99% adalah jenis
tikus, sedangkan yang 1% adalah serangga dengan kemapuan mengkonsumsi
antara 2-3 ekor per hari dan mampu berburu tikus melebihi jumlah yang
dimakannya.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Efektivitas Beberapa Rodentisida Nabati terhadap Tikus Sawah (Rattus argentiventer Robb and Kloss) di Laboratorium

3 22 79

Efektivitas Beberapa Rodentisida Nabati terhadap Tikus Sawah (Rattus argentiventer Robb and Kloss) di Laboratorium

0 1 12

Efektivitas Beberapa Rodentisida Nabati terhadap Tikus Sawah (Rattus argentiventer Robb and Kloss) di Laboratorium

0 0 2

Efektivitas Beberapa Rodentisida Nabati terhadap Tikus Sawah (Rattus argentiventer Robb and Kloss) di Laboratorium

0 0 4

Evaluasi Serangan Tikus Sawah ( Rattus argentiventer Robb & Kloss) Sebagai Dampak Keberadaan Burung Hantu ( Tyto alba ) di Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara

0 0 12

Evaluasi Serangan Tikus Sawah ( Rattus argentiventer Robb & Kloss) Sebagai Dampak Keberadaan Burung Hantu ( Tyto alba ) di Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara

0 0 2

Evaluasi Serangan Tikus Sawah ( Rattus argentiventer Robb & Kloss) Sebagai Dampak Keberadaan Burung Hantu ( Tyto alba ) di Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara

0 2 3

Evaluasi Serangan Tikus Sawah ( Rattus argentiventer Robb & Kloss) Sebagai Dampak Keberadaan Burung Hantu ( Tyto alba ) di Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara Chapter III V

0 1 24

Evaluasi Serangan Tikus Sawah ( Rattus argentiventer Robb & Kloss) Sebagai Dampak Keberadaan Burung Hantu ( Tyto alba ) di Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara

0 1 4

Evaluasi Serangan Tikus Sawah ( Rattus argentiventer Robb & Kloss) Sebagai Dampak Keberadaan Burung Hantu ( Tyto alba ) di Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara

0 0 22