ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN DAN ID

ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN
A. PENGERTIAN AMDAL
Sebelum suatu usaha atau proyek dijalankan, sebaiknya dilakukan
terlebih dahulu studi tentang dampak lingkungan yang bakal timbul, baik
dampak sekarang maupun dimasa yang akan datang. Studi ini disamping
untuk mengetahui dampak yang akan timbul, juga mencarikan jalan keluar
untuk mengatasi dampak tersebut. Studi inilah yang kita kenal dengan nama
Analisis Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL).
Pengertian Analisis Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) menurut PP
No. 27 Tahun 1999 Pasal 1 adalah telaahan secara cermat dan mendalam
tentang dampak besar dan penting suatu rencana usaha dan kegiatan. Arti
lain analisis dampak lingkungan hidup adalah teknik untuk menganalisis
apakah proyek yang akan dijalankan akan mencemarkan lingkungan atau
tidak dan jika ya, maka diberikan jalan alternatif pencegahannya.
Analisis dampak lingkungan (di Indonesia, dikenal dengan
nama AMDAL) adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu
usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan padalingkungan hidup yang
diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan
usaha dan/atau kegiatan di Indonesia. AMDAL ini dibuat saat perencanaan
suatu proyek yang diperkirakan akan memberikan pengaruh terhadap
lingkungan hidup di sekitarnya. Yang dimaksud lingkungan hidup di sini

adalah aspek abiotik, biotik dan kultural. Dasar hukum AMDAL di Indonesia
adalah Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 tentang "Izin Lingkungan
Hidup" yang merupakan pengganti PP 27 Tahun 1999 tentang Amdal.

Fungsi


Bahan bagi perencanaan pembangunan wilayah



Membantu proses pengambilan keputusan tentang kelayakan
lingkungan hidup dari rencana usaha dan/atau kegiatan



Memberi masukan untuk penyusunan disain rinci teknis dari rencana
usaha dan/atau kegiatan




Memberi masukan untuk penyusunan rencana pengelolaan dan
pemantauan lingkungan hidup



Memberi informasi bagi masyarakat atas dampak yang ditimbulkan
dari suatu rencana usaha dan atau kegiatan



Awal dari rekomendasi tentang izin usaha



Sebagai Scientific Document dan Legal Document



Izin Kelayakan Lingkungan


B. DAMPAK YANG DITIMBULKAN
Perlunya dilakukan studi AMDAL sebelum usaha dilakukan mengingat
kegiatan-kegiatan investasi pada umumnya akan mengubah lingkungan
hidup. Oleh karena itu, menjadi penting untuk memerhatikan komponenkomponen lingkungan hidup sebelum investasi dilakukan.
Adapun komponen lingkungan hidup yang harus dipertahankan dan dijaga
serta dilestarikan fungsinya, antara lain:
1. Hutan lindung, hutan konservasi, dan cagar biosfer.
2. Sumber daya manusia.
3. Keanekaragaman hayati.
4. Kualitas udara.
5. Warisan alam dan warisan udara.
6. Kenyamanan lingkungan hidup.
7. Nilai-nilai budaya yang berorientasi selaras dengan lingkungan hidup.
Kemudian, komponen lingkungan hidup yang akan berubah secara
mendasar dan penting bagi masyarakat disekitar suatu rencana usaha
dan/atau kegiatan, seperti antara lain:
1. Kepemilikan dan penguasaan lahan
2. Kesempatan kerja dan usaha
3. Taraf hidup masyarakat

4. Kesehatan masyarakat
Berikut ini dampak negatif yang mungkin akan timbul, jika tidak dilakukan
AMDAL secara baik dan benar adalah sebagai berikut:

1. Terhadap tanah dan kehutanan
a. Menjadi tidak subur atau tandus.
b. Berkurang jumlahnya.
c. Terjadi erosi atau bahkan banjir.

d. Tailing bekas pembuangan hasil pertambangan akan merusak aliran
sungai berikut hewan dan tumbuhan yang ada disekitarnya.
e. Pembabatan hutan yang tidak terencana akan merusak hutan sebagai
sumber resapan air.
f. Punahnya keanekaragaman hayati, baik flora maupun fauna, akibat
rusaknya hutan alam yang terkena dampak dengan adanya proyek/usaha.

2. Terhadap air
a. Mengubah warna sehingga tidak dapat digunakan lagi untuk keperluan
sehari-hari.
b. Berubah rasa sehingga berbahaya untuk diminum karena mungkin

mengandung zat-zat yang berbahaya.
c. Berbau busuk atau menyengat.
d. Mengering sehingga air disekitar lokasi menjadi berkurang.
e. Matinya binatang air dan tanaman disekitar lokasi akibat dari air yang
berubah warna dan rasa.
f. Menimbulkan berbagai penyakit akibat pencemaran terhadap air bila
dikonsumsi untuk keperluan sehari-hari.

3. Terhadap udara
a. Udara disekitar lokasi menjadi berdebu
b. Dapat menimbulkan radiasi-radiasi yang tidak dapat dilihat oleh mata
seperti proyek bahan kimia.
c. Dapat menimbulkan suara bising apabila ada proyek perbengkelan.
d. Menimbulkan aroma tidak sedap apabila ada usaha peternakan atau
industri makanan.
e. Dapat menimbulkan suhu udara menjadi panas, akibat daripada keluaran
industri tertentu.
4. a. Akan menimbulkan berbagai penyakit terhadap karyawan dan
masyarakat sekitar.
b. Berubahnya budaya dan perilaku masyarakat sekitar lokasi akibat

berubahnya struktur penduduk.
c. Rusaknya adat istiadat masyarakat setempat, seiring dengan perubahan
perkembangan didaerah tersebut.

