Analisis Faktor Risiko Kejadian Dermatitis Atopik pada Siswa Sekolah Dasar di Medan

6

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dermatitis Atopik
DA adalah penyakit kulit kronik yang hilang timbul dengan rasa gatal,
yang paling sering terjadi selama masa bayi dan kanak-kanak. Umumnya
dikaitkan dengan abnormalitas fungsi barier kulit, sensitisasi alergen dan infeksi
kulit berulang. DA umumnya timbul pada tahun pertama kehidupan dan sering
dikaitkan dengan riwayat keluarga yang mengalami atopi.1,9 DA merupakan
kondisi yang sulit untuk didefinisikan dikarenakan kurangnya alat diagnostik dan
gambaran klinis yang bervariasi. Definisi yang diikuti adalah berdasarkan
konsensus dari berbagai kelompok. Ruam pada DA yaitu papul yang pruritik yang
berkembang menjadi ekskoriasi dan likenifikasi, dengan distribusi khas pada
daerah fleksural.1,4

2.2 Etiologi
DA merupakan penyakit kulit inflamasi yang diakibatkan oleh interaksi
antara gen yang mengalami kerentanan genetik dalam pertahanan barier kulit,
defek pada sistem imun bawaan, dan peningkatan respon imunologi terhadap

alergen dan antigen mikroba.1
Secara umum, etiologi DA dianggap multifaktorial, termasuk diantaranya
interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Peningkatan insidensi DA selama
dekade terakhir juga mendukung akan pentingnya peran faktor paparan

Universitas Sumatera Utara

7

lingkungan atau interaksi dengan faktor genetik, dikarenakan faktor genetik saja
tidak dapat menjelaskan peningkatan DA.3
Perkembangan DA yang dini diduga terdapat pengaruh lingkungan, yang
dapat terjadi di awal kehidupan, intrauterin maupun perinatal. Mengapa faktor
lingkungan menjadi pencetus bagi yang memiliki predisposisi genetik harus dicari
selanjutnya.1,3,5,6,8,10-14

Terdapat

beberapa


faktor

risiko

yang

dikatakan

berhubungan dengan kejadian dermatitis atopik pada anak, diantaranya:
a. Faktor berat badan lahir.
Beberapa penelitian menguji hubungan antara berat badan lahir dengan
penyakit atopi, namun belum ada konsensus yang mendapatkan hasil yang
konsisten. Dalam beberapa penelitian mengemukakan hipotesis bahwa
berat badan lahir rendah (4000gram) menunjukkan
faktor risiko untuk terjadinya penyakit ini.15

b. Riwayat mendapatkan air susu ibu.
Peran air susu ibu (ASI) yang diberikan secara eksklusif minimal selama 3
bulan memberikan efek perlindungan terhadap DA masih dipertanyakan.16
Kebijakan lama berpendapat bahwa pemberian ASI selama 4 bulan

pertama kehidupan secara umum mengurangi insidensi DA pada anak.
Penelitian-penelitian terakhir mempertanyakan pernyataan ini, terutama
pada kasus dimana si ibu sendiri mengalami penyakit alergi. Tidak dapat
dipungkiri bahwasanya ASI lebih baik dibandingkan dengan susu formula,
dikarenakan

kandungan

nutrisi,

efek

imunologi

dan

manfaat

Universitas Sumatera Utara


8

psikologisnya. Namun penelitian tentang hubungan antara ASI dan
perkembangan kejadian DA selama ini menunjukkan hasil yang tidak
konsisten. Telah dihipotesiskan bahwasanya ASI memiliki efek protektif
dalam perkembangan DA, namun hal ini tidak didukung oleh penelitian
lainnya. Perbedaan ini menggambarkan variasi komposisi ASI tiap
individu atau karena faktor lainnya. Kedua hasil penelitian yang
kontroversi ini didapatkan dalam rangka usaha untuk menghasilkan
pedoman yang bermakna mengenai pemberian ASI pada bayi yang
memiliki faktor resiko DA.16-20
c. Paparan asap rokok.
Salah satu hal yang banyak dipelajari mengenai penyebab meningkatnya
DA adalah perubahan paparan baik yang diketahui maupun tidak, dan
diantara faktor-faktor tersebut merokok memegang peranan.21 Paparan
dengan asap rokok pada masa kehamilan maupun perinatal dihubungkan
dengan DA pada anak. Meski hasil dari tiap-tiap peneliti tersebut
memberikan hasil yang berbeda, peningkatan risiko penyakit alergi pada
orang-orang yang terpapar dengan asap rokok secara biologik merupakan
hal yang mungkin, karena asap rokok diketahui menyebabkan sensitisasi

