Altar Sembahyang Untuk Dewi Kwan Im Pada Rumah Masyarakat Tionghoa Buddha Di Medan: Kajian Terhadap Artefak, Kegiatan, Dan Gagasan Chapter III VI

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan langkah atau tahapan yang dilakukan
dalam sebuah penelitian. Tahapan tersebut diawali dengan menggunakan
sebuah pendekatan sampai pada teknik pengumpulan data serta teknik analisis
data. Pendekatan sering disamakan dengan metode, tetapi jika ditelusuri lebih
lanjut maka pendekatan akan lebih dekat dengan pembicaraan suatu
ilmu,sedangkan

metode

mengarah

pada

teknik

pengumpulan


dan

penganalisisan data. Dalam metode penelitian pada dasarnya peneliti
mengungkapkan sejumlah cara yang disusun secara sistematis, logis, rasional
dan terarah tentang bagaimana pekerjaan sebelum, ketika dan sesudah
mengumpulkan data sehingga diharapkan maupun menjawab secara ilmiah
perumusan masalah yang telah ditetapkan. Metode penelitian yang digunakan
dalam meneliti artefak, kegiatan dan gagasan altar sembahyang Dewi Kwan Im
pada rumah masyarakat Tionghoa Buddha di Medan adalah metode deskriptif
dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Sukmadinata (2006:72) menjelaskan Penelitian deskriptif adalah suatu
bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena
yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia.
Fenomena itu bisa berupa bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan,
kesamaan, dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan fenomena lainnya.

Universitas Sumatera Utara

Dengan teknik observasi, penulis melakukan pengumpulan data primer dengan
cara pengamatan langsung dan merekam hal-hal yang dapat diamati.

Arief Furchan (1999: 22) menjelaskan metode kualitatif ialah “proses
penelitian yang menghasilkan data deskriftif, ucapan atau tulisan atau perilaku
yang dapat diamati dari orang-orang itu sendiri, menurut pendapat
kami pendekatan ini langsung menunjukan setting dan individu-individu dalam
setting itu secara keseluruhan. Subyek penyelidikan baik berupa organisasi atau
individu tidak mempersempit menjadi variable yang terpisah atau menjadi
hipotesa melainkan dipandang sebagai sebagian dari suatu keseluruhan”.Dari
pendapat diatas, dapat dikatakan bahwa pendekatan kualitatif,berusaha
mendapatkan data deskriptif, ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat
diamati.
3.2 Lokasi Peneltian
Pada lokasi penelitian, penulis hanya memilih beberapa rumah
masyarakat Tionghoa yang memilki altar sembahyang Dewi Kwan Im antara
lain:
1. Kompleks Cemara Hijau Blok G No.4, Medan,
2. Jln. Terong No.48c, Medan,
3. Gg. Sidomulyo No,11a, Medan,
4. Jln. Gatot Subroto No.66, Medan,
5. Jln. Demak No.5 e/g, Medan,
6. Jln. Belitung No.36, Medan,

7. Jln. Pukat VII No.5A, Medan.

Universitas Sumatera Utara

Alasan pemilihan lokasi penelitian ialah karena beberapa rumah
masyarakat Tionghoa diatas memiliki perbedaan altar sembahyang yang satu
dengan yang lainnya, dan setiap altar sembahyang tersebut mempunyai
keunikannya tersendiri.

3.3 Data dan Sumber Data
Data adalah keterangan berdasarkan fakta yang ada disimpan atau
dicari untuk mendapatkan kebenaran. Apabila dilihat dari (KBBI 1990:187)
data adalah keterangan yang benar dan nyata, yang dapat dijadikan dasar kajian.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif, berupa
kata–kata dan tindakan, serta data tambahan seperti dokumentasi dan lain–lain.
Datapenelitian kualitatif dapat berupa data bersumber manusia (data primer)
dan data di luar manusia (data sekunder).Sumber data primer diperoleh melalui
hasil penelitian lapangan di rumah masyarakat Tionghoa yang memiliki altar
sembahyang Dewi Kwan Im, sedangkan data sekunder diperoleh melalui bukubuku, jurnal, artikel-artikel yang berhubungan dengan altar sembahyang Dewi
Kwan Im, yang kemudian akan dipilah-pilah untuk dijadikan bahan penelitian.


3.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah cara peneliti memperoleh dan
mengumpulkan data. Ada dua teknik pengumpulan data yaitu studi
kepustakaan (library research) dan studi lapangan (field research).

Universitas Sumatera Utara

3.4.1 Studi Kepustakaan (Library Research)
Nazir(1988: 111) mengatakan bahwa Studi kepustakaan merupakan suatu
kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari suatu penelitian.Studi kepustakaan
adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan
terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan
yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan. Penulis akan
mengumpulkan

informasi sebanyak-banyaknya

dari kepustakaan


yang

berhubungan. Sumber-sumber kepustakaan dapat diperoleh dari: buku, jurnal,
majalah, hasil-hasil penelitian (tesis dan disertasi), dan sumber-sumber lainnya
yang sesuai (internet, Koran, dan lain-lain). Setelah semua terkumpul terlebih
dahulu penulis membaca lalu mengklasifiasikan untuk dijadikan bahan
penelitian.

3.4.2 Observasi
Soehartono(1995:69) mengatakan bahwa teknik observasi disebut juga
teknik pengamatan yaitu setiap kegiatan yang dilakukan untuk mengukur
dengan menggunakan indera penglihatan atau dengan arti lain yaitu melihat
tanpa melakukan pertanyaan-pertanyaan. Dalam penelitian ini, penulis secara
langsung melakukan observasi/pengamatan di rumah masyarakat Tionghoa
yang memiliki altar sembahyang Dewi Kwan Im.
Dalam penelitian ini metode yang dipergunakan adalah metode
observasi partisipatif (observasi atau pengamatan terlibat) dengan maksud
melakukan penelitian terjun langsung ke lokasi dengan tujuan mendapatkan
sumber data sebanyak mungkin.Metode ini digunakan oleh penulis sebelum


Universitas Sumatera Utara

melakukan metode interview. Teknik yang digunakan dalam metode observasi
ini adalah penulis melakukan observasi langsung pada rumah masyarakat
Tionghoa yang memiliki altarsembahyang Dewi Kwan Im.

3.4.3 Wawancara
Burhan Bungin (2001:155) mengatakan bahwa wawancara adalah
proses percakapan dengan maksud untuk mengonstruksi mengenai orang,
kejadian, organisasi, motivasi, perasaan, dan sebagainya yang dilakukan dua
pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dengan
orang yang diwawancarai (interview).
Koenjaraningrat

(1981:136)

mengatakan

bahwa,


“...kegiatan

wawancara secara umum dapat dibagi tiga kelompok yaitu: persiapan
wawancara, teknik bertanya dan pencatatan data hasil wawancara.”
Dalam melakukan proses wawancara, peneliti sebelumnya telah
mempersiapkan pertanyaan dan alat perekam, menentukan informan yang
dianggap penulis dapat membantu penulis untuk melengkapi data. Dalam
melakukan wawancara, penulis akan menulis dan merekam data yang didapat
dari informan.