Alternatif penyelesaian yang dapat dilakukan untuk mengatasi dampak
diatas adalah sebagai berikut:
1. Terhadap tanah
a. Melakukan rehabilitasi.
b. Melakukan pengurukan atau penimbunan terhadap berbagai penggalian
yang menyebabkan tanah menjadi berlubang.
2. Terhadap air
a. Memasang filter/saringan air.
b. Memberikan semacam obat untuk menetralisir air yang tercemar.
c. Membuat saluran pembuangan yang teratur ke daerah tertentu.
3. Terhadap udara
a. Memasang alat kedap suara untuk mencegah suara bising.
b. Memasang saringan udara untuk menghindari asap dan debu.
4. Terhadap karyawan
a. Menggunakan peralatan pengaman.
b. Diberikan asuransi jiwa dan kesehatan kepada setiap pekerja

c. Menyediakan tempat kesehatan untuk pegawai perusahaan yang terlibat.
5. Terhadap masyarakat sekitar
a. Menyediakan tempat kesehatan secara gratis kepada masyarakat.
b. Memindahkan masyarakat ke lokasi yang lebih aman.

C. TUJUAN DAN KEGUNAAN STUDI AMDAL
Tujuan AMDAL adalah menduga kemungkinan terjadinya dampak dari suatu
rencana usaha dan/atau kegiatan. Berikut adalah hal-hal yang harus
dilakukan dalam rangka mencapai tujuan studi AMDAL:
1. Mengidentifikasi semua rencana usaha yang akan dilaksanakan
2. Mengidentifikasi komponen-komponen lingkungan hidup yang akan
terkena dampak besar dan penting.
3. Memperkirakan dan mengevaluasi rencana usaha yang menimbulkan
dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup.
4. Merumuskan RKL dan RPL.
Kegunaan dilaksanakannya studi AMDAL:
1. Sebagai bahan bagi perencana dan pengelola usaha dan pembangunan

wilayah.
2. Membantu proses pengambilan.

3. Memberi masukan untuk penyusunan desain rinci teknis dari rencana
usaha.
4. Memberi masukan untuk penyusunan rencana pengelolaan dan
pemantauan lingkungan hidup dari rencana usaha.
5. Memberi informasi kepada masyarakat atas dampak yang ditimbulkan dari
suatu rencana usaha.

D. RONA LINGKUNGAN HIDUP
Rona lingkungan hidup pada umumnya sangat beranekaragam dalam
bentuk, ukuran, tujuan, dan sasaran. Rona lingkungan hidup juga berbeda
menurut letak geografi, keanekaragaman faktor lingkungan hidup, dan
pengaruh manusia. Karena itu kemungkinan timbulnya dampak lingkungan
hidup pun berbeda-beda sesuai dengan rona lingkungan yang ada.
Hal-hal yang perlu dicermati dalam rona lingkungan hidup adalah:
1. Wilayah studi rencana usaha.
2. Kondisi kualitatif dan kuantitatif dari berbagai SDA yang ada di wilayah
studi rencana usaha.
Berikut ini beberapa contoh komponen lingkungan hidup yang bisa dipilih
untuk ditelaah sesuai hasil pelingkupan dalam KA-AMDAL:
Fisik Kimia

Komponen fisik kimia yang penting untuk ditelaah diantaranya:
1. Iklim, kualitas udara, dan kebisingan
a. Komponen iklim meliputi tipe iklim, suhu, kelembaban curah hujan dan
jumlah air hujan, keadaan angin, serta intensitas radiasi matahari.
b. Data periodik bencana, seperti sering terjadi angin ribut, banjir bandang
diwilayah studi rencana usaha.
c. Data yang tersedia dari stasiun meteorologi dan geofisika yang mewakili
wilayah studi tersebut.
d. Pola iklim mikro pola penyebaran bahan pencemar udara secara umum
maupun pada kondisi cuaca buruk.
e. Kualitas udara baik pada sumber maupun daerah sekitar wilayah studi
rencana usaha.
f. Sumber kebisingan dan getaran, tingkat kebisingan serta periode
kejadiannya.
2. Fisiografis
a. Topografi bentuk lahan (morfologi) struktur geologi dan jenis tanah.
b. Indikator lingkungan hidup yang berhubungan dengan stabilitas tanah.
c. Keunikan, keistimewaan, dan kerawanan bentuk-bentuk lahan dan

bantuan secara geologis.

