Altar Sembahyang Untuk Dewi Kwan Im Pada Rumah Masyarakat Tionghoa Buddha Di Medan: Kajian Terhadap Artefak, Kegiatan, Dan Gagasan

BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah ringkasan tertulis mengenai artikel dari jurnal,
buku,dan dokumen lain yang mendeskripsikan teori serta informasi baik masa
lalu maupun saat ini, mengorganisasikan pustaka ke dalam topik dan
dokumen yang dibutuhkan untuk proposal penelit ian. Kajian pustaka
merupakan hasil dari meninjau, pandangan, pendapat sesudah mempelajari
(KBBI, 1990:951).
Rahma Safitri. 2013. Dalam skripsi: “Fungsi dan Makna Ornamen Pada
Tiga Bangunan Vihara di Kota Binjai.” Skripsi ini menguraikan tentang
bagaimana fungsi dari tiga bangunan yang ada pada vihara di Binjai dan
menganalisis setiap ornamen atau simbol-simbol yang ada pada tiga bangunan
vihara tersebut. Skripsi ini membantu penulis mengetahui tentang masyarakat
Tionghoa dan penggunaan teori semiotik.
Fitria Anggina Siregar. 2016. Dalam skripsi yang berjudul: “Wisata
Vihara Avalokitesvara (Studi Etnografi Mengenai Wisata Religi di Kota
Pematang siantar),”menguraikan tentang sejarah berdirinya objek wisata
Vihara


Avalokitesvara,

Avalokitesvara,

aktivitas

alasan
yang

atau

motivasi

dilakukan,

serta

mengunjungi
pandangan


Vihara
terhadap

Universitas Sumatera Utara

penambahan fungsi Vihara Avalokitesvara. Skripsi ini membantu penulis untuk
mengetahui apa saja aktivitas yang dilakukan pada Vihara Avalokitesvara.
Achmad Muzaki. 2013. Dalam skripsi: “Konsep Trikaya Dalam Agama
Buddha Mahayana” . Skripsi ini menguraikan tentang wujud ketuhanan dalam
Buddha Mahayana dalam konsep Trika serta apa makna konsep Trikaya
sebagai pedoman untuk memahami Tuhan dalam agama Buddha. Skripsi ini
membantu penulis untuk mengetahui konsep Trikaya dalam agama Buddha
Mahayana.
Elmida Sriwijayanti. 2009. Dalam skripsi: “Upacara Dewi Kwan Im Po
Sat (Studi Pelaksanaan Upacara dan Motivasi Umat Tridharma di Klenteng
Tien Kok Sie Pasar Kota Gede Solo)”. Skripsi ini menguraikan tentang
bagaimana pelaksanaan upacara dewi Kwan Im Po Sat dan motivasi umat
Tridharma dalam melaksanakan upacara dewi Kwan Im Po Sat. Skripsi ini
membantu penulis untuk mengetahui kegiatan yang dilakukan untuk Dewi
Kwan Im.


2.2 Konsep
Konsep merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan
secara abstrak suatu objek. Melalui konsep, diharapkan akan dapat
menyederhanakan pemikiran dengan menggunakan satu istilah. Bila seseorang
dapat menghadapi benda atau peristiwa sebagai suatu kelompok, golongan,
kelas atau kategori, maka seseorang telah belajar konsep. Hamidi (2010).

Universitas Sumatera Utara

Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003:588) menjelaskan, “Konsep
adalah ide abstrak yang dapat digunakan untuk mengadakan klasifikasi atau
penggolongan yang pada umumnya dinyatakan dengan suatu istilah atau
rangkaian kata.” Konsep bertujuan untuk merumuskan istilah yang digunakan
secara mendasar dan penyamaan persepsi tentang apa yang akan diteliti serta
menghindari salah pengertian yang dapat mengaburkan penelitian.

2.2.1

Kebudayaan

Ada beberapa pengertian budaya menurut beberapa ahli salah satu

diantaranya adalah tokoh terkenal Indonesia yaitu Koentjaraningrat. Menurut
Koentjaraningrat (2000: 181) kebudayaan dengan kata dasar budaya berasal
dari bahasa sansakerta ”buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang
berarti

“budi”

atau

“akal.”