terhadap alergen indoor yang tahan lama, seperti halnya hewan berbulu
atau pollen yang merupakan alergen outdoor.21-24
Penelitian menunjukkan berbagai polutan dari udara seperti asap rokok
dari lingkungan, senyawa organik volatil, formaldehid, dapat menginduksi
stres oksidatif pada kulit, yang selanjutnya mengakibatkan disfungsi barier
kulit dan disregulasi imun. Dihipotesiskan bahwa disintegrasi barier kulit

Universitas Sumatera Utara

9

ini memfasilitasi penetrasi alergen, yang dikenal dengan hipotesis
“outside-inside”. Meskipun

demikian, penelitian masih kontradiktif

dikarenakan masih sedikitnya jumlah penelitian yang mengaitkan polusi
udara dengan DA.25

Gambar 2.1 Mekanisme paparan polusi udara dalam mempengaruhi

perkembangan dermatitis atopik.

*Dikutip sesuai dengan aslinya dari kepustakaan no 25

Universitas Sumatera Utara

10

d. Jumlah anggota keluarga
Berdasarkan observasi, DA lebih jarang terdapat pada anak-anak yang
tumbuh dalam keluaga besar dan yang memiliki saudara kandung yang
lebih tua. Sedangkan kecendrungan untuk membentuk keluarga kecil
mengakibatkan paparan dengan patogen infeksi menjadi lebih rendah dan
meningkatkan risiko penyakit alergi. Hal ini dispekulasikan bahwa
patogen tertentu dapat memberi perlindungan terhadap DA dan bentuk
penyakit alergi lainnya. Temuan epidemiologi ini didukung oleh hasil
penelitian imunologi, yang menunjukkan bahwa sitokin anti inflamasi,
seperti interleukin (IL)-10 dan transforming growth factor-beta, diinduksi
oleh penyakit mikroba dan parasit, dapat mengurangi regulasi inflamasi
jaringan akibat alergi sebagai konsekuensi dari perubahan sel T helper 1,2

dan regulatory. Penelitian-penelitian yang mengaitkan asma dengan
jumlah anggota keluarga telah lebih banyak dilakukan, sedangkan dengan
DA masih sedikit. Paparan akan infeksi diawal kehidupan mengurangi
perkembangan penyakit alergi ini yang dikenal dengan “hygiene
theory”.26,27
e. Paparan hewan peliharaan
Paparan hewan peliharaan dengan kejadian DA telah lama dikaitkan,
namun hasil dari masing-masing peneliti tidak sama. Kontak yang teratur
dengan hewan peliharaan meningkatkan paparan dengan produk mikroba,
termasuk diantaranya endotoksin, didalam masa kehamilan atau masamasa awal kehidupan telah dikaitkan dengan penurunan sensitisasi atopik
sehingga menurunkan berbagai penyakit alergi. Beberapa penelitian kohort

Universitas Sumatera Utara

11

akhir-akhir ini memberikan hasil baru mengenai hubungan antara paparan
hewan peliharaan terutama anjing atau kucing, dengan risiko DA pada
anak. Terdapat kaitan yang kuat antara hewan peliharaan dengan risiko
DA di Amerika, namun kurang pada penelitian yang dilakukan di Jepang.

Hal ini sulit dijelaskan, mungkin karena perbedaan keeratan populasi
dengan hewan peliharaan dan peran interaksi dari gen dan lingkungan,
sehingga hal ini masih perlu untuk diteliti lebih lanjut.28-30
f. Riwayat keluarga yang menderita atopi
Kaitan familial yang jelas menunjukkkan faktor genetik merupakan hal
yang penting dalam patogenesis asma dan penyakit alergi lainnya. DA
merupakan penyakit yang kompleks dengan pengaruh familial dari ibu
yang kuat, meskipun tidak teridentifikasi penanda genetik yang dapat
dipercaya untuk sensitisasi IgE atau penyakit alergi yang spesifik.1,3