3. Hidrologi
a. Karakteristik fisik sungai, danau, dan rawa.
b. Rata-rata debit dekade, bulan, tahunan, atau lainnya.
c. Kadar sedimentasi (lumpur) tingkat erosi.
d. Kondisi fisik daerah resapan air, permukaan dan air tanah.
e. Fluktuasi, potensi, dan kualitas air tanah.
f. Tingkat penyediaan dan kebutuhan pemanfaatan air untuk keperluan
sehari-hari dan industri.
g. Kualitas fisik kimia dam mikrobiologi air mengacu pada mutu dan
parameter kualitas air yang terkait dengan limbah yang akan keluar.
4. Hidrooseanografi
Pola hidrodinamika kelautan seperti:
a. Pasang surut
b. Arus dan gelombang
c. Morfologi pantai
d. Abrasi dan akresi serta pola sedimentasi yang terjadi secara alami di
daerah penelitian.
5. Ruang, lahan, dan tanah
a. Inventarisasi tata guna lahan dan sumber daya lainnya pada saat rencana
usaha yang diajukan dan kemungkinan potensi pengembangan dimasa

datang.
b. Rencana tata guna tanah dan SDA lainnya yang secara resmi atau belum
resmi disusun oleh pemerintah setempat.
c. Kemungkinan adanya konflik yang timbul antara rencana tata guna tanah
dan SDA lainnya yang sekarang berlaku dengan adanya pemilikan atau
penentuan lokasi bagi rencana usaha.
d. Inventarisasi estetika dan keindahan bentang alam serta daerah rekreasi
yang ada diwilayah studi rencana usaha.
Bilologi
Komponen biologi yang penting untuk ditelaah diantaranya:
1. Flora
a. Peta zona biogeoklimati dari vegetasi yang berada diwilayah studi rencana
usaha.
b. Jenis-jenis dan keunikan vegetasi dan ekosistem yang dilindungi undangundang yang berada dalam wilayah studi rencana usaha.

2. Fauna
a. Taksiran kelimpahan fauna dan habitatnya yang dilindungi undang-undang
dalam wilayah studi rencana usaha.
b. Taksiran penyebaran dan kepadatan populasi hewan invertebrata yang
dianggap penting karena memiliki peranan dan potensi sebagai bahan
makanan atau sumber hama dan penyakit.
c. Perikehidupan hewan penting diatas termasuk cara perkembangbiakan
dan cara memelihara anaknya perilaku dalam daerah teritorinya.
Sosial
Komponen sosial yang penting untuk ditelaah diantaranya:
1. Demografi
a. Struktur penduduk menurut kelompok umur, jenis kelamin, mata
pencaharian, pendidikan, dan agama.
b. Tingkat kepadatan penduduk.
c. Pertumbuhan (tingkat kelahiran dan kematian bayi).
d. Tenaga kerja.
2. Ekonomi
a. Ekonomi rumah tangga.
b. Ekonomi sumber daya alam.
c. Perekonomian lokal dan regional.
3. Budaya
a. Kebudayaan.
b. Proses sosial.
c. Pranata sosial/kelembagaan masyarakat dibidang ekonomi.
d. Warisan budaya.
e. Pelapisan soasial berdasarkan pendidikan, ekonomi, pekerjaan, dan
kekuasaan.
f. Kekuasaan dan kewenangan.
g. Sikap dan persepsi masyarakat terhadap rencana usaha.
h. Adaptasi ekologis.
4. Kesehatan masyarakat
a. Parameter lingkungan yang diperkirakan terkena dampak rencana
pembangunan dan berpengaruh terhadap kesehatan.
b. Proses dan potensi terjadinya pemajanan.
c. Potensi besarnya dampak timbulnya penyakit.
d. Karakteristik spesifik penduduk yang beresiko.
e. Sumber daya kesehatan.
f. Kondisi sanitasi lingkungan.

g. Status gizi masyarakat.
h. Kondisi lingkungan yang dapat memperburuk proses penyebaran
penyakit.

E. PRAKIRAAN DAMPAK BESAR DAN PENTING
Dampak besar dan terpenting dalam studi AMDAL menurut pedoman
penyusunan AMDAL hendaknya dimuat hal-hal sebagai berikut:
1. Prakiraan secara dampak usaha pada saat prakonstruksi, konstruksi
operasi, dan pascaoperasi terhadap lingkungan hidup.
2. Penentuan arti penting perubahan lingkungan hidup bagi masyarakat
diwilayah studi rencana usaha dan pemerintahan dengan mengacu pada
pedoman penentuan dampak.
3. Dalam melakukan telaah butir 1 & 2 tersebut diperhatikan dampak yang
bersifat langsung dan tidak langsung.
4. Mengingat usaha atau kegiatan masih berada pada tahap pemilihan
alternatif usaha maka telaahan dilakukan untuk masing-masing alternatif.
5. Dalam melakukan analisis prakiraan dampak penting agar digunakan
metode-metode formal secara sistematis.

F. EVALUASI DAMPAK BESAR DAN PENTING
Hasil evaluasi mengenai hasil telaahan dampak dari rencana usaha
selanjutnya menjadi masukan bagi instansi yang bertanggungjawab untuk
memutuskan kelayakan lingkungan hidup dari rencana usaha sebagaimana
dimaksud dalam PP No. 27 Tahun 1999.
1. Telaahan terhadap dampak besar dan penting
a. Yang dimaksud dengan evaluasi dampak yang bersifat holistis adalah
telaah secara totalitas terhadap beragam dampak besar dan penting
lingkungan hidup.
b. Telaahan secara holistis dengan menggunakan metode-metode evaluasi
yang lazim dan sesuai dengan kaidah metode evaluasi dampak penting
dalam AMDAL sesuai keperluannya.
c. Dampak-dampak besar dan penting yang dihasilkan dari evaluasi disajikan
sebagai dampak-dampak besar dan penting yang harus dikelola.
2. Telaahan sebagai dasar pengelolaan
a. Hubungan sebab akibat (kausatif) antara rencana usaha kegiatan dan rona
lingkungan hidup dengan dampak positif dan negatif yang mungkin timbul.
b. Ciri dampak penting juga perlu dikemukakan dengan jelas.
c. Identifikasi kesenjangan antara perubahan yang diinginkan dan perubahan
yang mungkin terjadi akibat kegiatan pembangunan.
d. Kemungkinan seberapa luas daerah yang akan terkena dampak penting
pembangunan.

e. Analisis bencana alam dan analisis resiko bila rencana usaha berasa dalam
daerah bencana alam atau dekat sumber bencana alam.