Jadi

Koentjaraningrat

mendefinisikan

budayasebagai “daya budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan

kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa itu.
Koentjaraningrat menerangkan bahwa pada dasarnya banyak yang
membedakan antara budaya dan kebudayaan, dimana budaya merupakan
perkembangan majemuk budi daya, yang berarti daya dari budi. Pada kajian
antropologi, budaya dianggap merupakan singkatan dari kebudayaan yang
tidak ada perbedaan dari definsi. Jadi kebudayaan atau disingkat budaya,
menurut Koentjaraningrat(1999) merupakan keseluruhan sistem gagasan,
tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Koentjaraningrat membedakan
adanya tiga wujud dari kebudayaan yaitu sebagai berikut.

Universitas Sumatera Utara

2.2.1.1 Artefak
Artefak (benda). Aktivitas manusia yang saling berinteraksi tidak lepas
dari berbagai penggunaan peralatan sebagai hasil karya manusia untuk
mencapai tujuannya. Aktivitas karya manusia tersebut menghasilkan benda
untuk berbagai keperluan hidupnya.
Kebudayaan dalam bentuk fisik yang kongkret biasa juga disebut
kebudayaan fisik, mulai dari benda yang diam sampai pada benda yang

bergerak. Seperti halnya Pada meja altar meja Kwan Im umumnya ditempatkan
rupang (patung), bunga, air suci, dupa, lampu, lilin, musik, gelas-gelas kecil
berwarna merah, tumbuhan. Lalu pada bagian bawah altar sembahyang meja
Dewi Kwan im biasanya ditempatkan rupang Dewa Tanah, berserta ornamen
kodok, buah-buahan, gelas-gelas kecil berwarna merah, dupa, ornamen Dewa
Tanah.

2.2.1.2 Kegiatan
Kompleks kegiatan: berupa aktivitas manusia yang saling berinteraksi,
bersifat kongkret, dapat diamati atau diobservasi. Wujud ini sering disebut
sistem sosial. Sistem sosial ini tidak dapat melepaskan diri dari sistem budaya.
Apa pun bentuknya, pola-pola aktivitas tersebut ditentukan atau ditata oleh
gagasan-gagasan, dan pikiran-pikiran yang ada di dalam kepala manusia.
Karena saling berinteraksi antara manusia, maka pola aktivitas dapat pula
menimbulkan gagasam, konsep, dan pikiran baru serta tidak mustahil dapat

Universitas Sumatera Utara

diterima dan mendapat tempat dalam sistem budaya dari manusia yang
berinteraksi tersebut. Seperti aktivitas sembahyang dan pembersihan rupang

(patung) Buddha yang dilakukan oleh masyarakat Tionghoa.

2.2.1.3 Gagasan
Kompleks gagasan, konsep, pikiran manusia: wujud ini disebut sistem
budaya, sifatnya abstrak, tidak dapat dilihat, dan bersifat pada kepala-kepala
manusia yang menganutnya. Gagasan dan pikiran tersebut tidak merupakan
kepingan-kepingan yang terlepas, melainkan saling berkaitan berdasarkan asasasas yang erat hubungannya, sehingga menjadi sistem gagasan dan pikiran
yang relative mantap dan kontinyu. Seperti pada masyarakat Tionghoa yang
percaya pada rupang (patung) Buddha terdapat roh di dalamnya dan
menghormat

kepada

archa

Buddha

sebagai

usaha


untuk

mencapai

kesejahteraan, kemakmuran dan kebahagiaan hidup yang dicapai dengan hidup
secara harmonis dengan alam dan merenungkan semua kebajikan yang telah
dilakukan Sang Buddha selama hidupNya. Umat kemudian bertekad untuk
meniru beberapa kualitas kebajikan itu. Umat dapat bertekad untuk meniru
dalam perilaku sehari-harinya sifat kesabaran, welas asih ataupun semangat
yang telah Sang Buddha tunjukkan selama hidupnya.