3.5 Teknik Analisis Data
Dalam penelitian penulis menggunakan pengolahan data kualitatif. Data
bermuatan kualitatif disebut juga dengan data lunak. Data semacam ini
diperoleh melalui penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif, atau
penilaian kualitatif. Keberadaan data bermuatan kualitatif adalah catatan

Universitas Sumatera Utara

lapangan yang berupa catatan atau rekaman kata-kata, kalimat, atau paragraf
yang diperoleh dari wawancara menggunakan pertanyaan terbuka, observasi

partisipatoris, atau pemaknaan peneliti terhadap dokumen atau peninggalan.
Data kualitatif terdiri atas kata-kata, kalimat dan deskripsi dan bukannya
angka-angka. Langkah-langkah dalam menganalisis data dalam penelitian ini
yaitu:
1. Mengumpulkan data yang bersumber dari kepustakaan dan
lapangan yang dikumpulkan menjadi satu oleh penulis,
2. Melakukan observasi lapangan ketempat penelitian,
3. Penulis akan melakukan wawancara kepada masyarakat Tionghoa
yang memilki altar sembahyang Dewi Kwan Im,
4. Berdasarkan data-data yang diambil, lalu penulis menganalisis data
dengan menggunakan teori semiotik dan teori tiga wujud budaya
yang harus berifat logis, deskriptif dan menjelaskan.
5. Merangkum data yang telah didapat agar selanjutnya data telah
didapat agar selanjutnya data tersebut dapat dijadikan sebagai
penunjang dalam pembuatan skripsi.

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
GAMBARAN UMUM SISTEM RELEGI

MASYARAKATTIONGHOA MEDAN

4.1 Macam-macam Sistem Religi Masayarakat Tionghoa
Kebudayaan Tionghoa merupakan hasil dari pola pikir masyarakat etnis
Tionghoa yang membentuk satu kesatuan kepentingan sehingga dapat
mencitrakan masyarakat Tionghoa sebagai pelaku utama kebudayaan Tionghoa.
Hal yang mendasar dari tradisi dan budaya Tionghoa adalah penghormatan
terhadap leluhur dan ajaran-ajarannya.
Aspek religi/kepercayaan merupakan bagian penting dari kehidupan
masyarakat Tionghoa. Agama-agama masyarakat Tionghoa berorientasi pada
sistem kekeluargaan tanpa menuntut ketaatan secara eksklusif seperti yang
terdapat pada agama-agama samawi (agama-agama langit). Agama yang
tumbuh dan berkembang pada masyarakat Tionghoa disebut Tridharma.
Tridharma terdiri atas tiga aliran kepercayaan, yakni Konfusianisme
(Khonghucu), Taoisme, dan Buddhisme.

4.1.1Khonghucu
Agama Konfusius, atau Khonghucu atau Konfusianisme,adalah agama
yang tertua di Cina. Istilah agama Kong Fu Zi atau Konfusianisme diberikan
oleh Matteo Riccai, seorang misionaris Yesuit yang datang ke Cina pada abad

ke-17. Sebutan resmi bagi agama Kong Fu Zi ini adalah agama Ru (Ru Jiao).
Kong Fu Zi diambil dari ejaan Pin Yinyang merupakan ejaan baku bahasa

Universitas Sumatera Utara

Mandarin. Istilah Kong Hu Cu (Kong Fu Zi), agama Khonghucu (agama Ru
Kong Fu Zi) yang dikenal di Indonesia adalah diambil dari dialek Hokkian
(Fujian).
Agama Khonghucu adalah agama yang dahulunya mengambil nama
nabi Khongcu (Kongzi/ Kong Fu Zi) yang lahir pada tanggal 27 Pig Gwee (ada
yang menghitung bertepatan dengan tanggal 3 Oktober, ada yang menetapkan
tanggal 28 September) 551 SM dikota Tsou, negeri Lu (Propinsi Shantung,
salah satu propinsi di negara Republik Rakyat Cina (RRC) sekarang).
Istilah dan pengertian iman dalam agama Khonghucu ialah Sing. Kata
Sing ini menurut asalnya terdiri dari rangkaian antara kata Gan dan Sing. Gan
berarti bicara, sabda, kalam dan Sing berarti sempurna. Karena itu pengertian
Sing mengandung makna sempurna kata, batin dan perbuatan. Di dalam
kehidupan beragama, umat Khonghucu wajib memiliki Sing atau iman
terhadap kebenaran ajaran agama yang dipeluknya.
Agama


Khonghucu

memberikan

pengertian,

bahwa

kesusilaan

merupakan pokok daripada perilaku manusia. Selaras dengan itu, maka tujuan
terakhir daripada agama khonghucu ialah membentuk manusia susilawan
(Kuncu/Chun Tzu). Maka ada empat pantangan (Si Wu) yang harus dijaga
dalam menjalankan hidup susila yakni: “Yang tidak susila jangan dilihat, yang
tidak susila jangan didengar, Yang tidak susila jangan dibicarakan, dan Yang
tidak susila jangan dilakukan”(Lun GiXII: I).
Adapun ajaran etika dalam agama Khonghucu yang diterapkan
kehidupan sehari-hari yaitu ajaran mengenai delapankebajikan (Pat Tik) yang
terdiri dari:

Universitas Sumatera Utara

1. Laku bakti/Berbakti (Siau/Hau)
Siau/Hau dapat diartikan rasa bakti yang tulus kepada orang tua, guru
dan leluhur. Yang dimaksud dengan laku bakti ialah kewajiban-kewajiban yang
dilimpahkan terhadap orang tua dan para leluhur sesuai dengan kesusilaan,
yaitu memberikan pemeliharaan yang disertai sikap hormat. Ada tiga
kewajiban utama dalam menjalankan laku bakti, yakni:
a. Dikala orang tua masih hidup, memberikan pemeliharaan sesuai dengan
kesusilaan.
b. Saat orang tua meninggal, melakukan pemakaman sesuai dengan
kesusilaan.
c. Setelah orang tua meninggal, melakukan peribadahan sesuai dengan
kesusilaan.
2. Rendah hati (Thi/Tee)
Thi/Tee dapat diartikan sebagai rasa hormat terhadap yang lebih tua di
antara saudara. Maksudnya dalam kehidupan rumah tangga seorang adik harus
dapat menghormati kakaknya. Demikian juga dalam pergaulan sehari-hari,
yang muda menghormati yang lebih tua.
3. Satya (Cung/Tiong)
Cung/Tiong adalah semangat menepati tugas, kewajiban, kedudukan
dan fungsi, serta setia sebagai manusia, mencintai tanah air, setia kepada
pekerjaan dan sebagainya.
4.Susila (Lee/Li)
Lee/Li dapat diartikan sebagai sopan santun, tatak rama, dan budi
pekerti. Li juga diartikan sebagai ritus atau upacara. Ketaatan dan ketertiban

Universitas Sumatera Utara

mematuhi tata susila, adat sopan santun, kewajiban ibadah dan segala sesuatu
yang menyangkut tata kehidupan manusia sehingga menciptakan suasana yang
tertib, rapi, indah dan khusyu. Li merupakan sesuatu yang mutlak diperlukan
sebagai pedoman lahiriah dalam kehidupan manusia untuk mencapai
keharmonisan baik keluarga, masyarakat, negara maupun dunia.
5. Menjunjung kebenaran (I/Gi)
I/Gi dapat diartikan sebagai rasa solidaritas, rasa senasib dan
sepenangngan, dan mau membela kebenaran serta menolak hal-hal yang
dirasakan tidak baik dalam hidup.
6. Suci hati (Lien/Liam)
Lien/Liam dapat diartikan membersihkan diri dari naluri-naluri negatif
seperti iri, dengki, hanya mementingkan diri sendiri, dan berbagai cacat-cacat
rendah budi lainnya.
7.Dapat dipercaya (Sin)
Sindapat diartikan kepercayaan, rasa untuk dapat dipercaya atau dapat
menepati janji, orang yang dapat menepati janji amat disegani oleh orang lain,
namun orang yang tidak dapat menepati janji akan dibenci orang lain. Untuk
dapat disenangi orang lain, orangharus memiliki Sin.
8. Tahu malu (Che/Thi)
Che/Thidiartikan dapat menahan diri untuk tidak melakukanhal-hal
yang amoral atau hal-hal yang dapat merusak moral.Yang dimaksud dengan
tahu malu ialah tahu memilah diantara perbuatan-perbuatan yang sepantasnya
dilakukan maupun yang tidak sepantasnya dilakukan sesuai dengan

Universitas Sumatera Utara

kesusilaan.Dengan tahu malu maka manusia berani mengakui kesalahannya,
berani melakukan intropeksi diri dan memperbaiki diri secara sadar.
Kedelapan sifat Pat tik banyak diajarkan kepada anak-anak Khonghucu
oleh orang tuanya dalam kehidupan sehari-hari. Penanaman sifat itu tampak
khas sekali dalam keluarga yang menganut ajaran Khonghucu secara
tradisional. Bila ajaran itu diberikan kepada seorang anak akan akan
menumbuhkan kepatuhan kepada orang tua dan orang lain.