G. RUANG LINGKUP STUDI DAN METODE ANALISIS DATA
Ruang lingkup studi meliputi dampak besar dan penting yang ditelaah, yakni:
1. Rencana usaha penyebab dampak terutama komponen langsung yang
berkaitan dengan dampak yang ditimbulkannya.
2. Kondisi rona lingkungan hidup yang terkena dampak lingkungan.
3. Jenis-jenis kegiatan yang ada disekitar rencana lokasi beserta dampak
yang ditimbulkannya.
4. Aspek pada butir 1,2,3,4 mengacu pada hasil pelingkupan yang tertuang
dalam dokumen kerangka acuan untuk AMDAL.
Penjelasan ini agar dilengkapi dengan peta yang menggambarkan lokasi
rencana usaha beserta kegiatan-kegiatan yang berada disekitarnya.
Identitas Pemrakarsa dan Penyusun AMDAL
1. Pemrakarsa:
a. Nama dan alamat lengkap instansi/perusahaan sebagai pemrakarsa
rencana usaha dan penanggungjawab pelaksanaan rencana usaha.
2. Penyusun AMDAL:
a. Nama dan alamat lengkap lembaga/perusahaan disertai dengan kualifikasi
dan rujukannya dan penanggungjawab penyusun AMDAL.
Wilayah Studi
Lingkup wilayah studi mencakup pada penetapan wilayah studi yang
digariskan dalam kerangka acuan untuk AMDAL dan hasil pengamatan
dilapangan. Batas wilayah studi AMDAL digambar pada peta dengan skala
yang memadai.
Pelingkupan Wilayah Studi
Penetapan lingkup wilayah studi dimaksudkan untuk membatasi wilayah
studi AMDAL sesuai hasil pelingkupan dampak besar dan penting. Lingkup
wilayah studi AMDAL ditetapkan berdasarkan pertimbangan batas-batas
ruang, sebagai berikut:
1. Batas Proyek
Yakni ruang dimana suatu rencana usaha melakukan kegiatan prakonstruksi,
konstruksi, dan operasi.
2. Batas Ekologis
Yakni ruang persebaran dampak dari suatu rencana usaha menurut media
transportasi limbah, termasuk ruang disekitar rencana usaha yang secara
ekologis memberi dampak terhadap aktivitas usaha.
3. Batas Sosial
Yakni ruang disekitar rencana usaha yang merupakan tempat
berlangsungnya berbagai interaksi sosial yang diperkirakan akan mengalami
perubahan mendasar akibat suatu rencana usaha.
4. Batas Administratif

Yakni ruang dimana masyarakat secara leluasa melakukan kegiatan sosial
ekonomi dan sosial budaya sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Batas Ruang Lingkup Studi AMDAL
Yakni ruang yang merupakan kesatuan dari keempat wilayah diatas, namun
penentuannya disesuaikan dengan kemampuan pelaksana yang biasanya
memiliki keterbatasan sumber data.
Metode Pengumpulan dan Analisis Data
Perlunya dilakukan metode pengumpulan dan analisis data yang ilmiah
dengan pertimbangan mengingat studi AMDAL merupakan telaahan
mendalam atas dampak besar dan penting usaha dan/atau kegiatan
terhadap lingkungan hidup.
1. Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer maupun sekunder yang
dapat dipercaya yang diperoleh melalui metode atau alat yang bersifat
sahih.
2. Metode pengumpulan data, metode analisis atau alat yang digunakan,
serta lokasi pengumpulan data berbagai komponen lingkungan hidup yang
diteliti.
3. Pengumpulan data dan informasi untuk demografi sosial ekonomi, sosial
budaya, pertahanan dan keamanan dan kesehatan masyarakat
menggunakan kombinasi dari tiga atau lebih metode agar diperoleh data
yang realibitasnya tinggi.

H. SISTEMATIKA PENYUSUNAN DOKUMEN AMDAL
AMDAL perlu disusun secara sistematis, sehingga dapat:
1. Langsung mengemukakan masukan penting yang bermanfaat bagi
pengambilan keputusan rencana usaha.
2. Mudah dipahami isinya oleh semua pihak termasuk masyarakat.
3. Memuat uraian singkat tentang rencana usaha dan dampaknya serta
kesenjangan data informasi yang dihadapi selama menyusun AMDAL.