2.3 Patogenesis
DA merupakan hasil dari interaksi yang kompleks antara disregulasi imun,
disfungsi barier epidermal dan interaksi lingkungan dengan kulit. Konsep
patogenesis ‘inside-out’ berfokus pada abnormalitas imun sebagai yang utama,
sementara teori ‘outside-in’ mempertimbangkan disfungsi barier epidermal
(bentuk imunitas bawaan) sebagai peran yang utama. Beberapa abnormalitas
imunologi telah dicatat pada individu-individu dengan DA. Pada fase akut DA,
sel-sel langerhans epidermal diaktifasi oleh ikatan alergen, seperti makanan,
aeroalergen, dan superantigen mikrobial. Aktifasi limfosit T dari T helper 2 (Th2),


Universitas Sumatera Utara

12

mengakibatkan peningkatan ekspresi dari interleukin 4, 5 dan 13 yang
meningkatkan eosinofil dan produksi Ig E.1
Disfungsi imunitas bawaan juga memegang peran penting dalam DA.
Epidermis yang intak dibutuhkan, dimana fungsinya sebagai barier terhadap
kehilangan air dan masuknya agen asing seperti mikroba dan alergen. Barier ini
diubah oleh penurunan ekspresi dari protein struktural seperti filaggrin, atau oleh
peningkatan ekspresi dari protease ( khususnya kallikrein 5) yang merusak barier.
Anak dengan DA cenderung mengalami penurunan kandungan seramid, lipid
ekstraselular yang penting untuk fungsi barier normal. Disfungsi barier
mengakibatkan peningkatan transepidermal water loss dan kulit yang kering,
yang merupakan tanda DA. Disfungsi barier epidermal juga memudahkan
penetrasi alergen dengan berat molekul yang berat, seperti antigen tungau debu
dan mikroba.9,31,32 Beberapa faktor risiko DA telah banyak diteliti termasuk oleh
The International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC).
Kuisioner ISAAC telah dikembangkan untuk menentukan faktor risiko pada
berbagai penyakit alergi (asma, rhinitis alergi dan dermatitis atopi) dengan alat

yang telah distandarisasi dan metodelogi dalam wilayah yang berbeda.6

2.4 Gambaran klinis
Gejala pruritus, penyakit yang berlangsung kronis, dan morfologi penyakit
yang spesifik sesuai umur serta distribusi lesi tetap merupakan gambaran klinis
DA yang paling penting. Lesi DA akut berupa papul eritematosa, ekskoriasi,
vesikel diatas kulit yang eritematosa, dan eksudat serosa. DA subakut ditandai
dengan papul yang berskuama, ekskoriasi dan eritematosa. Sedangkan pada DA

Universitas Sumatera Utara

13

kronis gambaran klinisnya berupa plak yang menebal, likenifikasi dan papul
fibrotik. Pada DA kronis ketiga tingkat reaksi kulit dapat ditemukan, pada semua
tahap DA, pasien umumnya memiliki kulit yang kering dan reaktif.
DA dapat dibagi menjadi 3 fase berdasarkan umur pasien dan distribusi
lesi. Pembagian tersebut yaitu DA infantil, masa anak-anak, dan dewasa.
1. DA infantil (0-2 tahun) umumnya akut berupa lesi eritematosa, papul,
vesikel, erosi, eksudasi dan krusta, dengan distribusi dominan pada wajah,

kulit kepala, dan bagian ekstensor dari ekstremitas.
2. DA pada anak (2 tahun - remaja) memiliki lesi yang berdistribusi pada
lipatan fleksural dari ekstremitas, lesi lebih bersifat kronis, lebih kering,
berupa plak eritematosa, skuama, batas tidak tegas dapat disertai eksudat,
krusta dan ekskoriasi.
3. DA pada dewasa ( diatas 18 tahun ) memiliki lesi yang kronis, papul atau
plak eritematosa, skuama dan likenifikasi, umumnya bermanifestasi
sebagai eksim pada tangan, distribusinya yaitu lipatan fleksural, wajah,
leher, lengan atas, punggung serta bagian dorsal tangan.1,2,9

2.5 Diagnosis
Tidak terdapat satu pun gambaran klinis maupun uji laboratorium yang
dapat menentukan diagnosis. Sehingga, diagnosis ditetapkan berdasarkan berbagai
kriteria diantaranya kriteria William dan kriteria Hanifin-Rajka. Hanifin dan
Rajka membuat suatu kriteria diagnostik mayor maupun minor berdasarkan
pengalaman mereka. Kriteria ini memberikan suatu keseragaman diagnosis untuk

Universitas Sumatera Utara

14

rumah sakit dan penelitian eksperimental, namun diperkirakan kurang untuk
penelitian berdasarkan populasi.4,26