4.1.2 Taoisme
Taoisme berkaitan dengan keadaan kerajaan Chou (abad ke 6 SM) yang
mengalami masa kehancuran, akibat penyelewengan dalam pemerintahan.
Kehidupan manusia semakin menderita, membuat orang-orang terpelajar
kecewa. Kemudian dari sebagian mereka hidup menyendiri dan hidup sebagai
biarawan, lalu mendirikan suatu aliran filsafat yang dikenal dengan nama
Taoisme atau Tao Te Chia.
Tokoh pertama atau Peletak dasar ajaran Taoisme adalah Yang Chu,
kemudian dipopulerkan oleh Lao Tzu. Menurut tradisi kepustakaan Cina, Lao
Tzu disebutkan sebagai pendiri Taoisme. Kemudian yang meneruskan ajaran
Taoisme adalah Chuang Tzu murid pertama dari Lao Tse.
Menurut kepustakaan Cina mengenai nama Taoisme sebagai filsafat
dan Taoisme sebagai agama, masing-masing memiliki ajaran yang berbeda.
Taoisme sebagai filsafat atau Tao Chiamengajarkan agar manusia hidup
mengikuti hukum alam, sedangkan Taoisme sebagai agama atau Tao Mao
mengajarkan agar manusia tidak menentang hukum alam. Kemudian dalam

Universitas Sumatera Utara

perkembangan keduanya tidak berbenturan, karena praktek dan pemaknaan
agama dan filsafat di China tidak memiliki garis atau sekat yang jelas dalam
kehidupan sehari-hari.(Soejono Soemargono, 1990).
Filsafat Taoisme dapat dikatakan empiris dan juga praktis. Empiris,
karena konsepsi kefilsafatannya merujuk pada fenomena alam yang mudah
ditangkap dan diamati oleh manusia,misalnya bagaimana sifat air dan matahari
yang dapat memberi makna simbolik bagi kehidupan manusia di alam semesta.
Praktis, karena isi pemikiran Taoisme berisikan tentang cara hidup yang
seharusnya dalam

kehidupan sehari-hari, seperti kasih sayang sesama,

keadilan, dan kejujuran.Taoisme mengajarkan bahwa untuk mencapai
kebahagian manusia harus hidup dengan Wu Wei artinya tidak berbuat apa-apa
yang bertentangan dengan alam. Sesuai dengan ajaran itu maka manusia yang
paling berbahagia menurut ajaran Taoisme adalah mereka yang hidup dengan
alam seperti para petani, nelayan, dan para biarawan. (Tamburaka, 1999:248).
4.1.3Buddha
Agama Budha lahir dan berkembang pada abad ke 6 SM agama itu
beroleh nama dari panggilan yang diberikan kepada pembangunnya yang mulamula Siddhartha Gautama (563-487 SM) yang dipanggil dengan Budha. Secara
etimologi perkataan "Budha" berasal dari kata "bhud" yang artinya "bangun"
orang Budha ialah orang "yang bangun" artinya orang yang telah bangun dari
malam kesesatan dan sekarang ada di tengah cahaya yang benar.
Ajaran agama Budha tidak bertitik tolak dari ajaranketuhanan
melainkan berdasarkan kenyataan-kenyataan hidup yang dialami manusia,

Universitas Sumatera Utara

yang mana kehidupan manusia itu tidak terlepas dari dukha. Ketika hidupnya
Sang Budha ia selalu menolak mempersoalkan tentang Tuhan. Namun kepada
para pengikutnya ia selalu menganjurkan agar mengamalkan sila-sila keTuhanan. Inti dari ajaran Siddharta (Buddha) Tri Ratna atau Tiga Mustika,Tri
Ratna adalah sebagai berikut:
a. Buddha
Buddha berarti seorang yang telah mencapai penerangan atau
pencerahan sempurna dan sadar akan kebenaran kosmos serta alam semesta.
Ajaran tentang Budha menekankan pada bagaimana umat Budha memandang
sang Budha Gautama sebagai pendidikan agama Budha dan asas rohani yang
dapat dicapai oleh setiap makhluk hidup.
b. Dharma
Ajaran tentang dharma banyak membicarakan tentang masalahmasalah yang dihadapi manusia dalam hidupnya baik yang berkaitan dengan
ciri manusia sendiri maupun hubungannya dengan apa yang disebut Tuhan dan
alam semesta dengan segala isinya. Dharma mengandung 4 (empat) makna
utama:
1. Doktrin
2. Hak, keadilan, kebenaran
3. Kondisi
4. Barang yang kelihatan atau phenomena.

Universitas Sumatera Utara

Buddha Dharma adalah suatu ajaran yang menguraikan hakekat
kehidupan berdasarkan Pandangan Terang yang dapat membebaskan manusia
dari kesesatan atau kegelapan batin dan penderitaan disebabkan ketidakpuasan.
Buddha Dharma meliputi unsur-unsur agama, kebaktian, filosofi, psikologi,
falsafah, kebatinan, metafisika, tata susila, etika, dan sebagainya. Tripitaka
Mahayana termasuk dalam Buddha Dharma.
c. Sangha
Ajaran tentang Sangha selain mengajarkan bagaimana umat Budha
memandang Sangha sebagai pesamuan para Bhikku, juga berkaitan dengan
umat Budha yang menjadi tempat para Bhikkhu menjalankan dharmanya.

4.2 Altar Sembahyang
Altar dibutuhkan untuk sarana tempat ibadah/sembahyang pribadi,
keluarga, maupun untuk tempat belajar Dharma. Jika kondisi memungkinkan,
lebih baik di rumah menyediakan sebuah altar dan mengundang satu rupang
Guang Shi Yin Pu Sa.

4.2.1 Persyaratan Dasar Penempatan Altar Buddha
Menurut ajaran agama Buddha persyaratan dasar dalam penempatan
altarBuddha adalah sebagai berikut.
(1) Tidak boleh dekat dengan toilet (pintu toilet yang ada di rumah harus
selalu ditutup).
(2) Tidak boleh berhadapan dengan dapur.

Universitas Sumatera Utara

(3) Tidak boleh diletakkan di atas televisi, di atas kulkas dan lain-lain,
tidak boleh diposisikan bertepatan di bawah AC. Jika berdekatan
dengan TV atau lingkungan yang agak berisik, bisa membuat satu
lemari berpintu, pada saat tidak membakar dupa, pintu lemari ditutup,
dan jika pada waktu sembahyang tidak boleh menyalakan TV, tidak
boleh menggunakan bahan kaca untuk menutupi rupang (patung)
Buddha.
(4) Tidak boleh ditempatkan di kamar tidur suami istri (kecuali suami istri
yang telah berusia lanjut).
(5) Kamar tidur sendirian diperbolehkan, tetapi ujung/kaki ranjang tidak
boleh menghadap ke altar Guan Shi Yin Pu Sa.
(6) Tidak boleh ditempatkan di balkon yang menonjol keluar yang tidak
ada dasar pondasi; kecuali balkon yang ada di ruangan dalam
diperbolehkan.
(7) Di bawah altar Guan Shi Yin Pu Sa tidak boleh menaruh benda-benda
atau buku-buku lainnya. Umunya, boleh menyimpan buku parrita dan
peralatan untuk sembahyang.
(8) Altar Guan Shi Yin Pu Sa jangan terlalu tinggi atau terlalu rendah.
Sebaiknya posisi rupang/gambar Buddha ditempatkan sedikit lebih
tinggi dari posisi orang yang berdiri di depan altar dan orang tersebut
hanya perlu menengadahkan sedikit kepalanya ke atas untuk melihat
rupang/gambar. Jika posisi rupang/gambar terlalu rendah, bisa
menggunakan

sebuah

dudukan/tatakan

yang

dirancang

untuk

meninggikan posisi/gambar Guan Shi Yin Pu Sa.