I. KEGUNAAN DAN KEPERLUAN RENCANA USAHA DAN/ATAU
KEGIATAN
Kegunaan dan keperluan mengapa rencana usaha harus dilakukan ditinjau
dari segi kepentingan pemrakarsa maupun segi menunjang program
pembangunan.
1. Penentuan batas lahan yang langsung akan digunakan oleh rencana usaha
harus dinyatakan dengan peta berskala memadai.
2. Hubungan antara lokasi rencana usaha dengan jarak dan tersedianya SDA
hayati dan non hayati.
3. Alternatif usaha berdasarkan hasil studi kelayakan.
4. Tata letak usaha dilengkapi dengan peta berskala memadai yang memuat
informasi tentang letak bangunan dan struktur lainnya yang akan dibangun.
5. Tahap pelaksanaan.
a. Tahap prakonstruksi/persiapan

b. Tahap konstruksi
c. Tahap operasi
d. Tahap pasca operasi

UNDANG - UNDANG NO. 26 TAHUN 2007
TENTANG PENATAAN RUANG

Visi Undang-Undang No. 26 tentang Penataan Ruang
adalah terwujudnya ruang nusantara yang mengandung unsur-unsur penting
dalam menunjang kehidupan masyarakat, sebagai berikut:

1. keamanan : masyarakat terlindungi dari berbagai ancaman dalam
menjalankan aktivitasnya;
2. kenyamanan: kesempatan luas bagi masyarakat untuk dapat
menjalankan fungsi dan mengartikulasi nilai-nilai sosial budayanya
dalam suasana tenang dan damai;
3. produktivitas: proses dan distribusinya dapat berlangsung efisien serta
mampu menghasilkan nilai tambah ekonomis bagi kesejahteraan
masyarakat dan meningkatkan daya saing;
4. berkelanjutan: kualitas lingkungan dapat dipertahankan bahkan dapat
ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini dan
generasi mendatang.
Untuk mendukung visi di atas, maka setiap wilayah harus selalu
memperhatikan aspek sumber daya alam dan lingkungan hidup, seperti
ditetapkan pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 pasal 3 yaitu bahwa
penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang
wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan
berlandaskan Wawasan Nusantara dengan terwujudnya:


keharmonisan antara lingkungan alami dan buatan;



keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya
buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan



perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadal
lingkungan akibat pemanfaatan
ruang.

Sementara pasal 6 ayat (1) mempertegas bahwa penataan ruang
diselenggarakan dengan memperhatikan potensi khusus sumber daya alam,
sumber daya manusia, dan sumber daya buatan serta kondisi ekonomi,
sosial, budaya, politik, hukum, pertahanan keamanan, lingkungan hidup
serta ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai suatu kesatuan.
Pada pasal 17 memuat bahwa proporsi kawasan hutan paling sedikit
30% dari luas daerah aliran sungai (DAS)yang dimaksudkan untuk menjaga

kelestarian lingkungan. Pasal 28 sampai dengan pasal 30 memuat
bahwaproporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota minimal 30% di
mana proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota minimal
10%. Sedangkan pasal 48 memuat bahwa penataan ruang kawasan
perdesaan diarahkan antara lain, untuk:
(1)
pertahanan kualitas lingkungan setempat dan wilayah yang
didukungnya;
(2)

konservasi sumber daya alam; dan

(3)
pertahanan kawasan lahan abadi pertanian pangan untuk
ketahahan pangan
Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur pemanfaatan
ruang dan unsur-unsur pengendalian yang disusun untuk setiap zona
peruntukan sesuai dengan rencana rinci tata ruang. Ketentuan yang harus,
boleh, dan tidak boleh dilaksanakan pada zona pemanfaatan ruang terdiri
dari:
(1) ketentuan tentang ’amplop’ ruang (koefisien dasar bangunan,
koefisien lantai bangunan, koefisien dasar ruang hijau,garis sempadan);
(2) penyediaan sarana dan prasarana;
(3) ketentuan pemanfaatan ruang yang terkait dengan keselamatan
penerbangan, pembangunan pemancar alat komunikasi, dan pembangunan
jaringan listrik tegangan tinggi
Pasal 5 dan penjelasan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007,
mengandung penetapan dua fungsi kawasan utama, yaitu kawasan lindung
dan kawasan budidaya yang dibagi ke dalam beberapa sub-kawasan yang
akan memperjelas fungsi sesuai tata guna (peruntukan ruang/lahan) sektoral
yang satu sama lain saling melengkapi (komplementer) seperti pada
diagram 1.

Diagram 1
Pembagian Fungsi Kawasan Menurut UU No. 26 Tahun 2007

Sedangkan klasifikasi penataan ruang dapat dilihat pada
diagram 2.

Diagram 2
Klasifikasi Penataan Ruang Menurut UU No. 26 Tahun 2007

Dari klasifikasi penataan ruang tersebut ditetapkan strategi umum dan
strategi implementasi penyelengaraan penataan ruang, sebagai berikut:
1. Pasal 6 yakni menyelenggarakan penataan ruang wilayah nasional
secara komprehensif, holistik, terkoordinasi, terpadu, efektif, dan
efisien dengan memperhatikan faktor-faktor politik, ekonomi, sosial,
budaya, pertahanan, keamanan, kenyamanan, dan kelestarian fungsi
lingkungan hidup;
2. Pasal 6 ayat (2) yakni menetapkan prinsip-prinsip ”komplementaritas”
dalam rencana struktur ruang dan recana pola ruang rencana tata
ruang wilayah kabupaten/kota dan rencana tata ruang wilayah
provinsi;
3. Pasal 7 sampai dengan pasal 8 yaitu memperjelas pembagian
wewenang antara Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah
kabupaten/kota dalam penyelenggaraan penataan ruang;
4. Pasal 17, pasal 28 - pasal 30 yakni: (a) memberikan perhatian besar
kepada aspek lingkungan/ ekosistem;(b) menekankan struktur dan pola
ruang dalam rencana tata ruang.
Dalam menghadapi tantangan dan permasalahan menuju ruang kota
yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan, penyelenggaraan
penataan ruang di kawasan perkotaan perlu menggunakan instrumen
penataan ruang yang memuat sistem insentif dan disinsentif serta sanksi
bagi pelanggar tata ruang. Hal ini dimaksudkan untuk dapat meminimalkan