Kriteria Hanifin-Rajka yaitu sebagai berikut:
Kriteria mayor: harus ada sedikitnya 3 atau lebih
1. Pruritus
2. Morfologi dan distribusi khas yaitu likenifikasi pada pasien dewasa, erupsi
di daerah wajah atau ekstensor pada pasien bayi dan anak
3. Dermatitis kronis atau kronik residif
4. Riwayat atopi pada diri atau keluarga (asma bronkial, rhinitis alergik,
dermatitis atopik)
Kriteria minor: harus ada sedikitnya 3 atau lebih
1. Xerosis
2. Iktiosis/ hiperlinear palmar/ keratosis pilaris
3. Reaksi tipe cepat (tipe 1) pada uji kulit
4. IgE serum meningkat
5. Awitan pada usia dini
6. Kecenderungan infeksi kulit (khususnya Staphylococcus aureus dan
Herpes simplex), imunitas selular yang terganggu.
7. Kecenderungan mengalami dermatitis non spesifik pada tangan dan kaki.
8. Eksema pada puting susu
9. Kheilitis
10. Konjungtivitis berulang
11. Lipat Dennie-Morgan pada daerah infraorbital

Universitas Sumatera Utara

15

12. Keratokonus
13. Katarak subskapsular anterior
14. Kegelapan pada orbita
15. Muka pucat atau eritema
16. Pityriasis alba
17. Lipatan pada leher sisi anterior
18. Gatal bila berkeringat
19. Intoleransi terhadap wol dan pelarut lemak
20. Aksentuasi perifolikular
21. Intoleransi makanan
22. Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan emosi
23. White dermographism atau delayed blanch

Tim UK working party yang terdiri dari 16 orang dokter, mengusulkan daftar
minimal untuk kriteria diagnostik untuk mendiagnosis DA yang dapat dipercaya
berdasarkan penyempurnaan dari kriteria Hanifin Rajka yang asli, dimana telah
menunjukkan validitas baik untuk basis rumah sakit maupun basis komunitas.
Kriteria UK ini dapat digunakan secara mudah, hanya memerlukan waktu 2 menit.
Penggunaannya dapat dikonfirmasikan pada geografi yang berbeda. Berikut
kriteria UK untuk diagnosis DA.26
Harus ada:
Kondisi kulit yang gatal (atau laporan orang tua tentang anak yang
menggaruk atau menggosok kulit) dalam 12 bulan terakhir

Universitas Sumatera Utara

16

Ditambah terdapat 3 atau lebih kriteria berikut:
a. Riwayat keterlibatan lipat kulit (siku depan, lutut bagian belakang,
tumit bagian depan, sekitar leher, atau sekitar mata)
b. Riwayat asma atau hay fever (atau riwayat penyakit atopik pada garis
keturunan pertama bila anak berusia kurang dari 4 tahun)
c. Riwayat kulit kering secara umum dalam setahun terakhir.
d. Onset dibawah umur 2 tahun (tidak digunakan bila anak berumur
dibawah 4 tahun)
e. Dermatitis fleksural yang terlihat (termasuk dermatitis yang mengenai
dagu atau dahi dan bagian luar dari ekstremitas pada anak dibawah 4
tahun)

Kriteria ISAAC merupakan salah satu cara untuk mendiagnosis DA. Suatu
metode praktis agar peneliti di seluruh dunia dapat menggunakan metodelogi yang
sama untuk mendiagnosis dermatitis atopi di masyarakat dengan menggunakan
kuisioner. Kuisioner ISAAC ini dapat digunakan pada keadaan geografi maupun
bahasa yang berbeda, telah dipergunakan di 156 senter dari 56 negara, termasuk
Indonesia.33-35
Masih terdapat beberapa kriteria diagnostik untuk DA lainnya yaitu
kriteria Kang dan Tian, kriteria Schultz Larsen, Danish Allergy Research centre
(DARC). Kriteria mana yang dapat paling efektif masih diperdebatkan dalam
situasi case control atau penelitian genetik. Penelitian membandingkan kesesuaian
diagnostik.26