Universitas Sumatera Utara

(9)

Harus ada lampu minyak (harus sering menambahkan minyak, akan
bermanfaat bagi mata), ada air (jumlah gelas air yang diperlukan
disesuaikan dengan jumlah rupang yang ada; air dalam gelas harus
diganti setiap hari, gelas yang digunakan untuk persembahan tidak
boleh bersentuhan langsung dengan mulut kita).

(10) Harus ada wadah untuk dupa, setiap pagi dan malam sembahyang
menggunakan dupa, sebaiknya mempunyai jadwal tetap untuk
sembahyang, umumnya pagi atau malam hari jam 6, jam 8, jam 10,
bisa tepat waktu lebih baik.
(11) Sesuaikan dengan kondisi pribadi dalam mempersembahkan buahbuahan segar (apa yang telah dimohon bisa lebih cepat terkabulkan),
bunga segar (persembahan bunga segar bisa membuat orang memiliki
paras yang cantik).
(12) Bunga segar dan buah-buahan segar yang disembahyangkan jangan
lebih dari seminggu, harus diganti dengan yang baru, dan buah
maupun bunga harus tetap segar, jika tidak segar, harus segera diganti,
jika tidak ada yang segar sebagai pengganti, tidak boleh meletakkan
buah yang telah rusak atau bunga yang telah layu di altar Buddha.
(13) Posisi altar Buddha sebaiknya ditempatkan menghadap ke utara
(belahan bumi bagian selatan), menghadap ke selatan (belahan bumi
bagian utara), jika kondisis tidak memungkinkan, untuk posisi lainnya
juga boleh.

Universitas Sumatera Utara

4.2.2 Mengundang Kehadiran Guan Shi Yin Pu Sa
Mengundang satu gambar atau rupang Guan Shi Yin Pu Sa umumnya
berada dalam posisi berdiri, tangan memegang satu pot suci dan satu ranting
daunan; usahakan tidak memilih yang ada gambar naga. Sebaiknya yang masih
belum blessing(khai kuang), dibawa pulang ke rumah sendiri dan memohon
kepada Guan Shi Yin Pu Sa agar berkenan menempati gambar atau rupang
Guan Shi Yin Pu Sa atau akan lebih baik meminta biksu senior untuk
melakukan blessing/khai kuang.
Umumnya jika seseorang yang tidak melatih diri dengan baik, tidak
mempunyai kemampuan untuk melakukan blessing/khai kuang terhadap
gambar/rupang Guan Shi Yin Pu Sa, tetapi anda bisa memohon kepada Guan
Yin Pu Sa yang welas asih untuk menempati gambar/rupang Guan Shi Yin Pu
Sa.
Ritual dapat dilakukan di hari-hari baik seperti tanggal 1 dan 15
kalender lunar, pagi jam 8, jam 10, jika di pagi hari tidak memungkinkan, juga
boleh memilih jam 16:00 sore. Caranya ialah menyiapkan meja dan tempat,
setelah memohon kehadiran Guan Shi Yin Pu Sa ke altar, mempersembahkan
air, buah-buahan, lampu minyak (pelita), kemudian menyalakan dupa (tiga
dupa/hio lebih baik), kedua tangan memegang dupa diangkat sedikit lebih
tinggi dari kepala, muka menghadap ke gambar/rupang Guan Shi Yin Pu Sa
dan sembahyang tiga kali, kemudian dupa ditancapkan ke dalam tempat dupa
(hiolo) yang ada di altar, katakan: “mohon kepada Na Mo Da Ci Da Bei Jiu Ku
Jiu Nan Guang Da Ling Gan Guan Shi Yin Pu Sa, berkenan menempati
gambar/rupang yang saya XXX persembahkan”. Kemudian lafalkan tujuh kali

Universitas Sumatera Utara

Da Bei Zhou dan tujuh kali Xin Jing, kemudian sujud sembah (namaskara) tiga
kali, semakin banyak melafalkan Da Bei Zhou dan Xin Jing akan semakin
bagus khasiatnya.

4.2.3 Penempatan Altar Sembahyang Ketika Pindah Rumah
Jika hendak pindah rumah, maka altar Buddha harus dipindahkan
terlebih dahulu dari rumah lama kerumah yang baru. Dirumah yang lama
setelah selesai membakar satu dupa yang terakhir, setelah dupa habis terbakar,
kemudian rupang Buddha diturunkan dari altar dan dibungkus dengan baik
menggunakan kain merah, yang terpenting di rumah baru kita harus membakar
3 dupa, melafalkan 7 kali Da Bei Zhou, 7 kali Xin Jing, banyak bersujud
sembah (namaskara). “mohon kepada Guan Shi Yin Pu Sa yang berwelas asih
berkenan datang kerumah baru saya XXX, berkati saya XXX, XXX, saya pasti
akan terus melatih diri dengan tekanan dalam menekuni ajaran dharma
Buddha”. Terlebih dahulu menempatkan/dipindahkan altar Buddha, baru
pindah rumah.
Rupang Buddha yang telah dipindahkan ke rumah baru tidak perlu
melakukan blessing/Khai kuang, karena sebelumnya sudah ada Buddha di
dalamnya. Oleh karena itu, setelah dipindahkan, sekali menyalakan dupa
langsung bisa memohon Buddha menempati Rupang. Oleh karena itu, tidak
perlu pengulangan blessing (Khai kuang).
Jikalau melakukan renovasi dan sementara waktu perlu tinggal di
tempat lain, sebaiknya dilakukan penempatan altar Guan Shi Yin Pu Sa di

Universitas Sumatera Utara

tempat tinggal sementara tersebut, setelah rumah selesai renovasi, barulah
pindahkan altar Guan Shi Yin Pu Sa ke rumah yang baru.
4.3 Gambaran Umum Kota Medan dan Masyarakatnya
Kota Medan secara geografis terletak di antara 2 27'-2 47' Lintang
Utara dan 98 35'-98 44' Bujur Timur. Posisi Kota Medan ada di bagian Utara
Propinsi Sumatera Utara dengan topografi miring ke arah Utara dan berada
pada ketinggian tempat 2,5-37,5 m di atas permukaan laut. Luas wilayah Kota
Medan adalah 265,10 km2 secara administratif terdiri dari 21 Kecamatan dan
151 Kelurahan. Sarana dan prasarana perhubungan di Kota Medan terdiri dari
prasarana perhubungan darat, laut, udara. Transportasi lainnya adalah kereta
api. Disamping itu juga telah tersedia prasarana listrik, gas, telekomunikasi, air
bersih dan Kawasan Industri Medan (KIM) I. Sebagai daerah yang berada pada
pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka, Kota Medan sebagai ibukota Provinsi
Sumatera Utara memiliki posisi strategis.
Medanadalah salah satu kota dengan masyarakat majemuk yang
multicultural. Masyarakatnya terdiri dari kelompok-kelompok yang berbeda
berakulturasi, dengan menghargai pluralisme sebagai keragaman budaya untuk
tetap dilestarikan. Penduduk Kota Medan memiliki ciri penting yaitu yang
meliputi unsur agama, suku etnis, budaya dan keragaman (plural) adat istiadat.
Hal ini memunculkan karakter sebagian besar penduduk Kota Medan bersifat
terbuka. Keanekaragaman yang ada di Kota Medan membuat Kota Medan
dinobatkan menjadi kota multikultural yang damai dan berjalan harmonis
(Waspada, 2007). Penyebaran suku bangsa di Kota Medan dapat dilihat dalam
Tabel 4.1:

Universitas Sumatera Utara

Tabel 4.1
Perbandingan Suku Bangsa di Kota Medan pada Tahun 1930, 1980, 2000
SUKU BANGSA
Jawa
Batak
Tionghoa
Mandailing
Minangkabau
Melayu
Karo
Aceh
Sunda
Lain-lain

TAHUN 1930
24,9%
10,7%
35,63%
6,43%
7,3%
7,06%
0,12%
-1,58%
16,62%

TAHUN 1980
29,41%
14,11%
12,8%
11,91%
10,93%
8,57%
3,99%
2,19%
1,90%
4,13%

TAHUN 2000
33,03%
-10,65%
9,36%
8,6%
6,59%
4,10%
2,78%
-3,95%

Sumber: 1930 dan 1980; 2000: BPS Sumut

Dari data diatas dapat dilihat bahwa ditahun 1930-an orang Tionghoa di
Kota Medan merupakan masyarakat terbesar bahkan melebihi etnis asli Kota
Medan yaitu Melayu. Selanjutnya seiiring perkembangan zaman etnis
Tionghoa di Koa Medan mengalami penurunan walaupun tetap menjadi salah
satu etnis terbesar di Kota Medan.
Keberadaan orang Tionghoa di kota Medan bervariasi dan juga dalam
jangka waktu yang berbeda. Gelombang pertama dimulai pada abad ke-15,
ketika armada perdagangan Tiongkok datang mengunjungi pelabuhan
Sumatera Timur dan melakukan hubungan dagang dengan sistem barter.
Hubungan ini berlangsung dalam waktu yang cukup lama, sehingga sebagian
para pedagang tersebut ada yang menetap di Sumatera Timur.(Benny G.
Setiono. 2003).
Gelombang kedua berlangsung pada tahun 1863. Pada saat itu, Belanda
mulai bergerak di bidang perkebunan tembakau. Usaha ini terus berkembang,
tenaga kerja yang cukup banyak juga semakin dibutuhkan. Pihak Belanda
merasa tidak cocok dengan buruh Pribumi. Karena itu, pengusaha perkebunan

Universitas Sumatera Utara

mencoba mendatangkan tenaga kerja dari negeri Tiongkok. Pada abad ke 19,
dengan bantuan pemerintah Hindia Belanda dan kaum pengusaha di tanah Deli,
orang Tionghoa dapat memonopoli seluruh sektor pengangkutan di kawasan
tanah Deli. Banyak pemilik perkebunan yang memberi kesempatan pada orang
Tionghoa untuk menjadi penyalur bahan makanan dan bekerja sebagai
kontraktor di perkebunan.
Pada akhirnya, kehidupan ekonomi etnis Tionghoa mulai meningkat.
Hal ini menyebabkan adanya perbedaan mencolok atara etnis Tionghoa dengan
masyarakat Pribumi. Etnis Tionghoa yang mulai mempunyai ekonomi yang
meningkat ini mendatangkan isteri anggota keluarga dan kerabatnya di negara
Tiongkok dengan kapal (pada saat itu transportasi kapal sudah ada).
kedatangan mereka dari berbagi sub etnik menyebabkan mereka berkumpul di
antara mereka sendiri, membuat perkampungan sendiri, memakai bahasa
sendiri. Inilah titik awal ekslusivime orang Tionghoa . (Suwardi Lubis.1999).
Sikap eksklusif ini tidak lepas dari pengaruh yang juga diberikan oleh
pemerintah kolonial Belanda. Sejalan dengan dibukanya usaha perkebunan
karet sepanjang jalur Medan- Labuhan Batu pada tahun 1870, pemerintah
kolonial membuat blok-blok pemukiman terpisah menurut etnik. Sehingga
terbentuklah hunian dengan nama Kampung Cina, Kampung Arab, kampung
Keling, serta kawasan milik “Tuan Kebon” asal Eropa, sedangkan kaum
Pribumi dan pendatang lain tinggal di luar blok yang disebut Pemukiman
Rakyat Sultan (Sofyan Tan. 2004).
Etnis Tionghoa di kota Medan berasal dari berbagai suku. Menurut data
Etnis Tionghoa yang paling banyak di kota Medan adalah suku Hokkian

Universitas Sumatera Utara

(82,11%). Walaupun etnis Tionghoa di kota Medan terdiri dari berbagai suku,
namun dalam kehidupan sehari-hari keberagaman suku tersebut tidak menonjol
karena yang tampak hanyalah suatu kesatuan etnik sebagai etnis Tionghoa .
Sebagian besar etnis Tionghoa yang berada di kota Medan berprofesi
sebagai pedagang. Sesuai dengan jenis pekerjaan mereka, maka untuk mereka
terbuka kesempatan seluas-luasnya untuk memperoleh penghasilan yang besar.
Posisi sosio-ekonomi etnik Tionghoa di Medan rata-rata berada di atas level
menengah ke atas. Etnis Tionghoa dikota Medan termasuk kelompok
masyarakat yang berhasil menguasai industri, pertokoan, perhotelan, perbankan
dan perdagangan umum serta distribusi.
Kelompok masyarakat Tionghoa dikota Medan cenderung bertempat
tinggal di pusat kota atau pusat perdagangan. Mereka lebih senang tinggal di
tempat usahanya yang cukup ramai dan dekat dengan keluarganya. Berbagai
penelitian mengungkapkan bahwa pemukiman eksklusif kelompok-kelompok
etnik di kota berfungsi sebagai “kepompong” atau yang dimanfaatkan oleh
mereka sebagai benteng etnik. Orang Tionghoa yang keluar dari pemukiman
Cina (Chinese Qurter) tersebut dianggap sebagai pembelotan dari jaringan
sosial mereka. Dengan demikian suasana etnik dan ras (ethnic race-spaces) di
perkampungan etnik tersebut menguatkan kecendrungan segresi atau pemisah
diri dari kelompok lain.
Secara umum Etnis Tionghoa di Medan membuat lingkungannya
sendiri untuk dapat hidup secara eksklusif dengan tetap mempertahankan
kebudayaan atau tradisi leluhur. Ong Hok Khan (Ning, 1992) menyatakan
bahwa “...Eksklusivisme masyarakat Tionghoa itu disebabkan oleh kehendak

Universitas Sumatera Utara

mereka sendiri, bukan disebabkan oleh pemisahan yang dilakukan oleh bangsa
Indonesia sebagai kelompok minoritas”. Sebagian orang Tionghoa ada yang
beradaptasi dengan masyarakat setempat. Namun ada pula yang berperilaku
eksklusif, yang mengakibatkan kehidupan mereka terpisah dari kelompok
masyarakat pribumi. Sekolah dan pusat-pusat rekreasi kelompok etnis
Tionghoa lebih banyak didirikan di tengah perkampungan Tionghoa di kota
Medan. Gejala segretif ini sangat terlihat terutama dalam kawasan-kawasan
pemukiman elit dengan suasana komersial yang pekat dan dengan tingkat
homogenitas yang tinggi .
Pada perkembangannya, kota Medan dengan masyarakat heterogen
menjadi kota yang memiliki pola pemukiman segretif. Kota Medan
memperlihatkan proses penguatan rasa kesatuan etnik sebagai suatu komunitas
baru. Setiap kelompok etnik mempergunakan norma, aturan serta ideologi
tradisional daerah asal mereka, sehingga terjadilah suatu proses penguatan
ikatan primordial pada setiap kelompok etnik. Setiap etnis mulai membentuk
gaya hidup masing-masing dan bersikap eksklusif antara satu dengan yang lain.
Timur.