permasalahan yang dihadapi dalam penyelenggaraan penataan ruang,
seperti:


konflik spasial antara provinsi dan kabupaten/kota dalam pelaksanaan
otonomi daerah;



rencana tata ruang wilayah yang belum sepenuhnya menjadi acuan
penerapan tata ruang;



aspek pengendalian pemanfaatan ruang yang lemah;



berlangsung terusnya berbagai permasalahan perkotaan klasik (macet,
bencana tanah longsor, kumuh,)

Sedang pentahapan penyusunan dari RTRW Nasional sampai pada
tingkat pembangunan dalam RTRW Kota, dapat dilihat pada diagram 3
berikut

Diagram 3
Tahapan Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota

Dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah, tuntutan penerapan
prinsip-prinsip good governance hendaknya terus diupayakan melalui
peningkatan kepedulian dan peran masyarakat khususnya dalam penetapan
fungsi, peran, serta pendekatan kebijakan dan strategi penataan ruang. Pada
level terendah, penerapan prinsip-prinsipgood governance ini dilakukan
melalui pelibatan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan di sekitar
tempat tinggalnya.
Dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 secara eksplisit diuraikan
tentang penegasan hal, kewajiban serta peran masyarakat, yaitu:
Pasal 60 : Setiap orang berhak untuk :
1. mengetahui Rencana Tata Ruang;
2. menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang;
3. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat
pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan perencanaan
Tata Ruang;
4. mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap
pembangunan yang tak sesuai
dengan Rencana Tata Ruang di
wilayahnya.
Pasal 61: Dalam pemanfaatannya setiap orang wajib :

1. menaati Rencana Tata Ruang yang telah ditetapkan;
2. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari
pejabat yang berwenang;
3. memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan
izin pemanfaatan ruang, dan
4. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum.
Pasal 65 : Peran masyarakat melalui :
1. pelibatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang
2. peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan, antara lain, melalui:
(a) partisipasi dalam penyusunan RTR;
(b)

partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan

(c) partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.

PENYEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU DI PERKOTAAN DAN
IMPLIKASINYA
Perubahan paradigma dalam pembangunan wilayah dan kota,
khususnya dalam penyediaan ruang terbuka hijau di wilayah kota
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang hendaknya dilaksanakan sepenuhnya oleh
Bupati/Walikota dengan dukungan penuh dari pihak legislatif di masingmaisng daerah. Hal ini tentu saja dilaksanakan dengan melihat kondisi biogeografi lingkungan dan sumber daya manusia di masing-masing wilayah
dan hendaknya dikembangkan secara bertahap. Hal ini telah dilaksanakan
oleh beberapa Bupati dan Walikota yang juga telah mendapat dukungan
penuh dari badan legislatifnya, seperti kelima wilayah kota Provinsi DKI
Jakarta, Surabaya, dan lain-lain.
Pada akhir bulan April 2008 ini, DPRD Kota Semarang secara proaktif
akan melakukan ‘public hearing’ dengan mengundang para pakar dalam
menyusun berbagai peraturan daerah (Perda), antara lain “Rancangan Perda

Kota Semarang tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau” yang dimaksudkan
sebagai perwujudan dari perubahan paradigma dimaksud (Diagram 4).

Diagram 4
Tahapan Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota

Penyusunan RTRW Kabupaten berlaku mutatis mutandis (Pasal 28
UUPR No. 26 Tahun 2007) untuk penyusunan RTRW Kota dengan
penambahan muatan pada rencana-rencana:
(1)

penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau;

(2)

penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka non-hijau; dan

(3)
penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan
pejalan kaki, angkutan umum, kegiatan sektor informal dan ruang evakuasi
bencana, yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi wilayah kota sebagai
pusat pelayanan sosial-ekonomi dan pusat pertumbuhan wilayah.
Model perencanaan tata ruang terakhir yang disepakati para Walikota
di dunia (KLH, 2005) padaPenandatanganan Bersama Kesepakatan
Lingkungan Hidup adalah dikenal dengan istilah Green City. Meskipun
terdapat dua persepsi berbeda tentang istilah Kota Hijau ini, yaitu:
1
Sebagai visi (negara bagian di USA) menghijaukan kota-kota
dengan menanam banyak tanaman dan
tumbuhan serta membangun
taman-taman kota;
2
Negara-negara Eropa mempunyai persepsi ‘hijau’ sebagai “Kota
yang Sehat” dan hampir bebas dari emisi polusi CO2, CO, N2O, dan lain-lain
serta orientasinya pada penggunaan sarana angkutan dengan energi nonfosil.
Meskipun demikian sekitar dua dekade lalu beberapa walikota di
beberapa negara sedang berkembang, seperti di benua Amerika Selatan dan
di Asia telah berhasil mengembangkan lingkungan kota layak huni
(habitable) atau apa yang disebut sebagai: ‘Kota Berwawasan
Lingkungan’, sebagai contoh kota Curitiba (Brasilia) (Gambar 3)