2.2.2 Altar
Altar adalah bangunan apapun di mana (hewan) kurban atau
persembahan lainnya dipersembahkan untuk tujuan religius, atau tempat sakral

Universitas Sumatera Utara

di mana upacara keagamaan berlangsung. Altar biasanya ditemukan di dalam
tempat pemujaan, biara, dan tempat-tempat suci lainnya. Altar ada di berbagai

kebudayaan, terutama di dalam agama Katolik Roma, agama Kristen, agama
Buddha, Hindu, Shinto, Tao dan Neopaganisme. Bangunan ini juga ditemukan
di agama-agama kuno lainnya. Altar dibutuhkan untuk sarana tempat ibadah
sembahyang pribadi, keluarga, maupun tempat belajar Dhamma. Untuk itu
setiap umat Buddha Mahayana sudah seyogyanya memiliki altar di rumah.
Altar boleh diletakkan dimana saja, tapi lebih baik menghadapke luar dan
pantang menghadap toilet maupun dapur. Ukuran tinggi dan lebar altar yang
paling baik adalah 68 cm, 88 cm, 108 cm, 128 cm, 133 cm, 153 cm, atau 176
cm dan harus disesuaikan dengan tinggi rendah pemilik altar serta keperluan
dan kondisi ruangan.
Di rumah-rumah pribadi, umumnya ada dua jenis utama dari altar. Satu
dapat dianggap sebagai altar "wali". Pintu utama dan patung-patung di atasnya
melindungi pintu masuk ke rumah. Mereka menyambut pengunjung serta
menjadi malaikat penjaga pribadi, dan energi positif mereka melawan setiap
energi berbahaya halus yang mungkin masuk, seperti pikiran negatif atau niat
tidak ramah. Jenis lain dari altar adalah altar "keluarga", yang biasanya
ditempatkan di ruang yang lebih tertutup. Idealnya, adalah di ruang yang
terpisah di mana orang dapat menghabiskan waktu dalam meditasi atau doa.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 1. Altar Sembahyang Dewi Kwan Im
Sumber: Jln. Selam 8 No.80, Medan

Gambar 2. Altar Sembahyang Dewi Kwan Im
Sumber: Jln. Terong No. 48C, Medan

Universitas Sumatera Utara

Gambar 3. Altar Sembahyang Dewi Kwan Im
Sumber: Jln. Belitung No.36, Medan

2.2.3 Sembahyang
Istilah sembahyang berasal dari kata “sembah” dan “hyang” artinya
menyembah atau memuja hyang. Meskipun kini digunakan sebagai ibadah
beberapa agama di Indonesia, istilah ini memiliki akar pada pemujaan arwah
leluhur dan roh-roh penjaga alam yang disebut hyang yang kemudian dikaitkan
dengan dewa-dewa dalam kepercayaan Hindu.
Sembahyang adalah suatu bentuk kegiatan keagamaan yang menghendaki terjalinnya hubungan dengan Tuhan,dewa, roh atau kekuatan gaib yang
dipuja, dengan melakukan kegiatan yang disengaja. Sembahyang dapat

dilakukan secara bersama-sama atau perseorangan. Dalam beberapa tradisi
agama, sembahyang dapat melibatkan nyanyian berupa himne, tarian,
pembacaan naskah agama dengan dinyanyikan atau disenandungkan,

Universitas Sumatera Utara

pernyataan formal kredo(kepercayaan), atau ucapan spontan dari orang yang
berdoa. Bersembahyang diartikan sebagai bentuk komunikasi antara manusia
dengan para leluhur, shen ming (roh suci) dan Tian (Tuhan Yang Maha
Esa).Arti sembahyang tersebut didalam mahayana adalah sebagai berikut:
1. Mendekatkan diri pada yang Esa/Suci/Buddha dan Bodhisattva,
2. Membina jiwa menuju jalan ke surga,
3.Mengembangkan daya kemampuan diri/ belajar menjadi kuat,
4.Memahami ajaran agama kita,
5.Laksanakan dalam bentuk perbuatan nyata/ kehidupan sehari-hari.

2.2.4 Dewi Kwan Im
Sanskrit, padma-pani, atau “lahir dari bunga teratai.” Namanya
menandakan “dia yang selalu mengamati atau memperhatikan suara”, yaitu dia
yang mendengar doa-doa. Dewi China yang rahmat, kadang-kadang
direpresentasikan dalam pakaian putih dengan anak dalam pelukannya, dan
disembah oleh orang-orang yang menginginkan keturunan, sesuai dengan
Avalokites vara Buddhisme.
Kwan Im pertama diperkenalkan ke Cina pada abad pertama sebelum
Masehi, bersamaan dengan masuknya agama Buddha. Pada abad ke-7, Kwan
Im mulai dikenal di Korea dan Jepang karena pengaruh Dinasti Tang. Pada
masa yang sama, Tibet juga mulai mengenal Kwan Im dan menyebutnya
dengan nama Chenrezig. Dalai Lama sering dianggap sebagai reinkarnasi dari
Kwan Im di dunia.