Universitas Sumatera Utara

BAB V
ARTEFAK, KEGIATAN, DAN GAGASAN

5.1 Artefak
Aktivitas manusia yang saling berinteraksi tidak lepas dari berbagai
penggunaan peralatan sebagai hasil karya manusia untuk mencapai tujuannya.
Aktivitas karya manusia tersebut menghasilkan benda untuk berbagai
keperluan hidupnya. Kebudayaan dalam bentuk fisik yang kongkret biasa juga
disebut kebudayaan fisik, mulai dari benda yang diam sampai pada benda yang
bergerak. Hasil karya manusia tersebut pada akhirnya menghasilkan sebuah
benda dalam bentuk yang konkret sehingga disebut Kebudayaan Fisik. Berupa
benda-benda hasil karya manusia.

5.1.1 Rupang (patung)
Dalam konsep Buddhis, rupang adalah lambang dari kebuddhaan, dan
untuk menghormati nilai-nilai luhur dari sang Buddha. Rupang juga merupakan
simbol Sang Guru, sehingga apabila kita mengadakan puja bakti bukanlah
untuk menyembah rupang tersebut, melainkan untuk menghormati dan
mengingat ajaran Sang Guru.
Masyarakat Tionghoa yang menganut aliran Mahayana biasanya
mempunyai altar sembahyang Dewi Kwan im, di altar tersebut diletakkan
rupang Dewi Kwan Im dan juga patung dewa/dewi lainnya yang dihormati
oleh masyarakat Tionghoa tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 5.1.1 rupang dewi Kwan Im
Sumber : jln. Gatot Subroto, sei kambing no.66, Medan

Gambar 5.1.1 Rupang dewi Kwan Im
Sumber : Gg. Sidomulyo, no.11A

Universitas Sumatera Utara

Persyaratan rupang pada altar dewi Kwan Im :
(1) Semua rupang Buddha termasuk lampu minyak, tidak boleh
ditempatkan dalam kondisi menggantung tetapi harus ada meja atau
lemari, yang ada sesuatu yang menopang dari atas tanah.
(2) Rupang Buddha sebaiknya ditempatkan di samping jendela, di tempat
yang agak terang, tetapi bagian belakang tidak boleh ada jendela kaca,
bagian belakang harus bersandar pada tembok.
(3) Rupang (patung) Buddha yang di altar jangan terlalu banyak.

5.1.2 Lampu
Lilin atau lampu minyak yang dinyalakan di depan imej Buddha
membawa maksud simbolik kebijaksanaan dan belas kasihan. Cahaya
diibaratkan sebagai ajaran Buddha mencerahkan keadaan kegelapan dan
menyedarkan kita akan kejahilan dan ketamakan yang ada pada kita. Apabila
kita berkelakuan buruk dan tidak dapat mengawal diri kita, kita seperti dalam
keadaan gelap. Cahaya yang disembahkan di depan imej Buddha itu
mengingatkan kita supaya jangan berada dalam kegelapan ini. la membimbing
kita ke jalan yang benar.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 5.1.2 Altar Dewi Kwan Im
Sumber : Jln. Pukat VII No.5A

Gambar 5.1.2 Lampu
Sumber : Jln. Demak No.5 e/g, Medan
Persyaratan lampu pada altar Dewi Kwan Im :
(1) Jika mempunyai banyak rupang Buddha, jika kondisi memungkinkan,
sebaiknya setiap patung Buddha harus ada satu lampu minyak; jika

Universitas Sumatera Utara

kondisi tidak memungkinkan, maka diperkenankan di satu altar hanya
sepasang atau hanya satu lampu minyak saja.
(2) Jika hanya satu rupang Buddha, menyediakan satu atau dua pelita
lampu juga diperbolehkan.
(3) Tidak perlu mempersembahkan lampu lilin, jika dipersembahkan
sebaiknya harus sepasang yang bewarna merah.
(4) Lampu minyak dan lilin setelah selesai sembahyang bisa dimatikan atau
dipadamkan sebelum dupa habis terbakar. Hal ini untuk menghindari
dalam keadaan tidak membakar dupa tetapi lampu minyak atau lilin
tetap

menyala,

efeknya

mudah

sekali

ada

roh

yang

menghinggapi/mendatangi altar.
(5) Boleh menggunakan lampu teratai atau lampu lilin, tetapi dengan syarat
harus ada lampu Buddha (pelita) dan lilin, dan juga tidak boleh nyala
dalam jangka waktu panjang sampai 24 jam. Umumnya ketika mau
sembahyang atau membakar dupa baru dihidupkan/dinyalakan, sebelum
dupa habis terbakar, lampu teratai maupun pelita dan lilin harus
dipadamkan.
(6) Sebelum dupa habis terbakar, terlebih dahulu mematikan lilin,
kemudian lampu minyak, dan mematikan lampu listrik dialtar. Lampu
minyak dan lilin hanya boleh dimatikan dengan cara ditutup padam,
tidak boleh ditiup dengan mulut.

Universitas Sumatera Utara

5.1.3 Minyak

Gambar 5.1.3 Minyak
Sumber : Jln. Demak No.5 e/g, Medan
Persyaratan minyak pada altar dewi Kwan Im :
(1) Umunya minyak yang digunakan untuk sembahyang kepada Buddha
adalah minyak zaitun, minyak sayur, minyak jagung, minyak bunga
teratai, dan minyak tumbuhan lainnya.
(2) Tidak boleh menggunkan minyak wijen atau minyak kacang tanah,
minyak yang ada rasa (beraroma), tidak murni, jika minyak terlalu
wangi bisa menutupi aroma cendana dupa. Oleh Karena itu, minyak
tersebut tidak dipergunakan untuk dipersembahkan kepada Buddha;
minyak kacang terlalu kental, tidak mudah dinyalakan sehingga tidak
cocok untuk digunakan.
(3) Sebotol

minyak

(dikupas

semua

merk

dagangnya),boleh

dipersembahkan di depan Buddha.

Universitas Sumatera Utara

(4) Cara terbaik untuk mempersembahkan minyak adalah digunakan untuk
menyalakan lampu minyak (pelita) secara langsung, menambahkan
minyak ke dalam wadah lampu minyak, dan juga harus sering
menambahkan sedikit minyak, ini juga mempunyai makna yang sama
seperti biasa kita mengganti buah segar dan air.
(5) Bekas minyak yang telah dipersembahkan kepada Buddha hanya boleh
digunakan untuk memasak masakan yang murni vergetarian.

5.1.4 Air

Gambar 5.1.4Air
Sumber : Jln. Terong No.48c, Medan

Air merupakan simbol suci dan bersih. Penyembahan air menandakan
penghapusan kecemaran batin dan rohani.

Universitas Sumatera Utara

Persyaratan air pada altar Dewi Kwan Im :
(1) Air yang telah dipersembahkan kepada Guan Shi Yin Pu Sa, disebut air
suci (Da Bei Shui), karena sudah diberkahi oleh Guan Shi Yin Pu Sa.
(2) Boleh mempersembahkan air hangat, air dingin, air mineral, air bersih
dan lain-lain, air minum yang tidak berwarna, tidak ada rasa, jangan
menggunakan air mentah langsung dari keran atau air ledeng.
(3) Gelas

yang

digunakan

untuk

mempersembahkanair,

harus

menggunakan gelas yang baru; gelas kaca atau keramik ; ada atau
tidaknya tutup gelas tidak dipermasalahkan, namun sebaiknya
menggunakan gelas yang ada tutupnya; untuk menghindari debu atau
serangga yang mengotori; gelas sebaiknya berwarna putih.
(4) Umunya jumlah gelas untuk mempersembahkan air minimal harus sama
dengan jumlah rupang Buddha yang ada di altar, boleh juga satu rupang
ada beberapa gelas air, tetapi jumlah gelas air tidak boleh kurang dari
jumlah rupang Buddha di altar.
(5) Air suci (Da Bei Shui) yang ada di altar tidak boleh diminum secara
langsung, harus dituangkan ke gelas yang lain, baru diminum, tidak
boleh menggunakan mulut kita untuk menyentuh gelas Buddha.
Umunya harus dengan hormat menggunakan kedua tangan untuk
mengangkat gelas lebih tinggi daripada alis mata, muka menghadap ke
Buddha, diangkat lebih tinggi dari alis mata, secara perlahan
mengucapkan: “mohon kepada Guan Shi Yin Pu Sa yang welas asih
untuk melindungi saya XXX, agar sehat walafiat”, pada saat yang sama