Pada hakekatnya penyebab utama perencanaan dan perancangan
permukiman kota adalah ketidakpedulian akan pentingnya sanitasi
lingkungan yang “higienis”, yang kemudian secara sadar maupun tidak,
menjadi perilaku (kebiasaan) warga yang tak terpuji. Lingkungan menjadi
semakin buruk akibat tidak ditegakkannya peraturan perundang-undangan
yang ada. Hal ini mengakibatkan beberapa permasalahan sebagai berikut:
(1) kondisi sanitasi dasar lingkungan permukiman,
menimbulkan masalah kesehatan yang serius;
(2) persediaan air bersih yang minim (tak cukup bahkan tak
ada);
(3) sampah padat dan limbah cair tidak terkelola dengan baik
(tak ada ‘sewerage system;
(4) makanan tidak higienis (keracunan, pemakaian zat
kimia/pengawet, pewarna, penyedap),
(5) vektor penyakit (nyamuk, tikus, kecoak, dan lain-lain) tak
terkendali;

(6) sistem transportasi/ lalu lintas yang buruk dengan adanya
kemacetan lalu lintas dan polusi udara;
(7) buruknya lingkungan kerja/ kantor (hal ini ditandai dengan
berkembangnya bakteri legionellosi, yang
mengakibatkan sick building syndrome).
Hampir semua permasalahan di atas saling terkait dan merupakan
akibat dari penyelenggaraan penataan ruang yang buruk. Oleh karena itu,
dalam rangka menuju pembangunan “Kota Sehat”, maka diperlukan
persyaratan ketat pembangunan sarana dan prasarana sanitasi kota.
Ruang terbuka hijau adalah ruang terbuka kawasan perkotaan yang
merupakan bagian ruang terbuka suatu kawasan perkotaan, di mana antara
lain relatif terdapat banyak unsur hijau tanaman dan tumbuhan yang
sengaja atau tak sengaja ditanam. Unsur hijau ini antara lain berfungsi
sebagai pendukung keberlangsungan proses siklus alami (fisikekologis), pendukung bagi upaya peningkatan kesejahteraan warganya (baik
dalam bidang sosial, budaya, ekonomi dan estetika). Sementara itu, ruang
terbuka non-hijau kawasan perkotaan yang permukaan tanahnya bisa
diperkeras (paved) untuk kepentingan tertentu, termasuk di sini adalah
ruang terbuka ‘biru’ (danau, waduk serta jalur sungai atau tepi pantai)
termasuk areal yang sengaja dibangun, diperuntukkan bagi peresapan air
permukaan (hujan), kolam genangan (retention basin), atau luapan air hujan
(banjir).

Struktur RTH pada ruang terbuka kawasan perkotaan dapat
dilihat pada diagram 5.

KOTA EKOLOGIS MASA DEPAN
Berdasarkan gambaran yang bisa dilihat pada diagram 2 dan diagram
5, ruang terbuka hijau menjadi merupakan suatu komponen kota yang harus
disediakan dalam suatu kota. Hal ini mengingat kenyataan bahwa hampir
semua kota, khususnya kota-kota besar di Indonesia telah mengalami
degaradasi lingkungan.
“The ecological city impressions” merupakansuatu pedoman visioner
yang hendaknya dicapai olehsuatukota, seperti “the liveable city” dan “the
water city”. Meskipun demikian, bila sebuah kota telah mempunyai pedoman
visioner sebagai kota ekologis, maka tidak otomatis berarti bahwa kota ini
telah dapat mengatasi permasalahan, tetapi bisa merupakan suatu seri
pengalaman yang berbeda-beda ditinjau dari visi dan usulannya. Bila

pencapaian visi tersebut masih terlalu jauh, maka disarankan untuk
diarahkan pada proyek skala kecil atau sebagian kota saja. Hal ini selain
lebih relatif lebih mudah untuk dilakukan, juga akan lebih berari karena terus
berjalan menyusuri setiap bagian kota sehingga pencapaian visi tercapat dan
proses penyusuran tersebut menjadi sangat berarti (Tjallingi,
S, dalam Hendrik & Duijvestein, 2002).
Kota ekologis mensyaratkan pentingnya perubahan (restrukturisasi)
hubungan antara permukiman dan lingkungan. Perubahan ini bukan dengan
membongkar bangunan lama (bersejarah), akan tetapi dengan perbaikan
ruang komunal dan ruang kehidupan. Hal ini dilakukan misalnya dengan
membangun ruang-ruang publik yang dapat menampung penduduk dengan
tingkat kepadatan tinggi, tanpa mengabaikan permasalahan yang dihadapi
oleh komunitas tersebut, terutama keamanan. Sebagai contoh adalah
pembangunan tiga kawasan (teritori) yaitu “the strip” (pedestrian), small
courtyards (untuk penghuni 5 lantai), dan large courtyards’ untuk
penghuniapartment lebih besar. Sementara itu, Kota Curitiba dan Kota
Singapura merupakan kota yang berkarakter ‘manusiawi’ (liveable).