Universitas Sumatera Utara

Jauh sebelum masuknya agama Buddha, menjelang akhir Dinasti Han,
Kwan Im Pho Sat telah dikenal di Tiongkok purba dengan sebutan Pek Ie Tai
Su yaitu Dewi Welas Asih Berbaju Putih. Kwan Im sendiri adalah dialek
Hokkian yang dipergunakan mayoritas komunitas Cina di Indonesia. Nama
lengkap dari Kwan Im adalah Kwan She Im Phosat atau Guan Shi Yin Pu Sa
yang

merupakan

terjemahan

dari

nama

aslinya

dalam

bahasa

Sanskrit,Avalokitesvara.
Tokoh Kwan Im merupakan tokoh Mahayana dan dipercayai
telah menitis beberapa kali dalam alam manusia untuk memimpin umat
manusia ke jalan kebenaran. Dia diberikan sifat-sifat keibuan seperti
penyayang dan lemah lembut.Kwan Im adalah Dewi kesuburan yang memberi
dampak terbesar di dunia manusia, dan banyak kuil dibangun untuk
menghormatinya. Kwan Im biasanya digambarkan sebagai dewi yang cantik,
beribawa, dan pengasih.

2.2.5 Masyarakat Tionghoa
Koenjaraningrat(2002:146) Mengatakan bahwa masyarakat adalah
kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat
tertentu yang bersifat kontiniu yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama .
Masyarakat Tionghoa merupakan salah satu kelompok masyarakat yang
ada di Indonesia. Tionghoa adalah sebutan untuk orang-orang dari suku-suku
atau ras Tiongkok. Masyarakat Tionghoa sudah ada di Sumatera Utara sejak
tahun 1860-an, tetapibelum ramai. Namun, semakin ramai ketika banyak

Universitas Sumatera Utara

buruh-buruh dariChina di datangkan sebagai buruhkuli kontrak sejak abad
ke19.Sejak itu lah Medan ramai ditempati Masyarakat Tionghoa. Masyarakat
Tionghoa yang berada di Indonesia terdiri dari beberapa sukubangsa yang
berasal dari dua propinsi yaitu provinsi Fukien bagian selatan dan provinsi
Guandong. Setiap imigran ke Indonesia membawa kebudayaan sukubangsanya sendiri-sendiri bersama dengan perbedaan kesukuan mereka.
Di Medan ada terdapat beberapa suku Tionghoa ialah Hokkien, TeoChiu, Hakka, Kwong Fu, dan Ai Lo Hong, yang memiliki perbedaan bahasa
yang besar. Masyarakat Tionghoa di kota Medan terdiri dari berbagai
kelompok suku bangsa dan satu hal yang dapat membedakan kesukuan mereka
adalah bahasa pergaulan yang mereka gunakan.Awal kedatangan masyarakat
Tionghoa ke Sumatera Utara adalah menjadi kuli kontrak, dan buruh kebun
bagi orang belanda melalui penyalur yang berasal dari Cina dan disalurkan ke
Indonesia, khususnya Kota Medan. Hingga akhir bangsa Belanda mengakui
kekalahannya dan meninggalkan Indonesia
Kedatangan Masyarakat Tionghoa ke Indonesia juga dipengaruhi oleh
berbagai kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan ekonomi yaitu
perdagangan. Sebagaimana yang di ketahui, masyarakat Tionghoa merupakan
masyarakat yang cukup pintar dalam berdagang. Hal ini sudah turun temurun
diwariskan oleh nenek moyang orang Tionghoa itu sendiri. Kemudian
masyarakat Tionghoa itu menyebar dan persebarannya meliputi pulau
Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Masyarakat Tionghoa di Indonesia
adalah masyarakat patrilineal yang terdiri atas marga atau suku yang tidak

Universitas Sumatera Utara

terkait secara geometris dan teritorial yang selanjutnya telah menjadi satu
dengan suku-suku lainnya di Indonesia.
Masyarakat Tionghoa merupakan masyarakat yang cukup terkenal
dengan kebudayaan yang beragam. Seperti seni tulis atau kaligrafi, seni
menggunting kertas, pengobatan, seni bela diri,seni opera atau teater, seni
musik tradisional, hingga tradisi pemujaan leluhur maupun dewa-dewi yang
sampai saat ini masih dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Tionghoa.