Universitas Sumatera Utara

pula dalam hati membayangkan botol air suci dari Guan Shi Yin Pu Sa
menuang dari kepala anda secara mengalir ke seluruh tubuh anda.
(6) Setelah selesai, air dalam gelas persembahan tersebut kita tuangkan ke
tempat atau wadah lainnya, dengan hormat kita minum air suci tersebut.
(7) Air suci yang telah dipersembahkan kepada Buddha lainnya, umumnya
boleh dibuang, jika ingin meminumnya harus melafalkan mantra Da Bei
Zhou satu kali baru diminum.
5.1.5 Dupa

Gambar 5.1.5Dupa
Sumber : Jln. Terong No.48c, Medan

Dupa dibakar untuk melambangkan perbuatanmenyucikan fikiran atau
jasad kita.Pembakaran dupa akan melepaskan asap yang harum ke udara. Dari
jauh kita sudah dapatmenghidunya. Begitu juga perbuatan dan niat baik kita
akan dirasai oleh orang ramai.Dupa yang sedang membakar serupa juga

Universitas Sumatera Utara

dengan kewujudan kita. Serbuk dupa atau colokdiibaratkan jasad kita dan
hujungcolok yang membakar diibaratkan hati, sentiasa dalam perubahan.Tanpa
pembakaran, dupa tidak membawa apa makna dan tanpa hati, jasad tidak akan
wujud.Selepas satu masa colok atau dupa akan habis dibakar ataupun apabila
keadaan yang tidaksesuai wujud, dupa dan colok akan terpadam. Ini
mencerminkan

ketidakkekalan

(Anicca),penderitaan

(Dukkha)

dan

ketidakakuan (Anatta).
Persyaratan wadah bakar dupa (Xiang Lu/Hiolo), bakar dupa, waktu
dan jumlah yang cocok dialtar :
(1) Apabila di rumah ada altar Guan Shi Yin Pu Sa, setiap pagi dan
malam harus membakar dupa, waktu bakar dupa pagi atau malam,
sebaiknya bisa dilakukan dengan waktu yang tetap, umunya pagi atau
malam hari , kita boleh memilih jam 6, jam 8, jam 10 tepat.
(2) Jika mempunyai lebih dari satu rupang Buddha, dan kondisi
memungkinkan, sebaiknya satu rupang Buddha mempunyai satu xiang
lu/hio lo dan setiap sembahyang masing-masing xiang lu/gio lo cukup
gunakan 1 dupa tetapi pada Che It dan Cap Go (tanggal 1 dan tanggal
15 kalender lunar), hari kebesaran Buddha, setiap xianglu/hiolo
gunakan tiga dupa.hio; jika kondisi tidak memungkinkan, satu altar
Buddha gunakan satu xiang lu/hiolo juga boleh, tetapi sembahyang
siang dan malam harus menggunakan tiga dupa/hio.
(3) Che It dan Cap Go (tanggal 1 dan tanggal 15 kalender lunar), hari
kebesaran Buddha dan hari besar lainnya boleh membakar dupa besar.
Caranya di altar Buddha harus dinyalakan lampu Buddha (pelita),

Universitas Sumatera Utara

sembahyang dengan dupa biasa, kemudian menggunakan api yang ada
di lampu Buddha untuk membakar kepingan kayu cendana, kemudian
apinya dipadamkan dengan cara mengayungkannya agar apinya mati
(tidak boleh di tiup dengan mulut), begiyu api di kayu mati, asap yang
keluar pada saat itu disebut dupa besar, itulah wangi Guan Shi Yin Pu
Sa, dilakukan secara berulang kali dengan cara dinyalakan dan
diayunkan kebelakang, dilakukan sebanyak tiga kali, ini yang disebut
bakar dupa besar. Setelah selesai membakar dupa besar baru bersujud
sembah (namaskara), ajukan permintaan/permohonan, melafalkan
paritta.

5.1.6 Musik
Umumnya musik yang diletakkan pada altar Dewi Guan Shi Yin Pu Sa
ialah berisi manteraTA PEI COU/大悲咒/Maha Karuna Dharani.
Na Mo Ta Pei Kwan She Yin Phu Sa (Terpujilah Yg Maha Asih Avokitesvara
Bodhisatva)
Na Mo Ta Pei Kwan She yin Phu Sa (Terpujilah Yg Maha Welas Asih
Avolitesvara Bodhisatva)
Na Mo Ta Pei Kwan She yin Phu Sa (Terpujilah Yg Maha Welas Asih
Avolitesvara Bodhisatva)
Na Mo He La Ta Na To La Ye Ye (Dengan penuh sujud aku Berlindung
Kepada Tri Ratna)
Na Mo O Li Ye Po Lu Cie Ti Suo Po La Ye, (Dengan Penuh Sujud Aku
Berlindung kepada Yang Maha Sempurna)

Universitas Sumatera Utara

Phu Ti Sa To Po Ye Mo He Sa To Po Ye (Mahkluk yg Telah Mencapai
Pencerahan Bodhi)
Mo He Cia Lu Ni Cia Ye, (Mahkluk Agung Maha Welas Asih)
Aum Sa Po La FaYi Su Ta Na Ta Sie (Aum Beliau yg mempunyai kekuatan
kesempurnaan Dharma)
Na Mo Si Ci Li To Yi Meng A Li Ye (Dengan sepenuh hati dan sujud aku
berlindung kepada Mu)
Po Lu Cie Ti Se Fo La Ling To Po (sumber segala kesucian)
Na Mo Na La Cin Ce (Setulus hati aku bersujud Pada MU)
SI Li Mo He Pu Tuo Sa Mi (Cahaya kebajikan Agung yg tiada batas)
Sa Pho Ah Tha Tou SU Peng Ah Se Yin (Para Buddha sayup – sayup
merasakannya)
Sa Po Sa To Na Mo Po Sa To (yang memiliki semua kemuliaan kebahagiaan
kemakmuran tak terkalahkan)
Na Mo Po Chie Mo Fa The Tou (Sumber berkah semua makhluk di seluruh
penjuru alam)
Ta Che Ta Aum, Ah Po Lu Si Lu Cia Ti (Aum beliau yang mendengarkan
suara dunia mengatasi segala rintangan karma)
Cia Lo Ti, Yi Si Li Mo He Phu Thi Sa To (Aku akan menjalankan ajaranmu
sampai tercapainya pencerahan)
Sa Po Sa PO Mo La Mo La, (Memberi yang baik utk semuanya di dalam
berkah dan kebijaksanaan Mu)
Mo Si Mo SI Li Tho Yin Chi Lu Chi Lu (Inti ketenangan tak terhingga laksana
Dharma melepaskan kerterbatasan mengembangkan kemajuan pribadi dan
menolong smua makhluk)