Universitas Sumatera Utara

17

2.6 Dermatitis atopik dan kuesioner The International Study of Asthma and
Allergies in Childhood (ISAAC)
The International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC)
telah membuat kuisioner yang terstandarisasi pada tahun 1990 untuk
memaksimalkan penelitian epidemiologi tentang asma, rhinitis alergi (RA) dan
dermatitis atopik. Tujuan ISAAC adalah untuk menilai prevalensi dan tingkat
keparahan asma, RA dan DA pada anak yang tinggal di tempat yang berbeda dan
membuat perbandingan, menilai kecenderungan prevalensi dan tingkat keparahan
penyakit di masa depan, serta mempersiapkan kerangka kerja untuk penelitian
lebih lanjut dalam hal genetik, gaya hidup, perawatan medis dan faktor
lingkungan yang mempengaruhi penyakit ini.33
ISAAC merumuskan suatu modul kuesioner yang bertujuan untuk
menentukan prevalensi DA di suatu wilayah dengan cara yang mudah, dengan
menggunakan kuisioner inti (core questionare) dari ISAAC untuk DA. Disamping
itu, ISAAC juga mengembangkan kuisioner mengenai faktor-faktor risiko
terjadinya penyakit atopi termasuk atopik dermatitis. Terdapat faktor lingkungan
yang telah dihipotesiskan berperan dalam peningkatan penyakit alergi,
diantaranya yaitu polusi udara baik dalam maupun luar ruangan, penurunan
paparan terhadap stimulasi mikroba, dan perubahan diet. Dalam kuisioner ISAAC
yang mengobservasi faktor-faktor risiko yang berperan dalam terjadinya asma dan
penyakit alergi pada anak (modul 2.5), terutama berisi beberapa pertanyaan yang
telah sukses digunakan pada penelitian ISAAC fase II di Jerman. Kuisioner ini
berisi 48 pertanyaan, namun beberapa peneliti mengurangi jumlah pertanyaan
sesuai dengan penelitian mereka masing-masing. Kuisioner ini bertujuan

Universitas Sumatera Utara

18

menemukan standarisasi pertanyaan tentang faktor risiko untuk penyakit asma dan
alergi lainnya dimana menelaah riwayat kehidupan baik selama hamil dan tahun
pertama kehidupan.12,36
Kuesioner ISAAC ini, baik kuesioner inti untuk mendiagnosis DA, RA
dan asma maupun kuesioner faktor risiko, dapat digunakan pada keadaan geografi
maupun bahasa yang berbeda, telah divalidasi dan dipergunakan di 156 senter dari
56 negara, termasuk Indonesia.33-35 Penelitian yang menggunakan

kuesioner

ISAAC di Indonesia diantaranya yaitu penelitian di Semarang, Bandung dan
Padang.37-39

2.7 Tata laksana
Pengobatan DA yang berhasil membutuhkan pendekatan yang sistematis,
multiaspek yang meliputi edukasi mengenai stadium penyakit, hidrasi kulit, terapi
farmakologis dan identifikasi serta eliminasi faktor pencetus seperti iritan,
alergen, agen infeksi, dan stressor emosional. Banyak faktor yang mengakibatkan
kumpulan gejala yang merupakan karakteristik DA.1 Karena itu perencanaan
terapi harus dilakukan secara individual meliputi penentuan pola reaksi penyakit
kulit masing-masing pasien, termasuk beratnya ruam, dan faktor pencetus yang
unik untuk tiap-tiap pasien.1,2 Terapi untuk DA yaitu sebagai berikut:
2.7.1 Terapi topikal
a. Hidrasi kulit
Pasien dengan DA yang memiliki fungsi kulit abnormal dengan
peningkatan transepidermal water loss dan penurunan kandungan air dan kulit
kering (xerosis) berperan pada morbiditas penyakit dengan perkembangan

Universitas Sumatera Utara

19

mikrofisura dan keretakan kulit, yang menyediakan jalan masuknya kuman
patogen, iritan dan alergen. Gen FLG mutasi juga telah ditunjukkan
mengakibatkan penurunan kadar natural moisturizing factor pada epidermal.
Penggunaan emolien yang dikombinasikan dengan terapi hidrasi dapat membantu
memperbaiki dan mempertahankan barier stratum korneum, dan dapat
mengurangi kebutuhan glukokortikoid topikal. Pelembab dapat diberikan dalam
bentuk lotion, krem atau oinment. Terapi topikal untuk menggantikan lemak
epidermal, meningkatkan hidrasi kulit, dan menurunkan disfungsi barier kulit
dapat bermanfaat secara terapetik.1,2,40
b. Terapi antiinflamasi topikal
Glukokortikoid topikal merupakan terapi utama dalam terapi antiinflamasi
pada kulit yang mengalami eczema. Dikarenakan berpotensi menimbulkan efek
samping, sebagian besar dokter menggunakan glukokorikoid topikal hanya untuk
mengontrol eksaserbasi akut DA. Pasien sebaiknya memahami instruksi secara
hati-hati penggunaan glukokortikoid topikal untuk menghindari efek samping.1,2,40
Takrolimus dan pimekrolimus topikal telah dikembangkan sebagai
imunomodulator nonsteroid. Takrolimus oinment 0,03% telah disetujui untuk
terapi intermiten DA sedang sampai dengan berat pada anak yang berusia 2 tahun
keatas. Pimekrolimus krem 1% disetujui untuk terapi DA ringan sampai dengan
sedang pada anak usia 2 tahun ke atas. Efektifitas dan keamanan yang baik
dicapai oleh takrolimus oinment untuk terapi sampai dengan 4 tahun, dan
pimekrolimus sampai dengan 2 tahun.2