2.2.6 Agama Buddha
Agama Buddha pada awal berdirinya dimulai dari pembawanya, yaitu
Siddharta Gautama. Bahwa beliau telah memperoleh kesadaran sebagai
seorang Buddha. Beliau dilahirkan dari seorang keturunan kerajaan
Kapilavastu. Ayahnya bernama Sudhodana dan Ibunya Dewi Mahamaya.
Agama Buddha kini menjadi sebutan sebuah agama besar yang berkembang di
dunia dan besar pengaruhnya. Agama Buddha merupakan agama Ardhi (dunia),
yang berkembang pesat pada saat pemerintahan raja Asoka di India kala itu.
Sebenarnya tidak diketahui secara pasti kapan agama Buddha masuk ke
Tiongkok dari India, namun pada abad pertama, yaitu bagian pertama dari
dinasti Han akhir (25-220), bisa dipastikan bahwa agama Buddha sudah hadir
dan penyebarannya di Tiongkok dimulai pada abad keempat.
Masuknya agama Buddha di Indonesia terjadi sekitar awal abad
pertama atau saat dimulainya perdagangan melalui jalur laut. Kerajaan
Srivijaya (Sriwijaya) merupakan asal mula peranan kehidupan Agama Buddha

Universitas Sumatera Utara

di Indonesia, dimulai pada zaman Srivijaya di Suvarnadvipa (Sumatera) pada
abad ke-7. Hal ini terlihat pada catatan seorang sarjana dari China bernama ITsing yang melakukan perjalanan ke India dan Nusantara serta mencatat
perkembangan agama Buddha di sana. Biarawan Buddha lainnya yang
mengunjungi Indonesia adalah Atisa, Dharmapala, seorang Profesor dari
Nalanda, dan Vajrabodhi, seorang penganut agama Buddha yang berasal dari
India Selatan (id.wikipedia.org/wiki/Agama_Buddha).
Secara umum, ajaran Buddha terbagi dalam tiga aliran, yakni
Theravada/Hinayana (pencapaian tertinggiArahat), Mahayana (pencapaian
tertingginya menjadi Bodhisatva), dan Tantrayana/vajrayana (pencapaian
tertingginya menjadi Buddha). Dikalangan penganut agama klasik Tiongkok
(shen-isme), Buddha Amitabha dan Guan Yin adalah dewa-dewa (dari agama
Buddha mazhab Jinglu) yang sangat terkenal dan dipuja. Guan Yin merupakan
salah satu dewi pada aliran Mahyana. Guan Yin adalah pembantu utama
Buddha Amitabha dan perwujudan Boddhisatva Avalokiteshvara, yang
sekarang lebih dikenal dalam bentuk perempuan dan bukan pria seperti asal
Boddhisatva(Radis Bastian. 2014).

2.3 Landasan Teori
Teori adalah landasan dasar keilmuan untuk mengkaji maupun
menganalisis berbagai fenomena dan juga sebagai rujukan utama dalam
memecahkan masalah penelitian di dalam ilmu pengetahuan. Sejalan dengan
hal tersebut maka di dalam sebuah penelitian membutuhkan landasan teori
yang mendasarinya, karena landasan teori merupakan kerangka dasar sebuah

Universitas Sumatera Utara

penelitian. Landasan teori yang berhubungan dengan permasalahan penelitian
yang penulis gunakan adalah teori semeotik dan teori 3 wujud budaya.