Universitas Sumatera Utara

Chie Meng, Tu Lu Tu Lu Fa Se Ye Ti (Berlatihlah atasi kelahiran dan
kematian raih kemenangan agung gemilang)
Mo He Fa Se Ye Ti To La To La Ti Li Ni (Bersatulah tenang jernih tajam
berani pancarkan cahaya terang benderang)
Se Fo La Ye Ce La Ce La Mo Mo Fa Mo La (Guncang guncanglah bebaskan
aku dari noda bahtin)
Mu Ti Li Yi SI Yi SI Se Na Se Na (Datang Datanglah dengar dengarlah)
Ah La Sen Fo La She Li (Raja Dharma memutar ajaran)
Fa Sa Fa Sen Fo La Se Ye Hu Lu Hu Lu Mo La (Kabar gembira senyum suka
cita terimalah Dharma menyatu dalam hati)
Hu Lu Hu Lu Si Li Suo La Suo La (Laksanakan Dharma tampa timbul
keraguan teguh tak tergoyahkan)
Si Li SI Li Su Lu Su Lu (Raih kemenangan tak terkalahkan bagaikan embun
sejuk yang menyembuhkan)
Pu Thi Ye Pu Thi Ye Pu Tho Ye Pu Tho Ye (Terang teranglah batin sadar
sadarlah tercerahkan)
Mi Ti Li Ye Na La Cin CeTi Li Se Ni Na (Beliau yg maha asih yg patut di puja
laksana pedang kebenaran yg kuat dan tajam)
Pho Ye Mo Na Sa Po He (kepada yang sempurna Svaha)
Si Tho Ye Sa Pho He (kepada yg mulia Svaha)
Mo Ho SI Tho Ye Sa Pho He (kepada yg maha gaib svaha)
Si to Yu Yi Se Po La ye Sa Pho he (Beliau yg memiliki gaib sempurna svaha)
Na La Cin Ce Sa Pho He, Mo La Na La (Pelindung yg maha asih svaha)

Universitas Sumatera Utara

Sa Pho He, Si La Sen A Mu Cu Ye Sa Pho He (Beliau yg mampu mengatasi
smua kesulitan svaha, yg berwajah singa Svaha)
Sa Po Mo He Ah Si Tho Ye Sa Pho He (Beliau yg memiliki kegaiban agung
Svaha)
Ce Ci La Ah SI to Ye Sa Pho He (Beliau yg memiliki kegaiban cakra svaha)
Pho To Mo Ci Tho Ye Sa Pho He (Yg memegang bunga teratai svaha)
Na La Cin Ce Pho Cia La Ye Sa Pho He (Pelindung yg welas dan patut di puja
svaha)
Mo Po Li Sen Ci La Ye Sa Pho He (Resi agung yg menjalani hidup suci Svaha)
Na Mo He La Ta Na To La Ye Ye (Dengan penuh sujud aku berlindung
kepada Tri Ratna)
Na Mo Ah Li Ye Po Lu Cie Ti (Dengan penuh sujud aku berlindung)
Suo Po La Ye Sa Pho He (kepada yg maha Sempurna Svaha)
Aum Si Thien Tu Man To La Pha To Ye (Aum semoga jalan mantra ini
membuahkan kegaiban kesuksesan)
Sa Pho He (Svaha)
5.1.7 Buah-buahan
Buah-buahan

melambangkan

buah

dari

suatu

perbuatan

atau

keberhasilan atas segala usaha yang telah dilaksanakan. Setiap perbuatan atau
usaha yang dilakukan, suatu saat nanti akan membuahkan hasil atau akibat.
Berbuat baik akan berakibat kebahagiaan, kemujuran atau berkecukupan/kaya
sedangkan berbuat kejahatan akan berakibat penderitaan, kesialan atau serba
kekurangan.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 5.1.7 Altar dewi Kwan Im
Sumber : Kompleks Cemara Hijau Blok G, No.4

Gambar 5.1.7 Buah-buahan
Sumber : Jln. Demak No.5 e/g, Medan

Universitas Sumatera Utara

Gambar 5.1.7 Buah-buahan dan Makanan
Sumber : Jln. Terong No.48c, Medan

Persyaratan buah-buahan pada altar Buddha :
(1) Buah-buahan segar untuk persembahan sebaiknya memiliki aroma yang
wangi, seperti: buah apel, jeruk, mangga, nanas, semangka, dan lainlain.
(2) Pisang dan buah persik tidak cocok untuk dipersembahkan kepada
Buddha.
(3) Buah-buahan yang dipersembahkan jumlahnya harus ganjil. Artinya
susunan lapisan harus ganjil, dan bukan jumlah buah yang ganjil.
(4) Jika ada empat buah apel, maka bagian tingkatan atas satu buah, bagian
bawah tiga buah, dengan kata lain, jumlah setiap tingkatnya adalah
ganjil.

Universitas Sumatera Utara

(5) Ketika mengganti buah-buahan segar, maka seluruh buah yang terdapat
dalam satu piring harus diganti, tidak boleh hanya mengganti beberapa
biji saja.

5.1.8 Bunga Segar
Bunga digunakan untuk menyatakan perasaan berterima kasih kepada
Buddha

dan

memperhatikan

mengingatkan
bunga,

kita

seyogianya

mengenai
kita

ketidakkekalan.

memahami

ajaran

Dengan
tentang

ketidakkekalan. Kecantikan, kedudukan, kepandaian, keahlian, kekayaan,
martabat, jabatan, dan lain-lainnya adalah tidak bertahan selamanya akan
mengalami perubahan pada saatnya tiba. Oleh karena itu, bunga yang
dipersembahkan ke atas altar Buddha adalah sebagai alarm kehidupan bagi kita,
di mana suatu saat apa yang kita miliki dan kita harapkan tidaklah dapat kita
lekati sepanjang masa. Semuanya akan berpisah, dengan demikian, kita harus
menghindari keangkuhan, kesombongan, dan tinggi hati.

Gambar 5.1.8 bunga segar
Sumber : Jln. Demak No.5 e/g, Medan

Universitas Sumatera Utara

Persyaratan bunga segar pada altar dewi Kwam Im :
(1) Lebih baik jika mempersembahkan tangkai daun bambu.
(2) Bunga yang boleh dipersembahkan seperti krisan, bunga bakung,
anggrek, narsisis. Bunga yang memiliki duri misalnya bunga mawar
tidak cocok dipersembahkan di altar Guan Shi Yin Pu Sa.
(3) Bunga yang disertai dengan tanah dalam pot kembangnya jangan
dipersembahkan di altar Guan Shi Yin Pu Sa.
(4) Umumnya, disetiap sisi kiri dan kanan altar, dipersembahkan satu pot
tangkai bunga bambu dengan jumlah 1-3 batang tangkai daun bambu
di masing-masing pot, sebaiknya jangan terlalu banyak.
(5) Bunga segar jumlahnya tidak ditentukan.

5.2 Kegiatan
Kompleks kegiatan, berupa aktivitas manusia yang saling berinteraksi,
bersifat kongkret, dapat diamati atau diobservasi. Wujud ini sering disebut
sistem sosial. Sistem sosial ini tidak dapat melepaskan diri dari sistem budaya.
Apa pun bentuknya, pola-pola aktivitas tersebut ditentukan atau ditata oleh
gagasan-gagasan, dan pikiran-pikiran yang ada di dalam kepala manusia.
Karena saling berinteraksi antara manusia, maka pola aktivitas dapat pula
menimbulkan gagasan, konsep, dan pikiran baru serta tidak mustahil dapat
diterima dan mendapat tempat dalam sistem budaya dari manusia yang
berinteraksi tersebut.

Universitas Sumatera Utara

5.2.1 Sembahyang
Bagi yang memuja Kuan See Iem Pho Sat dirumah, pada waktu
sembahyang pasang dupa/hio satu batang.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada waktu sembahyang dan membaca doa ini
ialah :


Dilarang memiliki hati dan pikiran yang jahat,



Dilarang membaca sambil tiduran,



Dilarang merokok,

Sebelum membaca doa, sebaiknya melakukan sembah sujud tiga kali, lalu
mengambil dupa, pasang dupa/hio satu atau tiga batang. lalu ujung dupa
dibakar, posisi berlutut menghadap kedepan altar Buddha, dan membaca doa,
misalnya doa untuk di beri kesehatan :
“Namo kuan se im pu sat wo jiau lai ti na qing nin pau yung wo shen ti jian
kang, chu jin ping an, hui zuo geng hao de hai zi, yi hou neng zuo fu mu
gao xing, qing nin pau yung wo jia ren shen ti jian kang. Namo kuan se im
pu sat. Amithofo