The participating cityadalah kota di mana seluruh warga tanpa kecuali
mampu bekerja sama memelihara kualitas lingkungan menjadi “kompak”
serta karakter jalan lebar dan hijau (boulevard) (Den Haag, dibangun 1930).
Dalam hal ini, keterbatasan ruang diatasi dengan pengembangan bagian
perairan kota dengan infrastruktur semi permanen (light city) atau mudah
dibongkar dengan pola aturan khusus, seperti rumah-rumah perahu “orang
laut” atau pasar terapung di Banjarmasin.
Pengembangan bagian kota yang mempertimbangkan adanya daerah
hijau menjadi pilihan masyarakat, meskipun harganya menjadi sangat
mahal. Hal ini dapat dilihat di beberapa pengembangan perumahan yang
menerapkan konsep lingkungan yang hijau, sehat dan asri. Di samping itu,
pengembangan kota hendaknya mempertimbangkan kemungkinan adanya
’peluang’ agar energi sebanyak mungkin dapat dihemat melalui
pembangunan “green infrastructures”. Dengan demikian, semua habitat
biota (flora/fauna) dapat hidup bersimbiosis mutualistisme dalam suatu kota.
Sementara itu, Frey (2004) dalam Wardhani (2006) menyebutkan
bahwa saat ini terdapat tiga model “sustainable city” yang tengah
diperdebatkan, yakni:

(1) apakah kota yang padat (compact city) tidak akan menyebar
(sprawling) ke daerah pinggiran dan apakah kota ini mempunyai kelebihan
efisiensi distribusi aktivitas penduduk dengan berbagai moda;
(2) apakah kota polisentrik (decentralized
concentration (polycentric) city) merupakan kelanjutan proses
pengembangan compact city yaitu pada pusat-pusat spesialisasi fungsi di
dalam suatu kota; dan
(3) apakah short-cycles city merupakanperkembangan lebih lanjut
dari kedua model kota tersebut di atas?
Dari berbagai uraian di atas, diharapkan bahwa penerapan prinsipprinsip ekologis dan lingkungan dapat menciptakan terwujudnya
keberlanjutan kota melalui pemanfaatan sumber daya alam lokal dengan
sistem daur ulang, otonomi lokal yang lebih luas, dan ecological
footprints yang lebih kecil.
PENUTUP


Keberadaan ruang terbuka hijau sebagai penyeimbang area terbangun
merupakan unsur utama tata ruang kota yang mutlak harus ada pada
suatu kota yang berwawasan lingkungan, aman, serasi, seimbang dan
berkelanjutan.



Para perencana kota hendaknya perlu memahami berbagai informasi
tentang pengelolaan jasa utama kota, seperti penyediaan air yang
aman, jasa kebersihan/sanitasi, energi, perumahan /permukiman,
transportasi, persediaan pangan, ruang terbuka hijau dan lain-lain. Hal
ini dimaksudkan untuk mengurangi degradasi lingkungan dan dampak
sosial negatif dari suatu pembangunan kota.



Pertumbuhan ekonomi kota hendaknya dapat menjadi salah satu
indikator pengukuran pembangunan
dengan tetap mengindahkan
pembagian sumber daya alam yang adil dan menguntungkan bagi
semua pihak (termasuk kaum marjinal).



Perencanaan kota harus ditekankan pada adopsi pendekatanpendekatan baru dan perancangan teknologi tepat guna untuk
mengantar dan mengelola jasa infrastruktur kota berdampak minimal
bagi lingkungan, selain komitmen dan keinginan untuk berubah.

DAFTAR PUSTAKA
 Anies,

2006. Manajemen
Berbasis
Lingkungan,
solusi
mencegah
dan
menanggulangi
penyakit
menular. Seri
Lingkungan dan Penyakit. Penerbit: PT Elex Media Komputindo,
Kelompok Gramedia, Jakarta. Anggota IKAPI. ISBN: 979-208692-7
Raquel. 2004. Alternative
urban
Future,
planning for sustainable development in cities throughout the
world. Chapter six: Alternative Urban Futures (hal 220-226).
Rowman & Littlefield Publishers, Inc. PO Box 317. Oxford
OX29RU, UK.

 Pinderhughes,

 Purnomohadi, Ning. 1995. Ruang Terbuka Hijau dan Perannya

dalam
Pengelolaan
Kualitas
Udara
di
Metropolitan
Jakarta. Bahan Disertasi FPS-PSL-IPB (tidak dipublikasikan),
 Purnomohadi, Ning (Penulis Utama), 2006. Ruang Terbuka Hijau

Sebagai Unsur Utama Tata Ruang Kota. Penerbit: Direktorat
Jenderal Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum
RI. ISBN 979-15540-0-5.
 Purnomohadi, Ning, 2007. Konsep dan Strategi Membangun

Lingkungan Kota yang Sehat (Ekologis) serta Identifikasi

Masalah
yang
dipublikasikan)

Dihadapi

(Bahan

diskusi/makalah-tidak

dalam Hendrik & Duijvestein, 2002. The Ecological
City – Impressions. Studi DIOC-DGO (Delft Interfaculty Research
Centre – Sustainable Built Environment) dari Delft University of
Technology, 1997.

 Tjallingi, S,

 Wardhani, Citra. 2006. Kota Berkelanjutan ( Sustainable

City),
salah satu editor dalam dalam buku ” SUSTAINABLE
DEVELOPMENT”, Beberapa Catatan Tambahan. Asosiasi SYLFF
(The Ryoichi Sasakawa Young Leaders Fellowship Fund ),
Universitas Indon



http://skpd.batamkota.go.id/dampaklingkungan/download/unda
ng-undang-ri/