Universitas Sumatera Utara

20

2.7.2

Identifikasi dan eliminasi faktor pencetus
Pasien dengan DA lebih rentan terhadap iritan dibandingkan dengan

individu yang tidak terkena. Sehingga penting untuk mengidentifikasi dan
mengeliminasi faktor yang memicu tercetusnya siklus gatal garuk, seperti sabun
atau deterjen, kontak dengan bahan kimia, asap, pakaian yang kasar, atau paparan
dengan temperatur dan kelembaban yang ekstrem.2
Makanan dan aeroalergen seperti tungau debu, bulu binatang, molds dan
serbuk sari telah menunjukkan dapat mengeksaserbasi DA. Alergen yang
potensial dapat diidentifikasi dengan anamnesis yang teliti dan melakukan uji
tusuk kulit atau pemeriksaan kadar IgE. Alergen yang dapat mengeksaserbasi DA
berbeda-beda tiap individu. Uji tusuk kulit atau uji in vitro yang positif khususnya
terhadap makanan, sering tidak berhubungan dengan gejala klinis dan sebaiknya
dikonfirmasi dengan pengontrolan makanan dan eliminasi diet. Apakah seorang
anak dengan DA harus menjalani diet yang ketat atau tidak merupakan isu yang
masih kontroversial.1,40
Meskipun stres emosional tidak menyebabkan DA, namun hal ini dapat
menyebabkan kekambuhan DA. Pasien DA sering merespon rasa frustasi atau
stresnya dengan peningkatan rasa gatal dan menggaruk. Evaluasi psikologikal
atau konseling sebaiknya dipertimbangkan untuk pasien yang memiliki masalah
dimana stres dapat mencetuskan penyakitnya.1,2
Pasien-pasien DA dengan tingginya kolonisasi atau terinfeksi dengan S.
aureus, maka pemberian antibiotik antistaphilococcal sangat membantu.2

Universitas Sumatera Utara

21

2.7.3 Terapi sistemik
Terapi sistemik yang dapat digunakan untuk DA yaitu glukokortikoid
sistemik, siklosporin, anti metabolit, interferon γ, omalizumab dan imunoterapi
alergen.2,40

2.7.4 Edukasi
Edukasi dapat diperrtimbangkan sebagai intervensi terapetik dalam
manajemen DA. Edukasi mengenai keparahan penyakit dalam suatu penelitian
menunjukkan perbaikan kualitas hidup pasien dan derajat keparahan DA.1,2

Universitas Sumatera Utara

22

2.8

Kerangka teori

Etiologi:
Genetik

Lingkungan
Faktor risiko:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Berat badan lahir
Riwayat mendapat ASI
Paparan asap rokok
Jumlah anggota keluarga
Paparan hewan peliharaan
Riwayat atopi dalam keluarga

Dermatitis Atopik
Diagnosis:


Tata laksana






Edukasi
Menghindari dan memodifikasi faktor pencetus
lingkungan
memperkuat dan mempertahankan fungsi sawar kulit
yang optimal
Menghilangkan penyakit kulit inflamasi
Mengendalikan dan mengeliminasi siklus gatal garuk






Kriteria Hanifin
Rajka
Kriteria UK
Kriteria ISAAC
Kriteria DARC
Kriteria Kang dan
Tian

Gambar 2.2 Kerangka teori

Universitas Sumatera Utara

23

2.9

Kerangka konsep

Faktor risiko:
1. Berat badan lahir
2. Riwayat mendapat ASI
3. Paparan asap rokok
4. Jumlah anggota keluarga

Dermatitis
atopik

5. Paparan dengan hewan peliharaan
6. Riwayat keluarga menderita atopi

Gambar 2.3 Kerangka konsep

Universitas Sumatera Utara