2.3.1 Teori Semiotik
Semiotik berasal dari bahasa Yunani yaitu semeion yang berarti tanda.
Kajian keilmuan yang meneliti mengenai simbol atau tanda dan konstruksi
makna yang terkandung dalam tanda tersebut dinamakan dengan Semiotik.
Little

John(2009:53)

mengatakan

bahwa

semiotik

terdiri atas

sekumpulan teori tentang bagaimana tanda-tanda merepresentasikan benda, ide,
keadaan, situasi, perasaan dan kondisi di luar tanda-tanda itu sendiri. Semiotik
bertujuan untuk mengetahui makna-makna yang terkandung dalam sebuah
tanda atau menafsirkan makna tersebut sehingga diketahui bagaimana
komunikator mengkonstruksi pesan. Konsep pemaknaan ini tidak terlepas dari
perspektif atau nilai-nilai ideologis tertentu serta konsep kultural yang menjadi
ranah pemikiran masyarakat di mana simbol tersebut diciptakan. Kode kultural
yang menjadi salah satu faktor konstruksi makna dalam sebuah simbol menjadi
aspek yang penting untuk mengetahui konstruksi pesan dalam tanda tersebut.
Konstruksi makna yang terbentuk inilah yang kemudian menjadi dasar
terbentuknya ideologi dalam sebuah tanda. Sebagai salah satu kajian pemikiran
dalam cultural studies, semiotik tentunya melihat bagaimana budaya menjadi
landasan pemikiran dari pembentukan makna dalam suatu tanda. Kriyantono
(2007:261) mengatakan bahwa semiotik mempelajari sistem-sistem, aturanaturan,

konvensi-konvensi

yang

memungkinkan

tanda-tanda

tersebut

mempunyai arti.

Universitas Sumatera Utara

Mengenai sebuah kajian ilmu atau sebuah teori, maka tidak bisa
terlepas dari tokoh-tokoh yang mencetuskan kajian tersebut. Salah satunya
ialah Roland Barthes,Roland Barthes (1915-1980) mengemukakan, dalam
teorinya tersebut Barthes mengembangkan semiotika menjadi dua tingkatan
pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat
pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas,
menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat
pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di
dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak
pasti (Yusita Kusumarini, 2006).
Penulis menggunakan teori semiotik yang dikemukakan oleh Roland
Barthes untuk menganalisis artefak pada altar sembahyang Dewi Kwan Im.
Dalam hal ini pemaknaan artefak dikaji melalui dua aspek iyama yang makna
denotatif dan makna konotatif.

2.3.2 Teori Tiga Wujud Budaya
Tindakan dan aktivitas manusia terangkai dalam suatu perbuatan yang
berpola. Sebagai suatu sistem ide dan konsep dari serangkaian kerangka
tindakan dan aktivitas manusia apabila dirumuskan akan tampak sebagai
berikut. (Talcot Parsons dan A.L Krober: 1958), demikian juga dikemukakan
oleh J.J Honigmann (1959) .
1. Ideas
Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai,
norma, dan peraturan. Sifat ini sesuai dengan wujud dasarnya masih

Universitas Sumatera Utara

merupakan sesuatu yang abstrak dan tidak dapat digambarkan secara nyata.
Sebagaian masih berupa kerangka pemikiran dalam otaknya. Sebagianlain dari
padanya berupa kerangka perilaku yang ideal yang memberikan corak dan jiwa
serta tatanan kehidupan yang serasi, seimbang dan selaras. Sistem demikian ini
tidak lain berupa tatanan norma ideal, pada beberapa masyarakat disebut
sebagai adat atau adat-istiadat, bersifat umum, dan turun-menurun. Apabila
dilanggar, akan menimbulkan suatu rasa yang tidak enak dalam benaknya.
2. Activities
Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan
berpola dari manusia dalam masyarakat. Termasuk dalam kategori ini adalah
tatanan manusia dalam hidup bersosialisasi dan berkomunikasi, serta bergaul di
antara sesamanya. Berbeda dengan sistem budaya, wujud kebudayaan berpola
ini sangatgampang dilihat bahkan dapat didokumentasikan karena ia tampak
nyata dalam perilaku.
3. Artefacts
Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud
kebudayaan ini lebih konkret lagi dan cenderung tidak memerlukan penjelasan
apa pun. Benda hasil kerajinan misalnya, dapat dirasa, disentuh dan difoto.
Penulis menggunakan teori tiga wujud budaya yang dikemukakan oleh
J.J. Honigmann untuk menganalisis artefak, kegiatan, dan gagasan pada altar
sembahyangDewi Kwan Im. Dimulai dari artefak, kemudian aktivitas, dan
terakhir adalah gagasan apa yang menyebabkan aktivitas dan munculnya
artefak pada altar tersebut.

Universitas Sumatera Utara